Studi pembungaan dan isolasi gen APETALA1 pada Kakao
STUDI PEMBUNGAAN DAN ISOLASI GEN APETALA1
PADA KAKAO (Theobroma cacao L.)
SAMANHUDI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2006
(2)
Saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul “Studi Pembungaan dan Isolasi Gen APETALA1 pada Kakao (Theobroma cacao L.)” adalah benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri dengan bimbingan Komisi
Pembimbing dan belum pernah dipublikasikan. Semua sumber data dan
informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa
kebenarannya.
Bogor, Juni 2006
Samanhudi A156010041
(3)
RINGKASAN
SAMANHUDI 2006. Studi Pembungaan dan Isolasi Gen APETALA1 pada Kakao (Theobroma cacao L.). Di bawah bimbingan ROEDHY POERWANTO sebagai Ketua Komisi dan DJOKO SANTOSO, SOBIR dan AGUS PURWITO sebagai Anggota.
Kakao merupakan komoditas penting bagi Indonesia, baik secara ekonomi maupun sosial. Namun demikian, produktivitas perkebunan kakao di Indonesia masih rendah. Salah satu masalah yang mempengaruhi rendahnya produksi kakao tersebut adalah pembungaannya yang tidak konsisten. Pada perkebunan di daerah tropis, pohon kakao dewasa dapat berbunga sepanjang tahun, tetapi pembungaan terbesar terjadi pada saat pergantian dari musim kering ke musim hujan. Di luar musim tersebut, pembungaan pohon kakao dapat diinduksi dengan beberapa senyawa retardan. Kemajuan biologi molekuler juga telah berkontribusi secara nyata dalam menjelaskan beberapa proses biologi, termasuk proses pembungaan. Hal ini dapat membantu untuk mendapatkan solusi yang efektif berkaitan dengan masalah rendahnya produktivitas.
Tujuan penelitian ini adalah 1) untuk mendapatkan jenis dan konsentrasi senyawa penginduksi pembungaan, 2) untuk mengetahui perubahan kandungan beberapa zat endogen pada tanaman kakao selama induksi pembungaan, 3) untuk mengidentifikasi dan mengisolasi gen APETALA1 (AP1) pada kakao, 4) untuk menguji ekspresi gen AP1 pada berbagai jaringan tanaman kakao, dan 5) untuk menguji ekspresi gen TcAP1 (AP1 kakao) pada planlet tembakau sebagai tanaman model. Penelitian lapangan dilakukan di Kebun Rajamandala, Bandung, Jawa Barat mulai bulan Juli sampai dengan Nopember 2003 meng-gunakan rancangan acak kelompok dengan tujuh kali ulangan. Paklobutrazol diaplikasikan pada konsentrasi 0.5 dan 1 g bahan aktif/pohon, sedangkan CCC dengan konsentrasi 1.000 dan 2.000 ppm. Paklobutrazol dan CCC diaplikasikan dalam bentuk larutan baik secara sendirian maupun dikombinasikan dengan sukrosa 1%, dengan aplikasi melalui penyemprotan daun. Percobaan laborato-rium dilakukan di Plant Research International, Belanda dan di Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia, yang meliputi isolasi RNA, RT-PCR, kloning, sekuensing, uji ekspresi gen AP1 pada berbagai jaringan tanaman kakao dan uji ekspresi gen TcAP1 pada tanaman model.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 1) perlakuan yang terbaik adalah CCC 2.000 ppm yang dikombinasikan dengan sukrosa 1%, karena perlakuan tersebut dapat menginduksi pembungaan lebih awal dan memacu pembentukan buah lebih cepat, serta meningkatkan jumlah bunga dan pentil secara nyata, 2) aplikasi senyawa penginduksi pembungaan pada kakao berpengaruh terhadap penurunan kandungan giberelin (GA3), peningkatan sukrosa, peningkatan karbo-hidrat total dan peningkatan nisbah C/N, 3) full-length AP1 dengan ukuran 824 pb telah berhasil diisolasi dari RNA total jaringan kuncup bunga kakao, 4) gen AP1 diekspresikan secara diferensial pada berbagai jaringan tanaman kakao, dimana ekspresi terkuat terjadi pada kuncup bunga, kemudian berturut-turut disusul bantalan aktif dan bantalan pasif, dan 5) tingkat ekspresi gen TcAP1 bervariasi, dimana kultur tembakau transgenik yang mengekspresikan TcAP1 pada level sedang telah mampu beregenerasi menjadi planlet sempurna dan membentuk bunga lebih cepat.
(4)
SAMANHUDI 2006. Studies on flowering and isolation of APETALA1 gene in cacao (Theobroma cacao L.). Supervised by ROEDHY POERWANTO as chairman and DJOKO SANTOSO, SOBIR and AGUS PURWITO as members of the advisory committee.
Cacao is economically and socially important commodity to Indonesia. However, productivity of cacao plantation in Indonesia is considerably low. One of problems contributing to this inferiority of production is inconsistent flowering. In tropical plantations, mature cacao trees makes flower all the time in the year, with high flowering season takes place on early rainy season. During non-flowering season, cacao non-flowering can be induced by some growth retardants. Advancement on molecular biology has contributed significantly in better under-standing on some biological processes, included of flowering process. This may help in finding an effective way to improve productivity of cacao.
The objectives of this research are to 1) examine flowering-inducing formulas, 2) determine changes of endogenous substances during flowering induction, 3) identification and isolation of APETALA1 gene in cacao, 4) assay the AP1 expression in the various cacao tissues, and 5) assay the TcAP1 (Theobroma cacao AP1) expression in tobacco plantlets. The field trials was conducted in Rajamandala plantation, Bandung, West Java from July to November 2003 using a randomized block design with seven replications. Paclobutrazol solution was applied at 0.5 and 1 g.a.i/tree and CCC at 1.000 and 2.000 ppm. Both paclobutrazol and CCC were applied alone or combined with 1% sucrose by foliar spray. The laboratory experiment was conducted in Plant Research International (PRI), Wageningen, the Netherlands and Indonesian Biotechnology Research Institute for Estate Crops, comprises of RNA isolation, RT-PCR, cloning, sequencing, assay the AP1 expression in the various cacao tissues and assay the TcAP1 expression in model plants.
The results showed that 1) the best treatment was 2.000 ppm CCC combined with 1% sucrose, which this treatment was capable for integrated fruit production, it can induce of flower initiation earlier, promotes of fruit set formation, increase of number of flowers and fruits significantly, 2) the application of flowering inducer resulted in reduce of gibberellins (GA3), increase of sucrose, increase of total carbohydrate and increase of C/N ratio, 3) the full-length AP1 was successfully isolated from total RNA of cacao flower buds, with size of 824 bp, 4) the AP1 was differentially expressed in the various cacao tissues, which the strongest expression exist in the flower bud, then active cushion and resting cushion, respectively, and 5) the expression levels of the TcAP1 events were varied, which the transgenic tobacco cultures expressing TcAP1 at moderate levels, have developed into intact plantlets and set up flowers early.
(5)
STUDI PEMBUNGAAN DAN ISOLASI GEN
APETALA1
PADA KAKAO (
Theobroma cacao
L.)
SAMANHUDI
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Program Studi Agronomi
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2006
(6)
Nama Mahasiswa : Samanhudi Nomor Pokok : A156010041 Program Studi : Agronomi
Disetujui
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. H. Roedhy Poerwanto, M.Sc Dr. Ir. H. Djoko Santoso, M.Sc
Ketua Anggota
Dr. Ir. Sobir, M.Si Dr. Ir. Agus Purwito, M.Sc
Anggota Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Agronomi Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Satriyas Ilyas, M.S Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S
(7)
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kudus, Jawa Tengah pada tanggal 10 Juni 1968 sebagai anak ke tujuh dari tujuh bersaudara pasangan ayah Sutono (alm) dan
ibu Hj. Siti Aminah.
Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas
Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS) dan lulus tahun 1993.
Pada tahun 1998, penulis melanjutkan ke program magister pada Program Studi
Agronomi, Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor dan lulus tahun 2001.
Pada tahun 2001 itu pula penulis mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan
ke program doktor pada program studi dan perguruan tinggi yang sama, dengan
beasiswa BPPS dari Departemen Pendidikan Nasional.
Penulis pernah bekerja sebagai Sarjana Pendamping Purna Waktu
(SP2W) untuk Program Inpres Desa Tertinggal (IDT) BAPPENAS pada tahun
1994 sampai dengan tahun 1997. Sejak tahun 1995 penulis diangkat sebagai
staf pengajar di Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
Penulis menikah dengan Iswatun, S.Pd pada tahun 1995 dan dikaruniai
dua orang anak, yaitu Aninditya Verinda Putrinadia (10 tahun) dan Luthfiana
(8)
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat, taufik dan hidayah-Nya sehingga penelitian dan penulisan disertasi berjudul
“Studi Pembungaan dan Isolasi Gen APETALA1 pada Kakao (Theobroma
cacao L.)” dapat terlaksana.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan terima
kasih yang tulus kepada Bapak Prof. Dr. Ir. H. Roedhy Poerwanto, M.Sc sebagai
Ketua Komisi Pembimbing, atas segala bimbingan dan arahan beliau yang
cermat, terarah dan sistematis mulai dari penyusunan proposal, pelaksanaan
penelitian, sampai dengan penulisan laporan disertasi ini. Penghargaan dan
ucapan terima kasih yang tulus juga disampaikan kepada Bapak Dr. Ir. H. Djoko
Santoso, M.Sc, Bapak Dr. Ir. Sobir, M.Si dan Bapak Dr. Ir. Agus Purwito, M.Sc
sebagai Anggota Komisi Pembimbing, atas bimbingan dan saran-saran beliau
yang sangat berharga untuk mempertajam pemikiran penulis dalam perencanaan
dan pelaksanaan penelitian serta penulisan disertasi ini.
Ucapan terima kasih disampaikan kepada Rektor Universitas Sebelas
Maret dan Dekan Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta, atas
ijin dan kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti program
doktor di Institut Pertanian Bogor. Kepada Rektor Institut Pertanian Bogor, Dekan
Sekolah Pascasarjana IPB, Dekan Fakultas Pertanian IPB dan Ketua Program
Studi Agronomi SPS-IPB, disampaikan terima kasih dan penghargaan atas segala fasilitas dan pelayanannya.
Terima kasih yang mendalam juga disampaikan kepada Kementerian
Riset dan Teknologi yang telah membiayai penelitian ini sepenuhnya, melalui
program Riset Unggulan Terpadu Internasional (RUTI). Ucapan terima kasih juga
(9)
Agricultural Center (IAC) di Belanda, yang telah memberikan fasilitas dan biaya penelitian kepada penulis untuk melakukan penelitian di Belanda. Kepada
Direktur PT Perkebunan Nusantara VIII Jawa Barat beserta staf dan Kepala Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia, yang telah memberikan ijin dan
fasilitas untuk penelitian ini, penulis sampaikan terima kasih. Kepada pengelola
BPPS Ditjen Dikti, Departemen Pendidikan Nasional, disampaikan terima kasih
atas beasiswa yang telah diberikan.
Rasa hormat dan terima kasih yang tulus penulis persembahkan kepada
Ibunda Hj. Siti Aminah dan almarhum Ayahanda Sutono, beserta seluruh
anggota keluarga, yang telah memberikan doa restu, dorongan, semangat dan
motivasi, serta dukungan finansial. Penghargaan dan kebanggaan dengan
segala ketulusan disampaikan kepada istrinda tercinta Iswatun, S.Pd dan
anak-anakku tersayang Aninditya Verinda Putrinadia dan Luthfiana Nadhiifa
Khoirunnisa, atas segala doa, pengorbanan, pengertian, ketabahan dan
dorongan semangat yang telah diberikan selama penulis menyelesaikan
pendidikan Strata-3 di Sekolah Pascasarjana IPB.
