Dampak Penggunaan Pestisida dan Pengelolaan Air terhadap Kualitas Lingkungan dan Emisi Karbon di Lahan Gambut yang Disawahkan

(1)

DAMPAK PENGGUNAAN PESTISIDA DAN PENGELOLAAN

AIR TERHADAP KUALITAS LINGKUNGAN DAN EMISI

KARBON DI LAHAN GAMBUT YANG DISAWAHKAN

MAULIA ARIES SUSANTI

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2015


(2)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Dampak Penggunaan Pestisida dan Pengelolaan Air terhadap Kualitas Lingkungan dan Emisi Karbon di Lahan Gambut yang Disawahkan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya limpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2015

Maulia Aries Susanti NRP. P062100241


(3)

RINGKASAN

MAULIA ARIES SUSANTI. Dampak Penggunaan Pestisida dan Pengelolaan Air terhadap Kualitas Lingkungan dan Emisi Karbon di Lahan Gambut yang Disawahkan. Dibimbing oleh SUPIANDI SABIHAM, SYAIFUL ANWAR, DADANG dan IRSAL LAS.

Pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian khususnya tanaman pangan akan semakin meningkat. Pengaruh kegiatan sistem budidaya pertanian terhadap emisi gas rumah kaca (GRK) dan keberlanjutan lahan gambut telah banyak mendapat perhatian. Namun informasi mengenai pengaruh pestisida dan pengelolaan air terhadap emisi CO2 dan CH4 serta kualitas lingkungan di

pertanaman padi lahan gambut masih perlu digali. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh pestisida dan pengelolaan air terhadap emisi CO2, CH4

serta kualitas tanah dan air serta organisme. Juga untuk mempelajari pengaruh pestisida dan pengelolaan air terhadap produksi tanaman padi dan kelayakan usahatani serta keberlanjutannya di lahan gambut yang disawahkan.

Penelitian dilaksanakan di lahan gambut dangkal di Desa Kanamit Jaya, Kecamatan Maliku, Kabupaten Pulang Pisau Provinsi Kalimantan Tengah. Penelitian dilaksanakan pada musim kemarau 2012 dan musim hujan 2012/2013. Pada musim kemarau penelitian disusun dalam Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 3 ulangan. Perlakuan terdiri dari tanpa aplikasi pestisida atau kontrol (P0), aplikasi herbisida paraquat pada saat olah tanah (P1), aplikasi insektisida fenobucarb setiap minggu (P2), aplikasi insektisida fenobucarb setiap dua minggu (P3), aplikasi fungisida difenoconazole setiap minggu (P4), dan aplikasi fungisida difenoconazole setiap dua minggu (P5). Pada musim hujan perlakuan disusun dalam Rancangan Petak Terbagi (Split Plot) dengan 3 ulangan. Faktor petak utama adalah perlakuan pengelolaan air (A) yang terdiri dari; tanpa pengelolaan air atau kontrol (A0), macak-macak (A1), dan intermitten (A2). Faktor anak petak adalah perlakuan pestisida (P) yang terdiri dari; tanpa aplikasi pestisida atau kontrol (P0), aplikasi herbisida paraquat pada saat olah tanah (P1), aplikasi insektisida fenobucarb setiap minggu (P2), aplikasi insektisida fenobucarb setiap dua minggu (P3), aplikasi fungisida difenoconazole setiap minggu (P4), dan aplikasi fungisida difenoconazole setiap dua minggu (P5). Pemberian pestisida pada tanah gambut di musim kemarau meningkatkan konsentrasi asam ferulat dan asam sinapat namun menurunkan konsentrasi asam vanilat. Pada musim hujan asam-asam fenolat menurun selama periode pengamatan kecuali asam sinapat dan p-hidroksibenzoat keduanya mengalami peningkatan seiring periode pengamatan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan pestisida memiliki nilai fluks CO2 lebih rendah daripada kontrol. Perlakuan P2 memberikan hasil terbaik

dengan penekanan fluks CO2 terendah pada kedua musim tanam. Pada musim

kemarau penurunan rata-rata fluks CO2 berturut-turut P2 (37.7%), P4 (33.1%), P3

(14%) dan P5 (14%), sedangkan P1 tidak berbeda nyata terhadap kontrol (A0). Pada musim hujan penurunan fluks CO2 P2 (39.8%), P4 (29.2%), P3 (18.9%), P5

