Study Conservation of Kulim (Scorodocarpus borneensis Becc.) In Indigenous Forest of Aur Kuning Village, Riau Province

KAJIAN KONSERVASI KULIM
(Scorodocarpus borneensis Becc.) DI HUTAN ADAT
DESA AUR KUNING, PROVINSI RIAU

ELIA ERNAWATI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

PERNYATAAN MENGENASI TESIS DAN SUMBER
INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kajian Konservasi Kulim
(Scorodocarpus borneensis Becc.) di Hutan Adat Desa Aur Kuning, Provinsi Riau
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.


Bogor,

2013

Elia Ernawati
NIM E351100101

RINGKASAN

ELIA ERNAWATI. Kajian Konservasi Kulim (Scorodocarpus borneensis
Becc.) di Hutan Adat Desa Aur Kuning, Provinsi Riau. Dibimbing oleh ERVIZAL
A.M.ZUHUD dan AGUS PRIYONO KARTONO.
Kayu kulim (Scorodocarpus borneensis) merupakan salah satu jenis yang
keberadaannya semakin terancam di hutan alam. Kulim di Riau kini sudah
menjadi salah satu jenis tumbuhan langka. Pemanfaatan tumbuhan dan
penebangan kayu merupakan salah satu penyebab terjadinya kelangkaan suatu
jenis populasi. Terbatasnya informasi mengenai kulim menyebabkan jenis ini
belum menjadi prioritas konservasi. Penelitian ini bertujuan untuk menduga
populasi kulim yang terdapat di hutan adat Desa Aur Kuning, bentuk pemanfaatan

kulim oleh masyarakat serta upaya konservasi kulim yang dapat dilakukan.
Pengambilan data vegetasi dilakukan dengan metode garis berpetak, kemudian
dianalisis secara deskriptif kuantitatif. Pengambilan data mengenai bentuk
pemanfataan dan upaya konservasi kulim dilakukan dengan metode wawancara
secara mendalam terhadap masyarakat lokal, kemudian dianalisis secara
deskriptif. Berdasarkan hasil penelitian diduga kayu kulim yang terdapat di hutan
adat Desa Aur Kuning terdiri dari 1333 ind/ha semai, 101 ind /ha pancang, 9
ind/ha tiang, dan 24 ind/ha pohon. Hasil ini menunjukkan bahwa tegakan kulim di
hutan alam tidak normal karena jumlah semai yang banyak tidak diimbangi
dengan pertumbuhannya menjadi pohon. Berdasarkan hasil pengamatan diketahui
bahwa terdapat gangguan dalam pertumbuhan kayu kulim berupa penebangan
kayu kulim dan pertumbuhan kayu kulim yang relatif lambat. Hal ini dapat
menyebabkan penurunan populasi kulim. Pemanfaatan kulim yang dilakukan oleh
masyarakat yaitu sebagai bahan baku pembuatan kusen rumah, jembatan, dan
bahan baku dalam industri pembuatan kapal kayu. Buah kulim dimanfaatkan
sebagai bahan baku pembuatan obat tradisional. Pemanfaatan kulim tersebut
dilakukan secara tidak terkontrol dan terkelola dengan baik, sehingga
dikhawatirkan dapat menyebabkan populasi kulim akan semakin menurun. Oleh
karena itu perlu adanya upaya konservasi kulim yang ditunjang dengan upaya
budidayanya. Ditinjau dari tri-stimulus AMAR (alamiah, manfaat, rela) diketahui

bahwa sikap yang ditunjukkan oleh masyarakat hanya terlihat pada pemanfaatan
kulim. Pertumbuhan kulim yang lambat dan rendahnya minat masyarakat untuk
melakukan upaya budidaya menyebabkan belum ada stimulus kerelaan yang
mampu mendorong masyarakat untuk melakukan konservasi kulim. Oleh karena
itu, upaya konservasi kulim sepatutnya menjadi tanggung jawab pemerintah.
Masyarakat dapat berperan sebagai penggerak konservasi dan pemerintah dapat
berperan dalam hal penyediaan lahan dan bibit kulim. Hal ini mengingat jenis ini

sudah termasuk jenis langka dan harusnya mendapat perhatian dalam hal
kelestariannya. Adanya campur tangan pemerintah dan berbagai pihak terkait
diharapkan dapat mendukung upaya konservasi kulim. Kegiatan konservasi yang
dilakukan secara bersama antara pihak pemerintah dan masyarakat diharapkan
mampu membangun sikap masyarakat sehingga akan muncul suatu tindakan
konservasi. Hal ini penting guna menunjang kelestarian hutan.
Kata Kunci: AMAR, konservasi, kulim, Scorodocarpus borneensis, tumbuhan
langka.

SUMMARY

ELIA ERNAWATI. Study Conservation of Kulim (Scorodocarpus borneensis

Becc.) In Indigenous Forest of Aur Kuning Village, Riau Province. Under
supervised by ERVIZAL A.M. ZUHUD and AGUS PRIYONO KARTONO.
Kulim (Scorodocarpus borneensis) is one of whose existence is threatened
in the natural forest. Kulim in Riau has now become one of the rare plant species.
Utilization of plant and logging is one of the causes the scarcity of a particular
type of population. Limited information about kulim cause conservation of kulim
is not a priority. This study aims to estimate the population of kulim contained in
natural forest of Aur Kuning village, alternative uses of kulim by the people and
conservation efforts that can be done. Vegetation data retrieval is done using
analysis of vegetation checkered line method that is then analyzed by descriptive
quantitative. Data retrieval regarding the form of utilization and conservation
efforts of kulim is done using in-depth interviews to the local community and then
analyzed by descriptive. Based on the results of this research kulim allegedly
contained in the forest of Aur Kuning village is 1333 ind / ha nursery, 101 ind / ha
stakes, 9 ind / ha poles, and 24 ind / ha tree. These results indicate that kulim
stands in natural forest is not normal because of the large number of seedling
growth into tree is not matched . Based on the observation, there is a disturbance
in the growth of kulim form of kulim logging and kulim timber growth that is
relatively slow. This can lead to declines kulim population. Kulim utilization by
the community that is as raw material for frame houses, bridges, and raw

materials in the wooden shipbuilding industry. Kulim fruit used as raw material
for traditional medicine. The existence of utilization kulim made by public are not
controlled and well managed, this is feared could cause kulim population will
decrease. Hence the need for kulim conservation efforts supported with
cultibation efforts. Judging from the tri-stimulus AMAR (natural, benefits,
willing) it is known that the attitude shown by the people only look at the use of
kulim. Kulim slow growth and low interest of the community to make cultivation
efforts causes no stimulus that could encourage people to conserve kulim.
Therefore,it is needed for government to intervention in the conservation of
kulim. Communities can act as a driver of conservation and the government can
act as area and seed provider. This is because kulim included rare breed and
should receive attention in terms of sustainability. The intervention of the
government and other stakeholders are expected to support Kulim conservation
efforts. Conservation activities carried out jointly between the government and the
public should be able to build people's attitudes so that there will be a
conservation action. It is important to support sustainability.
Keywords: AMAR, conservation, Kulim, Scorodocarpus borneensis, rare plants.