Ucapan terima kasih disampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Gerco C Angenent,
Dr. Ruud A. de Maagd, Dr. Ir. Richard G.H. Immink dan Marco Busscher dari
Plant Research International yang telah memberikan bimbingan, fasilitas dan pelayanan kepada penulis selama melakukan penelitian di Belanda. Terima kasih
dan penghargaan yang tulus juga disampaikan kepada Ibu Dr. Ir. Tetty
Chaidamsari, M.Si yang dengan sabarnya beliau bersedia membimbing dan menuntun penulis selama penulis melakukan penelitian di Belanda. Dari beliau
juga penulis mendapatkan banyak pengetahuan tentang biologi molekuler.
Kepada Arief Rachmawan, S.Si, Herti Sugiarti, Niyyah Fitranti, S.Si dan Marini
(10)
Bapak Dr. Ir. Darda Efendi, M.Si, Bapak Dr. Ir. Hasanuddin Ibrahim, Sp.I dan
Bapak Prof. Dr. Ir. Bambang Sapta Purwoko, M.Sc yang telah bersedia menjadi penguji luar komisi pembimbing atas pertanyaan dan saran-saran untuk
perbaikan dalam penulisan disertasi ini.
Kepada rekan-rekan mahasiswa Program Studi Agronomi, Sekolah
Pascasarjana IPB, terima kasih atas kerja samanya selama ini. Kepada semua
pihak yang telah membantu penulis, baik pada saat pengamatan di lapangan,
analisis kimia di laboratorium maupun dalam penulisan disertasi ini yang tidak
dapat penulis sebutkan satu per satu disampaikan terima kasih.
Akhirnya penulis berharap semoga laporan disertasi ini bermanfaat bagi
kita semua. Semoga Allah SWT membalas kebaikan bapak, ibu dan saudara
semua dan memberikan kemudahan dalam segala urusan. Amiin.
Bogor, Juni 2006
(11)
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ... DAFTAR GAMBAR ……….. DAFTAR SINGKATAN ...
I. PENDAHULUAN ...………..……... Latar Belakang ……..…………...………... Perumusan Masalah .………....……….……….... Tujuan Penelitian ………....………...……... Hipotesis Penelitian ...………...…….…………... Manfaat Penelitian ..………...………...
II. TINJAUAN PUSTAKA ...……..………... Botani dan Morfologi Tanaman Kakao ...………... Fisiologi Pembungaan .……...…...……..…………... Senyawa Penginduksi Pembungaan ………...……….. Perubahan Zat Endogen selama Induksi Pembungaan ... Studi Molekuler Pembungaan .………...………...
III. INDUKSI PEMBUNGAAN PADA TANAMAN KAKAO ... Abstrak ... Pendahuluan ... Bahan dan Metode ... Bahan Tanaman ... Prosedur Pelaksanaan ... Hasil dan Pembahasan ... Kesimpulan ...
IV. PERUBAHAN KANDUNGAN BEBERAPA ZAT ENDOGEN PADA TANAMAN KAKAO SELAMA INDUKSI PEMBUNGAAN ...
Abstrak ... Pendahuluan ... Bahan dan Metode ... Bahan Tanaman ... Prosedur Pelaksanaan ... Hasil dan Pembahasan ... Kandungan Giberelin ... Kandungan Sukrosa ... Kandungan Karbohidrat Total ... Kandungan Nitrogen ... Nisbah C/N ... Kesimpulan ...
xiv xv xvii 1 1 5 7 7 8 9 9 11 13 19 21 31 31 31 34 34 34 36 49 51 51 51 53 53 54 55 55 58 60 63 64 67 xi
(12)
KAKAO ... Abstrak ... Pendahuluan ... Bahan dan Metode ... Bahan Tanaman ... Isolasi RNA Bunga Kakao .………. Perancangan Primer Heterologous Spesifik AP1 ... Sintesis First-Strand cDNA Bunga Kakao ... Reverse Transcriptase PCR (RT-PCR) ………..…………. Ekstraksi dan Purifikasi AP1 …... Kloning AP1 ke dalam Vektor pGEM-T Easy .………... Miniprep DNA Plasmid ...………... Sekuensing dan Analisis Hasil Sekuensing ……..……….. Hasil dan Pembahasan ... Isolasi AP1 dari Jaringan Bunga Kakao ... Analisis Sekuen AP1 dari Tanaman Kakao ... Kesimpulan ...
VI. UJI EKSPRESI GEN APETALA1 PADA BERBAGAI JARINGAN TANAMAN KAKAO ...
Abstrak ... Pendahuluan ... Bahan dan Metode ... Bahan Tanaman ... Isolasi RNA dari berbagai Jaringan Tanaman Kakao .….. Perancangan Primer Homologous Spesifik AP1 ... Sintesis First-Strand cDNA dan RT-PCR ... Hasil dan Pembahasan ... Isolasi AP1 dari berbagai Jaringan Tanaman Kakao ... Ekspresi AP1 pada berbagai Jaringan Tanaman Kakao ... Kesimpulan ...
VII. UJI EKSPRESI GEN TcAP1 (APETALA1 KAKAO) PADA TANAMAN MODEL ...
Abstrak ... Pendahuluan ... Bahan dan Metode ... Bahan Tanaman ... Modifikasi dan Transformasi Genetik ..…... Kultur Jaringan ... Polymerase Chain Reaction (PCR) ... Reverse Transcriptase PCR (RT-PCR) ………..…………. Hasil dan Pembahasan ... Kesimpulan ...
68 68 68 70 70 71 72 73 73 74 75 76 77 78 78 83 91 92 92 92 94 94 95 96 96 97 97 99 104 105 105 105 107 107 107 108 108 109 110 115 xii
(13)
VIII. PEMBAHASAN UMUM ...
IX. KESIMPULAN DAN SARAN ... Kesimpulan ... Saran ...
DAFTAR PUSTAKA ...
LAMPIRAN ...
GLOSSARY ...
116
130 130 131
132
143
156
(14)
Halaman
1
2
Rata-rata saat muncul bunga pertama, waktu berbunga, jumlah tandan bunga, jumlah bunga, saat muncul pentil pertama, jumlah pentil total, persentase pentil layu, jumlah pentil sehat, jumlah tunas, panjang tunas dan jumlah daun pada tanaman kakao yang diinduksi pembungaannya ...
Seleksi koloni hasil transformasi AP1 ke dalam vektor kloning ...
38
81
(15)
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Kerangka studi pembungaan dan isolasi gen APETALA1 pada tanaman kakao serta target yang akan dicapai ...
Lokasi penghambatan biosintesis giberelin oleh CCC dan paklo- butrazol (Rademacher 1995; Williams et al. 1999) ...
Alur genetik perkembangan bunga pada Arabidopsis (Blazquez 2000) ...………...………...
Grafik perkembangan jumlah bunga kakao ...
Grafik perkembangan jumlah pentil total ...
Grafik perkembangan jumlah pentil sehat ...
Penampilan bunga kakao pada 24 HSP (Hari Setelah Perlakuan) ..
Penampilan bunga kakao pada 12 HSM (Hari Setelah Muncul) ...
Kandungan giberelin bantalan bunga kakao pada 0 dan 3 MSP ...
Kandungan sukrosa bantalan bunga kakao pada 0 dan 3 MSP ...
Kandungan karbohidrat bantalan bunga kakao pada 0 dan 3 MSP ..
Kandungan nitrogen bantalan bunga kakao pada 0 dan 3 MSP ...
Nisbah C/N bantalan bunga kakao pada 0 dan 3 MSP ...
Hasil elektroforesis RNA total bunga kakao ...
Hasil RT-PCR cDNA bunga kakao ...
Hasil miniprep DNA plasmid ...
Hasil digesti DNA plasmid dengan enzim EcoRI ...
Sekuen nukleotida full-length AP1 pada tanaman kakao (824 pb) ... Hasil BLASTN sekuen nukleotida AP1 kakao (824 pb) ...
Hasil BLASTP sekuen asam amino AP1 kakao (241 aa) ...
Hasil alignment sekuen asam amino AP1 kakao dengan beberapa spesies lain menggunakan Program ClustalW ...
6 15 23 39 40 42 46 46 56 59 61 63 65 78 80 82 82 83 85 86 88 xv
(16)
23
24
25
26
27
28
29
30
31
Hasil analisis phylogenetic tree antara protein TcAP1 (AP1 kakao) dengan protein MADS-box lain menggunakan Program TreeView .. Hasil elektroforesis RNA total dari berbagai jaringan tanaman kakao ...
Ekspresi AP1 pada berbagai jaringan tanaman kakao ...
Pengujian PCR spesifik TcAP1 terhadap DNA genomik planlet tembakau ...
Morfologi kultur planlet tembakau setelah transformasi genetik ...
Hasil RT-PCR spesifik TcAP1 terhadap RNA total daun planlet tembakau ...
Planlet tembakau in vitro pada umur 3.5 bulan ...
Diagram model gen ABC (Yanofsky 1995) ...
Bunga kakao dan diagram susunan organ bunga ...
90
98
100
110
112
113
115
124
125
(17)
DAFTAR SINGKATAN
ABA = Abscisic acid
AG = AGAMOUS
AGL = AGAMOUS-LIKE
AP1 = APETALA1
AP2 = APETALA2
AP3 = APETALA3
AtLFY = Arabidopsis thaliana LEAFY
b.a. = Bahan aktif
BA = Benzyl Adenine
BAP = Benzyl Amino Purin
BLAST = Basic Local Alignment Search Tool
CAL = CAULIFLOWER
CaMV 35S = Cauliflower mosaic virus 35S
CCC = Chlorocholine Chloride
cDNA = Complementary DNA
CTAB = Cetyltrimethyl Ammonium Bromide
DNA = Deoxyribo Nucleic Acid
dNTP = Deoxynucleoside Triphosphate
dpl = Diatas permukaan laut
DTT = Dithiothreitol
EB = Extraction Buffer
EDTA = Ethylenediamine Tetraacetic
EMBL-EBI = European Molecular Biology Laboratory – European Bioinformatics Institute
EMF = EMBRIONIC FLOWER
FBP = FLORAL BINDING PROTEIN
GA3 = Gibberellic Acid
HPLC = High Performance Liquid Chromatography
HSP = Hari Setelah Perlakuan
IPTG = Isopropyl β-D-thio-galactopyranoside
Kb = Kilobase
KNO3 = Potassium Nitrate
LB = Left Border
LB media = Luria Bertani media
LEC2 = LEAFY COTYLEDON2
(18)
LLSEP3 = Lilium longiflorum SEPALLATA3
MADS = MCM1 AGAMOUS DEFICIENS SRF
MdMADS = Malus domestica MADS
MgCl2 = Magnesium Chloride
MQ = MilliQ grade water
mRNA = Messenger RNA
MS media = Murashige & Skoog media
MSP = Minggu Setelah Perlakuan
NaCl = Natrium Chloride
NCBI = National Center for Biotechnological Information NEB buffer = New England Biolabs buffer
NtAP1 = Nicotiana tabacum APETALA1 NtLFY = Nicotiana tabacum LEAFY
O/N = Overnight
pb = Pasang basa
PCR = Polymerase Chain Reaction
PE buffer = Polyethylene buffer
pH = Power of hydrogen
PI = PISTILLATA
ppm = Part per million
PVPP = Polyvinyl Polypyrollidone
RB = Right border
RNA = Ribonucleic Acid
RNase = Ribonuclease
rpm = Rotations per minute
RT-PCR = Reverse Transcriptase – Polymerase Chain Reaction
SEP3 = SEPALLATA3
Taq = Thermophilus aquaticus
TBM = Tanaman Belum Menghasilkan
TcAG = Theobroma cacao AGAMOUS TcAP1 = Theobroma cacao APETALA1 TFL1 = TERMINAL FLOWER1
UAH = Upper Amazone Hybrid
X-Gal = 5-bromo-4-chloro-3-indolyl-β-D-galactopyranoside
(19)
I. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tanaman kakao (Theobroma cacao L.) merupakan salah satu komoditas
perkebunan yang perkembangannya sangat pesat, terutama perkebunan rakyat
dan perkebunan swasta. Potensi pengembangan kakao di Indonesia cukup
besar, baik sumber daya yang dimiliki, teknologi yang dikuasai, maupun
peluang pasar dalam dan luar negeri yang akan terus berkembang pada masa
yang akan datang.
