PERJANJIAN JUAL BELI DALAM TRANSAKSI E-COMMERCE

(1)

KARINA LESTY WINATHA PUTRI

ABSTRAK

PERJANJIAN JUAL BELI DALAM TRANSAKSI E-COMMERCE

Oleh

KARINA LESTY WINATHA PUTRI

Transaksi e-commerce pada dasarnya merupakan suatu kontrak transaksi perdagangan antara penjual dan pembeli dengan menggunakan media internet. Saat ini, hukum Indonesia telah mengatur transaksi perdagangan dalam bentuk transaksi elektronik dalam sebuah undang-undang yaitu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Dalam praktik pelaksanaannya, transaksi e-commerce masih memunculkan berbagai masalah terutama bagi pembeli. Untuk itu, diperlukan penyelesaian sengketa dalam praktik transaksi e-commerce merupakan alternatif solusi dalam mengatasi sengketa sekaligus sebagai bentuk perlindungan hukum. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana prosedur jual beli dalam transaksi melalui e-commerce, kapan perjanjian pada transaksi melalui e-commerce dikatakan sah dan mengikat pihak-pihaknya, apakah bentuk wanprestasi dan bentuk penyelesaian sengketa dalam transaksi melalui e-commerce.

Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif (normatif law research) dengan tipe penelitian deskriptif. Pendekatan masalah yang digunakan yuridis normatif. Data yang digunakan adalah data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka dan studi internet. Setelah data terkumpul, selanjutnya diolah dengan cara klasifikasi data, dan penyusunan data. Analisis yang digunakan adalah analisis data secara kualitatif, komprehensif dan lengkap.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa prosedur jual beli dalam transaksi melalui e-commerce pada situs www.amazon.com dimulai dengan cara pembeli melakukan browsing dengan mengetik nama situs http://www.amazon.com. Setelah pembeli memilih sign in kemudian pembeli mengetik alamat e-mail dan memilih menu sebagai pelanggan baru di www.amazon.com. Selanjutnya, pembeli mengisi data diri dan memilih tipe pengiriman untuk barang yang akan dibeli, setelah memilih tipe pengiriman dan mencari barang berdasarkan jenis dan kategori dengan cara memilih tombol search dan menentukan jenis barang yang dibeli. Kemudian melakukan proses pembayaran secara online, antara lain dengan menggunakan kartu kredit.


(2)

Kontrak elektronik yang memuat transaksi e-commerce adalah kontrak yang memenuhi syarat sepanjang syarat keabsahan perjanjian berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata dipenuhi dan dipatuhi oleh penjual dan pembeli. Kontrak e-commerce yang memenuhi syarat sah perjanjian tersebut memberi akibat hukum bagi pihak yang membuatnya sebagai undang-undang dan tidak dapat dibatalkan secara sepihak serta harus dilaksanakan dengan itikad baik. Dalam UUITE, kontrak elektronik termasuk transaksi e-commerce telah diatur dan diberi kepastian hukum dengan pengakuan dokumen elektronik sebagai bukti dalam transaksi elektronik.

Wanprestasi yang dilakukan oleh pihak penjual merupakan kerugian bagi pihak pembeli baik dalam transaksi jual beli biasa maupun transaksi melalui e-commerce, dan bentuk-bentuk wanprestasi dalam transaksi jual beli biasa sebagaimana yang diatur dalam KUHPerdata maupun dalam transaksi melalui e-commerce pada umumnya sama saja yaitu, tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan, melaksanakan apa yang dijanjikan tetapi tidak sesuai dengan apa yang dijanjikan, melaksanakan apa yang dijanjikan tetapi terlambat, dan melaksanakan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.

Dalam praktiknya, penyelesaian sengketa transaksi e-commerce yang bersifat internasional ditentukan berdasarkan pada asas Hukum Perdata Internasional untuk menentukan hukum mana yang berlaku bagi suatu kontrak perjanjian jual beli (e-commerce) yang bersifat internasional. Bentuk penyelesaian sengketa e-commerce dilakukan dengan menggunakan mekanisme Penyelesaian Sengketa Alternatif berupa arbitrase, negosiasi, mediasi dan konsiliasi. Pada pelaksanaannya penyelesaian sengketa e-commerce di Indonesia belum sepenuhnya bersifat online, namun UU Arbitrase memberikan kemungkinan penyelesaian sengketa secara online dengan menggunakan e-mail, maka para pihak yang bersengketa dapat menyelesaikan sengketanya secara online tanpa harus bertemu satu sama lain.


(3)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Perjanjian pada umumnya

1. Pengertian Perjanjian

Istilah perjanjian berasal dari kata dalam bahasa Belanda overeenkomst (M.S.Salim, 2003: 160), yang berasal dari kata overeenkomen, yang artinya setuju atau sepakat (R. Setiawan, 2001: 7). Perjanjian dapat pula disebut dengan istilah persetujuan, karena di dalamnya terdapat dua pihak atau lebih yang setuju melakukan sesuatu. Namun, terdapat perbedaan pengertian dalam penggunaan istilah kontrak (contract) dan perjanjian. Kontrak (contract) di dalam bahasa Indonesia lebih ditujukan bagi perjanjian-perjanjian tertulis, sedangkan istilah perjanjian digunakan bagi perjanjian-perjanjian tertulis ataupun lisan.

Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal (Subekti, 1995: 8). Definisi tersebut dapat diuraikan unsur-unsur suatu perjanjian (Subekti, 1995: 12) meliputi:

a. Adanya para pihak;

b. Adanya perbuatan atau hubungan hukum;

c. Adanya pernyataan dan persesuaian kehendak (sepakat); d. Adanya tujuan yang hendak dicapai; dan


(4)

e. Adanya objek perjanjian atau prestasi yang harus dilaksanakan.

2. Syarat Sah Perjanjian

Pasal 1338 Ayat (1) KUHPerdata menjelaskan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Artinya perjanjian berlaku layaknya undang-undang dan harus dilaksanakan oleh para pihak, hanya apabila perjanjian-perjanjian tersebut telah dibuat secara sah.

Sahnya suatu perjanjian dalam hukum perdata ditentukan oleh empat syarat sahnya perjanjian sebagaimana Pasal 1320 KUHPerdata (Subekti, 2002: 17) yaitu: a. Adanya kesepakatan kedua belah pihak adalah persesuaian pernyataan kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya. Artinya, perjanjian lahir pada saat terjadi kesepakatan di antara para pihak. Terjadinya kesepakatan itu dan teori mengenai saat terjadinya kesepakatan yaitu :

1) Teori Ucapan menjelaskan kesepakatan terjadi ketika pihak yang menerima penawaran menyatakan bahwa ia menerima tawaran tersebut. Hal ini dinyatakan, misalnya dengan menandatangani perjanjian tersebut. 2) Teori Pengiriman menjelaskan kesepakatan terjadi jika pihak yang

menerima penawaran mengirimkan telegram kepada pihak yang menawarkan sebagai tanda sepakat atas tawarannya.

3) Teori Pengetahuan menjelaskan kesepakatan terjadi jika pihak yang menawarkan mengetahui adanya penerimaan dari pihak yang menerima penawaran, walaupun penerimaan itu belum benar-benar diterima oleh pihak yang menawarkan.


(5)

11

4) Teori Penerimaan menjelaskan kesepakatan terjadi pada saat pihak yang menawarkan menerima langsung jawaban dari pihak yang menerima penawaran.

b. Kecakapan para pihak untuk bertindak adalah kecakapan bertindak atau kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah perbuatan yang akan menimbulkan akibat hukum. Dengan kata lain, para pihak yang akan mengadakan perjanjian haruslah orang-orang yang cakap dan wenang untuk melakukan perbuatan hukum. Orang yang cakap melakukan perbuatan hukum adalah mereka yang telah berusia minimal 21 tahun dan tidak berada di bawah pengampuan.

c. Adanya objek perjanjian, pada Pasal 1234 KUHPerdata menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan objek perjanjian adalah prestasi, yang merupakan kewajiban bagi debitor dan hak bagi kreditor. Prestasi dapat berupa kesepakatan untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, dan tidak berbuat sesuatu.

d. Adanya suatu sebab yang halal, pada Pasal 1335 KUHPerdata menyatakan bahwa suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan. Sedangkan Pasal 1337 KUHPerdata menyatakan bahwa suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum. Dengan demikian, setiap perjanjian yang tidak sesuai dengan undang-undang, ataupun mempunyai unsur yang melanggar kesusilaan dan ketertiban umum, perjanjian tersebut tidak sah karena tidak memenuhi syarat sebab yang halal. Perjanjian yang dibuat oleh para pihak adalah sah


(6)

apabila dilakukan secara halal, tanpa adanya unsur pelanggaran, baik mengenai objek perjanjian, maupun mengenai perjanjian itu sendiri.

Syarat pertama dan kedua disebut dengan syarat subjektif, karena menyangkut orang-orang atau subjek yang mengadakan perjanjian. Sedangkan syarat ketiga dan keempat disebut dengan syarat objektif, karena menyangkut tentang perjanjian itu sendiri atau objek dari perbuatan hukum yang dilakukan. Keempat syarat dalam Pasal 1320 merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi bagi sahnya suatu perjanjian (M.S.Salim 2003: 162).

B. Perjanjian Jual Beli

1. Pengertian Jual Beli

Jual beli diatur dalam Bab V Pasal 1457 KUHPerdata sampai dengan Pasal 1540 KUHPerdata. Jual beli di dalam bahasa belanda dikenal dengan istilah koop en verkoop. Istilah ini mengandung dua perbuatan yang bertimbal-balik, yaitu pihak yang satu melakukan verkoop (menjual) dan pihak yang lain melakukan koopt (membeli). Sedangkan dalam bahasa inggris, jual-beli disebut dengan istilah sale yang berarti penjualan. Begitu pula dalam bahasa perancis, jual beli disebut dengan istilah vente yang berarti penjualan, dan dalam bahasa jerman digunakan istilah kauf yang berarti pembelian (Subekti, 1995: 5).

Pengertian perjanjian jual beli menurut KUHPerdata yaitu jual beli adalah suatu perjanjian, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan.


(7)

13

Jual beli adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikat dirinya untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan (Subekti, 1995: 5).

Kedua pendapat di atas menunjukan persamaan mengenai pengertian jual beli yang unsur-unsurnya dapat diuraikan sebagai berikut:

a. Suatu hubungan hukum timbal-balik;

b. Adanya para pihak selaku penjual dan pembeli; dan c. Adanya peralihan hak milik atas barang.

2. Terjadinya Perjanjian Jual Beli

Pada Pasal 1458 KUHPerdata dikatakan bahwa jual beli itu dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, seketika setelahnya orang- orang ini mencapai sepakat tentang kebendaan tersebut dan harganya, meskipun kebendaan itu belum diserahkan, maupun haraganya belum dibayar.

