PENGARUH ASIDULASI BATUAN FOSFAT DENGAN LIMBAH CAIR INDUSTRI TAPIOKA DAN PELARUT ASAM SERTA LAMA INKUBASI TERHADAP FOSFATLARUT

(1)

ABSTRAK

PENGARUH ASIDULASI BATUAN FOSFAT DENGAN LIMBAH CAIR INDUSTRI TAPIOKA DAN PELARUT ASAM SERTA LAMA

INKUBASI TERHADAP FOSFAT-LARUT Oleh

Cahaya Wahyuni

Proses industri pembuatan pupuk superfosfat dari batuan fosfat pada umumnya melalui proses asidulasi, yaitu melibatkan senyawa asam kuat untuk melarutkan fosfat yang terikat kuat pada batuan fosfat. Proses ini berbiaya tinggi karena penggunaan asam kuat tersebut, sehingga harga pupuk superfosfat ini menjadi mahal. Perlu dicari alternatif pelarut yang murah, antara lain memanfaatkan potensi keasaman limbah cair tapioka untuk asidulasi batuan fosfat. Limbah cair tapioka mempunyai kandungan senyawa organik tinggi dan bersifat masam, meskipun tergolong asam lemah. Potensi limbah cair tapioka diharapkan akan sama dengan pelarut asam pada umumnya yang digunakan sebagai pelarut batuan fosfat. Pelarutan P dari batuan fosfat yang diasidulasi dengan limbah cair industri tapioka tidak berbeda dengan hasil asidulasi dengan pelarut asam lemah, tetapi lebih rendah daripada pelarut yang lebih kuat. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi potensi limbah cair tapioka untuk melarutkan P dari batuan fosfat dari dua lokasi berbeda dengan kandungan P205 dibandingkan dengan pelarut asam konvensional. Hasil penelitian ini akan digunakan sebagai dasar untuk merekayasa industri pupuk P dari batuan fosfat lokal dengan pelarut berupa limbah cair tapioka dengan biaya produksi yang diharahapkan lebih murah.

Penelitian disusun secara faktorial 4 x 2 dalam Rancangan Acak kelompok (RAK) dan 3 ulangan (kelompok). Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Jurusan Ilmu Tanah Universitas Lampung dan Politeknik Negeri Lampung, dari bulan September sampai dengan Desember 2011. Pengamatan dilakukan sebanyak 4 kali yaitu pada 1 hari, 30 hari, 60 hari, dan 90 hari setelah inkubasi (perendaman). Dianalisis dengan analisis ragam pada taraf nyata 5% dan perbedaan nilai tengah perlakuan diuji dengan uji Beda Nyata Terkecil (BNT) pada taraf nyata 5% terhadap variabel utama P-larut. Variabel utama (P-larut) dikorelasikan dengan variabel pendukung (pH, dan P-total).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelarut limbah cair tapioka dapat melarutkan P dari batuan fosfat tetapi potensinya lebih rendah daripada pelarut asam konvensional. Batuan fosfat Selagai Lingga (P205 tinggi) menghasilkan P-larut lebih tinggi daripada batuan fosfat Sukabumi (P205 rendah) pada semua jenis


(2)

pelarut. Batuan fosfat asal Selagai lingga dengan pelarut asam sulfat menghasilkan kelarutan P tertinggi pada lama inkubasi 30 hari dengan nilai 14,70%, sedangkan pelarut limbah cair tapioka dengan batuan fosfat Selagai Lingga menghasilkan kelarutan P dengan nilai 8,19 %. Kelarutan P yang dihasilkan asam sulfat dan limbah cair tapioka belum memenuhi standar

persyaratan pupuk fosfat mutu (SNI), tetapi memenuhi syarat sebagai pupuk fosfat alam baik mutu B dan C.

Kata Kunci : Batuan fosfat alam, Limbah cair industry tapioka, Pelarut asam, Pupuk P, P-larut.


(3)

PENGARUH ASIDULASI BATUAN FOSFAT DENGAN

LIMBAH CAIR INDUSTRI TAPIOKA DAN PELARUT

ASAM SERTA LAMA INKUBASI TERHADAP

FOSFAT-LARUT

(Skripsi)

Oleh

CAHAYA WAHYUNI

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2012


(4)

PENGARUH ASIDULASI BATUAN FOSFAT DENGAN LIMBAH CAIR INDUSTRI TAPIOKA DAN PELARUT ASAM SERTA LAMA

INKUBASI TERHADAP FOSFAT-LARUT

Oleh Cahaya Wahyuni

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar SARJANA PERTANIAN

Pada

Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Lampung

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG

2012


(5)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Tata letak percobaan... 22

2. Dinamika perkembangan P-larut selama masa inkubasi asidulasi batuan fosfat dengan limbah cair tapioka dan pelarut asam selama 90 hari inkubasi………. 27

3. Dinamika perubahan pH pada asidulasi batuan fosfat dengan limbah cair tapioka dan asam konvensional dari batuan fosfat selama 90 hari inkubasi………. 28

4. Korelasi antara P-larut dengan P-total pada hari ke-1……… 71

5. Korelasi antara P-larut dengan pH pada hari ke-1………….. 72

6. Korelasi antara P-larut dengan P-total pada hari ke-30…….. 73

7. Korelasi antara P-larut dengan pH pada hari ke-30………… 74

8. Korelasi antara P-larut dengan P-total pada hari ke-60…….. 75

9. Korelasi antara P-larut dengan pH pada hari ke-60………… 76

10.Korelasi antara P-larut dengan P-total pada hari ke-90…….. 77


(6)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR ... ix

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan Penelitian ... 3

1.4 Kerangka Pemikiran ... 4

1.5 Hipotesis ... 5

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Unsur Hara P ... 6

2.1.1 Ketersediaan Hara P dalam Tanah ... 6

2.1.2 Peran Unsur Hara P bagi Tanaman...……….. 7

2.2 Pupuk P ... 9

2.2.1 Kebutuhan Pupuk P ... 9

2.2.2 Jenis Pupuk P dan Pembuatannya... 10

a. Enkel Superfosfat (ESP)... 12

b. Double Superfosfat (DSP)... 13

c. Triple Superfosfat (TSP)... 14

2.3 Limbah Cair Industri Tapioka ... 15

2.3.1 Sifat Umum Limbah Cair Tapioka... ... 15

2.3.2 Permasalahan dan Penanganan Limbah Cair Industri Tapioka... 17

2.4 Potensi Pelarutan P dari Batuan Fosfat dengan Limbah Cair Tapioka ... 18

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 20

3.2 Alat dan Bahan ... 20

3.3Metode Penelitian... 21

3.4 Pelaksanaan Penelitian ... 23


(7)

3.4.2 Perendaman Batuan Fosfat dari Pelarut ... 24

3.4.3 Pengambilan Sampel dan Analisis ... 25

3.5 Pengamatan ... 25

3.5.1 Variabel Utama ... 25

3.5.2 Variabel Pendukung ... 25

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1Hasil ... 26

4.1.1 Pengaruh Asidulasi Batuan Fosfat dengan Limbah Cair Tapioka dan Pelarut Asam terhadap P-Larut…..…… 26

4.1.2 Pengaruh Interaksi Asidulai Batuan Fosfat dengan Limbah Cair Tapioka dan Pelarut Asam terhadap P-Larut... 29

4.1.3 Korelasi antara P-larut dengan P-total dan P-larut dengan pH ... 34

4.2 Pembahasan ... 34

V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 40

5.2 Saran ... 41

DAFTAR PUSTAKA ... 42


(8)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua : Prof. Dr. Ir. Sutopo G. Nugroho, M.Sc.

Sekretaris : Prof. Dr. Ir. Ainin Niswati, M. S., M.Agr.Sc.

Penguji Bukan

Pembimbing : Prof. Dr. Ir. Dermiyati, M.Agr.Sc.

2. Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. Wan Abbas Zakaria, M.S. NIP 196108261987021001


(9)

Judul : PENGARUH ASIDULASI BATUAN FOSFAT DENGAN LIMBAH CAIR INDUSTRI

TAPIOKA DAN PELARUT ASAM SERTA LAMA INKUBASI TERHADAP FOSFAT-LARUT

Nama : Cahaya Wahyuni

Nomor Pokok Mahasiswa : 0714031003 Program Studi : Agroteknologi

Fakultas : Pertanian

MENYETUJUI

1. Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Sutopo G. Nugroho, M.Sc. Prof. Dr. Ir. Ainin Niswati, M. Sc. NIP 195010291977101001 NIP 196305091987032001

2. Ketua Program Studi Agroteknologi

Dr. Ir. Kuswanta F. Hidayat, M.P. NIP 196411181989021002


(10)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Sumatera Utara, tepatnya di Desa/Kelurahan Tanobato, Kecamatan Padangsidimpuan Utara, pada tanggal 19 November 1988, sebagai anak keempat dari empat bersaudara dari Bapak Sutanto Harahap dan Ibu Herawati Siregar. Pendidikan Taman Kanak-Kanak (TK) NU Nurul Ilmi, Siborang, Padangsidimpuan, Sumatera Utara diselesaikan pada tahun 1995, Sekolah Dasar (SD) diselesaikan di SDN 26 Padangsidimpuan, Sumatera Utara pada tahun 2001. Sekolah Menengah Pertama (SMP) di SMPN 01

Padangsidimpuan,Sumatera Utara diselesaikan pada tahun 2004, dan Sekolah Menengah Atas (SMA) di SMAN 01 Padangsidimpuan, Sumatera Utara diselesaikan pada tahun 2007.