Kakao merupakan salah satu komoditas ekspor Indonesia yang penting,
karena Indonesia merupakan negara penghasil kakao terbesar ke dua di dunia
setelah Pantai Gading. Areal tanaman kakao yang diusahakan di Indonesia pada
tahun 2003 seluas 961.107 ha dengan total produksi sebesar 695.361 ton
serta tingkat produktivitasnya sebesar 723.5 kg/ha/tahun (Departemen Pertanian
2006). Salah satu usaha untuk meningkatkan produksi kakao yaitu dengan
meningkatkan produktivitasnya. Produktivitas kakao di Indonesia masih
memungkinkan untuk ditingkatkan karena didukung oleh tersedianya tenaga kerja yang banyak serta teknologi yang cukup.
Produksi kakao yang dihasilkan tersebut belum mampu memenuhi
kebutuhan pasar dunia, apalagi mutu biji kakao Indonesia masih tergolong
rendah. Hal ini disebabkan sebagian besar pengusahaan kakao di Indonesia
masih bersifat sederhana, serta teknik budidaya yang belum dikuasai
sepenuh-nya. Karena itu diperlukan pengelolaan yang lebih intensif untuk meningkatkan
produktivitasnya. Salah satu aspek fisiologis yang penting dalam hubungannya
dengan peningkatan produksi buah kakao adalah pertumbuhan reproduktif yang
(20)
Pembungaan pada tanaman kakao perlu mendapatkan perhatian karena
pada bulan-bulan tertentu bunganya sangat banyak tetapi pada bulan-bulan yang
lain bunganya sangat sedikit. Pada saat tidak berbunga atau bunganya sedikit
tersebut, tanaman kakao dapat ditingkatkan pembungaannya misalnya dengan
menggunakan senyawa penginduksi pembungaan. Pada Arabidopsis thaliana,
pembungaan dapat diinduksi dengan menggunakan senyawa giberelin (Blazquez
2000). Hal ini berlawanan dengan induksi pembungaan pada pohon
buah-buahan, dimana induksi pembungaan pada pohon buah-buahan dan tanaman
berkayu lainnya berkorelasi negatif dengan aktivitas giberelin. Karena itu
penggunaan zat-zat yang bersifat anti giberelin diharapkan dapat merangsang
pembungaan (Poerwanto et al. 1997). Giberelin endogen yang berperan sebagai
penghambat pembungaan dapat berasal dari buah, biji, tunas dan daun, dan hal
ini dapat dikurangi aktivitasnya dengan mengaplikasikan senyawa anti giberelin
seperti paklobutrazol (Kulkarni 1995).
Paklobutrazol merupakan suatu senyawa kimia yang bekerja secara
fisiologis dalam menghambat biosintesis giberelin. Paklobutrazol telah banyak
digunakan secara komersial untuk menginduksi pembungaan berbagai tanaman
buah-buahan seperti apel, jeruk, anggur, mangga dan durian (Rademacher 1995; Utama 2003; Blaikie et al. 2004). Aplikasi paklobutrazol pada berbagai tanaman
hortikultura tersebut dapat mengurangi pertumbuhan tunas tanpa menurunkan
produktivitas bunga (Rademacher 2000). Paklobutrazol juga digunakan secara
luas pada beberapa tanaman bunga, dan secara umum diaplikasikan melalui
foliar-spray (Million et al. 1999). Paklobutrazol dapat diserap oleh tanaman melalui jaringan akar, batang dan daun, kemudian ditranslokasikan secara
akropetal melalui xilem menuju meristem subapikal, dan selanjutnya menghambat biosintesis giberelin pada daerah meristem subapikal tersebut.
(21)
3
Terhambatnya produksi giberelin menyebabkan penurunan laju pembelahan sel
dan diferensiasi sel, sehingga pertumbuhan vegetatif menjadi menurun dan
fotosintat yang terbentuk dialihkan ke pertumbuhan reproduktif yang diperlukan untuk pembentukan bunga, buah dan perkembangan buah (Gianfagna 1995;
Rademacher 1995; Yuceer et al. 2003).
Chlormequat chloride (Chlorocholine chloride, CCC) juga mempunyai
pengaruh yang berlawanan dengan GA3 terhadap pertumbuhan dan per-kembangan tanaman. GA3 meningkatkan pertumbuhan tunas dan menghambat pembungaan dan infloresen, sedangkan CCC menghambat pertumbuhan dan
mempercepat pembungaan. Pengaruh CCC dapat menghambat pertambahan
tinggi tanaman dan panjang infloresen, dan meningkatkan jumlah tunas lateral,
infloresen dan bunga (Hamza dan Helaly 1983). Sebagai senyawa anti giberelin,
CCC telah terbukti berperan positif terhadap pembungaan dan pengaturan fase
vegetatif dari berbagai tanaman hias maupun tanaman berkayu. Pada Lantana,
aplikasi CCC dapat mengurangi luas daun dan meningkatkan produksi bunga
(Matsoukis et al. 2004). Pada cabai, hasil tanaman yang diperlakukan dengan
CCC juga meningkat tajam dan hal ini diduga karena adanya penghambatan
pertumbuhan vegetatif (Belakbir et al. 1998).
Selain dengan paklobutrazol dan CCC, induksi pembungaan juga dapat
dilakukan dengan menggunakan sukrosa. Pada konsentrasi yang rendah
sukrosa dapat menginduksi pembungaan Arabidopsis secara nyata (Ohto et al.
2001). Pada stadia tertentu dari siklus hidupnya, tanaman mengalami per-kembangan dari fase vegetatif ke fase reproduktif. Transisi ini diatur oleh faktor
lingkungan dan berbagai perkembangan yang kompleks. Dalam hal ini tanaman
akan mengalami perkembangan menuju pembungaan pada saat dimana bahan
internal telah mencukupi dan diakumulasikan, serta kondisi lingkungannya yang
(22)
intensif selama lebih dari sepuluh tahun terakhir. Pengaruh senyawa seperti
karbohidrat dan fitohormon telah banyak dilaporkan. Melalui pendekatan genetika
molekuler, pada Arabidopsis juga telah berhasil diidentifikasi dan kloning beberapa gen yang terlibat dalam pengaturan transisi pembungaan.
Pada Arabidopsis, APETALA1 (AP1) dan LEAFY (LFY) merupakan dua
gen kunci yang berperan dalam proses inisiasi pembungaan (Irish 1999; Wada
dan Kotoda 2003). Mutasi pada salah satu gen tersebut dapat mengakibatkan
perubahan bunga menjadi meristem vegetatif (Irish 1999). Ekspresi LFY dapat
mengubah meristem vegetatif menjadi meristem bunga, sebagaimana yang
diakibatkan oleh ekspresi AP1 (Mandel dan Yanofsky 1995; Weigel dan Nilsson
1995). Selama fase vegetatif, LFY endogen hanya diekspresikan pada level
yang rendah, dan pada saat terjadi perubahan dari fase vegetatif ke
perkembangan reproduktif ekspresi LFY tersebut meningkat, yang diikuti
oleh peningkatan ekspresi AP1 (Blazquez et al. 1997). Jadi, LFY mengatur
transisi ke perkembangan bunga, paling tidak dengan menginduksi ekspresi
AP1 pada daerah meristem tunas apikal yang membentuk primordia bunga (William et al. 2004).
Ketika berada pada batas level tertentu, LFY mengaktifkan gen
MADS-box AP1, suatu gen penanda meristem bunga dan kemudian secara
bersama-sama LFY dan AP1 mengaktifkan gen penanda organ bunga (Parcy et al. 1998).
Transisi ke pembungaan tersebut dapat dihubungkan dengan perubahan dari
fase juvenil ke dewasa (Battey dan Tooke 2002; Carlsbecker et al. 2004). Suatu hal yang menarik, bahwa pertumbuhan vegetatif yang panjang pada angiosperm
berkayu seperti jeruk dan poplar dapat dikurangi dengan mengekspresikan
secara konstitutif gen LFY dan AP1 dari Arabidopsis (Weigel dan Nilsson 1995;
(23)
5
Pada tanaman kakao, kurangnya informasi mengenai mekanisme
pembentukan dan perkembangan bunga secara molekuler merupakan salah satu
kendala dalam memperbaiki produktivitasnya. Melalui aplikasi paklobutrazol, CCC dan sukrosa untuk menginduksi pembungaan kakao diharapkan
senyawa-senyawa tersebut dapat mengaktifkan gen-gen pembungaan pada kakao,
termasuk gen APETALA1. Dengan demikian diharapkan dapat membuka
peluang untuk melakukan identifikasi dan karakterisasi lebih lanjut terhadap
gen-gen pembungaan pada kakao.
Perumusan Masalah
Pembungaan pada tanaman kakao dapat terjadi sepanjang tahun tetapi
intensitasnya bervariasi. Pada bulan-bulan tertentu terjadi pembungaan yang
lebat sekali, tetapi pada saat yang lain bunganya sangat sedikit atau bahkan
tidak berbunga sama sekali. Pola pembungaan yang khas pada tanaman kakao
tersebut telah berkontribusi terhadap rendahnya produktivitas perkebunan kakao
di Indonesia. Untuk mengatasi masalah pembungaan pada tanaman kakao
tersebut, perlu dilakukan upaya pengaturan pembungaan misalnya dengan
aplikasi zat pengatur tumbuh. Selain dipengaruhi oleh berbagai faktor
lingkungan, proses pembungaan juga dikendalikan oleh gen-gen pengatur
pembungaan. Pada tanaman kakao, gen-gen yang mengontrol pembungaan
belum banyak dipelajari. Oleh karena itu, selain dilakukan induksi pembungaan
untuk mendapatkan inducer yang efektif, dalam penelitian ini juga akan dilakukan kloning dan karakterisasi gen APETALA1 (AP1) yang diduga ikut berperan dalam
mengatur pembungaan pada tanaman kakao, serta pengujian ekspresinya pada
(24)
Studi perubahan kandungan beberapa zat endogen selama induksi pembungaan
(Percobaan 2)
Secara fisiologi dapat mengakibatkan perubahan kandungan beberapa zat endogen dan secara molekuler dapat mengaktifkan gen-gen pembungaan seperti : LEAFY, APETALA1, CAL, dll
Identifikasi dan isolasi gen APETALA1
pada tanaman kakao (Percobaan 3)
Uji ekspresi AP1 pada berbagai jaringan tanaman kakao (Percobaan 4)
Diketahui perubahan kandungan beberapa zat endogen selama induksi pembungaan
Didapatkan full-lengthAP1
Dapat menjelaskan ekspresi AP1 pada berbagai jaringan tanaman kakao
Uji ekspresi AP1 kakao pada tanaman model (Percobaan 5)
Dapat menjelaskan ekspresi dan fungsiAP1kakao pada spesies lain pembungaan tanaman kakao
(Percobaan 1)
Pembungaan Tanaman Kakao : ● Terjadi sepanjang tahun
● Polanya sangat bervariasi
● Dapat diinduksi dari luar
6
(25)
7
Tujuan Penelitian
Tujuan Umum :
Mengembangkan metode dasar bagi peningkatan produksi kakao di luar musim
dan mempelajari gen yang terlibat dalam pembungaan kakao.
Tujuan Khusus :
1. Mendapatkan jenis dan konsentrasi senyawa yang tepat untuk menginduksi
pembungaan tanaman kakao.
2. Mengetahui perubahan kandungan beberapa zat endogen pada tanaman kakao selama induksi pembungaan.
3. Mengidentifikasi, mengisolasi dan kloning gen pembungaan (APETALA1)
pada tanaman kakao.
4. Menguji tingkat ekspresi gen APETALA1 pada berbagai jaringan tanaman
kakao.
5. Menguji ekspresi gen APETALA1 kakao pada tanaman model.
Hipotesis Penelitian
1. Pembungaan tanaman kakao dapat diinduksi oleh senyawa retardan secara
eksogen dengan konsentrasi tertentu.
