Prevalensi dan Intensitas Infestasi Endoparasit Berdasarkan Hasil Analisis Feses Kura-Kura Air Tawar (Cuora Amboinensis) di Perairan Sulawesi Selatan

PREVALENSI DAN INTENSITAS INFESTASI ENDOPARASIT
BERDASARKAN HASIL ANALISIS FESES KURA-KURA AIR
TAWAR (Cuora amboinensis) DI PERAIRAN
SULAWESI SELATAN

DEWI FARAH DIBA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Prevalensi dan Intensitas
Infestasi Endoparasit Berdasarkan Hasil Analisis Feses Kura-Kura Air
Tawar (Cuora amboinensis) di Perairan Sulawesi Selatan adalah karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah

disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.

Bogor Agustus 2009

Dewi Farah Diba
NIM G351050061

ABSTRACT
DEWI FARAH DIBA. Prevalence and Intensity of Endoparasite Infestation in
Terrapin Turtle Based on the Results of Feces Analysis (Cuora amboinensis)
at the South Sulawesi River. Under the Supervision of R. R. DYAH
PERWITASARI and ACHMAD FARAJALLAH
Parasite is an organism that lives in another organism. A parasitic
symbiosis could occur in turtles. Turtles can become the hosts of parasites.
Parasites are classified into the phylum of Apicomplexa, Acanthocephala,
Nematode, Platyheliminthes and Arthropod. The objectives of this study were to
identify the endoparasite in the feces of turtles, measure the prevalence and
intensity values and examine the specific pattern of relationship between parasites
and hosts. Some turtles (Cuora amboinensis) were caught from five areas (water)

in South Sulawesi, namely Makassar, Watampone, Luwu Timur, Bulukumba and
Luwu Utara. Endoparasites were collected from the feces of the turtles and
prepared with the use of eosin staining. The research found that four turtles were
infested with endoparisitic worms. The endoparasite, which is classified into the
phylum of Platyheliminthes, had the prevalence value of 0.88% and intensity of
1.75 parasites/host. The parasitic pattern of parasite against hosts was specific and
of multi-hosts
.

Keyword : Cuora, feces parasite, host-parasite, specificity.

RINGKASAN

DEWI FARAH DIBA. Prevalensi dan Intensitas Infestasi Endoparasit
Berdasarkan Hasil Analisis Feses Kura-kura Air Tawar (Cuora amboinensis) Di
Perairan Sulawesi Selatan. Dibimbing oleh R. R DYAH PERWITASARI,
ACHMAD FARAJALLAH
Parasit merupakan organisme yang menumpang hidup pada organisme
lain. Simbiosis parasitisme terjadi pada kura-kura. Kura-kura adalah inang untuk
beberapa jenis parasit, diantaranya adalah Apicomplexa, Acanthocephala,

Nematoda, Platyhelminthes dan Arthropoda. Feses inang dapat digunakan untuk
menganalisis keberadaan endoparasit.
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan identifikasi jenis parasit
berdasarkan hasil analisis feses Cuora amboinensis, mengkaji nilai prevalensi dan
intensitas endoparasit feses Cuora amboinensis dan pola spesifitas parasit terhadap
inang.
Penangkapan kura-kura telah dilakukan selama lima bulan (Maret-Juli
2007) dan Mei 2008 di lima perairan Sulawesi Selatan meliputi Makassar,
Watampone, Luwu Timur, Bulukumba dan Luwu Utara. Jenis kura-kura yang di
koleksi adalah Cuora amboinensis tergolong ke dalam famili Geomydidae. Parasit
di koleksi dari feses dan dipreparasi di Bagian Biosistematik dan Ekologi Hewan
Departmen Biologi, FMIPA-IPB. Preparasi spesimen menggunakan pewarnaan
eosin.
Hasil menunjukkan bahwa hanya ada empat ekor dari 40 ekor Cuora
amboinensis yang terinfestasi oleh endoparasit. Endoparasit pada feses adalah
Platyhelminthes. Cacing endoparasit ditemukan sebanyak tujuh ekor. Nilai
prevalensi adalah 0.88% dan intensitas 1.75 parasit/inang. Pola spesifitas adalah
spesifik dan multi parasit.

Kata Kunci : Cuora, inang-parasit, parasit feses, spesifitas.


© Hak cipta milik IPB, tahun 2009
Hak cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan
karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu
masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karay tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

PREVALENSI DAN INTENSITAS INFESTASI ENDOPARASIT
BERDASARKAN HASIL ANALISIS FESES KURA-KURA AIR TAWAR
(Cuora amboinensis) DI PERAIRAN
SULAWESI SELATAN

DEWI FARAH DIBA


Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Departemen Biologi

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009

Judul Tesis : Prevalensi dan Intensitas Infestasi Endoparasit Berdasarkan Hasil
Analisis Feses Kura-Kura Air Tawar (Cuora amboinensis) Di
Perairan Sulawesi Selatan
Nama
: Dewi Farah Diba
NIM
: G351050061

Disetujui
Komisi Pembimbing


Dr. Ir. Achmad Farajallah, M.Si
Anggota

Dr. Ir. R.R.Dyah Perwitasari, M.Sc
Ketua

Diketahui

Ketua Program Studi
Biologi

Dr. Dedy Duryadi Solihin, DEA

Tanggal Ujian: 30 Juli 2009

Dekan Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S


Tanggal Lulus:

KARYA ILMIAH INI DIPERSEMBAHKAN UNTUK AYAHANDA DAN
IBUNDA TERCINTA

PRAKATA
Puji syukur penulis ucapkan atas kehadirat Allah SWT, karena Rahmat
dan Berkat-Nya penelitian ini berhasil diselesaikan. Penelitian ini merupakan
syarat untuk mendapatkan gelar Magister di Institut Pertanian Bogor. Adapun
judul penelitian ini adalah “Prevalensi dan Intensitas Infestasi Endoparasit
Berdasarkan Hasil Analisis Feses Kura-Kura Ait Tawar (Cuora amboinensis) Di
Perairan Sulawesi Selatan”. Penelitian ini telah dilakukan dari Maret sampai Juli
2007 dan Mei 2008. Preparasi spesimen, identifikasi dan analisis data telah
dilakukan dari bulan Juni sampai November 2008.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan
yang setinggi-tingginya kepada Dr. Ir. R.R.Dyah Perwitasari, M.Sc dan Dr. Ir.
Achmad Farajallah selaku pembimbing dan Dr. Dedy Duryadi Solihin, DEA
selaku penguji luar komisi pembimbing.
Ucapan terima kasih kepada Dr. Dedy Duryadi Solihin, DEA sebagai
ketua program studi Biologi dan seluruh staf pengajar serta staf teknis laboran di

laboratorium Zoologi program studi Biologi IPB atas bimbingan dan pengarahan
selama penulis mengikuti perkuliahan.
Teristimewa buat ayahanda Drs. Dg Idris M, M.Si dan ibunda Ernina
Dewi S.S serta adinda Wildan Erfandi Rahman yang selalu memberikan dorongan
dan semangat juang bagi penulis selama kuliah sampai selesainya penulisan tesis
ini.
Kiranya Allah SWT berkenan memberikan rahmat-Nya atas segala budi
baik yang diberikan kepada penulis. Akhirnya penulis mengharapkan semoga
karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi yang memerlukannya.

