Neraca Karbon pada Pengelolaan Padi Gambut.

(1)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Gas rumah kaca (GRK) seperti CH4, N2O, dan CO2 merupakan gas yang

sebagian besar dihasilkan dari aktivitas lahan pertanian. Lahan sawah yang ditanami padi merupakan penyumbang gas CH4 yang cukup signifikan setelah

pembakaran bahan bakar fosil. Kondisi tanah tergenang yang anaerobik merupakan habitat yang sangat baik bagi perkembangan bakteri metanogenik (pembentuk gas CH4). Selain emisi yang dihasilkan dari lahan sawah, aktivitas

manusia juga menjadi salah satu penyumbang emisi. Emisi tersebut merupakan pelepasan CFC’s yang dapat merusak lapisan stratosfer sehingga radiasi matahari dapat menembus ke bumi.

Dinitrogen oksida (N2O) terbentuk melalui proses mikrobiologi baik

secara aerobik maupun anaerobik. Karbondioksida (CO2) adalah hasil dari

dekomposisi bahan organik secara aerobik, tetapi CO2 dapat digunakan kembali

dalam proses fotosintesis tanaman padi. Peningkatan CO2 secara global

dibandingkan gas rumah kaca lainnya (CH4 dan N2O), dapat menangkap radiasi

panas sehingga menyebabkan peningkatan suhu permukaan bumi (GEIA, 1993 dalam Wassman et al., 2000).

Produksi beras semakin jauh dari tingkat pertumbuhan populasi, sementara sumberdaya lahan semakin menyusut untuk berbagai keperluan pembangunan non-pertanian, seperti pemukiman, jalan raya, dan industri. Kemungkinan pengaruh perubahan iklim menambah masalah pada sumberdaya hayati sementara kebutuhan konsumsi masyarakat semakin meningkat. Oleh karena itu, pengembangan pertanian dengan mengintensifkan lahan pertanian yang tersisa dan melakukan ekstensifikasi terpaksa diarahkan pada lahan-lahan marjinal diluar Jawa, seperti lahan rawa pasang surut.

Lahan gambut merupakan salah satu ekosistem yang mempunyai potensi cukup besar untuk dikembangkan sebagai lahan pertanian karena arealnya cukup luas. Walaupun mempunyai prospek yang baik untuk dijadikan lahan pertanian, namun ada kendala yang dihadapi, yaitu kendala kimia yang membatasi produktivitas lahan gambut karena rendahnya ketersediaan hara dan tingginya


(2)

kandungan asam-asam organik yang dapat meracuni tanaman (Suastika et al., 2006; Barchia, 2006).

Tanah gambut dalam keadaan alami memiliki kemampuan menyimpan karbon dalam jumlah yang besar. Namun jika lahan gambut ini digunakan sebagai lahan pertanian, maka lahan gambut tersebut mengalami perubahan penggunaan lahan yang dapat mengakibatkan pelepasan karbon dari dalam tanah dalam bentuk CO2 dan CH4. Selain itu, kandungan bahan organik yang tinggi pada tanah

gambut menyebabkan dekomposisi gambut berjalan cepat karena pengaruh aktivitas mikroorganisme tanah dan akan melepaskan CO2 dan CH4. Penggunaan

lahan gambut untuk kegiatan pertanian dapat bermanfaat karena menyerap CO2

yang dilepaskan dari dalam tanah untuk proses fotosintesis yang hasilnya akan digunakan untuk pertumbuhan tanaman. Berdasarkan hal ini, maka penelitian tentang neraca karbon pada pengelolaan padi gambut dilakukan.

1.2. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mendapatkan data emisi GRK serta bahan amelioran yang cocok untuk digunakan di tanah gambut yang dapat menekan emisi GRK.


(3)

II.TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Pembentukan Gambut

Gambut diartikan sebagai material atau bahan organik yang tertimbun secara alami dalam keadaan basah berlebihan, bersifat tidak mampat dan tidak atau hanya sedikit mengalami perombakan. Dalam pengertian ini, tidak berarti bahwa setiap timbunan bahan organik yang basah adalah gambut. Pengertian gambut di sini sebagai bahan onggokan dan secara umum diartikan sebagai bahan tambang, bahan bakar (non-minyak), bahan industri, bahan kompos, dan lain sebagainya (Noor, 2001). Bahan organik pada tanah gambut belum mengalami perombakan yang jauh (Notohadiprawiro, 1986).

Proses pembentukan tanah gambut di Indonesia terutama di Sumatera dan Kalimantan dimulai sejak periode Holosen yang dianalisis dengan terbentuknya rawa-rawa sebagai akibat dari peristiwa transgresi dan regresi karena mencairnya es di kutub yang terjadi sekitar 4200 sampai 6800 tahun yang lalu (Sabiham, 1988 dalam Salampak, 1999). Pada periode sebelum Holosen yaitu periode Pleistosen, permukaan laut berada kira-kira 60 m di bawah permukaan laut sekarang. Kenaikan permukaan laut pada periode Holosen menyebabkan daratan di sekitar pantai menjadi tergenang dan membentuk rawa-rawa. Akibatnya vegetasi yang ada menjadi terbenam dan mati, kemudian mengalami proses dekomposisi secara lambat, sehingga terakumulasi bahan organik (Barchia, 2006).

Gambut terbentuk oleh lingkungan yang khas, yaitu rawa atau suasana genangan yang terjadi hampir sepanjang tahun. Kondisi langka udara (anaerob) akibat keadaan hidro-topografi berupa genangan, ayunan pasang surut, atau keadaan yang selalu basah telah mencegah aktivitas mikro-organisme yang diperlukan dalam perombakan. Dengan kata lain, pada kondisi ini laju penimbunan bahan organik lebih besar daripada mineralisasinya. Laju penimbunan gambut dipengaruhi oleh paduan antara keadaan topografi dan curah hujan dengan curahan perolehan air yang lebih besar daripada kehilangan air serta didukung oleh sifat tanah dengan kandungan friksi lanau (silt) yang rendah (Noor, 2001).


(4)

Berdasarkan tingkat kesuburannya, gambut dibedakan menjadi tiga golongan, yaitu gambut eutrofik, gambut oligotrofik, dan gambut mesotrofik (Noor, 2001) :

1. Gambut eutrofik adalah gambut yang banyak mengandung mineral, terutama kalsium karbonat; sebagian besar berada di daerah payau dan berasal dari vegetasi serat/rumput-rumputan, serta bersifat netral atau alkalin.

2. Gambut oligotrofik adalah gambut yang mengandung sedikit mineral, khususnya kalsium dan magnesium, serta bersifat asam atau sangat asam (pH < 4).

3. Gambut mesotrofik adalah gambut yang berada antara dua golongan di atas.

Sedangkan berdasarkan proses pembentukannya, gambut dapat dibedakan atas gambut ombrogen dan gambut topogen (Noor, 2001):

1. Gambut ombrogen adalah gambut yang pembentukannya dipengaruhi oleh curah hujan.

2. Gambut topogen adalah gambut yang pembentukannya dipengaruhi oleh keadaan topografi (cekungan) dan air tanah.

Gambut di Indonesia umumnya merupakan gambut ombrogen, terutama gambut pedalaman yang terdiri dari gambut tebal dan miskin akan unsur hara, digolongkan ke dalam tingkat kesuburan oligotrofik (Salampak, 1999). Sedangkan pada gambut pantai pada umumnya tergolong ke dalam gambut eutrofik karena adanya pengaruh air pasang surut.

Sabiham (1989) dalam Riwandi (2000) menyatakan bahwa gambut dikelompokkan berdasarkan tingkat dekomposisi, yaitu fibrik, hemik, dan saprik. Bahan fibrik biasanya diendapkan di lapisan gambut bawah, bahan ini banyak mengandung serat yang dipertahankan dalam bentuk asalnya dan dapat diidentifikasi asal botaninya. Bahan hemik dan saprik biasanya ditemukan di atas lapisan bahan fibrik.

2.2.Potensi dan Kendala Lahan Gambut Untuk Pertanian

Sebagian besar lahan gambut masih berupa tutupan hutan dan menjadi habitat bagi berbagai spesies fauna dan tanaman langka. Lebih penting lagi, lahan gambut menyimpan karbon (C) dalam jumlah besar. Gambut juga mempunyai


(5)

daya menahan air yang tinggi sehingga berfungsi sebagai penyangga hidrologi areal sekelilingnya. Konversi lahan gambut akan mengganggu semua fungsi ekosistem lahan gambut tersebut (Agus dan Subiksa, 2008).

Kawasan hutan rawa gambut merupakan ekosistem yang khas dan memiliki potensi yang sangat luar biasa, baik bagi masyarakat disekitar kawasan maupun bagi masyarakat global. Bagi masyarakat sekitar, hutan rawa gambut memiliki fungsi sebagai tempat penyimpanan air (aquifer), sebagai penyangga ekologi, sebagai lahan pertanian, sebagai tempat berkembangbiaknya flora dan fauna, dan sebagai tempat pemenuhan kebutuhan papan.

Pada umumnya lahan gambut di Indonesia bereaksi masam, memiliki tingkat kesuburan yang rendah, dan miskin unsur hara. Kandungan unsur hara mikro tanah gambut umumnya terdapat dalam jumlah yang sangat rendah, sehingga dapat menyebabkan gejala defisiensi bagi tanaman. Menurut Andriesse (1988), gugus karboksilat dan fenolat pada tapak pertukaran kation tanah gambut dapat membentuk ikatan kompleks dengan unsur mikro, sehingga sehingga unsur mikro menjadi tidak tersedia bagi tanaman. Selain itu, adanya reduksi yang kuat menyebabkan unsur mikro direduksi menjadi bentuk logamnya yang tidak bermuatan.

Ameliorasi dibutuhkan untuk mengatasi tingginya kemasaman tanah dan buruknya kesuburan tanah yang merupakan dua faktor pembatas utama dalam meningkatkan produktivitas lahan gambut (Barchia, 2006). Bahan yang digunakan untuk mengatasi tingginya kemasaman dan buruknya kesuburan tanah dinamakan amelioran. Karakteristik fisik gambut yang penting dalam pemanfaatannya untuk pertanian meliputi kadar air, berat isi (bulk density, BD), daya menahan beban (bearing capacity), subsiden (penurunan permukaan), dan mengering tidak balik (irriversible drying) (Agus dan Subiksa, 2008).

Bahan organik sebagai bahan amelioran tidak saja berkontribusi terhadap unsur hara, tetapi juga dapat menurunkan reaktifitas kation-kation meracun, seperti tingginya konsentrasi Al dan Fe, sehingga kerusakan yang ditimbulkan dapat dikurangi. Pada pH yang lebih tinggi lagi, stabilitas menjadi meningkat. Pada tanah sulfat masam, fenomena ini diharapkan akan terjadi secara baik karena proses pencucian akan menurunkan faktor kemasaman tanah.


(6)

Kapur baik sebagai kalsit (CaCO3) maupun dolomit (CaMg(C3O)2)

merupakan bahan yang sangat efektif dalam menurunkan faktor kemasaman tanah maupun meningkatkan ketersediaan Ca dan Mg (Rachim et al., 2000). Kejenuhan basa tanah gambut umumnya < 15%, sementara secara umum kejenuhan basa tanah gambut harus mencapai 30% agar tanaman dapat menyerap basa-basa tertukar dengan mudah.

Unsur silikat (Si) yang terdapat pada pupuk silikat diperlukan oleh tanaman supaya tanaman dapat tumbuh tegak atau tidak terkulai (Pulung, 2008). Sedangkan pupuk kandang ialah zat organik yang digunakan sebagai pupuk organik dalam pertanian. Pupuk kandang berperan dalam kesuburan tanah dengan menambahkan zat dan nutrien, seperti nitrogen yang ditangkap bakteri dalam tanah. Organisme yang lebih tinggi kemudian hidup dari jamur dan bakteri dalam rantai kehidupan yang membantu jaring makanan tanah.