Pasal 1458 tersebut di atas, yang menjadi unsur pokok dalam perjanjian jual beli adalah barang yang akan dijual dan harga atas barang itu sendiri, dimana pada saat kedua pihak sepakat mengenai barang dan harga, maka pada detik itu juga lahir perjanjian jual beli yang sah. Sesuai dengan asas “konsensualisme” yang menjiwai hukum perjanjian dalam KUHPerdata, perjanjian jual beli itu sudah dilahirkan pada detik tercapainya “sepakat” mengenai barang dan harga (Subekti, 2003: 2). Kemudian, yang menjadi alat pengukur bahwa telah tercapainya penyesuaian kehendak untuk sepakat bagi para pihak adalah pernyataan-pernyataan yang telah dilakukan secara timbal balik oleh kedua belah pihak.


(8)

Dari pernyataan-pernyataan kedua belah pihak ini juga dapat ditetapkan hak dan kewajiban secara timbal balik diantara mereka. Prof. Subekti mengatakan, bahwa menurut ajaran yang sekarang dianut dan juga menurut yurisprudensi, pernyataan boleh dipegang untuk dijadikan dasar kesepakatan, adalah pernyataan yang secara objektif dapat dipercaya. Pernyataan yang terlihat jelas dilakukan dengan tidak sungguh-sungguh atau yang terlihat jelas mengandung kekhilafan atau kekeliruan, tidak boleh dipegang untuk dijadikan dasar kesepakatan. Maka, sudah tepatlah bahwa adanya perjumpaan kehendak (consensus) itu diukur dengan pernyataan-pernyataan yang secara timbal balik telah dikeluarkan, demikian menurut Prof. Subekti.

3. Berakhirnya Perjanjian Jual Beli

Menurut Pasal 1381 KUHPerdata, sebab-sebab berakhirnya perjanjian jual beli yaitu:

a. Pembayaran;

b. Penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan atau penitipan; c. Pembaharuan hutang;

d. Perjumpaan hutang atau kompensasi; e. Percampuran hutang;

f. Pembebasan hutang;

g. Musnahnya barang yang terutang; h. Kebatalan atau pembatalan;

i. Berlakunya suatu syarat batal, yang diatur dalam bab kesatu buku ini; dan j. Lewat waktu, hal mana akan diatur dalam suatu bab tersendiri.


(9)

15

C. Transaksi Perdagangan Melalui E-Commerce

1. Pengertian dan Ruang Lingkup E-Commerce

Saat ini pengertian mengenai e-commerce belum ada pengertian secara pasti yang disepakati bersama. Namun pengertian e-commerce secara umum dapat diartikan sebagai proses transaksi jual beli secara elektronik melalui media internet. Menurut Arsyad Sanusi, pendapat-pendapat para ahli antara lain, Chissik dan Kelmen memberikan definisi yang sangat global terhadap e-commerce sebagai “a broad term describing business activities with associated technical data that are conducted electronically” atau istilah yang luas yang menggambarkan aktifitasaktifitas bisnis dengan data teknis yang terasosiasi yang dilakukan secara atau dengan menggunakan media elektronik.

Bryan A. Garner juga menyatakan bahwa “E-Commerce the practice of buying and selling goods and services trough online consumer services on the internet. The e, ashortened from electronic, has become a popular prefix for other terms associated with electronic transaction”. Dapat dikatakan bahwa pengertian ecommerce yang dimaksud adalah pembelian dan penjualan barang dan jasa dengan menggunakan jasa computer online di internet (Abdul Halim Barakatullah dkk, 2005: 12).

E-commerce juga dapat diartikan sebagai suatu proses berbisnis dengan memakai teknologi elektronik yang menghubungkan antara perusahaan, konsumen dan masyarakat dalam bentuk transaksi elektronik dan pertukaran/penjualan barang, servis, dan informasi secara elektronik (Munir Fuady, 2005: 407).


(10)

Menurut Whiteley, ruang lingkup e-commerce terbagi dalam 3 area utama (Rasyad sanusi, 2005: 152) yaitu :

a. Pasar Elektronik (Electronic Markets), pasar elektronik (EM) disini dimaknai sebagai pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi untuk menyajikan beragam penawaran di suatu segmen pasar, sehingga para calon pembeli dapat membandingkan harga (serta atribut-atribut lainnya) dari setiap penawaran tersebut dan kemudian membuat keputusan pembelian yang tepat. Ketika suatu pasar berwujud elektronik, maka yang menjadi pusat perbelanjaan adalah suatu lokasi berbasis jaringan yang didalamnya terjadi interaksi-interaksi bisnis. Pasar elektronik ini juga merupakan suatu tempat bertemunya pembeli dan penjual. Dalam pasar tersebut terjadi pemrosesan berbagai macam transaksi, termasuk transfer dana antar bank.

b. Pertukaran Data Secara Elektronik (EDI), Baumer mendefinisikan Pertukaran Data Secara Elektronik (EDI) sebagai :

suatu kontrak B2B yang dilaksanakan melalui jaringan-jaringan tertutup yang di dalamnya di antara para pihak telah ada kesepakatan sebelumnya tentang transaksi-transaksi apa saja yang dapat dilaksanakan melalui EDI.”

Dari penjelasan diatas, maka EDI tidak sefleksibel kontrak atau transaksi-transaksi yang dilaksanakan dengan menggunakan internet. EDI ini biasa dimanfaatkan oleh perusahaan-perusahaan yang biasa melakukan transaksi-transaksi regular dalam jumlah besar. Salah satu sektor yang di dalamnya EDI biasa dipergunakan secara luas adalah jaringan supermarket besar yang biasa menggunakan EDI untuk berinteraksi dengan supplier-supplier mereka.


(11)

17

c. Internet Commerce, jenis e-commerce ini biasanya memiliki karakteristik berupa memanfaatkan internet untuk keperluan komersial. Misalnya, internet dipergunakan untuk membeli buku yang kemudian akan dikirim melalui pos, atau untuk pemesanan tiket yang kemudian tiket tersebut dapat diambil oleh pemesan pada saat mereka tiba ditempat pertunjukkan.

2. Jenis-jenis Transaksi dalam E-Commerce

Berdasarkan sifatnya, seluruh kegiatan transaksi dalam e-commerce dapat dibedakan menjadi enam jenis kategori (Munir Fuady, 2005: 408), yaitu:

a. Transaksi Business to Business (B2B) adalah transaksi perdagangan melalui internet yang dilakukan oleh dua atau lebih perusahaan. Transaksi bisnis ini hanya terjadi di antara rekan (partner) bisnis saja, yaitu perusahaan-perusahaan yang telah memiliki hubungan kerjasama yang erat dan telah saling mengenal. Transaksi bisnis ini sifatnya tertutup karena informasi hanya diberikan pada rekan bisnis.

b. Transaksi Business to Consumer (B2C) adalah transaksi jual-beli melalui internet antara penjual barang dengan konsumen. Transaksi B2C merupakan jenis transaksi e-commerce yang paling banyak ditemui dibandingkan dengan jenis transaksi B2B. Transaksi B2C mempunyai karakteristik sebagai berikut: 1. Sifatnya terbuka untuk umum, dimana informasi atau penawaran

disebarkan secara umum dan setiap orang dapat mengaksesnya;

2. Layanan yang diberikan juga bersifat umum dengan mekanisme yang dapat digunakan oleh banyak orang;


(12)

3. Konsumen memegang inisiatif untuk melakukan pemesanan, sedangkan produsen harus siap merespon permintaan konsumen.

c. Consumer to Consumer (C2C) adalah transaksi dimana konsumen menjual produk secara langsung kepada konsumen lainnya. Salah satu contoh adalah seorang individu yang mengiklankan produk barang atau jasa, pengetahuan, maupun keahliannya di salah satu situs lelang.

d. Consumer to Bussines (C2B) adalah individu yang menjual produk atau jasa kepada organisasi dan individu yang mencari penjual dan melakukan transaksi.

e. Non-Bussines Electronic Commerce adalah kegiatan non bisnis seperti kegiatan lembaga pendidikan, organisasi nirlaba, keagamaan dan lain-lain. f. Intrabussines (Organizational) Electronic Commerce adalah kegiatan yang

meliputi semua aktivitas internal organisasi melalui internet untuk melakukan pertukaran barang, jasa, dan informasi, menjual produk perusahaan kepada karyawan, dan lain-lain.

3. Para Pihak dalam E-Commerce

Dalam transaksi e-commerce yang keseluruhan proses transaksinya dilakukan melalui perantara media internet, terdapat pihak-pihak (Dikdik Mansur, 2005: 152) terdiri dari:

a. Penjual, yaitu perusahaan atau produsen yang menawarkan produknya melalui internet. Penjual yang menerima pembayaran menggunakan kartu kredit dari suatu bank, maka ia harus mendaftarkan rekeningnya di bank yang bersangkutan agar dapat menerima pembayaran dari pembelinya.


(13)

19

b. Pembeli, yaitu orang-orang atau perusahaan yang ingin memperoleh barang atau jasa melalui transaksi perdagangan elektronik di internet. Dalam transaksi elektronik dimungkinkan adanya dua macam sistem pembayaran menggunakan kartu kredit atau kartu debit, dan pembayaran kontan (cash). Pembeli yang merupakan pemegang kartu kredit dapat melakukan pembayaran menggunakan kartu kreditnya yang dikeluarkan oleh penerbit kartu kredit. Sementara pembayaran kontan dilakukan harus dilakukan secara manual.

c. Pihak perantara penagihan (antara penjual dan penerbit), yaitu pihak yang melakukan penagihan dari penjual kepada penerbit kartu kredit. Pihak perantara penagihan inilah yang melakukan pembayaran kepada penjual. Pihak perantara pembayaran (antara pemegang dan penerbit), adalah bank dimana pembayaran dilakukan oleh pemegang kartu kredit, kemudian bank ini akan mengirimkan uang pembayaran kepada penerbit kartu kredit.

d. Penerbit kartu kredit, adalah pihak yang menerbitkan kartu kredit pembeli. Kartu kredit dapat diterbitkan oleh bank yang mendapat izin dari Card International (Master dan Visa Card), perusahaan non bank (PT. Dinner Jaya Indonesia Internasional), atau perusahaan yang merupakan cabang dari perusahaan induk di luar negeri (American Express).

e. Lembaga sertifikasi, merupakan pihak ketiga yang netral, yang memegang hak mengeluarkan sertifikasi baik bagi penjual, pembeli dan penerbit kartu kredit


(14)

D. Perlindungan Hukum

Istilah perlindungan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1998: 231) adalah tempat berlindung ataupun hal perbuatan tersebut (memperlindungi). Sedangkan hukum menurut kamus hukum adalah peraturan-peraturan yang bersifat memaksa dan menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib.

Menurut M.H. Tirtamadjaja (C.S.T. Kansil, 1989: 38), hukum ialah semua norma dan aturan yang harus dituruti dalam tingkah laku. Tindakan-tindakan dalam pergaulan dengan ancaman mengganti kerugian jika melanggar aturan-atauran tersebut akan membahayakan diri sendiri atau, umpamanya orang akan kehilnagan kemerdekaanya, di denda, dan sebagianya. Perlindungan hukum secara harfiah diartikan sebagai suatu cara, proses, perbuatan melindungi berdasarkan hukum, atau dapat pula diartikan sebagai suatu perlindungan yang diberikan melalui sarana hukum tersebut (Muhammad Djumhana, 1999: 38).