Bogor, Agustus 2009
Dewi Farah Diba

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 08 Oktober 1982 di Ujungpandang
Sulawesi Selatan, sebagai anak pertama dari dua bersaudara. Nama ayah Drs. Dg
Idris Muhyiddin, M.Si dan ibu Ernina Dewi S.S. S.Pd
Riwayat pendidikan telah penulis tempuh dalam mendapatkan gelar
sarjana di Program Studi Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam Universitas Hasanuddin dan lulus pada tahun 2005. Judul karya ilmiah yang

ditulis sebagai syarat mendapatkan gelar sarjana adalah “Histopatologi Badan
Malpighi Ginjal Mencit (Mus musculus) Akibat Pemberian Parasetamol”.
Pada tahun 2005, penulis memperoleh kesempatan untuk melanjutkan
pendidikan ke Program Magister Program Studi Biologi Pascasarjana IPB.

PREVALENSI DAN INTENSITAS INFESTASI ENDOPARASIT
BERDASARKAN HASIL ANALISIS FESES KURA-KURA AIR
TAWAR (Cuora amboinensis) DI PERAIRAN
SULAWESI SELATAN

DEWI FARAH DIBA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI


Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Prevalensi dan Intensitas
Infestasi Endoparasit Berdasarkan Hasil Analisis Feses Kura-Kura Air
Tawar (Cuora amboinensis) di Perairan Sulawesi Selatan adalah karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.

Bogor Agustus 2009

Dewi Farah Diba
NIM G351050061

ABSTRACT
DEWI FARAH DIBA. Prevalence and Intensity of Endoparasite Infestation in
Terrapin Turtle Based on the Results of Feces Analysis (Cuora amboinensis)
at the South Sulawesi River. Under the Supervision of R. R. DYAH
PERWITASARI and ACHMAD FARAJALLAH
Parasite is an organism that lives in another organism. A parasitic

symbiosis could occur in turtles. Turtles can become the hosts of parasites.
Parasites are classified into the phylum of Apicomplexa, Acanthocephala,
Nematode, Platyheliminthes and Arthropod. The objectives of this study were to
identify the endoparasite in the feces of turtles, measure the prevalence and
intensity values and examine the specific pattern of relationship between parasites
and hosts. Some turtles (Cuora amboinensis) were caught from five areas (water)
in South Sulawesi, namely Makassar, Watampone, Luwu Timur, Bulukumba and
Luwu Utara. Endoparasites were collected from the feces of the turtles and
prepared with the use of eosin staining. The research found that four turtles were
infested with endoparisitic worms. The endoparasite, which is classified into the
phylum of Platyheliminthes, had the prevalence value of 0.88% and intensity of
1.75 parasites/host. The parasitic pattern of parasite against hosts was specific and
of multi-hosts
.

Keyword : Cuora, feces parasite, host-parasite, specificity.

RINGKASAN

DEWI FARAH DIBA. Prevalensi dan Intensitas Infestasi Endoparasit
Berdasarkan Hasil Analisis Feses Kura-kura Air Tawar (Cuora amboinensis) Di
Perairan Sulawesi Selatan. Dibimbing oleh R. R DYAH PERWITASARI,
ACHMAD FARAJALLAH
Parasit merupakan organisme yang menumpang hidup pada organisme
lain. Simbiosis parasitisme terjadi pada kura-kura. Kura-kura adalah inang untuk
beberapa jenis parasit, diantaranya adalah Apicomplexa, Acanthocephala,
Nematoda, Platyhelminthes dan Arthropoda. Feses inang dapat digunakan untuk
menganalisis keberadaan endoparasit.
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan identifikasi jenis parasit
berdasarkan hasil analisis feses Cuora amboinensis, mengkaji nilai prevalensi dan
intensitas endoparasit feses Cuora amboinensis dan pola spesifitas parasit terhadap
inang.
Penangkapan kura-kura telah dilakukan selama lima bulan (Maret-Juli
2007) dan Mei 2008 di lima perairan Sulawesi Selatan meliputi Makassar,
Watampone, Luwu Timur, Bulukumba dan Luwu Utara. Jenis kura-kura yang di
koleksi adalah Cuora amboinensis tergolong ke dalam famili Geomydidae. Parasit
di koleksi dari feses dan dipreparasi di Bagian Biosistematik dan Ekologi Hewan
Departmen Biologi, FMIPA-IPB. Preparasi spesimen menggunakan pewarnaan
eosin.
Hasil menunjukkan bahwa hanya ada empat ekor dari 40 ekor Cuora
amboinensis yang terinfestasi oleh endoparasit. Endoparasit pada feses adalah
Platyhelminthes. Cacing endoparasit ditemukan sebanyak tujuh ekor. Nilai
prevalensi adalah 0.88% dan intensitas 1.75 parasit/inang. Pola spesifitas adalah
spesifik dan multi parasit.

Kata Kunci : Cuora, inang-parasit, parasit feses, spesifitas.

© Hak cipta milik IPB, tahun 2009
Hak cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan
karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu
masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karay tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

PREVALENSI DAN INTENSITAS INFESTASI ENDOPARASIT
BERDASARKAN HASIL ANALISIS FESES KURA-KURA AIR TAWAR
(Cuora amboinensis) DI PERAIRAN
SULAWESI SELATAN

DEWI FARAH DIBA

Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Departemen Biologi

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009

Judul Tesis : Prevalensi dan Intensitas Infestasi Endoparasit Berdasarkan Hasil
Analisis Feses Kura-Kura Air Tawar (Cuora amboinensis) Di
Perairan Sulawesi Selatan
Nama
: Dewi Farah Diba
NIM
: G351050061

Disetujui
Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Achmad Farajallah, M.Si
Anggota

Dr. Ir. R.R.Dyah Perwitasari, M.Sc
Ketua

Diketahui

Ketua Program Studi
Biologi

Dr. Dedy Duryadi Solihin, DEA

Tanggal Ujian: 30 Juli 2009

Dekan Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S

Tanggal Lulus:

KARYA ILMIAH INI DIPERSEMBAHKAN UNTUK AYAHANDA DAN
IBUNDA TERCINTA

PRAKATA
Puji syukur penulis ucapkan atas kehadirat Allah SWT, karena Rahmat
dan Berkat-Nya penelitian ini berhasil diselesaikan. Penelitian ini merupakan
syarat untuk mendapatkan gelar Magister di Institut Pertanian Bogor. Adapun
judul penelitian ini adalah “Prevalensi dan Intensitas Infestasi Endoparasit
Berdasarkan Hasil Analisis Feses Kura-Kura Ait Tawar (Cuora amboinensis) Di
Perairan Sulawesi Selatan”. Penelitian ini telah dilakukan dari Maret sampai Juli
2007 dan Mei 2008. Preparasi spesimen, identifikasi dan analisis data telah
dilakukan dari bulan Juni sampai November 2008.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan
yang setinggi-tingginya kepada Dr. Ir. R.R.Dyah Perwitasari, M.Sc dan Dr. Ir.
Achmad Farajallah selaku pembimbing dan Dr. Dedy Duryadi Solihin, DEA
selaku penguji luar komisi pembimbing.
Ucapan terima kasih kepada Dr. Dedy Duryadi Solihin, DEA sebagai
ketua program studi Biologi dan seluruh staf pengajar serta staf teknis laboran di
laboratorium Zoologi program studi Biologi IPB atas bimbingan dan pengarahan
selama penulis mengikuti perkuliahan.
Teristimewa buat ayahanda Drs. Dg Idris M, M.Si dan ibunda Ernina
Dewi S.S serta adinda Wildan Erfandi Rahman yang selalu memberikan dorongan
dan semangat juang bagi penulis selama kuliah sampai selesainya penulisan tesis
ini.
Kiranya Allah SWT berkenan memberikan rahmat-Nya atas segala budi
baik yang diberikan kepada penulis. Akhirnya penulis mengharapkan semoga
karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi yang memerlukannya.