Pembukaan lahan hutan yang didominasi oleh lahan bergambut untuk perkebunan kelapa sawit, karet dan kegiatan pertanian lainnya merupakan salah satu penyumbang emisi gas rumah kaca. Adapun konsekuensi dari dibukanya hutan bergambut, adalah: (1) pembukaan hutan bergambut akan lebih mempercepat dekomposisi bahan organik, yaitu dekomposisi anaerobik yang akan menghasilkan CH4dan dekomposisi aerobik yang akan menghasilkan CO2(kedua

gas tersebut akan menguap ke atmosfer), (2) tumpukan sisa-sisa tanaman di permukaan tanah akan mengalami respirasi heterotropik yang hasil akhirnya adalah CO2, (3) kebakaran hutan dan lapisan gambut, secara sengaja atau tidak

sengaja akan menghasilkan CO2, (4) respirasi oleh tanaman juga akan

menghasilkan CO2, (5) serapan CO2terjadi pada proses fotosintesis oleh tanaman,

hal ini berarti bahwa benaman pepohonan pada lahan terbuka dan terlantar lebih luas akan memperbesar serapan CO2(Setyanto et al., 2007). Pernyataan tersebut

sesuai dengan yang disampaikan oleh (Agus, 2007; CKPP, 2008) yang menyatakan bahwa dalam keadaan alami, hutan gambut merupakan penyimpan (net sink) dari karbon. Akan tetapi apabila hutan gambut dibuka sebagian besar karbon yang ada pada biomassa tanaman akan teroksidasi menjadi CO2, terutama

apabila pembukaan hutan disertai dengan pembakaran. Sejalan dengan terbakarnya biomassa di atas permukaan tanah, beberapa cm lapisan gambut juga


(7)

akan ikut terbakar. Selanjutnya apabila lahan tersebut didrainase (untuk keperluan pembangunan jalan dan pembukaan lahan pertanian) maka pengeringan dari gambut akan menyebabkan peningkatan emisi CO2.

Meskipun lahan gambut melingkupi hanya 3 persen dari keseluruhan permukaan daratan bumi, mereka menyimpan karbon dalam jumlah setara dengan yang dihasilkan oleh emisi dari bahan bakar minyak bumi selama 100 tahun pada tingkat penggunaan saat ini. Sehingga dengan demikian, gambut berperan sangat penting terhadap terjadinya perubahan iklim (CKPP, 2008).

Menurut Hadi et al., (2005), emisi gas N2O, CH4, dan CO2 pada lahan

gambut sangat kuat dipengaruhi oleh penggunaan lahan dan zona hidrologi. Lahan gambut Kalimantan, Indonesia berkontribusi kurang dari 0.3% dari total emisi gas N2O, CH4, dan CO2secara global.

2.3.Pemanasan Global

Cuaca di bumi sangat dipengaruhi oleh radiasi matahari. Radiasi matahari yang mencapai bumi mencapai 342 Wm-2. Sekitar 30% dari radiasi tersebut direfleksikan kembali ke angkasa luar karena adanya awan dan permukaan bumi. Permukaan bumi akan menyerap radiasi matahari sebesar 168 Wm-2, sedangkan atmosfer menyerap 67 Wm-2. Atmosfer mempunyai beberapa lapis gas, termasuk gas rumah kaca dan awan, yang akan mengemisikan kembali sebagian radiasi infra merah yang diterima ke permukaan bumi. Dengan adanya lapisan ini maka panas yang ada di permukaan bumi akan bertahan dan proses ini dinamakan efek rumah kaca (Sugiyono, 2006).

Pemanasan global yang tidak terkendali dapat menenggelamkan sekitar 2000 pulau kecil di Indonesia sebelum berakhirnya abad ini karena kenaikan permukaan air laut. Berbagai fauna dan flora tidak adaptif terhadap kenaikan suhu yang signifikan sehingga mereka akan punah. Berbagai tanaman pertanian juga terancam menurun produktivitasnya karena tidak adaptif dengan suhu yang lebih tinggi. Banjir dan kemarau yang ekstrim yang makin sering terjadi merupakan gejala dari pemanasan global dan sangat mempengaruhi produktivitas pertanian serta kelestarian lahan (Agus, 2007).

Emisi yang dihasilkan dari lahan pertanian sebagian besar disebabkan oleh pemupukan dan pengolahan lahan pertanian seperti pembakaran biomassa,


(8)

pertanian berkontribusi besar dalam emisi anthropogenik seperti NH3, N2O, CH4,

dan CO masing-masing lebih dari 95%, 81%, 70%, dan 52%, sementara NOx dan

CO2memberikan emisi relatif kecil yaitu 35% dan 21% (Isermann, 1994).

Pengaruh langsung dan tidak langsung pemanasan global terhadap hasil dan kualitas hasil pertanian dan kehutanan adalah: (a) pengaruh langsung terhadap pertumbuhan tanaman melalui perubahan laju fotosintesis dan efisiensi penggunaan air, karena konsentrasi CO2 terus melonjak, (b) pengaruh langsung

dari kenaikan suhu berupa berkurangnya ketersediaan air, dan faktor iklim lain yang ekstrim, dan (c) pengaruh tidak langsung melalui ledakan serangan hama dan penyakit, peningkatan populasi gulma, dan insiden kebakaran hutan. Tingginya konsentrasi CO2 juga menurunkan daya konduksi mulut daun

(stomata), maka menekan laju transpirasi dan memperbaiki efisiensi penggunaan air (Parry dan Materns, 1999 dalam Setyanto et al., 2007).

Dekomposisi bahan organik adalah degradasi senyawa organik yang komplek, mengubahnya sebagian ke dalam bentuk yang lebih sederhana. Dekomposisi menyebabkan kehilangan massa dan melepaskan hasil samping ke dalam bentuk yang lebih stabil (Inubushi et al., 2003). Kehilangan karbon dan nitrogen dalam bentuk N2O, CH4, dan CO2selama proses dekomposisi pada tanah

gambut perlu mendapat perhatian karena kontribusinya dalam perubahan iklim global. Selain itu, karbon dan nitrogen tanah harus disimpan untuk hasil produksi yang lebih lanjut (Hadi et al., 2005).

Barchia (2006), menyatakan bahwa kebakaran lahan gambut pada tahun 1997 di Indonesia menghasilkan emisi karbon sebesar 156.3 juta ton atau 75 persen dari total emisi karbon dan 5 juta ton partikel debu. Kemudian informasi ini diperbaharui dimana pada tahun 2002 diketahui bahwa jumlah karbon yang dilepaskan selama terjadinya kebakaran hutan dan lahan tahun 1997/1998 adalah sebesar 2.6 miliar ton. Apabila lahan gambut yang merupakan tempat akumulasi karbon (carbon reservoir) yang tersimpan selama ribuan tahun, kemudian dikelola dengan tidak bijaksana. Laju pelepasan CH4 dan CO2 meningkat sehingga dapat


(9)

2.4.Gas Rumah Kaca

Dalam sepuluh tahun terakhir peningkatan emisi terjadi secara alami, gas yang bersifat radiatif seperti CO2, CH4, N2O, yang biasa disebut gas rumah kaca.

Gas tersebut menangkap radiasi panas yang keluar dari permukaan bumi. Proses ini , umumnya lebih dikenal sebagai efek rumah kaca, meningkatnya panas bumi yang berpengaruh terhadap perubahan iklim secara global seperti suhu dan curah hujan. Emisi gas rumah kaca yang dihasilkan oleh Indonesia datang dari dua sektor utama, yaitu sektor kehutanan dan sektor energi. Sektor kehutanan berkontribusi sebesar 75 % dari total emisi gas rumah kaca yang diproduksi Indonesia, sementara sektor energi dan transportasi menyumbang 25 %. Saat ini Indonesia berada di peringkat ketiga negara pengemisi gas rumah kaca terbesar di dunia setelah Amerika Serikat dan Cina. Deforestasi massif dan pembukaan lahan gambut menyebabkan Indonesia berada pada posisi ini (Fiyanto, 2009).

Verge´ et al., (2007), berpendapat bahwa selama 30 tahun yang akan datang, Asia akan tetap menjadi konsumen terbesar meningkat dari 40 ke 55% dari konsumsi global (antara tahun 2000 dan 2015) dan sumber gas rumah kaca terbesar dari pertanian (sekitar 50% dari total emisi). Antara tahun 2000 dan 2030, total emisi gas rumah kaca diperkirakan meningkat sekitar 50% dengan pengaruh selanjutnya terhadap cuaca dan iklim.

2.2.1. Gas CH4

Metana (CH4) adalah salah satu gas rumah kaca yang dihasilkan melalui

dekomposisi anaerobik bahan organik. Untuk mengurai bahan organik menjadi CH4 dibutuhkan kondisi redoks potensial dibawah -100 mV dan pH berkisar

antara 6-7 (Wihardjaka dan Setyanto, 2007). Sedangkan menurut Lantin et al., (1998), produksi metana optimum terjadi dibawah kondisi tergenang: potensial redoks dibawah -200 mV, pH antara 6 dan 8, dan suhu diatas 10ºC. Produksi CH4

mengalami hambatan pada potensial redoks >-150 mV yang disebabkan oleh introduksi O2 bebas di dalam sistem. Nilai potensial redoks tersebut tidak perlu

diperdebatkan sebab mikrobia mempunyai kemampuan yang baik untuk menurunkan potensial redoks (Barchia, 2006). Lahan sawah tergenang adalah kondisi ideal untuk proses ini. Selain dekomposisi bahan organik, sumber pelepasan CH4 lainnya adalah fermentasi dari pencernaan hewan ternak, proses


(10)

pembakaran bahan organik yang tidak sempurna, serta akibat proses eksplorasi pertambangan minyak dan gas (Wihardjaka dan Setyanto, 2007).

Menurut Wassman et al., (2000), padi lebih baik tumbuh dalam kondisi terendam, terutama tergenang dengan mempertimbangkan produksi CH4 melalui

dekomposisi anaerobik pada bahan organik. Besarnya CH4 pada lahan sawah

ditentukan oleh ketersediaan substrat yang dihasilkan dari residu organik dan penggunaan pupuk organik. Emisi CH4 dipengaruhi 3 proses, yaitu: (1) produksi

CH4 dipengaruhi oleh Eh, pH, mineralisasi karbon, dan suhu; (2) Oksidasi CH4

dipengaruhi oleh oksigen bebas yang berdifusi melalui tanaman, tekanan CH4

parsial, dan suhu; (3) transfer secara vertikal dipengaruhi oleh kedalaman air dan tingkat tumbuh tanaman. Lantin et al. (1998), berpendapat bahwa besarnya dan pola emisi CH4 terlihat dipengaruhi oleh interaksi faktor biotik dan abiotik yang

termasuk suhu, sumber karbon, karakteristik tanah dan tanaman itu sendiri.

Emisi CH4 tertinggi terjadi pada siang hari, hal ini berkaitan dengan suhu

udara dan tanah pada kedalaman 5 cm tertinggi tercapai pada siang hari jam 12.00-18.00 waktu setempat dan terendah pada malam menjelang pagi hari dan hal tersebut seiring dengan emisi CH4 yang dihasilkan (Sunar, 1993).

Meningkatnya suhu akan merangsang kegiatan mikroorganisme, mempercepat laju dekomposisi dan memperbesar energi kinetik dan gas.

Rejim air merupakan faktor yang mempengaruhi potensial redoks tanah dan populasi metanogen. Ketika tanah tergenang potensial redoks mencapai <-150 mV dan tingginya pH tanah (6-7) (Chareonsilp et al., 1998) meningkatkan emisi metana dan produksi metana (Wanfang et al., 1998). Potensial redoks berkorelasi negatif dengan fluks CH4 dan pelepasannya terjadi pada saat potensial redoks

rendah (Adhya et al., 1998).

Menurut Wang dan Adachi (1998), lahan pertanian merupakan sumber metana dan berkontribusi 10-15% dari emisi metana secara global yang konsentrasinya di atmosfer meningkat 1%/tahun (Parashar et al., 1993). Yagi dan Minami (1998), menduga bahwa emisi metana secara global dari lahan pertanian sebesar 31 ± 10 Tg/tahun. Aktivitas bakteri metanogen dan metanotrop pada lahan sawah mengakibatkan akumulasi metana. Tanaman padi mempengaruhi aktivitas kedua bakteri tersebut melalui pelepasan eksudat akar yang merupakan sumber


(11)

substrat utama bagi bakteri metanogenik untuk produksi metana dan melalui pelepasan oksigen untuk oksidasi metana disamping peran aerenkima (Lantin et al., 1998) dalam media emisi metana dari lahan sawah ke atmosfer. Sekitar 60-90% CH4 dilepaskan dari lahan sawah ke atmosfer ditransportasikan melalui

aerenkima tanaman (Aulakh et al., 2000).