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2013
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang


Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

KAJIAN KONSERVASI KULIM
(Scorodocarpus borneensis Becc.) DI HUTAN ADAT
DESA AUR KUNING, PROVINSI RIAU

ELIA ERNAWATI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika


SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

Penguji Luar Komisi Pada Ujian Tesis : Dr Ir Agus Hikmat, MscF

Judul Tesis

: Kajian Konservasi Kulim (Scorodocarpus borneensi Becc.) di
Hutan Adat Desa Aur Kuning, Provinsi Riau

Nama

: Elia Ernawati

NIM

: E351100101


Disetujui,
Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Ervizal A M Zuhud, MS
Ketua

Dr Ir Agus Priyono Kartono, MSi
Anggota

Diketahui,
Ketua Program Studi
Konservasi Biodiversitas Tropika

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof Dr Ir Ervizal A M Zuhud, MS

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr


Tanggal Ujian: 07 Februari 2013

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji syukur dipanjatkan kehadlirat Allah SWT karena atas limpahan Berkah,
Rahmat dan Hidayah-Nya maka tesis dengan judul “Kajian Konservasi Kulim
(Scorodocarpus borneensis Becc.) di Hutan Adat Desa Aur Kuning, Provinsi
Riau” dapat diselesaikan.
Penghargaan dan ucapan terima kasih yang tulus dan tak terhingga penulis
sampaikan kepada berbagai pihak yang telah memberikan berbagai masukan dan
bantuan yang tidak ternilai harganya, diantaranya:
1. Prof Dr Ir Ervizal A M Zuhud, MS dan Dr Ir Agus Priyono Kartono, MSi
selaku komisi pembimbing atas kesabarannya dalam membimbing dan
memberi arahan bagi penulis.
2. Dr Ir Agus Hikmat MScF selaku penguji luar pada ujian tesis, atas masukan
yang diberikan demi perbaikan tulisan ini menjadi lebih baik.
3. Dr Ir Burhanuddin Masy’ud MS selaku ketua pada sidang tesis.
4. Keluarga besar H M Amin atas dukungan moril dan kasih sayang yang telah
diberikan.

5. Masyarakat Desa Aur Kuning yang telah bersedia membantu dan memberikan
dukungan teknis selama penelitian.
6. Bapak Sunaryo dari balai Diklat Kehutanan Provinsi Riau yang telah bersedia
membantu dalam proses identifikasi jenis tumbuhan.
7. Dosen-dosen Pascasarjana Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika
atas ilmu, pengetahuan dan pengalaman yang telah diberikan.
8. Sekretariat Pascasarjana Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika atas
bantuan dan dukungan administratif yang telah diberikan.
9. Teman-teman Pascasarjana Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika
dan Manajemen Ekoswisata dan Jasa Lingkungan atas diskusi-diskusi yang
membangun dan kebersamaannya.
10. Jadda Muthiah, Irwani Gustina, Nugroho Ari Setiawan selaku sahabat atas
bantuan yang diberikan selama penulis tinggal di Bogor.

Semoga karya ini dapat bermanfaat.
Bogor, 2013

Elia Ernawati
E351100101


DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

xi

DAFTAR GAMBAR

xi

DAFTAR LAMPIRAN

xii

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Kerangka Pemikiran

2

TINJAUAN PUSTAKA
Taksonomi dan Deskripsi Scorodocarpus borneensis Becc.
Sifat Kayu
Permudaan
Habitat dan Penyebaran
Kegunaan
Potensi
Kriteria Kelangkaan

6
6
8
8
9
9
10
10

3

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
Kondisi Geografis Kecamatan Kampar Kiri Hulu
Kondisi Hutan
Potensi Tumbuhan di Desa Aur Kuning
Sosial Ekonomi Penduduk
Sarana dan Prasarana Desa
Agama, Sosial Budaya dan Sarana Informasi

11
11
12
13
14
14
16

4

METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Alat Penelitian
Data yang Dikumpulkan
Metode Pengumpulan Data
Pengolahan Data

17
17
17
18
18
21

5

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Populasi Kulim
Populasi kulim di hutan Desa Aur Kuning
Dominansi tumbuhan
Pola sebaran kulim
Asosiasi kulim dengan jenis spesies lain
Pemanfaatan Kulim oleh Masyarakat Desa Aur Kuning
Pemanfaatan buah kulim

1
1
3
3
3

25
25
25
27
29
29
31
32

6

Pemanfaatan kayu kulim sebagai bahan baku jembatan
dan tiang rumah
Pemanfaatan kayu kulim sebagai bahan baku kapal
Pemanfaatan kayu kulim sebagai bahan baku kusen pintu
Faktor-faktor yang mempengaruhi kelestarian kulim
Rekomendasi Upaya Konservasi Kulim

33
34
35
37
39

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

45
45
45

DAFTAR PUSTAKA

46

LAMPIRAN

49

DAFTAR TABEL
1
2
3
4

Tabel kontingensi
Lima (5) indeks nilai penting spesies pada berbagai tingkat
pertumbuhan
Asosiasi kulim dengan sepuluh (10) jenis tumbuhan lain
Matriks upaya konservasi kulim dilihat dari karakteristiknya

22
28
30
40

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15

Kerangka pikir penelitian
Daun, Buah, dan Batang Kulim
Desa Aur Kuning
Lokasi Desa Aur Kuning di dalam kawasan hutan
Alat transportasi masyarakat Desa Aur kuning
Peta lokasi penelitian
Skema penempatan transek dan petak pengamatan pada analisis
vegetasi dengan metode garis berpetak
Diagram alir “Tri-stimulus AMAR pro-konservasi”: stimulus,
sikap dan perilaku aksi konservasi
Dugaan populasi kulim pada tiap tingkat pertumbuhan
Jumlah kayu kulim berdasarkan kelas diameter
Jembatan dari kayu kulim di Desa Aur Kuning
Kapal kayu dengan bahan baku kayu kulim
Kusen rumah yang terbuat dari kayu kulim
Semai kulim
Matriks stimulus AMAR kulim

5
7
11
12
15
17
19
24
25
26
33
35
36
38
40

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7

Hasil Perhitungan INP Tingkat Semai
Hasil Perhitungan INP Tingkat Pancang
Hasil Perhitungan INP Tingkat Tiang
Hasil Perhitungan INP Tingkat Pohon
Asosiasi Scorodocarpus borneensis dengan jenis lain
Gambar Sket Desa Aur Kuning
Daftar pertanyaan panduan wawancara