(16.9) dan P1 (10.5%). Selanjutnya perlakuan air intermittent (A2) memiliki nilai fluks CO2 36% lebih rendah daripada perlakuan air macak-macak (A1) dan


(4)

Hasil penelitian selanjutnya diketahui bahwa walaupun dalam jumlah yang sedikit, bahan aktif pestisida masih ditemukan di tanah hingga akhir masa pertanaman pada musim kemarau dan musim hujan. Perlakuan P1, P4 dan P5 masih menyisakan bahan aktif paraquat (P1) dan difenoconazole (P4, P5) berturut-turut sebesar 0.12 mg.kg-1, 0.02 mg.kg-1 dan 0.03 mg.kg-1 pada musim kemarau. Pada musim hujan masih ditemukan bahan aktif fenobucarb (P2, P3) dan difenoconazole (P4) sebesar 0.02 mg.kg-1, 0.03 mg.kg-1 dan 0,07 mg.kg-1. Perlakuan pengelolaan air intermittent (A2) memberikan hasil terbaik dengan tidak ditemukannya bahan aktif pestisida pada tanah dan air setelah akhir masa pertanaman.

Aplikasi pestisida dilaporkan dapat menurunkan kesuburan tanah dan proses biologi di dalam lingkungan tanah. Namun hasil penelitian memperlihatkan bahwa penggunaan pestisida dan pengelolaan air selama dua periode tanam, tidak memperlihatkan pengaruh buruk terhadap hara-hara tanah. Semua perlakuan termasuk kontrol memberikan pola yang sama, yaitu pH tanah, K dan Fe meningkat, C-organik, N dan P menurun. Pola yang sama juga diperlihatkan oleh perlakuan pengelolaan air terhadap hara-hara tanah.

Hasil pengamatan terhadap serangga diketahui bahwa perlakuan pestisida dan pengelolaan air tidak menurunkan populasi serangga. Ditemukan 16 spesies serangga yang termasuk ke dalam 7 ordo yaitu; Coleoptera, Hymenoptera, Hemiptera, Orthoptera, Diptera, Odonata dan Lipedoptera. Tiga ordo diantaranya tergolong sebagai serangga hama (37.5%) yaitu ordo Hemiptera, Orthoptera dan Lepidoptera. Selebihnya merupakan musuh alami yang terbagi menjadi predator (37.5%) dan parasitoid (25%). Namun perlakuan fungisida diketahui menurunkan populasi fungi pada kedua musim tanam. Penurunan fungi pada masing-masing perlakuan di musim kemarau tercatat P4 (99.8%), P5 (98.8%), P2 (98%), P3 (97%) dan P1 (89%). Sedangkan di musim hujan tercatat P4 (99%), P5 (97.5%), P2 (95,5%), P3 (94%), P1 (86%). Kondisi berbeda ditunjukkan oleh populasi bakteri pada perlakuan pestisida. Pada musim kemarau mengalami penurunan populasi berturut-turut P1 (84%), P2 (73%), P3 (81%), P5 (62%) dan P4 (34%). Pada musim hujan populasi bakteri mengalami peningkatan yang sangat tinggi yaitu P5 (2,000%), P1 (1,100%), P4 (1,005%), P2 (500%) dan P3 (170%). Perlakuan pengelolaan air A0 menurunkan populasi fungi sebesar 99.8%, disusul A2 96% dan perlakuan A1 hanya menurunkan 11% populasi fungi. Populasi bakteri meningkat pada semua perlakuan kecuali A2.

