Keanekaragaman jenis reptil dan biologi Cyrtodactylus ef fumosus di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Lampung-Bengkulu

(1)

KEANEKARAGAMAN JENIS REPTIL DAN

BIOLOGI

Cyrtodactylus

cf

fumosus

DI TAMAN NASIONAL BUKIT BARISAN SELATAN

LAMPUNG - BENGKULU

WEMPY ENDARWIN

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

RINGKASAN

WEMPY ENDARWIN. Keanekaragaman Jenis Reptil dan Biologi

Cyrtodactylus cf fumosus di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan Lampung - Bengkulu, dibawah bimbingan Dr. Ir. MIRZA DIKARI KUSRINI, MSi dan Ir. AGUS PRIYONO, MS.

Pemanfaatan reptil sebagai binatang peliharaan, konsumsi dan obat-obatan telah berkembang ke berbagai negara. Bahkan dalam dua dekade terakhir Indonesia dikenal sebagai salah satu negara pengekspor reptil terbesar di dunia. Kegiatan pemanfaatan reptil walaupun memberikan keuntungan ekonomi namun dapat menimbulkan dampak negatif yang cukup besar. Eksploitasi berlebihan dan tidak terkontrol dapat mengancam kelestarian satwa tersebut. Salah satu jenis reptil yang umum terdapat di wilayah Sumatera adalah Cyrtodactylus cf fumosus, merupakan sejenis cicak yang hidup di dalam hutan. Sifat hidupnya yang arboreal menjadikan mereka sangat tergantung terhadap hutan. Kerusakan hutan telah menghilangkan sebagian besar habitatnya. Namun demikian belum banyak orang yang peduli terhadap keberadaan dan kelestarian satwa ini. Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) sebagai salah satu kawasan konservasi di Pulau Sumatera memiliki peranan yang sangat penting dalam upaya perlindungan dan pelestarian satwaliar. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi mengenai keanekaragaman jenis dan sebaran ekologi reptil yang terdapat di TN Bukit Barisan Selatan serta mempelajari aspek biologi (reproduksi, seksual dimorfisme dan pakan) Cyrtodactylus cf fumosus.

Penelitian ini dilakukan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) dan di Laboratorium Ekologi Satwaliar bagian Herpetofauna Fahutan IPB. Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi GPS, densiometer, headlamp, penangkap ular, kantong spesimen, kaliper, timbangan PESOLA (5-5000g), alkohol 70%, formalin 4%, alat suntik, tabung spesimen, buku identifikasi reptil, kamera digital, gunting bedah, pinset, mikroskop dan buku identifikasi serangga. Metode pengumpulan data reptil menggunakan Visual Encounter Survey dengan desain plot berupa jalur / transek. Parameter habitat yang diukur meliputi persen penutupan tajuk dan suhu udara. Pengukuran aspek biologi (reproduksi, seksual dimorpisme dan pakan) C. cf fumosus dilakukan terhadap 30 sampel yang terdiri dari 14 jantan dan 16 betina. Analisis data meliputi deskripsi


(3)

kondisi habitat, indeks keanekaragaman jenis Shanon-Wiener, indeks kemerataan jenis, indeks similaritas komunitas Jaccard, deskripsi anatomi organ reproduksi C. cf fumosus, analisis korelasi antara panjang gonad dengan panjang tubuh C. cf fumosus, uji t-student untuk mengetahui pengaruh jenis kelamin terhadap ukuran tubuh C. cf fumosus serta jumlah jenis dan frekuensi pakan C. cf fumosus.

Lokasi pengamatan merupakan wilayah yang bertopografi datar sampai berbukit dengan ketinggian berkisar antara 50 – 1200 m dpl, penutupan lahan berupa hutan dataran rendah, hutan pegunungan, hutan bekas terbakar, sawah dan perladangan. Suhu rata-rata siang hari berkisar antara 20,40 – 26,74 °C dan malam hari berkisar antara 18,51 – 24,94 °C. Pada umumnya penutupan tajuk di lokasi primer lebih rapat dibandingkan di lokasi sekunder. Reptil yang ditemukan sebanyak 51 jenis terdiri dari 14 suku dan 3 sub ordo, yaitu Ophidia / ular (24 jenis), Sauria / kadal (24 jenis) dan Testudinata / kura-kura (3 jenis). Penyebaran reptil paling luas adalah jenis Mabuya multifasciata yang tercatat di sembilan lokasi pengamatan serta M. rudis yang tercatat di tujuh lokasi pengamatan. Berdasarkan sebaran ekologisnya reptil yang ditemukan selama penelitian dapat di golongkan menjadi reptil akuatik, semi akuatik, terestrial, fossorial, arboreal dan semi arboreal. Nilai keanekaragaman jenis reptil pada habitat yang tidak terganggu umumnya lebih tinggi dibandingkan dengan habitat yang terganggu. Indek kesamaan jenis yang diperoleh dalam penelitian ini berkisar antara 0 sampai 0.3. Lokasi yang memiliki tingkat kesamaan terbesar adalah Kubu Perahu primer dengan Way Sepunti primer sebesar 0,3 serta Linau primer dengan Way Canguk primer sebesar 0,27. Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa panjang testis C. cf fumosus adalah 3,66±0,65 mm dengan panjang testis kanan sebesar 3,61±0,62 mm dan testis kiri sebesar 3,71±0,70 mm. Sel telur yang dihasilkan oleh masing-masing ovarium berjumlah antara 3 sampai 5 butir. Ukuran telur bervariasi antara 0,44 sampai 11,84 mm. Hasil uji korelasi menunjukkan bahwa ukuran tubuh pada jantan berpengaruh terhadap ukuran testis dengan nilai korelasi sebesar 0,62 pada testis kanan dan 0,61 pada testis kiri sedangkan pada betina ukuran panjang tubuh (svl) berpengaruh nyata terhadap panjang telur dengan nilai korelasi sebesar 0,65. Hasil analisis seksual dimorfisme memperlihatkan bahwa tidak terdapat perbedaan ukuran tubuh, ukuran kepala dan ukuran panjang tungkai antara jantan


(4)

dan betina. Namun terdapat perbedaan pada jarak antar tungkai dimana jarak antar tungkai pada betina lebih panjang dibandingkan dengan jantan. Berdasarkan hasil analisis pakan C. cf fumosus memangsa binatang dari 8 ordo, yaitu Isoptera, Araneae, Glomerida, Blattaria, Isopoda, Diptera, Annelida dan Sauria. Jenis binatang yang paling banyak dimangsa adalah Isoptera sebanyak 42,9% dan Araneae sebanyak 23,8%.


(5)

KEANEKARAGAMAN JENIS REPTIL DAN

BIOLOGI

Cyrtodactylus cf fumosus

DI TAMAN NASIONAL BUKIT BARISAN SELATAN

LAMPUNG - BENGKULU

Oleh :

WEMPY ENDARWIN

Skripsi

Sebagai Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kehutanan

Pada Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(6)

Judul Penelitian : Keanekaragaman Jenis Reptil dan Biologi

Cyrtodactylus cf fumosus di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan Lampung - Bengkulu

Nama Mahasiswa : Wempy Endarwin

NRP : E. 34101052

Departemen : Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Ir. Mirza Dikari Kusrini, MSi Ir. Agus Priyono, MS NIP. 131 878 493 NIP. 131 578 800

Mengetahui, Dekan Fakultas Kehutanan

Institut Pertanian Bogor

Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS NIP. 131 430 799


(7)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Garut pada tanggal 22 Maret 1983 sebagai anak kedua dari tiga bersaudara pasangan Bapak Endang Mulyana dan Ibu Euis Sumartini. Penulis memulai pendidikan formalnya pada tahun 1989 di SD Negeri Cikajang 2, Kabupaten Garut dan lulus pada tahun 1995 di SD Negeri Cikole 1, Kotamadya Sukabumi. Penulis melanjutkan ke SMP Negeri 1 Ciwidey, Kabupaten Bandung dan lulus pada tahun 1998. Setelah itu penulis melanjutkan ke SMU Negeri Margahayu, Kabupaten Bandung dan lulus pada tahun 2001. Pada tahun 2001, penulis diterima sebagai mahasiswa di Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).

Selama menjadi mahasiswa penulis pernah aktif di kegiatan organisasi Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan (HIMAKOVA), periode tahun 2003 – 2004 sebagai Kepala Departemen Kerohanian dan Kekeluargaan, anggota Kelompok Pemerhati Herpetofauna (KPH) dan Kelompok Pemerhati Goa (KPG) HIMAKOVA. Penulis pernah melaksanakan kegiatan praktek pada tahun 2004, meliputi: praktek Pengenalan Umum Kehutanan (PUK) di Baturraden, KPH Banyumas Timur dan Cilacap, KPH Banyumas Barat, Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah dan Praktek Umum Pengelolaan Hutan di Getas, KPH Ngawi, Perum Perhutani Unit II Jawa Timur. Pada bulan Februari 2005, penulis melaksanakan Praktek Kerja Lapang (PKL) di Taman Nasional Way Kambas, Propinsi Lampung.

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan, penulis melakukan penelitian karya ilmiah yang berjudul “Keanekaragaman Jenis Reptil dan Biologi Cyrtodactylus cf fumosus di Taman Nasional Bukit

Barisan Selatan, Lampung - Bengkulu” dibawah bimbingan Dr. Ir. Mirza


(8)

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini berjudul

Keanekaragaman Jenis Reptil dan Biologi Cyrtodactylus cf fumosus di

Taman Nasional Bukit Barisan Selatan Lampung - Bengkulu”. Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Kedua orang tua tercinta atas doa dan kasih sayang yang tak pernah terputus.

2. Ibu Dr. Ir. Mirza Dikari Kusrini, MSi selaku dosen pembimbing utama dan Bapak Ir. Agus Priyono, MS selaku dosen pembimbing kedua atas segala nasihat dan bimbingannya.

3. Ibu Ir. T. M. Oemijati R., MS selaku dosen penguji dari Departemen Silvikultur dan Bapak Ir. Sucahyo Sadiyo, MS selaku dosen penguji dari Departemen Hasil Hutan

4. Wildlife Conservation Society (WCS-IP) yang telah mendanai penelitian ini. 5. Drs. Tamen Sitorus, MSc (Kepala Balai TNBBS) yang telah memberikan izin

penelitian di TNBBS.

6. Anton Nurcahyo, S. Hut selaku Project Leader WCS atas bantuan dan kerjasamanya.

7. Seluruh staf World Conservation Society (WCS ) Lampung atas bantuannya. 8. Bapak George T. Saputra (IRATA) atas bantuan dana yang telah diberikan. 9. Inggar Rahardjo atas kerjasamanya selama penelitian.

10.Prof. Djoko T Iskandar (ITB) atas masukan dan informasinya. 11.Yulia Hardini, S.Hut untuk identifikasi serangganya

12.Teman – teman Fahutan angkatan 38 IPB atas doa dan dukungannya

13.Semua pihak yang telah membantu hingga selesainya penulisan karya ilmiah ini.

Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu.