Menurut Philipus M. Hadjon (1987: 22) perlindungan hukum dibedakan menjadi 2 (dua) macam yaitu:

1. Perlindungan hukum yang preventif, bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa; dan

2. Perlindungan hukum yang refresif, bertujuan untuk menyelesaikan sengketa.

Di dalam perlindungan hukum ada 2 (dua) indikator utama :

1. Mensyaratkan adanya norma yang memuat subtansi tentang apa yang dilindungi; dan


(15)

21

2. Mensyaratkan adanya penerapan pelaksanaan dan penegakan atas norma, sehingga terjadi tindakan-tindakan pelangaaran atas norma maka akan segera diambil suatu tindakan yang sesuai dengan norma tersebut.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa perlindungan hukum adalah suatu cara atau proses yang bertujuan untuk melindungi pihak-pihak tertentu berdasarkan ketentuan hukum yang ada. Perlindungan hukum yang dikaji dalam penelitian ini adalah perlindungan bagi pembeli oleh hukum pada tranakai e-commerce.Transaksi e-commerce merupakan transaksi perdagangan atau jual beli barang yang menggunakan sarana elektronik. Untuk itu, hukum yang memberikan perlindungan terhadap pembeli adalah KUHPerdata dan UUITE.

E. Penyelesaian Sengketa

Apabila sengketa telah terjadi, maka perlu dicarikan cara penyelesaiannya yang tepat. Setiap sengketa yang terjadi pada pembeli pada umumnya dapat diselesaikan setidak-tidaknya melalui 2 (dua) cara penyelesaian sengketa. Menurut M. Yahya Harahap (1997: 248) penyelesaian sengketa tersebut terdiri dari:

1) Litigasi, merupakan penyelesaian sengketa melalui pengadilan; dan

2) Non Litigasi, merupakan penyelesaian sengketa melalui lembaga yang berada diluar pengadilan.

Pada transaksi e-commerce penyelesaian sengketa yang diterapkan melalui cara non litigasi yaitu dengan cara Penyelesaian Sengketa Alternatif, karena merupakan solusi alternatif dalam mengatasi sengketa sekaligus sebagai salah satu


(16)

bentuk perlindungan hukum (Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, 2005: 168).

Menurut Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom (2005: 177) terdapat beberapa macam mekanisme Penyelesaian Sengketa Alternatif, yaitu:

1. Arbitrase, istilah arbitrase berasal dari kata arbiterare (bahasa lain),yang bearti kekuasaan untuk menyelesaikan sesuatu perkara menurut kebijaksanaan. Lembaga arbitrase memang dimaksudkan menjadi suatu lembaga yang berfungsi untuk menyelesaikan suatu perkara atau sengketa tetapi tidak mempergunakan suatu metode penyelesaian yang klasik, dalam hal ini lembaga peradilan.

2. Negosiasi, kata negosiasi pada umumnya dipakai untuk suatu pembicaraan atau perundingan dengan tujuan mencapai suatu kesepakatan antara para peserta tentang hal yang dirundingkan.

3. Mediasi, merupakan proses pemecahan masalah di mana pihak luar yang tidak memihak (impartial) dan netral bekerja dengan pihak yang bersengketa untuk membantu mereka memperoleh kesepakatan perjanjian dengan memuaskan. 4. Konsiliasi, merupakan suatu proses penyelesaian sengketa di antara para pihak

dengan melibatkan pihak ketiga yang netral dan tidak memihak. Biasanya konsiliasi mengacu pada suatu proses yang mana pihak ketiga bertindak sebagai pihak yang mengirimkan suatu penawaran penyelesaian antara para pihak tetapi perannya lebih sedikit dalam proses negosiasi dibandingkan seorang mediator.


(17)

23

F. Kerangka Pikir

Berdasarkan uraian latar belakang, rumusan masalah dan tujuan penelitian, maka dapat dibuat bagan kerangka pikir sebagai berikut:

Keterangan:

Perkembangan teknologi dengan media internet digunakan pula untuk melakukan transaksi perdagangan yang disebut dengan e-commerce. Untuk itu, diperlukan dasar pengaturan bagi transaksi e-commerce tersebut sehingga dapat menciptakan kepastian hukum berusaha bagi para pelaku usaha (penjual) dan kepastian hukum bagi pembeli yang melakukan transaksi e-commerce tersebut.

Hukum Indonesia telah mengatur transaksi elektronik termasuk di dalamnya perdagangan dalam bentuk transaksi elektronik (e-commerce) melalui UUITE.

E-Commerce

Prosedur E-Commerce

Keabsahan E-Commerce

Faktor pengambat E-Commerce

Hk.Perjanjian UUITE

Kontrak

Pembeli (buyer) Penjual (seller)

Penyelesaian Sengketa E- Commerce E-Commerce


(18)

Namun demikian, UUITE secara khusus tidak mengatur aspek perdata yang terkait dengan kontrak, keabsahan kontrak dan penyelesaian hukum atas masalah yang timbul dalam hubungan hukum antar pihak dalam transaksi e-commerce. Untuk itu, aspek perdata tersebut tetap harus mengacu pada ketentuan umum dalam KUHPerdata termasuk ketentuan khusus dalam kontrak e-commerce yang mengatur hubungan para penjual dan pembeli. Penjual adalah perusahaan atau produsen yang menawarkan produknya melalui internet sedangkan pembeli adalah orang-orang atau perusahaan yang ingin memperoleh barang atau jasa melalui transaksi e-commerce.

Kontrak e-commerce menggunakan media elektronik hanya berupa form atau blanko klausul perjanjian yang dibuat salah satu pihak (merchant) yang ditulis atau dibuat dan ditampilkan dalam media elektronik (halaman web), kemudian pihak yang lain (customer) cukup menekan tombol yang disediakan untuk menyatakan persetujuan mengikatkan diri terhadap perjanjian yang ada dalam transaksi e-commerce.

Praktik pelaksanaan transaksi e-commerce ini masih memunculkan berbagai kendala antara lain mengenai prosedur, keabsahan, serta masalah dalam e-commerce. Penelitian ini akan mengkaji dan membahas tentang prosedur, keabsahan, faktor penghambat berupa wanprestasi serta bentuk penyelesaian sengketa dalam transaksi e-commerce.


(19)

III. METODE PENELITIAN

Penelitian hukum pada dasarnya merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisisnya, kecuali itu, maka juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala bersangkutan (Bambang Sunggono, 1997: 32-33).

Menurut Abdulkadir Muhammad (2004: 32), metode penelitian dilakukan dalam usaha untuk memperoleh data yang akurat serta dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Penelitian hukum merupakan kegiatan ilmiah yang didasarkan kepada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu, dengan jalan menganalisisnya.Selain itu, juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan yang timbul.

Berdasarkan pengertian tersebut, dapat dinyatakan bahwa penelitian hukum dianggap sebagai penelitian ilmiah apabila memenuhi kriteria bahwa penelitian tersebut didasarkan pada metode sistematika, logika berfikir tertentu, bertujuan


(20)

untuk mempelajari gejala hukum tertentu dan penelitian bertujuan untuk mencari solusi atas permasalahan yang timbul dari gejala yang diteliti tersebut.

A. Jenis Penelitian

Penelitian mengenai perjanjian dalam e-commerce sebagai suatu tinjauan yuridis ini adalah penelitian normatif. Penelitian hukum normatif mengkaji hukum tertulis dari berbagai aspek teori, sejarah, filosofi, perbandingan, lingkup materi serta kekuatan mengikat suatu undang-undang (Abdulkadir Muhammad, 2004: 103). Kajian normatif penelitian ini adalah berupa UUITE dan KUHPerdata dan UU Arbitrase. Untuk mengetahui proses transaksi jual beli maka dalam prosedur jual beli e-commerce, ditunjuk sebuah situs yaitu www.amazon.com sebagai contoh dalam prosedur transaksi jual beli melalui e-commerce.

B. Tipe Penelitian

Tipe penelitian ini adalah deskriptif. Penelitian deskriptif menggambarkan secara jelas dan rinci pokok bahasan yang telah disusun secara sistematis. Tipologi deskriptif dalam penelitian ini tentang perjanjian jual beli dalam transaksi e-commerce.

C. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah merupakan proses pemecahan atau penyelesaian masalah melalui tahap yang telah ditentukan sehingga mencapai tujuan penelitian (Abdulkadir Muhammad, 2004:112).


(21)

27

Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif, yaitu pendekatan yang dilakukan dengan cara studi pustaka mengkaji pada ketentuan undang-undang yang mempunyai hubungan langsung dengan pokok bahasan yang terdapat dalam penelitian ini yaitu mengenai perjanjian jual beli dalam transaksi e-commerce.

D. Data dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data sekunder yaitu data yang bersumber dari bahan pustaka yang terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder:

1. Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat secara umum (perundang-undangan) atau mempunyai kekuatan mengikat bagi pihak-pihak berkepentingan (Abdulkadir Muhammad, 2004: 82) yaitu:

a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;

b. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik; dan

c. Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

2. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer (Abdulkadir Muhammad, 2004: 82) yaitu: a. Buku-buku ilmu hukum khususnya mengenai atau relevan dengan hukum


(22)

b. Literatur –literatur lainnya yang berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian ini.

E. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi pustaka dan studi internet dengan metode ini dimaksudkan untuk memperoleh data sekunder dengan cara membaca, mengutip dan mempelajari serta mencatat data-data dari buku, literatur-literatur, dan perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan dan pokok bahasan yang diteliti di internet.

F. Metode Pengolahan Data

Data yang telah terkumpul merupakan data yang telah terseleksi, maka data tersebut diolah melalui tahapan-tahapan sebagai berikut:

1. Klasifikasi data, yaitu mengelompokkan data sesuai dengan permasalahan yang telah disusun, sehingga diperoleh data yang akurat;

2. Penyusunan data, yaitu menetapkan data sesuai dengan bidang pembahasan dan disusun secara sistematis sesuai dengan konsep, tujuan, dan permasalahan sehingga membantu untuk memberikan jawaban terhadap permasalahan yang telah disusun.

G. Analisis Data

Analisis data dilakukan secara kualitataif, komprehensif dan lengkap. Analisis kualitatif dalam penelitian ini menguraikan data secara bermutu dalam kalimat yang teratur, runtun, tidak tumpang tindih dan efektif sehingga memudahkan


(23)

29

pembahasan dan pemahaman serta implementasi data. Komprehensif artinya pembahasan data secara mendalam dari berbagai aspek sesuai dengan lingkup penelitian. Lengkap artinya tidak ada bagian yang terlupakan, semuanya sudah masuk dalam pembahasan.


(24)

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Prosedur Jual Beli dalam Transaksi melalui E-Commerce

Pada dasarnya dalam transaksi jual beli dikenal proses pembayaran dan penyerahan barang, demikian juga halnya pada jual beli melalui media elektronik (e-commerce) yang menggunakan jaringan internet. Adanya jaringan internet dalam transaksi e-commerce dapat membuat proses jual beli atau hubungan hukum yang terjadi dapat menjadi lebih singkat, mudah dan sederhana maka, secara hukum tidak ada perubahan konsep dalam suatu transaksi yang berlangsung.