Bogor, Agustus 2009
Dewi Farah Diba

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 08 Oktober 1982 di Ujungpandang
Sulawesi Selatan, sebagai anak pertama dari dua bersaudara. Nama ayah Drs. Dg
Idris Muhyiddin, M.Si dan ibu Ernina Dewi S.S. S.Pd
Riwayat pendidikan telah penulis tempuh dalam mendapatkan gelar
sarjana di Program Studi Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam Universitas Hasanuddin dan lulus pada tahun 2005. Judul karya ilmiah yang
ditulis sebagai syarat mendapatkan gelar sarjana adalah “Histopatologi Badan
Malpighi Ginjal Mencit (Mus musculus) Akibat Pemberian Parasetamol”.
Pada tahun 2005, penulis memperoleh kesempatan untuk melanjutkan
pendidikan ke Program Magister Program Studi Biologi Pascasarjana IPB.

DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR TABEL ………………………………………………………….xi
DAFTAR GAMBAR ………………………………………………………xii
DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………….xiii
PENDAHULUAN
Latar Belakang …………………………………………………………… 1
Tujuan Penelitian ………………………………………………………… 2
TINJAUAN PUSTAKA
Simbiosis Inang-Parasit dan Spesifitas …………………………………… 3
Karakteristik kura-kura sebagai inang ……………………………
4
Cuora amboinensis …………………………………………………… 5
Hewan-hewan Parasit …………………………………………………….. 6
Karakteristik Wilayah Penelitian. ................................................................ 8
BAHAN DAN METODE
Penangkapan Kura-kura dan Koleksi Feses………………………………... 10
Kepastian Spesies Inang …………………………………………………... 11
Koleksi, Preparasi dan Identifikasi Endoparasit pada Feses ……………… 11
Analisis Data ................................................................................................. 12
HASIL
Daerah Penangkapan dan Kepastian Inang ……………………………….. 13
Cacing Endoparasit pada Feses Cuora amboinensis ………………………... 16
Prevalensi dan Intensitas Infetasi Cacing Endoparasit pada Feses Cuora
amboinensis ………………………………………………………………….….. 18
PEMBAHASAN
Daerah Penyebaran Cuora amboinensis ……………………………………. 20
Endoparasit pada Feses Cuora amboinensis ………………………………. 20
Prevalensi dan Intensitas …………………………………………………... 22
KESIMPULAN DAN SARAN …………………………………………… 24
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………. 25

DAFTAR TABEL

Halaman
1. Lokasi Penangkapan dan Jumlah Cuora amboinensis yang Tertangkap . 13
2. Cacing Endoparasit pada Feses Cuora amboinensis …………………… 16
3. Prevalensi dan Intensitas Cacing Endoparasit ………………………….. 19

DAFTAR GAMBAR

Halaman
1. Cuora amboinensis ................................................................................ 5
2. Sistem pencernaan Kura-kura ................................................................. 8
3. Garis Wallace …………………………………………………………. 9
4. Peta Lokasi Penangkapan Kura-kura ………………………………… 10
5. Anakan Sungai Tallo Makassar ……………………………………….. 13
6. Anakan Sungai Tamata Watampone …………………………………. 14
7. Anakan Sungai Magege Luwu Timur …………………………………. 14
8. Persawahan Bulukumba ………………………………………………. 15
9. Anakan Sungai Suso Luwu Utara …………………………………….. 15
10. Morfologi Cuora amboinensis ………………………………………… 16
11. Cacing tipe 1 : (a & b) Cacing dari C. amboinensis Luwu Timur …….. 17
12. Cacing tipe 1 : (c) cacing dari C. amboinensis Bulukumba dan (d) Cacing
dari C. amboinensis Bulukumba ……………………………………… 17
13. Cacing Tipe 2 dari C. amboinensis Watampone ………………………. 18
14. Cacing Tipe 2 dari C. amboinensis Luwu Timur ……………………… 18

DAFTAR LAMPIRAN

1.
2.

Halaman
Identifikasi Kura-kura Berdasarkan Iskandar (2000) ……………… 30
Daftar Cacing Endoparasit pada Feses Cuora amboinensis ………… 31

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Dalam suatu komunitas terdapat berbagai bentuk interaksi. Interaksi terjadi
di antara makhluk hidup yang satu dan yang lainnya dan menciptakan suatu
simbiosis. Simbiosis secara luas diartikan sebagai interaksi antara dua individu
yang berlainan spesies. Bentuk simbiosis yaitu simbiosis mutualisme, simbiosis
komensalisme dan simbiosis parasitisme. Simbiosis mutualisme merupakan
interaksi

antara

dua

individu

yang

saling

menguntungkan.

Simbiosis

komensalisme adalah bentuk interaksi di antara dua individu yang tidak saling
menguntungkan maupun merugikan. Simbiosis parasitisme adalah interaksi yang
merugikan karena satu spesies beruntung karena mendapat makanan dari spesies
yang ditumpanginya dan spesies tersebut akan menderita kerugian karenanya
(Brotowidjoyo, 1987). Simbiosis mutualisme dan parasitisme merupakan faktor
penting dalam fungsi ekologi dan proses evolusi.
Simbiosis parasitisme tercipta antara kelompok herpetofauna dan
parasitnya. Herpetofauna merupakan semua jenis hewan yang tergolong dalam
kelas Amphibia dan Reptilia. Kura-kura adalah jenis reptilia (Goin & Zug 1993,
Iskandar 2000). Secara popular Ernst & Barbour (1989) membedakan bangsa
kura-kura menjadi empat kelompok berdasarkan habitat dan morfologinya, yaitu
penyu merupakan kura-kura yang hidup dilaut (sea turtle), tortoise adalah kurakura yang hidup di darat, terrapin adalah kura-kura air tawar dan labi-labi atau
bulus adalah kura-kura yang berperisai lunak (soft shelled turtle).
Kehidupan kura-kura air tawar juga di pengaruhi oleh adanya parasit.
Synder & Clopton (2005) melaporkan bahwa kura-kura merupakan inang bagi
beberapa spesies parasit, diantaranya, Apicomplexa, Acanthocephala, Nematoda,
Platyhelminthes dan beberapa jenis Arthropoda. Beberapa laporan mengenai
keberadaan parasit pada C. amboinensis telah dipublikasikan. Primiati (2000)
melaporkan C. amboinensis di penangkaran Banten

terinfestasi oleh cacing

ektoparasit yang tergolong ke dalam super famili Gyrodactiloidea, Tetraoncoidea,
Acanthocotyloidea dan Dactylogroidea dengan nilai prevalensi mencapai 100%
dan intensitas 4.21.