Pada tahun 2007, Penulis terdaftar sebagai mahasiswa Jurusan Ilmu Tanah yang kemudian berubah menjadi Agroteknologi Universitas Lampung diterima melalui jalur Penerimaan Kemampuan Akademik dan Bakat (PKAB). Selama menjadi mahasiswa penulis pernah menjadi asisten dosen praktikum Dasar-Dasar Budidaya Tanaman (DDBT) pada semester genap tahun akademik 2010/ 2011. Pada bulan Juli tahun 2010 Penulis melakukan kegiatan Praktik Umum di PT.Gunung Madu Plantations (GMP), Km. 90 Gunung Batin, Lampung Tengah.


(11)

Disamping mengikuti kegiatan akademik, penulis juga aktif dalam kegiatan organisasi kemahasiswaan. Diantaranya yaitu sebagai anggota di jurusan (Gamatala dan Perma AET), Formahisa (Forum Mahasiswa Islam Sumatera Utara) Cabang Bandarlampung sebagai Bendahara Umum tahun 2009/2010, Himatapsel (Himpunan Mahasiswa Tapanuli Selatan) Cabang Bandarlampung sebagai Wakil Sekretaris Umum tahun 2008.


(12)

SANWACANA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan perkuliahan, penelitian dan penulisan skripsi. Skripsi ini berjudul “Pengaruh Asidulasi Batuan Fosfat Dengan Limbah Cair Industri Tapioka dan Pelarut Asam Serta Lama Inkubasi terhadap Fosfat-Larut. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat dalam mencapai gelar Sarjana Pertanian di Fakultas Pertanian Unila.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Sutopo G. Nugroho, M.Sc. selaku pembimbing pertama yang telah memberikan bimbingan dan bantuan selama penelitian dan penyusunan skripsi.

2. Prof. Dr. Ir. Ainin Niswati, M. S., M.Agr.Sc. selaku pembimbing kedua yang telah memberikan bimbingan dan bantuannya.

3. Ibu Prof. Dr. Ir. Dermiyati, M.Agr.Sc. selaku penguji atas kritik dan sarannya untuk perbaikan skripsi ini.

4. Dr. Ir. Mamat Anwar Pulung, M. Sc. selaku pembimbing akademik penulis selama menjadi mahasiswa di Fakultas Pertanian.

5. Bapak Prof. Dr. Ir. Wan Abbas Zakaria, M.S. selaku Dekan Fakultas Pertanian.


(13)

6. Seluruh Dosen Unila khususnya dosen program studi Agroteknologi Pertanian dan seluruh staf karyawan civitas akademika Unila, atas semua bantuan yang telah diberikan kepada penulis.

7. Keluarga tercinta : Bapak, Umak ku haholongan ni roha, Kak Lela, Kak Tanti, Abang Roni, dan Keluarga Besar Harahap atas kasih sayang, nasehat, dan dorongan semangat yang senantiasa diberikan, serta kepercayaan kepada penulis atas tanggung jawab yang selama ini diemban.

8. Sahabat-sahabat terbaikku dan orang-orang terdekat ku yang telah menemani susah, senang, dan mendukung setiap langkah ku: Dian H. Srg., Uni Liska, mba Woro, Lionk, Pryadi, Mba Pipit, Yulis, bang jaka, mba novi dan Imam. Dohot dongan saparmayaman dihuta : Evi, Rita, Nina, Ani, dohot Nerli tarimokasih madung jadi sahabat sejati mulai sian menek.

9. Teman-teman Agroteknologi 2007 khususnya minat Ilmu Tanah Liska, Woro, Lionk, Ria, Pipit, Metha, Priyadi, Yogi, Novi, Seby, Yulis, Tata, Fera, Dian, Ida, Bebe, Enny, Sovie, Nay, Mira , Tomy, Jaka, Tofik, Solihin, Hasbullah, Imam, Vero, Yuanita, Widia, Wiwi dan yang lain yang tidak bisa di sebutkan satu persatu terimakasih doanya.

10. Teman-teman satu tim penelitian : mba Woro, Fera, dan Sovi (terima kasih atas dukungan dan bantuannnya).

11. Kakak-kakak dan Adik-adik tingkatku semua tanpa terkecuali, yang telah mendukungku sejauh ini terima kasih .

12. Kakak, Adik, dan teman-teman satu kosan : Mba Aulia, Mba Ety, Aulia Key, Fatimah de lheite, Upie Kia, Ovy, Sri, Nia, Mba Wuri, Mba Shinta, serta ibu


(14)

kost terima kasih atas kebersaman kalian dan perhatian kalian kepada saya yang setia menemani di kostn.

13. Keluarga kedua di Lampung : Bapak Arifin, Ibu Arifin, Mas Aris, dan Afis terima kasih telah membimbing saya hingga tidak pernah berputus asa selama merantau hingga menyelesaikan perkuliahaan ini.

Akhir kata penulis berharap semoga Skripsi ini dapat menjadi suatu karya yang bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca umumnya.

Bandar Lampung, Juli 2012 Cahaya Wahyuni


(15)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perkembangan pertanian di Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. Selain berbagai ancaman akibat bencana alam dan perubahan iklim, pertanian juga terancam oleh kerusakan tanah akibat penggunaan pupuk kimia yang intensif. Disamping itu kerusakan lingkungan pertanian secara umum juga terjadi karena pencemaraan oleh limbah agroindustri. Oleh karena itu perlu dicari solusi mendayagunakan potensi limbah agroindustri tersebut yang umumnya berupa limbah organik contohnya seperti limbah cair tapioka. Melalui teknologi

sederhana, potensi limbah limbah cair tapioka dimanfaatkan sebagai pelarut dalam pembuatan pupuk P dari batuan fosfat alam (Retnaningtyas, 2004).

Proses pengolahan singkong menjadi tepung tapioka akan menghasilkan limbah 2/3 sampai 3/4 dari bahan mentahnya (Amri, 1998). Limbah industri tepung tapioka terdiri atas limbah padat yang biasa disebut onggok dan limbah cair. Limbah cair tapioka mengandung karbohidrat, protein, dan bersifat asam, serta mengandung bahan organik yang cukup tinggi. Kualitas limbah cair adalah sebagai berikut BOD: 3000-7500 mg L-1, COD: 7000-30000 mg L-1, pH: 4.0-6.5, dan padatan tersuspensi: 1500-5000 mg L-1 (BPPI, 1983).


(16)

2

Fosfor (P) adalah salah satu unsur hara utama yang bersama dengan nitrogen (N) dan potassium (kalium/K) sangat penting bagi pertumbuhan tanaman, terutama dalam pembentukan protein, akar, mempercepat kematangan biji, meningkatkan produk biji-bijian, dan umbi-umbian, serta memperkuat tubuh tanaman. Oleh karena itu kekurangan fosfor mengakibatkan tanaman menjadi kerdil, akar sangat sedikit, daun menguning sebelum waktunya dan secara keseluruhan pertumbuhan akan terhambat. P sering terbatas keberadaannya di dalam tanah, oleh karena itu perlu ditambahkan melalui pupuk P. Konsumsi pupuk fosfat untuk pertanian di Indonesia cukup tinggi, yaitu sebesar 8,25 juta ton pada tahun 2010. Kebutuhan pupuk fosfat yang cukup tinggi tersebut dipenuhi oleh PT Petrokimia Gresik yang memroduksi pupuk fosfat SP-36 dan beberapa industri pupuk fosfat skala kecil yang memproduksi pupuk fosfat alam (Husein dkk., 1998).

Batuan fosfat merupakan sumber utama pembuatan pupuk P-industri. Proses industri pembuatan pupuk superfosfat dari batuan fosfat pada umumnya melalui proses asidulasi, yaitu melibatkan senyawa asam (asam fosfat, sulfat, atau asam nitrat) untuk melarutkan fosfat yang terikat kuat pada batuan fosfat (Soelaeman, 2008). Namun demikian, proses ini berbiaya tinggi, karena penggunaan asam-asam kuat tersebut, dan bahan baku batuan fosfat yang diimpor, sehingga harga pupuk superfosfat ini menjadi mahal.

Potensi keasaman limbah cair tapioka dapat dimanfaatkan untuk asidulasi batuan fosfat dari sumber lokal. Diharapkan pelarutan P dari batuan fosfat dengan menggunakan limbah cair tapioka tersebut tidak berbeda dengan pelarut asam kuat konvensional. Dengan demikian limbah cair tapioka dapat dimanfaatkan


(17)

3

untuk pembuatan pupuk P seperti halnya pupuk P-industri dengan biaya yang lebih murah dan mengurangi dampak pencemaran terhadap lingkungan.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut

1. Seberapa besar perbedaan P-larut yang dihasilkan oleh proses asidulasi batuan fosfat dengan limbah cair tapioka dibandingkan dengan pelarut asam konvensional?

2. Bagaimanakah perbandingan banyaknya P-larut dari batuan fosfat dengan kandungan P2O5 yang berbeda?

3. Bagaimanakah interaksi antara jenis batuan fosfat, jenis pelarut asam, dan lama inkubasi (perendaman) terhadap pelarutan P dari batuan fosfat?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini, adalah:

1. Membandingkan pelarutan P dari beberapa jenis batuan fosfat dari lokasi berbeda dengan kandungan P205 berbeda yang diasidulasi dengan limbah cair industri tapioka dan pelarut asam konvensional.