Rosot CH4selama ini dikenal hanyalah melalui dua proses yaitu konsumsi

oleh bakteri metanotrop dan reaksi dengan ion radikal di atmosfer bumi. CH4

dapat bertahan selama 12 tahun di atmosfer, sedangkan nilai potensi pemanasan globalnya (global warming potential) adalah 23 kali lebih besar dari CO2.

Konsentrasinya di atmosfer saat ini mencapai 1852 ppbv (Wihardjaka dan Setyanto, 2007).

2.2.2. Gas CO2

Pada dasarnya kehadiran gas rumah kaca di atmosfer sangat penting karena gas tersebut membuat iklim bumi menjadi hangat dan stabil. Tanpa gas rumah kaca di atmosfer, suhu permukaan bumi diperkirakan mencapai -18ºC. Tetapi konsentrasi gas rumah kaca yang berlebihan akan lebih banyak panas yang dipantulkan kembali ke muka bumi yang menyebabkan suhu bumi semakin panas. CO2 adalah gas rumah kaca yang menjadi sasaran untuk diturunkan

konsentrasinya di atmosfer. Secara alami, gas CO2 dihasilkan melalui

dekomposisi bahan organik secara aerobik, erupsi vulkanik, respirasi manusia, hewan, dan tanaman. Sedangkan akibat kegiatan manusia, CO2dihasilkan melalui

pembakaran bahan bakar fosil, pertambangan gas bumi, dan kegiatan-kegiatan pembakaran bahan organik seperti sampah, kayu bakar, dan sisa residu pertanian. Ketika revolusi industri baru dimulai, konsentrasi CO2 di atmosfer sekitar 290

ppmv (part per million volume). Saat ini konsentrasi CO2 meningkat menjadi 375

ppmv. Peningkatan CO2 tersebut disebabkan oleh ketidakseimbangan antar

besarnya sumber emisi (source) dengan daya rosotnya (sink). Pada dasarnya secara alami CO2 merupakan bagian penting dari proses fotosintesis tanaman.

Tetapi akibat perkembangan industri yang pesat, tingginya pemakaian bahan bakar fosil dan laju deforestasi hutan-hutan alam yang semakin cepat menyebabkan daya pelepasan CO2 dari sumber-sumber emisi lebih tinggi


(12)

Karbondioksida dilepaskan dari tanah melalui respirasi tanah, termasuk tiga proses biologi, yaitu respirasi mikroba, respirasi akar, dan respirasi hewan, dan 1 proses non-biologi, yaitu oksidasi kimia yang dapat terjadi pada suhu tinggi. Pada respirasi akar, sumber C adalah hasil dari fotosintesis dan di translokasikan ke akar, sementara pemupukan dan residu akar menyediakan karbon untuk respirasi mikroba dalam tanah (Rastogi, 2002).

Agus (2007), menyatakan bahwa sekitar separoh dari 200 t C/ha yang dikandung biomassa di atas permukaan tanah, karena dijadikan papan dan

plywood, akan bertahan, sedangkan separoh lainnya yang terdiri dari cabang dan ranting pohon serta pohon yang masih kecil seringkali dibakar. Seiring dengan itu lebih dari 10 cm lapisan atas tanah gambut juga ikut terbakar. Dalam 10 cm tanah gambut terkandung sekitar 60 t C/ha. Dengan demikian sekitar 160 t C atau 587 t CO2/ha akan teremisi dalam proses pembukaan hutan gambut. Dengan demikian

pengurangan emisi CO2 dari lahan gambut pada dasarnya adalah melalui: (1)

menghindari deforestasi hutan gambut, dan (2) memperbaiki sistem pengelolaan lahan.

Efek rumah kaca merupakan 4 isu ekologi utama secara global termasuk: (1) keseimbangan sumber daya lahan untuk generasi saat ini dan yang akan datang, (2) peran tanah dan kegiatan pertanian dalam emisi gas rumah kaca, (3) potensi pengelolaan sisa tanaman, restorasi tanah yang terdegradasi, dan konservasi pengolahan tanah dalam penambatan karbon pada tanah, dan (4) meminimumkan resiko degradasi tanah melalui peningkatan kualitas tanah. Tiap tahun peningkatan konsentrasi CO2 di atmosfer adalah 3.2 x 1015 g dan ada

potensi untuk mitigasi pengaruhnya melalui penambatan C dalam tanah (Lal, 1997).

2.2.3. Gas N2O

Dinitrogen oksida (N2O) adalah gas yang dihasilkan melalui proses

nitrifikasi dan denitrifikasi nitrogen dalam tanah. N2O dihasilkan dari proses

nitrifikasi yang merupakan proses aerobik baik dilakukan oleh jasad renik autotrop maupun heterotrop di dalam tanah. Proses nitrifikasi berlangsung dua tahap secara terpisah, yaitu (1) oksidasi ammonia menjadi nitrit dengan hasil berupa hidroksida amin yang dilakukan oleh bakteri pengoksidasi ammonia


(13)

seperti Nitrosomonas sp, (2) oksidasi nitrit menjadi nitrat dilakukan oleh bakteri pengoksidasi nitrit seperti Nitrobacter sp.

Denitrifikasi merupakan proses tahap akhir dalam siklus hara nitrogen dalam suasana anaerobik dimana nitrogen yang terfiksasi dikembalikan ke atmosfer dalam bentuk N2. Banyak jasad renik denitrifikasi heterotropik

menggunakan nitrat sebagai akseptor elektron utama untuk memperoleh energi dari senyawa organik ketika kandungan oksigen tersedia dalam tanah rendah. Beberapa jasad renik denitrifikasi autotropik bisa memperoleh energi dengan menggunakan nitrat untuk proses oksidasi senyawa anorganik. Namun sumber terbentuknya N2O terpenting terjadi pada proses denitrifikasi heterotropik melalui

tahapan-tahapan berikut:

NO3-→ NO2-→ NO → N2O→ N2

Berikut ini merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi proses nitrifikasi dan denitrifikasi:

Tabel 1. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses nitrifikasi dan denitrifikasi Nitrifikasi Denitrifikasi

Tersedianya substrat

NH4+, urea, asam

amino

NO3

-Konsentrasi O2 Tinggi Rendah

Penurunan karbon Tidak berpengaruh Tinggi (sumber energi) Kelembaban Sedang (30-70%) Tinggi (55-100%)

Suhu tanah Tinggi Tinggi

pH > 5 Rendah (< 5)

Sumber: Machefert et al., (2002)

Konsentrasi N2O di atmosfer relatif kecil hanya sekitar 319 ppbv. Waktu

tinggalnya yang lama di atmosfer (114 tahun) dan potensi pemanasan globalnya yang 296 kali lebih besar dibanding CO2menjadikan gas ini sebagai objek penting

untuk diturunkan konsentrasinya. N2O dihasilkan dalam proses nitrifikasi yang

bersifat oksidatif, jika dalam suasana sangat reduktif, lahan sawah dapat menjadi tempat penyerapan (sink) N2O (Agus dan Irawan, 2004 dalam Wihardjaka dan

Setyanto, 2007).

Emisi N2O umumnya dihasilkan akibat penggunaan pupuk yang


(14)

yang tidak tepat sasaran sangat besar pengaruhnya terhadap pembentukan N2O

(Setyanto, 2008). Diperkirakan antara 1-2% pupuk nitrogen yang diberikan ke tanaman terurai menjadi N2O. Cara mengurangi emisi N2O adalah dengan

penggunaan pupuk N lambat urai, pembenaman pupuk dekat ke lapisan perakaran, dan pemberian pupuk N sesuai takaran yang dibutuhkan tanaman (Wihardjaka dan Setyanto, 2007).

Machefert et al., (2002), menyatakan bahwa emisi N2O tertinggi

dihasilkan dari lahan pertanian dibandingkan hutan dan padang rumput. Faktor utama yang mempengaruhi adalah ketersediaan mineral nitrogen, suhu tanah, kadar air tanah, dan tersedianya senyawa organik. Kadar bahan organik tanah sangat mempengaruhi emisi CH4, CO2, dan N2O, dan pH tanah sangat

mempengaruhi penguapan NH3 (Li, 1998) yang akan teroksidasi membentuk

N2O. Pergantian N dan N2O berlangsung cepat pada waktu kering yang akan

mengakibatkan berkurangnya CH4 (Lantin et al., 1998). Volatilisasi pupuk N

sebagai N2, N2O, NO, dan NH3 adalah keadaan yang biasa. N2O dibentuk dalam

tanah saat pelepasan N dan juga diproduksi selama dekomposisi sisa tanaman, proses tersebut tergantung pada tingkat pelepasan N dan ketersediaan C dalam tanah. Emisi N2O dari tanah meningkat 16% antara tahun 1990 dan 2000 dan

pupuk N berkontribusi sekitar 4% (Verge´ et al., 2007).

2.5.Kandungan Karbon pada Tanaman

Dari 188 juta ha total luas daratan Indonesia, sekitar 20 juta ha di antaranya adalah lahan gambut. Gambut di Sumatera mempunyai kedalaman antara 0.5 sampai lebih dari 12 m, dan cadangan karbonnya mencapai 22.3 Gt dan di Kalimantan cadangan karbon lahan gambut sekitar 11.3 Gt. Untuk seluruh Indonesia cadangan karbon gambut diperkirakan mencapai 37 Gt (Agus, 2007).

Setyanto et al., (2007), menyatakan bahwa penanaman padi gogo di antara tanaman karet muda dan di antara tanaman kelapa sawit muda diperkirakan berfungsi sebagai sink gas CH4, karena tanah mengandung bakteri metanotropik

yang mampu menyerap gas CH4. Sementara, gas CH4 dihasilkan oleh rawa-rawa

disekitarnya yang umumnya gambut (source); lahan perkebunan disekitarnya berfungsi sebagai sink.


(15)

Menurut Agus (2007), jika lahan gambut dijadikan kebun kelapa sawit, dalam 15 sampai 25 tahun akan terjadi penambatan (sequestration) sekitar 367 t CO2atau setara dengan 100 t C/ha dalam bentuk pohon sawit. Untuk kebun sawit

yang mempunyai kedalaman drainase rata-rata 80 cm, terjadi emisi CO2 sekitar

73 t/ha/tahun atau 1820 t/ha/25tahun. Jadi net emisi CO2selama 25 tahun (dengan

memperhitungkan penambatan CO2 sebanyak 367 t/ha/25 tahun) adalah sekitar

1453 t/ha. Jumlah emisi CO2 dalam satu siklus kelapa sawit selama 25 tahun ini,

lebih dari dua kali emisi yang terjadi sewaktu pembukaan hutan yang besarnya sekitar 587 t/ha.

Lahan gambut menyimpan karbon pada biomassa tanaman, seresah di bawah hutan gambut, lapisan gambut dan lapisan tanah mineral di bawah gambut (substratum). Dari berbagai simpanan tersebut, lapisan gambut dan biomassa tanaman menyimpan karbon dalam jumlah tertinggi. Lahan gambut menyimpan karbon yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tanah mineral. Di daerah tropis karbon yang disimpan tanah dan tanaman pada lahan gambut bisa lebih dari 10 kali karbon yang disimpan oleh tanah dan tanaman pada tanah mineral (Agus dan Subiksa, 2008).

Karbon adalah bahan dasar penyusun semua senyawa organik. Pergerakannya dalam suatu ekosistem bersamaan dengan pergerakan energi melalui zat kimia lain; karbohidrat dihasilkan selama fotosintesis dan CO2

dibebaskan bersama energi selama respirasi. Dalam siklus karbon, proses timbal balik fotosintesis dan respirasi seluler menyediakan suatu hubungan antara lingkungan atmosfer dan lingkungan terestrial. Tumbuhan mendapatkan karbon dalam bentuk CO2dari atmosfer melalui stomata daun dan menggabungkannya ke

dalam bahan organik biomassanya sendiri melalui proses fotosintesis. Sejumlah bahan organik tersebut kemudian menjadi sumber karbon bagi konsumen. Respirasi oleh semua organisme mengembalikan CO2 ke atmosfer (Campbell et al., 2004 dalam Notonegoro, 2008).