Bogor, Juni 2006


(9)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 2

Manfaat ... 2

TINJAUAN PUSTAKA Reptil ... 3

Klasifikasi dan sistematika ... 3

Morfologi ... 4

Perkembangbiakan ... 5

Perilaku ... 5

Habitat ... 6

Penyebaran ... 7

Cyrtodactylus cf fumosus ... 8

Taksonomi ... 8

Morfologi dan penyebaran ... 8

Perilaku makan ... 9

Morfologi organ reproduksi (gonad) ... 9

Kematangan roproduksi dan seksual dimorfisme ... 10

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN Sejarah dan Status ... 12

Letak dan Luas ... 12

Kondisi Fisik ... 12

Kondisi Biologi ... 13

METODE PENELITIAN ... 15


(10)

Alat dan Bahan ... 15

Jenis Data ... 16

Pengumpulan Data ... 17

Analisis Data ... 20

HASIL DAN PEMBAHASAN Reptil ... 23

Kondisi habitat di lokasi penelitian ... 23

Penemuan dan Penyebaran Reptil ... 25

Pola Aktivitas dan Sebaran Ekologis ... 29

Indek Keanekaragaman Jenis ... 32

Indek Kesamaan Jenis ... 34

Biologi Cyrtodactylus cf fumosus ... 35

Karakteristik Anatomi Organ Reproduksi ... 35

Hubungan Antara Ukuran Panjang Tubuh Dengan Ukuran Gonad ... 36

Seksual Dimorfisme ... 38

Komposisi Pakan Cyrtodactylus cf fumosus ... 41

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 44

Saran ... 45 DAFTAR PUSTAKA


(11)

DAFTAR TABEL

1. Keanekaragaman satwaliar di TNBBS... 14 2. Kondisi habitat di lokasi penelitian ... .23 3. Daftar jenis reptil yang ditemukan di lokasi penelitian ... 26 4. Hasil perhitungan indek keanekaragaman jenis reptil di tiap-tiap lokasi

pengamatan ... 33 5. Matriks perhitungan nilai indek kesamaan jenis ... 34 6. Nilai uji t untuk seksual dimorfisme pada ukuran tubuh Cyrtodactylus cf

fumosus ... 39 7. Komposisi pakan Cyrtodactylus cf fumosus ... 41


(12)

DAFTAR GAMBAR

1. Organ reprodukasi pada lacerta (kadal) ... 10

2. Peta lokasi penelitian ... 15

3. Kondisi vegetasi pada jalur pengamatan primer ... 24

4. Kondisi vegetasi pada jalur pengamatan sekunder ... 25

5. Indek kelimpahan dan indek kemerataan pada masing-masing ketinggian ... 28

6. Grafik penambahan jumlah jenis reptil yang ditemukan berdasarkan jumlah hari pengamatan ... 29

7. Psammodynastes sedang mencari mangsa ... 30

8. Gonocephalus chameleontinus meletakan telurnya pada permukaan tanah ... 30

9. Sarang ular pada lubang tanah ... 31

10. Morfologi organ reproduksi Cyrtodactylus cf fumosus ... 35

11. Grafik hubungan antara panjang subuh (svl) dengan panjang testis ... 37

12. Grafik hubungan antara panjang subuh (svl) dengan panjang telur ... 38


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Hasil perjumpaan reptil dilokasi pengamatan ... 49

2. Indek kelimpahan dan indek kemerataan jenis reptil per jalur pengamatan ... 57

3. Indek kelimpahan dan Indek keanekaagaman berdasarkan ketinggian .... 60

4. Hasil pengukuran suhu di lokasi pengamatan ... 62

5. a. Hasil pengukuran panjang tubuh dan panjang telur pada Cyrtodactylus betina ... 64

b. Hasil pengukuran panjang tubuh dan panjang testis pada Cyrtodactylus jantan ... 64

6. Hasil analisis koposisi pakan C cf fumosus ... 65

7. Hasil pengukuran penutupan tajuk ... 66

8. Hasil pengukuran bagian-bagian tubuh Cyrtodactylus cf fumosus ... 68

9. a. Analisis korelasi antara panjang tubuh /svl dengan panjang testis ... 69

b. Analisis korelasi antara panjang tubuh/svl dengan panjang telur ... 69

10. a. Analisis statistik deskriptif antara panjang tubuh/svl dan panjang testis ... 69

b. Analisis statistik deskriptif antara panjang tubuh/svl dan panjang telur ... 69

11. Nilai uji t untuk panjang tubuh, panjang kepala, lebar kepala, panjang tungkai dan jarak tungkai antara jantan dan betina ... 69

12. Analisis statistik deskrtiptif untuk panjang tubuh, panjang kepala, lebar Kepala, panjang tungkai dan jarak tungkai ... 71


(14)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati paling tinggi di dunia. Menurut Biodiversity Action Plan for Indonesia (Bappenas, 1993) Indonesia memiliki sekitar 10% jenis tumbuhan berbunga yang ada di dunia, 12% mamalia, 16% reptil dan amfibi, 17% burung serta 25% jenis ikan. Tingginya keanekaragaman hayati tersebut sangat dipengaruhi oleh posisi Indonesia yang berada di wilayah tropis serta terletak diantara dua wilayah biogeografi yaitu Indo Malaya dan Australian.

Keanekaragaman hayati baik flora maupun fauna yang dimiliki merupakan potensi yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan manusia. Lebih dari 6.000 jenis tumbuhan dan satwa yang biasa di manfaatkan oleh masyarakat Indonesia baik yang berasal dari alam maupun hasil budidaya (Bappenas, 1993). Sedangkan secara ekologis flora dan fauna sebagai komponen dalam ekosistem memiliki peranan yang penting dalam kelangsungan proses-proses ekologi untuk menjaga keseimbangan ekosistem. Rusak atau hilangnya salah satu komponen dalam ekosistem akan menyebabkan gangguan terhadap ekosistem serta berkurangnya kualitas lingkungan.

Reptil adalah salah satu fauna yang banyak terdapat di wilayah Indonesia. Indonesia menempati peringkat ketiga sebagai negara yang memiliki kekayaan jenis reptil paling tinggi di dunia, lebih dari 600 jenis reptil terdapat di Indonesia (Bappenas, 1993). Satwaliar ini telah telah lama dimanfaatkan, bahkan telah menjadi komoditas ekonomi yang bernilai tinggi. Pemanfaatan reptil sebagai binatang peliharaan maupun untuk konsumsi serta obat-obatan telah berkembang ke berbagai negara, bahkan dalam dua dekade terakhir Indonesia dikenal sebagai salah satu pengekspor reptil terbesar di dunia (Soehartono dan Mardiastuti, 2003). Kegiatan pemanfaatan reptil yang telah banyak menghasilkan keuntungan secara ekonomi juga menimbulkan dampak negatif yang cukup besar. Eksploitasi reptil yang berlebihan dan tidak terkontrol akan menimbulkan ancaman terhadap kelestarian satwa tersebut.


(15)

Selain kegiatan eksploitasi, kerusakan hutan yang semakin luas juga merupakan ancaman besar terhadap kelestarian satwaliar. Konversi hutan menjadi lahan perkebunan, lahan pertanian dan kegiatan penebangan hutan berperan besar terhadap hilangnya habitat satwaliar. Perubahan kondisi habitat seperti itu akan berpengaruh terhadap keanekaragaman satwaliar yang terdapat di dalamnya.

Salah satu jenis reptil yang umum ditemukan di Sumatera adalah Cyrtodactylus cf fumosus. Cyrtodactylus adalah sejenis cicak yang hidup di wilayah hutan, sifat hidupnya yang arboreal menjadikan mereka sangat tergantung pada hutan. Kerusakan hutan telah menghilangkan sebagian besar habitat mereka. Namun demikian belum banyak orang yang peduli terhadap keberadaan satwa ini. Selama ini orang menganggap cicak adalah binatang yang banyak berkeliaran disekitar rumah dan bukan sesuatu yang penting untuk dilindungi dan dilestarikan.

Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) sebagai salah satu kawasan konservasi di Pulau Sumatera memiliki peranan yang sangat penting dalam upaya perlindungan dan pelestarian satwaliar. Kawasan hutan yang terdapat di TNBBS merupakan wilayah yang penting sebagai habitat dari berbagai jenis satwaliar termasuk reptil. Salah satu upaya untuk mendukung perlindungan dan pelestarian satwaliar di kawasan TNBBS adalah dengan melakukan penelitian mengenai satwaliar yang ada di kawasan tersebut.

Tujuan Penelitian Kegiatan penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mendapatkan informasi mengenai keanekaragaman jenis dan sebaran ekologi reptil yang terdapat di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan.

2. Mempelajari aspek biologi (reproduksi, seksual dimorfisme dan pakan) Cyrtodactylus cf fumosus.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi ilmiah untuk mendukung kemajuan pengetahuan mengenai herpetofauna di Indonesia serta keanekaragaman reptil khususnya di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan.


(16)

TINJAUAN PUSTAKA

Reptil Klasifikasi dan Sistematika

Reptil merupakan satwa bertulang belakang yang bersisik. Taksonomi reptil menurut Goin, Goin dan Zug (1978) adalah sebagai berikut:

Kingdom : Animalia Filum : Chordata Sub-filum : Vertebrata Kelas : Reptilia

Ordo : Testudinata, yaitu kura-kura

Squamata, yaitu kadal, ular, dan amphisbaenia Rhynchocephalia, yaitu tuatara

Crocodylia, yaitu buaya

Satwa reptil terdiri dari 48 famili, sekitar 905 genus dengan 6,547 spesies (Halliday dan Adler, 2000). Jumlah ini terus berubah seiring dengan berkembangan ilmu pengetahuan dan penemuan jenis-jenis baru. Indonesia memiliki tiga dari keempat ordo, yaitu Ordo Testudinata, Squamata dan Crocodylia. Tuatara (Ordo Rhynchocephalia) merupakan reptil primitif yang terdiri dari 1 jenis dan hanya terdapat di Selandia Baru (O’Shea dan Halliday, 2001).

Ordo Testudinata terdiri dari sekitar 260 jenis dari 75 genus dan 13 famili. Testudinata mencakup jenis yang hidup di laut, perairan darat, maupun darat. Testudinata mewakili sekitar 4% dari seluruh jenis reptil di dunia (Halliday dan Adler, 2000).

Ordo Squamata dibagi lebih lanjut menjadi tiga sub-ordo, yaitu: Sauria (Lacertilia) yang mencakup kadal; Amphisbaenia; dan Serpentes (Ophidia) yang mencakup ular. Kadal merupakan kelompok terbesar dalam reptil. Kadal terdiri dari 3.751 jenis dalam 383 genus dan 16 famili, atau 51% dari seluruh jenis reptil (O’Shea dan Halliday, 2001; Halliday dan Adler, 2000). Amphisbaenia terdiri dari 4 famili yang kemudian dibagi menjadi 21 genus dan 140 jenis, atau sekitar 2% dari seluruh reptil. Ular, atau Serpentes, terdiri dari 2,389 jenis dalam 471


(17)

genus dan 11 famili, atau sekitar 42% dari seluruh jenis reptil (Halliday dan Adler, 2000).

Buaya termasuk dalam ordo Crocodylia. Secara keseluruhan terdapat 22 jenis buaya dalam 8 genus dan 3 famili. Total jenis buaya di dunia sekitar 0,3% dari seluruh jenis reptil (O’Shea dan Halliday, 2001; Halliday dan Adler, 2000). Morfologi

Reptil memiliki kulit bersisik tanpa kelenjar, bulu, rambut atau kelenjar susu seperti pada mamalia (Goin, Goin, dan Zug, 1978). Tidak seperti ikan, sisik reptil tidak saling terpisah. Warna kulit beragam, dari warna yang menyerupai lingkungannya sampai warna yang membuat reptil mudah terlihat. Semua reptil tidak memiliki telinga eksternal (Halliday dan Adler, 2000). Pada sebagian besar reptil terdapat perbedaan antara jantan dan betina yaitu pada ukuran dan bentuk, maupun warna tubuh dewasa (Halliday dan Adler, 2000).

Ciri yang membedakan kura-kura dengan satwa lain adalah perisai yang terdapat pada tubuh kura-kura. Perisai tersebut terdiri dari dua bagian, yaitu karapas yang menutupi punggung kura-kura dan plastron yang menutupi perut kura-kura. Perisai ini terdiri dari sisik yang merupakan lapisan epidermis yang termodifikasi. Ukuran kura-kura berkisar dari 11-185 cm (Halliday dan Adler, 2002).

Kadal memiliki beragam bentuk, ukuran dan warna. Sebagian besar memiliki empat kaki, walaupun terdapat beberapa jenis yang tidak berkaki. Ukuran Snout-Vent Length (SVL) kadal berkisar dari 1,5-145 cm, tetapi sebagian besar berkisar antara 6-20 cm (Halliday dan Adler, 2000).

Ular adalah reptil yang tidak memiliki kaki, kelopak mata, atau telinga eksternal. Seluruh tubuhnya tertutup oleh sisik (O’Shea dan Halliday, 2001). Jumlah, bentuk dan penataan sisik ular dapat digunakan untuk mengidenifikasi jenis ular (Mattison, 1992). Ukuran tubuh ular berkisar dari 10 mm sampai 10 m. Ular terpanjang berasal dari famili Pythonidae. Sebagian besar ular berukuran antara 45-200 cm, dan 10-20% dari panjang tersebut adalah panjang ekor (Mattison, 1992).

Amphisbaenia yang juga disebut worm lizard adalah satwa dengan tubuh panjang, silinderis dengan ekor yang pendek. Amphisbaenia tidak memiliki kaki,


(18)

kecuali pada marga Bipes yang memiliki sepasang kaki depan. Tubuh Amphisbaenia ditutupi oleh sisik kecil yang teratur dalam cincin yang disebut annuli (O’Shea dan Halliday, 2001).