2. Menggunakan hasil penelitian ini sebagai dasar untuk merekayasa industri pupuk P dari batuan fosfat lokal dengan pelarut berupa limbah cair tapioka (limbah cair agroindustri) dengan biaya produksi yang diharahapkan lebih murah.


(18)

4

1.4 Kerangka Pemikiran

Proses industri pembuatan pupuk superfosfat dari batuan fosfat pada umumnya melalui proses asidulasi, yaitu melibatkan senyawa asam kuat (asam fosfat, sulfat atau asam nitrat) untuk melarutkan P yang terikat kuat pada batuan fosfat. Kekuatan ion H+ akan melepaskan P dari batuan fosfat ditentukan oleh konsentrasi H+ dan lama inkubasi (Soelaeman, 2008).

Proses pelarutan P dari batuan fosfat dengan pengasaman (asidulasi) meningkat sejalan dengan lama inkubasi (perendaman), dan mencapai maksimum ketika kesetimbangan reaksi pelarutan Ca3(PO4)2 tercapai. Kesetimbangan reaksi tercapai jika konsentrasi Ca3(PO4)2 telah sama dengan konsentrasi Ca ditambah dengan konsentrasi P-larut. Reaktivitas batuan fosfat dalam pelepasan P dipengaruhi oleh kadar P-total, karbonat bebas dalam batuan, dan besar butiran batuan fosfat.

Batuan fosfat lebih mudah larut dengan kadar P2O5 tinggi dalam lingkungan yang

memiliki pH rendah (masam), sebaliknya terjadi pada batuan fosfat dengan kadar P2O5 rendah dalam lingkungan pH tinggi, kelarutan lebih rendah (Hartati, 2007).

Potensi keasaman limbah cair tapioka bersumber dari senyawa organik yang terkandung didalamnya mengalami dekomposisi (Sugiharto, 1987). Keasaman limbah cair tapioka tergolong reaksi lemah. Reaksi pelarutan fosfat dari batuan fosfat dengan limbah cair tapioka diduga sebagai berikut:

Ca3(PO4)2 + H+ H2PO4- + Ca2+ HPO4

2-Batuan fosfat sifat asam limbah alam cair tapioka P-larut


(19)

5

1.5 Hipotesis

Hipotesis yang dapat diajukan pada penelitian ini adalah:

1. Semakin lama inkubasi (perendaman) dalam proses asidulasi batuan fosfat, semakin banyak P yang terlarut sampai dengan batas maksimum setelah reaksi kesetimbangan pelarutan batuan fosfat tercapai.

2. Pelarutan P dari batuan fosfat yang diasidulasi dengan limbah cair industri tapioka tidak berbeda dengan hasil asidulasi dengan pelarut asam lemah, tetapi lebih rendah daripada pelarut yang lebih kuat.

3. Pelarutan P dari batuan fosfat dengan kadar P2O5 tinggi lebih tinggi dibandingkan dengan batuan fosfat dengan kadar P2O5 rendah.

4. Terdapat interaksi antara jenis batuan fosfat, jenis pelarut asam, dan lama inkubasi (perendaman) terhadap pelarutan P dari batuan fosfat.


(20)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1Unsur Hara P

2.1.1Ketersediaan Unsur Hara P dalam Tanah

Di dalam tanah P terdapat dalam berbagai bentuk persenyawaan yang sebagian besar tidak tersedia bagi tanaman. Sebagian besar pupuk yang diberikan ke dalam tanah, tidak dapat digunakan tanaman karena bereaksi dengan bahan tanah

lainnya, sehingga nilai efisiensi pemupukan P pada umumnya rendah hingga sangat rendah (Winarso, 2005). Hasil penelitian Ismael (1995) menunjukkan bahwa efisiensi pupuk P oleh tanaman kedelai pada tanah Ultisol hanya 3 hingga 4%. Dengan demikian upaya ekstensifikasi tanaman pangan di tanah ini

memerlukan upaya peningkatan ketersediaan P. Pemakaian bahan-bahan yang mampu memacu perkembangan perakaran tanaman diperlukan agar tanaman lebih mampu bertahan pada kondisi miskin P tersedia. Penggunaan asam humat sebagai bahan pemacu pertumbuhan akar tanaman telah mulai dikembangkan Asam humat mengandung nitrogen dalam bentuk poliamina pada rantai alifatisnya. Fosfor juga tidak kalah pentingnya dalam pertumbuhan tanaman seperti halnya Nitrogen dan Kalium walaupun diabsorpsinya dalam jumlah yang lebih kecil dari kedua unsur tersebut. Sumber utama P larutan tanah, disamping dari pelapukan bebatuan/bahan induk juga berasal dari mineralisasi P organik hasil dekomposisi


(21)

7

sisa-sisa tanaman yang mengimmobilisasikan P dari larutan tanah dan hewan (Rosmarkam dan Yuwono, 2002). Faktor-faktor yang mempengaruhi ketersediaan fosfor dalam tanah menurut Winarso (2005) adalah :

a. Tipe liat

Fiksasi P akan lebih kuat pada liat tipe 1: 1 daripada tipe 2 : 1. Tipe liat 1 : 1 yang banyak mengandung kaolinit lebih kuat mengikat P. Disamping itu oksida hidrous dari Al dan Fe pada tipe liat 1 : 1 juga ikut menjerap P.

b. Reaksi tanah

Ketersediaan dan bentuk-bentuk P di dalam tanah sangat erat hubungannnya dengan kemasaman (pH) tanah. Pada kebanyakan tanah ketersediaan P maksimum dijumpai pada kisaran pH antara 5,5 – 7. Ketersediaan P akan menurun bila pH tanah lebih rendah dari 5,5 atau lebih tinggi dari 7. Adsorpsi P dalam larutan tanah oleh Fe dan Al oksida dapat menurun apabila pH meningkat. Apabila kemasaman makin rendah (pH makin tinggi) ketersediaan P juga akan berkurang oleh fiksasi Ca dan Mg yang banyak pada tanah- tanah alkalin. P sangat rentan untuk diikat baik pada kondisi masam maupun alkalin. Semakin lama antara P dan tanah bersentuhan, semakin banyak P terfiksasi. Dengan waktu Al akan diganti oleh Fe, sehingga kemungkinan akan terjadi bentuk Fe –P yang lebih sukar larut jika dibandingkan dengan Al –P. 2.1.2 Peran Unsur Hara P bagi Tanaman

Fosfor (P) merupakan unsur hara yang diperlukan dalam jumlah besar (hara makro). Jumlah fosfor dalam tanaman lebih kecil dibandingkan dengan nitrogen dan kalium. Tetapi fosfor dianggap sebagai kunci kehidupan (key of life). Unsur


(22)

8

fosfor di tanah berasal dari bahan organik, pupuk buatan dan mineral-mineral di dalam tanah (apatit).

Tanaman menyerap fosfor dalam bentuk ion ortofosfat (H2PO4-) dan ion ortofosfat sekunder (HPO4-). Menurut Tisdale (1985) dalam Rosmarkam dan Yuwono (2002) unsur P masih dapat diserap dalam bentuk lain, yaitu bentuk pirofosfat dan metafosfat, bahkan menurut Thomson (1982) dalam Rosmarkam dan Yuwono (2002) bahwa kemungkinan unsur P diserap dalam bentuk senyawa oraganik yang larut dalam air, misalnya asam nukleat dan phitin. Fosfor yang diserap tanaman dalam bentuk ion anorganik cepat berubah menjadi senyawa fosfor organik. Fosfor ini mobil atau mudah bergerak antar jaringan tanaman. Kadar optimal fosfor dalam tanaman pada saat pertumbuhan vegetatif adalah 0.3% - 0.5% dari berat kering tanaman.

Peran fosfor bagi tanaman untuk pembelahan sel, pembentukan albumin, pembentukan bunga, buah dan biji. Selain itu fosfor juga berfungsi untuk mempercepat pematangan buah, memperkuat batang, untuk perkembangan akar, memperbaiki kualitas tanaman, metabolisme karbohidrat, membentuk

nucleoprotein (sebagai penyusun RNA dan DNA) dan menyimpan serta memindahkan energi seperti ATP. Unsur Fosfor juga berfungsi untuk meningkatkan ketahanan tanaman terhadap penyakit.


(23)

9

2.2 Pupuk P

2.2.1 Kebutuhan Pupuk P

Kebutuhan pupuk P yang terus meningkat seiring dengan peningkatan produksi pertanian. Asosiasi Produsen Pupuk Indonesia (APPI) menyatakan bahwa,

produksi pupuk P diproyeksikan mencapai 580.000 ton pada 2011. Dalam rangka mendukung rencana swasembada pangan pada tahun 2015, pemerintah akan melakukan peningkatan produksi pupuk P melalui program revitalisasi industri pupuk yang akan dianggaran sebesar Rp 49,01 triliun. Masalah utama berkaitan dengan memproduksi pupuk P-industri (seperti SP-36 dan NPK), adalah biaya bahan baku batuan fosfat yang diimpor dan harga gas. Sebaliknya, harga jual pupuk sudah ditetapkan oleh pemerintah melalui harga eceran tertinggi (HET) (SK Menteri Pertanian No. 107/Kepts/SR. 130/2/2004), yaitu sebesar Rp 1.050/kg atau sekitar US$100 per ton, sementara harga gas terus meningkat seiring

meningkatnya harga minyak bumi (Balittanah, 2011).