Untuk mengetahui proses pembelian melalui e-commerce dan keabsahan kontrak dalam perjanjianya, maka Peneliti melakukan pembelian secara langsung di sebuah situs yaitu http://www.amazon.com. Berdasarkan penelitian ini dapat diketahui secara langsung perjanjian pembelian, melalui e-commerce, serta mengetahui bagaimana kenyamanan dan jaminan keamanannya ketika bertransaksi. Untuk itu, Peneliti selaku pembeli melakukan transaksi e-commerce secara langsung dengan langkah-langkah bertransaksi sebagai berikut:

1. Langkah pertama yang dilakukan ketika bertransaksi melalui e-commerce adalah melakukan browsing dengan mengetik nama situs http://www.amazon.com. Setelah itu akan muncul tampilan awal dari situs tersebut (gambar 1).


(25)

31

Gambar 1. Menu utama www.amazon.com

2. Setelah pembeli memilih sign in kemudian pembeli mengetik alamat e-mail dan memilih menu sebagai pelanggan baru di www.amazon.com (gambar 2).


(26)

3. Setelah itu, pembeli mengetik data diri untuk memudahkan proses pengiriman barang (gambar 3).

Gambar 3. Proses pendaftaran 2 pada www.amazon.com

4. Setelah mengisi data diri, kemudian pembeli memilih tipe pengiriman untuk berang yang akan dibelinya nanti (gambar 4).


(27)

33

5. Setelah memilih tipe pengiriman, pembeli mencari barang berdasarkan jenis dan kategori dengan cara memilih tombol search disebelah kiri atas lalu muncul jenis barang yang ada pada situs ini, dalam contoh kali ini Peneliti memilih kategori buku politik (gambar 5).

Gambar 5. Kategori Buku Politik pada www.amazon.com

6. Setelah pembeli memilih buku politik yang berjudul A Little War that Shook the World dan memilih quantity 1karena pembeli hanya ingin membeli 1 buah buku. Selanjutnya pembeli Buy Now untuk masuk ke proses checkout (gambar 6).


(28)

Gambar 6. Judul Buku, Harga dan Jumlahnya

Setelah mengikuti tahap-tahap pelaksanaan transaksi e-commerce dari proses pemesanan hingga selesai, dapat dinyatakan bahwa mekanisme transaksi e-commerce merupakan pembelian yang diawali dengan melakukan proses pendaftaran, kemudian proses pemesanan barang yang diikuti dengan pembayaran yang dapat dilakukan dengan metode online sehingga memudahkan dan menjaga kerahasiaan pembeli dan yang terakhir dilakukan proses pengiriman barang. Pengiriman barang yang dibeli dapat dikirimkan dimana saja di muka bumi ini sesuai dengan permintaan pembeli atau diterima di tempat pembeli. Dalam klasula penyerahan barang berdasarkan International Commercial Terms 1990 (Incoterm) dikenal dengan syarat penyerahan barang berupa syarat Franco, syarat ini mengandung makna bahawa penjual wajib mengantarkan barang sampai di tempat yang ditunjuk oleh pembeli (Abdulkadir


(29)

35

Muhammad, 2006: 437). Pada situs www.amazon.com cara pengiriman yang dapat dipilih yaitu dengan cara express (mahal), cepat (biaya ekonomis), lambat (murah).

Cara pembayaran yang dapat dilakukan dalam transaksi melalui e-commerce, adalah sebagai berikut:

1. Transfer uang melalui bank

Apabila melakukan pembayaran dengan cara transfer uang melalui bank, maka konsumen diharuskan men-scanning tanda bukti transfer tersebut. Kemudian hasil scanning tersebut dikirimkan melalui e-mail ke bagian pelayanan konsumen situs toko online yang bersangkutan.

2. Pembayaran menggunakan kartu kredit.

Apabila melakukan pembayaran melalui kartu kredit, maka konsumen diharuskan mengisi nomor kartu kredit berikut jenisnya, pada form pembelian. Setelah penjual menerima informasi kartu kredit yang disampaikan oleh konsumen. Pihak penjual tersebut akan melakukan metode pengecekan. Metode pengamanan tersebut sering kali dilakukan dengan sistem program terpadu dan perangkat lunak (software ) versi terbaru yang dapat mendeteksi keabsahan dan kebenaran dari kartu kredit yang digunakan pembeli untuk bertransaksi, sehingga apabila ada data kartu kredit yang dipalsukan atau tidak benar, maka sistem program itu tidak dapat meng-otorisasi pembayaran dengan kartu kredit yang dipalsukan tersebut.

Di suatu situs toko online, selain disajikan deskripsi mengenai barang yang ditawarkan, juga disajikan mengenai syarat dan kondisi (terms and condition) yang


(30)

berlaku apabila pembeli melakukan transaksi jual beli, sebagai contoh Peneliti tampilkan syarat dan kondisi (terms and condition) pada situs www.amazon.com.

Melihat apa yang telah ditetapkan pada syarat dan kondisi (terms and condition) di atas maka pihak pembeli yang berbelanja di situs www.amazon.com harus tunduk pada aturan-aturan yang berlaku tersebut.

Berdasarkan langkah-langkah atau prosedur dalam transaksi e-commerce pada situs www.amazon.com di atas, dapat diketahui bahwa transaksi dalam e-commerce itu sangat mudah dan efisien, dimana pembeli dalam melakukkan transaksi hanya mengikuti aturan yang berlaku dalam situs www.amazon.com tersebut. Selain itu, cara pembayarannyapun dapat dijamin keamanan dan kerahasiaannya yang dilakukan pula secara online, antara lain dengan menggunakan kartu kredit.


(31)

37

B. Keabsahan Perjanjian dalam Transaksi melalui E-Commerce

Pada prinsipnya e-commerce memiliki dasar hukum yang sama dengan transaksi jual beli biasa, yang membedakannya hanya pada medianya saja. Perbedaannya bahwa pada transaksi melalui e-commerce media yang digunakan adalah komputer dengan menggunakan jaringan internet. Selama tidak diatur dalam ketentuan-ketentuan khusus yang terdapat di dalam jual beli biasa, misalnya ketentuan-ketentuan tentang jual beli menurut KUHPerdata adalah berlaku juga terhadap transaksi e-commerce. Syarat sahnya perjanjian, saat terjadinya perjanjian dan hal-hal lain yang merupakan ketentuan dari KUHPerdata, berlaku juga bagi transaksi e-commerce. Sebagaimana telah dijelaskan pada bab sebelumnya, bahwa dalam membuat suatu perjanjian harus memenuhi syarat yang terdapat dalam Pasal 1320 KUHPerdata yaitu:

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3. Suatu hal tertentu; dan

4. Suatu sebab yang halal.

Berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata, maka suatu transaksi e-commerce dinyatakan sah jika dipenuhi syarat tersebut, sebagaimana diuraikan berikut ini:

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

Pada syarat yang pertama, yaitu sepakat para pihak yang mengikatkan diri. Diperlukan dua pihak untuk melahirkan suatu kesepakatan. Adanya kesesuaian kehendak antara kedua pihak saja belum melahirkan suatu perjanjian, karena kehendak itu harus dinyatakan. Pernyataan kehendak tersebut dapat dilakukan dengan


(32)

tegas atau secara diam-diam. Pada transaksi jual beli secara langsung, kesepakatan dapat diketahui dengan mudah, Hal ini disebabkan kesepakatan dapat langsung diberikan baik secara lisan maupun tulisan. Dalam transaksi e-commerce, kesepakatan perjanjian tersebut tidak diberikan secara langsung melainkan melalui media elektronik dalam hal ini adalah internet (Edmon Makarim, 2003: 234).

Berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata dinyatakan bahwa salah satu syarat yang pokok bagi sahnya suatu perjanjian adalah „adanya kesepakatan‟ bukan „bentuk‟, maka tercapainya kesepakatan ini dapat dinyatakan oleh kedua belah pihak baik secara lisan (dengan ucapan „setuju‟ atau „sanggup‟), secara tertulis (misalnya dalam bentuk pembubuhan tanda tangan) atau dilakukan dengan mengklik tombol “I AGREE” atau “I ACCEPT” pada web page (M.Arsyad Sanusi, 2007: 373).

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan

Syarat yang kedua, cakap untuk membuat suatu perikatan. Pada dasarnya semua orang adalah cakap untuk membuat suatu perikatan, kecuali jika ia oleh undang-undang dinyatakan tidak cakap (Edmon Makarim, 2003: 236). Menurut Pasal 1330 KUHPerdata dikategorikan seseorang yang dianggap tidak cakap membuat suatu perjanjian adalah :

a. Orang-orang yang belum dewasa;

b. Mereka yang ditaruh di bawah pengampunan; dan


(33)

39

Dalam transaksi e-commerce pada situs www.amazon.com terjadi suatu perikatan antara penjual dan pembeli, dimana penjual adalah situs www.amazon.com dan Peneliti selaku pembeli. Dalam transaksi e-commerce sangat sulit menentukan seseorang yang melakukan transaksi apakah sudah cakap atau tidak menurut undang-undang, karena transaksi tersebut dilakukan melalui dunia maya yang rawan sekali terhadap penipuan. Karakteristik internet yang bercirikan anonim (pihak-pihak yang tidak saling kenal dapat melakukan komunikasi melalui internet) dan non face (dalam komunikasi melalui internet tidak diperlukan tatap muka secara langsung). Kedua karakteristik internet tersebut membuka kemungkinan bagi pengguna yang curang untuk melakukan pemalsuan identitas atau untuk menyembunyikan identitas aslinya. Untuk itu, dapat dikemukakan bahwa landasan moral yang utama bagi pembentukan kontrak elektronik melalui internet adalah prinsip itikad baik (M.Arsyad Sanusi, 2007: 374). Jika ternyata yang melakukan transaksi adalah orang yang tidak cakap menurut undang-undang, maka pihak yang dirugikan dapat menuntut agar perjanjian tersebut dibatalkan (Edmon Makarim, 2003: 236).

3. Suatu hal tertentu

Syarat ketiga, suatu hal tertentu. Dalam hal ini yaitu adanya suatu benda yang dijadikan objek dalam suatu perjanjian. Jika dihubungkan dengan apa yang ada dalam e-commerce yang menyediakan berbagai macam benda atau produk yang ditawarkan dan pembeli bebas memilih terhadap salah satu atau beberapa jenis benda atau produk yang dinginkannya. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa setelah pembeli melakukan pemilihan produk, diakhir proses transaksi penjual akan menampilkan


(34)

informasi mengenai barang beserta harganya atas apa yang dipilih apakah benar atau tidak. Sehingga apa yang dipilih pembeli menjadi objek dalam perjanjian tersebut. Dalam situs www.amazon.com objek yang diperjualbelikan berupa buku, kaset VHS, DVD, CD music dan ribuan jenis produk lainnya. Adapun objek yang tidak boleh diperjualbelikan dalam transaksi e-commerce. Ada berbagai macam benda yang tidak dapat dijual melalui kesepakatan online, seperti jual beli tanah yang mensyaratkan jual beli tanah harus dituangkan dalam akta, yaitu akta Pejabat Pembuat Akta Tanah. Akta otentik ini terdiri dari dua bagian yaitu Notaris atau PPAT menerangkan bahwa orang-orang tertentu benar datang menghadap padanya dan bagian kedua ia mencatat apa yang diutarakan masing-masing pihak, kemudian para pihak disertai para saksi menandatangani akta tersebut (Edmon Makarim, 2003: 237).