Menurut cara hidupnya, parasit dapat dibedakan menjadi ektoparasit dan
endoparasit (Sains & Hartini, 1999). Ektoparasit adalah parasit yang hidup di
permukaan luar tubuh inang dan umumnya berasal dari anggota Filum
Platyhelminthes, Nemathelminthes dan Arthropoda. Sedangkan endoparasit
adalah parasit yang hidup di dalam tubuh inang yang umumnya termasuk ke
dalam Filum Platyheminthes, Nemathelminthes dan Protozoa.
Endoparasit dalam tubuh inang mungkin terdapat dalam macam-macam
sistem peralatan tubuh yaitu sistem pencernaan, sistem sirkulasi dan sistem
respirasi. Berdasarkan habitat parasit dalam tubuh inang maka analisis endoparasit
dapat dilakukan melalui feses. Marquard & Petersen (2007) menyatakan bahwa
feses dapat digunakan untuk mengetahui parasit

yang hidup di saluran

pencernaan.
Infestasi parasit pada inangnya memberikan dampak yang tidak
menguntungkan bagi inang. Pada tingkatan yang lebih ringan parasit menganggu
ketersediaan dan dinamika sumberdaya daripada inang. Parasit menjadi salah satu
faktor pengendali pertumbuhan populasi inang (Newey et al. 2005).
Informasi tentang prevalensi dan pola spesifitas parasit yang menyerang
kura-kura merupakan database biologi yang penting dan dapat memperkaya
informasi ilmiah terutama terhadap hubungan antara inang-parasit.

Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi jenis parasit yang
terdapat di feses Cuora amboinensis, mengkaji nilai prevalensi dan intensitas
endoparasit feses Cuora amboinensis, serta mengkaji pola spesifitas parasit
terhadap inang.

TINJAUAN PUSTAKA

Simbiosis Inang-Parasit dan Spesifitas
Simbiosis atau interaksi antara dua individu yang berlainan spesies bisa
ditemukan dalam suatu ekosistem. Simbiosis bisa dikelompokkan berdasarkan
untung dan rugi antara spesies-spesies yang bersimbiosis. Beberapa jenis
simbiosis yaitu simbiosis mutualisme merupakan interaksi di antara dua spesies
yang saling menguntungkan, simbiosis komensalisme merupakan interaksi dua
spesies yang tidak saling menguntungkan ataupun merugikan dan simbiosis
parasitisme (Brotowidjoyo 1987).
Parasit merupakan organisme yang menumpang hidup pada organisme
lain yang disebut dengan inang. Kusumamihardja (1988) menyatakan parasitisme
hanya terjadi bila salah satu spesies bergantung dan mendapatkan makanan dan
perlindungan dari spesies yang ditumpanginya. Kehadiran parasit dalam tubuh
inang dipengaruhi oleh faktor luar dan faktor dalam. Faktor luar atau lingkungan
meliputi habitat dan lingkungan inang serta kesediaan makanan yang cukup bagi
inang untuk menunjang kehidupan parasit. Faktor dalam meliputi kondisi tubuh
inang tempat parasit bermukim yakni diorgan tubuh (Sprent 1963).
Inang berperan penting di alam dalam penentuan kehadiran parasit.
Kecocokan inang merupakan penyesuaian alami satu jenis parasit pada satu atau
beberapa inang. Parasit ini mempunyai batasan ekologi yang sempit pada
inangnya saja. . inang, selain mengganggu kehidupan inang, parasit juga berperan
sebagai pengontrol dinamika produksi inang (Newey et al. 2005)
Kennedy (1975) menjelaskan bahwa ekologi parasit adalah ilmu yang
mempelajari hubungan antara parasit dengan lingkungan habitatnya. Ekologi
parasit meliputi distribusi parasit dengan tekanan pada sumber makanannya dan
interaksi jenis-jenis parasit dalam satu habitat.
Pada umumnya parasit tidak terdapat pada berbagai jenis inang atau
parasit itu memiliki inang pilihan. Secara alami parasit itu menunjukkan derajat
preferensi inang. Derajat preferensi inang adalah produk adaptasi biologis yang
diperoleh oleh moyangnya dan diturunkan pada progeninya. Makin tinggi derajat
preferensi itu menyebabkan adanya spesifitas inang (Brotowidjoyo 1987).

Little et al. (2006) menyatakan bahwa infeksi maupun infestasi parasit
terhadap inang bersifat luas dan memiliki spesifitas. Parasit tersebut hanya akan
menyerang satu atau sejumlah kecil inang. Spesifitas terjadi karena adanya
adaptasi lokal parasit terhadap populasi inang.
Mekanisme spesifitas sangat tergantung pada distribusi geografi antara
inang dan parasitnya. Spesifitas tergolong atas tiga bagian yaitu spesifik yaitu
parasit hanya akan menyerang satu inang tertentu, multi inang yaitu satu jenis
parasit itu dapat menyerang berbagai kelompok hewan dan multi parasit terjadi
bila satu inang dapat di jumpai berbagai jenis parasit (Sudina 2000; Yasa &
Guntoro 2004 ).
Prevalensi merupakan persentase jenis parasit yang menginfestasi kurakura. Prevalensi berhubungan dengan habitat, penyebaran dan sumber perairan
(Pramiati 2002). Intensitas merupakan derajat jenis parasit yang menginfestasi
kura-kura. prevalensi dan intensitas dari parasit yang menginfestasi inang
merupakan suatu pendekatan dalam pemahaman dampak parasit terhadap populasi

Karakteristik kura-kura sebagai inang
Kura-kura merupakan salah satu anggota dari kelompok herpetofauna.
Herpetofauna merupakan semua hewan yang termasuk dalam kelas hewan melata
yaitu kelas Amphibia dan Reptilia. Herpetofauna berasal dari kata herpeton yang
berarti hewan yang berjalan merayap (Goin & Zug 1993).
Secara umum kura-kura dapat dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu
kelompok Cryptodira yang umumnya dapat memasukkan kepala ke dalam
perisainya dan kelompok Pleurodira yang kepala dan lehernya hanya dibelokkan
ke samping apabila bersembunyi. Kura-kura kelompok Pleurodira dapat mudah
dikenali. Selain dari lehernya yang tidak dapat dimasukkan ke dalam perisainya,
juga dari bagian perisai perutnya yang mempunyai keping intergular (Ernst &
Barbour 1989).
Morfologi kura-kura mudah dikenali dengan adanya perisai punggung dan
perisai perut. Ciri-ciri luar seperti keping perisai, kepala, sisik dan warna
merupakan pilihan yang termuda dan cukup handal untuk mengidentifikasi
kura-kura.