51
53
55
57
59
61
62

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang
Hutan merupakan sumberdaya alam yang tidak ternilai karena didalamnya
terdapat keanekaragaman hayati sebagai sumber plasma nutfah, sumber hasil
hutan berupa kayu dan nonkayu, pengatur tata air, pencegah banjir dan erosi serta
kesuburan tanah, perlindungan alam hayati untuk kepentingan ilmu pengetahuan,
kebudayaan, rekreasi, pariwisata, dan sebagainya. Beberapa masyarakat lokal
yang hidup di sekitar areal hutan memanfaatkan hutan secara intensif demi
memenuhi kebutuhan hidup mereka. Masyarakat lokal telah mengembangkan dan
beradaptasi secara langsung terhadap lingkungannya untuk mempertahankan
hidup berdasarkan pengetahuan lokal yang mereka miliki secara turun temurun.
Kenyataan membuktikan bahwa pengetahuan lokal telah teruji secara turun
temurun dan memberikan sumbangsihnya terhadap kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi.
Pengetahuan yang dimiliki masyarakat lokal mereka terapkan dalam
melakukan pemanfaatan sumberdaya. Pengetahuan ini merupakan pengetahuan
yang dapat diterapkan bagi upaya konservasi alam yang berbasis masyarakat
sebelum modernisasi masuk dan mengubah pola hidup masyarakat. Hal ini
menjadi penting karena modernisasi dengan mudah telah menggeser sejumlah
pengetahuan asli suku bangsa di luar pulau Jawa (Waluyo 1991).
Pemanfaatan sumberdaya yang dilakukan secara tidak terkontrol dan tidak
terkelola merupakan faktor utama yang menyebabkan laju kepunahan suatu jenis
tumbuhan semakin cepat. Hal ini dapat mengancam kelestarian suatu spesies.
Sastrapradja (1992) menyatakan bahwa penyusutan keanekaragaman hayati lebih
banyak disebabkan oleh faktor manusia berupa eksploitasi hutan, sementara upaya
reboisasi tidak seimbang dengan kegiatan eksploitasi. Menurut Rachmawati
(1998) masalah penebangan liar merupakan gangguan terbesar bagi tegakan kayu
dewasa maupun anakan sementara upaya budidayanya masih sangat kurang.
Salah satu jenis tumbuhan yang masih kurang mendapatkan perhatian
dalam hal budidayanya adalah kulim. Jenis tumbuhan ini terdaftar dalam 200 jenis
tumbuhan langka Indonesia (Mogea et al. 2001). Kulim merupakan jenis pohon
yang potensial untuk dijadikan kusen pintu rumah dan kapal kayu terutama bagian
dinding/palka, dan tiang kapal (Martawijaya et al. 1989). Kulim merupakan jenis
kayu khas khususnya di daerah Riau. Kulim pada beberapa daerah di Riau
dijadikan sebagai bahan baku industri masyarakat misalnya industri pembuatan
kapal dan telah dikenal luas.
Kayu kulim pada saat ini sulit diperoleh karena terbatasnya habitat tempat
tumbuh, adanya kegiatan pemanfaatan dan belum adanya upaya budidaya. Hal ini

tentu akan mengakibatkan populasi kulim yang tersedia di alam semakin lama
akan semakin menurun. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Ismail
(2000) di Bagan Siapi-api Riau, terjadi kenaikan permintaan bahan baku kulim
rata-rata 15% lebih setiap tahunnya. Kenaikan permintaan bahan baku kulim ini
jika tidak diimbangi dengan persediaan yang cukup dapat menyebabkan kulim
punah di alam.
Status kulim saat ini menurut IUCN adalah not evaluated. Hal ini
menjadikan kulim belum menjadi jenis prioritas untuk dilakukan konservasi.
Spesies yang terancam punah seringkali dihadapkan kepada beberapa kendala
yaitu belum adanya petunjuk teknis untuk memudahkan perencanaan, masih
kurangnya informasi sebaran dan habitat jenis yang terancam punah, dan tata guna
lahan yang belum mantap. Primack (1998) menyatakan bahwa suatu populasi
yang stabil biasanya mempunyai distribusi umur yang khas dengan perbandingan
antara individu muda, dewasa dan tua. Jika anggota suatu kelas umur terutama
individu anakan tidak ditemukan atau terdapat dalam jumlah yang sangat sedikit,
gejala ini biasanya menunjukkan bahwa populasi akan menurun. Tidak
sebandingnya jumlah permudaan yang ada dengan jumlah pohon yang ditebang
akan menyebabkan struktur tegakan kayu terganggu dimana jumlah anakan akan
lebih sedikit dibandingkan jumlah pohon dewasa. Sebaliknya, jika individu
anakan terdapat dalam jumlah besar hal ini mungkin menunjukkan bahwa
populasi berada dalam keadaan stabil dan bahkan mungkin akan mengalami
peningkatan.
Salah satu daerah yang diketahui masih terdapat kulim adalah daerah
hutan di Desa Aur Kuning. Desa ini merupakan desa tertinggal yang lokasinya
terisolir, jauh dari wilayah perkotaan sehingga dalam kehidupannya masyarakat
masih memanfaatkan sumberdaya alam dengan sistem tradisional. Hutan yang
mengelilingi Desa Aur Kuning merupakan areal hutan yang termasuk dalam
kawasan hutan lindung Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Bukit Baling namun
sebagian dari kawasan hutan ini yang dekat dengan perkampungan masyarakat
diakui sebagai tanah milik masyarakat dan dimanfaatkan oleh masyarakat.
Besarnya potensi hutan dan adanya nilai manfaat yang dirasakan langsung oleh
masyarakat menjadikan tingginya rasa memiliki masyarakat terhadap alam
sehingga upaya konservasi sumberdaya diharapkan akan lebih efektif dilakukan.
Nilai-nilai yang dirasakan langsung oleh masyarakat ini diharapkan mampu
menjadi stimulus untuk melakukan upaya konservasi.
Kurangnya
perhatian terhadap kelestarian kulim dan terbatasnya
informasi mengenai kulim akan menyebabkan tingkat kelangkaan kulim
khususnya di Riau semakin tinggi. Oleh karena itu, penelitian ini diharapkan
mampu menggambarkan kondisi populasi kulim yang masih ada di Provinsi Riau,
khususnya di hutan adat Desa Aur Kuning untuk memberikan masukan bagi
upaya pelestarian kulim dan merumuskan strategi konservasi kulim sehingga tetap

dapat dimanfaatkan oleh masyarakat dan kelestarian kulim tetap terjaga serta
mendukung konservasi hutan di Desa Aur Kuning.

Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Menduga struktur populasi, dominansi tumbuhan, pola sebaran, dan
asosiasi kulim.
2. Mengidentifikasi bentuk pemanfaatan kulim oleh masyarakat.
3. Memberikan rekomendasi upaya konservasi kulim.

Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan mampu : a) menjadi salah satu sumber informasi
mengenai potensi tegakan kulim yang masih ada di daerah Riau khususnya di
hutan adat Desa Aur Kuning, b) sebagai masukan bagi pemerintah dan pihak
terkait untuk melakukan konservasi kulim, dan c) sebagai acuan dalam melakukan
pemberdayaan masyarakat lokal yang mendukung konservasi kulim dan sekaligus
dapat meningkatkan kesejahteraan kehidupan masyarakat.

Kerangka Pemikiran
Hutan memiliki potensi yang sangat besar bagi kehidupan manusia
khususnya bagi masyarakat lokal. Hutan masyarakat diketahui memiliki kekayaan
alam yang belum dikelola dengan baik. Salah satunya adalah kulim. Jenis ini
dahulunya merupakan jenis kayu primadona di Riau karena memiliki kelas awet
yang baik sehingga cocok dijadikan sebagai bahan baku pembuatan kapal maupun
bangunan, namun keterbatasan bahan baku menyebabkan beberapa usaha ini
terhenti. Pemanfaatan kulim yang terus berlangsung menjadikan kayu kulim
semakin langka sementara upaya budidayanya belum dilakukan. Hal ini harusnya
mampu menjadi perhatian masyarakat maupun pemerintah karena status
tumbuhan ini yang langka dan data mengenai populasi kulim belum banyak
diketahui.
Penyebaran kulim di Indonesia terbatas yaitu di Sumatera dan Kalimantan
(Sleumer 1982). Di Riau, diketahui kulim dapat ditemukan di daerah Indragiri
hilir, Indragiri Hulu, Kampar, dan Bengkalis (Ismail 2000). Kulim dikenal dengan
nama bawang hutan di daerah Kenohan, Kalimantan Timur dan dimanfaatkan