Berdasarkan analisa kelayakan usahatani dan indeks keberlanjutan, diketahui bahwa sistem budidaya yang diteliti layak untuk diterapkan pada tingkat petani karena menguntungkan dengan nilai rata-rata R/C rasio 1.5. Sistem budidaya yang diterapkan cukup berkelanjutan (nilai score > 50) berdasarkan kriteria masing-masing dimensi. Dimensi ekonomi memiliki nilai keberlanjutan 53.13, ekologi 69.49 dan dimensi sosial 61.79.

Dengan aplikasi yang tepat dan sesuai anjuran serta didukung oleh pengelolaan air yang baik, maka pestisida tidak menjadi penyumbang terhadap kenaikan emisi CO2 dan CH4 dan tidak menurunkan kualitas lingkungan di lahan

gambut yang disawahkan.

Kata kunci: Pestisida, pengelolaan air, kualitas lingkungan, emisi karbon, lahan gambut


(5)

SUMMARY

MAULIA ARIES SUSANTI. Impact of Pesticide and Water Management on Environmental Quality and Carbon Emission in Peatland’s Rice Field. Supervised by SUPIANDI SABIHAM, SYAIFUL ANWAR, DADANG and IRSAL LAS.

The conversion of peatland for agricultural uses, particularly for croplands, will keep increasing. The effect of agricultural system activities in producing greenhouse gasses (GHG) and peatland sustainability has attracted many concerns. However, the knowledge on pesticide’s and water management’s effects on CO2 and CH4 emission, and environmental quality in peatland’s rice field, are

still in need of improvement. This research aims to study the effect of pesticide and water management on the quality of soil, water, organism, and CO2 and CH4

emission. Moreover, this study also aims to study the effect of pesticide and water management on the production of rice corps, farming feasibility, and its sustainability in ricefield in peatland.

This research was conducted in tidal peatland in Kanamit Jaya Village, Maliku District, Pulang Pisau Regency, Central Kalimantan Province. This research was conducted in dry season of 2012 and rain season of 2012/2013. In dry season, this research was arranged in random group design with three repetitions. The treatments consisted of zero pesticide application or control (P0), herbicide paraquat application in soil tillaging (P1), and fenobucarb insecticide application in every week (P2), fenobucarb insecticide application every two weeks (P3), difenoconazole fungicide application every week (P4), and difenoconazole fungicide application every two weeks (P5). Moreover, in wet season, the treatments consisted of split plot design with three repetitions. Primary plot factor is water management factor (A) which consisted of: zero water management (control, A0), Saturated (A1), and intermitten (A2). Furthermore, plot factor are pesticide treatments as follow: zero pesticide or control (P0), paraquat herbicide application in soil tillaging (P1), fenobucarb insecticide application every week (P2), fenobucarb insecticide application every two weeks (P3), difenoconazole fungicide application every week (P4), and difenoconazole fungicide application every two weeks (P5).

Results show that the factors treated with pesticide have lower CO2 flux

than control. P2 treatment produce best result with lowest flux of CO2 in both

seasons. In dry season, the average flux decrease of CO2 are 37.7% for P2, 33.1%

for P4, 14% for P3, and 14% for P5, while P1 does not differ significantly from control (A0). In wet season, the decrease in CO2 flux are 39.8% for P2, 29.2% for

P4, 18.9% for P3, 16.9% for P5, and 10.5% for P1. Furthermore, the intermittent water treatment (A2) has CO2 flux value of 36%, lower than saturated treatment

(A1) and control (A0).

Results also show that, even in small amount, active pesticide ingredient can still be found in soil up to the end of planting season of dry and wet season. In dry season, paraquat active ingredient (P1) and difenoconazole (P4, P5) are found as much as 0.12 mg.kg-1, 0.02 mg.kg-1 and 0.03 mg.kg-1, respectively. Moreover, in wet season, active fenobucarb ingredient (P2, P3) and difenoconazole (P4) are also still be found as much as 0.02 mg.kg-1, 0.03 mg.kg-1 and 0,07 mg.kg-1. Intermittent water treatment (A2) produce best result with no active pesticide ingredient in soil and water at the end of planting period.