Ordo Crocodylia adalah satwa dengan kulit tebal dan bersisik. Buaya memiliki ekor yang besar dan rahang yang kuat. Mata dan lubang hidung buaya terletak di bagian atas kepala sehingga mereka dapat melihat mangsa ketika berada di air. Buaya memiliki jantung dan otak paling modern dibandingkan dengan reptil lainnya. Ukuran buaya dapat mencapai 7,5 m (O’Shea dan Halliday, 2001; Hallidaydan Adler, 2000).

Perkembangbiakkan

Fertilisasi pada reptil terjadi secara internal. Sebagian besar reptil adalah ovipar atau bertelur. Telur reptil bercangkang, berbeda dengan telur amfibi. Reptil dengan jenis berbeda dapat bersifat ovipar maupun vivipar walaupun termasuk dalam genus yang sama. Bahkan, sifat berbeda tersebut dapat ditemukan pada jenis yang sama pada dua populasi berbeda (Goin, Goin, dan Zug, 1978).

Reptil betina meninggalkan telurnya untuk menetas dalam lubang buatan atau di bawah lapisan tanah atau serasah. Betina dari beberapa jenis tertentu diketahui untuk menjaga telurnya, seperti pada kadal Eumeces sp. dan ular python (Goin, Goin dan Zug, 1978).

Pada kura-kura dan buaya, suhu inkubasi menentukan laju perkembangan telur dan juga jenis kelamin. Semakin tinggi suhu inkubasi maka bayi yang menetas akan berkelamin betina, dan berkelamin jantan pada suhu yang lebih rendah. Suhu inkubasi berbeda pada setiap jenis (Halliday dan Adler, 2000). Perilaku

Reptil adalah satwa ektotermal, yaitu mereka memerlukan sumber panas eksternal untuk melakukan kegiatan metabolismenya. Karena itu reptil sering dijumpai berjemur di daerah terbuka, khususnya pada pagi hari. Reptil akan berjemur sampai mencapai suhu badan yang dibutuhkan dan kemudian bersembunyi atau melanjutkan kegiatannya (Halliday dan Adler, 2000).

Reptil memiliki berbagai perilaku pertahanan hidup. Ada beberapa jenis ular yang berpura-pura mati jika merasa terancam. Beberapa jenis ular dan dua jenis kadal dari genus Heloderma juga memiliki bisa untuk mempertahankan diri.


(19)

Beberapa jenis kadal, seperti Mabuya spp., melepaskan ekornya dalam perilaku yang disebut caudal autotomy (O’Shea dan Halliday, 2001). Walaupun kura-kura dikenal sebagai hewan yang lambat, penyu dapat berenang dengan kecepatan 32 km/jam (Goin, Goin dan Zug, 1978).

Sebagian besar reptil adalah karnivora, dengan pakan beragam dari serangga sampai mamalia. Kura-kura air tawar cenderung bersifat omnivora, dan kura-kura darat merupakan herbivora (O’Shea dan Halliday, 2001). Semua ular adalah karnivora. Mereka mencari mangsa menggunakan lidahnya yang dapat mendeteksi partikel-partikel kimia di udara. Beberapa jenis memiliki sensor panas untuk mendeteksi keberadaan mangsa. Sebagian besar jenis ular membunuh mangsa dengan melilitnya, dan jenis ular lainnya dengan bisanya. Ular berbisa memiliki taring untuk mengeluarkan bisa pada mangsanya. Taring tersebut terletak pada bagian belakang rahang atas atau pada bagian depan rahang (O’Shea dan Halliday, 2001; Mattison, 1992).

Habitat

Sebagai satwa ektotermal, reptil tersebar pada berbagai macam habitat. Jenis-jenis reptil dapat hidup di laut, perairan tawar, gurun, bahkan pegunungan. Penyebaran reptil sangat dipengaruhi oleh cahaya matahari yang mencapai daerah tersebut (Halliday dan Adler, 2000).

Satwa Testudines dibedakan menurut habitatnya. Penyu hidup di laut dan hanya naik ke pantai untuk bertelur. Kura-kura dan labi-labi terdiri dari jenis akuatik dan semi-akuatik yang hidup pada daerah perairan tawar. Baning atau kura-kura darat hidup sepenuhnya di darat (Halliday dan Adler, 2000).

Kadal hidup pada berbagai habitat. Jenis terestrial hidup di pepohonan maupun di dalam tanah. Jenis-jenis lain merupakan semi-akuatik (Halliday dan Adler, 2000). Dengan kulit mereka yang impermeabel dan kemampuan untuk menyimpan air, kadal juga dapat hidup di daerah gurun (Mattison, 1992).

Sebagian besar ular merupakan jenis terestrial, tetapi terdapat beberapa jenis yang hidup di tanah. Jenis ular yang paling berbisa merupakan ular air yang hidup di laut. Selain itu ada juga jenis ular yang hidup di air perairan tawar dan pada pepohonan (Halliday dan Adler, 2000). Hutan tropis memiliki keanekaragaman jenis ular yang lebih banyak dibandingkan dengan hutan temperat karena


(20)

penetrasi cahaya matahari dan suhu yang lebih rendah pada hutan temperat. Daerah pegunungan dengan temperatur yang ekstrim bukan merupakan habitat yang ideal untuk ular, tetapi seekor ular jenis Agkistrodon himalayanus pernah ditemukan pada ketinggian 4.900 m dpl (Mattison, 1992).

Penyebaran

Penyebaran reptil di dunia dipengaruhi jumlah cahaya matahari pada daerah tersebut. Jenis reptil yang terdapat di Indonesia berasal dari Ordo Testudinata, Squamata (kadal dan ular), dan Crocodylia (Halliday dan Adler, 2000).

Testudinata tersebar di seluruh dunia di daerah tropis dan sub tropis. Kura-kura terdapat di semua wilayah perairan laut (Halliday dan Adler, 2000). Di Indonesia terdapat sekitar 39 jenis kura-kura, yang terdiri dari enam jenis penyu, enam jenis labi-labi, dua jenis baning atau kura-kura darat, dan 25 jenis kura-kura air tawar (Iskandar, 2000).

Ordo Sauria tersebar di Kanada Selatan sampai Tierra del Fuego, dari Norwegia Utara sampai Selandia Baru, dan juga kepulauan di Laut Atlantik, Pasifik dan Indian (Halliday dan Adler, 2000).

Ular tersebar di seluruh dunia kecuali daerah kutub, Islandia, Irlandia, dan Selandia Baru. Ular tersebar di seluruh Indonesia, termasuk daerah lautan (Halliday dan Adler, 2000). Ular laut tersebar pada bagian tropis Laut Pasific, laut India, Indonesia sampai Australia Utara, dan Amerika Selatan (Mattison, 1992).

Buaya tersebar di benua Asia, Australia, Amerika dan Afrika. Penyebarannya di Asia mencakup Indonesia sampai Cina dan India. Buaya juga terdapat di bagian Utara Australia. Di Afrika buaya terdapat di bagian Tengah dan Selatan, dan juga Amerika Selatan, Tengah, dan bagian Tenggara Amerika Serikat (Halliday danAdler, 2000). Di Indonesia terdapat 6 jenis buaya yang terdiri dari 2 genus yaitu Crocodylus dan Tomistoma (Iskandar, 2000).


(21)

Cyrtodactylus cf fumosus

Taksonomi

Menurut De Rooij tahun 1915 terdapat tiga jenis Gymnodactylus (penamaan lama Cyrtodactylus) di Sumatera yaitu Gymnodactylus marmoratus var quadrilineatus (yang kemudian dirubah menjadi Cyrtodactylus quadrilineatus), C lareralis dan C consobrinus. Namun kemudian ditemukan lagi jenis Cyrtodactylus yang lain di Sumatera. Jenis yang baru ini memiliki warna yang berbeda dan ukuran yang lebih kecil dari Cyrtodactylus lain yang terdapat di Sumatera. Menurut Iskandar (pers comm, 2006) saat ini jenis tersebut belum dideskripsi, namun karena jenis ini mirip dengan Cyrtodactylus fumosus yang terdapat di Jawa dan Sulawesi maka disebut sebagai Cyrtodactylus cf fumosus.

Secara taksonomi Cyrtodactylus cf fumosus memiliki susunan sebagai berikut :

Kingdom : Animalia Filum : Chordata Sub-filum : Vertebrata Kelas : Reptilia Ordo : Squamata Sub ordo : Sauria

Suku : Gekkonidae Marga : Cyrtodactylus

Jenis : Cyrtodactylus cf fumosus (Iskandar pers comm, 2006)

Morfologi dan Penyebaran

Karena belum dideskripsi maka sangat sulit mendapatkan data dan informasi mengenai keberadaan jenis ini selain bahwa jenis tersebut mirip dengan Cyrtodactylus fumosus. Marga Cyrtodactylus umunya memiliki jari-jari yang tidak bersalaput seperti jenis-jenis cicak yang lainnya. Cyrtodactylus fumosus memiliki warna abu-abu, cokelat abu-abu atau cokelat kemerahan dengan titik-titik hitam yang membentuk garis tak beraturan pada bagian atas tubuhnya, terdapat coretan gelap mulai dari mata sampai ke bahu. Ekor dengan garis berwarna gelap, pada ekor yang baru terdapat garis hitam yang memanjang. Bagian bawah berwarna putih atau kecokelatan dengan titik-titik berwarna gelap.


(22)

Kepala ditutupi oleh sisik yang berbintil dengan bintil yang membesar pada bagian moncong. Badan bagian atas ditutupi oleh sisik yang berbintil kecil yang tersebar luas, bulat, rata, dan halus atau sedikit beralur. Ekor bulat, meruncing, tertutupi oleh sisik-sisik kecil yang rata dan membesar dipermukaan bagian bawah. Ukuran panjang kepala dan badan 71 mm, dan panjang ekor 77 mm (Rooij, 1915).

Marga Cyrtodactylus tersebar luas di wilayah tropis mulai dari perbatasan Mediterania, Asia selatan, Australia, pulau-pulau di Pasifik serta wilayah tropis Amerika. Penyebaran Cyrtodactylus fumosus terdapat di Indonesia yaitu Sulawesi, Halmahera dan Jawa (Rooij, 1915). Sedangkan Cyrtodactylus cf fumosus saat ini diketahui hanya berada di wilayah Sumatera.

Perilaku Makan

Jenis-jenis cicak umumnya merupakan pemakan serangga (insektivora), dan beberapa jenis artropoda yang cukup kecil untuk dimangsa. Beberapa jenis cicak yang lebih besar dapat memangsa mamalia kecil, burung dan terutama jenis-jenis kadal yang lain (Cogger dan Zweifel, 2003). Sebagian besar cicak bersifat arboreal dan aktif mencari mangsa pada malam hari. Beberapa jenis cicak memiliki kebiasaan memakan kulit yang mereka lepaskan (Halliday dan Adler, 2000).

Morfologi Organ Reproduksi (Gonad)

Gonad pada vertebrata memiliki dua fungsi, pertama untuk menghasilkan sel gamet (telur dan sperma) yang kedua adalah sebagai kelenjar yang memproduksi hormon-hormon yang penting untuk metabolisme dan perkembangbiakan (Blum, 1985). Organ reproduksi utama pada kadal jantan terdiri dari sepasang testis, epididymis, vas deferens dan hemipenis. Testis berfungsi untuk menghasilkan sel kelamin jantan dan hormon seksual, sedangkan epididymis berfungsi sebagai tempat penyimpanan dan pematangan sperma. Vas deferens atau spermiduct berfungsi untuk menyalurkan sperma yang telah matang ke hemipenis katika terjadi kopulasi.


(23)

(a) (b)

Gambar 1. Organ reprodukasi pada lacerta (kadal) (Parker dan Haswell, 1962). (a) jantan dan (b) betina

Posisi testis sebelah kanan berada di belakang organ hati, sedangkan testis sebelah kiri sedikit dibelakangnya. Masing-masing testis menempel pada dinding tubuh oleh lipatan mesorchium. Epididymis memanjang dari bagian belakang testis masuk ke dalam saluran vas deverens yang membuka pada bagian ujung ureter (Parker dan Haswell, 1962).

Organ reproduksi utama pada betina terdiri dari sepasang ovarium dan oviduct. Ovarium berfungsi untuk menghasilkan sel telur dan hormon seksual. Sedangkan oviduct berfungsi saluran telur ketika akan dibuahi. Pada kadal ovarium berbentuk lonjong dan posisinya lebih belakang dibandingkan testis. Ovarium menempel pada dinding tubuh oleh lipatan mesovarium. Ketika akan terjadi pembuahan telur keluar dari ovarium menuju rongga perut kemudian masuk ke saluran oviduct (Parker dan Haswell, 1962).