Wikipedia (2009), menyatakan bahwa siklus karbon adalah siklus biogeokimia dimana karbon dipertukarkan antara biosfer, geosfer, hidrosfer, dan atmosfer Bumi (objek astronomis lainnya bisa jadi memiliki siklus karbon yang hampir sama meskipun hingga kini belum diketahui).


(16)

Dalam siklus ini terdapat empat reservoir karbon utama yang dihubungkan oleh jalur pertukaran. Reservoir-reservoir tersebut adalah atmosfer, biosfer teresterial (biasanya termasuk pula freshwater system dan material non-hayati organik seperti karbon tanah (soil carbon)), lautan (termasuk karbon anorganik terlarut dan biota laut hayati dan non-hayati), dan sedimen (termasuk bahan bakar fosil). Pergerakan tahunan karbon, pertukaran karbon antar reservoir, terjadi karena proses-proses kimia, fisika, geologi, dan biologi yang bermaca-macam. Lautan mengadung kolam aktif karbon terbesar dekat permukaan bumi, namun demikian laut dalam bagian dari kolam ini mengalami pertukaran yang lambat dengan atmosfer.

Neraca karbon global adalah kesetimbangan pertukaran karbon (antara yang masuk dan keluar) antar reservoir karbon atau antara satu putaran (loop) spesifik siklus karbon (misalnya atmosfer - biosfer). Analisis neraca karbon dari sebuah kolam atau reservoir dapat memberikan informasi tentang apakah kolam atau reservoir berfungsi sebagai sumber (source) atau lubuk (sink) karbon dioksida.


(17)

III.

METODOLOGI PENELITIAN

3.1.Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Balai Penelitian Lingkungan Pertanian (Balingtan) di Jakenan, Pati, Jawa Tengah pada bulan Februari-Juli 2009.

3.2.Bahan dan AlatBahan

 Benih padi varietas Punggur

 Gas N2, H2, udara tekan dan gas standar CH4, CO2, N2O

 Aquades

 Bahan amelioran, yaitu pupuk silikat, pupuk kandang, dolomit  Pupuk N, pupuk P2O5, pupuk K2O

Alat-alat

 Boks penangkap gas secara manual.  Boks penangkap gas secara otomatis.  Jarum suntik.

 Eh (alat ukur potensial redoks tanah) dan pH meter.  Elektroda

 Kromatografi Gas  Komputer

 Tanur pembakar dan cawan.  Grinder

3.3. Pelaksanaan Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Balai Penelitian Lingkungan Pertanian (Balingtan) di Jakenan, Pati, Jawa Tengah. Pengambilan data di Kebun Percobaan Balai Penelitian Lingkungan Pertanian (Balingtan) di Jakenan, Pati, Jawa Tengah dilakukan 1 minggu sekali. Percobaan dilakukan dengan menggunakan mikroplot berukuran 1.5 m x 1.5 m x 1 m yang telah terisi oleh tanah gambut yang telah diambil pada penelitian sebelumnya. Untuk menghindari


(18)

terjadinya pencampuran tanah penelitian dengan tanah disekitarnya, mikroplot tersebut dilapisi plastik sampai pada batas pematang dan penampang kayu dibuat lebih tinggi dari tanah sekitar. Berikut adalah skema mikroplot yang digunakan selama penelitian :

plastik

penampang kayu 0.3 m

0.8 m permukaan tanah

1.5 m

Gambar 1. Mikroplot Untuk Penanaman Padi

Dua belas mikroplot tersebut berisi tanah gambut dengan kedalaman 80 cm yang selanjutnya disusun dalam perlakuan bahan amelioran, yaitu :

1. Tanpa amelioran

2. Dolomit dengan dosis 2 ton/ha 3. Pupuk silikat 1 ton/ha

4. Pupuk kandang 2 ton/ha

Gambar 2. Skema Penyusunan Perlakuan di Mikroplot

Semua perlakuan bahan amelioran diberikan 8 hari sebelum tanam. Perlakuan disusun dengan rancangan acak kelompok yang diulang tiga kali. Mikroplot tersebut ditanami padi varietas Punggur dengan jarak tanam 20 cm x 20

1 4 2 3

3 2 4 1

4 1 3 2

III

II

I


(19)

cm. Bibit padi ditanam pada umur 21 hari setelah sebar (HSS). Masing-masing titik persemaian ditanami 2-3 benih padi. Pemupukan diberikan berkala dengan dosis pupuk sama untuk semua perlakuan, yaitu 90 kg N + 60 kg P2O5 + 60 kg

K2O/ha. Pupuk N dan K diberikan 3 kali, yaitu 1/3 bagian saat tanaman berumur 5

hari setelah tanam (HST), 1/3 bagian saat tanaman berumur 21 hari setelah tanam (HST), dan sisanya pada 42 HST. Pupuk P (P2O5) dalam bentuk SP36 diberikan

sekali pada saat 8 hari sebelum tanam bersamaan dengan pemberian bahan amelioran. Hara mikro (Zn) diberikan jika tanaman menunjukkan gejala kahat atau gejala dimana warna daun pada tanaman padi menjadi kuning. Pengendalian hama dan penyakit dilakukan secara intensif. Pengendalian hama utama lainnya dilakukan dengan penyemprotan insektisida sesuai dengan jenis hama yang berkembang di lapangan. Berikut adalah susunan tanaman padi dalam mikroplot yang diambil sebagai parameter tanaman.

1 Keterangan:

1. Titik pengamatan parameter tanaman.

2. Potensial redoks (Eh). 3. Boks manual.

4 4. Boks otomatik.

3

1 2

Gambar 3. Susunan Tanaman Padi Gambut Dalam Mikroplot

Data yang dikumpulkan selama penelitian adalah sebagai berikut :

1. Emisi CH4 yang diukur secara otomatik menggunakan Sistem Sampling Gas

Otomatik. Pengukuran dilakukan 1 minggu sekali selama 24 jam yaitu dimulai dari pukul 6 pagi dan berakhir pukul 6 pagi keesokan harinya. Suhu otomatis dicatat setiap pukul 06.00 dan 12.00. Pengukuran suhu otomatis diperlukan dalam penghitungan fluks CH4 dan suhu yang digunakan adalah pada pukul


(20)

06.00 sebagai suhu minimum dan pukul 12.00 sebagai suhu maksimum. Setiap mikroplot percobaan dipasang boks berukuran 1 m x 1 m x 1 m. Boks terbuat dari pleksiglas yang dilengkapi dengan pompa hidrolik untuk membuka menutupnya tutup boks secara otomatik. Di dalam boks tersebut dilengkapi 2 buah kipas elektrik (24 VDC) untuk mencampur gas atau udara dalam boks supaya homogen. Sampel udara dari dalam dihisap secara otomatik menuju alat kromatografi gas (GC), yang selanjutnya dianalisis konsentrasinya dengan menggunakan GC 8A Shimadzu yang dilengkapi dengan FID (Flame Ionisation Detector) dengan suhu kolom 75ºC dan suhu detektor 90ºC.

Gambar 4. Boks Otomatik Penangkap Gas CH4

2. Emisi CO2 dan N2O diukur secara manual setiap satu minggu sekali

menggunakan sungkup atau boks dengan ukuran 40 cm x 60 cm x 40 cm yang dioperasikan secara manual. Boks diletakkan disela-sela tanaman di luar boks penangkap CH4 . Sampel gas diambil dengan jarum suntik ukuran 10 ml.

Pengambilan sampel CO2 dan N2O dilakukan pada pukul 6 pagi. Untuk

mendapatkan kurva perubahan konsentrasi gas CO2dan N2O, setiap mikroplot

diambil 4 sampel gas dengan waktu pengambilan gas CO2(interval waktu 15

menit) pada menit ke- 15, 30, 45, dan 60. Sedangkan untuk pengambilan sampel gas N2O (interval waktu 20 menit) dilakukan pada menit ke- 20, 40,

60, 80. Perubahan suhu dalam boks selalu dicatat pada menit saat pengambilan sampel dan tinggi ruang boks (head space) pada awal pengambilan sampel. Sampel gas CO2 dan N2O dianalisa dengan


(21)

menggunakan GC Shimadzu 14A dengan suhu injektor 100ºC, kolom 100ºC, detektor 150ºC untuk sampel gas CO2 dan dilengkapi dengan detektor TCD

(Thermal Conductivity Detector) dan untuk sampel gas N2O dengan suhu

injektor 150ºC, kolom 60ºC, detektor 320ºC dan dilengkapi dengan detektor ECD (Electron Capture Detector) langsung setelah pengambilan sampel gas dari mikroplot.

Gambar 5. Boks Manual

3. Data parameter tanaman padi meliputi tinggi tanaman dan jumlah anakan yang diamati setiap 2 minggu sekali setelah tanam pindah sampai panen.

4. Data perubahan potensial redoks tanah (Eh) dan pH diukur dengan Eh dan pH meter bersamaan dengan pengambilan sampel gas CH4 yang dilakukan setiap

1 minggu sekali. Elektroda gelas diletakkan pada tengah-tengah perakaran rumpun padi sampai pada kedalaman 15 cm. Peletakkan elektroda di tengah perakaran dimaksudkan untuk mengetahui kondisi kapasitas oksidasi akar tanaman (root oxidizing power).


(22)

5. Komponen hasil tanaman yang diukur adalah berat biomassa (atas dan bawah), jumlah malai, berat gabah panen, berat 1000 butir gabah, persentase gabah hampa dan gabah isi, serta kandungan karbon pada tanaman padi dan gulma.

6. Pengukuran kandungan C pada tanaman (akar, jerami, gabah, dan gulma) dilakukan dengan mengeringkan sampel tanaman hingga kadar air ± 2% menggunakan oven pengering. Biomassa yang telah kering kemudian dihancurkan menggunakan mesin grinder hingga berbentuk serbuk. Berikut adalah proses pengukuran kandungan C selanjutnya (Yulianto, 2008):

 Biomassa tanaman yang telah dihaluskan kemudian ditimbang, lalu ditempatkan dalam cawan yang telah ditimbang bobotnya.

 Pemanasan dilakukan dalam tanur pembakar sampai 105ºC (menggunakan tanur pembakar 200ºC).

Gambar 7. Tanur Pembakar 200ºC

 Setelah didinginkan, cawan dan sampel biomassa ditimbang untuk mengetahui bobot yang hilang setelah pembakaran.

 Cawan dan sampel kemudian dimasukkan kembali ke dalam tanur pembakar hingga tanur bersuhu 700ºC (menggunakan tanur pembakar 900ºC), dan sampel telah berubah menjadi abu.


(23)

Gambar 8. Tanur Pembakar 900ºC

 Cawan dan sampel ditimbang kembali untuk mengetahui kadar C yang tertinggal dalam tanaman.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini untuk mengetahui besarnya karbon yang dikandung oleh tanaman sangat sederhana. Biomassa tanaman yang telah dihaluskan dikeringkan dan diabukan dalam tanur pembakar. Analisis kandungan karbon pada tanaman dilakukan pada setiap plot, hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan keakuratan data kandungan karbon pada masing-masing perlakuan.


(24)

Berikut ini adalah bagan alir kegiatan penelitian serta kegiatan analisis kandungan karbon pada tanaman:

Gambar 9. Bagan Alir Kegiatan Penelitian Hasil analisis dari

Kromatografi Gas

Sampel gas dianalisis dengan Kromatografi Gas

Pengambilan sampel gas CH4, CO2,

dan N2O setiap 1 minggu sekali

Penanaman dan pemeliharaan Mikroplot diisi dengan tanah gambut


(25)

Gambar 10. Bagan Alir Kegiatan Analisis Kandungan Karbon pada Tanaman

Untuk menganalisis karbon organik dari sampel tanaman yang telah diambil menggunakan rumus sebagai berikut (Yulianto, 2008):

C-Organik (%) =

A

C

D

C

: 1.724 * 100

Keterangan:

A : Bobot Cawan Kosong (g).

B : Bobot Cawan Kosong + Contoh (g).