2. Terjadi perubahan kandungan beberapa zat endogen pada tanaman kakao
selama induksi pembungaan.
3. Gen APETALA1 dapat diidentifikasi dengan PCR menggunakan primer
heterologous dan diklon dengan vektor pGEM-T.
4. Gen APETALA1 diekspresikan secara diferensial pada berbagai jaringan
tanaman kakao.
5. Gen APETALA1 kakao diduga dapat diekspresikan pada spesies tanaman lain.
(26)
Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah dapat dihasilkannya
suatu formula yang dapat mengatur pembungaan tanaman kakao. Sehingga
tanaman kakao yang biasanya berbunga banyak hanya satu musim dalam
setahun, diharapkan dapat berbunga banyak dua musim dalam setahun.
Dengan demikian panen raya juga diharapkan dapat secara rutin terjadi
dua kali dalam setahun, sehingga tujuan akhir dari budidaya kakao yaitu produksi biji yang tinggi dapat dicapai. Dengan berhasil diidentifikasinya gen pengatur
pembungaan (APETALA1) pada kakao, maka diharapkan mekanisme molekuler
proses pembungaan kakao dapat dipahami, dengan demikian nantinya rekayasa
ke arah peningkatan pembungaan dan produktivitasnya dapat dilakukan.
Mengingat kakao merupakan komoditas yang secara sosial dan ekonomi
penting bagi Indonesia, maka aplikasi hasil penelitian ini diharapkan dapat
berkontribusi dalam meningkatkan devisa bagi negara dan pendapatan petani
(27)
II. TINJAUAN PUSTAKA
Botani dan Morfologi Tanaman Kakao
Tanaman kakao (Theobroma cacao L.) termasuk tanaman kaulifloral, yaitu jenis tanaman yang membentuk bunga dan buah pada batang dan cabang yang tua. Tanaman kakao dapat tumbuh pada dataran rendah tropis dengan ketinggian hingga 1.000 m dpl, dimana temperatur rendah merupakan faktor pembatas. Tanaman kakao juga memerlukan curah hujan yang merata sepanjang tahun dengan minimal 90-100 mm per bulan. Kakao dapat tumbuh dengan baik pada tanah dengan kisaran pH 6.0-7.0 (Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia 2004).
Kakao merupakan tanaman dikotil tahunan dari famili Sterculiaceae dan mempunyai jumlah kromosom 2n = 20. Tanaman dewasa dapat mencapai tinggi 6-9 m. Bunga kakao berwarna merah muda sampai putih, reguler, hermafrodit dan memiliki lima sepal, lima petal, 10 stamen yang tersusun dalam dua lingkaran, dan sebuah ovari superior yang merupakan gabungan dari lima carpel. Bunga kakao muncul secara bergerombol pada bantalan bunga, yaitu jaringan yang menebal yang terbentuk pada ketiak bekas menempelnya tangkai daun. Sejak bakal bunga muncul pada bantalan tersebut sampai bunga mekar diperlukan waktu sekitar 30 hari. Bila pada saat mekar bunga tidak mengalami penyerbukan, maka bunga akan segera gugur (Tjasadihardja 1987).
Iklim merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pola pembentukan bunga. Pola curah hujan di suatu daerah dapat menentukan pola pertumbuhan vegetatif dan generatif tanaman kakao. Bunga kakao dapat terbentuk sepanjang tahun tetapi intensitas pembentukannya beragam dari waktu ke waktu. Bunga banyak terbentuk selama musim hujan dan bulan-bulan lembab
(28)
berikutnya. Di Pulau Jawa, musim pembungaan besar biasanya dimulai pada bulan Nopember (awal musim hujan) dan berlangsung terus sampai bulan Juni, dengan puncak pada bulan Desember-Januari. Pembungaan besar tersebut akan menghasilkan panen besar pada bulan Mei-Juni. Peningkatan pembentukan bunga selama musim hujan diduga berkaitan juga dengan pergantian dari lingkungan kering selama musim kemarau ke lingkungan basah selama musim hujan (Tjasadihardja 1987).
Meskipun tanaman kakao dapat berbunga berkali-kali sepanjang tahun, tetapi pembungaan yang utama terjadi pada saat hujan pertama setelah musim kering. Tanaman mulai berbunga setelah berumur dua tahun sejak tanam, dan untuk mencapai buah matang diperlukan waktu 5-6 bulan setelah polinasi. Buah yang telah masak dinamakan pod dan ukurannya dapat mencapai diameter 10 cm dan panjang 30 cm. Biji kakao kaya akan karbohidrat dan lemak, sehingga merupakan sumber energi yang baik. Kakao juga mengandung senyawa theobromin yang secara kimia dapat dikonversi menjadi kafein yang dapat digunakan untuk minuman maupun keperluan kesehatan. Selain itu kakao juga mengandung senyawa antioksidan (Mims 1998). Karena itu pemanfaatan biji kakao tidak hanya untuk memenuhi bahan makanan, tetapi juga untuk keperluan farmasi (Potts 2002).
Faktor musim terutama musim kemarau mempengaruhi perkembangan dan produksi tanaman kakao. Pada musim kemarau intensitas cahaya matahari sangat tinggi karena derajat awan rendah, kelembaban udara sangat rendah, sebaliknya temperatur lingkungan meningkat sangat tajam, sehingga tanaman kakao mengalami cekaman air (Suhadi 2002). Dalam kondisi seperti ini tanaman kakao menjadi sulit berbunga dan akibatnya produksinya juga tertunda.
(29)
11
Fisiologi Pembungaan
Pembungaan tanaman merupakan kejadian fisiologis yang kompleks yang secara morfologi terjadi perubahan dari fase vegetatif menuju terbentuknya organ-organ bunga. Proses pembentukan bunga tersebut secara garis besar terdiri atas empat tahap yaitu inisiasi bunga, diferensiasi bunga, pendewasaan bunga dan anthesis. Dari keempat tahap tersebut, fase inisiasi bunga merupakan fase yang paling kritis dari pembungaan yang merupakan proses biokimia dari fase vegetatif ke arah reproduktif, namun secara morfologi tidak nampak (Ryugo 1988).
Terdapat beberapa konsep yang mendasari para peneliti mempelajari proses pembungaan. Konsep pertama yaitu konsep nutrisi yang menerangkan bahwa pembungaan dikontrol oleh keseimbangan karbohidrat dan nitrogen atau nisbah C/N (konsep Kraus and Kraibill), dan konsep yang kedua yaitu konsep hormonal yang menjelaskan bahwa proses pembungaan pada tanaman tertentu diatur oleh zat pendorong pembungaan (florigen). Hormon ini diproduksi oleh daun kemudian ditranslokasi ke sebagian tunas yang akan memproduksi organ generatif (Ryugo 1988). Analisis nisbah C/N pada Sinapsis alba dan Arabidopsis
yang sedang diinduksi bunganya, menunjukkan bahwa nisbah C/N pada cairan floem meningkat dengan nyata dan cepat, yang mengindikasikan bahwa penurunan suplai N dan peningkatan C organik ke meristem apikal merupakan kejadian penting pada transisi pembungaan (Corbesier et al. 2002).
Dalam pembungaan tanaman, transisi dari fase pertumbuhan vegetatif ke fase reproduktif merupakan proses perkembangan yang kritis, yang ditandai oleh sejumlah perubahan pada apeks tunas pada tingkat molekuler, fisiologi dan morfologi. Dengan kondisi lingkungan yang dapat menginduksi dan kemampuan tanaman untuk merespon faktor eksternal ini, meristem vegetatif akan
(30)
berkembang menjadi meristem reproduktif, yang mana dapat secara langsung menjadi infloresen dan kemudian menghasilkan banyak bunga (Immink et al. 1999). Pada kebanyakan tanaman, faktor lingkungan (terutama panjang hari dan temperatur) berperan mengendalikan transisi dari meristem vegetatif ke meristem bunga. Meristem vegetatif menjadi meristem infloresen yang selanjutnya akan membentuk satu atau lebih meristem bunga (Staveley 2005).
Dalam kondisi yang menginduksi pembungaan, meristem tunas utama dari tanaman Arabidopsis menghasilkan meristem bunga lebih cepat daripada meristem daun yang mengapitnya. Selama fase vegetatif, meristem tunas utama dari Arabidopsis menghasilkan daun roset dengan jarak yang sangat dekat. Transisi ke fase reproduksi, yang dikontrol dengan ketat oleh jaringan kompleks dari gen pengontrol waktu pembungaan, dipengaruhi oleh sinyal lingkungan, seperti panjang hari, kualitas cahaya dan temperatur, sebagaimana faktor internal seperti umur tanaman.
Pada beberapa spesies, waktu pembungaan terutama dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang memberikan kondisi pertumbuhan yang baik untuk reproduksi seksual dan pemasakan biji. Faktor ini meliputi fotoperiod atau panjang hari, kualitas cahaya, kuantitas cahaya, vernalisasi, dan ketersediaan nutrisi dan air. Pembungaan dapat juga diinduksi oleh stres seperti defisiensi nutrisi, kekeringan dan kerapatan tanaman (Levy dan Dean 1998). Sementara itu Ratcliffe dan Riechmann (2002), mengatakan bahwa transisi pembungaan merupakan proses yang plastis, yang selain dipengaruhi oleh faktor endogen juga faktor lingkungan, yang meliputi panjang hari, kualitas cahaya, temperatur, stres biotik dan stres abiotik.
Aplikasi GA jarang efektif untuk menginduksi pembungaan pada tanaman
short-day. Pada umumnya GA menghambat pembungaan pada tanaman
(31)
13
(Pharis dan King 1985). Pada satsuma mandarin (Citrus unshiu Marc.), GA1+3 dapat menghambat pembentukan kuncup bunga. GA eksogen memperlihatkan penghambatan terhadap pembentukan kuncup bunga tidak hanya pada citrus, tetapi juga pada apel, pear, cherrie dan peach. Bahkan tidak hanya GA eksogen yang menghambat, tetapi GA endogen juga menurunkan pembentukan kuncup bunga (Koshita et al. 1999).
Berdasarkan pada penelitian-penelitian di atas, maka dalam pengaturan pembungaan diperlukan zat yang dapat menghambat biosintesis giberelin yang kemudian disebut retardan. Namun demikian, pemberian retardan selain mendorong pembungaan juga dapat mengakibatkan dormansi tunas. Untuk itu diperlukan usaha pemecahan dormansi pada tunas yang sudah terinduksi bunganya.
Senyawa Penginduksi Pembungaan
Zat penghambat tumbuh (retardan) merupakan zat yang mempunyai efek fisiologis memperlambat pertumbuhan vegetatif dan dapat mendorong pembungaan pada tanaman tertentu yaitu dengan menghambat pembelahan dan pembesaran sel subapikal. Retardan ini menghambat sintesis giberelin, sehingga akan menghambat pembelahan dan pembesaran sel (pertumbuhan vegetatif) dan mendorong pertumbuhan generatif.
Dari kelompok senyawa triazol yang digunakan untuk meginduksi pembungaan pada tanaman berkayu, paklobutrazol adalah yang paling umum digunakan (Meilan 1997). Dasar teori penggunaan paklobutrazol adalah bahwa senyawa ini dapat menghambat biosintesis giberelin. Paklobutrazol menghambat biosintesis giberelin pada oksidasi ent-kaurene menjadi ent-kaurenoic acid
(Gambar 2). Hasil penelitian yang dilakukan oleh William dan Edgerton (1983) menunjukkan bahwa paklobutrazol yang diaplikasikan pada pohon apel berumur
(32)
25 tahun dengan dosis 2 g/m2 melalui penyiraman akar dapat mengendalikan
pertumbuhan vegetatif dan meningkatkan hasil.
Hasil serupa terjadi pada tanaman Eucalyptus nitens dan E. globulus, suatu tanaman berkayu yang berbunga secara biennial atau sporadis, dengan aplikasi paklobutrazol melaui penyiraman, penyemprotan lewat daun, atau injeksi batang ternyata dapat menginduksi inisiasi kuncup bunga. Paklobutrazol juga diketahui dapat menurunkan level giberelin endogen pada beberapa spesies, meningkatkan aktivitas reproduktif, menekan pertambahan tinggi dan produksi daun (Hasan 1993; Moncur dan Hasan 1994). Karena itu induksi pembungaan dengan paklobutrazol merupakan metode praktis dalam memacu pembungaan untuk keperluan pemuliaan dan produksi biji.
