Pengguna Narkotika Berdasarkan Perundang-Undangan

39 yang menjadi korban adalah si pelaku sendiri. Seperti halnya pelacuran, dan perzinahan. Selain itu, penyalah guna narkotika juga dapat dikategorikan sebagai kejahatan tanpa korban crime without victim. Pengertian kejahatan tanpa korban berarti kejahatan ini tidak menimbulkan korban sama sekali akan tetapi si pelaku sebagai korban. Sementara dalam kategori kejahatan, suatu perbuatan jahat haruslah menimbulkan korban dan korban itu adalah orang lain an act must take place that involves harm inflicted on someone by the actor. Artinya, apabila hanya diri sendiri yang menjadi korban, maka hal tersebut tidak dapat dikatakan sebagai kejahatan. 60

3.1 Pengguna Narkotika Berdasarkan Perundang-Undangan

Jika dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, hakikatnya pengguna narkotika adalah orang yang menggunakan zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang Narkotika. Pengguna narkotika dapat dibagi menjadi 2 dua, yaitu pengguna narkotika terhadap orang lain Pasal 116, Pasal 121, Pasal 126 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dan pengguna narkotika untuk diri sendiri Pasal 127 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Pengguna narkotika terhadap orang lain adalah setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memberikan narkotika untuk digunakan oleh orang lain. Melawan hukum dalam bahasa Belanda adalah wederrechtelijk weder: bertentangan dengan, melawan; recht: hukum. Melawan hukum berarti pula 60 http:www.gepenta.comartikel-Rehabilitasi+Korban+Pengguna+Narkoba-.phpx diakses tanggal 10 Oktober 2014. 40 dengan tanpa hak atau ijin dari pihak yang berwenang. Sedangkan pengguna narkotika untuk diri sendiri adalah penggunaan narkotika yang dilakukan oleh seseorang tanpa hak atau melawan hukum. Jika orang yang bersangkutan dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan narkotika, maka ia harus menjalani rehabilitasi medis maupun rehabilitasi sosial dan masa rehabilitasinya akan diperhitungkan sebaga masa menjalani hukuman. Penggunaan istilah “pengguna narkotika” digunakan untuk memudahkan dalam penyebutan bagi orang yang menggunakan narkotika dan untuk membedakan dengan penanam, produsen, penyalur, kurir, dan pengedar narkotika. Walaupun penanam, produsen, penyalur, kurir, dan pengedar narkotika juga menggunakan narkotika, namun yang dimaksud dengan pengguna narkotika adalah orang yang menggunakan narkotika bukan penanam, produsen, penyalur, kurir dan pengedar narkotika. 61 Jika dikaitkan dengan orang yang menggunakan narkotika, dalam Undang- Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dapat ditemukan berbagai istilah antara lain: 1. Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang menyebutkan bahwa “Pecandu narkotika adalah orang yang menggunakan atau menyalahgunakan narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada narkotika, baik secara fisik maupun psikis”. 2. Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang menyebutkan bahwa: “Penyalah guna adalah orang yang menggunakan narkotika tanpa hak atau melawan hukum”. 61 http:www.slideshare.netadeblondekedudukan-hukum-pengguna-narkotiska-dalam-uu-ri-no-35- thn-2009 diakses tanggal 21 Oktober 2014. 41 3. Penjelasan Pasal 54 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang dimaksud dengan korban penyalahgunaan narkotika adalah seseorang yang tidak sengaja menggunakan narkotika karena dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa, danatau diancam untuk menggunakan narkotika. 4. Penjelasan Pasal 58 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang dimaksud dengan mantan pecandu narkotika adalah orang yang telah sembuh dari ketergantungan terhadap narkotika secara fisik dan psikis. Keberagaman istilah untuk pengguna narkotika tersebut berpotensi membingungkan dan dapat menimbulkan ketidakjelasan baik dalam merumuskan berbagai ketentuan didalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika maupun pada pelaksanaannya. Salah satu permasalahan akibat banyaknya istilah adalah kerancuan pengaturan, yaitu didalam Pasal 4 huruf d Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyatakan bahwa “Undang-Undang tentang Narkotika bertujuan: menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi penyalah guna dan pecandu narkotika”, namun, dalam Pasal 54 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyebutkan bahwa “Pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial”. Berdasarkan Pasal 54 hak penyalah guna untuk mendapat rehabilitasi menjadi diabaikan. Penyalah guna yang pada awalnya mendapatkan jaminan rehabilitasi namun dengan memandang asas legalitas yang diterapkan di Indonesia, maka dalam pelaksanaannya penyalahguna narkotika harus menghadapi resiko ancaman pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 127 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang menyatakan bahwa: 1 Setiap Penyalah Guna: 42 a. Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 empat tahun; b. Narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 dua tahun; dan c. Narkotika Golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 satu tahun. 2 Dalam memutus perkara sebagaimana dimaksud pada ayat 1, hakim wajib memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, Pasal 55, dan Pasal 103. 3 Dalam hal penyalah guna sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan narkotika, penyalah guna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Namun, hakim juga diberikan kemungkinan untuk tidak menjatuhkan pidana penjara karena dalam pasal-pasal yang berkaitan dengan Pasal 127 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika terdapat pula penjatuhan sanksi tindakan rehabilitasi oleh hakim. Pasal yang dimaksud, yaitu Pasal 54 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang menyatakan bahwa, Pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial” dan Pasal 55 Undang- Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang berbunyi: 1 Orang tua atau wali dari pecandu narkotika yang belum cukup umur wajib melaporkan kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, danatau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan danatau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. 43 2 Pecandu narkotika yang sudah cukup umur wajib melaporkan diri atau dilaporkan oleh keluarganya kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, danatau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan danatau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. 3 Ketentuan mengenai pelaksanaan wajib lapor sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 diatur dengan Peraturan Pemerintah. Selanjutnya, Pasal 103 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang menyatakan bahwa: 1 Hakim yang memeriksa perkara pecandu narkotika dapat: a. Memutus untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan danatau perawatan melalui rehabilitasi jika pecandu narkotika tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika;atau b. Menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan danatau perawatan melalui rehabilitasi jika pecandu narkotika tersebut tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika. 2 Masa menjalani pengobatan danatau perawatan bagi pecandu narkotika sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf a diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman.

3.2 Kriteria Pengguna