Cuora amboinensis
Cuora amboinensis atau yang dikenal dengan nama Southeast Asian Box
Turtle C. amboinensis (Daudin, 1802), Wallacean Box Turtle C. a. amboinensis
(Daudin, 1802), Malayan Box Turtle C. a. kamaroma Rummler and Fritz 1991,
Indonesian Box Turtle C. a. couro (Schweigger, 1812), Burmese Box Turtle C. a.
lineata McCord and Philippen, 1998. Di Indonesia, kura-kura air tawar secara
umum dikenal dengan nama ‘Kura Kura’, nama khas tergantung kepada nama
daerah tempat kura-kura tersebut, misalnya: Kura Kura ambon, Kura Kura kuning,
Kura Kura batok, Kura Kura PD, Baning Banya, Kura Kurakatup, Kura kura
tangkop, Kangkop (Schoppe 2008).
Cuora amboinensis merupakan salah satu anggota kelompok terrapin atau
kura-kura air tawar. Cuora amboinensis memiliki ciri antara lain bentuk karapas
yang relatif tinggi dengan tiga buah lunas pada keping vertebral dan keping kostal.
Urutan panjang keping vertebral 2 > 3 > 1 > 4 > 5 sedangkan urutan panjang
hubungan antara plastron adalah abdominal >< anal > pectoral > gular > femoral
> humeral. Keping inguinal dan aksilar sangat kecil, keping anal tidak berlekuk
pada bagian belakang.. Ekor pendek, anggota tubuh mempunyai jari-jari yang
berselaput, hewan jantan mempunyai plastron yang cekung dan ekor yang lebih
tebal sedangkan yang betina mempunyai plastron yang datar dan ekor yang
pendek. Besarnya dapat mencapai 20 cm (Ernst & Barbour 1989; Iskandar 2000).
Warna karapas coklat hingga hitam, plastron pada umumnya berwarna
putih atau krem putih dengan bercak hitam pada setiap kepingnya, pada kepala
terdapat garis kuning yang melingkar mengikuti tepi bagian atas kepala sangat
spesifik, matanya mempunyai iris berwarna kuning dan hitam pada sisinya.

Gambar 1. Cuora amboinensis

Cuora amboinensis menyukai habitat perairan yang dangkal dan berarus
sedang, selain di sungai, cuora ini dapat di jumpai pada rawa, persawahan dan laut
(Iskandar, 2000). Senneka & Tabaka (2004) menyatakan lingkungan perairan
yang menjadi habitat C. amboinensis memiliki kisaran suhu antara 25-280C.
Cuora merupakan salah satu spesies yang mendiami habitat semi aquatik tetapi
untuk juvenil selalu berada di dalam air (Taylor 1920). Cuora amboinensis
menghabiskan sebagian besar waktunya di perairan, dan naik ke darat untuk
berjemur dan membuat sarang.
Murray (2004) menyatakan penyebaran C. amboinensis meliputi India
(pulau Nicobar, Assam), Bangladesh, Myanmar, Thailand, Vietnam, Malaysia
Singapura, Filipina. Penyebaran C. amboinensis di Indonesia meliputi daerah
Sumatra, Jawa, Borneo, Nias, Enggano, Simeulue, Sumbawa, Halmahera, Seram,
Maluku dan Sumbawa (Iskandar 2000).
Cuora amboinensis termasuk ke dalam hewan dengan status konservasi
apendix II sites dengan status “Vulnerable”, tetapi walaupun hewan ini tidak
dikategorikan sebagai hewan langka namun di eksploitasi dan dimanfaatkan
secara besar-besaran sehingga mengandung resiko kepunahan (CITES, Apendiks I
dan II).

Hewan-hewan Parasit
Kelompok hewan yang bersifat parasit ini tergolong ke dalam Filum
Protozoa, Filum Platyhelminthes, Filum Nemathelminthes dan Filum Arthropoda.
Parasit ini terdapat di permukaan luar tubuh dan hidup di dalam tubuh (Sains &
Hartini 1999).
Protozoa merupakan hewan uniseluler yang berukuran mikroskopis dan
bersifat parasit pada beberapa spesies hewan invertebrata maupun vertebrata
(Semans 2006).
Filum Platyhelminthes dan Nemathelminthes tergolong ke dalam
kelompok cacing. Platyhelminthes berasal dari bahasa Yunani yakni platys berarti
pipih dan helmiths yang berarti cacing (Romimohtarto, 2005). Ciri khas lain yang
dapat dijumpai adalah hewan tidak beruas, simetri bilateral, tidak mempunyai
anus maupun rongga tubuh atau selom, hermafrodit, dapat hidup bebas di dalam

air sungai dan di laut ataupun hidup parasit pada tubuh hewan lain
(Mollaret 2006). Ciri yang lain adalah berukuran lebih kecil dari 10mm pada
beberapa jenis. Makanan berupa hewan-hewan invertebrata kecil (Brown 1979)
Nematoda merupakan anggota filum Nemathelminthes. Karakteristik
nematoda adalah mempunyai saluran usus dan rongga badan, berbentuk bulat
tidak bersegmen, tubuhnya dilapisi oleh kutikula. Ciri lain ditandai dengan adanya
sebuah mulut pada ujung anterior, mulut dikelilingi oleh bibir.
Arthropoda memiliki anggota kelompok yang bersifat vektor parasit dan
ada juga yang hidup bebas di alam. Karakteristik hewan ini adalah tubuhnya
berbuku-buku, memilik eksoskeleton, berhabitat di darat maupun di perairan
(Cable 1997).
Berdasarkan habitat parasit dalam tubuh inang maka analisis endoparasit
dapat dilakukan melalui feses. Marquard & Petersen (2007) menyatakan bahwa
feses dapat digunakan untuk mengetahui parasit yang hidup di saluran
pencernaan.
Endoparasit dalam tubuh inang mungkin terdapat dalam sistem tubuh
inang yaitu sistem pencernaan, sistem sirkulasi dan sistem respirasi. Dalam sistem
pencernaan, parasit dapat dijumpai dalam saluran dan dinding saluran pencernaan,
yaitu duodenum, ileum, yeyunum, sekum, kolon dan rektum. Parasit-parasit yang
mendiami saluran dan dinding saluran pencernaan memperoleh makanannya
dengan cara mengabsorpsi makanan yang terlarut di dinding sel dan di jaringan
tersebut. Organ paru-paru dalam sistem respirasi merupakan organ lintasan bagi
cacing nematoda dan merupakan tempat berbiaknya larva trematoda.
Sistem pencernaan pada kura-kura (Gambar 2) terdiri dari mulut,
kerongkongan, lambung, usus dan kloaka. Di dalam saluran pencernaan inilah
parasit bermukim, khususnya di bagian usus.

Gambar 2. Sistem pencernaan kura-kura

Karakteristik Wilayah Penelitian
Pulau Sulawesi atau yang dulu lebih dikenal dengan nama Celebes
merupakan salah satu pulau besar Indonesia. Sulawesi merupakan pulau kelima
terbesar di Indonesia. Pulau ini terbentuk sebagai akibat benturan beberapa
patahan benua Gondwana tiga juta tahun yang lalu (Lang & Vogel, 2006).
Indonesia terletak pada tiga pertemuan lempeng yaitu Australia, Eurasia dan
Pasifik. Pertemuan ketiga lempeng tersebut membentuk pulau di zaman Eocene.
Sulawesi terletak diantara Borneo dan Maluku dan juga terletak antara dua
benua yaitu Asia dan Australia. Alfred Russel Wallace pada abad ke-19
menyarankan garis pemisah fauna yang dikenal sebagai garis Wallace (Gambar
3). Garis ini memisahkan wilayah zoogeografi Oriental dan Australia garis ini
memisahkan sebagian besar fauna Asia dan Australia (Cox & Moore 2000).