Tanaman membutuhkan fosfor untuk pertumbuhan, pemanfaatan gula dan pati, pembentukan fotosintesis, inti dan pembelahan sel, pembentukan lemak dan albumen. Senyawa fosfat terlibat dalam transfer dan penyimpanan energi di dalam tanaman. Energi dari fotosintesis dan metabolisme karbohidrat disimpan dalam senyawa fosfat untuk digunakan dalam pertumbuhan dan reproduksi.


(24)

10

Selain dari pupuk P-industri, kebutuhan pupuk P dapat dipasok dari batuan fosfat alam (BFA). Pupuk BFA dapat diaplikasikan langsung ke tanah, tetapi pelarutan dari P lambat. Kelarutan P meningkat jika diaplikasikan pada tanah masam. Reaksi batuan fosfat yang dipalikasikan secara langsung pada tanah masam: Tanah asam

Ca3(PO4)2 Ca2+ + H2PO4-1 / HPO4-2 H+

Proses ini berlangsung lambat.

Penggunaan pupuk BFA yang diberikan secara langsung sebagai pupuk fosfat merupakan salah satu cara untuk mengatasi mahalnya harga pupuk dan rendahnya efisiensi pemupukan menggunakan pupuk superfosfat (Adiningsih dkk, 1998). Namun demikian, sifat batuan fosfat yang sukar terlarut dalam air menyebabkan laju pelarutannya tidak berimbang dengan kebutuhan fosfat tanaman (Matunubun dkk., 1988).

2.2.2 Jenis Pupuk P dan Pembuatannya

Proses industri pembuatan pupuk superfosfat dari batuan fosfat pada umumnya melalui proses asidulasi, yaitu melibatkan senyawa asam (asam fosfat, sulfat atau asam nitrat) untuk melarutkan fosfat yang terikat kuat pada batuan fosfat

(Soelaeman, 2008). Proses ini berbiaya tinggi sehingga harga pupuk superfosfat ini menjadi mahal.


(25)

11

Batuan fosfat dengan proses asidulasi akan menghasilkan pupuk superfosfat. Proses

Asidulasi

Ca3(PO4)2 Ca 2+ H2PO4-1 HPO4-2 Pupuk Industri Superfosfat Reaksi ini berlangsung cepat.

Selanjutnya pupuk superfosfat bereaksi dalam tanah dapat dilihat dengan reaksi berikut:

Ca 2+ H2PO4-1 Dalam Tanah

HPO4

-2 H2PO4-1 +

H2O HPO4-2

Pupuk Superfosfat P tersedia dalam tanah bagi tanaman

Batuan fosfat umumnya terdapat dalam bentuk kalsium fosfat [Ca3(PO4)2] atau bentuk fluorapatit [3Ca3(PO4)2. CaF2], senyawa-senyawa ini umumnya lambat ketersediaannya (Sutejo, 1999). Kelarutan batuan fosfat dapat dipercepat dengan mengaplikasikannya pada tanah masam dan diaplikasikan dengan bahan organik, karena pengaruh positif dari batuan fosfat yang dikombinasikan dengan bahan organik tersebut dapat menyumbangkan ion H- dan mengelat Ca2+ pada tanah (Ardjasa, 1993, dalam Afrizal, 2007). (Menurut Widowati 2006, dalam Gintin, 2004), ketersediaan hara P di dalam tanah sangat dipengaruhi oleh jasad renik pelarut fosfat, untuk itu semakin banyak bahan organik yang dicampurkan dengan batuan fosfat, maka semakin menunjang lebih cepat terjadinya proses pelepasan hara P dari batuan fosfat.


(26)

12

Pupuk industri fosfat (P) dalam pupuk dinyatakan dalam bentuk oksidanya yaitu P2O5. Pupuk TSP mengandung P sebesar 44% P2O5. Untuk mengetahui kadar P (bukan P2O5) maka harus dikalikan dengan suatu bilangan konversi:

Prosentase P = 0.43 x prosentase P2O5 Prosentase P2O5 = 2.29 x prosentase P

Angka 0.43 berasal dari berat molekul P2O5 dibagi berat 2P. Berat atom P=31 dan O=16, sehingga 144:62 = 2.29 atau sebaliknya 62:144 = 0.43. Kadar yang

ditunjukkan umumnya P yang larut dalam asam sitrat 2%; jadi bukan P yang larut air (Sediyarso, 1998). Jenis pupuk fosfor adalah sebagai berikut:

a. Enkel Superfosfat (ESP)

Sejak zaman Belanda ES sudah populer digunakan sebagai pupuk P. Sering disebut single superphosphate. Pupuk ini dibuat dengan menggunakan bahan baku batuan fosfat (apatit) dan diasamkan dengan asam sulfat untuk mengubah P yang tidak tersedia menjadi tersedia untuk tanaman. Reaksi singkat pembuatan ESP: Ca3(PO4)2 CaF + 7H2SO4 → 3Ca(H2PO4) + 7CaSO4 + 2HF

Disamping mengandung dihodrofosfat juga mengandung gipsum. Kadar P2O5 = 18-24%, kapur (CaO) = 24-28% . Bentuk pupuk ini berupa tepung berwarna putih kelabu. Sedikit larut dalam air reaksi, fisiologis netral atau agak masam. Syarat yang harus dipenuhi kadar (F2O3 + Al2O3) kurang dari 3%. Apabila terlalu banyak mengandung kedua oksida tersebut yang bersifat meracun tanaman, kedua oksida juga dapat bereaksi dengan fosfat menjadi tidak tersedia bagi tanaman (terjadi fiksasi P oleh Fe dan Al). Dalam penyimpanan sering mengalami kerusakan fisik tetapi tidak mengalami perubahan khimianya. Dalam pemakaiannya dianjurkan sebagai pupuk dasar yaitu pemupukan sebelum ada tanaman agar pada saat


(27)

13

tanaman mulai tumbuh P sudah dapat diserap oleh akar tanaman. Pupuk ES masih mengandung gips (CaSO4) cukup tinggi dan untuk beberbagai jenis tanah sering menyebabkan struktur tanah menjadi menggumpal seperti padas dan kedap terhadap air. Hal ini yang sering dianggap sifat merugikan dari pupuk ES (Hakim dkk., 1986).

b. Double Superfosfat (DSP)

Berbeda dengan ES, pupuk ini dianggap tidak mengandung gipsum, dalam

pembuatannya digunakan asam fosfat yang berfungsi sebagai pengasam dan untuk meningkatkan kadar P. Garis besar reaksi pembuatannya sebagai berikut:

(Ca3PO4)2CaF + 4H3PO4+ 3H20 → 3Ca(H2PO4)2 + HF

Kadar P2O5 + 38%. Pupuk ini telah lama digunakan di Indonesia baik oleh petani maupun di perkebunan besar. Sifatnya berupa tepung kasar berwarna putih kotor. Asam H3PO4 diperoleh dari: Ca3 (PO4)3CaF + 3H2SO4 → 2H3PO4 + CaSO4 + HF. Asam fosfat dipisahkan dari larutannya. Pupuk ini berwarna abu-abu coklat muda; sebagian P larut air; reaksi fisiologis: sedikit asam. Bahaya meracun sulfat relatif kecil dan sulfidanya yang berasal dari reduksi sulfat juga rendah.

Bekerjanya lambat dan kemungkinan pelindian juga rendah. Bila diberikan pada tanah yang bayak mengandung Fe3+ dan Al3+ bebas akan terjadi sematan P oleh kedua unsur tersebut. Karena lambat bekerjanya pupuk ini diberikan sebagai pupuk dasar (Hakim dkk., 1986).


(28)

14

c. Triple Superfosfat (TSP)

Rumus kimianya Ca(H2PO4). Sifat umum pupuk Tripel superfosfat (TSP) sama dengan dengan pupuk DS. Kadar P2O5 pupuk ini sekitar 44-46% walaupun secara teoritis dapat mencapai 56 %. Pembuatan pupuk TSP dengan menggunakan sistem wet proses. Dalam proses ini batuan alam (rockphosphate) fluor apatit diasamkam dengan asam fosfat hasil proses sebelumnya (seperti pembuatan pupuk DS). Reaksi dasarnya sebagai berikut:

Ca3(PO4)2CaF + H3PO4 → Ca(H2PO4)2 + Ca(OH)2 + HF (Nasih, 2006). Pupuk fosfat buatan umumnya diklasifikasikan berdasarkan atas tiga golongan, yaitu:

1. Pupuk fosfat yang larut dalam air. Pupuk ini mempunyai fraksi yang mudah larut dalam air, dimana P2O5 tersedia untuk tanaman.

2. Pupuk yang larut dalam asam sitrat. Umumnya terdiri dari dikalsium fosfat. P2O5 nya mudah tersedia bagi tanaman

3. Pupuk fosfat yang tidak larut dalam asm sitrat. Fraksi ini terutama terdiri dari bentuk trikalsium fosfat dan dianggap tidak tersedia untuk tanaman. (Hakim dkk,. 1986).


(29)

15

Berikut ini merupakan kriteria pupuk P yang digunakan dalam persyaratan kualitas pupuk fosfat di Indonesia:

Tabel 1. Persyaratan pupuk fosfat alam menurut SNI No. 02-3776 Tahun 1995.