Kematangan reproduksi dan Seksual dimorpisme

Blum (1986) menyatakan bahwa hewan vertebrata tidak dapat berkembangbiak pada saat mereka baru menetas atau baru lahir. Umumnya mereka harus melewati fase pertumbuhan tertentu sampai organ reproduksi mereka bisa berfungsi dan karakteristik seksual sekunder mereka telah berkembang. Seluruh proses mulai dari awal matangnya organ reproduksi sampai menjadi mampu untuk berkembangbiak disebut pubertas.


(24)

Setiap jenis pada hewan vertebrata memiliki masa kematangan reproduksi yang berbeda-beda. Kematangan seksual biasanya dicapai ketika individu telah mencapai 10% dari masa hidupnya atau dengan kata lain masa hidup suatu jenis adalah sepuluh kali dari usia ketika mencapai kematangan reproduksi. Secara umum kematangan reproduksi dari suatu jenis dipengaruhi oleh rata-rata pertumbuhan, cuaca, faktor sosial yang dipengaruhi oleh kepadatan populasi dan ketersediaan pakan (Blum, 1986).

Reptil dapat berkembangbiak sebelum ukuran mereka mencapai maksimal. Kematangan reproduksi pada beberapa jenis reptil tidak ditentukan oleh faktor umur tetapi lebih ditentukan oleh ukuran tubuh (Goin, Goin dan Jug, 1978). Pada jenis-jenis reptil ukuran tubuh lebih penting untuk mencapai masa pubertas dibandingkan dengan umur (Blum, 1986).

Kematangan reproduksi antara reptil jantan dan betina sering kali berbeda terutama dalam ukuran, bentuk, pewarnaan dan bentukan lainnya. Sebagian besar perbedaan tersebut bersifat permanen walaupun perbedaan warna umumnya lebih menonjol pada individu yang aktif secara seksual atau dalam masa kawin. Seksual dimorphis terutama berkaitan dengan perilaku reproduksi dan juga modifikasi struktural untuk membantu organ reproduksi (Goin, Goin dan Jug, 1978). Seksual dimorphis disebabkan oleh proses deferensiasi seksual yang dipengaruhi oleh hormon reproduksi, sehingga dampaknya terhadap perkembangan suatu individu biasanya hanya dapat dilihat pada individu dewasa. (Norris dan Jones, 1987).

Umumnya setiap jenis menunjukan ciri-ciri tambahan yang khusus dimiliki oleh jantan atau betina sehingga memperlihatkan karakteristik yang berbeda pada masing-masing jenis kelamin. Beberapa sauria (kadal) memiliki tambahan dibagian kepala, punggung dan leher. Perbedaan warna dan kelenjar tambahan juga terdapat pada beberapa jenis reptil (Parker dan Haswell, 1962).


(25)

KONDISI UMUM

Sejarah dan Status

Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) pada awalnya merupakan suatu Suaka Margasatwa. Status ini diberikan karana kawasan tersebut merupakan habitat untuk berbagai spesies satwaliar yang dilindungi. Dalam Kongres Taman Nasional Sedunia III di Bali tanggal 14 Oktober 1982, kawasan tersebut diresmikan sebagai Taman Nasional berdasarkan Pernyataan Menteri Pertanian No.736/Mentan/X/1982 (BTNBBS, 1999).

Letak dan Luas

Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) seluas 356.800 ha membentang dari ujung Selatan Propinsi Bengkulu sampai ujung Selatan Propinsi Lampung. Secara administratif TNBBS termasuk dalam Kabupaten Lampung Barat dan Kabupaten Tanggamus Propinsi Lampung serta Kabupaten Bengkulu Selatan, Propinsi Bengkulu. Secara geografis terletak pada 4029’ - 5057’ LS dan 103024’ - 104044’ BT (BTNBBS, 1999).

Kondisi Fisik

Menurut Schmidt dan Ferguson kawasan TNBBS memiliki tipe iklim A dan B, sedangkan menurut Koppen kawasan ini termasuk dalam tipe iklim A. Dimana musim hujan berlangsung dari November sampai dengan Mei, musim kemarau berlangsung dari Juni sampai Agustus. Jumlah hari hujan di musim hujan rata-rata 10-16 hari per bulan. Curah hujan rata-rata berkisar antara 3000-3500 mm per tahun (BTNBBS, 1999).

Topografi kawasan beragam dari datar, landai, bergelombang, berbukit-bukit, curam dan bergunung-gunung. Ketinggian kawasan TNBBS berkisar dari 0 sampai 1964 m dpl. Puncak tertinggi adalah Gunung Palung di sebelah barat Danau Ranau. Bagian timur kawasan memiliki kelerengan yang cukup curam dibandingkan dengan bagian barat kawasan yang lebih landai. Bagian utara kawasan memiliki kelerengan antara 20-80%, dan bagian selatan merupakan daerah yang landai (BTNBBS, 1999).

Kawasan TNBBS terdiri dari Batuan Endapan (Miosin Bawah, Neogen, Paleosik Tua, Aluvium), Batuan Vulkanik (Recent, Kuatener Tua, Andesit Tua,


(26)

Basa Intermediet) dan Batuan Plutohik (Batuan Asam). Tipe tanah yang terluas adalah Batuan Vulkanik yang terdapat di bagian tengah dan utara kawasan. Kawasan terdiri dari tipe tanah Alluvial, Rensina, Latosol, Podsolik merah kuning dan dua jenis Andosol yang berbeda dalam bahan induknya. Jenis tanah dengan penyebaran terluas adalah Podsolik merah kuning dengan sifatnya yang labil dan rawan erosi (BTNBBS, 1999).

Kawasan TNBBS merupakan bagian hulu dari sungai-sungai yang akan mengalir ke daerah permukiman dan pertanian di daerah hilir sehingga berperan sangat penting sebagai daerah tangkapan air dan melindungi sistem tata air. Sebagian besar dari sungai-sungai yang ada mengalir ke arah Barat dan bermuara di Samudera Indonesia sementara sebagian lagi bermuara ke Teluk Semangka. Di bagian ujung Selatan taman nasional terdapat danau yang dipisahkan hanya oleh pasir pantai selebar puluhan meter yaitu Danau Menjukut (150 ha). Di bagian tengah terdapat 4 danau berdekatan yaitu Danau Asam (160 ha), Danau Lebar (60 ha), Danau Minyak (10 ha) dan Danau Belibis (3 ha). Sementara bagian tenggara, selatan dan barat TN dikelilingi oleh lautan yaitu perairan Teluk Semangka, Tanjung Cina dan Samudera Indonesia (BTNBBS, 1999).

Kondisi Biologi

TNBBS memiliki berbagai tipe ekosistem yang mencakup tipe vegetasi hutan mangrove, hutan pantai, sampai hutan pegunungan. Hutan pantai meliputi 3.568 ha, hutan hujan dataran rendah (0-500 m dpl) meliputi 160.560 ha, hutan hujan bukit (500 – 1000 m dpl) 121.312 ha sementara untuk ketinggian di atas 1.000 m dpl terdiri dari hutan hujan pegunungan bawah seluas 60.656 ha dan hutan hujan pegunungan tinggi 10.704 ha (BTNBBS, 1999).

Di kawasan TNBBS telah teridentifikasi 471 jenis pohon dan 98 jenis tumbuhan bawah. Jenis yang mendominasi berasal dari famili Dipterocarpaceae, Euphorbiaceae, Lauraceae, Myrtaceae, Fagaceae, Annonaceae, dan Meliaceae. Tipe vegetasi utama dalam kawasan adalah hutan hujan tropis dengan jenis seperti meranti (Shorea sp.), keruing (Dipterocarpus sp.), rotan (Callamus sp.), dan temu-temuan (Zingiberaceae) (BTNBBS, 1999). Flora khas dari TNBBS adalah bunga bangkai jangkung (Amorphophalus decussilvae), bunga bangkai raksasa (A. titanum), dan anggrek raksasa/tebu (Grammatophylum speciosum).


(27)

Dalam kawasan TNBBS satwaliar yang telah teridentifikasi sebanyak 716 jenis. Data keanekaragaman satwaliar di TNBBS disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Keanekaragaman satwaliar di TNBBS

No. Satwa Jumlah jenis

1. Primata 7

2. Mamalia 115

3. Aves 450

4. Herpet 91

5. Ikan 53

Sumber: BTNBBS

Jenis primata yang terdapat dalam kawasan termasuk ungko (Hylobates agilis) dan siamang (Hylobates syndactylus). Jenis mamalia besar yang terdapat dalam TNBBS adalah harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae), gajah (Elephas maximus), beruang madu (Helarctos malayanus), badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis), macan tutul (Panthera pardus), dan kerbau liar (Bubalus bubalis). Jenis mamalia lainnya yang hidup dalam kawasan meliputi babi (Sus sp.), kijang (Muntiacus muntjak), tapir (Tapirus indicus), kambing hutan (Nemorhaedus sumatrensis), kancil (Tragulus javanicus), ajag (Cuon alpinus), landak (Hystrix brachyura), kucing hutan (Felis bengalensis), dan trenggiling (Manis javanicus) (BTNBBS, 1999).

Jenis aves yang terdapat di TNBBS antara lain adalah rangkong (Buceros sp), dara laut (Sterna sp), raja udang (Halcyon sp), kuntul (Egretta sp), bangau tongtong (Leptotiles javanicus), kuau (Argusianus argus), julang (Aceros undulatus). Jenis reptil yang hidup dalam kawasan antara lain biawak (Varanus salvator) dan ular sanca (Python reticulatus). Penyu sisik (Eretmochelys imbricata) dan penyu belimbing (Dermochelys coriaceae) dapat dijumpai sepanjang pantai Selatan dan Barat (BTNBBS, 1999).


(28)

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilakukan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) dan di Laboratorium Ekologi Satwaliar bagian Herpetofauna Fahutan IPB. Pengambilan data di lapangan dilakukan selama 3 bulan (Agustus-September dan November-Januari 2005) di 5 lokasi Way Canguk, Kubu Perahu, Way Sepunti, Linau dan Ranau. Identifikasi dan analisis laboratorium dilakukan pada bulan Februari sampai April 2006.

Sumber: pplh.ipb Gambar 1. Peta lokasi penelitian

Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi,

1. Pembuatan transek dan plot pengamatan yaitu peta penutupan lahan TNBBS, GPS, kompas, meteran dan pita.

2. Pengamatan dan identifikasi satwa yaitu headlamp, penangkap ular, bubu, kantong spesimen, spidol permanen, jam, kaliper, timbangan PESOLA


(29)

(5-5000g), alkohol 70%, formalin 4%, alat suntik, tabung spesimen, buku identifikasi reptil dan kamera digital.

3. Analisis Pakan dan Reproduksi yaitu gunting dan pisau bedah, tabung film, pinset, alkohol 70 %, mikroskop, buku identifikasi seranggga, kaliper dan kamera digital.

4. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan PC dengan software SPSS 11 for windows.

Jenis Data Data primer

1. Keanekaragaman jenis reptil

Jenis reptil yang diamati melalui perjumpaan langsung, parameter yang dicatat mencakup (1) nama jenis, (2) jumlah individu tiap jenis, (3) jenis kelamin, (4) bobot tubuh, (5) panjang tubuh/svl, (6) panjang ekor, (7) waktu perjumpaan, (8) aktivitas, (9) posisi vertikal dan horizontal dan (10) substrat saat ditemukan. 2. Habitat

Paremeter yang diamati meliputi (1) % penutupan tajuk, (2) suhu udara, (3) ketinggian tempat, (4) kondisi fisik sungai.

3. Komposisi pakan Cyrtodactylus cf fumosus

Komposisi pakan yang diamati mencakup (1) jenis pakan pada tingkat ordo, (2) jumlah masing-masing pakan dan (3) frekuensi pakan.

4. Biologi reproduksi

Aspek biologi yang diamati mencakup (1) morfologi organ reproduksi, (2) panjang testis, (3)jumlah telur dan (4) panjang telur.

5. Seksual dimorfisme Cyrtodactylus cf fumosus

Pendugaan seksual dimorfisme dilakukan pada paremeter (1) panjang tubuh, (2) panjang tungkai belakang, (3) panjang kepala, (4) lebar kepala dan (5) Jarak antar tungkai.

Data sekunder

Data sekunder merupakan data yang menunjang kegiatan penelitian berupa kondisi umum lokasi penelitian serta pustaka mengenai jenis-jenis reptil yang pernah ditemukan dalam penelitian sebelumnya di Sumatera.