Gambar 3. Garis Wallace
Fauna dan flora yang mendiami pulau Sulawesi merupakan hewan transisi
bersifat khas dan memiliki tingkat endemisitas tinggi. Tingkat endemisitas yang
tinggi pada fauna terdapat dalam kelompok mamalia, amphibia, dan invertebrata.
Pulau ini memiliki daratan yang luas dan sejumlah kepulauan dengan topografi
dan ekosistem yang beragam (Whitten et al. 1987; Gillespie et al. 2005). Iskandar
& Tjan 1996 melaporkan terdapat 115 taksa reptilia yang bersifat endemik di
pulau ini.
Salah satu propinsi di Sulawesi yakni Propinsi Sulawesi Selatan yang
beribukota di Makassar terletak antara 0o12’-8o Lintang Selatan dan 116o48’122o36’ Bujur Timur dengan luas wilayah berkisar 45.574,56 km2 yang meliputi
22 kabupaten dan 3 kota.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini dilaksanakan dalam dua tahap. Tahap pertama adalah
penangkapan kura-kura dan koleksi feses dilaksanakan dari bulan Maret–Juli
2007 dan Mei 2008 di perairan Sulawesi Selatan. Tahap kedua adalah preparasi
spesimen, identifikasi dan analisis endoparasit yang dilaksanakan di Bagian
Biosistematik dan Ekologi Hewan Departmen Biologi, FMIPA-IPB dari bulan
Juni–November 2008.
Penangkapan Kura-kura dan Koleksi Feses
Penelitian diawali dengan kegiatan survei yang dilakukan berdasarkan
informasi dari masyarakat setempat berkaitan dengan keberadaan kura–kura di
daerah Sulawesi Selatan. Eksplorasi lapangan telah dilakukan di lima perairan di
Sulawesi Selatan (Gambar 3) yang meliputi Anakan Sungai Tallo Kotamadya
Makassar, Anakan Sungai Tamata Kabupaten Watampone, Anakan Sungai
Magege Kabupaten Luwu Timur, persawahan Tana Beru Kabupaten Bulukumba
dan Anakan Sungai Suso Kabupaten Luwu Utara.

Gambar 3. Peta lokasi penangkapan kura-kura
Keterangan:
A. Anakan sungai Tallo Kotamadya Makassar
B. Anakan Sungai Tamata Kabupaten Watampone
C. Anakan Sungai Magege Kabupaten Luwu Timur
D. Persawahan Tana Beru Kabupaten Bulukumba
E. Anakan Sungai Suso Kabupaten Luwu Utara.

Kepastian Spesies Inang
Pengumpulan spesimen kura–kura dilakukan dengan metode penangkapan
langsung menggunakan tangan dan metode penangkapan tidak langsung dengan
jaring. Jaring yang digunakan adalah jaring berumpan (baited trapping) dan jaring
tanpa menggunakan umpan (non baited trapping) (Michael & Plummer, 1976).
Kura-kura di tangkap di daerah anakan sungai dengan perairan yang dangkal,
berpasir, berlumpur dan berbatu
Identifikasi jenis kura–kura ditujukan

untuk mendapatkan

kepastian

spesies kura-kura sebagai Cuora amboinensis. Proses identifikasi menggunakan
buku kunci identifikasi Iskandar (2000) (Lampiran 1). Karakter morfologi yang
menjadi kunci identifikasi meliputi bentuk perisai karapas dan plastron, bentuk
kaki, bentuk khusus pada bagian kepala dan warna tubuh, Iskandar (2000).

Koleksi, Preparasi dan Identifikasi Parasit pada Feses
Kura-kura diletakkan dalam wadah yang terpisah dan kemudian
dilanjutkan dengan mengkoleksi feses kura-kura. Pengambilan feses dilakukan
pada setiap individu per hari. Kura-kura tersebut telah berada di tempat
penangkaran selama 10 bulan. Feses segar yang diperoleh kemudian di simpan
dalam botol dan diawetkan dengan alkohol 70%. Feses dipindahkan dalam cawan
petri yang berisi NaCl 0,9% kemudian dilakukan pemilahan untuk memisahkan
cacing dari kotoran. Cacing parasit yang diperoleh kemudian di simpan dalam
botol yang berisi alkohol 70%.
Cacing diwarnai dengan eosin 1% selama 3 jam. Cacing didehidrasi
dengan alkohol bertingkat mulai dari konsentrasi 30%, 50%, 70%, 80%, 96% dan
100% masing-masing selama 15 menit. Cacing dijernihkan dengan larutan
laktofenol dan dibiarkan sampai tubuh cacing menjadi transparan sekitar 30 menit.
Tubuh cacing yang telah transparan diletakkan di atas kaca preparat dan
dimounting dengan polyfinil alkohol.
Preparat cacing kemudian diamati dengan mikroskop. Pengukuran tubuh
cacing meliputi panjang dan lebar tubuh menggunakan penggaris di mikrometer
objektif. Ukuran yang telah diperoleh dari mikrometer objektif kemudian ditera
menggunakan micrometer okuler untuk mendapatkan skala sebenarnya.

Analisis Data
Setiap jenis cacing yang ditemukan dalam feses kura-kura dihitung nilai
prevalensi dan intensitas infestasinya. Prevalensi merupakan persentase jenis
cacing yang menginfestasi kura-kura. Intensitas merupakan derajat jenis cacing
yang menginfestasi kura-kura. Analisis prevalensi dan intensitas infestasinya
berdasarkan Barton & Richard (1996), yaitu
Prevalensi jenis parasit =
Intensitas parasit I =

Pi
x100%
p

p
(parasit/individu/inang)
n

Keterangan:
I = Intensitas infestasi endoparasit
n = Jumlah kura-kura yang terinfestasi
p = Jumlah parasit yang menginfestasi
Pi = Jumlah jenis parasit i yang menginfestasi

HASIL

Daerah Penangkapan dan Kepastian Inang
Kura-kura yang telah dikoleksi dengan metode penangkapan langsung
adalah Cuora amboinensis. Jumlah C. amboinensis ditangkap di lima perairan di
Sulawesi Selatan sebanyak 40 ekor (Tabel 1).
Tabel 1 Lokasi penangkapan dan jumlah C. amboinensis yang tertangkap.
Lokasi Penangkapan

C. amboinensis tertangkap (n)

(A) Makassar

3

(B) Watampone

19

(C) Luwu Timur

12

(D) Bulukumba

4

(E) Luwu Utara

2

Jumlah

40

Lokasi penangkapan C. amboinensis di perairan Sulawesi Selatan
umumnya berupa anakan sungai dengan tipe perairan dangkal, berarus sedang dan
berbatu serta di saluran irigasi persawahan.
Lokasi A (Gambar 4) adalah Anakan Sungai Tallo yang terdapat di
kelurahan Tamalanrea Jaya kotamadya Makassar. Anakan Sungai Tallo akan
bermuara pada Sungai Tallo. Sungai Tallo merupakan sungai besar yang bermuara
ke selat Makassar. Penangkapan kura-kura di sungai Tallo ini berlokasi jauh dari
pemukiman penduduk. Perairan ini agak berlumpur dan berarus tenang.