4. Suatu sebab yang halal

Syarat keempat, suatu sebab yang halal. Maksudnya adalah isi dari perjanjian ini harus tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, norma agama dan kesusilaan. Kontrak e-commerce yang dibuat haruslah memenuhi norma-norma yang hidup dalam masyarakat. Di dalam persyaratan mengadakan pendaftaran anggota sebagai syarat untuk melakukan transaksi pihak merchant (contoh pada situs www.amazon.com) menegaskan dan mengharuskan customer untuk membaca dan memperhatikan bagian Prohibited and Restricted Items yang mana bagian tersebut berisi mengenai apa saja produk yang tidak boleh diperdagangkan. Adanya aturan yang jelas mengenai hal-hal apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan beserta sanksinya yang disebutkan oleh penjual/merchant memberikan pengertian bahwa


(35)

41

kontrak yang terjadi dalam e-commerce secara tidak langsung telah memenuhi syarat suatu sebab yang halal, bahwa kontrak atau perjanjian yang dilakukan antar para pihaknya mempunyai sebab yang halal sebagai dasar perjanjian.

Syarat pertama dan kedua disebut syarat subyektif, karena syarat tersebut langsung menyangkut orang atau subyek yang membuat perjanjian, apabila salah satu dari syarat subyektif ini tidak terpenuhi, maka perjanjian tersebut berlaku akibat hukum dapat dibatalkan (vernitegbar). Syarat ketiga dan keempat disebut dengan syarat obyektif, karena kedua syarat ini menyangkut obyek perjanjian. Apabila salah satu dari syarat obyek ini tidak terpenuhi, maka perjanjian itu batal demi hukum (void), artinya perjanjian itu dianggap tidak pernah ada.

Dalam transaksi e-commerce keberadaan kontrak elektronik sebenarnya juga merupakan perwujudan inisiatif para pihak untuk membuat suatu perikatan. Para pihak yang terkait didalamnya melakukan hubungan hukum yang dituangkan melalui suatu bentuk perjanjian atau kontrak yang juga dilakukan secara elektronik. Mengenai kontrak elektonik ini ditegaskan dalam Pasal 1 Ayat (17) UUITE yang menyatakan „perjanjian para pihak yang dibuat melalui sistem elektronik‟. Selain dalam UUITE keabsahan kontrak elektronik juga ditinjau dari KUHPerdata, maka harus dikaji satu persatu menurut 4 syarat sah perjanjian seperti diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Kontrak elektronik itu harus memenuhi syarat subyektif, yang mewujudkan kesepakatan para pihak untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu guna memenuhi suatu tujuan. Para pihak juga harus cakap berbuat, dalam arti memiliki kewenangan berbuat untuk melakukan keputusan dan selanjutnya melakukan


(36)

tanggung jawab atas perikatan yang disetujuinya. Sedangkan syarat obyektif, pada kontrak elektronik itu harus menyatakan obyek perjanjian yang jelas, tidak boleh kabur atau abstrak. Sebagai syarat terakhir kontrak tersebut haruslah berisikan hal-hal yang diperbolehkan oleh hukum, tidak melanggar norma susila, kesopanan dan peraturan perundang-undangan. Apabila kontrak elektronik itu memenuhi keempat syarat ini maka kontrak tersebut dapat dinyatakan sah.

Pada dasarnya kontrak elektronik dalam transaksi e-commerce sama halnya dengan kontrak perjanjian jual beli pada umumnya, hanya sarananya saja yang berbeda yaitu menggunakan system elektronik. Keabsahan suatu kontrak elektronik dalam transaksi e-commerce ini ditegaskan pada Pasal 5 Ayat (3) UUITE dengan mensyaratkan keabsahan kontrak (dokumen elektronik) bila menggunakan sistem elektronik yang sudah disertifikasi sebagaimana diatur dalam Pasal 13 sampai dengan Pasal 16 UUITE.

Persyaratan menggunakan sarana sistem elektronik yang sudah disertifikasi ini sepertinya merupakan suatu usaha preventif bagi orang yang ingin berdalih atau berbuat curang setelah membuat perikatan dengan beralasan kontrak e-commerce itu tidak sah dan mengikat karena tidak diakui secara spesifik oleh undang-undang. Sebenarnya tanpa ditanyakan seperti ini pun, setiap kontrak yang dibuat melalui sistem elektronik tetap saja sah apabila memenuhi 4 syarat sah perjanjian sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320 KUHPerdata, meskipun tidak menggunakan sistem elektronik yang sudah diwajibkan.


(37)

43

Berdasarkan uraian di atas, dapat dinyatakan bahwa kontrak elektronik yang memuat transaksi e-commerce adalah kontrak yang memenuhi syarat sepanjang syarat keabsahan perjanjian berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata dipenuhi dan dipatuhi oleh Penjual dan Pembeli. Kontrak e-commerce yang memenuhi syarat sah perjanjian tersebut memberi akibat hukum bagi pihak yang membuatnya sebagai undang-undang dan tidak dapat dibatalkan secara sepihak serta harus dilaksanakan dengan itikad baik. Dalam UUITE, kontrak elektronik termasuk transaksi e-commerce telah diatur dan diberi kepastian hukum dengan pengakuan dokumen elektronik sebagai bukti dalam transaksi elektronik.

C. Bentuk Wanprestasi dan Bentuk Penyelesaian Dalam Transaksi Melalui E-Commerce

1. Bentuk Wanprestasi pada Transaksi Melalui E-Commerce

Transaksi melalui e-commerce merupakan perjanjian jual beli sebagaimana yang dimaksud oleh KUHPerdata. Sebagai suatu perjanjian maka, berisi kewajiban yang harus dilaksankan yang disebut sebagai prestasi, yaitu kewajiban suatu pihak untuk melaksanakan hal-hal yang ada dalam suatu perjanjian. KUHPerdata pada pokoknya mengatur prestasi atau kewajiban sebagai hal yang utama untuk dilaksanakan dari adanya suatu perjanjian. Hak adalah akibat yang diperoleh dari adanya pemenuhan kewajiban atau prestasi. Adanya prestasi memungkinkan terjadinya wanprestasi atau tidak dilaksanakannya prestasi atau kewajiban sebagaimana mestinya yang dibebankan oleh kontrak kepada para pihak. Wanprestasi yang dilakukan oleh pihak penjual merupakan kerugian bagi pihak pembeli.


(38)

Wanprestasi artinya tidak memenuhi sesuatu yang diwajibkan seperti yang telah ditetapkan dalam perikatan (Abdulkadir Muhammad, 1996 : 203). Tidak dipenuhinya kewajiban oleh debitur disebabkan oleh dua kemungkinan alas an, yaitu:

1. Karena kesalahan debitur, baik dengan sengaja tidak dipenuhi kewajiban maupaun karena kelalaian; dan

2. Karena keadaan memaksa (overmaccht), force majeure, di luar kemampuan debitur. Debitur tidak bersalah.

Untuk menentukan apakah seseorang debitur bersalah melakukan wanprestasi, perlu ditentukan dalam keadaan bagaimana debitur dikatakan sengaja atau lalai, tidak memenuhi prestasi. Ada tiga keadaan, yaitu:

1. Debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali;

2. Debitur memenuhi prestasi,tetapi tidak baik atau keliru; dan

3. Debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak tepat waktunya atau terlambat.

Untuk mengetahui sejak kapan debitur dalam keadaan wanprestasi, perlu diperhatikan apakah dalam perkataan itu ditentukan tenggang waktu pelaksanaan pemenuhan prestasi atau tidak. Dalam hal tenggang waktu pelaksanaan pemenuhan prestasi tidak ditentukan, perlu memperingatkan debitur supaya ii memenuhi prestasi. Tetapi dalam hal telah ditentukan tenggang waktunya, menurut ketentuan pasal 1238 KUHPerdata debitur dianggap lalai dangan lewatnya tenggang waktu yang telah ditetapkandalam perikatan.


(39)

45

Untuk itu, debitur perlu diingatkan supaya ia memenuhi prestasinya yaitu dengan cara debitur diberi peringatan tertulis, yang isinya menyatakan bahwa debitur wajib memenuhi prestasi dalam waktuyang ditentukan. Jika dalam waktu itu debitur tidak memenuhinya, debitur dinyatakan lalai atau wanprestasi. Peringatan tertulis dapat dilakukan secara resmi dan juga secara tidak resmi. Peringatan tertulis secara resmi dilakukan melalui Pengadilan Negeri yang berwenang, yang disebut somasi. Kemudian Pengadilan Negeri dengan perantara Jurusita menyampaikan surat peringatan tersebut kepada debitur, yang disertai berita acara penyampaiannya. Peringatan tertulis tidak resmi misalnya melalui surat tercatat, telegram atau disampaikan sendiri oleh kreditur kepada debitur denga tanda terima. Surat perinagatan ini disebut ingebreke stelling.

Berikut merupakan bentuk-bentuk daripada wanprestasi yang dilakukan oleh pelaku usaha atau penjual dalam transaksi melalui e-commerce (Edmon Makarim, 2003: 238) antara lain:

1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan

Dalam transaksi e-commerce, penjual mempunyai kewajiban untuk menyerahkan barang yang dijual kepada pembeli dan kewajiban untuk menanggung kenikmatan tenteram dan menanggung cacat-cacat tersembunyi. Jika penjual tidak melaksanakan kewajibannya tersebut, maka penjual dapat dikatakan wanprestasi. Contohnya saja sebuah toko online di Indonesia yang menawarkan kue ulang tahun. Toko online itu menjanjikan untuk mengantar pesanan pembeli dalam waktu satu minggu setelah pesanan diterima. Apabila pembeli memesan kue


(40)

ulang tahun tersebut pada tanggal 12 Juli 2001 maka seharusnya kue ulang tahun tersebut sampai ditempat pembeli pada tanggal 19 juli 2001. Tetapi ternyata penjual tidak dapat melaksanakan kewajibannya tersebut, sehingga dengan demikian penjual telah melakukan wanprestasi. Berdasarkan pengamatan beliau, banyak penjual toko online di Indonesia belum mengatur secara rinci mengenai jadwal pengiriman dan waktu yang diperlukan untuk mengirim barang. Berbeda dengan penjual yang ada di luar negeri, seperti situs www.amazon.com, yang merinci lamanya pengiriman barang dan biaya yang dikeluarkan. Amazon.com juga membedakan antara pesanan yang diantar ke daerah di dalam Amerika dengan pesanan yang diantar ke luar Amerika, sehingga dengan demikian mudah untuk membuat pernyataan wanprestasi karena jelas jangka waktunya.

2. Melaksanakan apa yang dijanjikan, tetapi tidak sesuai dengan apa yang dijanjikan Pada bentuk ini penjual benar telah menyerahkan barang yang dijual belikan tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan. Contohnya, pembeli memesan satu buah rangkaian bunga pada pihak penjual melalui situsnya. Pada saat memesan tersebut, yang pembeli lihat adalah sebuah gambar dilayar monitornya yang menampilkan gambar sebuah rangkaian bunga mawar merah yang segar. Tetapi ternyata rangkaian bunga yang sampai ke tempatnya adalah rangkaian bunga mawar merah yang sudah layu atau tidak segar lagi seperti yang ada pada gambar dilayar monitor. Dengan demikian jelas sekali bahwa penjual telah melakukan wanprestasi karena melaksanakan prestasinya dengan tidak sebagaimana mestinya.