sebagai pengganti aroma bawang putih (biji dan kulit kayunya), sebagai sayuran
(daun), obat tradisional (akar dan daun) dan pelengkapan upacara ritual (kulit
kayu dan buah) (Siagian et al. 2000).
Terbatasnya wilayah penyebaran kulim dan semakin berkurangnya areal
hutan di Indonesia mengakibatkan populasi kulim semakin terancam. Lambatnya
pertumbuhan kayu kulim dan adanya penebangan kulim dapat menyebabkan
reproduksi kulim berjalan sangat lambat. Hal ini memungkinkan terjadinya
penurunan populasi kulim, sementara upaya budidayanya belum dilakukan. Sosef
et al. (1998) menyebutkan bahwa secara alami pertumbuhan kulim relatif`lambat,
hal ini dilihat dari riap rata-rata diameter tahunan (avarage annual diameter
increament) kulim pada hutan alam di Semenanjung Malaysia yaitu antara 0,2 –
0,3 cm. Hal ini membuktikan bahwa secara ekologi pertumbuhan kulim yang
lambat akan memerlukan waktu yang cukup lama untuk menambah jumlah
populasi, disamping itu juga tumbuhan akan bersaing dengan jenis-jenis vegetasi
lain sehingga akan terjadi seleksi alam. Hal ini dapat menyebabkan keberadaan
kulim di alam semakin terancam karena pemanfaatan yang terus berlangsung.
Oleh karena itu dibutuhkan suatu mekanisme pengelolaan yang baik dan upaya
budidaya kulim sehingga kelestarian kulim tetap terjaga dan pemanfaatannya
masih dapat terus berlangsung.
Belum adanya upaya budidaya kulim mengakibatkan kayu kulim di alam
menjadi tempat persediaan kayu kulim. Salah satu kawasan yang diketahui masih
terdapat kayu kulim adalah kawasan hutan adat Desa Aur Kuning. Kayu kulim di
daerah ini umumnya tumbuh liar di kawasan hutan dan dimanfaatkan oleh
masyarakat sebagai bahan baku pembuatan kusen rumah, jembatan, dan sebagai
bahan obat tradisional. Pemanfaatan yang terus berlangsung bukan tidak mungkin
akan menyebabkan populasi kulim di hutan ini akan terus berkurang dan hingga
saat ini belum diketahui berapa besar potensi kulim yang terdapat di lokasi ini.
Tersedianya informasi mengenai populasi kulim yang terdapat di hutan
adat Desa Aur Kuning diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai kondisi
populasi kulim di lokasi ini. Pengetahuan masyarakat diharapkan dapat
memberikan stimulus-stimulus bagi upaya konservasi kulim ke depan. Timbulnya
sikap masyarakat yang peduli terhadap alam ini diharapkan mampu mewujudkan
konservasi yang baik karena masih berlandaskan pada kearifan tradisional
masyarakat sehingga upaya konservasi khususnya di hutan adat Desa Aur Kuning
akan dapat terlaksana. Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat disusun diagram
kerangka pemikiran yang disajikan pada Gambar 1.

Ketersediaan kayu kulim di
alam
Permasalahan
Pemanfaatan sbg
bahan baku industri

Belum ada
budidaya

Penebangan kayu
kulim

Pertumbuhan kulim
lambat

Konservasi kulim terancam

Mengetahui kondisi populasi dan pemanfaatan kulim

Sikap dan aksi konservasi

Masyarakat

Pemerintah

Membantu penyebaran dan
budidaya kulim

Program dan aturan
mengenai konservasi kulim

Konservasi kulim terwujud

Gambar 1 Kerangka Pikir Penelitian.

2

TINJAUAN PUSTAKA

Taksonomi dan Deskripsi Scorodocarpus borneensis Becc.
Taksonomi dari Scorodocarpus borneensis Becc. menurut Lawrence
(1951) yaitu termasuk Kingdom Tumbuhan, Divisio Spermatophyta, Sub divisio
Angiospermae, Kelas Dicotyledoneae, Ordo Santalales, Famili Olacaceae, Genus
Scorodocarpus, Spesies Scorodocarpus borneensis Becc.
Famili Olacaceae umumnya berupa pohon atau semak, jarang, dan bisa
dipanjat. Daun tunggal, biasanya selang seling, seluruhnya exstipulate. Bunga
berukuran kecil berwarna hijau/putih, biasanya biseksual, dalam racemes atau
cymes. Mahkota terdiri dari 4 – 6, terpisah atau connate, valvate. Benang sari
sama atau dua kali lebih banyak dari daun mahkota (membelakangi petal ketika
jumlahnya banyak). Memiliki ruang sari 4 – 6 ruang dan kadang-kadang satu
ruang, satu ovule dalam setiap ruang dalam axile placenta , jenisnya satu. Buah
berbiji atau seperti kacang-kacangan dengan satu biji/benih (Keng 1969).
Nama daerah S.borneensis Becc. antara lain kayu bawang, kulim, rengon,
ansam, bawang utan, merca, madudu, sedau, selaru, terdu (Martawijaya et al.
1989). Heyne (1987) menyebutkan nama daerah kulim yaitu hulim, kulim, kayu
bawang utan. Menurut Giorn (1877) nama umum S.borneensis antara lain di
Brunai disebut bawang hutan; di Sumatera dan Kalimantan disebut kayu bawang;
di Kalimantan disebut kayu bawang utan, selaru; di Sabah dan Serawak disebut
bawang hutan, sagan berauh, ungsunah; di Thailand (Semenanjung Thailand)
disebut krathiam ton, kuleng, kulim.
Umumnya tinggi pohon kulim ± 20 meter dengan diameter 50-60 cm
namun tingginya dapat mencapai 36 meter dengan diameter lebih dari 80 cm.
Batang pada umumnya tegak, bulat torak, di bagian kaki batang sedikit berjalur
atau bersiku, mahkota daun tinggi, tinggi bebas cabang batang pada umumnya ±
15 meter dan kadang-kadang lebih dari 20 meter (Heyne 1987). Kayu teras kulim
berwarna merah tua atau coklat-kelabu semu-semu lembayung. Kayu gubal
berwarna kekuning-kuningan atau kemerah-merahan, agak jelas dapat dibedakan
dengan kayu teras, lebarnya 3-5 cm. Tekstur kayu halus dan merata dengan arah
serat lurus atau berpadu. Permukaan kayu licin dan agak mengkilap. Kayu yang
masih basah berbau bawang sedangkan kayu yang sudah kering dan baru
dikerjakan berbau lada yang lama kelamaan hilang (Martawijaya et al. 1989).
Pohon kulim diketahui mengeluarkan bau bawang putih yang menyengat
ketika batangnya terluka. Bau ini dihasilkan dari turunan asam amino dari Smethylthiomethyl cysteine-4-oxide and S-methylthiomethyl cysteine di isolasi
dari buahnya dengan level yang setara seperti isolasi MCSO pada Brassica sp.
(Kubota et al. 1998 dalam Jones et al. 2004). Senyawa tersebut dapat dipisahkan

menggunakan broccoli cysteine sulphoxide lyase (C-S lyase) yang kemudian akan
menghasilkan senyawa piruvat dan sulfur yang mudah menguap dan beraroma
bawang putih (Gmelin et al. 1976 dalam Jones et al. 2004).
Pohon kulim biasanya berbunga pada bulan Januari - Juli dan berbuah
hampir sepanjang tahun, di Semenanjung Malaysia dan di Borneo biasanya
berbuah antara Juni - September. Buah kulim berbentuk bulat, besar dan
berdaging, berbiji satu dengan ukuran diameter ± 5 cm diliputi oleh lapisan daging
tipis yang berwarna hijau yang segera menjadi busuk. Bila buah jatuh di atas
tanah akan terlihat bagian buah yang keras dan keriput/berurat. Sebelum disimpan
biji harus dijemur selama 10 hari. Biji mempunyai daya kecambah kira-kira 80%
dengan persen tumbuh sekitar 80% (Martawijaya et al. 1989). Heyne (1987)
mengatakan bahwa S.borneensis mudah dikenali karena memberikan bau yang
khas seperti bawang putih dari kulit dan buahnya.