Biomassa yang telah dihaluskan ditimbang lagi

Biomassa diletakkan di cawan kemudian dimasukkan ke dalam tanur pembakar 2000C

Biomassa dan cawan ditimbang bersamaan

Biomassa dan cawan dimasukkan Kembali ke tanur pembakar 9000C

Biomassa dan cawan ditimbang


(26)

C : Bobot Cawan Kosong + Contoh setelah dipanasi dengan suhu 105°C (g).

D : Bobot Cawan Kosong + Contoh setelah dipanasi dengan suhu 700°C (g).

1.724 : Faktor Koreksi ( kadar C 58% mudah teroksidasi)

Nilai 1.724 diperoleh dari hasil perhitungan , nilai 58% merupakan

kandungan karbon pada tanah yang mudah teroksidasi sehingga tanaman tidak mungkin memiliki kandungan karbon melebihi 58%.

3.4. Pengolahan Data Emisi

Gas CH4 yang diambil secara otomatik dan CO2 dan N2O yang diambil

secara manual kemudian dihitung dengan menggunakan persamaan rumus berikut:

E =

×

×

×

.

.

E = Emisi gas CH4dan CO2(mg/m2/hari) sedangkan N2O

(µg/m2/hari)

dc/dt = Perbedaan konsentrasi CH4, CO2dan N2O per waktu

(ppm/menit)

Vch = Volume boks (m3)

Ach = Luas boks (m2)

mW = Berat molekul CH4, CO2dan N2O (g)

mV = Volume molekul CH4, CO2dan N2O (22.41 L)

T = Temperatur rata-rata selama pengambilan sampel (ºC)

3.5. Analisis Data

Data parameter-parameter tanaman dianalisis dengan menggunakan ANOVA (analysis of varian). Perbedaan dari masing-masing nilai tengah akan ditentukan dengan menggunakan uji Duncan pada P = 0.05. Analisis statistik menggunakan software SAS (system analysis statistic) versi 6.01.


(27)

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1.Emisi Gas Rumah Kaca pada Setiap Pemberian Bahan Amelioran

Gas rumah kaca yang dihasilkan dari lahan pertanian terutama lahan pasang surut mempunyai kontribusi dalam pemanasan global. Pemberian bahan amelioran pada tanah gambut dimaksudkan untuk menekan emisi yang dihasilkan dari lahan tersebut. Penelitian tentang “Neraca Karbon pada Pengelolaan Padi Gambut” ini dilakukan di Balingtan, tepatnya di Jakenan, Pati-Jawa Tengah. Lokasi penelitian secara geografis terletak pada koordinat 6° 45’ LS dan 111° 40’ BT serta beriklim D menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson dengan curah hujan rata-rata kurang dari 1600 mm/tahun.

4.1.1. Emisi Gas CH4

Lahan sawah pasang surut banyak mengandung bahan organik yang dapat dimanfaatkan oleh bakteri metanogen untuk pembentukan CH4. Selain itu, kondisi

lahan yang selalu tergenang (anaerobik) mendukung aktivitas bakteri metanogen untuk mendekomposisi bahan organik tersebut dalam proses pembentukan CH4.

Menurut Wassman et al., (2000), pengairan secara terus menerus dan pemberian pupuk anorganik memberikan nilai emisi yang bervariasi dari 15 sampai 200 kg CH4/ha/musim. Pada suhu rendah membatasi emisi CH4di daerah

iklim sedang dan subtropik seperti di Cina Utara dan India Utara. Perbedaan pada daerah beriklim sedang (sampai iklim tropika) mengindikasikan bahwa pentingnya karakteristik tanah dalam mempengaruhi potensi emisi CH4. Neue dan

Roger (1994), menyatakan bahwa suhu dan pH tanah tidak membatasi proses metanogenesis tetapi mengontrol intensitasnya.

Varietas padi yang digunakan dalam penelitian ini adalah pungur. Punggur merupakan varietas yang baik ditanam pada lahan potensial, gambut, dan sulfat masam (Suprihatno et al., 2007). Kondisi tanaman padi pada fase awal pertumbuhan terlihat sehat walaupun berada dalam boks penangkap gas. Hal tersebut dapat dilihat pada Gambar 11.


(28)

Gambar 11. Tanaman Padi di dalam Boks Penangkap Gas

Lokasi pengukuran emisi CH4 dilakukan di Kebun Percobaan Balai

Penelitian Lingkungan Pertanian (Balingtan), Jakenan, Pati, Jawa Tengah. Pengukuran dimulai pada 11 hari sebelum tanam pindah, tanam pindah dilakukan pada tanggal 1 Maret 2009. Pengukuran tersebut dimaksudkan untuk mengetahui besarnya emisi sebelum tanam sampai dengan panen.

Gambar 12. Lokasi Pengukuran Emisi CH4

Tanah gambut yang ditanami tanaman padi varietas punggur ini diberikan perlakuan penambahan amelioran yang berbeda dan mempunyai pola fluktuasi emisi CH4 harian yang sangat beragam mulai dari awal pertumbuhan sampai

panen (Gambar 13). Perbedaan tersebut mungkin dipengaruhi oleh kandungan amelioran pada setiap perlakuan yang berpotensi menekan emisi gas CH4. Selain

itu, pemberian amelioran juga dapat mengatasi tingginya kemasaman tanah dan buruknya kesuburan tanah.


(29)

Gambar 13.

Gambar 14.

Dari grafik fluks keempat perlakuan mem masing perlakuan. Fluks mengalami peningkatan

menurun ketika tanaman memasuki fase reproduktif hingga menjelang panen. Gambar 13. Fluks CH4pada Setiap Pemberian Bahan Amelioran pada

Pertanaman Padi di Tanah Gambut

Gambar 14. Fluks Kumulatif CH4pada Setiap Pemberian Bahan

Amelioran pada Pertanaman Padi di Tanah Gambut

fik fluks CH4 terlihat pada fase-fase pertumbuhan

erlakuan mempunyai pola fluktuasi yang hampir seragam perlakuan. Fluks CH4 dari keempat perlakuan tersebut

peningkatan pada awal masa pertumbuhan (fase

menurun ketika tanaman memasuki fase reproduktif hingga menjelang panen. pada Setiap Pemberian Bahan Amelioran pada

pada Setiap Pemberian Bahan Amelioran pada Pertanaman Padi di Tanah Gambut

pertumbuhan tanaman dari seragam antar

masing-tersebut cenderung (fase vegetatif) dan menurun ketika tanaman memasuki fase reproduktif hingga menjelang panen.


(30)

Dari Gambar 14 dapat terlihat secara mudah fluks CH4 yang

mengemisikan paling tinggi dan yang paling rendah. Fluks CH4 terendah

dihasilkan oleh tanaman padi dengan perlakuan pupuk kandang, dan yang tertinggi dengan perlakuan tanpa amelioran. Dengan pemberian perlakuan pupuk kandang tanaman padi mampu mengemisikan gas CH4lebih rendah dibandingkan

dengan tanpa amelioran, dolomit, serta pupuk silikat.

Pada umur 11 hari sebelum tanam pindah (belum ada tanaman) fluks CH4

masih sangat rendah. Pada pengukuran dua minggu berikutnya (1 HST) fluks CH4 sudah mengalami peningkatan dibanding pengukuran fluks CH4 tanpa

adanya tanaman, tetapi lebih rendah dari pengukuran pada umur 6 hari sebelum tanam. Hal tersebut mungkin disebabkan fotosintat yang dihasilkan oleh tanaman digunakan untuk proses adaptasi fisiologis tanaman terhadap kondisi lingkungan yang baru.

Pada saat fase vegetatif, mulai dari perkecambahan biji sampai menjelang primordia, fluks CH4 dari keempat perlakuan tersebut meningkat seiring dengan

meningkatnya pertumbuhan tanaman. Pada fase ini, fotosintat yang dihasilkan tidak banyak digunakan untuk pertumbuhan tanaman sehingga eksudat akar yang dikeluarkan cukup besar. Fase pertumbuhan vegetatif ditandai dengan jumlah anakan bertambah cepat, bertambahnya tinggi tanaman dan jumlah daun (Yoshida, 1981 dalam Ernawanto et al., 2003). Jumlah pori-pori mikro di daun yang meningkat pada fase vegetatif aktif serta bertambahnya ruang distribusi akar akan meningkatkan bidang kontak antara jaringan kortek akar dengan metana yang terbentuk di rizosfer sehingga difusi metana dari rizosfer ke dalam akar akan meningkat pula (Ernawanto et al., 2003). Sedangkan menurut Schutz et al., (1989) dalam Suharsih et al., (2004), emisi gas CH4 terbesar terjadi saat fase

reproduksi tanaman padi, ketika aktivitas metabolisme tanaman sangat tinggi, yang pada gilirannya akan menghasilkan eksudat akar dalam jumlah besar. Eksudat atau hasil autoksis akar padi merupakan sumber karbon bagi bakteri metanogenik penghasil gas CH4.

Raimbault et al., (1977) dalam Yulianto (2008), menyatakan bahwa 90% CH4 yang dilepaskan dari sawah ke atmosfer dipancarkan melalui tanaman dan


(31)

daun, batang, dan akar yang berkembang dengan baik menyebabkan pertukaran gas pada tanah tergenang berlangsung cepat. Pembuluh tersebut bertindak sebagai cerobong (chimney) bagi pelepasan CH4 ke atmosfer. Suplai O2 untuk respirasi

pada akar melalui pembuluh aerenkima dan demikian pula gas-gas yang dihasilkan dari dalam tanah, seperti CH4akan dilepaskan ke atmosfer juga melalui

pembuluh yang sama untuk menjaga keseimbangan termodinamika.

Kemampuan tanaman padi dalam mengemisi metana beragam, bergantung pada sifat fisiologis dan morfologis suatu varietas. Selain itu, masing-masing varietas mempunyai umur dan aktivitas akar yang berbeda yang erat kaitannya dengan volume emisi metana. Emisi metana ditentukan oleh karakteristik tanaman, diameter rongga aerenkima, eksudasi akar, daya oksidasi akar, serta pemupukan dan pengaturan air. Hasil penelitian di Jakenan, Pati Jawa Tengah, menunjukkan lama tumbuh tanaman juga menentukan besarnya emisi metana dari lahan sawah. Makin lama periode tumbuh tanaman, makin banyak eksudat dan biomasa akar yang terbentuk sehingga emisi metana menjadi tinggi (Setyanto, 2006).

Pada 36-43 HST fluks CH4 cenderung tinggi, namun jumlah anakan

maksimum terjadi pada 50 HST dan fluks CH4 cenderung turun. Hal ini

disebabkan karena pada umur 50 HST tanaman padi sudah mengalami proses pembentukan malai (fase bunting) walaupun jumlah anakan yang dihasilkan sudah mencapai maksimum. Dan pada 50-78 HST penurunan fluks terjadi secara perlahan, setelah 78 HST penurunan fluks terjadi secara tajam. Hal tersebut mungkin disebabkan oleh pada 50-78 HST terjadi proses pengisian malai dan setelah 78 HST terjadi proses pemasakan biji. Penguraian fotosintat untuk pengisian malai dan proses pemasakan biji akan menyebabkan semakin kecilnya eksudat akar yang dilepaskan oleh akar sehingga pembentukan CH4 menjadi

rendah.

Menurut Setyanto et al., (1999), besarnya emisi CH4 berkaitan dengan

besarnya C organik dan nisbah C/N. Pupuk kandang yang mempunyai nisbah C/N rendah dan relatif mengemisi CH4 lebih rendah. Selain itu, pupuk kandang

diperlukan untuk memperbaiki produksi padi dan juga menurunkan emisi CH4


(32)

Pemberian pupuk kandang selain dapat meningkatkan kesuburan tanah juga dapat memelihara keseimbangan hara dalam tanah. Pupuk kandang tidak hanya mengandung unsur nitrogen, asam fosfat, dan kalium saja tetapi juga mengandung semua unsur hara makro dan mikro yang dibutuhkan oleh tanaman (Souri, 2001).