Perlakuan paklobutrazol dapat menyebabkan pembungaan pada pohon durian. Aplikasi senyawa paklobutrazol dengan dosis 15 g/pohon dapat menghasilkan pembungaan secara nyata pada pohon durian (Utama 2003). Aplikasi paklobutrazol juga dapat meningkatkan kandungan karbohidrat dalam jaringan kayu. Kandungan karbohidrat ini merupakan sumber energi untuk pembentukan bunga. Namun secara tidak langsung aplikasi paklobutrazol dapat meningkatkan biosintesis asam absisat (ABA), sehingga mengakibatkan terjadinya dormansi tunas. Untuk itu diperlukan penyemprotan dengan zat pemecah dormansi sesudah aplikasi paklobutrazol (Usman 1997).
Pada tanaman mangga, perlakuan paklobutrazol mampu menginduksi pembungaan di luar musim dengan cara menghambat biosintesis giberelin sehingga dapat menstimulir pembungaan dan meningkatkan munculnya tunas reproduktif. Perlakuan paklobutrazol dengan dosis 1.0 g bahan aktif/pohon dan waktu pemberian ethephon 60 hari sesudah aplikasi paklobutrazol mempunyai potensi pembungaan terbaik dengan mempercepat saat berbunga, meningkatkan
(33)
15
jumlah ranting berbunga, meningkatkan jumlah malai normal dan meningkatkan jumlah bunga sempurna (Usman 1997).
Keterangan :
MVA : Mevalonic acid IPP : Isopentenil pirofosfat GPP : Geranil pirofosfat FPP : Farnesil pirofosfat GGPP : Geranil geranil pirofosfat CPP : Copalil pirofosfat
MVA IPP GPP FPP
GGPP
CCC
CPP
ent-kaurene
Paclobutrazol
ent-kaurenoic acid
ent-7α-OH-kaurenoic acid
GAs-aldehyde
Gibberellinx
Gambar 2 Lokasi penghambatan biosintesis giberelin oleh CCC dan paklo- butrazol (Rademacher 1995; Williams et al. 1999).
(34)
Aplikasi paklobutrazol pada tanaman mangga juga dapat menyebabkan dormansi mata tunas yang berkepanjangan, sehingga mata tunas yang mungkin sudah terinduksi menjadi bakal bunga tersebut tidak segera muncul. Karena itu, penyemprotan dengan zat pemecah dormansi setelah aplikasi paklobutrazol diharapkan dapat mempercepat munculnya bunga dan meningkatkan jumlah bunga. Terdapat beberapa bahan kimia yang dapat memecahkan dormansi pada pohon buah-buahan, diantaranya yang telah berhasil mempercepat munculnya bunga dan meningkatkan jumlah bunga pada tanaman jeruk siem, yaitu ethephon 200 ppm, KNO3 20 g/l atau BA 100 ppm, yang disemprotkan pada
1-2 bulan setelah aplikasi paklobutrazol (Poerwanto dan Susanto 1996).
Aplikasi paklobutrazol didasarkan pada ukuran kanopi pohon dan biasanya dengan kisaran dosis 1.0-1.5 g bahan aktif per pohon (Nartvaranant
et al. 2000). Pada pohon lychee, aplikasi paklobutrazol melalui penyiraman tanah dengan dosis 1.0 atau 1.5 g b.a./m2 dapat mengurangi terjadinya flush
selama periode pembungaan dibandingkan dengan kontrol (Chaitrakulsub et al. 1992). Pada pohon E. nitens, paklobutrazol dan juga CCC dapat mengontrol pertumbuhan vegetatif dan merangsang pembungaan, serta menurunkan level GA1 dan GA20 pada apeks sebagai akibat terjadinya penghambatan biosintesis
GA pada daerah tersebut (Williams et al. 1999).
Chlormequat chloride (CCC) juga merupakan senyawa yang bersifat anti giberelin, yang menghambat biosintesis giberelin pada tahap pembentukan
copalil pirofosfat dari geranil geranil pirofosfat (Gambar 2). Pemberian CCC dapat menurunkan pertumbuhan batang, daun dan stolon, tetapi dapat memacu
pengumbian kentang (Sharma et al. 1998). Penyemprotan CCC juga dapat
meningkatkan kandungan gula pereduksi, pati dan sukrosa pada batang. Sukrosa merupakan salah satu produk akhir dari proses fotosintesis dan merupakan bentuk utama dari gula yang ditranslokasikan pada kebanyakan
(35)
17
tanaman. Menurut Latimer et al. (2001), CCC biasanya diaplikasikan melalui
foliar-spray dengan konsentrasi 1.500 sampai 3.000 ppm. Pada Hibiscus, aplikasi CCC dengan konsentrasi 1.000 ppm dapat memacu pembungaan lebih awal dan menghasilkan jumlah bunga yang lebih banyak.
CCC secara signifikan menghambat pertumbuhan tunas pada mangga, baik pada tanaman muda maupun pada tanaman dewasa. Pengaruh perlakuan CCC terhadap penurunan pertumbuhan terjadi lebih nyata pada tanaman dewasa daripada pada tanaman yang masih muda. Lebih lanjut, penghambatan pemanjangan tunas secara linier terjadi pada pohon dewasa dan muda dengan konsentrasi CCC yang lebih tinggi. Penurunan pemanjangan secara linier pada tanaman dewasa terjadi dengan perlakuan CCC 2.000 ppm, sedangkan pada tanaman muda dengan konsentrasi CCC 4.000 ppm. CCC menyebabkan penurunan produksi giberelin pada daun muda yang pada akhirnya akan menurunkan produksi auksin pada meristem apikal (Maiti et al. 1972).
Pemberian CCC pada berbagai tanaman dapat memperbaiki pem-bungaan dan membuat tanaman lebih kompak, dengan pertumbuhan tunas yang seragam. Pada tanaman jeruk, ketika senyawa penghambat tumbuh tersebut digunakan untuk menstimulasi hasil pada pohon muda, maka pengaruhnya terhadap pemanjangan dan vigor menjadi kurang efektif dan sebaliknya akan memacu pembungaan dan pembentukan buah. Aplikasi CCC dengan konsentrasi 500, 1.500, dan 3.000 ppm pada pohon jeruk muda yang berumur 11 bulan dapat menginduksi saat pembungaan yang lebih cepat dan memperbaiki pembentukan buah. Penurunan pemanjangan tunas pada tanaman yang diperlakukan dengan CCC dapat menghasilkan penampilan pohon yang kompak. Dengan perlakuan CCC, pembentukan buah diinisiasi lebih awal dan hasil akhir juga meningkat. Buah dari tanaman yang diperlakukan dengan CCC mempunyai jumlah biji yang lebih banyak daripada buah yang berasal dari
(36)
tanaman kontrol. Kandungan bahan kering buah sebagai bagian dari bahan kering total menjadi meningkat, dan hanya terjadi penurunan yang relatif kecil pada daun dan akar. Penurunan total bahan kering yang dihasilkan per tanaman secara keseluruhan hanya terjadi pada konsentrasi CCC yang paling tinggi (3.000 ppm), tetapi distribusi relatif dari bahan kering ke berbagai bagian tanaman dipengaruhi oleh CCC pada semua level (Salomon 1981).
Studi fisiologi menunjukkan bahwa terdapat biomolekul kecil yang terlibat dalam transisi pembungaan. Molekul tersebut meliputi gula, sitokinin dan
giberelin (GA). Studi pada Sinapsis alba, setelah induksi pembungaan,
konsentrasi molekul tersebut pada apeks meningkat dengan cepat dan nyata (Bernier et al. 1993). Hal ini membuktikan bahwa secara genetik pembungaan dikontrol oleh gula (Levy dan Dean 1998). Pada Arabidopsis, GA dapat memacu pembungaan paling tidak dalam mengaktifkan ekspresi LFY. Blazquez et al. (1998) juga menganalisis pengaruh langsung dari GA dengan dan tanpa sukrosa
terhadap aktivitas promoter LFY. Perlakuan GA saja tidak memberikan
pengaruh, perlakuan sukrosa saja menghasilkan sedikit peningkatan, sedangkan jika keduanya diberikan secara bersamaan dapat memberikan pengaruh sinergis (Levy dan Dean 1998). Meilan (1997) juga melaporkan bahwa karbohidrat endogen memainkan peranan dalam mengontrol induksi pembungaan pada pohon buah-buahan. Karbohidrat dapat merefleksikan status metabolit dari suatu tanaman. Hubungannya dengan proses pembungaan,
bahwa sukrosa ini akan menstimulasi ekspresi LFY yang selanjutnya akan
menstimulasi pembungaan (Zufall 2002).
Walaupun gula telah diketahui dapat memacu transisi pembungaan pada beberapa spesies tanaman, tetapi dalam konsentrasi yang tinggi (5%) sukrosa
dapat menunda waktu pembungaan secara nyata pada Arabidopsis dan
(37)
19
transisi pembungaan disebabkan oleh bertambahnya fase vegetatif, yang diakibatkan oleh lambatnya aktivasi ekspresi LFY. Konsentrasi sukrosa 1% dapat memacu transisi pembungaan dari mutan yang lambat berbunga. Hasil ini menunjukkan bahwa gula dapat mempengaruhi transisi pembungaan dengan mengaktifkan gen yang berperan mengontrol transisi pembungaan, bergantung pada konsentrasi gula, latar belakang genetik tanaman dan kapan gula tersebut diberikan (Ohto et al. 2001).
Perubahan Zat Endogen selama Induksi Pembungaan
Pada spesies tertentu pertumbuhan batang dan daun terhenti pada saat terjadi pembungaan. Alokasi asimilat pada tanaman yaitu untuk pertumbuhan vegetatif yang meliputi pertumbuhan akar, batang dan daun, dan pertumbuhan reproduktif yang meliputi pembentukan bunga, buah dan biji. Fase induksi dalam proses pembungaan merupakan fase paling penting yang menentukan apakah tanaman tersebut akan berbuah atau tidak. Pada fase ini terjadi perubahan fisiologis atau biokimia pada mata tunas dari pertumbuhan vegetatif menuju pertumbuhan generatif. Perubahan fisiologis atau biokimia yang terjadi pada fase induksi pembungaan tersebut antara lain meliputi perubahan kandungan karbohidrat, nitrogen, asam amino dan hormon (Poerwanto 2003).
Giberelin merupakan salah satu hormon yang berperanan penting pada proses pembungaan tanaman. Giberelin adalah faktor endogen yang dapat menghambat pembungaan jeruk disamping beberapa pohon buah-buahan lainnya, dan induksi bunga tersebut memerlukan penurunan aktivitas hormon giberelin (Krajewski dan Rabe 1995). Aktivitas zat mirip giberelin pada daun jeruk Satsuma yang terinduksi bunganya lebih rendah daripada yang tidak terinduksi (Poerwanto dan Inoue 1990). Sejalan dengan hal tersebut, muncul pemikiran
(38)
bahwa perangsangan pembungaan dapat dilakukan dengan perlakuan yang menghambat biosintesis giberelin (Koshita et al. 1999).
Krajewski dan Rabe (1995) menyebutkan bahwa pembungaan pada jeruk meliputi banyak proses fisiologi. Salah satu proses fisiologi tersebut adalah yang berkaitan dengan hormon giberelin. Giberelin secara endogen dapat menjadi penghambat pembungaan bagi tanaman. Berdasarkan studi pembungaan pada jeruk, ditemukan senyawa GA1 dan GA4 terdapat dalam konsentrasi yang lebih
tinggi pada pucuk vegetatif dibandingkan pada pucuk berbunga. Disamping itu kedua jenis giberelin tersebut ditemukan pada konsentrasi yang rendah pada saat terjadinya pembungaan. Salah satu fungsi fisiologis giberelin adalah pemanjangan batang dan meningkatkan pertumbuhan daun-daun muda dengan meningkatkan aktivitas pemanjangan dan pembelahan sel. Kandungan giberelin yang tinggi dapat meningkatkan aktivitas pertumbuhan vegetatif berupa pemanjangan tunas dan pertumbuhan sel pada jaringan meristem (Hooley 1994). Pada manggis, tanaman asal sambungan memiliki kandungan GA3, GA5 dan GA7
lebih rendah dibandingkan dengan tanaman asal biji (Rai 2004).