(41)

47

3. Melaksanakan apa yang dijanjikan tetapi terlambat

Maksudnya jika barang pesanan datang terlambat tapi tetap dapat dipergunakan maka hal ini dapat digolongkan sebagai prestasi yang terlambat, jika prestasinya tidak dapat dipergunakan lagi maka digolongkan sebagai tidak melaksanakan apa yang telah diperjanjikan, yakni seperti pada bentuk yang pertama. Misalnya, pembeli memesan buku dari toko buku online. Pesanan yang seharusnya hanya memerlukan waktu pengiriman selama 3 hari tenyata baru tiba pada hari yang ketujuh. Hal ini jelas menunjukan penjual telah wanprestasi. Tetapi karena barangnya masih dapat dipergunakan maka wanprestasi ini digolongkan sebagai prestasi yang terlambat dan bukan tidak melakukan prestasi.

4. Melaksanakan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya

Untuk wanprestasi yang terakhir ini, contohnya penjual yang berkewajiban untuk tidak menyebarkan kepada umum identitas dan data diri dari pembeli, tetapi ternyata penjual melakukannya.

Menurut Edmon Makarim (2003: 239) wanprestasi yang dilakukan oleh penjual tentu saja sangat merugikan pihak pembeli. Tetapi untuk mengajukan tuntutannya, pembeli harus mendahului tuntutannya dengan somasi. Somasi tersebut berupa peringatan agar si penjual melaksanakan kewajibannya. Jika somasi tersebut tidak diindahkan maka si penjual berada dalam keadaan wanprestasi. Somasi tidak diperlukan jika si penjual keliru berprestasi.


(42)

Berdasarkan uraian di atas, bahwa wanprestasi yang dilakukan oleh pihak penjual merupakan kerugian bagi pihak pembeli baik dalam transaksi jual beli biasa maupun transaksi melalui e-commerce, dan bentuk-bentuk wanprestasi dalam transaksi jual beli biasa sebagaimana yang diatur dalam KUHPerdata maupun dalam transksi melalui e-commerce pada umumnya sama saja yaitu, tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan, melaksanakan apa yang dijanjikan tetapi tidak sesuai dengan apa yang dijanjikan, melaksanakan apa yang dijanjikan tetapi terlambat, dan melaksanakan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya. Mengenai peringatan yang dilakukan terhadap debitur atau penjual pun sama yaitu dengan mengajukan somasi. Hanya saja yang berbeda, jika pada transaksi jual beli biasa apabila debitur malakukan wanprestasi somasi dilakukan melalui Pengadilan Negeri yang berwenang, sedangakan pada transaksi melalui e-commerce pada situs www.amazon.com apabila terjadi wanprestasi, somasi dilakukan melalui metode online kepada pihak penjual.

2. Bentuk Penyelesaian Sengketa Dalam Transaksi Melalui E-Commerce

Dalam transaksi e-commerce, banyak hal yang bisa menimbulkan suatu kerugian berupa wanprestasi sebagaimana disebutkan di atas yang dapat menurunkan rasa kepercayaan konsumen terhadap sistem e-commerce, sehingga diperlukan suatu mekanisme penyelesaian sengketa yang efektif dan efisien. Walaupun dalam contoh wanprestasi diatas bahwa situs www.amazon.com sudah mengatur secara rinci mengenai jadwal pengiriman dan waktu yang diperlukan untuk mengirim barang, tetapi mungkin saja situs www.amazon.com tetap melakukun wanprestasi.


(43)

49

Masalah yang sering muncul dalam hal terjadi sengketa dalam transaksi e-commerce pada situs seperti www.amazon.com yang bersifat internasional adalah menentukan hukum atau pengadilan mana yang digunakan untuk menyelesaikan sengketa (Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, 2005: 167). Dalam UUITE, pengaturan mengenai transaksi e-commerce yang bersifat internasional terdapat dalam Pasal 18. Menurut Pasal 18 Ayat (2) UUITE para pihak berwenang untuk menentukan hukum yang berlaku bagi transaksi e-commerce yang dilakukannya, maka dalam hal ini para pihak sebaiknya menentukan hukum mana yang berlaku apabila terjadi sengketa di kemudian hari (choice of law). Dalam menentukan pilihan hukum, ada batasan-batasan dan prinsip-prinsip yang harus diperhatikan ( Ida Bagus Wyasa, 2000: 70), yaitu:

a. Partijautonomie

Menurut prinsip ini, para pihak merupakan pihak yang paling berhak menentukan hukum yang hendak mereka pilih dan berlaku sebagai dasar penyelesaian sengketa sekiranya timbul suatu sengketa dari kontrak transaksi yang dibuat. Prinsip ini merupakan prinsip yang telah secara umum dan tertulis diakui oleh sebagian besar Negara, seperti eropa, eropa timur, negara-negara asia afrika, termasuk Indonesia.

b. Bonafide

Menurut prinsip ini, suatu pilihan hukum harus didasarkan itikad baik, yaitu semata-mata untuk tujuan kepastian, perlindungan yang adil, dan jaminan yang lebih pasti bagi pelaksanaan akibat-akibat transaksi.


(44)

c. Real Connection

Beberapa sistem hukum mensyaratkan keharusan adanya hubungan nyata antara hukum yang dipilih dengan peristiwa hukum yang hendak ditundukkan/didasarkan kepada hukum yang dipilih.

d. Larangan Penyelundupan Hukum

Pihak-pihak yang diberi kebebasan untuk melakukan pilihan hukum, hendaknya tidak menggunakan kebebasan itu untuk tujuan kesewenang-wenangan demi keuntungan sendiri.

e. Ketertiban Umum

Suatu pilihan hukum tidak boleh bertentangan dengan sendi-sendi asasi hukum dan masyarakat, hukum para hakim yang akan mengadili sengketa bahwa ketertiban umum merupakan pembatas pertama kemauan seseorang dalam melakukan pilihan hukum.

Dalam transaksi e-commerce, para pihak dalam melakukan pilihan hukum bukanlah tanpa batas tapi harus memperhatikan prinsip dan batasan sebagaimana diuraikan di atas. Namun ada kalanya para pihak tidak mencantumkan klausula pilihan hukum dalam kontrak elektronik yang dibuatnya, maka berdasarkan Pasal 18 Ayat (3) UUITE hukum yang berlaku bagi para pihak ditentukan berdasarkan pada asas Hukum Perdata Internasional (HPI). Dalam HPI terdapat teori-teori untuk menentukan hukum mana yang berlaku bagi suatu kontrak internasional. Menurut Sudargo Gautama (1998: 8) teori-teori tersebut adalah:


(45)

51

a. Teori Lex loci contractus, hukum yang berlaku adalah hukum tempat dimana kontrak dibuat. Teori ini merupakan teori klasik yang tidak mudah diterapkan dalam praktek pembentukan kontrak internasional modern sebab pihak-pihak yang berkontrak tidak selalu hadir bertatap muka membentuk kontrak di satu tempat (contract between absent person). Dapat saja mereka berkontrak melalui telepon atau sarana-sarana lainnya.

Alternatif yang tersedia bagi kelemahan teori ini adalah pertama, teori post box dan kedua, teori penerimaan. Menurut teori post box, hukum yang berlaku adalah hukum tempat post box di mana pihak yang menerima penawaran (offer) itu memasukkan surat pemberitahuan penerimaan atas tawaran itu. Sementara itu, menurut teori penerimaan, hukum yang berlaku adalah hukum tempat di mana pihak penawar menerima menerima surat pernyataan penerimaan penawaran dari pihak yang menerima tawaran.

b. Teori Lex loci solutionis, hukum yang berlaku adalah hukum tempat dimana perjanjian dilaksanakan, bukan di mana tempat kontraknya ditandatangani. Kesulitan tama kontrak ini adalah, jika kontrak itu harus dilaksanakan tidak di satu tempat, seperti kasus kontrak jual beli yang melibatkan pihak-pihak (penjual dan pembeli) yang berada di negara berbeda, dan dengan sistem hukum yang berbeda pula.

c. Teori the proper law of contract, hukum yang berlaku adalah hukum Negara yang paling wajar berlaku bagi kontrak itu, yaitu dengan cara mencari titik berat (center of gravity) atau titik taut yang paling erat dengan kontrak itu.


(46)

d. Teori the most characteristic connection, hukum yang berlaku adalah hukum dari pihak yang melakukan prestasi yang paling karakteristik. Kelebihan teori ini adalah bahwa dengan teori ini dapat dihindari beberapa kesulitan, seperti keharusan untuk mengadakan kualifikasi lex loci contractus atau lex loci solutionis, di samping itu juga dijanjikan kepastian hukum secara lebih awal oleh teori ini.

Para pihak dapat pula menentukan hukum yang berlaku, yang dilakukan dengan cara langsung menunjuk forum pengadilan, arbitrase, dan lembaga penyelesaian sengketa lainnya yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa diantara mereka (Pasal 18 Ayat (4) UUITE). Untuk menyelesaikan sengketa pada transaksi e-commerce yang bersifat internasional, sebaiknya menggunakan mekanisme Penyelesaian Sengketa Alternatif. Alasannya adalah bahwa dengan menggunakan Penyelesaian Sengketa Alternatif maka para pihak tidak perlu dipusingkan dengan perbedaan sistem hukum, budaya dan bahasa. Selain itu, menurut Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom (2005: 183) dipilihnya mekanisme Penyelesaian Sengketa Alternatif sebagai salah satu cara penyelesaian sengketa memang bukanlah tanpa sebab, banyak faktor yang mempengaruhi para pihak memilih mekanisme Penyelesaian Sengketa Alternatif dalam bertransaksi e-commerce yaitu sebagai berikut:

1. Murah, transaksi yang dilakukun oleh para pihak tujuannya tidak lain adalah untuk memperoleh uang (investasi), sehingga dalam penentuan cara penyelesaian sengketa pun, faktor ekonomi, dalam hal ini murahnya biaya yang dikeluarkan, menjadi bahan pertimbangan yang utama. Kenyataan membuktikan, penyelesaian


(47)

53

sengketa melalui lembaga Penyelesaian Sengketa Alternatif relatif lebih murah dibandingkan penyelesaian melalui lembaga pengadilan (litigasi). Murahnya biaya yang dikeluarkan dalam setiap penyelesaian sengketa melalui mekanisme ini tidak terlepas dari cepatnya proses pengambilan keputusan yang dihasilkan. 2. Cepat, dibandingkan dengan penyelesaian melalui jalur pengadilan (litigasi)

tentunya Penyelesaian Sengketa Alternatif relatif lebih cepat dan tidak bertele-tele. Lamanya proses penyelesaian sengketa melalui pengadilan terjadi mulai saat menunggu kepastian kapan sengketa akan diperiksa atau dasidangkan hingga eksekusi putusan, yang seringkali memerlukan waktu yang sangat lama. Oleh karena itu, dengan dipergunakannya mekanisme Penyelesaian Sengketa Alternatif diharapkan lamanya waktu pemeriksaan sengketa dapat dikurangi, karena prosedur pemeriksaan sengketa ditentukan sendiri oleh para pihak yang bersengketa dengan bantuan pihak ketiga.