Pemberian dosis pupuk yang sama untuk setiap plot dan penambahan bahan amelioran pupuk kandang akan semakin meningkatkan kandungan unsur nitrogen (N) dan kalium (K) pada tanah. Peningkatan kadar K dalam jaringan tanaman mendorong proses regulasi tanaman meningkat terutama dalam perubahan gula sederhana seperti karbohidrat dan asam-asam amino menjadi protein yang sulit berdifusi ke luar melalui akar karena ukuran dan bobot molekulnya yang lebih besar (Marschner, 1986; Mengel dan Kirkby, 1987 dalam Basir, 1995). Kondisi ini dapat mengurangi jumlah eksudat akar yang akan mempengaruhi pembentukan CH4(Basir, 1995).

4.1.2. Emisi Gas CO2

Meningkatnya konsentrasi oksigen pada kondisi reduksi dapat menghambat produksi gas CH4 karena CH4 akan teroksidasi oleh bakteri

metanotrop (bakteri yang mengkonsumsi CH4) menjadi CO2 (Wahyuni et al.,

2007; Setyanto, 2008). Karbondioksida merupakan komponen terbesar yang diemisikan dari lahan pertanian. Walaupun emisi CO2 sangat tinggi di pertanian

padi tetapi gas ini akan digunakan kembali oleh tanaman padi saat berlangsungnya proses fotosintesis dan akan dikonservasikan ke bentuk biomas tanaman. Oleh karena itu, emisi CO2 dari tanaman padi disebut sebagai zero net emission(Setyanto, 2008).

Tanah merupakan sumber utama CO2 atmosfer, namun juga dapat

berperan sebagai sink. Beberapa faktor yang mempengaruhi produksi dan emisi CO2 dari tanah, yaitu karakteristik tanah seperti tekstur tanah, kelembaban, pH,

ketersediaan C dan kadar N tanah, salinitas yang mempengaruhi produksi CO2

melalui aktivitas mikroba dalam tanah dan respirasi akar. Selain itu, faktor eksternal (pengaruh musim dan tekanan atmosfer) dan manipulasi kondisi lingkungan pada tanah, pengolahan tanah, irigasi, pemupukan juga berpengaruh terhadap produksi dan emisi CO2(Rastogi, 2002).


(33)

Perubahan penggunaan muka air di lahan gambut merubah keseimbangan dan dikenal dengan istilah

mikrobiologi tanah. Metabolisme karbon lebih lambat pada

terjadi proses metabolisme N-total gambut terkategori tanaman karena N dalam tinggi tersebut menyebabkan dalam tanah. Bila C/N pengembangan jaringan drainase meningkat untuk mendekomposisi dekomposisi bahan gambut) dan CH

Gambar 15.

Perubahan penggunaan lahan pada rawa gambut akan lahan gambut dan perubahan suhu secara drastis merubah keseimbangan dan pelepasan CO2dan CH4. Evolusi CO2

dengan istilah respirasi, sering dipakai sebagai indeks Metabolisme mikroba dan proses mineralisasi lambat pada suhu rendah, pada saat terjadi peningkatan

metabolisme dan respirasi yang akan melepaskan CO gambut terkategori tinggi, namun unsur hara N relatif kurang

N dalam bentuk N-organik dan pada tingkatan C/N menyebabkan terjadinya proses immobilisasi N Bila C/N rasio yang tinggi ini teroksidasi karena pengembangan jaringan drainase dan reklamasi, aktivitas mikrobiologi tanah

untuk mendekomposisi gambut dan melepaskan CO dekomposisi bahan gambut) dan CH4(Barchia, 2006).

Gambar 15. Fluks CO2pada Setiap Pemberian Bahan Amelioran pada

Pertanaman Padi di Tanah Gambut

akan mempengaruhi drastis sehingga akan

2dari tanah yang

sebagai indeks aktivitas mineralisasi dari senyawa peningkatan suhu akan melepaskan CO2. Kandungan

relatif kurang tersedia bagi tingkatan C/N rasio yang immobilisasi N oleh mikroba

teroksidasi karena adanya mikrobiologi tanah akan melepaskan CO2 (hasil utama


(34)

Gambar 16.

Pola fluks dan

Fluks CO2yang dihasilkan selama

pola kenaikan emisi CO Tanah gambut tertinggi dibandingkan dengan fluks CH4 dengan

dan CH4 dengan perlakuan

eksudat akar yang dihasilkan tanah gambut yang sangat tanah meningkat sehingga proses

mudah. Selain itu, adanya suplai oksigen dari atmosfer melalui aerenkima maupun dari turbulensi aliran

menyebabkan suasana (Barchia, 2006). Fluks pupuk silikat, dolomit,

menekan emisi CH4, juga dapat menekan emisi CO

4.1.3. Emisi Gas N2 Dinitrogen oksida terhadap pemanasan

Gambar 16. Fluks Kumulatif CO2pada Setiap Pemberian

Amelioran pada Pertanaman Padi di Tanah Gambut

fluks dan fluks kumulatif CO2 ditunjukkan pada Gambar

ng dihasilkan selama satu musim tanam sangat beragam dan pola kenaikan emisi CO2dari keempat perlakuan tersebut.

gambut dengan perlakuan tanpa amelioran memiliki dibandingkan dengan tiga perlakuan lainnya. Hal tersebut

dengan perlakuan tanpa amelioran. Tingginya hasil dengan perlakuan tanpa amelioran mungkin disebabkan

ng dihasilkan cukup tinggi dan jumlah karbon (C/N yang sangat tinggi menyebabkan aktivitas mikroorganisme tanah meningkat sehingga proses pembentukan CH4dan CO2dapat terjadi

mudah. Selain itu, adanya suplai oksigen dari atmosfer melalui aerenkima maupun aliran air yang membawa udara yang terperangkap

suasana oksidatif tetap terjadi pada kondisi tanah 2006). Fluks CO2 tertinggi setelah perlakuan tanpa amelioran

dolomit, dan pupuk kandang. Ternyata pupuk kandang sela , juga dapat menekan emisi CO2.

2O

Dinitrogen oksida merupakan salah satu gas rumah kaca yang pemanasan global. Konsentrasinya yang rendah namun

Setiap Pemberian Bahan Amelioran pada Pertanaman Padi di Tanah Gambut

pada Gambar 15 dan 16. tanam sangat beragam dan terdapat

memiliki fluks CO2

tersebut juga terjadi Tingginya hasil fluks CO2

disebabkan oleh jumlah on (C/N rasio) dalam mikroorganisme dalam dapat terjadi dengan mudah. Selain itu, adanya suplai oksigen dari atmosfer melalui aerenkima maupun terperangkap dalam air kondisi tanah tergenang tanpa amelioran adalah kandang selain dapat

kaca yang berpotensi rendah namun mempunyai


(35)

potensi pemanasan global yang lebih besar dibandingkan gas rumah kaca lainnya. Produksi dan emisi N2O sangat kuat dipengaruhi oleh besarnya pengairan dan

kontinuitasnya (Ball et al., 2008).

Nilai fluks N2O untuk setiap perlakuan beragam seperti yang terlihat pada

Gambar 17. Dari grafik terlihat bahwa pemberian aplikasi dolomit mengemisikan N2O paling tinggi dibandingkan dengan tiga perlakuan lainnya. Menurut Erickson

dan Keller (1997) dalam Hutabarat (2001), sumber utama N2O atmosfer berasal

dari proses mikrobiologi baik secara alamiah maupun antropogenik. Proses mikrobiologi N2O terdiri dari nitrifikasi dan denitrifikasi. Nitrifikasi adalah proses

oksidasi (aerobik) oleh bakteri autotrop maupun heterotrop mengubah amonium (NH4+) menjadi nitrit (NO2-) dan nitrat (NO3-). Sedangkan denitrifikasi adalah

proses reduksi nitrat secara biokimia dalam suasana anaerobik oleh bakteri heterotrop menjadi N2. Di samping proses mikrobiologi, karakteristik fisik dan

kimia juga berpengaruh terhadap produksi dan emisi N2O antara lain suhu tanah,

kandungan air tanah, tipe tanah, pH, tekstur, dan aerasi tanah. Karakteristik-karakteristik tersebut mempunyai hubungan yang linier dengan emisi N2O.

Dolomit (CaCO3.MgCO3) mengandung hara Ca dan Mg. Pupuk ini

dianggap pupuk netral walaupun sering sedikit menaikkan pH tanah (Rosmarkam dan Yuwono, 2002). Pengaruh kemasaman (pH) tanah terhadap emisi sangat kompleks tergantung dari adanya sumber denitrifikasi dan nitrifikasi. Jika denitrifikasi sebagai sumber utama, peningkatan pH cenderung akan menurunkan emisi sampai pH 6. Sedangkan jika nitrifikasi sebagai sumber utama emisi N2O,

emisi akan cenderung meningkat dengan meningkatnya nilai pH yang berkisar 6-8 (Granli, 1995 dalam Hutabarat, 2001).

Emisi N2O yang dihasilkan dengan perlakuan dolomit cenderung lebih

tinggi mungkin disebabkan oleh pengaruh pH tanah yang meningkat sehingga memberikan media aktivitas mikrobiologi tanah dalam keadaan optimum untuk mendegradasi gambut (Barchia, 2006) dan proses mikrobiologi yang terjadi adalah nitrifikasi sebagai sumber utama emisi. Sedangkan emisi yang terendah dihasilkan oleh perlakuan pupuk kandang. Walaupun pupuk kandang memiliki kandungan N yang cukup tinggi namun mengemisikan N2O paling rendah. Hal ini


(36)

diduga karena pemberian

pH tanah yang dapat menjadi kondisi optimum bagi bakteri pembentuk N

Gambar 17.

Pertanaman Padi di Tanah Gambut

Gambar 18.

Kemasaman tanah sedangkan pH tanah

pemberian amelioran pupuk kandang belum mampu pH tanah yang dapat menjadi kondisi optimum bagi bakteri pembentuk N

Gambar 17. Fluks N2O pada Setiap Pemberian Bahan Amelioran pada

Pertanaman Padi di Tanah Gambut

Gambar 18. Fluks Kumulatif N2O pada Setiap Pemberian

Amelioran pada Pertanaman Padi di Tanah Gambut

Kemasaman tanah pada perlakuan pupuk kandang berkisar tanah pada perlakuan dolomit berkisar 5.36-6.07.

mampu meningkatkan pH tanah yang dapat menjadi kondisi optimum bagi bakteri pembentuk N2O.

Bahan Amelioran pada

Setiap Pemberian Bahan Amelioran pada Pertanaman Padi di Tanah Gambut

kandang berkisar 5.25-5.87, 6.07. Kemasaman


(37)

tanah pada perlakuan pupuk kandang lebih rendah namun nilainya tidak berbeda jauh dengan perlakuan dolomit. Tingkat kemasaman tersebut lebih rendah dari tingkat kemasaman yang dibutuhkan oleh bakteri untuk pembentukan N2O. Selain

itu, mungkin juga dapat disebabkan oleh besarnya pemanfaatan N pada tanaman untuk pertumbuhan sehingga menyebabkan berkurangnya N (baik dalam bentuk NH4+ maupun NO3-) untuk pembentukan N2O. Wihardjaka dan Indratin (2002),

menyatakan bahwa efisiensi pupuk N ditentukan oleh besarnya N dari pupuk yang dapat dimanfaatkan tanaman dan kehilangan N dari sistem tanah-tanaman. Sehingga dapat dikatakan bahwa pemberian amelioran pupuk kandang untuk tanaman akan semakin efisien jika N dapat dimanfaatkan lebih banyak untuk proses pertumbuhan tanaman dibandingkan untuk proses nitrifikasi dan denitrifikasi.

4.2.Potensial Redoks dan pH Tanah

Perubahan potensial redoks tanah dan tingginya kemasaman tanah berpengaruh terhadap produksi dan emisi CH4 dari lahan sawah yang tergenang.

Kondisi tersebut akan mempengaruhi aktivitas bakteri metanogenik dalam merombak bahan organik untuk pembentukan CH4.