Pada kebanyakan tanaman buah-buahan, pucuk dapat terinduksi atau tidak terinduksi untuk berbunga erat kaitannya dengan perbedaan kandungan
hormon tumbuh (Krajewski dan Rabe 1995; Koshita et al. 1999), perbedaan
keseimbangan karbohidrat dan nitrogen serta kondisi nutrisi yang optimum bersamaan dengan perubahan-perubahan dalam tunas pucuk (Lyndon 1990;
Hempel et al. 2000). Pada manggis induksi bunga juga ditandai dengan
penurunan tajam kandungan giberelin dan peningkatan tajam gula total dan nisbah C/N dibandingkan dengan sebelum induksi. Pada stadium induksi terjadi peningkatan kandungan gula total dan penurunan nitrogen dibandingkan dengan sebelum induksi, baik pada tanaman asal biji maupun pada tanaman asal sambungan (Rai 2004).
(39)
21
Proses pembungaan dipengaruhi oleh kandungan gula total daun, nisbah C/N daun dan gula total kulit ranting. Peningkatan gula total dan penurunan nitrogen bermakna cukup penting dalam pembungaan, karena penurunan kandungan nitrogen disertai dengan peningkatan gula total dapat meningkatkan nisbah C/N, yang berperanan sangat penting dalam menginduksi bunga. Kandungan gula yang tinggi pada pucuk diperlukan sebagai sumber energi awal bagi proses induksi bunga, proses perkembangan daerah meristem dan bagian-bagian bunga. Pada lengkeng, kandungan gula terlarut meningkat tajam pada meristem pucuk yang terinduksi untuk berbunga (Prawitasari 2001).
Pentingnya peranan gula total dan nisbah C/N pada proses induksi bunga terlihat pula pada perbedaan kandungan gula total dan nisbah C/N antara pucuk berbunga dan pucuk tidak berbunga pada tanaman manggis. Pada stadium induksi, kandungan gula total dan nisbah C/N pucuk berbunga nyata lebih tinggi dibandingkan dengan pucuk tidak berbunga. Hal tersebut menunjukkan bahwa pada saat terjadi induksi bunga gula total dan nisbah C/N di pucuk meningkat dan peningkatan yang lebih besar terjadi pada pucuk-pucuk yang akan menginduksi bunga. Pucuk yang tidak mengalami peningkatan gula total secara tajam tidak mampu menginduksi bunga sehingga pucuk-pucuk tersebut tidak berbunga (Rai 2004).
Studi Molekuler Pembungaan
Pembungaan merupakan proses yang memerlukan banyak faktor yang dikontrol oleh integrasi sinyal endogen, yang berhubungan dengan faktor seperti umur tanaman dan status metabolit, dengan sinyal lingkungan seperti panjang hari, status nutrien dan temperatur. Gen yang berintegrasi dengan sinyal ini, gen pengontrol waktu pembungaan, bertindak sebagai inducer (penginduksi) atau
(40)
posisi sentral dan merupakan gen yang terekspresi secara absolut untuk keperluan inisiasi bunga secara normal. Gen-gen yang terlibat dalam metabolisme senyawa dapat memainkan sebagian sinyal tanaman endogen, seperti hormon tanaman giberelin dan sukrosa (status metabolit) (Nilsson 2002). Fungsi gen-gen tersebut telah banyak dilaporkan, dan dapat dikelompokkan kedalam alur genetik yang berbeda dan saling berinteraksi dalam pengaturan pembungaan (Simpson et al. 1999). Menurut Blazquez (2000) dan Zufall (2002), paling tidak terdapat empat alur atau lintasan yang mempengaruhi aktivitas gen-gen pembungaan yaitu lintasan photoperiodic, lintasan autonomous, lintasan
sucrose dan lintasan gibberellin (Gambar 3).
Tahap pertama dalam perkembangan bunga adalah terjadinya transisi dari meristem vegetatif menjadi meristem bunga. Setiap meristem bunga didiferensiasi menjadi bunga yang mengandung empat tipe organ yang menempati posisi secara tepat dalam empat lingkaran konsentris. Studi genetik pada Arabidopsis thaliana dan Antirrhinum majus telah berhasil diidentifikasi gen-gen yang bertindak lebih awal yang menentukan penanda meristem bunga dan gen-gen yang bertindak pada tahapan berikutnya yang menentukan penanda organ bunga (Mandel et al. 1992). Pada Arabidopsis, perubahan perkembangan dari vegetatif ke reproduktif dikontrol oleh beberapa faktor, dan sebagai konsekuensinya muncullah beberapa kelompok gen yang terlibat dalam
pengaturan tersebut. LFY merupakan gen pertama yang diekspresikan pada
primordia yang mengapit meristem tunas apikal yang akan menjadi bunga.
Peningkatan jumlah kopi LFY akan mempercepat waktu pembungaan,
sedangkan penurunan level LFY akan memperlambat waktu pembungaan. Hasil
ini menunjukkan bahwa LFY bertindak sebagai gen pengatur waktu
pembungaan, yang mengindikasikan bahwa LFY merupakan switch yang
(41)
23
bahwa konversi daun menjadi bunga dikontrol oleh kombinasi level LFY dan kemampuan untuk merespon LFY (Blazquez et al. 1997).
Gambar 3 Alur genetik perkembangan bunga pada Arabidopsis (Blazquez 2000).
Pembungaan melibatkan serangkaian aktivitas dari dua grup gen, yaitu yang mengontrol transisi dari meristem vegetatif ke bunga (gen penanda meristem bunga), dan yang secara langsung berhubungan dengan pembentukan
(42)
berbagai bagian bunga (gen penanda organ bunga) (Levy dan Dean 1998). Sejumlah gen penanda meristem bunga telah diisolasi dari Arabidopsis thaliana
dan spesies tanaman model lainnya. Salah satu gen tersebut, LEAFY (LFY), terlibat dalam mengontrol transisi dari meristem vegetatif menjadi meristem bunga. Gen yang lain, APETALA1 (AP1), selain terlibat dalam mengontrol transisi dari meristem vegetatif ke meristem bunga juga diperlukan untuk perkembangan sepal dan petal. Weigel et al. (1992) memperlihatkan bahwa
LEAFY berinteraksi dengan gen pengontrol pembungaan yang lain, yaitu
APETALA1, untuk memacu transisi dari meristem vegetatif ke meristem bunga. Dalam alur genetik perkembangan bunga pada Arabidopsis tersebut, meristem vegetatif berkembang menjadi meristem bunga, dan kemudian menghasilkan primordia organ bunga. Pada proses ini, produk gen LFY dan AP1 berinteraksi secara sinergis untuk memacu perkembangan meristem bunga. Peranan utama dari LEAFY adalah secara langsung menekan gen penanda tunas vegetatif atau menekan faktor intermediet yang mengaktifkan gen penanda tunas vegetatif (Parcy et al. 2002). Ketika AP1 atau LFY tersebut diekspresikan secara konstitutif pada Arabidopsis transgenik secara in vitro, tanaman akan berbunga hanya dalam 10 hari (Mandel dan Yanofsky 1995; Weigel dan Nilsson 1995).
Perubahan bentuk dari meristem vegetatif menjadi meristem bunga mengakibatkan roset, hingga meristem infloresen menghasilkan daun dan bunga. Hal ini tergantung pada aktivitas dari LFY dan AP1 sebagai gen penanda meristem bunga (Bowman et al. 1993; Mandel dan Yanofsky 1995). Kedua gen tersebut diekspresikan pada level yang tinggi pada primordia bunga yang muncul, tetapi hanya LFY yang diekspresikan pada primordia daun sebelum transisi ke pembungaan. Tingkat ekspresi LFY pada primordia lateral meningkat sesuai dengan umur tanaman sampai mencapai batas ambang tertentu. Segera
(43)
25
setelah batas ambang ini tercapai, primordia tersebut akan berkembang dari primordia daun menjadi primordia bunga (Blazquez et al. 1997).
Pembentukan meristem bunga Arabidopsis terutama dikontrol oleh gen penanda meristem bunga yaitu LFY, AP1 dan CAULIFLOWER (CAL). Liljegren
et al. (1999) dan Burnham (2000) juga menjelaskan bahwa interaksi antara LFY,
AP1, dan CAL secara positif memacu fase transisi dari produksi tunas vegetatif ke pembentukan bunga. Di samping menentukan pembentukan bunga, aktivitas bersama antara LFY, AP1 dan CAL dapat menghambat ekspresi gen penanda meristem tunas vegetatif TERMINAL FLOWER1 (TFL1) pada meristem lateral, sehingga mencegah pembentukan tunas vegetatif. Dalam membentuk meristem bunga, LFY dapat mengaktifkan AP1 secara langsung, sedangkan LFY, AP1 dan
CAL masing-masing diregulasi secara tidak langsung melalui regulasi negatif oleh TFL1 (Liljegren et al. 1999). Pada tanaman tingkat tinggi, perubahan fase perkembangan diregulasi melalui alur gen yang kompleks. Hilangnya fungsi gen akibat mutasi pada gen EMBRYONIC FLOWER (EMF1 dan EMF2) mengakibat-kan Arabidopsis langsung berbunga, menghindari pertumbuhan tunas vegetatif.
Fenotip ini mendukung pendapat bahwa gen EMF berperan utama dalam
menekan program reproduktif (Yoshida et al. 2001; Moon et al. 2003).
Ekspresi AP1 pada meristem lateral salah satunya adalah diregulasi oleh
LFY. LFY mempercepat ekspresi AP1 pada meristem lateral wild-type di bawah kondisi yang menginduksi pembungaan, sehingga pada mutan lfy ekspresi AP1
menjadi tertunda. Hal ini menunjukkan bahwa LFY merupakan regulator positif bagi aktivitas AP1. Namun pada gilirannya, AP1 juga dapat meregulasi LFY
secara positif, karena pada tanaman yang mengekspresikan AP1 secara
konstitutif, LFY diekspresikan lebih awal pada meristem bunga yang telah mengalami perubahan tersebut (Liljegren et al. 1999). Mutasi LFY tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap fenotip yang diberikan oleh
(44)
tanaman 35S::AP1, dan konversi tunas ke bunga pada tanaman 35S::LFY
terutama ditekan oleh mutasi AP1 (Mandel dan Yanofsky 1995; Weigel dan
Nilsson 1995). Gen AP1 telah berhasil diklon dan memperlihatkan bahwa gen tersebut mengkode putative faktor transkripsi yang mengandung MADS-domain
(DNA-binding domain). RNA AP1 diekspresikan secara seragam pada primordia bunga muda, dan selanjutnya terlokalisir pada sepal dan petal. Hal ini
menunjukkan bahwa AP1 bertindak secara lokal untuk pembentukan penanda
meristem bunga dan untuk menentukan perkembangan sepal dan petal (Mandel et al. 1992).