Gambar 2 Daun, Buah, dan Batang Kulim.

Sifat kayu
Kayu kulim termasuk ke dalam kelas awet I – II dan kelas kuat I dengan
berat jenis rata-rata 0,94 (0,73-1,08). Kayunya keras dengan nilai penyusutan dari
keadaan basah sampai kering tanur sebesar 4,8% (radial) dan 5,7% (tangensial).
Kayu kulim termasuk mudah dikerjakan dan tidak cepat menumpulkan gigi
gergaji. Hasil serutan bervariasi tergantung kepada tingkat perpaduan serat, kayu
yang mempunyai arah serat lurus dapat diserut sampai licin. Kayu kulim dapat
dibor dengan halus. Kayunya agak mudah dikeringkan tetapi cenderung untuk
pecah dalam arah radial. Kayu teras agak sulit diawetkan tetapi kayu gubal lebih
mudah dimasuki bahan pengawet (Martawijaya 1977). Kulim menghasilkan kayu
teras berbobot menengah sampai berat dengan kerapatan 645-1080 kg/m3 pada
kadar air 15%, kayunya agak keras sampai keras dan bersifat agak tahan lama
sampai tahan lama dan rata-rata pemakaiannya 4 tahun (Sosef et al. 1998).
Kayu teras kulim berwarna merah tua atau coklat kelabu, semu-semu
lembayung, kayu gubal berwarna kekuning-kuningan atau kemerah-merahan,
agak jelas dapat dibedakan dengan kayu teras. Tekstur kayu halus dan merata
dengan arah serat lurus atau berpadu dan permukaan kayu licin (Martawijaya
1989). Kayu kulim mudah dikenali karena memberikan bau yang khas seperti
bawang putih dari kulit dan buahnya. Pohon ini mempunyai kekhasan yaitu kulit
yang lepas dari irisannya berwarna ungu, tebal, dari luar berwarna merah
kecoklat-coklatan dan dapat lepas menjadi bagian yang kecil berbentuk lempeng
segi empat (Heyne 1987).
Bahan pembentuk kayu kulim terdiri dari Selulosa (48.4%), Lignin
(33.1%), Pentosan (16.4%), Abu (0.8%), dan Silika (0.1%). Kelarutan AlkoholBenzena (1.5%), air dingin (1.8%), air panas (2.5%), dan NaOH 1% (11.5%)
(Martawijaya 1989).

Permudaan
Permudaan alam cukup banyak terdapat secara tersebar. Permudaan
anakan menghendaki tempat agak terbuka. Permudaan buatan dapat dilakukan
baik dengan anakan dari permudaan alam maupun dari persemaian. Biji ditanam
di bawah naungan, langsung di lapangan atau disemaikan dahulu di persemaian
sedalam kira-kira satu sentimeter di bawah permukaan tanah tanpa melakukan
perlakuan pendahuluan (Martawijaya et al. 1989). Stum dapat dicabut dengan
mudah (Bertham 2006).

Habitat dan Penyebaran
Heyne (1987) menyatakan bahwa kulim tumbuh di hutan tropis primer dan
tersebar di bagian barat nusantara, tumbuh di dataran rendah dan bukit sampai
ketinggian 300 mdpl, terutama pada daerah kering atau berpasir, tidak pernah
hidup di rawa-rawa, tidak membentuk hutan murni, tetapi di hutan rimba tumbuh
secara berkelompok. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Rachmawati (1998)
dan Ismail (2000) di daerah Riau, jenis tanah yang ditumbuhi kulim yaitu jenis
tanah padzolik merah kuning yang terbagi dalam tiga struktur tanah yaitu
lempung, lempung berpasir, dan lempung liat. Daerah penyebaran kulim meliputi
Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Palembang, Kalimantan Barat,
Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur.

Kegunaan
Kayu kulim digunakan sebagai tiang jembatan, umpak dalam tanah, balok
tiang, dan papan pada bangunan perumahan, serta bagian untuk lunas perahu.
Kayu kulim kurang baik digunakan sebagai bantalan rel karena jika terkena
pengaruh matahari kayu akan sobek tetapi sifat ini dapat dihindari dengan
membiarkannya terlebih dahulu sebelum dipakai (Heyne 1987). Menurut
Martawijaya et al. (1989), kayu kulim banyak digunakan untuk tiang jembatan,
bantalan rel, tiang listrik dan telepon, lunas perahu, dan bagian perumahan balok,
tiang, papan, dan lantai. Kayu kulim juga digunakan sebagai tiang rumah pada
masyarakat suku Sakai (Medi 1998).
Buah kulim dapat digunakan sebagai pengganti bawang putih pada
masakan karena dapat memberikan aroma (bau) khas seperti bawang putih. Buah
dan daun kulim digunakan sebagai bahan rempah-rempah pada masyarakat suku
Sakai (Medi 1998). Bijinya setelah dipanggang dapat digunakan sebagai obat
cacing (Heyne 1987). Daun mudanya dimakan sebagai sayuran di Sarawak.
Ekstrak buahnya memperlihatkan aktivitas anti mikroba (Sosef et al. 1998). Buah
dan kulit kayunya digunakan untuk penangkal racun antiaris (Antiaris toxicaria
Leech). Burkil (1935) menyatakan buah kulim dapat dijadikan sebagai obat
penangkal racun berbisa dan tempurung pada buah kulim dapat dijadikan sebagai
kotak tembakau pada masyarakat tradisional.
Hasil skrening fitokimia terhadap 84 jenis tumbuhan di Kalimantan Timur
menunjukkan bahwa kayu kulim merupakan salah satu tumbuhan prospektif
sebagai sumber saponin alami (Sudrajat et al. 1995). Senyawa bioaktif saponin ini
telah dikenal sebagai salah satu bahan pestisida alami (Tjokronegoro et al. 1995).
Berdasarkan hasil isolasi bahan bioaktif kulit batang kayu kulim sebagai larvasida

nyamuk, diketahui bahwa kandungan senyawa aktif ekstrak kulit batang kayu
kulim terdiri dari saponin, steroid dan flavonoid.