4.2.1. Potensial Redoks Tanah

Suatu petunjuk ketersediaan elektron dalam larutan tanah disebut potensi redoks tanah. Ketersediaan elektron merupakan petunjuk status oksidasi-reduksi tanah. Kondisi oksidasi-reduksi ini merupakan faktor pengontrol pembentukan CH4. Tahapan proses redoks yang terjadi di lahan sawah yang tergenang adalah

berkurangnya kandungan oksigen tanah, reduksi NO3, Mn4+, Fe3+, SO4, dan

reduksi CO2. Proses reduksi dari oksidan-oksidan tanah ini disebabkan oleh

aktifitas mikroorganisme yang berbeda. Oksigen akan direduksi oleh mikroorganisme anaerobik, sedangkan Mn4+ dan Fe3+ oleh bakteri fakultatif anaerobik. Semakin besar kandungan oksidan dalam tanah, semakin lama CH4

terbentuk (Wihardjaka et al., 2006).

Minamikawa dan Sakai (2005), berpendapat bahwa pengelolaan air di dasarkan pada potensial redoks tanah (Eh), yang disebut Eh control. Eh berpengaruh pada hasil padi dan emisi CH4. Reaksi oksidasi-reduksi


(38)

mempengaruhi banyak proses kimia yang terjadi dalam tanah termasuk kejenuhan, ketersediaan C, mikroorganisme, suhu, dan jenis reaksi redoks yang terjadi (Vaughan et al., 2009).

Gambar 19. Elektroda Gelas

Gambar 20. Pengukuran Potensial Redoks Tanah

Pengukuran potensial redoks tanah di tanah gambut ditunjukkan dalam Gambar 20. Dari grafik potensial redoks (Gambar 21) terlihat nilai potensial redoks bervariasi untuk masing-masing perlakuan. Pada awal pertumbuhan tanaman padi (1 HST) nilai potensial redoks masih berada pada kisaran positif. Selanjutnya, pada pengukuran minggu berikutnya nilai potensial redoks tanah berada pada kisaran negatif.


(39)

Gambar 21.

Nilai potensial dibandingkan tiga perlakuan Hasil pengukuran ini penambahan bahan amelioran oksidan dalam tanah

hasil pengukuran fluks

paling rendah. Selama pengukuran potensial redoks, potensial r pada perlakuan pupuk

tiga perlakuan lainnya, perlakuan pupuk kandang dikatakan bahwa semakin emisi CH4, CO2, dan N

adanya korelasi negatif kritis untuk pembentukan

et al., 1983 dalam Hadi

4.2.2. Kemasaman (pH) Tanah Reaksi tanah menunjukkan dinyatakan dengan nilai

hidrogen (H+) di dalam masam tanah tersebut.

Gambar 21. Perubahan Potensial Redoks (Eh) Tanah pada Pemberian Beberapa Bahan Amelioran di Tanah Gambut

potensial redoks dengan perlakuan pupuk kandang tiga perlakuan lainnya (tanpa amelioran, pupuk silikat, pengukuran ini menunjukkan bahwa kemungkinan

bahan amelioran pupuk kandang semakin memperkaya tanah yang dapat menghambat pembentukan CH

pengukuran fluks CH4dengan perlakuan pupuk kandang mengemisikan CH

paling rendah. Selama pengukuran potensial redoks, potensial redoks yang dicapai pupuk kandang selalu berada pada nilai tertinggi

lainnya, tetapi dalam hal mengemisikan CH4, CO

pupuk kandang mampu mengemisikan paling rendah. Sehingga bahwa semakin tinggi nilai potensial redoks, maka semakin

, dan N2O yang dihasilkan. Hadi et al., (2005), men

negatif antara emisi N2O dan potensial redoks. Potensial

pembentukan N2O dan pada kondisi reduksi adalah

-Hadi et al., 2005).

Kemasaman (pH) Tanah

tanah menunjukkan sifat kemasaman atau alkalinitas

dengan nilai pH. Nilai pH menunjukkan banyaknya konsentrasi di dalam tanah. Makin tinggi kadar ion H+di dalam

tersebut. Di dalam tanah selain H+ dan ion-ion lain ditemukan pada Pemberian Beberapa Bahan Amelioran di Tanah Gambut

kandang lebih tinggi pupuk silikat, dolomit). kemungkinan tanah dengan memperkaya oksidan-pembentukan CH4, karena dari

kandang mengemisikan CH4

paling rendah. Selama pengukuran potensial redoks, potensial redoks yang dicapai tertinggi dibandingkan , CO2, dan N2O

rendah. Sehingga dapat maka semakin rendah ., (2005), menyatakan bahwa redoks. Potensial redoks -200 mV (Smith

alkalinitas tanah yang banyaknya konsentrasi ion dalam tanah, semakin ion lain ditemukan pula


(40)

ion OH-, yang jumlahn tanah yang masam jumlah alkalis kandungan OH dengan OH-maka tanah 2003).

Tingginya kemasaman kandungan asam-asam

yang banyak mengandung oleh tingginya kandungan Tapak pertukaran tanah pH tanah rendah. Tanah

masam dengan pH < 4 (Barchia, 2006).

Gambar 22.

Pemberian bahan dan buruknya kemasaman terlihat pada Gambar pemberian amelioran sebelum tanam pindah rendah, namun setelah

amelioran) pH tanah mengalami

jumlahnya berbanding terbalik dengan banyaknya H masam jumlah ion H+ lebih tinggi daripada OH-, sedang kandungan OH- lebih banyak daripada H+. Bila kandungan

maka tanah bereaksi netral yaitu mempunyai pH = 7 (Hardjowigeno,

Tingginya kemasaman tanah gambut disebabkan oleh asam fenolat yang dihasilkan dari dekomposisi mengandung lignin. Tingginya kemasaman tanah

kandungan asam-asam organik, yaitu asam humat dan pertukaran tanah gambut yang didominasi oleh ion hidrogen

rendah. Tanah gambut sebagian besar bereaksi masam masam dengan pH < 4 (Barchia, 2006).

Gambar 22. Kemasaman Tanah (pH) pada Pemberian Beberapa Bahan Amelioran di Tanah Gambut

Pemberian bahan amelioran yang mampu memperbaiki kesubu kemasaman tanah dapat meningkatkan pH tanah Gambar 22. Nilai pH perlahan-lahan mengalami peningkatan amelioran dolomit, pupuk silikat, dan pupuk kandang.

pindah (sebelum pemberian amelioran) pH tanah cenderung setelah 6 hari sebelum tanam pindah (setelah tanah mengalami peningkatan. Selama satu musim tanam,

banyaknya H+. Pada tanah-, sedang pada tanah kandungan H+ sama pH = 7 (Hardjowigeno,

disebabkan oleh tingginya dekomposisi bahan organik tanah ini disebabkan humat dan asam fulvat. hidrogen menyebabkan masam sampai sangat

pada Pemberian Beberapa Bahan

memperbaiki kesuburan tanah pH tanah seperti yang mengalami peningkatan setelah kandang. Pada 11 hari tanah cenderung lebih (setelah pemberian musim tanam, nilai pH


(41)

dari dolomit sekitar 5.36-6.07, pupuk kandang sekitar 5.25-5.87, tanpa amelioran sekitar 5.15-5.98, dan pupuk silikat sekitar 5.14-5.63. Nilai pH tertinggi dihasilkan oleh tanah dengan perlakuan dolomit karena pada bahan amelioran dolomit mengandung bahan kapur yang mampu meningkatkan pH tanah dan pH terendah dihasilkan pada tanah dengan perlakuan pupuk silikat.

4.3.Parameter-parameter Tanaman

Parameter-parameter tanaman yang diukur meliputi jumlah anakan dan tinggi tanaman. Pengukuran dilakukan 2 minggu sekali yaitu pada 8, 22, 36, 50, 64, 78 HST. Parameter tanaman dianalisis statistik menggunakan Duncan Multiple Range Test (DMRT) untuk melihat ada tidaknya perbedaan antar perlakuan.

4.3.1. Jumlah Anakan dan Tinggi Tanaman

Pada tanaman padi jumlah anakan merupakan faktor penentu besarnya emisi CH4 yang dilepaskan dari tanah sawah karena semakin banyak jumlah

anakan semakin banyak cerobong yang menghubungkan antara rhizosfer dan atmosfer, maka akan semakin banyak pula emisi CH4 yang dilepaskan. Semakin

banyak jumlah anakan dapat meningkatkan kerapatan dan jumlah pembuluh aerenkima sehingga kapasitas angkut CH4 menjadi besar (Aulakh et al., 2000b

dalam Wihardjaka et al., 2006). Ruang udara pada pembuluh aerenkima daun, batang, dan akar yang berkembang dengan baik merupakan penyebab utama terjadinya pertukaran gas dari dalam tanah ke udara. Perbedaan gradien tekanan air di sekitar akar dengan ruang antar sel pada akar menyebabkan metan terlarut terdifusi. Pada dinding korteks, metan terlarut berubah menjadi gas lalu disalurkan ke batang melalui pembuluh aerenkima, kemudian dilepaskan ke udara melalui pori-pori mikro tanaman (Holzapfel-Pschorn et al., 1986 dalam Suharsih et al., 2004).

Pengukuran parameter tanaman sangat penting dilakukan untuk mengetahui pengaruh penggunaan amelioran terhadap jumlah anakan dan tinggi tanaman yang juga akan berpengaruh terhadap besarnya emisi CH4 yang akan

dilepaskan ke atmosfer. Semakin banyak jumlah anakan dan tinggi tanaman, maka akan semakin banyak CH4yang ditransportasikan dan dilepaskan ke atmosfer.


(42)

Tabel 2. Hasil analisis statistik jumlah anakan, tinggi tanaman, dan fluks CH4pada

setiap perlakuan amelioran selama satu musim tanam

Perlakuan Jumlah Anakan

8 HST 22 HST 36 HST 50 HST 64 HST 78 HST Tanpa

Amelioran 3 a 5 a 9 ab 10 ab 7 b 8 b

Dolomit 3 a 4 b 6 b 9 b 7 b 7 b

Pupuk Silikat 2 a 5 a 11 a 12 a 10 a 11 a

Pupuk Kandang 2 a 6 a 10 a 11 ab 8 ab 10 ab

Perlakuan Tinggi Tanaman

8 HST 22 HST 36 HST 50 HST 64 HST 78 HST Tanpa

Amelioran 27.5 a 48.1 a 65.1 a 78.3 a 92.5 a 99.4 a

Dolomit 29.9 a 39.6 a 57.3 a 70.2 a 81.7 a 87.7 b

Pupuk Silikat 27.9 a 46.3 a 64.7 a 78.6 a 92.4 a 96.8 a Pupuk Kandang 28.5 a 44.7 a 64.6 a 76.6 a 90.7 a 98.6 a

Perlakuan Fluks CH4(mg/m²/hari)

8 HST 22 HST 36 HST 50 HST 64 HST 78 HST Tanpa

Amelioran 572.9 a 736.1 a 796.2 a 552.5 a 507.1 a 475.3 a Dolomit 412.6 a 446.8 a 406.2 b 363.6 b 406.9 a 334.5 a Pupuk Silikat 634.1 a 669.5 a 712.8 ab 528.7 ab 488.1 a 441.1 a Pupuk Kandang 419.4 a 550.9 a 375.3 b 421.6 ab 323.2 a 303.1 a Angka sekolom yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 0.05 DMRT

Dari tabel hasil analisis statistik menunjukkan bahwa jumlah anakan pada 8 HST tidak ada perbedaan nyata antar perlakuan, sedangkan pada 22 HST hingga 78 HST terdapat perbedaan nyata antar perlakuan. Jumlah anakan maksimum terjadi pada 50 HST, dengan jumlah anakan maksimum tertinggi dihasilkan oleh tanaman padi dengan perlakuan pupuk silikat. Berbeda dengan jumlah anakan, tinggi tanaman pada 8 HST hingga 64 HST tidak terdapat perbedaan nyata antar perlakuan. Sedangkan pada akhir pengamatan (78 HST) terdapat perbedaan nyata antar perlakuan. Fluks CH4 tertinggi terjadi pada saat 36 HST, namun jumlah

anakan maksimum terjadi pada saat 50 HST dan CH4 yang diemisikan pada saat

tanaman berumur 50 HST lebih rendah dibandingkan pada saat tanaman berumur 36 HST. Hal tersebut disebabkan karena pada saat 50 HST tanaman padi mengalami proses pembentukkan malai (fase bunting) sehingga penguraian fotosintat untuk pembentukan malai menyebabkan eksudat akar yang dilepaskan semakin kecil sehingga CH4 yang dibentuk akan semakin kecil pula. Pada saat 50


(43)

CH4 yang diemisikan semakin rendah, selain itu proses pengisian malai juga

menyebabkan semakin kecilnya CH4 yang terbentuk. Penurunan jumlah anakan

disebabkan karena adanya tanaman yang mati sehingga jumlah anakan semakin berkurang.