Fakta bahwa mutasi LFY hanya berpengaruh kecil terhadap pembungaan dan transformasi dari tunas ke bunga yang lebih cepat pada tanaman yang mengekspresikan AP1 secara konstitutif, menunjukkan bahwa AP1 bertindak
downstream dari LFY dalam membentuk penanda meristem bunga (Liljegren
et al. 1999). Namun demikian, berbagai fakta membuktikan bahwa aktivitas gabungan dari LFY dan AP1 adalah lebih efektif daripada aktivitasnya secara sendiri-sendiri. Pada kondisi yang menginduksi pembungaan, tanaman yang membawa mutasi LFY dan AP1 menunjukkan transformasi yang hampir lengkap dari semua bunga menjadi cabang-cabang tunas aksilar (Huala dan Sussex
1992; Weigel et al. 1992). Analisis genetik terhadap tanaman yang
mengekspresikan LFY secara konstitutif menunjukkan bahwa tunas lateral akan
menjadi penanda bunga ketika LFY diekspresikan secara konstitutif, dan
transformasi ini akan kembali lagi jika tidak ada aktivitas AP1 (Weigel dan Nilsson 1995). Lebih lanjut dijelaskan bahwa meskipun aktivitas AP1 konstitutif tersebut cukup untuk merubah tunas lateral menjadi bunga, namun bunga yang dihasilkan memperlihatkan beberapa karakteristik seperti tunas jika aktivitas
(45)
27
Gen yang berhubungan dekat dengan AP1, yaitu CAULIFLOWER (CAL) juga mempunyai fungsi yang terlibat dalam penentuan penanda meristem bunga (Rounsley et al. 1995). Fenotip mutan ap1 juga dapat ditingkatkan lebih lanjut oleh mutasi CAL yaitu dengan tidak terjadinya konversi secara lengkap dari
meristem vegetatif menjadi meristem bunga pada double mutans ap1 cal.
Karena meristem bunga tidak dihasilkan oleh tunas utama pada tanaman
ap1 cal di dalam kondisi tumbuh normal, maka tunas tersebut tidak pernah menghasilkan transisi secara lengkap dari fase vegetatif ke fase reproduktif (Bowman et al. 1993).
Studi gain-of-function dari tanaman transgenik yang mengekspresikan
LFY, AP1 atau CAL secara konstitutif di bawah kendali promoter Cauliflower Mosaic Virus 35S (CaMV 35S) memperkuat kesimpulan hasil studi berdasarkan
loss-of-function dan menunjukkan bahwa aktivitas AP1 adalah downstream dan diregulasi oleh LFY. Tanaman yang mengekspresikan LFY, AP1 atau CAL
secara konstitutif berbunga lebih cepat dan mengalami transformasi dari meristem tunas primer dan sekunder menjadi meristem bunga, meskipun fenotip yang dihasilkan oleh 35S::CAL lebih lemah daripada 35S::LFY atau 35S::AP1
(Mandel dan Yanofsky 1995; Weigel dan Nilsson 1995). Jadi sesuai dengan pendapat Liljegren et al. (1999), bahwa LFY, AP1 dan CAL bertindak bersama-sama untuk memacu transisi dari fase produksi tunas dan daun (fase vegetatif) ke pembentukan meristem bunga (fase reproduktif).
Ekspresi AP1 dibatasi secara spatial untuk meristem bunga oleh aksi gen
penanda meristem vegetatif TERMINAL FLOWER1 (TFL1) (Bowman et al.
1993). Pada tanaman wild-type, AP1 dan TFL1 diekspresikan pada tempat
yang berbeda, dimana TFL1 diekspresikan pada daerah subapikal meristem
tunas vegetatif, sedangkan ekspresi AP1 terbatas untuk perkembangan bunga (Mandel et al. 1992). Di samping berperan dalam meregulasi perubahan fase
(46)
pertumbuhan, TFL1 juga mempunyai pengaruh antagonis terhadap AP1 dalam
pembentukan penanda meristem, karena TFL1 memacu penanda meristem
vegetatif dan AP1 menentukan meristem bunga. Fenotip tanaman yang
mengekspresikan AP1 secara konstitutif mencerminkan fenotip tanaman yang mengalami mutasi TFL1. Tanaman 35S::AP1 dan mutan tfl1 memperpendek fase pertumbuhan vegetatifnya dan mengalami transformasi dari tunas vegetatif menjadi bunga (Mandel dan Yanofsky 1995). TFL1 diekspresikan pada level yang rendah dalam meristem vegetatif dan tampaknya berperan untuk mencegah pembungaan sebelum waktunya. Pada stadia lebih lanjut, TFL1 mengatur dan
berperan dalam menekan ekspresi gen penanda meristem bunga seperti LFY
dan AP1 pada meristem vegetatif (Jack 2004).
Selain sebagai gen penanda meristem bunga, AP1 juga bertindak
sebagai gen kelas A yang diperlukan untuk membentuk whorl pertama dan
kedua dari penanda organ bunga (Bowman et al. 1993). Sesuai dengan kedua
peranannya dalam menentukan penanda meristem dan penanda organ, AP1
pada awalnya diekspresikan pada meristem bunga muda dan kemudian menjadi terbatas pada daerah dimana akan dibentuk primordia sepal dan petal (Mandel
et al. 1992; Gustafson-Brown et al. 1994). Karena gen AP1 berperan dalam mengontrol pembentukan primordia bunga dan organ bunga, maka mutasi gen
AP1 dapat mengganggu kedua fase perkembangan bunga tersebut. Pengaruh ini ditunjukkan dengan terjadinya konversi sebagian bunga menjadi infloresen tunas
dan gangguan terhadap perkembangan sepal dan petal. Tanaman mutan ap1
akan mengalami kegagalan pembentukan sepal dan petal pada whorl pertama dan whorl ke dua dari bunga, sedangkan pengaruhnya terhadap pembentukan stamen dan carpel pada whorl ke tiga dan ke empat dari bunga adalah kecil (Bowman et al. 1993).
(47)
29
Pada tanaman tomat transgenik, pengaruh utama dari ekspresi AP1
adalah mempercepat saat pembungaan. Tanaman transgenik rata-rata berbunga setelah memproduksi enam daun, sedangkan pada tanaman kontrol (wild-type) setelah memproduksi 11 daun baru berbunga. Tanaman tomat yang meng-ekspresikan AP1 juga mengalami konversi lebih awal dari meristem vegetatif
menjadi bunga. Setelah 18 minggu pada kondisi greenhouse, tanaman
transgenik menghasilkan konversi bunga dari meristem vegetatif dua kali lipat lebih tinggi dibandingkan tanaman kontrol (Ellul et al. 2004). Selain tidak mempengaruhi fertilitas bunga, tanaman tomat transgenik yang mengekspresi-kan AP1 juga tidak mengakibatkan abnormalitas bentuk dan ukuran buah yang dihasilkan. Ekspresi konstitutif AP1 pada tanaman tomat transgenik tersebut dapat memperpendek fase vegetatifnya secara signifikan, tanpa menyebabkan abnormalitas infloresen, perkembangan bunga dan produksi buah. Hasil ini sesuai dengan ekspresi AP1 yang telah diteliti pada jeruk (Pena et al. 2001).
Pada tanaman jeruk, yang mempunyai fase juvenil yang panjang dengan menunda perkembangan reproduktifnya antara 6-20 tahun, juga dapat dipercepat pembungaannya dengan mentransformasikan gen AP1 atau LFY. Bibit tanaman
jeruk yang mengekspresikan secara konstitutif gen AP1 atau LFY dari
Arabidopsis, dapat memproduksi bunga dan buah pada tahun pertama, sehingga dapat memperpendek fase juvenilnya. Selanjutnya dapat dijelaskan bahwa
ekspresi AP1 adalah sama efisiennya dengan LFY di dalam menginisiasi
pembungaan yang lebih awal, dan tidak menghasilkan perkembangan yang abnormal. Kedua tipe tanaman jeruk transgenik tersebut bunganya normal dan fertil, serta berbunga dalam tahun-tahun berikutnya (Pena et al. 2001).
Gen penanda meristem bunga seperti AP1 dan LFY memang sangat
diperlukan untuk memacu pembungaan (Mandel dan Yanofsky 1995; Weigel
(48)
Arabidopsis menyebabkan produksi bunga terminal sebagaimana fenotip yang diakibatkan oleh mutan pada gen TFL1 (Bradley et al. 1997). Ekspresi konstitutif dari AP1 atau LFY pada herbaceous maupun spesies berkayu tersebut telah terbukti dapat mempercepat inisiasi pembungaan melalui penekanan yang kuat terhadap fase juvenil (Weigel dan Nilsson 1995; Pena et al. 2001). Hasil ini telah membuka kemungkinan baru untuk program domestikasi, perbaikan genetik, dan penelitian lebih lanjut, terutama pada pohon buah-buahan dan spesies berkayu lainnya.
Berdasarkan pada pernyataan di atas, pengaturan ekspresi gen oleh perkembangan, lingkungan dan signal metabolit, adalah sangat mungkin terjadi pula dalam pengaturan inisiasi pembungaan pada tanaman kakao dengan mengikuti jalur yang sama, dimana hal tersebut ditandai oleh adanya signal penginduksi, protein pengatur transduksi signal, dan interaksi gen-gen yang terlibat dalam pengaturan pembungaan.
(49)
III. INDUKSI PEMBUNGAAN PADA TANAMAN KAKAO
Abstrak
Kakao merupakan komoditas penting bagi Indonesia, baik secara ekonomi maupun sosial. Namun demikian, produktivitas perkebunan kakao di Indonesia masih rendah. Salah satu masalah yang mempengaruhi rendahnya produksi kakao tersebut adalah pembungaannya yang tidak merata sepanjang tahun. Pada perkebunan di daerah tropis, pohon kakao dewasa dapat berbunga sepanjang tahun, tetapi pembungaan terbesar terjadi pada saat pergantian dari musim kering ke musim hujan. Di luar musim tersebut, pembungaan pohon kakao dapat diinduksi dengan beberapa senyawa retardan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan jenis dan konsentrasi senyawa penginduksi pembungaan. Penelitian dilakukan di Kebun Rajamandala, Bandung, Jawa Barat mulai bulan Juli sampai dengan Nopember 2003 menggunakan rancangan acak kelompok dengan tujuh ulangan. Paklobutrazol diaplikasikan pada konsentrasi 0.5 dan 1 g bahan aktif/pohon, sedangkan CCC dengan konsentrasi 1.000 dan 2.000 ppm. Paklobutrazol dan CCC diaplikasikan dalam bentuk larutan baik secara sendirian maupun dikombinasikan dengan sukrosa 1%, dengan aplikasi melalui penyemprotan daun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan CCC 2.000 ppm yang dikombinasikan dengan sukrosa 1% merupakan penginduksi pembungaan kakao yang efektif, karena dengan perlakuan tersebut bunga dan pentil muncul lebih cepat, yaitu berturut-turut pada 24.3 hari setelah perlakuan (HSP) atau 21 hari lebih cepat dan 56.3 HSP atau 43 hari lebih cepat dibandingkan dengan kontrol yang baru muncul bunga pada 45.6 HSP dan pentil pada 98.9 HSP. Perlakuan tersebut juga menghasilkan jumlah bunga dan pentil yang tertinggi, yaitu masing-masing 304.7 buah (terjadi peningkatan 399.52%) dan 24.9 buah (terjadi peningkatan 500.48%) dibandingkan dengan tanaman kontrol.
Kata kunci : senyawa penginduksi, retardan, paklobutrazol, CCC, sukrosa.
Pendahuluan
Tanaman kakao (Theobroma cacao L.) merupakan salah satu komoditas
perkebunan yang perkembangannya sangat pesat, terutama perkebunan rakyat
dan perkebunan swasta. Potensi pengembangan kakao di Indonesia cukup
besar, baik sumber daya yang dimiliki, teknologi yang dikuasai, maupun peluang pasar dalam dan luar negeri yang akan terus berkembang pada masa yang akan
datang. Produksi kakao di Indonesia masih memungkinkan untuk ditingkatkan
karena didukung oleh tersedianya lahan dan tenaga kerja yang banyak serta
(1)
Elektroforesis
Enzim
Faktor transkripsi
Fase juvenil
Fase reproduktif
Fase vegetatif
Fenotipe
First-strand cDNA
Floem
Florigen
Foliar-spray Fotosintat
Fruit-set
Full-length cDNA
Gain-of-function
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
= =
=
=
=
Metode elektrik yang digunakan untuk menganalisis ukuran fragmen DNA (atau RNA). Fragmen yang ukurannya lebih kecil akan bergerak lebih cepat dari-pada fragmen yang ukurannya lebih besar.
Protein yang berperan untuk memfasilitasi atau mem-percepat reaksi kimia.