(6)

It is reported that pesticide application can also decrease soil’s fertility and soil’s biological processes. However, results show that pesticide usage and water management in both planting periods do not impact badly on soil’s nutrient. All treatments, including control treatment, produce similar patterns as follow: soil’s pH, K, and Fe are increasing while C-organic, N, and P are decreasing. The same patterns are also found from the water management treatment effects on soil’s nutrient.

Observation results toward insects show that pesticide and water management treatement do not decrease insect’s population. 16 insect species were found, all belong into 7 orders, such as: Coleoptera, Hymenoptera, Hemiptera, Orthoptera, Diptera, Odonata and Lipedoptera. Three orders of them (37.5%) are classified as pests: Hemiptera, Orthoptera and Lepidoptera. The remaining orders are classified as their natural enemies, categorized as predator (37.5%) and parasitoid (25%). However, results are show that pesticide treatment decrease the fungi population on both planting seasons. Fungi reduction from each treatments in dry season are determined are as follows: P4 99.8%, P5 98.8%, P2 98%, P3 97% and P1 89%. In dry season, the fungi reduction are as follows: P4 99%, P5 97.5%, P2 95.5%, P3 94%, and P1 86%. The different condition was shown by bacteria population on pesticide treatment. In dry season, the population reduction are 84%, 73%, 81%, 62%, and 34% for P1, P2, P3, P5, and P4, respectively. In wet season, the bacteria population increases drastically as much as 2,000%, 1,100%, 1,005%, 500%, and 170% for P5, P1, P4, P2, and P3 respectively. A0 water treatment reduced fungi population as much as 99.8%, A2 96%, and A1 treatment only reduced 11% of the fungi population. The bacteria population increased on all treatments, except on A2.

Based on farming feasibility analysis and sustainability index, it is determined that the evaluated cultivation system is feasible to be applied on farmer’s level for its profitability with R/C ratio of 1.5. The applied cultivation system is sustainable enough (score value > 50) based on the criteria of each dimension. The economic dimension has economical sustainability value of 53.13, economical value of 69.49, and social dimension of 61.79.

Using correct application and based on recomended amount, supported by good water management, pesticide will not contribute significantly in CO2 and

CH4 emission. Furthermore, it does not decrease the environmental quality in

peatland-based rice field.

Key words: Pesticide, water management, environment quality, carbon emission, peatlands


(7)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(8)

DAMPAK PENGGUNAAN PESTISIDA DAN PENGELOLAAN

AIR TERHADAP KUALITAS LINGKUNGAN DAN EMISI

KARBON DI LAHAN GAMBUT YANG DISAWAHKAN

MAULIA ARIES SUSANTI

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2015


(9)

Penguji Luar Komisi:

Penguji pada Ujian Tertutup: 1. Dr. Ir. Atang Sutandi, M.Si 2. Dr. Ir. Sugiyanta, M.Si

Penguji pada Sidang Promosi Terbuka:

1. Dr. Ir. Atang Sutandi, M.Si 2. Dr. Ir. Edi Husen, M.Sc.


(10)

Judul Disertasi

: Dampak Penggunaan Pestisida dan Pengelolaan Air terhadap Kualitas Lingkungan dan Emisi Karbon di Lahan Gambut yang Disawahkan

Nama : Maulia Aries Susanti NRP. : P062100241

Disetujui, Komisi Pembimbing

Prof.Dr.Ir. Supiandi Sabiham, M.Agr. Ketua

Dr.Ir. Syaiful Anwar, M.Sc. Prof.Dr.Ir. Dadang, M.Sc. Anggota Anggota

Prof(R).Dr.Ir. Irsal Las, APU Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Pengelolaan Dekan Sekolah Pascasarjana Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr NIP. 19610212 198501 1 001 NIP. 19650814 199002 1 001 Ujian Tertutup : 7 Agustus 2015 Tanggal Lulus: 01 September 2015 Sidang Promosi Terbuka: 25 Agustus 2015


(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga disertasi dengan judul ”Dampak penggunaan pestisida dan pengelolaan air terhadap kualitas lingkungan dan emisi karbon di lahan gambut yang disawahkan” di bawah bimbingan dan arahan komisi pembimbing, telah dapat penulis selesaikan.