Uraian Persyaratan

Kualitas A Kualitas B Kualitas C Kadar Unsur Hara Fosfat sebagai P2O5

a. Total (Asam Mineral) min 28 % min 24 % min 18 % b. Larut dalam Asam sitrat 2 % min 10 % min 8 % min 6 % Kadar Ca dan Mg setara CaO min 40 % min 40 % min 35 % Kadar R2O3 (Al2O3 + Fe2O3) maks 3 % maks 6 % maks 15 %

Kadar Air maks 3 % maks 3 % maks 3 %

Kehalusan

a. Lolos 80 mesh min 50 % min 50 % min 50 % b. Lolos 25 mesh min 80 % min 80 % min 80 % Tabel 2. Pupuk fosfat mutu I, menurut SII No. 0029 Tahun 1973.

No. Uraian Nilai 1. Fosfat larut dalam asam mineral P2O5 > 19 %

2. Fosfat larut dalam asam sitrat 2 % P2O5 > dari 80 % P2O5 yang larut dalam asam mineral

3. Kehalusan 80 mesh > 90 %

Sumber: http://pustaka.bogor.net/PupukFosfatAlamsebagaiPupukAlternatif.

2.3 Limbah Cair Industri Tapioka

2.3.1 Sifat Umum Limbah Cair Tapioka

Limbah cair adalah sisa dari proses usaha dan/atau kegiatan yang berwujud cair. Contohnya antara lain : Limbah dari pabrik tapioka yang banyak mengandung mengandung bahan organik yang berpotensi sebagai pencemar lingkungan apabila tidak diolah seperti menghasilkan gas CO2 dan gas metana (CH4). Sifat-sifat limbah cair industri tapioka dibedakan menjadi tiga bagian besar, yaitu :


(30)

16

a. Sifat Fisik

Penentuan derajat kekotoran air limbah tapioka sangat dipengaruhi oleh adanya sifat fisik yang mudah terlihat. Adapun sifat fisik yang penting adalah kandungan zat padat sebagai efek estetika dan kejernihan serta bau dan warna dan juga temperatur (Djatmiko, dkk., 2000). Sifat-sifat fisik yang umum diuji pada limbah cair tapioka adalah : nilai pH, suhu, warna, bau, dan rasa, jumlah padatan, nilai BOD/COD, pencemaran mikroorganisme pathogen, serta kandungan minyak. b. Sifat Kimia

Kandungan bahan kimia yang ada di dalam air limbah dapat merugikan lingkungan melalui berbagai cara. Bahan organik terlarut dapat menghabiskan oksigen dalam limbah serta akan menimbulkan rasa dan bau yang tidak sedap pada penyediaan air bersih. Selain itu, akan lebih berbahaya apabila bahan tersebut merupakan bahan yang beracun. Bahan-bahan organik yang umumnya terkandung pada limbah cair tapioka adalah karbohidrat, protein, dan lemak (Achmad, 2004).

c. Sifat Biologis.

Sifat biologi limbah dilihat dari mikroorganisme yang berada pada air limbah. Pada limbah cair yang dihasilkan dari pengelolahan air limbah tapioka terdapat bakteri-bakteri yang mungkin bahaya bila dibuang langsung ke lingkungan, karena akan mempengaruhi kesehatan pada manusia dan merusak organisme yang ada. Sifat biologi lainnya dengan adanya penguraian atau penggabungan


(31)

17

substansi biologi dengan lumpur aktif (activated sludge) pada limbah cair tapioka (Sugiharto, 1987).

2.3.2 Permasalahan dan Penanganan Limbah Cair Industri Tapioka

Perkembangan agroindustri terhadap industri tapioka yang cepat dewasa ini dan di masa yang akan datang dapat menimbulkan dampak berupa penurunan kualitas lingkungan. Kerugian terbesar akibat penurunan kualitas lingkungan ini adalah penurunan tingkat kesehatan, produktivitas, dan kebahagiaan masyarakat. Sifat mencolok limbah cair agroindustri adalah tingginya bahan organik dan bersifat biodegradable. Sifat ini mengindikasikan bahwa pengolahan secara biologi memberikan beberapa keuntungan. Proses degradasi bahan organik yang terkandung dalam limbah berlangsung lambat dan tidak sempurna, sehingga dihasilkan senyawa organik berbau tajam (Zaitun, 1999).

Untuk menangani limbah cair industri tapioka, maka limbah ditampung di dalam kolam (lagoon) kemudian pada bagian atas di tutup dengan HDPE (High Density Poly Etane). Limbah akan mengalami proses fermentasi oleh bakteri metan, dan akan menghasilkan gas metan yang akan terkumpul pada bagian atas permukaan lagoon. Gas metan memiliki tekanan yang membuat HDPE akan

menggelembung, kemudian akan di salurkan melalui pipa ke penampungan gas (reservoir). Gas metan ini yang nantinya digunakan untuk bahan bakar


(32)

18

Hanifah (1999) melaporkan bahwa limbah cair hasil industri tapioka yang

mengandung senyawa organik dan anorganik dapat dijadikan sebagai suatu bahan bakar alternatif pembangkit listrik yaitu dengan memanfaatkan gas metan hasil fermentasi dari kandungan organik limbah. Limbah cair tapioka berasal dari industri yang bahan bakunya banyak mengandung karbohidrat, sehingga jumlah rasio C/N dapat diperkirakan jumlahnya lebih dari 30. Keadaan tersebut tidak menghambat limbah cair tapioka untuk menghasilkan biogas karena dalam limbah cair tersebut banyak mengandung bakteri pengurai Hanya saja gas metana yang dihasilkan jumlahnya sedikit.

2.4 Potensi Pelarutan P dari Batuan Fosfat dengan Limbah Cair Tapioka

Batuan fosfat yang berkadar P rendah maupun tinggi menjadi sumber utama pembuatan pupuk super fosfat (TSP, SP36). Batuan fosfat secara alami dapat melepaskan ion-ion fosfat (H2PO41- , HPO42-), yang tersedia bagi tanaman tetapi umumnya sangat lambat. Pelepasan ion fosfat dipercepat jika tersedia ion H+ (suasana asam). Dalam proses industri pelepasan ion fosfat dari batuan fosfat melalui asidulasi dengan asam kuat yang berbiaya mahal, sedangkan di dalam tanah jika batuan fosfat diaplikasikan langsung hanya efektif pada tanah masam. Limbah cair tapioka akan mengalami dekomposisi secara alami di badan–badan perairan dan menimbulkan bau tidak sedap. Bau tersebut dihasilkan dari proses penguraian senyawa organik yang mengandung nitrogen, sulfur dan fosfor dari bahan berprotein. Salah satu masalah industri tapioka adalah limbah cair tapioka adalah kemasamannya yang tinggi, dengan pH 3-5. Sifat masam pada limbah


(33)

19

cair tapioka diharapkan mempunyai potensi yang sama dengan pelarut asam yang digunakan sebagai pelarut fosfat.

Tetapan kesetimbangan pelarutan fosfat dari batuan fosfat yang diasidulasi (direndam) dengan limbah cair tapioka sebagai berikut:

Ca3(PO4)2 + H+ H2PO4- + 3Ca2+ Batuan fosfat Hasil dekomposisi P-larut

alam limbah cair tapioka

Apabila pelarutan fosfat dari batuan fosfat dirancang dengan perendaman menggunakan limbah cair industri tapioka dalam waktu perendaman (asidulasi) yang memadai, maka kemungkinan pelepasan P dari batuan fosfat terjadi secara signifikan dan tidak berbeda dengan hasil asidulasi dengan pelarut asam kuat (Soelaiman, 2008).


(34)

III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan September sampai dengan Desember 2011 di Laboratorium Jurusan Ilmu Tanah Universitas Lampung dan Politeknik Negeri Lampung.

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain : ayakan 3 mm, toples 2,5 kg, timbangan, sendok pengaduk, alat tulis, dan alat - alat laboratorium lainnya yang digunakan dalam analisis di Laboratorium.

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah : Batuan fosfat, limbah cair industri tapioka, larutan asam, dan bahan - bahan kimia untuk analisis P-total (HCl 25%), P larut (asam sitrat 2%), dan pH (Metode elektrometrik). Batuan fosfat yang digunakan berasal dari pertambangan batuan fosfat di Sukabumi Jawa Barat dan asal Selagai Lingga Lampung Tengah, yang memunyai kadar P2O5 yang berbeda. Limbah cair industri tapioka diambil dari industri tapioka PT. Bumi Waras, Kekah, Lampung Tengah. Sedangkan pelarut asam yang digunakan adalah asam klorida (HCl) 1N, asam sulfat (H2SO4) 1N, dan asam asetat (CH3COOH) 1N.


(35)

21

3.3 Metode Penelitian

Penelitian ini disusun secara faktorial 4 x 2 dalam Rancangan Acak kelompok (RAK) dan 3 ulangan (kelompok).

Faktor pertama adalah jenis pelarut, yaitu R1 = limbah cair tapioka

R2 = asam klorida (HCl) 1N R3 = asam sulfat (H2SO4) 1N R4= asam asetat (CH3COOH) 1N

Faktor kedua adalah jenis batuan fosfat, yaitu: B1= Batuan fosfat Sukabumi, Jawa Barat

B2= Batuan fosfat Selagai Lingga, Lampung Tengah

Pengamatan dilakukan sebanyak 4 kali yaitu pada 1 hari, 30 hari, 60 hari, dan 90 hari setelah inkubasi (perendaman).