4.3.2. Komponen Hasil

Komponen hasil padi menunjukkan produktivitas tanaman padi dalam memanfaatkan penggunaan pupuk, bahan amelioran, pengairan, suhu, udara, dan sinar matahari untuk proses pertumbuhannya. Unsur-unsur tersebut jika dimanfaatkan dengan baik oleh tanaman dapat meningkatkan hasil padi. Semakin efisien pemanfaatannya maka akan semakin tinggi hasil padi yang didapatkan. Data komponen hasil padi dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 3. Komponen hasil padi pada setiap perlakuan amelioran selama satu musim tanam

Perlakuan

Komponen hasil Tanpa amelioran Dolomit Pupuk silikat Pupuk kandang

Berat 1000 butir (gr) 34 34.2 34.7 34

∑ gabah hampa/rumpun 556 379 551 444

∑ gabah isi/rumpun 614 605 783 671

% gabah isi 52.4 62.1 58.3 60.4

Rata-rata ∑ anakan

produktif 9 8 10 9

Bobot akar (kg/m²) 0.160 0.106 0.210 0.142

Bobot jerami (kg/m²) 0.531 0.371 0.484 0.506

Total biomasa (kg/m²) 1.207 0.820 1.158 1.165

Dari tabel tersebut terlihat persentase gabah isi tertinggi dihasilkan oleh perlakuan dolomit, yaitu sebesar 62.1% dan terendah oleh perlakuan tanpa amelioran sebesar 52.4%. Ini membuktikan bahwa penggunaan bahan amelioran mampu meningkatkan persentase gabah isi dibanding tanpa menggunakan bahan amelioran. Bobot jerami dan total biomasa tertinggi dihasilkan oleh perlakuan tanpa amelioran masing-masing sebesar 0.531 kg/m2 dan 1.207 kg/m2. Besarnya nilai bobot jerami mungkin disebabkan karena mikroplot pada perlakuan amelioran mengalami kebocoran sehingga menyebabkan air yang berasal dari luar


(1)

Lampiran 15. Hasil analisis kandungan C pada tanaman di tanah gambut

U/P

Kandungan C pada Gabah (%)

Kandungan C pada Akar

(%)

Kandungan C pada Jerami (%)

Kandungan C pada Gulma (%)

I-1 56.28 55.48 54 52.48

I-2 55.68 54.59 50.75 55.86

I-3 55.76 53.65 52.12 52.34

I-4 55.89 52.39 50.3 50.37

II-1 55.94 51.73 51.37 51.41

II-2 55.41 52.57 50.75 50.17

II-3 55.67 53.03 51.76 50.09

II-4 56.05 53.86 50.75 55.37

III-1 55.89 52.05 52.08 55.33

III-2 54.93 54.59 50.14 53.03

III-3 54.83 56.35 52.05 53.8

III-4 55.61 56.19 55.85 54.7

1 : Tanpa Amelioran

2 : Dolomit

3 : Pupuk Silikat

4 : Pupuk Kandang


(2)

Lampiran 16. Hasil perhitungan kandungan C pada gabah per luas lahan

U/P GKG Kotor KA

14% (ton/ha)

Kandungan C pada Gabah

(ton/ha)

GKG Kotor KA 14% (kg/ha)

Kandungan C pada Gabah

(kg/ha)

I-1 5.59 3.14 5586.55 3144.11

I-2 3.60 2.00 3600.83 2004.94

I-3 5.18 2.89 5181.69 2889.31

I-4 5.56 3.11 5559.18 3107.03

II-1 5.04 2.82 5041.31 2820.11

II-2 3.09 1.71 3092.49 1713.55

II-3 4.14 2.30 4135.72 2302.36

II-4 5.49 3.08 5490.14 3077.22

III-1 4.84 2.70 4837.41 2703.63

III-2 3.59 1.97 3587.49 1970.61

III-3 4.60 2.52 4603.79 2524.26

III-4 4.46 2.48 4460.34 2480.39

Kandungan C pada

Gabah (ton/ha) =

⁄% × %

1 : Tanpa Amelioran

2 : Dolomit

3 : Pupuk Silikat

4 : Pupuk Kandang


(3)

Lampiran 17. Hasil perhitungan kandungan C pada akar per luas lahan

U/P

Akar (g)

KA Akar

(%)

Berat akar rumpun atas KA 30 % (gr/m2)

Berat akar pada

KA 30 % (kg/ha)

Kandungan C pada akar

KA 30% (kg/ha) Basah

(rumpun)

Kering (rumpun)

I-1 391.7 183.3 53.19 122.59 1225.94 680.15

I-2 270.8 141.7 47.69 105.86 1058.61 577.89

I-3 395.8 225.0 43.16 182.71 1827.07 980.22

I-4 283.3 166.7 41.18 140.06 1400.56 733.75

II-1 391.7 91.7 76.60 30.65 306.48 158.54

II-2 304.2 70.8 76.71 23.56 235.65 123.88

II-3 895.8 266.7 70.23 113.40 1134.00 601.36

II-4 520.8 120.8 76.80 40.05 400.48 215.70

III-1 395.8 204.2 48.42 150.44 1504.39 783.03

III-2 329.2 104.2 68.35 47.09 470.92 257.07

III-3 491.7 137.5 72.03 54.93 549.33 309.55

III-4 491.7 137.5 72.03 54.93 549.33 308.67

KA Akar (%) =

×

%

Berat akar rumpun atas KA 30 % (gr/m

2

) =

×

Kandungan C pada

akar KA 30% (kg/ha) =

⁄ ×% %

1 : Tanpa Amelioran

2 : Dolomit


(4)

Lampiran 18. Hasil perhitungan kandungan C pada jerami per luas lahan

U/P

Berat jerami panen (g)

KA jerami

(%)

Jerami KA 30%

(gr/m2)

Berat jerami pada

KA 30 % (kg/ha)

Kandungan C pada jerami pada KA 30%

(kg/ha) Sampel

(basah)

Sampel (kering)

I-1 436 141 67.68 65.10 650.99 351.53

I-2 622 199 68.08 90.61 906.11 459.85

I-3 362 120 66.87 56.72 567.25 295.65

I-4 422 147 65.13 73.33 733.34 368.87

II-1 484 168 65.35 83.03 830.35 426.55

II-2 524 159 69.60 69.15 691.47 350.92

II-3 600 176 70.72 73.50 734.97 380.42

II-4 590 211 64.19 108.05 1080.55 548.38

III-1 438 153 65.17 75.96 759.56 395.58

III-2 564 182 67.72 84.05 840.49 421.42

III-3 458 160 65.09 79.74 797.37 415.03

III-4 539 170 68.43 76.74 767.38 428.58

KA Jerami (%) =

×

%

Berat Jerami KA 30 % (gr/m

2

) =

×

Kandungan

C pada jerami

KA 30% (kg/ha) =

⁄ × % %

1 : Tanpa Amelioran

2 : Dolomit


(5)

Lampiran 19. Hasil perhitungan kandungan C pada gulma per luas lahan

U/P

Berat gulma (g)

KA Gulma

(%)

Berat gulma ubinan atas

KA 30 % (gr/m2)

Berat gulma pada KA 30% (kg/ha)

Kandungan C pada Gulma KA 30% (kg/ha) Basah

(ubinan)

Kering (ubinan)

I-1 148 28.5 80.74 7.84 78.40 41.15

I-2 53.5 12.5 76.64 4.17 41.72 23.31

I-3 76.5 33.5 56.21 20.96 209.57 109.69

I-4 8.5 1.5 82.35 0.38 3.78 1.90

II-1 424.5 163.5 61.48 89.96 899.62 462.50

II-2 38.5 7.5 80.52 2.09 20.87 10.47

II-3 101 13 87.13 2.39 23.90 11.97

II-4 44 14 68.18 6.36 63.64 35.24

III-1 178.5 60.5 66.11 29.29 292.94 162.08

III-2 22 3.5 84.09 0.80 7.95 4.22

III-3 36.5 11 69.86 4.74 47.36 25.48

III-4 15.5 2.5 83.87 0.58 5.76 3.15

KA Gulma (%) =

×

%

Berat Gulma KA 30 % (gr/m

2

) =

×

Kandungan C

pada gulma

KA 30% (kg/ha) =

⁄ ×% %

1 : Tanpa Amelioran

2 : Dolomit


(6)

Mayang Hayuning Astuti. F14050555. Neraca Karbon pada Pengelolaan Padi Gambut. Dibawah bimbingan: Dr. Ir. Arief Sabdo Yuwono, MSc dan Dr. Ir. Prihasto Setyanto, MSc. 2009.

RINGKASAN

Pengembangan pertanian dengan mengintensifkan lahan pertanian yang tersisa dan melakukan ekstensifikasi terpaksa diarahkan pada lahan-lahan marjinal diluar Jawa, seperti lahan rawa pasang surut karena semakin menyusutnya lahan pertanian. Tanah gambut jika digunakan sebagai lahan pertanian, maka lahan gambut tersebut mengalami perubahan penggunaan lahan yang dapat mengakibatkan pelepasan karbon dari dalam tanah dalam bentuk CO2 dan CH4. Selain itu, penggunaan lahan gambut untuk kegiatan

pertanian dapat bermanfaat karena menyerap CO2 yang dilepaskan dari dalam tanah

untuk proses fotosintesis yang hasilnya akan digunakan untuk pertumbuhan tanaman. Berdasarkan hal ini, maka penelitian tentang neraca karbon pada pengelolaan padi gambut dilakukan.

Penelitian neraca karbon pada tanah gambut dengan menggunakan empat bahan amelioran (tanpa amelioran, dolomit, pupuk silikat, dan pupuk kandang) yang diharapkan mampu menekan emisi ini telah dilaksanakan di Kebun Percobaan Balai Penelitian Lingkungan Pertanian (Balingtan) di Jakenan, Pati, Jawa Tengah pada bulan Februari-Juli 2009. Perlakuan disusun menggunakan rancangan acak kelompok dengan tiga ulangan.

Hasil penelitian selama satu musim tanam menunjukkan bahwa emisi CO2

tertinggi dihasilkan oleh perlakuan tanpa amelioran dengan nilai total emisi sebesar 7382 kg/ha, kemudian diikuti oleh perlakuan pupuk silikat, dolomit, dan pupuk kandang dengan nilai total emisi masing-masing sebesar 6126 kg/ha, 5392 kg/ha, dan 5121 kg/ha. Total emisi CH4tertinggi dihasilkan oleh perlakuan tanpa amelioran sebesar 514.9 kg/ha,

kemudian diikuti perlakuan pupuk silikat, dolomit, dan pupuk kandang masing-masing sebesar 494.5 kg/ha, 354.6 kg/ha, dan 338.3 kg/ha. Sedangkan emisi N2O tertinggi

dihasilkan oleh perlakuan dolomit sebesar 0.162 kg/ha, diikuti pupuk silikat, tanpa amelioran, dan pupuk kandang masing-masing sebesar 0.125 kg/ha, 0.118 kg/ha, dan 0.103 kg/ha.

Hasil perhitungan Global Warming Potential (GWP) pada perlakuan tanpa amelioran menghasilkan nilai tertinggi sebesar 19.26 ton CO2-eq, dan GWP terendah

dihasilkan oleh perlakuan pupuk kandang sebesar 12.93 ton CO2-eq. Perlakuan tanpa

amelioran menghasilkan total kandungan C-Organik sebesar 4043 kg-C/ha, diikuti perlakuan pupuk kandang 3769.6 kg-C/ha, pupuk silikat 3615.1 kg-C/ha, dan dolomit 2639.4 kg-C/ha. Sedangkan GWP CO2-C yang dihasilkan dari perlakuan tanpa amelioran

sebesar 10906.2 kg CO2-C/ha, pupuk silikat 10213.4 kg CO2-C/ha, dolomit 7603 kg CO2