Kebutuhan akan pangan khususnya beras yang semakin tinggi memacu pemanfaatan lahan-lahan sub optimal seperti lahan gambut untuk menjadi area produksi beras. Emisi gas rumah kaca dan pencemaran lingkungan pertanian menjadi konsekuensi yang menyertai pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian padi. Namun kandungan bahan organik lahan gambut yang sangat tinggi, memungkinkan terbentuknya mekanisme yang menghambat emisi GRK dan penurunan kualitas lahan akibat kegiatan pertanian padi. Kondisi ini menginspirasi penulis melakukan penelitian untuk menganalisa pengaruh penggunaan pestisida dan pengelolaan air di lahan gambut terhadap emisi CO2

dan CH4, serta terhadap kualitas lingkungan pertanian.

Atas tersusunnya disertasi ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham, M.Agr. (Ketua Komisi Pembimbing), Dr. Ir.

Syaiful Anwar, M.Sc., Prof. Dr. Ir. Dadang, M.Sc. dan Prof(R). Dr. Ir. Irsal Las, APU (Anggota Komisi Pembimbing) atas curahan waktu dan fikirannya dalam memberikan arahan dan bimbingan serta motivasi yang sangat berharga sejak penyusunan proposal, kegiatan penelitian hingga penyusunan disertasi ini.

2. Rektor dan Pimpinan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Institut Pertanian Bogor beserta staf seluruh staff atas layanan administrasi yang baik. 3. Dr. Ir. Sugiyanta, M.Si, Dr. Ir. Atang Sutandi, M.Si dan Dr. Ir. Edi Husen, M.Sc. selaku penguji luar komisi pada ujian tertutup dan sidang promosi terbuka atas saran dan masukannya.

4. Kepala Badan Litbang Pertanian dan Kepala Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian atas beasiswa dan izin yang memberi kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan studi di IPB.

5. Kepala Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa (BALITTRA) atas izin bagi penulis untuk melanjutkan studi serta dukungan dana penelitian, Rekan-Rekan Peneliti, Teknisi lapang dan laboratorium, Tata Usaha beserta Staff atas dukungan selama penulis menempuh studi di IPB.

6. Kepala Balai Penelitian Lingkungan Pertanian dan Kepala Laboratorium Residu Bahan Agrokimia beserta staff, atas bantuan dan diskusi selama penulis melaksanakan penelitian dan menyelesaikan studi.

7. Bapak dan Ibu Supani beserta keluarga yang telah mengijinkan penulis menggunakan lahan sawahnya sebagai lokasi penelitian. Juga atas dukungan tenaga dan pengalaman selama pelaksanaan penelitian, serta keramahan dan suasana kekeluargaan yang sangat membantu penulis selama pelaksanaan penelitian.

8. Kepada semua pihak yang telah berkontribusi baik langsung ataupun tidak langsung, baik moril maupun materil sejak penyusunan proposal, selama kegiatan penelitian di lapangan dan laboratorium hingga penyusunan disertasi ini.


(12)

9. Rekan-rekan seperjuangan PSL angkatan 2010, terimakasih atas persahabatan dan motivasi serta semangat kebersamaannya.

10. Terimakasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada Orang Tua, putra dan adik-adik tercinta atas dukungan serta doa dan kesabaran selama penulis menyelesaikan tugas belajar.

Semoga segala bantuan dan sumbangan pemikiran yang telah diberikan dalam disertasi ini bermanfaat bagi ilmu pengetahuan dan pembangunan, serta memperoleh imbalan yang terbaik disisi Allah SWT. Amin Yaa Robbal ‘aalamiin.