Gambar 4. Anakan Sungai Tallo Makassar
Lokasi B (Gambar 5) merupakan Anakan Sungai Tamata yang berlokasi di
desa Momputo kecamatan Amali kabupaten Watampone. Sungai ini merupakan
sungai dengan perairan berbatu.

Gambar 5. Anakan Sungai Tamata Watampone
Lokasi C (Gambar 6) adalah Anakan Sungai Magege merupakan anak
sungai dari sungai Kalaena yang bermuara di teluk Bone. Sungai ini melintasi
desa Wonorejo, kecamatan Mangkutana kabupaten Luwu Timur. Perairan sungai
ini berbatu dan berlumpur serta arus sungai yang tenang.

Gambar 6. Anakan Sungai Magege Luwu Timur
Lokasi D (Gambar 7) persawahan Tanaberu di Kabupaten Bulukumba.
Cuora amboinensis yang melintasi saluran air di persawahan ini langsung di
tangkap menggunakan tangan.

Gambar 7. Persawahan Bulukumba
Lokasi E (Gambar 8) adalah Anakan Sungai Suso yang terdapat di desa
Tetekang kecamatan Bajo kabupaten Luwu Utara. Sungai ini melintasi daerah
perkebunan masyarakat.

Gambar 8. Anakan Sungai Suso Luwu Utara
Berdasarkan Iskandar (2000), kura-kura yang telah dikoleksi termasuk
jenis Cuora amboinensis. Morfologi C. amboinensis (Gambar 9) tampak dari
bentuk perisai yang dapat ditutup sepenuhnya, perisai punggung atau karapas
relatif tinggi, terdapat garis kuning yang melingkar mengikuti tepi bagian atas
kepala sangat spesifik. Pada bagian pipi dan bibir juga terdapat garis kuning. Kaki
depan dan kaki belakang tidak berbentuk dayung, kaki memiliki jari yang
berselaput. Cuora amboinensis di jumpai pada sungai besar maupun sungai kecil
dan sering juga di jumpai di area persawahan.

Tampak dorsal (bagian karapas)

Tampak samping
Gambar 9. Morfologi Cuora amboinensis

Tampak ventral (bagian plastron)

Bagian kepala

Cacing Endoparasit pada Feses Cuora amboinensis
Cuora amboinensis yang terkumpul selama Maret-Juli 2007 dan Mei
2008 sebanyak 40 ekor dan kemudian fesesnya dikoleksi. Dari 40 feses
C. amboinensis yang di koleksi, terdapat 4 ekor C. amboinensis yang terinfestasi
cacing endoparasit (Lampiran 2).
Cacing endoparasit yang ditemukan dalam feses C. amboinensis termasuk
ke dalam anggota filum Platyhelminthes yang berjumlah tujuh ekor. Cacing
parasit ini dibedakan ke dalam dua tipe parasit berdasarkan atas kemiripan
morfologi (Tabel 2).
Tabel 2. Cacing endoparasit pada feses Cuora amboinensis
Jumlah
C. amboinensis
19
12
4

Yang
Terinfestasi
B (n = 1)
C (n = 2)
D (n = 1)

Cacing Tipe 1

Cacing Tipe 2

Jumlah

2
2
4

1
2
3

1
4
2
7

Keterangan:
B. Anakan Sungai Tamata Kabupaten Watampone
C. Anakan Sungai Magege Kabupaten Luwu Timur
D. Persawahan Tanaberu Kabupaten Bulukumba
Tipe 1 merupakan

cacing endoparasit yang terdapat pada feses

C. amboinensis yang berasal Anakan Sungai Magege Kabupaten Luwu Timur dan
persawahan Tanaberu Kabupaten Bulukumba. Cacing tipe 1 ini dikelompokkan
berdasarkan kemiripan morfologi tubuhnya.
Cacing endoparasit tipe 1 (Gambar 11) ini ditemukan pada feses C.
amboinensis yang berasal dari Kabupaten Luwu Timur. Cacing Tipe 1 (a) ini
memiliki panjang tubuh 1,55 mm dan lebar tubuh 0,3 mm, pada bagian anterior
terdapat adanya batil isap yang berukuran panjang 0,125 mm dan lebarnya 0,175
mm. Sedangkan ukuran panjang tubuh cacing Tipe 1 (b) berkisar 1,5 mm dan
lebar tubuh 0,275 mm serta panjang batil isap 0,125 mm.

batil isap

(a)

(b)

Gambar 11. Cacing tipe 1 : (a & b) cacing dari C. amboinensis Luwu Timur

Cacing endoparasit tipe 1 juga terdapat pada C. amboinensis yang
berasal dari persawahan Tanaberu Kabupaten Bulukumba. Morfologi cacing
endoparasit (Gambar 12).

(d)
(c)
Gambar 12. Cacing tipe 1 : (c) cacing dari C. amboinensis Bulukumba dan (d)
cacing dari C. amboinensis Luwu Timur

Cacing endoparasit Tipe 1 (c) memiliki ukuran panjang tubuh 1,45 mm
dengan lebar tubuh 0,225 mm serta panjang batil isap 0,125 mm. Sedangkan
untuk cacing endoparasit yang ditunjukkan oleh gambar 12 (d) tidak dapat diukur,
hal ini disebabkan preparat terdapat dua individu cacing yang saling bertumpuk.
Cacing endoparasit tipe 2 ditemukan pada feses C. amboinensis yang
berasal dari Kabupaten Watampone dan Kabupaten Luwu Timur (gambar 13 dan
gambar 14). Cacing tipe 2 (Gambar 13) memiliki panjang tubuh berkisar 5 cm
dengan lebar tubuh 20 mm dan cacing tipe 2 (Gambar 14) memiliki panjang tubuh
berkisar 5 cm dengan lebar tubuh 18 mm.

Gambar 13. Cacing Tipe 2 dari C. amboinensis Watampone

Gambar 14. Cacing Tipe 2 dari C. amboinensis Luwu Timur

Prevalensi dan Intensitas Infestasi
Cacing Endoparasit pada Feses Cuora amboinensis
Tingkat penularan penyakit pada umumnya dinyatakan dengan
prevalensi kejadian dan intensitas parasit. Prevalensi merupakan persentase jenis
cacing yang menginfestasi C. amboinensis. Intensitas adalah derajat jenis
cacing yang menginfestasi C. amboinensis. Nilai persentase infestasi cacing
parasit dan nilai prevalensi untuk masing-masing tipe cacing parasit yang terdapat
pada feses C. amboinensis dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Prevalensi dan intensitas cacing endoparasit
Lokasi

Jumlah Cacing

Prevalensi (%)

C. amboinensis

Intensitas
(parasit/individu/inang

B (n = 1)

1

0.05

1

C (n = 2)

4

0.33

2

D (n = 1)

2

0.50

2

Jumlah

7

0.88

1.75

Keterangan:
B. Anakan Sungai Tamata Kabupaten Watampone
C. Anakan Sungai Magege Kabupaten Luwu Timur
D. Persawahan Tanaberu Kabupaten Bulukumba