Potensi
Berdasarkan penelitian Ismail (2000) diketahui terdapat 83 pohon, 29
tiang, 16 pancang dan 34 semai yang dapat ditemui di HPH PT. Rokan Permai
Timber. Berdasarkan hasil ini dapat diperkirakan populasi kulim di Riau mulai
dari diameter 20 cm ke atas yang ada di alam tinggal 195816 pohon. Untuk
kelompok hutan Gelawan Kabupaten Kampar, potensi kayu kulim yang
berdiameter 20 cm ke atas diperkirakan 189045 pohon (Heriyanto et al. 2001). Di
Taman Nasional Tesso Nilo diketahui terdapat 9 pohon, 11 tiang, 10 pancang, dan
9 semai yang masih dapat dijumpai di hutan ini (Handayani 2010). Berdasarkan
perkiraan jumlah populasi kulim ini dan masih berlangsungnya pemanfaatan
kulim oleh masyarakat Riau dapat dipastikan bahwa populasi kulim akan semakin
menurun.

Kriteria Kelangkaan
Saat ini banyak jenis tumbuhan yang belum menjadi prioritas pengelolaan
padahal keberadaan beberapa jenis tumbuhan di alam sudah mencapai kondisi
populasi yang mengkhawatirkan. Menentukan kriteria kelangkaan suatu jenis
tumbuhan dapat mengacu pada kategori yang ditetapkan oleh suatu instansi
terkait. Kategori Status konservasi IUCN Red List merupakan kategori yang
digunakan oleh IUCN (International Union for the Conservation of Nature and
Natural Resources) dalam melakukan klasifikasi terhadap spesies-spesies
berbagai makhluk hidup yang terancam kepunahan. Berdasarkan kriteria IUCN
tahun 2008 spesies diklasifikasikan ke dalam kelompok yang diatur berdasarkan
kriteria-kriteria seperti jumlah populasi, penyebaran geografi dan risiko dari
kepunahan (IUCN 2011).
Suatu jenis dikatakan punah jika diketahui bahwa individu terakhir dari
jenis tersebut sudah mati. Jika beberapa individu suatu jenis diketahui masih
berada di tempat penangkaran atau di luar habitat mereka maka dikatakan bahwa
jenis tersebut punah di alam. Kulim diketahui masih terdapat di alam namun
belum diketahui status konservasinya. Menurut IUCN status konservasi kulim
adalah “not evaluated”, berdasarkan penelitian Ismail (2000) status kulim di Riau
adalah kritis, menurut Mogea et al. (2001) kulim termasuk jenis tumbuhan langka
Indonesia.

3

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

Kondisi Geografis Kecamatan Kampar Kiri Hulu
Wilayah Kecamatan Kampar Kiri Hulu terletak di sebelah selatan
Kabupaten Kampar dengan batas wilayah :
Sebelah barat
: Kabupaten 50 Kota Propinsi Sumatera Barat.
Sebelah utara
: Kecamatan XIII Koto Kampar, Kecamatan Bangkinang
Kecamatan Kampar, Kota Pekanbaru.
Sebelah selatan : Kabupaten Kuantan Singingi.
Sebelah timur
: Kabupaten Pelalawan dan Kota Pekanbaru.
Desa Aur Kuning merupakan salah satu desa yang berada dalam wilayah
administrasi Kecamatan Kampar Kiri Hulu. Status pemerintahan dari lokasi ini
yaitu berupa desa, dengan nama Desa Aur Kuning. Desa ini dipimpin oleh
seorang kepala desa dimana keberadaan dan lokasi kantor kepala desa terdapat di
dalam wilayah desa, serta terdapat juga badan perwakilan desa dan perangkat adat
berupa ninik mamak. Pencapaian menuju Desa Aur Kuning ini ditempuh dengan
melewati beberapa daerah. Jarak tempuh dari Kota Pekanbaru ke Kecamatan Lipat
Kain sekitar 75 km, kemudian diteruskan ke Kecamatan Gema dengan jarak
tempuh 28 km. Untuk mencapai Desa Aur Kuning, perjalanan ditempuh sekitar 30
km. Lokasi ini harus ditempuh dengan jalur darat dan air. Jalur darat dapat
ditempuh dengan menggunakan mobil dari Kota Pekanbaru ke Kecamatan Gema
dan jalur air ditempuh dengan menggunakan perahu bermesin dari Kecamatan
Gema hingga Desa Aur Kuning (Gambar 3).

Gambar 3 Desa Aur Kuning.

Kondisi Hutan
Desa Aur Kuning berada di sekitar/tepi kawasan hutan yang merupakan
kawasan hutan dengan kemiringan lahan tergolong sedang yaitu antara 15% -25%.
Desa Aur Kuning merupakan salah satu desa yang terdapat dalam kawasan hutan
Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Bukit Baling (Gambar 4). Status kawasan ini
sebagai suaka margasatwa belum mampu memberikan manfaat bagi masyarakat
sebaliknya masyarakat dianggap sebagai perusak alam. Masyarakat adat Desa Aur
Kuning telah hidup di dalam kawasan dan hidup selaras dengan alam jauh
sebelum ditetapkannya status kawasan ini. Kebijakan Pemerintah yang
menetapkan Bukit Rimbang Bukit Baling sebagai Suaka Margasatwa didasarkan
pada Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 173/Kpts-II/l986 Tanggal 6 Juni
1986 yang kini luasnya 84011 ha. Terdapat lebih kurang 16 Desa yang hidup dan
bergantung terhadap potensi hutan ini, salah satunya adalah Desa Aur Kuning.
Kawasan hutan yang berada di sekitar desa dianggap masyarakat sebagai
hutan adat masyarakat yang boleh dimanfaatkan oleh masyarakal lokal.
Keberadaan hutan adat ini diakui juga dalam UU No. 41 thn 1999 dimana hutan
adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat.
Pemanfaatan hutan ini boleh dilakukan oleh masyarakat sepanjang pemanfaatan
tersebut tidak mengganggu fungsi hutan dalam hal ini sebagai suaka margasatwa.

Lokasi penelitian

Gambar 4 Lokasi Desa Aur Kuning di dalam Kawasan Hutan.

Sebagian besar desa yang terdapat di wilayah Kabupaten Kampar Hulu
merupakan daerah perbukitan/lereng yang berada di kaki Bukit Barisan dengan
ketinggian 0 – 500 m dpl. Struktur tanah adalah arganosol, gleihumus alluvial,
hidromorfik kelabu, padzolik merah kuning, litosol dan regosol. Jenis tanah
argosol ini merupakan jenis tanah yang semakin jauh dari pinggir sungai semakin
tebal bahan gambutnya.
Terdapat delapan sungai besar di wilayah Kabupaten Kampar Hulu yaitu :
1. Sungai Kampar Kanan yang melintasi wilayah Kecaman Siak Hulu dan
Kecamatan Perhentian Raja.
2. Sungai Kampar Kiri yang melintasi wilayah Kecamatan Kampar Kiri,
Kampar Kiri Tengah, Kecamatan Gunung Sahilan, dan Kecamatan
Kampar Kiri Hilir.
3. Sungai Subayang yang melintasi Kecamatan Kampar Kiri Hulu.
4. Sungai Lipai yang melintasi wilayah Kecamatan Gunung Sahilan.
5. Sungai Setingkai yang melintasi wilayah Kecamatan Kampar Kiri.
6. Sungai Paku yang melintasi sebagian desa-desa di Kecamatan Kampar
Kiri.
7. Batang Bio yang melintasi Kecamatan Kampar Kiri Hulu.
8. Batang Lipai yang melintasi Kecamatan Kampar Kiri Hulu.