3. Dalam dunia bisnis, hubungan baik diantara para pihak merupakan hal yang paling utama sekaligus dasar bagi berkembangnya suatu hubungan kerjasama. Begitu pula halnya dalam penyelesaian sengketa, sedapat mungkin diselesaikan melalui cara-cara yang dapat menjaga hubungan diantara para pihak agar dapat harmonis.

4. Kerahasiaan (confidentiality) bagi siapapun, terlebih bagi pihak-pihak yang bergerak dalam aktivitas bisnis, merupakan hal yang sangat vital. Di dalam perusahaan biasa, kerahasiaan penting untuk menggalang kredibilitas dari perusahaan terhadap rekan-rekan niaganya, sedangkan dalam perusahaan yang go public terganggunya sifat kerahasiaan relasi bisnis akan menjadi lebih parah dan


(48)

mempunyai akibat yang langsung berupa kegelisahan para pemegang saham dan guncangan harga saham di bursa.

5. Penyelesaian sengketa melalui mekanisme lembaga Penyelesaian Sengketa Alternatif dilakukan oleh para ahli (expert) di bidangnya, sehingga hal ini akan berdampak pada kualitas putusan. Keahlian para pihak yang menyelesaikan sengketa sangat mempengaruhi kepercayaan masyarakat terhadap penggunaan lembaga ini, terlebih e-commerce merupakan sistem yang relatif kompleks dibandingkan cara-cara konvensional. Dengan semakin baiknya keahlian pihak ketiga dalam membantu menyelesaikan masalah atau sengketa yang timbul, maka akan meningkat pula tingkat kepuasan para pihak dalam menerima kesepakatan atau keputusan yang dihasilkan.

6. Tidak berpihak (impartiality), untuk memperoleh suatu proses penyelesaian sengketa yang menjunjung tinggi prinsip fairness, maka dalam setiap bentuk penyelesaian sengketa baik melalui lembaga pengadilan (litigasi) maupun lembaga diluar pengadilan (non litigasi), diperlukan adanya jaminan bahwa pihak ketiga yang akan memutus atau menengahi sengketa adalah mereka yang berkeddudukan bebas d\an tidak berpihak pada pihak manapun. Oleh karena itu, dengan memperhatikan pada praktek yang terjadi dalam dunia bisnis, maka lembaga Penyelesain Sengketa Alternatif relatif mampu memberikan jaminan ketidakberpihakan (impartiality) dibandingkan lembaga peradilan.

Dasar hukum Penyelesain Sengketa Alternatif di Indonesia adalah Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa


(49)

55

(selanjutnya disingkat UU Arbitrase). Sebagaimana diketahui bahwa kegiatan e-commerce sepenuhnya bersifat online oleh karena itu sudah sewajarnya apabila penyelesaian sengketapun dilakukan secara online, mengingat bahwa para pihak berkedudukan dinegara yang berbeda yang tentunya bila penyelesaian sengketa dilakukan dengan pertemuan secara fisik akan memakan waktu dan biaya yang banyak. Di Amerika bermunculan situs-situs untuk menyelesaikan permasalahan e-commerce secara online seperti Cybersettle.com, E-Resolutions.com, iCourthouse, dan Online Mediators (Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, 2005: 169).

Pelaksanaan penyelesaian sengketa pada transaksi e-commerce di Indonesia belum sepenuhnya bersifat online, namun UU Arbitrase memberikan kemungkinan penyelesaian sengketa secara online dengan menggunakan e-mail, hal ini tercantum dalam ketentuan Pasal 4 Ayat (3) UU Arbitrase yakni dalam hal disepakati penyelesaian sengketa melalui arbitrase terjadi dalam bentuk pertukaran surat, maka pengiriman teleks, telegram, faksimil, e-mail atau dalam bentuk sarana komunikasi kainnya, wajib disertai dengan suatu catatan penerimaan oleh para pihak. Dengan diperbolehkannya penggunaan e-mail untuk menyelesaikan sengketa, maka para pihak dapat menyelesaiakan sengketanya secara online tanpa harus bertemu satu sama lain.

Berdasarkan uraian di atas, dalam penyelesaian sengketa transaksi e-commerce yang bersifat internasional ditentukan berdasarkan pada asas Hukum Perdata Internasional untuk menentukan hukum mana yang berlaku bagi suatu kontrak perjanjian jual beli (e-commerce) yang bersifat internasional. Dalam praktik penyelesaian sengketa


(50)

e-commerce dilakukan dengan menggunakan mekanisme penyelesaian sengketa alternatif berupa arbitrase, mediasi, negosiasi dan konsiliasi. Pada pelaksanaannya penyelesaian sengketa e-commerce di Indonesia belum sepenuhnya bersifat online, namun UU Arbitrase memberikan kemungkinan penyelesaian sengketa secara online dengan menggunakan e-mail, maka para pihak yang bersengketa dapat menyelesaikan sengketanya secara online tanpa harus bertemu satu sama lain.


(51)

57

V. SIMPULAN

Berdasarkan uraian pada hasil pembahasan dan penelitian, maka dapat disimpukan sebagai berikut:

1. Prosedur jual beli dalam transaksi melalui e-commerce pada situs www.amazon.com dimulai dengan cara pembeli melakukan browsing dengan mengetikan nama situs http://www.amazon.com. Setelah pembeli memilih sign in kemudian pembeli mengetik alamat e-mail dan memilih menu sebagai pelanggan baru di www.amazon.com. Selanjutnya, pembeli mengisi data diri dan memilih tipe pengiriman untuk barang yang akan dibeli, setelah memilih tipe pengiriman dan mencari barang berdasarkan jenis dan kategori dengan cara memilih tombol search dan menentukan jenis barang yang dibeli. Kemudian melakukan proses pembayaran secara online, antara lain dengan menggunakan kartu kredit.

2. Kontrak elektronik yang memuat transaksi e-commerce adalah kontrak yang memenuhi syarat sepanjang syarat keabsahan perjanjian berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata dipenuhi dan dipatuhi oleh penjual dan pembeli. Kontrak e-commerce yang memenuhi syarat sah perjanjian tersebut memberi akibat hukum bagi pihak yang membuatnya sebagai undang-undang dan tidak dapat dibatalkan secara sepihak serta harus dilaksanakan dengan itikad baik. Dalam UUITE, kontrak elektronik termasuk transaksi


(52)

e-commerce telah diatur dan diberi kepastian hukum dengan pengakuan dokumen elektronik sebagai bukti dalam transaksi elektronik.

3. Wanprestasi yang dilakukan oleh pihak penjual merupakan kerugian bagi pihak pembeli baik dalam transaksi jual beli biasa maupun transaksi melalui e-commerce, dan bentuk-bentuk wanprestasi dalam transaksi jual beli biasa sebagaimana yang diatur dalam KUHPerdata maupun dalam transksi melalui e-commerce pada umumnya sama saja yaitu, tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan, melaksanakan apa yang dijanjikan tetapi tidak sesuai dengan apa yang dijanjikan, melaksanakan apa yang dijanjikan tetapi terlambat, dan melaksanakan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.

4. Dalam praktiknya, penyelesaian sengketa transaksi e-commerce yang bersifat internasional ditentukan berdasarkan pada asas Hukum Perdata Internasional untuk menentukan hukum mana yang berlaku bagi suatu kontrak perjanjian jual beli (e-commerce) yang bersifat internasional. Bentuk penyelesaian sengketa e-commerce dilakukan dengan menggunakan mekanisme Penyelesaian Sengketa Alternatif berupa arbitrase, mediasi, negosiasi dan konsiliasi. Pada pelaksanaannya penyelesaian sengketa e-commerce di Indonesia belum sepenuhnya bersifat online, namun UU Arbitrase memberikan kemungkinan penyelesaian sengketa secara online dengan menggunakan e-mail, maka para pihak yang bersengketa dapat menyelesaikan sengketanya secara online tanpa harus bertemu satu sama lain.


(53)

(54)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan teknologi informasi yang ditunjang oleh perkembangan jaringan internet yang semakin cepat akan memberi pengaruh dan perubahan dalam segala aspek kehidupan manusia. Internet membantu dan mempermudah dalam berinteraksi, berkomunikasi, bahkan melakukan perdagangan dengan orang dari segala penjuru dunia dengan murah, cepat dan mudah.

Perkembangan teknologi informasi yang berlangsung sangat pesat tersebut telah mempengaruhi hampir seluruh aspek kehidupan dan kegiatan masyarakat. Perkembangan teknologi informasi, sadar atau tidak telah memberikan dampak terhadap perkembangan hukum, ekonomi, sosial, budaya dan politik. Hal ini merupakan tantangan sekaligus peluang yang harus dihadapi pada awal abad ke-21 dan tahun-tahun berikutnya. Di bidang perekonomian, perkembangan teknologi informasi telah melahirkan model transaksi baru dalam dunia perdagangan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Beberapa tahun terakhir ini dengan begitu merebaknya media internet menyebabkan banyaknya perusahaan melakukan perdagangan dengan mulai mencoba menawarkan berbagai macam produknya menggunakan media internet. Salah satu manfaat dari keberadaan internet adalah sebagai media promosi suatu


(55)

2

produk. Suatu produk yang dionlinekan melalui internet dapat membawa keuntungan besar bagi pengusaha karena produknya di kenal di seluruh dunia.

Saat ini, hukum Indonesia telah mengatur transaksi perdagangan dalam bentuk transaksi elektronik dalam sebuah undang-undang yaitu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (selanjutnya disingkat UUITE). Transaksi elektronik tersebut dikenal dengan istilah electronic commerce (e-commerce).

Transaksi melalui e-commerce pada dasarnya merupakan suatu kontrak transaksi perdagangan antara penjual (pelaku usaha) dan pembeli dengan menggunakan media internet. Jadi proses pemesanan barang dikomunikasikan melalui internet. Besarnya jumlah pengakses internet di dunia akan menciptakan suatu potensi pasar yang semakin luas dalam transaksi e-commerce tersebut. Tidak adanya batas ruang dan waktu dalam melakukan transaksi melalui e-commerce akan semakin mendukung perkembangan sistem tersebut dalam dunia bisnis. Transaksi melalui e-commerce merupakan suatu set dinamis teknologi, aplikasi dan proses bisnis yang menghubungkan perusahaan, konsumen dan komunitas melalui transaksi elektronik dan perdagangan barang, pelayanan dan informasi yang dilakukan secara elektronik (Onno W. Purbo dan Aang Wahyudi, 2000: 2).

E-commerce adalah kegiatan-kegiatan bisnis yang menyangkut konsumen (consumers), manufaktur (manufacturers), service providers, dan pedagang perantara (intermediaries) dengan menggunakan jaringan-jaringan komputer (computer networks), yaitu e-commerce yang meliputi seluruh spektrum kegiatan komersial. Dalam praktik perdagangan, transaksi e-commerce sering dikenal


(56)

dengan istilah lain yaitu perniagaan elektronik atau jual beli melalui internet (Julian Ding, 1999: 25).