PEMBAHASAN

Daerah Penyebaran Cuora amboinensis
Cuora amboinensis merupakan kura-kura air tawar yang menyukai
lingkungan akuatik seperti kolam sungai, rawa dan persawahan (Iskandar, 2000).
Cuora amboinensis yang di koleksi berasal dari perairan di Sulawesi Selatan.
Cuora amboinensis ini umumnya di jumpai di anakan sungai yang berarus tenang,
berbatu, berpasir dan berlumpur.
Morfologi C. amboinensis dapat mudah dibedakan dari jenis kura-kura
yang lainnya karena kura-kura ini memiliki perisai yang dapat di tutup
sepenuhnya sehingga sering kali dinamakan sebagai kura-kura batok. Cuora
amboinensis memiliki perisai punggung yang tinggi dengan perisai perut yang
datar atau agak melengkung. Pada bagian kepala di jumpai adanya garis kuning
yang melingkar. Tungkai memiliki jari berselaput dan pada jari dijumpai adanya
kuku.
Cuora memakan apa yang tersedia di lingkungan mereka dan kebiasaan
makanan itu berpengaruh pada jenis parasit yang menginfestasinya (Murray,
2004). Jenis makanan yang dimakan akan mempengaruhi nutrien yang dibutuhkan
oleh endoparasit di dalam sistem pencernaan inang.

Endoparasit pada Feses Cuora amboinensis
Dari

hasil

identifikasi,

organisme

yang

ditemukan

pada

feses

C. amboinensis tergolong ke dalam anggota filum Platyhelminthes. Cacing
endoparasit ini ditemukan sebanyak tujuh ekor.
Penggolongan cacing hanya ke dalam tingkat filum disebabkan oleh
karena morfologi cacing tersebut yang sangat khas. Kekhasan ini disebabkan oleh
karena keadaan endemik suatu parasit sangat tergantung pada ketersediaan inang
yang cocok untuk parasit tersebut (Brown 1979). Hal ini juga menjadi salah satu
faktor tidak teridentifikasikan cacing parasit yang berasal dari C. amboinensis asal
Watampone, Bulukumba dan Luwu Timur.

Pemberian “tipe” pada kedua jenis cacing ini disebabkan oleh karena
sampel tidak bisa diidentifikasikan hingga ke tingkat spesies. Berdasarkan pada
kunci identifikasi endoparasit, cacing ini dikelompokkan ke dalam filum
Platyhelminthes, karena parasit ini mempunyai bentuk seperti cacing pipih
dorsoventral. Parasit ini memiliki pengait untuk melekatkan diri pada tubuh inang.
Cacing ini memiliki bentuk tubuh pipih, simetri bilateral dan belum memiliki
rongga tubuh. Cacing ini bersifat hermaprodit. Cacing ini memiliki sistem
pencernaan sederhana dan sistem respirasi. Sistem pencernaan terdiri atas mulut,
faring, usus dan tanpa anus dan sistem respirasi melalui difusi dari permukaan
tubuhnya. Cacing ini ada yang hidup bebas, dan ada pula yang parasit. Cacing
parasit memiliki adanya alat pelekatan diri pada inang berupa batil isap, mulut
dan pengait (Crompton & Joyner 1980).
Cacing tipe 1 tergolong ke dalam filum Platyhelminthes berdasarkan kunci
identifikasi endoparasit karena morfologi cacing ini yang pipih dorsoventral,
bentuk yang oval dan tubuh yang berwarna coklat. Tubuhnya ditutupi oleh
tegumen. Bagian ventral terdapat batil isap sebagai alat pelekat di tubuh inang.
Ukuran tubuh cacing tipe 1 dapat dikategorikan ke dalam tingkatan larva.
Telur cacing akan keluar dari tubuh cacing dewada melalui feses. Telur akan
berkembang menjadi larva cacing dan larva ini tidak bersifat parasitik karena
dapat hidup bebas selama 1 x 24 jam sebelum mendapatkan inang perantara atau
inang definitif. Siklus hidup cacing diawali dengan menghasilkan telur yang
dikeluarkan bersamaan dengan feses. Telur ini kemudian menetas menjadi larva
miracidium dan masuk ke inang perantara pertama. Di dalam tubuh inang
perantara pertama, larva mirasidium akan bermetamorfosis

menjadi sporosit,

sporosit ini mengandung banyak kantung embrio, yang akan tumbuh menjadi
Redia. Redia akan tumbuh dan mengandung embrio yang akan berkembang
menjadi serkaria yang akan pindah ke inang perantara kedua. Pada inang ini
metaserkaria akan membentuk kista dan berkembang menjadi cacing dewasa
(Campbell, 2005).

Cacing tipe 2 memiliki panjang tubuh 5 cm dengan lebar antara 18–20 mm
artinya cacing ini tergolong ke dalam filum Platyhelminthes kelas trematoda
karena rentangan ukuran panjang tubuh cacing ini berkisar antara 1cm - 6cm.
(http://www.bumblebee.org/invertebrates/PLATYHELMINTHES.htm)
Cuora amboinensis ini terinfestasi oleh cacing parasit dari anggota filum
Platyhelminthes tipe 1 dan tipe 2. Pada C. amboinensis dari Watampone hanya
terinfestasi oleh cacing tipe 2 yang berjumlah satu ekor dan C. amboinesis dari
Bulukumba terinfestasi oleh cacing parasit tipe 1 sebanyak dua ekor. Hal ini
menunjukkan bahwa spesifitas pada C. amboinensis Watampone dan Bulukumba
adalah spesifik dimana satu inang hanya terinfestasi oleh satu jenis cacing parasit
tertentu. C. amboinensis dari Luwu Timur terinfestasi oleh cacing parasit tipe 1

Prevalensi dan Intensitas
Cuora amboinensis yang terkumpul sebanyak 40 ekor dan hanya ada
4 ekor yang terinfestasi oleh cacing parasit yaitu C. amboinensis yang berasal dari
Watampone, Luwu Timur dan Bulukumba. Prevalensi setiap jenis cacing
endoparasit yang menginfestasi C. amboinensis sebesar 0.88% dan intensitas
infestasi sebesar 1.75 parasit/individu inang.
Nilai prevalensi intensitas pada C. amboinensis sangat rendah dimana dari
40 ekor C. amboinensis hanya ada empat ekor C. amboinensis yang terinfestasi
cacing parasit sebanyak tujuh ekor.
Inang dari cacing parasit ini merupakan C. amboinensis yang ditangkap
langsung di daerah Sulawesi Selatan. Pulau Sulawesi atau Celebes merupakan
pulau dengan tingkat endemisitas tinggi bagi flora dan faunanya. Hal ini karena
pembentukan Sulawesi sangat unik dimana terbentuk dari benturan tiga lempeng
tektonik lempeng Asia yang membentuk Sulawesi bagian barat dan selatan,
lempeng Australia yang membentuk Sulawesi bagian tenggara dan Banggai serta
lempeng pasifik yang membentuk Sulawesi bagian Utara. Di awal pembentukan
pulau ini juga terjadi pergerakan satwa dan oleh Wallacea mengungkapkan
penemuan bahwa satwa-satwa yang mendiami pulau Sulawesi merupakan

perpaduan antara satwa Asia dan Australia dan sangat berbeda sehingga
dikategorikan se