Bogor, Agustus 2015


(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xv

DAFTAR GAMBAR xvi

DAFTAR LAMPIRAN xviii

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang 1

Kerangka Pemikiran 3

Perumusan Masalah 4

Tujuan Penelitian 6

Manfaat Penelitian 6

Hipotesis 6

Ruang Lingkup Penelitian 6

Kebaruan(Novelty) 7

2 TINJAUAN PUSTAKA Lahan Gambut

Proses Pembentukan Gambut 9

Pengelompokkan Gambut 9

Karakteristik Fisik Gambut 10

Karakteristik Kimia Gambut 10

Hidrologi Lahan Gambut 11

Model Pengelolaan Air di Lahan Gambut 12 Emisi Gas Rumah Kaca di Lahan Gambut

Karbon Dioksida (CO2) 14

Metana (CH4) 15

Pestisida

Pengertian dan Jenis Pestisida 16

Transfer, Degradasi dan Persistensi Pestisida di Tanah 17 Interaksi Pestisida dengan Bahan Organik Tanah 18

3 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 20

4 PENGARUH PESTISIDA (Paraquat, Fenobucarb, Difenoconazole) DAN PENGELOLAAN AIR TERHADAP EMISI CO2, CH4 DAN

ASAM-ASAM FENOLAT PADA PERTANAMAN PADI DI LAHAN GAMBUT

Latar Belakang 24

Tujuan 25

Metodologi Penelitian 25

Hasil dan Pembahasan 31


(14)

5 PENGARUH PESTISIDA (Paraquat, Fenobucarb, Difenoconazole) DAN PENGELOLAAN AIR TERHADAP KUALITAS

LINGKUNGAN

Latar Belakang 48

Tujuan 49

Metodologi Penelitian 49

Hasil dan Pembahasan 51

Simpulan 63

6 KONDISI SOSIAL EKONOMI DAN STATUS

KEBERLANJUTAN USAHATANI PADI DI LAHAN GAMBUT

Latar Belakang 64

Tujuan 65

Metodologi Penelitian 65

Hasil dan Pembahasan 69

Simpulan 79

7 PEMBAHASAN UMUM 80

8 SIMPULAN DAN SARAN 82

DAFTAR PUSTAKA 84


(15)

DAFTAR TABEL

2.1 Jenis-jenis pestisida serta fungsi dan kegunaannya 17 3.1 Hasil analisa tanah lahan gambut di desa Kanamit Jaya, Kec.

Maliku. Kab. Pulang Pisau Kalimantan Tengah

22 3.2 Hasil analisa tanah awal terhadap residu pestisida 23 4.1 Fluks CO2 pada periode pengamatan di musim kemarau 2012 34 4.2 Rata-rata fluks CO2 pada pertanaman padi di lahan gambut pada

musim kemarau 2012

35 4.3 Fluks CO2 pada periode pengamatan di musim hujan 2012/2013 39 4.4 Rata-rata fluks CO2 pada pertanaman padi di lahan gambut pada

musim hujan 2012/2013

40 4.5 Fluks CO2 terhadap perngelolaan air di musim hujan 2012/2013 44

4.6. Interaksi antara perlakuan pestisida dan pengelolaan air terhadap fluks CO2 pada periode pengamatan di musim hujan 2012/2013

46 4.7 Interaksi antara perlakuan pestisida dan pengelolaan air terhadap

fluks CO2 pada periode pengamatan di musim hujan 2012/2013

47 5.1 Sifat kimia tanah pada perlakuan pestisida di musim kemarau

2012

51 5.2 Sifat kimia tanah pada perlakuan pestisida di musim hujan

2012/2013

52 5.3 Sifat kimia tanah pada perlakuan pengelolaan air di musim hujan

2012/2013

52 5.4 Bahan aktif pestisida di tanah dan air terhadap perlakuan pestisida

di lahan gambut pada musim kemarau 2012

53 5.5 Bahan aktif pestisida di tanah dan air terhadap perlakuan pestisida

di lahan gambut pada musim hujan 2012/2013

54 5.6 Residu pestisida di tanah dan air terhadap perlakuan pengelolaan

air di lahan gambut pada musim hujan 2012/2013

56 5.7 Jenis dan jumlah serangga tertangkap pada pertanaman padi di

lahan gambut pada musim kemarau 2012.

58 5.8 Jenis dan jumlah serangga tertangkap pada pertanaman padi di

lahan gambut pada musim hujan 2012/2013.