Pengelompokan berdasarkan keserentakan dalam analisis batuan fosfat di Laboratorium. Tata letak percobaan dapat dilihat pada Gambar 1. Data yang diperoleh diuji homogenitasnya dengan Uji Bartlett dan aditivitasnya dengan Uji Tukey pada taraf nyata 5%. Kemudian data dianalisis dengan analisis ragam pada taraf nyata 5% dan perbedaan nilai tengah perlakuan diuji dengan uji Beda Nyata Terkecil (BNT) pada taraf nyata 5% terhadap variabel utama P-larut. Kemudian dibuat korelasi antara variabel utama (P-larut) dengan variable pendukung (pH, dan P-total).


(36)

22

Kelompok I

Kelompok II

Kelompok III

Gambar 1. Tata letak percobaan. B1= Batuan fosfat Sukabumi (Jawa Barat), B2= Batuan fosfat Selagai Lingga (Lampung Tengah), R1 = limbah Cair Industri Nanas, R2 = asam asetat (CH3COOH) 1 N, R3 = asam klorida (HCl) 25%, 1 N, R4 = asam sulfat (H2SO4) 1 N

B2R1U1 B2R3U1

B2R4U1 B2R2U1

B1R2U1

B1R3U1

B1R2U1

B1R1U1

B1R2U2 B1R3U2 B1R1U2

B1R4U2

B2R4U2 B2R1U2

B2R3U2 B2R2U2

B1R4U3 B1R3U3

B1R2U3 B1R1U3

B2R3U3 B2R2U3


(37)

23

3.4 Pelaksanaan Penelitian

3.4.1 Persiapan

Menyediakan bahan berupa batuan fosfat, pelarut limbah cair industri tapioka, dan pelarut asam. Batuan fosfat dianalisis awal untuk mengetahui kadar total, P-larut, dan pH. Limbah cair industri tapioka dan pelarut asam dianalisis untuk mengetahui pH-nya. Dari hasil analisis batuan fosfat dan pelarut, didapatkan data awal seperti pada Tabel 3.

Tabel 3. Hasil analisis awal batuan fosfat alam.

Jenis Batuan Fosfat Alam P-total P-terlarut pH (%P2O5) (%P2O5)

BFA Sukabumi (Jawa Barat) 14,24 3,77 5,76 BFA Selagai Lingga 25,63 7,08 5,96 (Lampung Tengah)

Jenis Pelarut

Limbah Cair Tapioka _ _ 4,44 Asam Asetat 1N _ _ 2,30 Asam klorida 1N _ _ 0 Asam Sulfat 1N _ _ -0,30

P-total, P-larut, dan pH BFA dianalisis dilaboratorium dengan metode yang telah ditetapkan oleh Standard Nasional Indonesia (SNI 02-2801-1998), yaitu P-total dengan metode HCl 25%, P-larut dengan metode asam sitrat 2%, dan pH BFA diukur dengan metode elektrometrik (Sulaeman dkk., 2005).


(38)

24

Analisis P-total dilakukan dengan cara sampel (± 2 g) diabukan terlebih dahulu kemudian ditambahkan HCl 25% (± 10 ml), kocok selama 5 jam kemudian disentrifuse. Setelah disentrifius, sampel diberikan pereaksi P ((NH4)6

Mo7O24.4H2O dan K (SbO)CH4O6) dan pewarna P (asam askorbat) lalu dikocok. Dibiarkan selama 30 menit, lalu ukur absorbansinya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 693 nm. Adanya senyawa kompleks berwarna biru menunjukkan P-total.

Analisis P-larut dilakukan dengan cara sampel (± 2 g) yang ditambahkan asam sitrat 2%, kemudian ditambahkan ± 9 ml pereaksi P, kocok hingga homogen dengan vortex. Diukur dengan spektrofotometri pada panjang gelombang 466 nm. Senyawa kompleks (warna kuning) yang terbentuk dari hasil reaksi orthofosfat dengan amonium molibdat dan vanadat.

Nilai pH BFA diukur dengan cara menepungkan sampel BFA (±10 g) yang ditambahkan dengan 50 ml aquades dan dikocok selama 30 menit. Suspensi sampel diukur dengan pH meter yang telah dikalibrasi.

3.4.2 Perendaman Batuan Fosfat dengan Pelarut

Batuan fosfat digiling kemudian diayak dengan ayakan < 3 mm. Disiapkan limbah cair industri tapioka yang diambil dalam keadaan segar, dan juga

disiapkan pelarut asam. Tepung batuan fosfat (lolos saringan < 3 mm) ditimbang sebanyak kurang lebih 1 kg per toples. Kemudian batuan fosfat direndam dengan pelarut asam dan limbah air industri tapioka sebanyak 1 liter. Toples ditutup rapat dengan plastik agar tidak terjadi penguapan air yang berlebihan. Kemudian


(39)

25

seluruh toples perendaman ditempatkan di lokasi pada suhu normal selama inkubasi.

3.4.3 Pengambilan Sampel dan Analisis

Pada waktu awal inkubasi 1 hari setelah pencampuran (perendaman), dari setiap toples diambil sampelnya menggunakan spatula sebanyak 9 kali (dengan 3 titik masing-masing 3 kedalaman), kemudian sampel dikompositkan. Masing-masing sampel ditimbang sesuai kebutuhan untuk analisis P-larut, P-total, dan pH. Analisis sampel dilakukan serentak untuk setiap ulangan (kelompok).

Pengambilan sampel dan analisis berikutnya dilakukan pada inkubasi 30 hari, 60 hari, dan 90 hari.

3.5 Pengamatan

3.5.1 Variabel Utama

Variabel utama yang diamati adalah analisis P larut dalam asam sitrat 2% (SNI). 3.5.2 Variabel Pendukung

Variabel pendukung yang diamati adalah: a. pH (Metode elektrometrik)

b. P-total (HCl 25%)


(40)

V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan hasil pengamatan dan pembahasan maka dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Pelarutan P dari batuan fosfat Sukabumi dan Selagai Lingga dengan semua jenis pelarut meningkat dari satu hari inkubasi sampai mencapai titik maksimum pada tiga puluh hari inkubasi, selanjutnya tidak berubah. 2. Pelarutan P dari batuan fosfat, Sukabumi dan Selagai Lingga, dengan

limbah cair industri tapioka paling rendah dibandingkan dengan pelarut asam (CH3COOH 1N, HCl 1N, dan H2SO4 1N).

3. Pelarutan P dari batuan fosfat Selagai Lingga lebih tinggi dibandingkan dengan Sukabumi pada semua jenis pelarut.

4. Batuan fosfat asal Selagai lingga dengan pelarut asam sulfat menghasilkan P-larut tertinggi pada lama inkubasi tiga puluh hari pengamatan dengan nilai 14,70%, sedangkan pelarut limbah cair tapioka dengan batuan fosfat Selagai Lingga menghasilkan P-larut 8,19 %. Kelarutan P yang dihasilkan asam sulfat dan limbah cair tapioka tersebut belum memenuhi standar persyaratan pupuk fosfat mutu I (SNI), tetapi memenuhi syarat sebagai pupuk fosfat alam baik mutu B dan C.


(41)

41

B. Saran

1. Perlu penelitian lanjutan dengan meningkatkan kepekatan pelarut asam 2. Untuk limbah cair industri tapioka bisa dicoba dengan mencampurkannya

dengan pelarut asam.

3. Sebaiknya batuan fosfat asal Sukabumi tidak digunakan lagi dalam penelitian selanjutnya karena kadar P-larut terlaru rendah.

4. Perlu penelitian kembali untuk pengambilan sampel yang waktunya lebih dirapatkan. Misalnya cukup dengan 35 hari setelah perendaman, yakni dengan rentang waktu (0, 1, 14, 21, 28, dan 35 hari), sehingga dapat diketahui dimana waktu campuran batuan fosfat dan jenis pelarut telah mencapai konstanta reaksi kesetimbangan dari pelarutan batuan fosfat.


(42)

DAFTAR PUSTAKA

Achmad, R. 2004. Kimia Lingkungan.Yogyakarta: Penerbit Andi. Hal 57-88. Adiningsih, S. D., Purnomo, dan I. G. P. Wigena. 1998. Rekapitulasi P : Opsi

Kebijakan Pengembangan Pertanian Berkelanjutanpada Lahan Kering Masam. Seminar Nasional IV Pengembangan Wilayah Lahan Kering dalam Pertemuan Ilmiah Tahunan Himpunan Ilmu Tanah Indonesia. Hal 83-123.

Afrizal. 2007. Penjerapan Fosfor Oleh Ultisol Beresidu Sisor dan Batuan Fosfat Untuk Tanaman Jagung (Zea mays L.) Musim TanamKe 4. Skripsi. Universitas Lampung. Bandar Lampung. 38 hlm.

Andayani, S., dan E. S. Hayat. 2005. Nilai pH Tanah, KTK, P-tersedia,

konsentrasi P, dan Hasil Jagung Manis (Zea mays var. Saccharata sturt) Akibat Pemberian Pupuk SP-36 dan Pupuk Kandang Sapi pada Fluventic Eutrudeps. J. Agrosains. 2(1): 53-56.

Anonymous, 2005. Lingkungan Hidup. http://commons.wikimedia.

org/wiki/Image :Strukt vzorec oseltamivir fosfat.PNG Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara. Diakses 16 April 2012. Amri, Khoirul. 1998. Biokonservasi Penangkal Bau.

(http://www.indomedia.com/intisari/1998/desember/halhi.htm, diakses 15 Februari 2011).