Protein yang berikatan dengan regulatory region dan terlibat dalam proses peningkatan inisiasi transkripsi dari suatu gen.
Periode atau masa dimana tanaman belum memasuki fase reproduktif. Biasanya juga disebut dengan masa tanaman belum menghasilkan (TBM).
Fase pembungaan dari suatu tanaman atau periode dimana paniclel mulai berbunga.
Fase pertumbuhan tanaman yang dicirikan dengan pertumbuhan akar, batang dan daun, sedikit cadangan karbohidrat, dan belum terjadi inisiasi kuncup bunga. Karakteristik fisik pada tanaman yang dapat dilihat secara langsung.
cDNA utas pertama yang disintesis dari RNA template dengan menggunakan enzim reverse transcriptase. Jaringan vascular yang berfungsi untuk mendistribusi-kan bahan mamendistribusi-kanan atau senyawa organik secara aktif di dalam tubuh tanaman.
Hormon yang diproduksi di daun, kemudian ditrans-lokasikan menuju neristem apikal untuk menginisiasi pembentukan bunga.
Penyemprotan suatu cairan melalui permukaan daun. Hasil dari proses fotosintesis atau hasil dari proses pembentukan energi di dalam tumbuhan berklorofil dengan bantuan sinar matahari, berupa karbohidrat (tepung, gula).
Stadia atau tahap pembentukan buah setelah melewati fase pemekaran bunga atau “full bloom”.
Satu klon utuh yang semuanya berisi sekuen mRNA dari nukleotida pertama sampai dengan poly(A).
Deskripsi mekanistik dari suatu mutan yang menunjuk-kan adanya fungsi baru dari aksi atau produk gen (misalnya ekspresi pada waktu atau tempat yang baru).
(2)
Gel agarosa
Gen
Genom
Giberelin
Hermafrodit
Homologi
Hormon
Hybrid
In vitro
Induksi bunga
Infloresen
Inisiasi bunga
Karbohidrat
Kaulifloral
Kloning
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
Gel polisakarida yang digunakan untuk menentukan ukuran asam nukleat (dalam basa atau pasang basa).
Unit material genetik yang dapat diturunkan, yang merupakan dasar fisik untuk transmisi karakteristik organisme hidup dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Suatu set lengkap kromosom dari suatu organisme, yang terdiri dari satu atau lebih kromosom, tergantung kompleksitas organismenya.
Kelompok hormon yang menstimulasi pembelahan dan pemanjangan sel pada tanaman.
Tanaman yang mempunyai fungsi organ reproduktif jantan dan betina pada bunga yang sama.
Tingkat kesamaan sekuen DNA atau protein di antara individu-individu dari spesies yang sama atau spesies yang berbeda.
Senyawa organik bukan nutrisi yang dalam konsentrasi rendah dapat mempengaruhi proses fisiologis tanaman. Tanaman yang dihasilkan dari kawin silang secara terkontrol antara dua tanaman dari spesies yang sama atau berkerabat dekat yang mempunyai karakteristik atau gen yang berbeda.
Translasi tanaman atau organisme hidup secara langsung di dalam gelas dan dilakukan di laboratorium. Proses perubahan dalam organisasi meristem pucuk apikal dari kondisi vegetatif ke kondisi generatif untuk produksi bunga pada rangkaian bunga (infloresen). Kluster atau susunan bunga pada tanaman yang tersusun dari beberapa individu bunga.
Saat atau proses pembentukan sel-sel yang secara khusus akan berkembang menjadi bunga.
Senyawa organik yang berperan sebagai cadangan makanan, bahan atau penghasil energi untuk proses biokimia di dalam tubuh tanaman.
Tanaman yang menghasilkan bunga dan buah pada batang atau cabang.
Mengisolasi bagian dari genom dalam fragmen DNA dan membuat kopinya dan mempelajari sekuen tersebut dalam organisme lain.
(3)
Koloni
Kromosom
Kultur jaringan
Ligase enzyme
Ligasi
Loss-of-function
MADS-box
Meristem
Mutan
Mutasi
Nitrogen
Nukleotida
Organ
Organogenesis
PCR koloni
=
=
=
=
= =
=
=
=
=
=
=
=
=
=
Kumpulan dari sel yang biasanya berkembang secara aseksual dari sel tunggal.
Bagian dari genom yang memuat beberapa gen, berisi protein (histon) dan molekul DNA yang sangat panjang. Proses memasukkan jaringan hidup (sel tanaman, jaringan, organ atau tanaman utuh) ke dalam kultur in vitro untuk ditumbuhkan atau dipelihara di laboratorium. Enzim yang mengkatalisis reaksi kondensasi untuk menggabungkan dua molekul DNA melalui pem-bentukan ikatan fosfodiester antara 3’ hidroksi dan 5’ fosfat dari nukleotida.
Proses penggabungan dua atau lebih fragmen DNA. Deskripsi mekanistik dari suatu mutan yang menunjuk-kan adanya penurunan produk atau fungsi gen.
DNA-binding domain yang terdapat pada beberapa faktor transkripsi yang terlibat dalam perkembangan tanaman.
Kelompok sel yang belum terdiferensiasi yang akan menyusun sel matang dan organ pada pucuk tanaman. Variasi fenotipik organisme yang berbeda dari tetuanya akibat adanya gen baru atau mutasi.
Perubahan genetik pada sekuen nukleotida atau molekul DNA yang diakibatkan oleh fenomena alami atau oleh penggunaan mutagen.
Nutrisi penting yang terdapat dalam suplai makanan bagi tanaman, terutama terdapat dalam asam amino. Subunit DNA atau RNA yang terdiri dari basa nitrogen (adenine, guanine, thymine, dan cytosine pada DNA; adenine, guanine, uracil, dan cytosine pada RNA), molekul fosfat, dan molekul gula (deoxyribose pada DNA and ribose pada RNA).
Bagian dari tubuh tanaman yang membentuk fungsi spesifik.
Pembentukan dan perkembangan organ dalam proses pertumbuhan dan perkembangan embrio.
Reaksi PCR menggunakan DNA plasmid yang diambil langsung dari koloni.
(4)
Perennial
Petal
Planlet
Plasmid
Polymerase
Polymerase chain reaction (PCR) Prenilisasi
Primer
Primer heterologous
Primer homologous
Primordia
Promoter
Regenerasi
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
Tanaman yang hidup beberapa tahun atau lebih dari dua musim dan tidak mati setelah berbunga.
Dasar dari corolla bunga yang terbentuk dari modifikasi daun, biasanya lembut dan berwarna dan sangat berbeda dengan daun normal.
Tanaman kecil yang dihasilkan secara vegetatif dari tetuanya melalui teknik kultur jaringan.
DNA berbentuk circular yang terdapat atau diisolasi dari bakteri, bersifat independen, stabil, dan dapat digunakan untuk percobaan DNA rekombinan untuk kloning gen dari organisme lain dan mereplikasikan DNA-nya dalam jumlah yang besar.
Enzim yang mengkatalisis penyusunan nukleotida ke dalam RNA (RNA polymerase) dan deoksinukleotida ke dalam DNA (DNA polymerase).
Teknik in vitro untuk mengamplifikasi dalam jumlah besar (membuat jutaan kopi) sekuen DNA.
Penambahan group prenyl pada protein. Penambahan group prenyl tersebut dapat meregulasi interaksi membrane-protein.
Sekuen pendek DNA yang dipasangkan dengan satu strand DNA template dalam teknik PCR.
Primer yang dirancang dari beberapa sekuen yang sama, dimana masing-masing sekuen berasal dari spesies yang berbeda.
Primer yang dirancang dari beberapa sekuen yang sama, dimana masing-masing sekuen berasal dari satu spesies yang sama.
Kelompok sel yang belum terdiferensiasi di dalam meristem yang akan berkembang menjadi organ atau struktur khusus yang lebih matang.
Bagian pengontrol dari gen yang merupakan tempat menempelnya RNA polymerase, dan diperlukan untuk inisiasi transkripsi dan memacu transkripsi (ekspresi) gen tersebut.
Proses untuk memacu pembentukan tanaman utuh dari sel yang diambil dari tanaman dan ditumbuhkan di laboratorium dibawah kondisi pertumbuhan yang ter-kontrol.
(5)
Restriction enzyme
Retardan
Reverse transcriptase Reverse
transcriptase PCR
RNA (Ribonucleic Acid)
Screening
Sekuen
Sekuensing
Sel
Sepal
Stamen
Subkultur
Sukrosa
Tanaman model
Taq polymerase
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
Enzim yang memotong DNA pada lokasi spesifik dari suatu sekuen atau nukleotida.
Zat penghambat tumbuh atau inhibitor yang bersifat spesifik, yang menghambat pertumbuhan sel-sel pada meristem subapikal.
Enzim yang digunakan untuk membuat kopi DNA dari RNA template.
RT-PCR, yaitu teknik PCR yang digunakan untuk mengamplifikasi sekuen RNA menjadi DNA mengguna-kan enzim reverse transcriptase.
Molekul polimerik yang disusun dari unit ribonukleotida yang tergabung dalam sekuen spesifik melalui pem-bentukan ikatan 3’ Æ 5’ fosfodiester.
Penapisan pustaka untuk menyeleksi dan mengisolasi individu klon dari klon campuran.
Asam nukleat spesifik yang merupakan segmen dari molekul DNA.
Proses untuk menentukan urutan sekuen nekleotida pada molekul DNA atau RNA atau urutan asam amino pada protein.
Unit dasar dari organisme hidup yang melakukan proses biokimia dari kehidupan.
Bagian terluar dari bunga yang berasal dari modifikasi daun, biasanya berwarna hijau dan berfungsi untuk melindungi kuncup bunga sebelum mekar.
Organ reproduktif jantan dari bunga yang menghasil-kan pollen, terdiri dari filament dan anther.
Proses transfer atau pemindahan jaringan atau eksplan ke dalam media kultur yang segar di dalam kultur jaringan.
Gula disakarida yang mengandung karbon, hidrogen, dan oksigen, bersifat mobil dan berfungsi mendukung aktivitas metabolisme sel.
Tanaman yang digunakan untuk keperluan penelitian di laboratorium.
DNA polymerase yang diisolasi dari bakteri Thermo-philis aquaticus dan sangat stabil pada suhu tinggi, biasanya digunakan dalam teknik PCR dan sekuensing pada suhu tinggi.
(6)
Template
Transformasi genetik
Transgenik
Transkripsi
Translasi
Tunas vegetatif
Vektor
Vektor ekspresi
Whorl
Wild-type
Xilem
Zat endogen
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
Pola yang dapat dikopi atau direproduksi lagi, atau suatu makromolekul yang digunakan untuk mensintesis makromolekul yang lain.
Proses introduksi informasi genetik dari DNA asing ke dalam sel tanaman, sehingga menghasilkan modifikasi genetik.
Tanaman yang mengandung material genetik yang diintroduksikan melalui teknik DNA rekombinan, yang mana tanaman tersebut biasanya mengandung DNA dari organisme lain.
Proses mengkopi DNA untuk menghasilkan transkrip RNA, merupakan tahap pertama dari ekspresi gen. Proses sintesis molekul protein dari asam amino berdasarkan informasi genetik yang terdapat pada molekul mRNA.
Bagian dari tanaman yang merupakan ranting muda yang baru mulai tumbuh.
Agen yang digunakan (oleh peneliti) untuk membawa gen baru ke dalam sel, biasanya berupa plasmid, phagemid, atau bacteriophage.
Plasmid yang dirancang untuk menghasilkan poli-peptida dari DNA asing yang dimasukkan dibawah kontrol spesifik, biasanya dilengkapi dengan promoter. Struktur bunga seperti lingkaran yang dibentuk pada pedicel (ujung tangkai bunga).
Tanaman yang masih asli sebagaimana yang paling sering tumbuh di alam (tipe liar).
Jaringan vascular yang berfungsi untuk mendistribusi-kan air di dalam tubuh tanaman.
Zat yang diproduksi atau dihasilkan secara alami di dalam tubuh tanaman.