Potensi Tumbuhan di hutan Desa Aur Kuning
Desa Aur Kuning merupakan kawasan yang masih memiliki potensi
tumbuhan yang cukup tinggi. Hal ini dapat terlihat dari banyaknya tumbuhan yang
tersedia dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat untuk pemenuhan kebutuhan
hidupnya. Berdasarkan hasil penelitian Ernawati (2009), data tumbuhan yang
dimanfaatkan oleh masyarakat Desa Aur Kuning sebanyak 168 jenis dari 67
famili. Berdasarkan kelompok kegunaan, spesies-spesies yang terdapat di Desa
Aur Kuning dapat dikelompokkan ke beberapa kegunaan yaitu tumbuhan pangan
termasuk tumbuhan buah dan sayuran. Jenis tumbuhan yang dijadikan sebagai
sumber karbohidrat adalah nyola/jelai (Hordeum vulgare), sagu (Metroxylon
sagu), jagung (Zea mays), dan ubi kayu (Manihot esculenta ). Tumbuhan
penghasil zat warna seperti pandan wangi (Pandanus amaryllifolius) yang
menghasilkan wrna hijau, kulit buah manggis (Garcinia mangostana ) yang
menghasilkan warna hitam, dan pacar/inai (Lawsonia inermii). Tumbuhan sebagai
penghasil pestisida nabati seperti jenis tuba tikus (Derris elliptica ) dan gadung
(Dioscorea hispida ). Tumbuhan yang biasa digunakan dalam kegiatan upacara
adat adalah kemenyan (Styrax sp.), gambir (Uncaria gambir ), sirih (Piper betle),
tembakau (Nicotiana sp.), dan pinang (Areca catechu). Tumbuhan penghasil tali,
anyaman, dan kerajinan seperti rotan (Daemonorops sp.), manau (Daemonorops

mraginatus), terap (Artocarpus odoratissimus), dan pandan (Pandanus sp.).
Selain itu, terdapat juga tumbuhan tumbuhan penghasil pakan ternak, tumbuhan
hias, dan tumbuhan aromatik. Terdapat 98 jenis yang digunakan sebagai
tumbuhan obat oleh masyarakat. Salah satu jenis tumbuhan yang digunakan
sebagai obat di desa ini adalah kulim. Bagian yang digunakan yaitu buahnya
sebagai obat sakit perut dan untuk mengobati bengkak.

Sosial Ekonomi Penduduk
Desa Aur Kuning dihuni oleh 169 keluarga dengan jumlah penduduk lakilaki sebanyak 345 jiwa dan jumlah penduduk perempuan 331 jiwa. Pemukiman
masyarakat berada di pinggir sungai dengan dua lokasi yaitu di sisi kiri dan kanan
aliran sungai dan dihubungkan oleh jembatan (Lampiran 6). Sumber penghasilan
utama sebagian masyarakat disini berasal dari sektor perkebunan dengan jenis
komoditi getah karet. Selain itu terdapat juga masyarakat yang bekerja di sektor
perdagangan. Kehidupan masyarakat di desa ini masih bersifat kekeluargaan
dengan memegang adat istiadat yang berlaku di daerah ini dengan pemangku adat
sebagai pemegang tertinggi kekuasaan. Desa ini telah memiliki kepala desa untuk
bidang pemerintahan yang mengatur hubungan antara satu desa dengan desa
lainnya hingga ketingkat kabupaten dan kota.

Sarana dan Prasarana Desa
Sungai merupakan sarana utama bagi kehidupan masyarakat desa ini.
Sungai di desa ini berfungsi sebagai sarana transportasi, MCK (mandi, cuci,
kakus) dan sebagai sumber air minum. Alat transportasi yang biasa digunakan
oleh masyarakat adalah sampan yang menggunakan mesin (Gambar 5) karena
desa ini merupakan desa yang berada di daerah terisolir dan belum memiliki akses
jalan darat.

Gambar 5 Alat transportasi masyarakat Desa Aur kuning.
Sumber penerangan bagi desa ini berasal dari non-PLN yaitu berupa mesin
diesel yang dimiliki secara pribadi oleh tiap-tiap keluarga. Tidak semua keluarga
memiliki alat penerangan hanya sekitar 110 keluarga yang telah menikmati
penerangan, sebagian masyarakat masih mengandalkan penerangan dari lampu
teplok. Kurangnya fasilitas penerangan menyebabkan jalan-jalan utama desa
belum mendapatkan penerangan yang memadai sehingga ketika malam hari desa
ini masih terasa gelap dan aktifitas hanya berlangsung hingga semua listrik
padam. Jenis bahan bakar yang digunakan oleh masyarakat untuk kegiatan
memasak masih bersifat sangat sederhana yaitu berupa kayu bakar namun sudah
terdapat beberapa masyarakat yang menggunakan kompor gas.
Fasilitas pendidikan di desa ini sudah cukup memadai yaitu terdapat satu
Sekolah Dasar Negeri (SDN) dan satu Sekolah Menengah Pertama Negeri
(SMPN). Sekolah Menengah Atas (SMA) hanya terdapat di daerah kota yang
harus ditempuh dengan jalur air sekitar 30 km sedangkan untuk melanjutkan
sekolah ke tingkat universitas harus ke Kota Pekanbaru. Akses menuju kota
Pekanbaru sangat sulit yaitu harus ditempuh dengan jalur air dan jalur darat.
Sulitnya akses dan rendahnya pendapatan masyarakat di desa ini mengakibatkan
mutu pendidikan masyarakat masih rendah.
Fasilitas kesehatan yang ada di Desa Aur Kuning berupa puskesmas
pembantu dengan dibantu dua orang bidan, pos kesehatan desa, dan posyandu.
Aktifitas rutin posyandu biasa dilakukan satu kali dalam sebulan untuk kegiatan
imunisasi bayi dan pemberian makanan sehat bagi balita. Pengobatan secara
tradisional masih tetap berlangsung di desa ini yaitu terdapat dukun kampung
yang biasa membantu dalam kegiatan melahirkan dan melakukan pengobatan
secara tradisional dengan menggunakan bahan-bahan dari alam sebagai bahan
obat tradisional.

Agama, Sosial Budaya dan Sarana Informasi
Mayoritas masyarakat adat Desa Aur Kuning adalah suku Melayu Riau.
Penduduk desa ini beragama Islam sehingga unsur-unsur kebudayaan Islam
hampir berpengaruh disemua segi kehidupan masyarakat. Hal ini dapat dilihat
dalam bentuk tulisan lama yang disebut tulisan Arab Melayu, upacara ritual, dan
bentuk keseniannya yaitu pencak silat. Pengaruh ajaran Islam juga terlihat dari
ketaatan masyarakat dalam melaksanakan kewajiban agama seperti sholat lima
waktu, puasa Ramadhan, dan dalam setiap perayaan hari besar agama Islam.
Dominannya pengaruh ajaran Islam ini tercermin dalam pepatah adat Melayu
yang berbunyi “Tungku tiga sejerangan, tali tiga sepilin” yang maksudnya “Adat
bersendi syarak, syarak bersendikan kitabullah”. Tiga hal yang tidak dapat
dipisahkan adalah adat istiadat, agama, dan pemerintah.
Sarana ibadah yang ada di desa ini yaitu satu buah masjid dan dua buah
surau/mushalla. Alat musik yang digunakan antara lain kompang, gendang,
rebana, dan gong. Desa ini juga dilengkapi oleh sarana olah raga berupa lapangan
sepak bola, lapangan voli, dan lapangan badminton. Salah satu kegiatan yang
sering dilakukan pemuda desa yaitu kegiatan turnamen olah raga untuk
meningkatkan kerukunan antar desa maupun bagi masyarakat Desa Aur Kuning
sendiri. Jauhnya lokasi desa ini dari kota mengakibatkan desa ini belum
mendapatkan jaringan komunikasi misalnya sinyal telepon ataupun layanan pos
surat.