Buckman O. H, and C. N. Brady. 1982. Ilmu Tanah. Barat Karya Aksara. Jakarta. Hal 29-37.

Chien, S. H. 1990. Reaction of phosphate rock with acid soils of the humid tropic. Paper Presented at Workshop on Phosphate Sources for Acid Soils in the Humid Tropic of Asia. Kuala Lumpur.

Chien, S. H. 1995. Seminar on The Use of Reactive Phosphate Rock for Direct Application. Juli 20, 1995. Pengedar Bahan Pertanian Sdn BHd. Selangor. Malaysia.

Djatmiko, M. W. 2000. Pendayagunaan Industri Managemen, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti. 128 hlm.


(43)

43

Ennis and Litster. 1996. Granulation and Coating Techologies for High-Value-Added Industries, E & G Associates.

Foth, H.D. 1998. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Penerbit Bhratara Karya Aksara. Jakarta. Hal.: 552 – 554.

Gintin B.C.R., E. Husen, dan R. Saraswati. 2004. Mikroorganisme Pelarut Fosfat. http/pupukorganikdanpupukhayati.co.id., Diakses tanggal 20 November 2011.

Hakim, N., M. Y. Nyakpa, A. M. Lubis, S. G. Nugroho, M. A. Dika, Go Ban Hong, dan H. H. Bailley. 1986. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Penerbit Universitas Lampung. Bandarlampung. Hal: 98-103.

Hanifah T.A., M. S. Saeni, H. Adijuwana, dan H. M. H. Bintoro. 1999. Evaluasi kandungan logam berat timbal dan kadmium dalam ubikayu (Manihot esculenta Crantz) yang dipupuk sampah kota. Buletin ilmiahGaku-ryoku. 5(1) : 38-45.

Hartati, W. 2007. Tithonia diversifolia sumber pupuk hijau. Pusat Perpustakaan dan Penyebaran Teknologi Pertanian. Bogor. 27: 45-56.

Husein M., Y. Kodradi, dan A. Kohlik. 1998. Super Phosphate Fertilizer Plant Optimalization, PT Petrokimia Gresik (Persero), Indonasia. Hal 73-100. Hidayat, Ir. C. 2010. http://pustaka.bogor.net/PupukFosfat Alamse bagai

PupukAlternatif. Diakses tanggal 20 Januari 2012.

loner et al., 2000. Bacterial biosyntesis of indole-3-acetic. Can.J. Microbiol 42: 207-220.

Ismael. 1995. Efisiensi serapan fosfor dari TSP dan batuan fosfat berdasarkan saat pemberian pada tanah PMK oleh tanaman kedelai (Glycine max L. Merril). Skripsi FP-UNIB, Bengkulu (Tidak dipublikasikan).

Kasno, Ir. A.1991. Kimia dan Kesuburan Tanah.http://balittanah. litbang. deptan. go. id. Diakses 01 April 2012.

Kasno, A., D. Setyorini, dan I.G.P. Wigena. 2007. Aplikasi P-alam berkadar P tinggi pada tanah masam Inceptisol, Bogor untuk tanaman jagung. hlm. 395-409 dalam Pros. Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Mendukung Hari Pangan Sedunia 2007. Bandar Lampung, 25-26 Oktober 2007.

Khasawneh, F. E. and E. C. Doll. 1978. The use of phosphate rock for direct application to soils. Adv. Agron. 30: 159-205.


(44)

44

Lehr, J.R. and G.H. McClellan. 1972. A Revised Laboratory Reativity Scale For Evaluating Phosphate Rock For Direct Application. Bull. 4-43. TVA. Alabama. U.S.A.

Mutanubun, M., B. Radjagukguk, dan A. Rusmakam. 1988. Kajian Pengaruh Peningkatan pH Tanah Podsolik Merah-Kuning Atas Pengambilan Fosfor Dari Batuan Fosfat Oleh Padi Gogo (Oryza sativa L.). BPPS-UGM. 3(1): 345-357.

Nasih. 2009. Pupuk Fosfor. http//nasih. Staff. UGM.ac.id/004%20p%20f.htm Diakses tanggal 02 Juli 2011.

Noor M. 2001. Pertanian Lahan Gambut. Potensi dan Kendala. Kanisius. Yogyakarta. 174 hlm.

Prihatini, T. dan I. Anas. 1991. Peran Jasad Mikro Pelarut P terhadap Tanaman Jagung di Tanah Ultisol Rangkasbitung. Hasil Penelitian Pertanian dan Bioteknologi Pertanian III. Badan Litbang Pertanian.

Rajan, S.S.S., J.H. Watkinson, and A.G. Sinclair. 1996. Phosphate Rock For Direct Aplication to Soils. In Adv. Agron. 57:77-159.

Retnaningtyas, E. 2004. Mengelola Lingkungan lewat UKM Berbasis Limbah. (Online), (http://www.sinarharapan.co.id/ekonomi/usaha/ukm2.html, diakses 15 Februari 2011).

Rosmarkam, A., dan N. W. Yuwono. 2002. Ilmu Kesuburan Tanah. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. 219 hlm.

Sanchez, P.A., 1976. Properties and Management of Soils in theTropics. Willey Interscience. New York.

Sanchez, P.A., 1992. Sifat dan Pengelolaan Tanah Tropika. Alihbahasa : Amir Hamzah. Institut Teknologi Bandung. Bandung.

Santi, L. P., dan D. H. Goenadi. 2008. Pupuk Organo-kimia untuk Pemupukan Bibit Kelapa Sawit. Menara Perkebunan. 76 (1): 36-46.

Sediyarso, M. 1999. Fosfat Alam sebagai Bahan Baku dan Pupuk Fosfat. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat Bogor, Bogor, hal 1 – 39.

Setia, F., dan A. Purbasari. 2009. Pembuatan Pupuk Fosfat dari Batuan Fosfat Alam Secara Acidulasi. Universitas Diponegoro. Semarang.

Soelaeman, Y. 2008. Efektivitas Pupuk Kandang dalam Meningkatkan

Ketersediaan Fosfat, Pertumbuhan dan Hasil Padi dan Jagung pada Lahan Kering Masam. J. Tanah Trop. 13(1): 41 – 47.


(45)

45

Sugiharto. 1987. Dasar-Dasar Pengelolaan Air Limbah. Universitas Indonesia. Jakarta.

Sutejo. 1999. Pedoman Praktis Budidaya Tanaman Perkebunan. Penerbit PD Mahkota. Jakarta.

SNI 02 – 3776. 1995. Pupuk Fosfat Alam untuk Pertanian. Badan Standardisasi Nasional, Jakarta.

Taha, S.M., S.A.Z. Mahmoud, A. Halim El Damaty and A.M. Abd. El. Hafez. 1969. Activity of phosphate dissolving bacteria in egyption soils. Plant and Soil XXXI, No.1.

van Straaten P. 2002. Rocks for Crops: Agromineral of sub-Saharan Afrika. ICRAF. Nairobi. Kenya.

Wahida, A., A. Fahmi, dan A. Jumberi. 2007. Pengaruh Pemberian Fosfat Alam Asal Maroko terhadap Pertumbuhan Padi di Lahan Sulfat Masam. J. Tanah Tropik, 12(2): 85-91.

Winarso, S. 2005. Kesuburan Tanah, Dasar Kesehatan dan Kualitas Tanah. Gava Media. Yogyakarta.

Wahyuadi, J. 1996. Pemanfaatan Limbah. http://www.menlh.go.id, diakses 15 Juni 2011.

Zaitun, 1999. Efektivitas limbah industri tapioka sebagai pupuk cair. Tesis

Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 103 hlm.


(1)

V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan hasil pengamatan dan pembahasan maka dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Pelarutan P dari batuan fosfat Sukabumi dan Selagai Lingga dengan semua jenis pelarut meningkat dari satu hari inkubasi sampai mencapai titik maksimum pada tiga puluh hari inkubasi, selanjutnya tidak berubah. 2. Pelarutan P dari batuan fosfat, Sukabumi dan Selagai Lingga, dengan

limbah cair industri tapioka paling rendah dibandingkan dengan pelarut asam (CH3COOH 1N, HCl 1N, dan H2SO4 1N).

3. Pelarutan P dari batuan fosfat Selagai Lingga lebih tinggi dibandingkan dengan Sukabumi pada semua jenis pelarut.

4. Batuan fosfat asal Selagai lingga dengan pelarut asam sulfat menghasilkan P-larut tertinggi pada lama inkubasi tiga puluh hari pengamatan dengan nilai 14,70%, sedangkan pelarut limbah cair tapioka dengan batuan fosfat Selagai Lingga menghasilkan P-larut 8,19 %. Kelarutan P yang dihasilkan asam sulfat dan limbah cair tapioka tersebut belum memenuhi standar persyaratan pupuk fosfat mutu I (SNI), tetapi memenuhi syarat sebagai pupuk fosfat alam baik mutu B dan C.


(2)

41

B. Saran

1. Perlu penelitian lanjutan dengan meningkatkan kepekatan pelarut asam 2. Untuk limbah cair industri tapioka bisa dicoba dengan mencampurkannya

dengan pelarut asam.

3. Sebaiknya batuan fosfat asal Sukabumi tidak digunakan lagi dalam penelitian selanjutnya karena kadar P-larut terlaru rendah.