Keberadaan e-commerce merupakan alternatif bisnis yang cukup menjanjikan untuk diterapkan dalam transaksi perdagangan pada saat ini. Hal ini didukung oleh karena e-commerce memberikan banyak kemudahan bagi kedua belah pihak, baik dari pihak penjual (pelaku usaha) maupun dari pihak pembeli, yang dapat pula berada di dua benua berbeda. Dengan e-commerce memungkinkan kita bertransaksi dengan cepat dan biaya yang murah tanpa melalui proses yang berbelit-belit, di mana pihak pembeli cukup mengakses internet ke website perusahaan yang mengiklankan produknya diinternet, yang kemudian pihak pembeli cukup mempelajari ketentuan-ketentuan yang disyaratkan pihak penjual (pelaku usaha).

Dengan e-commerce setiap transaksi tidak memerlukan pertemuan dalam tahap negoisasi. Oleh karena, jaringan internet ini dapat menembus batas geografis dan territorial termasuk yurisdiksi hukumnya. Selain itu, manfaat dari digunakannya e-commerce ini adalah dapat menekan biaya barang dan jasa, serta dapat meningkatkan kepuasan pembeli sepanjang yang menyangkut kecepatan untuk mendapatkan barang yang dibutuhkan dengan kualitas yang terbaik sesuai dengan harganya.

Salah satu contoh transaksi e-commerce atau jual beli melalui internet adalah transaksi pada situs amazon.com. Amazon.com adalah salah satu perusahaan besar yang menjual barangnya melalui internet. Perusahaan ini didirikan oleh Jeff Bezos pada November 1994 di Seattle, Amerika Serikat. Amazon.com membuka


(57)

4

situs e-commerce nya pada tahun 1995. Produk yang dijual di perusahaan online ini bermula dari buku kemudian dengan cepat meluaskan diversifikasinya ke produk lain seperti kaset VHS, DVD, CD music, kemudian ke lelang dan sekarang amazon.com sudah menjual ribuan jenis produk berbeda (http://strategik.fe.uns.ac.id/wp-content/uploads/2009/06/menstra-pastiii.pdf diakses tanggal 15 Desember 2009).

Pada prinsipnya, e-commerce adalah transaksi perdagangan atau jual beli barang sebagaimana yang diatur dalam KUHPerdata, namun menggunakan sarana elektronik. Untuk itu, sebagai transaksi perdagangan atau jual beli maka e- commerce tunduk pada hukum perjanjian dan berlaku pula ketentuan hukum perdata yang mengatur perjanjian jual beli sepanjang secara khusus tidak diatur oleh pihak-pihak secara tersendiri melalui kontraknya.

Sebagai suatu perjanjian, maka terhadap transaksi e-commerce harus pula memenuhi syarat sah perjanjian sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320 KUHPerdata sehingga dapat mengikat dan memiliki akibat hukum bagi pihak penjual dan pembeli walaupun mereka berada pada wilayah negara yang berbeda. Namun demikian, dalam praktik pelaksanaannya transaksi e-commerce ini masih memunculkan berbagai masalah antara lain mengenai kepastian hukum dari setiap transaksi yang terjadi dan perlindungan hukum bagi para pelaku bisnis dan pembeli atau masyarakat yang ingin memperoleh barang/jasa melalui sarana commerce dan penyelesaian masalah atau sengketa yang timbul dalam transaksi e-commerce. Ketidakpastian dan ketidakpercayaan pembeli ini lahir dengan sebab


(58)

utama adalah letak yang berjauhan atau berbeda negara antara pembeli dan penjual yang melakukan transaksi e-commerce tersebut.

Berdasarkan ketentuan hukum acara, terdapat 2 (dua) cara penyelesaian sengketa yaitu melalui jalur litigasi dan non litigasi. Proses penyelesaian sengketa yang ditempuh melalui jalur (litigasi) memiliki beberapa kelemahan diantaranya, proses litigasi memakan waktu yang lama dan memakan biaya yang mahal, hal ini tidak sesuai dengan hakikat e-commerce yang bersifat virtual (maya) dan membutuhkan suatu sistem yang efektif, efisien, dan murah. Memperhatikan semakin banyaknya masalah-masalah yang timbul sebagai akibat digunakannya e-commerce dalam aktivitas perdagangan, serta adanya kebutuhan untuk memperoleh penyelesaian sengketa yang efektif, efisien dan tidak memihak, maka penerapan mekanisme Penyelesaian Sengketa Alternatif dalam e-commerce merupakan solusi alternatif dalam mengatasi sengketa sekaligus sebagai salah satu bentuk perlindungan hukum (Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, 2005: 168).

Penelitian ini akan mengkaji dan membahas tentang kepastian hukum dan bentuk penyelesaian sengketa bagi pembeli dalam melakukan transaksi e-commerce. Sebagai penelitian hukum maka sumber hukum yang dapat dijadikan rujukan bagi perlindungan hukum bagi pembeli dalam penelitian adalah ketentuan hukum perjanjian dan UUITE. Dengan demikian, maka penelitian ini akan mengkaji dan membahas aspek hukum dalam transaksi e-commerce dalam rangka menciptakan kepastian hukum dan bentuk penyelesaian sengketa bagi pembeli yang melakukan transaksi perdagangan melalui e-commerce. Untuk memudahkan dalam pembahasan maka ditentukan pula situs internet yang dapat dijadikan contoh


(1)

PERSEMBAHAN

Dengan mengucap puji syukur kepada ALLAH SWT, atas segala rahmat dan ridho yang telah dilimpahkan-Nya dan shalawat tercurah kepada junjungan Nabi

Muhammad SAW, maka dengan segala ketulusan, kerendahan hati, kekurangan serta perjuangan dan jerih payahku, kupersembahkan tulisan skripsiku ini kepada:

Papa dan Mama tercinta yang telah mendidik dan mendampingi dalam keseharianku dengan penuh perhatian, cinta kasih, ketulusan dan pengorbanan, serta atas doa yang tak pernah henti disetiap sujudnya untuk keberhasilanku, serta

abang dan adikku tercinta yang selalu mendukung setiap usahaku.

Semoga ini bukanlah akhir kebahagiaan yang dapat aku berikan, tetapi merupakan awal dari segala kebahagian dan kesuksesan.


(2)

RIWAYAT HIDUP

Nama lengkap adalah Karina Lesty Winatha Putri, lahir di Koba Bangka 24 Januari 1988. Peneliti merupakan anak ketiga dari empat bersaudara pasangan Bapak Arujie Kartawinatha dan Ibu Sukarni.

Peneliti menyelesaikan pendidikan Taman Kanak-kanak di TK Stania Koba Bangka pada tahun 1994, Sekolah Dasar di SD Kartika II-6 Tanjung Karang Bandar Lampung pada tahun 2000, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama di SLTP Negeri 23 Bandar Lampung pada tahun 20003, dan Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 2 Bandar Lampung pada tahun 20006. Dengan mengikuti tes seleksi penerimaan mahasiswa baru (SPMB) akhirnya peneliti diterima di Fakultas Hukum Universitas Lampung pada tahun 2006.

Selama mengikuti perkuliahan peneliti aktif mengikuti kegiatan organisasi yaitu Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum (BEM FH) sebagai Staf Biro Rumah Tangga pada periode 20007-2008. Pada tahun 2009 peneliti mengikuti Praktek Kerja Lapangan Hukum (PKLH) di PT Bank Lampung (Kantor Cabang Utama).


(3)

PERJANJIAN JUAL BELI DALAM TRANSAKSI E-COMMERCE

(Skripsi)

KARINA LESTY WINATHA PUTRI

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG


(4)

SANWACANA

Dengan mengucap syukur Alhamdulillahirrobilalamin, karena atas rahmat dan hidayah Allah SWT skripsi yang berjudul Perjanjian Jual Beli Dalam Transaksi E-Commerce dapat diselesaikan sebagai salah satu syarat dalam mencapai gelar sarjana bidang ilmu hukum pada Fakultas Hukum Universitas Lampung.

Penelitian skripsi ini tidaklah akan berhasil tanpa bantuan dari berbagai pihak, yang memberikan bimbingan serta motivasi, maka pada kesempatan ini peneliti menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Bapak Adius Semenguk, S.H.,M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung.

2. Bapak Prof. Dr. I Gede AB Wiranata, selaku Ketua Bagian Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Lampung.

3. Ibu Rilda Murniati, S.H.,M.Hum., selaku Dosen Pembimbing I yang telah sabar dan meluangkan banyak waktu untuk memberikan bimbingan, motivasi serta masukan dan saran kepada peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini. 4. Bapak Ahmad Zazili, S.H.,M.H., selaku Dosen Pembimbing II yang telah

meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan sarannya dalam menyelesaikan skripsi ini.


(5)

5. Ibu Lindati Dwiatin, S.H.,M.Hum., selaku Dosen Pembahas I untuk waktu serta masukan dan saran yang telah diberikan hingga skripsi ini dapat diselesaikan.

6. Ibu Siti Nurhasanah, S.H.,M.H., selaku Dosen Pembahas II untuk waktu serta masukan dan saran yang telah diberikan hingga skripsi ini dapat diselesaikan. 7. Bapak Syamsir Syamsyu S.H.,M.Hum., selaku Dosen Pembimbing Akademik

yang telah memberikan bantuan dalam menyelesaikan studi di Fakultas Hukum.

8. Seluruh dosen dan karyawan/I Fakultas Hukum Universitas Lampung yang penuh dedikasi untuk memberikan ilmu yang bermanfaat bagi peneliti, serta segala bantuannya selama peneliti menjadi mahasiswa.

9. Kedua orang tuaku yang sangat kucintai yang selalu mendampingiku dalam keadaan suka maupun duka, serta selalu mendoakan keberhasilanku dan kesuksesanku kemarin, hari ini, esok dan seterusnya.

10.Abang dan adikku tersayang terima kasih atas doa, dukungan dan semangat yang diberikan.

11.Maskananggara Asmarantaka terima kasih untuk doa, semangat dan kasih sayang yang selalu diberikan setiap harinya.

12.Sarah, Echa, Sisi, Mutia, Tita, Sandri dan Echi yang selalu ada saat suka dan duka serta mendengarkan keluh-kesahku, terima kasih untuk persahabatan kita.

13.Rino, Enda, Adit, Muly, Putri, Vera, Sarah, Mochi, Nia, Nova Kribo, Andre terima kasih untuk semangat, kebersamaan, dan kegembiraannya.


(6)

14.Teman-teman angkatan 2006 yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terima kasih atas bantuan dan kerjasamanya.

15.Staf keperdataan: Pak Tarno, Pak Trisno, Bu Siti atas segala bantuannya. 16.Semua pihak yang tidak dapat peneliti sebutkan satu persatu yang telah

membantu peneliti menyelesaikan skripsi ini, terima kasih atas semua bantuan, kerelaan dan dukungannya.

Saran dan kritik yang membangun sangat peneliti harapkan demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi yang membacanya, khususnya bagi peneliti dalam mengembangkan dan mengamalkan ilmu pengetahuan.

Bandar Lampung, Juni 2010

Peneliti