4 METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di hutan Desa Aur Kuning, Kecamatan Kampar
Kiri Hulu, Provinsi Riau. Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari hingga Mei
2012.

Gambar 6 Peta Lokasi Penelitian.

Alat Penelitian
Alat yang digunakan dalam penelitian terdiri atas kompas, pita ukur,
clinometer, meteran, tali tambang/plastik, tally sheet, panduan pertanyaan, alat
tulis, gunting, kamera. Alat untuk membuat herbarium antara lain kantong
plastik, kertas koran, hekter, label gantung, alkohol 70%, sprayer, dan teropong
sebagai alat bantu.

Data yang dikumpulkan
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini yaitu :
1. Populasi kulim meliputi jumlah populasi, struktur tegakan, dominansi
tumbuhan, pola sebaran dan asosiasi kulim
2. Pemanfaatan kulim oleh masyarakat meliputi bentuk pemanfaatan dan faktorfaktor yang mempengaruhi kelestarian kulim
3. Nilai-nilai dan upaya yang dilakukan masyarakat untuk melakukan konservasi
kulim.

Metode Pengumpulan Data
Analisis vegetasi
Potensi sumberdaya tumbuhan yang menjadi tujuan utama penelitian
adalah kulim namun dilakukan juga inventarisasi tumbuhan yang berada disekitar
tegakan kulim. Metode yang digunakan dalam melakukan analisis vegetasi adalah
metode garis berpetak. Banyaknya petak pengamatan yang dibuat adalah 150
petak dengan tiga jalur transek dengan masing-masing transek dibuat sebanyak 50
petak pengamatan. Peletakan petak pertama ditentukan dari hasil survey awal
yang dilakukan. Kegiatan yang dilakukan dalam analisis vegetasi adalah :
a) Menentukan lokasi peletakan petak pengamatan pertama, kemudian membuat
garis/transek mengikuti garis kontur hutan. Peletakan petak pengamatan
berikutnya dilakukan secara sistematik mengikuti garis/transek.
b) Selanjutnya petak pengamatan tersebut dibagi menjadi sub petak pengamatan
berdasarkan tingkat pertumbuhan yaitu 20m x 20m untuk pohon, 10m x 10m
untuk tiang, 5m x 5m untuk pancang, dan 2m x 2m untuk semai.
c) Menghitung jumlah pohon, tiang, pancang dan semai pada setiap petak ukur.
Parameter yang diukur pada setiap petak contoh meliputi :
a. Spesies dan jumlah tingkat semai (anakan pohon mulai dari tingkat kecambah
sampai yang memiliki tinggi < 1,5 m)
b. Spesies dan jumlah tingkat pancang (anakan pohon dengan tinggi > 1,5 m atau
pohon muda dengan diameter setinggi dada < 10 cm)
c. Spesies, jumlah, tinggi total, tinggi bebas cabang dan diameter tingkat tiang
(pohon-pohon dengan diameter setinggi dada 10 cm – 19 cm)
d. Spesies, jumlah, tinggi total, tinggi bebas cabang dan diameter tingkat pohon
(pohon-pohon yang memiliki diameter setinggi dada > 20 cm)

D

D
C

C
B

B
A

10 m

10 m

A

AB

Arah transek

C
D

Gambar 7 Skema penempatan transek dan petak pengamatan pada analisis
vegetasi dengan metode garis berpetak.
Keterangan :
A = Petak pengamatan untuk vegetasi tingkat semai (2 m x 2 m)
B = Petak pengamatan untuk vegetasi tingkat pancang (5 m x 5 m)
C = Petak pengamatan untuk vegetasi tingkat tiang (10 m x 10 m)
D = Petak pengamatan untuk vegetasi tingkat pohon (20 m x 20 m)

Untuk melihat asosiasi kulim dengan spesies lainnya dilakukan dengan
membuat petak pengamatan di lokasi yang terdapat kayu kulim yang akan
dijadikan titik pusat, kemudian disekitarnya akan diletakkan petak pengamatan
berikutnya. Ukuran masing-masing petak pengamatan yaitu 20 m x 20 m yang
kemudian akan dilakukan analisis vegetasi. Pembuatan petak pengamatan ini
dilakukan pada empat lokasi titik kulim. Asosiasi ini dibutuhkan untuk
mengetahui apakah terdapat hubungan antara kulim dengan spesies lain yang
berada di sekitar kulim sehingga akan bermanfaat untuk melakukan pengelolaan
terhadap habitat kulim dan mengetahui karakteristik tempat tumbuh kulim jika
dilihat kaitannya dengan spesies lain disekitarnya.
Identifikasi jenis tumbuhan dilakukan dengan cara membuat herbarium
basah yang kemudian akan dilakukan identifikasi oleh ahli identifikasi tumbuhan
yaitu bapak Sunaryo (staf ahli identifikasi tumbuhan balai diklat kehutanan Riau)
dan berdasarkan buku panduan identifikasi tumbuhan. Pembuatan herbarium
basah dipilih karena cara pembuatannya yang lebih efektif dan efisien dengan
mempertimbangkan kondisi lokasi penelitian dan kondisi cuaca yang
dikhawatirkan dapat menghambat proses penjemuran herbarium. Adapun cara
membuat herbarium basah adalah sebagai berikut : material herbarium
dikumpulkan dari dalam hutan. Bahan material herbarium untuk pohon yang
berukuran tinggi dilakukan dengan melihat daun kering yang jatuh ke tanah
dengan memperhatikan struktur-struktur daun lainnya pada daun yang masih
menempel di pohon. Kemudian material herbarium diberi label yang berisi

identitas herbarium. Setelah material herbarium diberi label dan dirapikan
kemudian dimasukkan kedalam kertas koran. Satu lipatan koran hanya digunakan
untuk satu spesimen (contoh). Kemudian lipatan kertas koran yang berisi material
herbarium ditumpuk dan dimasukkan kedalam kantong plastik. Lalu disiram
dengan alkohol 70% hingga semua bagian tersiram secara merata. Kemudian
kantong plastik ditutup rapat dan direkatkan agar alkohol tidak menguap dan tidak
menimbulkan jamur.
Bentuk pemanfaatan kulim oleh masyarakat
Data mengenai pemanfaatan kulim oleh masyarakat diperoleh dengan
melakukan wawancara dengan panduan pertanyaan terhadap masyarakat adat
Desa Aur Kuning serta dari literatur atau sumber pustaka yang menunjang.
Responden yang diwawancarai ditentukan dengan metode snowball sampling
yaitu responden berikutnya didasarkan atas informasi dari responden sebelumnya.
Responden kunci (key person) yang menjadi sumber informasi terdiri dari para
pencari kayu kulim, ahli pengobatan (dukun), dan pelaku industri. Banyaknya
responden yang diwawancarai adalah 30 orang. Parameter yang digunakan dalam
wawancara adalah bagian yang dimanfaatkan dan kegunaan bagi masyarakat.

Upaya pelestarian kulim
Data mengenai upay