4. Perlu penelitian kembali untuk pengambilan sampel yang waktunya lebih dirapatkan. Misalnya cukup dengan 35 hari setelah perendaman, yakni dengan rentang waktu (0, 1, 14, 21, 28, dan 35 hari), sehingga dapat diketahui dimana waktu campuran batuan fosfat dan jenis pelarut telah mencapai konstanta reaksi kesetimbangan dari pelarutan batuan fosfat.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Achmad, R. 2004. Kimia Lingkungan.Yogyakarta: Penerbit Andi. Hal 57-88. Adiningsih, S. D., Purnomo, dan I. G. P. Wigena. 1998. Rekapitulasi P : Opsi

Kebijakan Pengembangan Pertanian Berkelanjutanpada Lahan Kering Masam. Seminar Nasional IV Pengembangan Wilayah Lahan Kering

dalam Pertemuan Ilmiah Tahunan Himpunan Ilmu Tanah Indonesia. Hal

83-123.

Afrizal. 2007. Penjerapan Fosfor Oleh Ultisol Beresidu Sisor dan Batuan Fosfat Untuk Tanaman Jagung (Zea mays L.) Musim TanamKe 4. Skripsi. Universitas Lampung. Bandar Lampung. 38 hlm.

Andayani, S., dan E. S. Hayat. 2005. Nilai pH Tanah, KTK, P-tersedia,

konsentrasi P, dan Hasil Jagung Manis (Zea mays var. Saccharata sturt) Akibat Pemberian Pupuk SP-36 dan Pupuk Kandang Sapi pada Fluventic Eutrudeps. J. Agrosains. 2(1): 53-56.

Anonymous, 2005. Lingkungan Hidup. http://commons.wikimedia.

org/wiki/Image :Strukt vzorec oseltamivir fosfat.PNG Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara. Diakses 16 April 2012. Amri, Khoirul. 1998. Biokonservasi Penangkal Bau.

(http://www.indomedia.com/intisari/1998/desember/halhi.htm, diakses 15 Februari 2011).

Buckman O. H, and C. N. Brady. 1982. Ilmu Tanah. Barat Karya Aksara. Jakarta. Hal 29-37.

Chien, S. H. 1990. Reaction of phosphate rock with acid soils of the humid tropic. Paper Presented at Workshop on Phosphate Sources for Acid Soils in the Humid Tropic of Asia. Kuala Lumpur.

Chien, S. H. 1995. Seminar on The Use of Reactive Phosphate Rock for Direct Application. Juli 20, 1995. Pengedar Bahan Pertanian Sdn BHd. Selangor. Malaysia.

Djatmiko, M. W. 2000. Pendayagunaan Industri Managemen, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti. 128 hlm.


(4)

43

Ennis and Litster. 1996. Granulation and Coating Techologies for High-Value-Added Industries, E & G Associates.

Foth, H.D. 1998. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Penerbit Bhratara Karya Aksara. Jakarta. Hal.: 552 – 554.

Gintin B.C.R., E. Husen, dan R. Saraswati. 2004. Mikroorganisme Pelarut Fosfat. http/pupukorganikdanpupukhayati.co.id., Diakses tanggal 20 November 2011.

Hakim, N., M. Y. Nyakpa, A. M. Lubis, S. G. Nugroho, M. A. Dika, Go Ban Hong, dan H. H. Bailley. 1986. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Penerbit Universitas Lampung. Bandarlampung. Hal: 98-103.

Hanifah T.A., M. S. Saeni, H. Adijuwana, dan H. M. H. Bintoro. 1999. Evaluasi kandungan logam berat timbal dan kadmium dalam ubikayu (Manihot esculenta Crantz) yang dipupuk sampah kota. Buletin ilmiahGaku-ryoku. 5(1) : 38-45.

Hartati, W. 2007. Tithonia diversifolia sumber pupuk hijau. Pusat Perpustakaan dan Penyebaran Teknologi Pertanian. Bogor. 27: 45-56.

Husein M., Y. Kodradi, dan A. Kohlik. 1998. Super Phosphate Fertilizer Plant Optimalization, PT Petrokimia Gresik (Persero), Indonasia. Hal 73-100. Hidayat, Ir. C. 2010. http://pustaka.bogor.net/PupukFosfat Alamse bagai

PupukAlternatif. Diakses tanggal 20 Januari 2012.

loner et al., 2000. Bacterial biosyntesis of indole-3-acetic. Can.J. Microbiol 42: 207-220.

Ismael. 1995. Efisiensi serapan fosfor dari TSP dan batuan fosfat berdasarkan saat pemberian pada tanah PMK oleh tanaman kedelai (Glycine max L. Merril).

Skripsi FP-UNIB, Bengkulu (Tidak dipublikasikan).

Kasno, Ir. A. 1991. Kimia dan Kesuburan Tanah.http://balittanah. litbang. deptan. go. id. Diakses 01 April 2012.

Kasno, A., D. Setyorini, dan I.G.P. Wigena. 2007. Aplikasi P-alam berkadar P tinggi pada tanah masam Inceptisol, Bogor untuk tanaman jagung. hlm. 395-409 dalam Pros. Lokakarya Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Mendukung Hari Pangan Sedunia 2007. Bandar Lampung, 25-26 Oktober 2007.

Khasawneh, F. E. and E. C. Doll. 1978. The use of phosphate rock for direct application to soils. Adv. Agron. 30: 159-205.


(5)

44

Lehr, J.R. and G.H. McClellan. 1972. A Revised Laboratory Reativity Scale For

Evaluating Phosphate Rock For Direct Application. Bull. 4-43. TVA.

Alabama. U.S.A.

Mutanubun, M., B. Radjagukguk, dan A. Rusmakam. 1988. Kajian Pengaruh Peningkatan pH Tanah Podsolik Merah-Kuning Atas Pengambilan Fosfor Dari Batuan Fosfat Oleh Padi Gogo (Oryza sativa L.). BPPS-UGM. 3(1): 345-357.

Nasih. 2009. Pupuk Fosfor. http//nasih. Staff. UGM.ac.id/004%20p%20f.htm Diakses tanggal 02 Juli 2011.

Noor M. 2001. Pertanian Lahan Gambut. Potensi dan Kendala. Kanisius. Yogyakarta. 174 hlm.

Prihatini, T. dan I. Anas. 1991. Peran Jasad Mikro Pelarut P terhadap Tanaman Jagung di Tanah Ultisol Rangkasbitung. Hasil Penelitian Pertanian dan Bioteknologi Pertanian III. Badan Litbang Pertanian.

Rajan, S.S.S., J.H. Watkinson, and A.G. Sinclair. 1996. Phosphate Rock For Direct Aplication to Soils. In Adv. Agron. 57:77-159.

Retnaningtyas, E. 2004. Mengelola Lingkungan lewat UKM Berbasis Limbah. (Online), (http://www.sinarharapan.co.id/ekonomi/usaha/ukm2.html, diakses 15 Februari 2011).

Rosmarkam, A., dan N. W. Yuwono. 2002. Ilmu Kesuburan Tanah. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. 219 hlm.

Sanchez, P.A., 1976. Properties and Management of Soils in theTropics. Willey Interscience. New York.

Sanchez, P.A., 1992. Sifat dan Pengelolaan Tanah Tropika. Alihbahasa : Amir Hamzah. Institut Teknologi Bandung. Bandung.

Santi, L. P., dan D. H. Goenadi. 2008. Pupuk Organo-kimia untuk Pemupukan Bibit Kelapa Sawit. Menara Perkebunan. 76 (1): 36-46.

Sediyarso, M. 1999. Fosfat Alam sebagai Bahan Baku dan Pupuk Fosfat. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat Bogor, Bogor, hal 1 – 39.

Setia, F., dan A. Purbasari. 2009. Pembuatan Pupuk Fosfat dari Batuan Fosfat

Alam Secara Acidulasi. Universitas Diponegoro. Semarang.

Soelaeman, Y. 2008. Efektivitas Pupuk Kandang dalam Meningkatkan

Ketersediaan Fosfat, Pertumbuhan dan Hasil Padi dan Jagung pada Lahan Kering Masam. J. Tanah Trop. 13(1): 41 – 47.


(6)

45

Sugiharto. 1987. Dasar-Dasar Pengelolaan Air Limbah. Universitas Indonesia. Jakarta.

Sutejo. 1999. Pedoman Praktis Budidaya Tanaman Perkebunan. Penerbit PD Mahkota. Jakarta.

SNI 02 – 3776. 1995. Pupuk Fosfat Alam untuk Pertanian. Badan Standardisasi Nasional, Jakarta.

Taha, S.M., S.A.Z. Mahmoud, A. Halim El Damaty and A.M. Abd. El. Hafez. 1969. Activity of phosphate dissolving bacteria in egyption soils. Plant and Soil XXXI, No.1.

van Straaten P. 2002. Rocks for Crops: Agromineral of sub-Saharan Afrika. ICRAF. Nairobi. Kenya.

Wahida, A., A. Fahmi, dan A. Jumberi. 2007. Pengaruh Pemberian Fosfat Alam Asal Maroko terhadap Pertumbuhan Padi di Lahan Sulfat Masam. J. Tanah Tropik, 12(2): 85-91.

Winarso, S. 2005. Kesuburan Tanah, Dasar Kesehatan dan Kualitas Tanah. Gava Media. Yogyakarta.

Wahyuadi, J. 1996. Pemanfaatan Limbah. http://www.menlh.go.id, diakses 15 Juni 2011.

Zaitun, 1999. Efektivitas limbah industri tapioka sebagai pupuk cair. Tesis

Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Program Pascasarjana,