(30)

Pengumpulan Data Keanekaragaman Reptil

Pengumpulan data keanekaragaman dilakukan pada 5 lokasi dengan ketinggian yang berbeda, yaitu Way Canguk (ketinggian 50 mdpl), Kubu Perahu (400 mdpl), Way Sepunti (700 mdpl), Linau (900 mdpl) dan Ranau (1200 mdpl). Pada setiap lokasi tersebut dibuat dua titik pengamatan masing-masing pada areal hutan yang tidak terganggu dan pada areal yang terganggu. Metode pengumpulan data menggunakan Visual Encounter Survey dengan desain plot berupa jalur/transek (Heyer et al., 1994), jalur pengamatan yang dibuat pada setiap lokasi berupa :

a. Jalur pengamatan pada habitat terestrial sepanjang 800 m

b. Jalur pengamatan pada habitat akuatik (sungai) sepanjang 400 m b. Pemasangan perangkap (trap) untuk kura-kura pada jalur sungai Tahapan pengumpulan data adalah sebagai berikut:

1. Persiapan

Penentuan lokasi pengamatan dan pembuatan jalur (transek) dilakukan berdasarkan peta penutupan lahan TN BBS. Pembuatan jalur dilakukan dengan menggunakan kompas dan meteran, pada setiap 50 m jalur pengamatan diberi tanda dengan menggunakan pita. Sebelum dilakukan pengamatan terlebih dahulu dilakukan pengambilan koordinat dan ketinggian lokasi dengan menggunakan GPS serta pengukuran kondisi fisik sungai pada jalur pengamatan sungai.

2. Pengamatan

Pengamatan reptil dilakukan pada siang dan malam hari. Pengamatan siang hari dimulai ketika cahaya matahari mencapai permukaan tanah, yaitu antara pukul 07.00 atau 08.00 sampai dengan pukul 11.00 WIB. Setelah itu dilanjutkan dengan pengamatan malam antara pukul 19.00 sampai 23.00 WIB. Pengamatan dilakukan disepanjang jalur pengamatan tetapi lebih di fokuskan pada tempat-tempat yang diperkirakan sebagai sarang atau persembunyian reptil seperti tepi sungai, bekas kubangan, lubang pohon, dibawah kayu lapuk, dibawah batu, dibawah serasah, celah-celah akar dan kulit pohon seta pada semak dan pohon yang masih berdiri. Untuk pengamatan kura-kura air tawar dan labi-labi menggunakan tongkat kayu dengan cara menyodok-nyodokan ujung tokat tersebut


(31)

pada bagian anak sungai yang rimbun dan pada dasar sungai yang berpasir (riyanto dan Mumpuni, 2003). Masing-masing pengamatan dilakukan dengan 3 (tiga) kali ulangan. Selain pengamatan di dalam jalur juga dilakukan pencatatan terhadap jenis-jenis yang ditemukan diluar jalur pengamatan.

Disamping pengamatan disepanjang jalur juga dilakukan pemasangan perangkap pada jalur sungai. Perangkap yang digunakan berupa bubu (hoop trap) yang diberi umpan dan diletakan pada permukaan air dengan posisi 1/3 bagiannya berada diatas permukaan air (Bennett, 1999). Pengecekan perangkap dilakukan secara reguler untuk mencegah kematian satwa.

Semua reptil yang berhasil ditangkap dimasukkan ke dalam kantong spesimen untuk kemudian diidentifikasi dan diukur. Data yang dicatat pada kantong ketika perjumpaan meliputi adalah waktu, aktivitas, lokasi, substrat. Pada reptil yang tidak berhasil ditangkap namun dapat teridentifikasi jenisnya tetap dilakukan pencatatan data.

3. Preservasi

Untuk keperluan identifikasi jenis akan dilakukan preservasi terhadap beberapa spesimen, khususnya jenis yang belum dapat diidentifikasi di lapangan. Spesimen disuntik dengan formalin 4% kemudian diawetkan dalam alkohol 70% dan disimpan dalam tabung spesimen serta diberikan label. Koleksi spesies yang telah dipreservasi diidentifikasi lebih lanjut di Laboratorium Herpetofauna Balitbang Zoologi Puslitbang Biologi – LIPI Cibinong, Bogor.

Sampel Cyrtodactylus cf fumosus

Sampel Cyrtodactylus cf fumosus diambil dari lokasi Way Canguk sebanyak 30 individu yang terdiri dari 14 jantan dan 16 betina. Seluruh sampel tersebut kemudian dipreservasi dengan menggunakan larutan alkohol 70% untuk dilakukan analisis lebih lanjut di laboratorium. Data-data yang diambil sebelum dilakukan preservasi terhadap sampel yaitu, posisi saat perjumpaan(ketinggian dari permukaan tanah), substrat, aktifitas, jenis kelamin, panjang tubuh (mm) dan berat (gram).


(32)

Habitat

Pengukuran kondisi habitat dilakukan pada jalur pengamatan, meliputi : 1. Persen penutupan tajuk : diukur pada setiap 200 m jalur pengamatan dengan

menggunakan densiometer.

2. Suhu udara : Pengukuran dengan menggunakan termometer dilakukan pada setiap awal dan akhir pengamatan siang dan malam hari.

Komposisi pakan dan Reproduksi Cyrtodactylus cf fumosus

Pengambilan data pakan dilakukan melalui pembedahan terhadap sampel yang telah diawetkan kemudian memindahkan kandungan pakan yang terdapat pada lambung ke dalam tabung film yang berisi larutan alkohol 70%. Kandungan pakan tersebut selanjutnya diidentifikasi dengn menggunakan kaca pembesar (lup) atau mikroskop. Sedangkan untuk reproduksi dilakukan pengukuran dengan menggunakan kaliper terhadap masing-masing organ reproduksi (testis pada jantan dan telur pada betina)

Seksual dimorfisme Cyrtodactylus cf fumosus

Pengukuran seksual dimorfisme dilakukan pada 30 sampel C. cf fumosus dengan menggunakan kaliper. Bagian yang diukur meliputi panjang tubuh (svl) yaitu mulai dari ujung moncong sampai lubang kloaka, panjang kepala (svl), mulai dari ujung moncong sampai batas tulang tengkorak. Lebar kepala (lk), yaitu lebar kepala pada posisi di belakang mata. Tungkai belakang (tb), mulai dari pangkal tungkai sampai pada sela-sela jari pertama. Jarak antar tungkai (jt), yaitu jarak antara pangkal tungkai depan sampai pangkal tungkai belakang.


(33)

Analisis Data Habitat

Data habitat dianalisis secara deskriptif berdasarkan kondisi di lapangan, dan disajikan dalam bentuk tabel.

Kelimpahan jenis reptil

Untuk mengetahui kelimpahan jenis digunakan Indeks Shannon-Wiener. Nilai ini kemudian akan digunakan untuk membandingkan keanekaragaman jenis berdasarkan habitat. N n ln N n H'=−

i × i Keterangan :

H’ : Indeks keanekaragaman Shannon-Wiener ni : Jumlah individu jenis ke-i

N : Jumlah individu seluruh jenis Kemerataan jenis

Untuk mengetahui derajat kemerataan jenis pada lokasi penelitian digunakan indeks sebagai berikut.

S ln ' H E = Keterangan :

E : Indeks kemerataan jenis

H’ : Indeks keanekaragaman Shannon-Wiener S : Jumlah jenis yang ditemukan

Kesamaan jenis

Indeks kesamaan jenis digunakan untuk mengetahui kesamaan antar lokasi pengamatan berdasarkan jenis reptil yang ditemukan dengan menggunakan Indeks Similaritas Komunitas Jaccard.

c S S c Sj + + = 2 1 Keterangan :

Sj : Indeks Similaritas Jaccard

C : Jumlah jenis yang ada bersamaan di kedua lokasi

S1 : Jumlah jenis yang ada di lokasi A saja, tidak ada di lokasi B S2 : Jumlah jenis yang ada di lokasi B saja, tidak ada di lokasi A


(34)

Komposisi pakan

Analisi komposisi pakan dilakukan dengan menghitung jumlah jenis pakan yang dimangsa serta frekuensi masing-masing jenis mangsa.

100% q

i P

i= N Keterangan :

Pi : Jenis pakan ke-i (%)

N : Jumlah seluruh pakan qi : Jumlah jenis pakan ke- i

Anatomi organ reproduksi

Karakteristik anatomi ogran reproduksi dilakukan dengan mengukur panjang testis pada dan jantan dan jumlah serta panjang telur pada betina.pada C. cf fumosus dijelaskan secara deskriptif.

Hubungan antara Gonad dengan panjang tubuh

Analisis dilakukan untuk mengetahui hubungan antara panjang gonad, (testis pada jantan dan sel telur pada betina) dengan panjang tubuh (svl). Untuk mengetahui hubungan tersebut dilakukan pengujian statistik dengan menggunakan uji korelasi pada selang kepercayaan 95% dan 99% dengan hipotesis :

H0 : tidak ada korelasi antara panjang tubuh dengan panjang testis (pada jantan) atau panjang telur (pada betina) (P = 0).

H1 : ada korelasi antara panjang tubuh dengan panjang testis (pada jantan) atau

panjang telur (panjang telur) (P

0)

Persamaan yang digunakan Larsen dan Marx (1990) :

2 2

2 2

i i i i

i i i i

n x y x y

r

n x x n y y

⎛ ⎞⎛ ⎞ ⎜ ⎟⎜ ⎟ −⎜ ⎟⎜⎟⎜ ⎝ ⎠⎝ ⎠ = ⎡ ⎤ ⎡ ⎤ ⎢ ⎥ ⎢ ⎥ − − ⎢ ⎥ ⎢ ⎥ ⎜ ⎟ ⎜ ⎟ ⎢ ⎥ ⎢ ⎥ ⎢ ⎥ ⎢ ⎥ ⎣ ⎦ ⎣ ⎦

∑ ∑

∑ ∑

∑ ∑

2

2

1

n

r

t

r

=


(35)

Keterangan :

r : koefisien korelasi contoh n : jumlah unit contoh x : panjang tubuh (svl)

y : panjang testis (jantan) atau panjang telur (betina) Pada taraf kepercayaan sebesar α, tolak H0 jika : a). t ≤ -tα/2, n-2 atau b). t ≥tα/2, n-2

Seksual dimorfisme

Analisis seksual dimorfisme dilakukan untuk mengetahui pengaruh jenis kelamin terhadap ukuran panjang tubuh (svl), panjang kepala (pk), lebar kepala (lk), panjang tungkai belakang (pt) serta jarak antar tungkai (jt). Analisis ini dilakukan dengan membandingkan rata-rata setiap variabel pengukuran antara jantan dan betina menggunakan uji t-student untuk dua sampel yang saling bebas pada selang kepercayaan 95% dan 99% dengan hipotesis :

H0 : Tidak ada perbedaan antara rata-rata ukuran tubuh (svl, pk, lk, pt atau jt) jantan dan betina

H1 : Ada perbedaan antara rata-rata ukuran tubuh (svl, pk, lk, pt atau jt) jantan dan betina

Pada taraf kepercayaan sebesar α, tolak H0 jika : a). t ≤ -tα/2, n+m-2 atau b). t ≥tα/2, n+m-2

Persamaan yang digunakan berdasarkan Larsen dan Marx (1990) :

1 1 x y t S p n m − = + 2 2 1 1 2 2 1 1 2 n m i i n m i i i i i i x y x y n m Sp n m = = = = ⎛ ⎞ ⎛ ⎞ ⎜ ⎟ ⎜ ⎟ ⎜ ⎟ ⎜ ⎟ ⎜ ⎟ ⎜ ⎟ ⎝ ⎠ ⎝ ⎠ − + − = + −

Keterangan :

x : rata-rata ukuran tubuh jantan y : rata-rata ukuran tubuh betina n : jumlah unit contoh jantan m : jumlah unit contoh betina Sp : simpangan baku


(36)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Reptil Kondisi Habitat di Lokasi Penelitian

Secara umum lokasi penelitian merupakan wilayah hutan tropis mulai dari dataran rendah (50 mdpl) sampai pegunungan pada ketinggian 1200 mdpl. Namun karena adanya kerusakan hutan akibat aktivitas manusia membuat sebagian hutan di kawasan ini berubah menjadi areal perladangan dan sawah. Dengan mempertimbangkan kondisi tersebut maka dalam penelitian ini lokasi pengamatan dibedakan berdasarkan ketinggian dan tipe penutupan lahan, dimana pada setiap ketinggian dibuat dua jalur pengamatan yaitu pada hutan yang tidak terganggu (primer) dan pada hutan yang terganggu atau areal bukan hutan (sekunder). Tabel 2. Kondisi habitat di lokasi penelitian

No Jalur pengamatan Ketinggian (m dpl)

Penutupan Tajuk

(%)

Tipe habitat

suhu rata-rata

topografi siang malam

1 Way Canguk

Primer 50 96,43 hutan dataran rendah 25,78 24,94 datar 2 Way Canguk

Sekunder 50 89,43 hutan terbakar 26,05 24,82 datar 3 Kubu Perahu

Primer 700 95,28 hutan dataran rendah 21,65 21,53 sedang 4 Kubu Perahu

Sekunder 700 34,60 sawah dan perladangan 26,64 21,95 sedang 5 Way Sepuntih

Primer 900 95,96 hutan dataran rendah 22,85 21,32 berbukit 6 Way Sepuntih

Sekunder 600 79,80 sawah dan perladangan 24,34 22 sedang 7 Linau Primer 500 64,58 hutan dataran rendah 24,12 20,57 berbukit 8 Linau Sekunder 400 52,53 perladangan 26,74 21,76 sedang 9 Ranau Primer 1400 90,31 hutan pegunungan 20,8 19,22 berbukit 10 Ranau Sekunder 1200 64,36 perladangan 20,4 18,51 berbukit

Tipe habitat pada jalur pengamatan primer umumnya merupakan areal hutan primer yang memiliki penutupan tajuk yang rapat dengan penutupan tajuk berkisar antara 65% sampai 96%. Kondisi topografi bervariasi dipengaruhi oleh ketinggian pada masing-masing lokasi. Di lokasi yang berada di dataran rendah seperti Way Canguk topografi relatif datar sedangkan di lokasi yang lebih tinggi seperti Kubu perahu dan Linau kondisi topografi relatif lebih bergelombang. Ranau yang berada ketinggian diatas 100 mdpl memiliki topografi yang berbukit.

Tipe penutupan lahan pada jalur pengamatan sekunder lebih beragam seperti hutan bekas terbakar, sawah dan perladangan. Areal hutan terbakar berada di lokasi way Canguk, areal tersebut sebenarnya hutan primer namun pernah


(37)

mengalami kebakaran sehingga kondisi tajuknya menjadi lebih terbuka. Areal persawahan berada di lokasi Way Sepunti dan Kubu Perahu, sedangkan jalur pengamatan sekunder di lokasi Ranau dan Linau didominasi oleh perladangan kopi. Dengan kondisi lahan tersebut penutupan jatuk di jalur pengamatan sekunder umumnya lebih rendah yaitu antara 34-89%.

Kondisi penutupan tajuk yang berbeda berpengaruh terhadap kondisi iklim mikro pada masing-masing lokasi. Suhu rata-rata pada jalur pengamatan sekunder umumnya lebih tinggi dibandingkan suhu rata-rata pada jalur pengamatan primer. Pada siang hari suhu rata-rata di jalur pengamatan primer antara 20,08-25,78°C sedangkan pada malam hari berkisar antara 19,22-24,94°C. Di jalur pengamatan sekunder suhu pada siang hari berkisar antara 20,4°C sampai 26,64°C dan pada malam hari antara 18,51-24,82°C. Selain oleh penutupan tajuk suhu lingkungan juga dipengaruhi oleh ketinggian dan kondisi cuaca selama pengamatan, seperti yang terjadi pada lokasi pengamatan Ranau. Di lokasi ini suhu di jalur pengamatan sekunder lebih rendah dari suhu di jalur pengamatan primer, hal ini disebabkan karena selama pengamatan di jalur sekunder hampir selalu terjadi hujan sehingga suhunya menjadi lebih rendah.

Gambar 3. Kondisi vegetasi pada jalur pengamatan primer (a) jalur pengamatan darat (b) jalur pengamatan sungai


(38)

Gambar 4. Kondisi vegetasi pada jalur pengamatan sekunder (a) jalur pengamatan darat (b) jalur pengamatan sungai

Penemuan dan Penyebaran Reptil

Selama pengamatan di lokasi penelitian ditemukan sebanyak 51 jenis reptil yang termasuk dalam 14 suku dan 3 sub ordo, yaitu ophidia (bangsa ular) sebanyak 24 jenis, sauria (kadal) 24 jenis dan testudinata (kura-kura) sebanyak 3 jenis. Dari jumlah tersebut satu jenis diantaranya merupakan catatan baru (new record) untuk wilayah Sumatera, yaitu Draco taeniopterus yang sebelumnya hanya diketahui tersebar di wilayah Thailand dan Kamboja (Cox et al., 1998) serta Kalimantan (Rooij, 1915). Selain itu tiga jenis yang ditemukan merupakan endemik Sumatera, yaitu Gonocephalus klosi, Draco sumatranus dan Cyrtodactylus cf fumosus.

Komposisi jenis yang ditemukan pada penelitian ini relatif tinggi dibandingkan dengan penelitian serupa yang pernah dilakukan sebelumnya oleh Sudrajat (2001) di Sumatera Selatan sebanyak 30 jenis dan HIMAKOVA (2004) di daerah Pemerihan, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan sebanyak 13 jenis. Daftar jenis-jenis reptil yang ditemukan di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 3.


(39)

Tabel 3 . Daftar jenis reptil yang ditemukan di lokasi penelitian

Spesies Kubu Perahu Linau Way Sepunti Ranau Way canguk

p s p s p s p s p s

Draco melanopogon 1 0 0 0 0 0 0 0 1 0

Draco volans 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0

Draco fimbriatus 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0

Draco taeniopterus 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0

Draco sumatranus 1 0 0 0 0 0 0 0 1 1

Broncochella cristatella 1 0 1 0 0 1 0 1 0 0 Gonocephalus chameleontinus 0 1 1 0 0 0 0 0 1 0

Gonocephalus klosi 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0

Calotes sp 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0

Pseudocalotes tympanistriga 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0

Varanus rudicollis 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1

Varanus salvator 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0

Mabuya multifasciata 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1

Mabuya rudis 1 1 1 1 1 1 0 0 1 0

Mabuya rugifera 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0

Lipinia vitigera 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0

Dasia olivacea 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0

Taxydromus sexlineatus 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0

Gecko smithi 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0

Gecko monarcus 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0

Cyrtodactylus quadrilineatus 1 0 0 0 1 0 1 0 0 0 Cyrtodactylus cf fumosus 0 1 1 1 0 0 0 0 1 1

Ptycozoon kuhli 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0

Typhlops lineatus 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0

Xenopeltis unicolor 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1

Python reticulatus 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0

Trimeresurus puniceus 0 0 1 0 0 0 0 0 1 0 Trimeresurus sumatranus 1 0 1 0 0 0 0 0 0 0 Trimeresurus hageni 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0

Bungarus candidus 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0

Rhabdophis crysargus 0 0 1 0 0 0 0 0 1 0 Xenochrophis trianguligera 0 0 1 0 0 1 0 0 1 0 Liopeltis baliodera 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 Calamaria schlegeli 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0

Homalopsis buccata 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0

Psammodynastes pulverulentus 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 Elaphe flaviolineata 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 Gonyosoma oxycephalum 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0

Ptyas korros 0 0 0 0 0 1 0 1 0 0

Lycodon subcinctus 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0

Ahaetulla prasina 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0

Dendrelaphis caudolineatus 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0

Boiga drapiezii 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0

Boiga jaspidea 0 0 1 0 1 0 0 0 0 0

Boiga nigriceps 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1

Pareas vertebralis 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0

Pareas laevis 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0

Pareas malaccanus 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0

Manouria emys 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0

Dogania subplana 0 0 0 0 0 1 0 0 1 0

Heosemys spinosa 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0

jumlah 8 9 14 7 5 11 5 9 19 6


(40)

Jenis-jenis reptil yang ditemukan sebagian besar memiliki penyebaran yang spesifik. Sebanyak 30 jenis reptil hanya dijumpai pada satu lokasi saja. Hal ini disebabkan karena jenis-jenis reptil memiliki kepadatan yang rendah sehingga sulit untuk dijumpai. Penyebaran reptil paling luas adalah jenis Mabuya multifasciata yang tercatat di sembilan lokasi pengamatan serta M. rudis yang tercatat di tujuh lokasi pengamatan. Selain memiliki kepadatan yang cukup tinggi, kedua jenis tersebut memiliki rentang habitat dan juga kemampuan adaptasi yang cukup tinggi sehingga dapat ditemukan pada berbagai ketinggian dan kondisi habitat yang berbeda.

Secara keseluruhan jenis reptil yang ditemukan pada habitat tidak terganggu sebanyak 32 jenis relatif seimbang dengan jumlah reptil yang ditemukan pada habitat terganggu sebanyak 31 jenis, namun jenis-jenis yang ditemukan pada kedua tipe habitat tersebut umumnya berbeda. Reptil yang ditemukan pada habitat terganggu terutama reptil yang aktif pada siang hari karena pada daerah yang terbuka mereka lebih mudah untuk mendapatkan mangsa. Selain itu reptil membutuhkan cahaya matahari sebagai sumber energi untuk memulai aktivitasnya pada pagi hari. Sedangkan reptil yang ditemukan pada habitat yang tidak terganggu umumnya merupakan reptil arboreal seperti Varanus rudicollis, Ptycozoon kuhli serta Gecko smithi yang memerlukan kondisi vegetasi yang cukup baik serta reptil yang memerlukan kelembaban yang cukup tinggi seperti Manouria emys, Cyrtodactylus quadrilinetus serta Boiga spp.

Selain kondisi habitat, perbedaan ketinggian berpengaruh juga terhadap keanekaragaman jenis reptil. Primack et. al (1998) mengatakan bahwa komposisi komunitas dan keanekaragaman jenis lebih tinggi pada dataran rendah daripada dataran tinggi dan kelimpahan jenis semakin berkurang dengan bertambahnya ketinggian. Namun berdasarkan nilai keanekaragaman yang diperoleh dalam penelitian ini diketahui bahwa ketinggian tempat tidak berpengaruh keanekaragaman jenis reptil. Gambar 5. memperlihatkan bahwa setiap lokasi memiliki nilai keanekaragaman jenis yang relatif sama. Hal ini disebabkan reptil yang ditemukan umumnya memiliki penyebaran yang spesifik sehingga jenis-jenis yang ditemukan di dataran tinggi belum tentu ditemukan di dataran rendah dan sebaliknya. Kemungkinan lain adalah tingkat ketinggian di lokasi penelitian


(41)

tidak jauh berbeda sehingga tidak terlihat adanya pengaruh ketinggian terhadap nilai keanekaragaman jenis reptil.

0 0,5 1 1,5 2 2,5

way canguk (50)

linau (450-550)

kubu perahu (550-700)

way sepunti (550-950)

ranau (1200-1400) ketinggian lokasi (m dpl)

n

ila

i in

d

e

k

H' E

Gambar 5. Indek kelimpahan dan indek kemerataan pada masing-masing ketinggian.

Namun nilai keanekaragaman yang diperoleh dalam penelitian ini kemungkinan memiliki bias yang disebabkan oleh faktor musim dan jumlah hari pengamatan. Penelitian ini dilakukan pada saat musim hujan (September – Januari) sehingga jenis-jenis tertentu kemungkinan tidak ditemukan pada saat pengamatan karena pada musim hujan mereka lebih banyak beristirahat atau bersembunyi. Selain itu gambar 6. memperlihatkan bahwa jenis reptil yang ditemukan sampai hari pengamatan terakhir grafiknya masih terus meningkat sehingga jika pada masing-masing lokasi jumlah hari pengamatan ditambah kemungkinan besar komposisi jenis yang ditemukan akan berubah dan nilai keanekaragaman yang diperoleh akan berbeda.


(42)

0 10 20 30 40 50 60

6 12 18 24 30 36 42 48 54 60 Jumlah hari pengamatan

Ju

m

lah

j

e

n

is

ya

n

g

d

item

u

k

an

Gambar 6. Grafik penambahan jumlah jenis reptil yang ditemukan berdasarkan jumlah hari pengamatan

Pola Aktivitas dan Sebaran Ekologis

Semua makhluk hidup selalu berinteraksi dengan lingkungan mereka. Mattison (1992) menyatakan bahwa terdapat dua faktor yang mempengaruhi hubungan makhluk hidup dengan lingkungannya, yaitu faktor fisik (panas, cahaya matahari dan kelembaban) dan faktor biologi (pemangsaan, suplai makanan dan kompetisi).

Setiap jenis akan memberikan respon yang berbeda terhadap setiap faktor yang mempengaruhinya dan hal tersebut akan menimbulkan adanya perbedaan pola aktivitas pada makhluk hidup termasuk reptil. Berdasarkan pengamatan dilapangan terlihat bahwa masing-masing jenis reptil memiliki pola aktivitas tersendiri, sebagian reptil aktif pada siang hari atau bersifat diurnal dan sebagian lainnya aktif pada malam hari (nokturnal).

Sebaran ekologis berkaitan pola dengan penggunaan ruang oleh suatu jenis di dalam suatu ekosistem. Suatu ekosistem melingkupi suatu volume dimana didalamnya terdapat variasi distribusi individu. Individu-individu dalam masing-masing populasi cenderung untuk menguasai posisi yang khusus dalam ruang (McNaughton dan Wolf, 1990). Penggunaan ruang erat hubungannya dengan pemanfaatan sumber-sumber daya oleh jenis tersebut.

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa beberapa jenis reptil memiliki pola penggunaan ruang yang dipengaruhi oleh pola aktivitas. Jenis-jenis arboreal yang aktif pada malam hari seperti Trimeresurus, Boiga, Psammodynastes dan Pareas


(43)

sering ditemukan pada cabang atau ranting pohon terutama pada malam hari ketika mereka aktif mencari mangsa (Gambar 7), namun pada siang hari mereka lebih suka bersembunyi di permukaan tanah atau pada lapisan serasah untuk menghindari pemangsa. Varanus rudicollis yang aktif pada siang hari memiliki pola yang berbeda yaitu, pada siang hari mereka lebih sering berada di sekitar perairan (sungai) untuk mencari mangsa dan pada malam hari mereka beristirahat di atas pohon.

Gambar 7. Psammodynastes sedang mencari mangsa

Reptil arboreal lainnya yang aktif pada siang hari seperti Ahaetulla, Dendrelaphis, Dasia olivacea dan jenis-jenis dari suku Agamidae (bunglon) lebih cenderung memiliki penggunaan ruang yang tetap. Mereka aktif mencari mangsa di atas ranting pohon atau semak-semak pada siang hari dan pada malam hari mereka bersembunyi pada batang-batang pohon atau diantara dedaunan. Tetapi jenis-jenis ini memiliki pola penggunaan ruang yang berubah pada musim berbiak, dimana mereka turun ke permukaan tanah untuk menyimpan telur dan sebagian menjaganya (Gambar 8).

Gambar 8. Gonocephalus chameleontinus meletakan telurnya pada permukaan tanah


(44)

Reptil yang hidup pada permukaan tanah (terestrial) juga memiliki pola penggunaan ruang yang cenderung tetap. Beberapa jenis bersarang atau berlindung di lubang-lubang tanah, celah-celah batu atau diantara banir kayu seperti Mabuya, Xenopeltis unicolor dan Lycodon subcinctus (Gambar 9). Jenis Typhlops lineatus dan Calamaria shclegeli bahkan diketahui lebih banyak melakukan aktivitasnya di dalam tanah atau di bawah permukaan serasah, mereka menggali tanah untuk mencari mangsa seperti larva serangga dan cacing tanah (Cox, 1998). Sebagian reptil terestrial aktif pada siang hari dan sebagian lainnya aktif pada malam hari.

Gambar 9. Sarang ular pada lubang tanah

Beberapa reptil lainnya hidup pada lingkungan akuatik. Dogania subplana hidup di sungai-sungai dan biasanya bersembunyi di dasar-dasar sungai yang berpasir. Mereka keluar pada malam hari untuk mencari mangsa seperti ikan dan kerang, sedangkan pada siang hari mengubur diri di dalam pasir di dasar sungai. Jenis-jenis lainnya seperti Varanus, Xenochrophis, dan Homalopsis hanya melakukan sebagian aktivitasnya di dalam air terutama ketika mencari mangsa.

Berdasarkan sebaran ekologisnya, jenis-jenis yang ditemukan selama pengamatan dapat dikelompokan menjadi 4 kelompok, yaitu :

1. Akuatik, jenis ini tidak pernah meninggalkan badan air yaitu Dogania subplana.

2. Semi akuatik, sebagian aktivitasnya dilakukan pada badan perairan yaitu Heosemys spinosa, Varanus salvator, Varanus rudicollis, Homalopsis buccata dan Xenochrophis trianguligera.

3. Fussorial, lebih sering berada di lubang-lubang tanah, yaitu Typhlops lineatus dan Calamaria schlegeli.


(45)

4. Terrestrial, hampir seluruh aktivitasnya dilakukan pada permukaan tanah, yaitu Manouria emys, Lycodon subcinctus, Ptyas korros, Elaphe flaviolineata, Xenopeltis unicolor, Rhabdophis crysargos, Liopeltis baliodeira, Bungarus candidus, Mabuya multifasciata, Mabuya rudis dan Mabuya rugifera.

5. Semi arboreal, sebagian aktivitasnya dilakukan di atas pohon atau vegetasi lainnya, yaitu Boiga drapiezii, Boiga jaspidea, Boiga nigriceps, Trimeresurus hageni, Trimeresurus puniceus, Trimeresurus sumatranus, Python reticulatus, Pareas malaccanus, Pareas vertebralis, Pareas laevis, Gonyosoma oxycephalum dan Taxydromus sexlineatus.

6. Arboreal, hampir seluruh aktivitasnya dilakukan di atas pohon atau vegetasi, yaitu Cyrtodactylus quadrilineatus, Cyrtodactylus cf fumosus, Gekko smithi, Gekko monarchus, Ptycozoon kuhli, Gonocephalus cameleontinus, Gonocephalus klosi, Broncochella cristatela, Pseudocalotes tympanistriga, Draco volans, Draco fimbriatus, Draco taeniopterus, Draco sumatranus, Draco melanopogon, Ahaetulla prasina, Dendrelaphis caudolineatus, Dasia olivacea dan Lipinia vittigera.

Indek Keanekaragaman Jenis

Keanekaragaman jenis dapat dilihat dengan menggunakan berbagai parameter diantaranya dengan menghitung nilai indek keanekaragaman. Indek yang dihitung meliputi indek kelimpahan individu jenis (H’) dan indek kemerataan jenis (E). Penghitungan hanya dilakukan terhadap jenis-jenis yang ditemukan di dalam jalur pengamatan di tiap–tiap lokasi penelitian.

Nilai indek kelimpahan jenis tertinggi terdapat pada lokasi Linau primer dan nilai terendah pada lokasi Way Canguk sekunder. Nilai kelimpahan berkisar antara 1,12 sampai 2,15. Tingginya nilai kelimpahan pada lokasi Linau primer disebabkan jenis yang ditemukan di lokasi tersebut paling banyak yaitu 13 jenis dengan jumlah individu tiap jenisnya yang cukup merata, sedangkan di Way Canguk sekunder jenis yang ditemukan sebanyak 6 jenis dengan jumlah individu tiap jenis yang tidak merata dibandingkan lokasi pengamatan lainnya. Indek keanekaragaman jenis reptil di tiap–tiap lokasi pengamatan disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Hasil perhitungan indek keanekaragaman jenis reptil di tiap – tiap lokasi pengamatan


(46)

No. Lokasi Pengamatan Indek – indek Keanekaragaman Jenis

H’ E

1 Way Canguk primer 1,79 0,75 2 Way Canguk sekunder 1,12 0,63 3 Way Sepuntih primer 1,60 0,89 4 Way Sepuntih sekunder 1,51 0,66 5 Kubu Perahu primer 1,91 0,92 6 Kubu Perahu sekunder 1,13 0,63 7 Linau primer 2,15 0,84 8 Linau sekunder 1,29 0,93 9 Ranau primer 1,16 0,72 10 Ranau sekunder 1,30 0,72

Nilai kelimpahan di TNBBS ini relatif lebih tinggi dibandingkan dengan nilai kelimpahan jenis reptil di wilayah Sumatera Selatan (Musi Banyuasin, Lahat dan Musi Rawas) yang nilainya berkisar antara 0,99 sampai 1,79 (Sudrajat, 2001). Helvoort (1981) dalam Darmawan (2006) menyatakan bahwa terdapat hubungan antara keanekaragaman dengan keseimbangan jenis dalam satu komunitas. Apabila nilai keanekaragaman tinggi maka keseimbangan antar jenis juga tinggi, tetapi tidak berlaku sebaliknya. Berdasarkan kondisi habitat, umumnya nilai kelimpahan pada habitat yang tidak terganggu lebih tinggi dibandingkan dengan habitat yang terganggu, kecuali di lokasi Ranau. Hal ini menunjukan bahwa pada habitat yang tidak terganggu umumnya memiliki keseimbangan jenis reptil yang lebih tinggi dibandingkan pada habitat yang terganggu.

Indek kemerataan individu jenis menunjukkan jenis berada pada tingkat kelimpahan tertentu. Indek kemerataan jenis sama dengan satu (E = 1) berarti jenis-jenis yang ditemukan berada pada tingkat kelimpahan yang sama. Indek kemerataan jenis di semua lokasi pengamatan memiliki nilai lebih besar dari 0,5 (E > 0,5) berarti jenis-jenis yang ditemukan cukup merata. Di tiga lokasi yaitu Way Canguk, Kubu perahu dan Way Sepuntih nilai indek kemerataan lebih tinggi pada daerah yang belum terganggu dibandingkan dengan daerah yang terganggu, hal ini disebabkan pada daerah yang terganggu terdapat jenis-jenis tertentu yang mendominasi dengan jumlah individu yang lebih melimpah dibandingkan dengan jenis yang lain. Indek kemerataan tertinggi terdapat di Linau sekunder (E = 0,93)


(47)

dan terendah di Way Canguk sekunder (E = 0,63). Jenis yang ditemukan di Linau sekunder hanya berjumlah 4 jenis akan tetapi jumlah individu tiap jenisnya tidak terlalu jauh berbeda, sedangkan di Way Canguk sekunder jenis yang ditemukan berjumlah 5 jenis dengan jumlah individu jenis tertentu jauh lebih besar dibandingkan jenis lain yang ditemukan di lokasi tersebut.

Indek Kesamaan Jenis Reptil

Tabel 5. Matriks perhitungan nilai indek kesamaan jenis

KP_P KP_S L_P L_S WS_P WS_S R_P R_S WC_P WC_S

KP_P 1 0,21 0,22 0,15 0,3 0,19 0,08 0,13 0,17 0,17

KP_S 1 0,21 0,23 0,17 0,11 0 0,06 0,17 0,15

L_P 1 0,17 0,19 0,19 0 0,09 0,27 0,11

L_S 1 0,2 0,12 0 0,07 0,13 0,18

WS_P 1 0,14 0,11 0,08 0,09 0,1

WS_S 1 0 0,18 0,15 0,13

R_P 1 0,08 0 0

R_S 1 0,08 0,07

WC_P 1 0,25

WC_S 1

Nilai indek kesamaan jenis yang diperoleh dalam penelitian ini berkisar antara 0 sampai 0,3. Komposisi jenis reptil reptil yang ditemukan pada masing-masing lokasi umumnya berbeda sehingga nilai indek kesamaan jenis yang diperoleh relatif kecil. Besarnya perbedaan komposisi jenis disebabkan oleh perbedaan ketinggian tempat dan juga kondisi habitat pada masing-masing lokasi pengamatan.

Lokasi yang memiliki tingkat kesamaan terbesar adalah Kubu Perahu primer dengan Way Sepunti primer sebesar 0,3 serta Linau primer dengan Way Canguk primer sebesar 0,27. Kesamaan jenis yang relatif tinggi dilokasi tersebut disebabkan oleh faktor kondisi habitat yang relatif seragam dan juga ketinggian yang tidak jauh berbeda. Lokasi yang memiliki indek kesamaan jenis paling kecil adalah Ranau primer. Ranau primer memiliki nilai kesamaan terbesar yaitu dengan Way Sepunti primer sebesar 0,11. Faktor ketinggian tempat menyebabkan komposisi jenis reptil yang ditemukan di lokasi ini berbeda dengan lokasi yang lainnya. Ranau berada di ketinggian antara 1.200 sampai 1.400 mdpl sedangkan lokasi lainnya berada dibawah 100 mdpl.

Berdasarkan hasil perhitungan indek kesamaan jenis (Tabel 5) diketahui bahwa di lokasi dengan kondisi habitat yang sama walaupun pada ketinggian yang


(48)

berbeda memiliki kesamaan jenis reptil yang lebih tinggi dibandingkan dengan lokasi yang berada pada ketinggian yang sama dengan kondisi habitat yang berbeda. Hal tersebut menunjukan bahwa faktor kondisi habitat lebih berpengaruh terhadap penyebaran reptil dibandingkan dengan ketinggian tempat. Namun untuk lokasi Way Canguk sekunder memiliki nilai kesamaan jenis yang cukup tinggi dengan Way Canguk primer yaitu sebesar 0,25. Hal ini disebabkan karena kondisi habitat di Way Canguk sekunder tidak jauh berbeda dengan Way Canguk primer.

Biologi Cyrtodactylus cf fumosus

Karakteristik Anatomi Organ Reproduksi

Secara umum bagian-bagian organ reproduksi pada Cyrtodactylus cf fumosus hampir sama dengan organ reproduksi reptil lainnya. Individu jantan memiliki organ reproduksi primer berupa sepasang gonad jantan (testis), saluran epydidimys, vas deferens serta sepasang organ kopulatoris yang disebut hamipenis. Berdasarkan hasil penelitian ini diketahui bahwa panjang panjang testis C. cf fumosus adalah 3,66±0,65 mm (n=14) dengan panjang tertis kanan sebesar 3,61±0,62 mm dan testis kiri sebesar 3,71±0,70 mm. Walaupun terdapat kecenderungan testis kiri lebih besar dari testis kanan namun tidak terdapat perbedaan yang nyata antara panjang testis kiri dan testis kanan. Perbedaan ukuran organ reproduksi terutama pada testis biasanya berhubungan dengan produksi spermatozoa, dimana semakin besar ukuran testis produksi sperma yang dihasilkan diharapkan semakin tinggi (Pane, 2005).

Gambar 10. Morfologi organ reproduksi Cyrtodactylus cf fumosus (a) jantan (b) betina

Organ reproduksi pada individu betina terdiri dari sepasang ovarium dan ovidut. Sel telur yang dihasilkan oleh masing-masing ovarium berjumlah antara 3


(49)

sampai 5 butir dan jumlah sel telur terbanyak dalam satu individu adalah 8 butir. Dua individu tercatat tidak memiliki telur didalam ovariumnya. Ukuran telur bervariasi antara 0,44 sampai 11,84 mm, adanya variasi tersebut menunjukan tingkat perkembangan embrio yang berbeda pada masing-masing telur.

Walaupun setiap individu dapat menghasilkan sampai delapan butir sel telur atau lebih, namun dalam satu kali masa perkembangbiakan setiap induk hanya mampu menghasilkan dua telur yang dibuahi dan akan menetas menjadi individu baru. Hal ini disebabkan oleh ketersediaan ruang yang terbatas pada tubuh induknya.

Variasi ukuran telur pada tubuh betina menunjukan tingkat perkembangan embrio yang berbeda, hal tersebut mengindikasikan juga bahwa proses pembuahan sel telur pada setiap individu terjadi pada waktu yang berbeda. Bila proses perkawinan pada setiap pasangan tidak terjadi pada waktu yang bersamaan dapat diduga bahwa C. cf fumosus merupakan jenis yang tidak memiliki musim kawin tertentu tetapi perkembangbiakannya dapat terjadi sepanjang tahun. Musim kawin pada reptil dipengaruhi oleh kondisi lingkunganya terutama suhu. Karena sifatnya yang berdarah dingin reptil membutuhkan suhu lingkungan yang cukup hangat untuk mendukung perkembangan embrio di dalam telurnya. Goin, Goin dan Jug (1978) menyatakan bahwa reptil yang hidup di wilayah tropis memiliki potensi untuk berkembangbiak sepanjang tahun karena memiliki iklim yang relatif stabil atau homogen.

Hubungan Antara Ukuran Panjang Tubuh Dengan Ukuran Gonad

Kematangan reproduksi terjadi ketika organ reproduksi (gonad) suatu individu telah mampu berfungsi sempurna dan biasanya ditandai dengan munculnya karakteristik seksual sekunder. Pada vertebrata kematangan organ reproduksi akan dicapai pada saat individu telah mencapai umur tertentu atau ukuran tubuh tertentu. Untuk menduga pengaruh ukuran tubuh terhadap kematangan reproduksi dilakukan analisis korelasi terhadap ukuran tubuh dan ukuran organ reproduksi (gonad).

Pendugaan pada jantan dilakukan dengan membandingkan antara panjang tubuh (svl) dengan panjang testis terhadap 14 individu jantan yang memiliki panjang tubuh antara 40,95 - 50,9 mm. Suatu individu jantan dapat dikatakan


(50)

matang secara reproduksi jika testisnya telah mampu memproduksi sel sperma dan hormon seksual.

Hasil analisis menunjukkan terdapat korelasi yang positif antara panjang tubuh dengan panjang testis. Ukuran tubuh pada jantan berpengaruh nyata terhadap ukuran testis dengan nilai korelasi sebesar 0,62 pada testis kanan dan 0,61 pada testis kiri. Hubungan tersebut tersebut menunjukkan bahwa semakin besar ukuran tubuh maka semakin semakin besar ukuran testis.

Ukuran testis biasanya akan berpengaruh terhadap produksi sperma yang dihasilkan, sehingga adanya hubungan seperti itu menunjukkan bahwa individu yang lebih besar akan menghasilkan produksi sperma yang lebih banyak. Sebaliknya pada individu yang lebih kecil akan menghasilkan jumlah sperma yang lebih sedikit dan pada ukuran tubuh tertentu testis belum dapat memproduksi sel sperma. Dengan kata lain bahwa kematangan reproduksi akan terjadi pada saat suatu jantan telah mencapai ukuran tertentu.

panjang tubuh/svl (mm)

56 54 52 50 48 46 44 42 40 panj an g t es ti s ( m m ) 5,5 5,0 4,5 4,0 3,5 3,0 2,5 kiri Rsq = 0.3703 kanan Rsq = 0.3871

Gambar 11. Grafik hubungan antara panjang subuh (svl) dengan panjang testis Pada betina pendugaan dilakukan dengan membandingkan antara ukuran tubuh dengan ukuran telur terpanjang. Analisis dilakukan terhadap 16 individu betina yang memiliki panjang tubuh 37,5-59,7 mm. Hasil analisis korelasi diketahui bahwa ukuran panjang tubuh (svl) pada betina berpengaruh nyata terhadap panjang telur dengan nilai korelasi sebesar 0,65.


(51)

panjang tubuh (mm)

60 50

40 30

tel

ur

t

er

panj

ang (

m

m

)

12

10

8

6

4

2

0 Rsq = 0.4256

Gambar 12. Grafik hubungan antara panjang subuh (svl) dengan panjang telur Gambar 12. memperlihatkan bahwa semakin besar ukuran tubuh betina maka semakin besar ukuran telurnya. Pada telur yang sudah dibuahi ukuran telur mununjukan tingkat perkembangan embrio, sedangkan pada telur yang belum dibuahi ukuran telur menunjukkan tingkat kematangan sel telur. Artinya semakin besar ukuran betina maka tingkat perkembangan embrio semakin tinggi atau pada sel telur yang belum dibuahi semakin besar ukuran betina tingkat kematangan sel telur semakin tinggi.

Hasil analisis terhadap jantan dan betina menunjukkan hal yang sama bahwa pada C. cf fumosus ukuran tubuh mempengaruhi tingkat kematangan reproduksi. Hal ini sesuai dengan penyataan Blum (1986) menyatakan bahwa pada jenis-jenis reptil besarnya ukuran tubuh lebih penting bagi suatu individu untuk mencapai masa pubertas dibandingkan dengan umur.

Seksual dimorfisme

Perbedaan ukuran dan bentuk tubuh antara jantan dan betina (seksual dimorfisme) pada reptil sering kali terjadi. Pada beberapa jenis kadal umumnya betina memiliki ukuran tubuh yang lebih besar dari jantan. Ramirez et al, (2002) menyebutkan bahwa pada jenis kadal Mabuya mabouya terdapat perbedaan ukuran tubuh jantan dan betina dimana individu jantan lebih kecil dibandingkan dengan betina. Untuk menguji adanya seksual dimorfisme pada C. cf fumosus dilakukan dengan membandingkan ukuran panjang tubuh (svl), panjang kepala,


(52)

lebar kepala, panjang tungkai belakang dan jarak antar tungkai pada 30 individu (14 jantan dan 16 betina).

Dari hasil perhitungan diketahui individu betina memiliki panjang tubuh yang lebih besar (51,68 ± 5,66 mm) dibandingkan dengan jantan (50,26 ± 4,45 mm). Namun hasil uji t menunjukan tidak ada perbedaan yang nyata antara panjang tubuh jantan dan betina. Nilai uji t untuk seksual dimorfisme pada ukuran tubuh C. cf fumosus disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Nilai uji t untuk seksual dimorfisme pada ukuran tubuh Cyrtodactylus cf fumosus.

Variabel Jenis kelamin Rata-rata ± SD t-hitung

SVL (mm) jantan 50,26 ± 4,45 0,75ts betina 51,68 ± 5,66

Panjang kepala (mm) jantan 1,41 ± 0,16 0,85ts betina 1,45 ± 0,14

Lebar kepala (mm) jantan 0,82 ± 0,09 0,8ts betina 0,85 ± 0,09

Tungkai belakang (mm) jantan 1,66 ± 0,13 0,26ts betina 1,67 ± 0,18

Jarak tungkai (mm) jantan 2,23 ± 0,17 2,64* betina 2,43 ± 0,23

Keterangan : ts = tidak nyata ; * = nyata ; ** = sangat nyata

Hasil pengukuran terhadap panjang dan lebar kepala juga memperlihatkan hasil yang sama bahwa betina memiliki rata-rata ukuran kepala yang lebih besar dari jantan. Namun berdasarkan hasil uji t diketahui bahwa panjang dan lebar kepala antara jantan dan betina tidak berbeda nyata.

Selain panjang dan lebar kepala, parameter lain yang digunakan untuk membandingkan ukuran tubuh jantan dan betina adalah panjang tungkai belakang dan jarak antar tungkai. Hasil pengukuran terhadap panjang tungkai diperoleh rata-rata panjang tungkai betina sebesar 1,67 ± 0,18 mm, lebih besar dari nilai rata-rata panjang tungkai pada jantan yaitu sebesar 1,66 ± 0,13 mm. Namun hasil uji t terhadap rata-rata panjang tungkai juga menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata. Hasil uji t terhadap ukuran jarak antar tungkai diketahui terdapat perbedaan yang nyata antara rata-rata jarak antar tungkai betina sebesar 2,43 ± 0,23 mm dengan jarak antar tungkai pada jantan sebesar 1,66 ± 0,13 mm.

Hasil perhitungan secara keseluruhan menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan pada ukuran tubuh, ukuran kepala maupun tungkai antara jantan dan betina. Namun terdapat perbedaan pada jarak antar tungkai dimana jarak antar


(1)

Lampiran 12. Analisis statistik deskriptif untuk panjang tubuh, panjang kepala, lebar kepala, panjang tungkai dan jarak tungkai.

Group Statistics

SEX N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

SVL m 14 50,264 4,4694 1,1945

f 16 51,684 5,6634 1,4158

L kepala m 14 ,82386 ,087169 ,023297

f 16 ,84994 ,090070 ,022517

P kepala m 14 1,41300 ,115553 ,030883

f 16 1,45238 ,136012 ,034003

RATA2 m 14 1,65557 ,133175 ,035592

f 16 1,67072 ,176359 ,044090

Rata2 m 14 2,23104 ,171726 ,045896


(2)

r

Xenopeltis unicolor Typhlops lineatus

Trimeresurus sumatranus Trimeresurus puniceus

Bungarus candidus Rhabdophis crysargos

Trimeresurus hageni Python reticulatus


(3)

Lampiran 13. (lanjutan)

Gonyosoma oxycephalum Psammodynastes pulverulentus

Liopeltis baliodeira

Homalopsis buccata Xenochrophis trianguligera

Lucodon subcinctus Ahaetulla prasina Ptyas korros


(4)

Gonocephalus klosi

Boiga nigriceps Pareas vertebralis Boiga jaspidea Boiga drapiezii

Gekko smithi

Pseudocalotes tympanistriga Pareas laevis


(5)

Lampiran 13. (lanjutan)

Bronchocela cristatella

Mabuya rudis Cyrtodactylus cf fumosus

Mabuya multifasciata

Ptycozoon kuhli

Cyrtodactylus quadrilineatus Gonocephalus cameleonthinus


(6)

Varanus rudicollis Manouria emys

Draco sumatranus Draco sumatranus Draco fimbriatus

Dogania subplana Heosemys spinosa