59 6.1 Nilai indeks dan kategori keberlanjutan 68 6.2. Pertumbuhan tanaman dan komponen hasil padi terhadap

perlakuan pestisida pada MK 2012

70 6.3 Pertumbuhan tanaman dan komponen hasil padi terhadap

perlakuan pestisida pada MH 2012/2013

70 6.4 Pertumbuhan tanaman dan komponen hasil padi terhadap

perlakuan pengelolaan air pada MH 2012/2013

70 6.5 Analisa kelayakan usahatani padi plot penelitian 71 6.6 S-stress and RSQ pada tiap-tiap dimensi 77


(16)

DAFTAR GAMBAR

1.1 Kerangka pemikiran penelitian 5

2.1 Hubungan bentuk lahan dengan keempat tipe luapan 12

2.2 Denah sistem aliran satu arah 13

2.3 Pintu otomatis pada saluran srainase tersier dalam sistem aliran

satu arah

13

3.1 Peta lokasi penelitian 20

3.2 Lahan sawah petani yang digunakan sebagai lahan penelitian (a) dan pintu air pada tata air makro di lokasi penelitian (b)

20 3.3 Ketebalan gambut (a) dan kedalaman pirit (b) 21 4.1 Pembuatan petak (a) dan petak-petak penelitian siap ditanam (b) 26 4.2. Persemaian (a) dan kegiatan penanaman bibit (b) 26

4.3 Rumus bangun Paraquat (1,1’-dimethyl-4,4’bipyridinium) (a), difenoconazole (1,3-dioxolan-2-yl]phenyl 4-chlorophenyl ether) (b) dan fenobucarb (2-sec-butylphenyl methylcarbamate) (c)

27

4.4 Ilustrasi perlakuan pengelolaan air 28

4.5 Bendungan (a) dibuat untuk mempertahankan ketinggian muka air saluran dan pintu air dipasang pada tiap saluran antar petakan, pintu akan ditutup (a) dan dibuka (b) pada saat memasukkan dan mengeluarkan air.

28

4.6 Sungkup yang digunakan untuk mengukur fluks di tanah dan tanaman (a) dan fluks di tanah (b)

29

4.7 Pengambilan sampel gas 29

4.8 Sampel gas pada syringe (a) dan Micro GC CP 4900 (b) 30 4.9 Tinggi muka air tanah (cm) pada musim kemarau 2012 32 4.10 Air pasang saluran primer < 50 cm hanya mampu membasahi

lahan melalui rembesan.

32 4.11 FluxCO2 pada hasil pengukuran di tanah serta tanah dan tanaman

pada musim kemarau 2012

33 4.12 Asam-asam fenolat yang terbentuk pada musim kemarau 2012 36 4.13 Asam-asam fenolat pada perlakuan pestisida per-periode

pengamatan pada musim kemarau 2012

36 4.14 Fluks CH4 terhadap perlakuan pestisida dan pengelolaan air di

lahan gambut pada MH 2012/2013

37 4.15 Tinggi muka air tanah pada musim hujan 2012/2013 37 4.16 Air pasang mampu menggenangi lahan pada ketinggian air saluran

primer 100 cm

38 4.17 Fluks CO2 berdasarkan letak pengambilan sampel pada musim

hujan 2012/2013

39 4.18 Asam-asam fenolat yang terbentuk pada musim hujan 2012/2013 41 4.19 Asam-asam fenolat pada perlakuan pestisida per-periode

pengamatan pada musim hujan 2012/2013

42 4.20 Ilustrasi bentuk ikatan antara bahan organik dengan herbisida

diquat dan paraquat

43 4.21 Ilustrasi bentuk ikatan antara bahan organik dengan herbisida

melalui mekanisme ikatan hidrogen


(17)

4.22 Tinggi muka air tanah pada kontrol (A0), pengelolaan air macak-macak (A1) dan pengelolaan air intermitten (A2) pada musim hujan 2012/2013

45

5.1 Alat dan bahan untuk isolasi mikroba (a), koloni mikroba pada media PDA (b) dan koloni mikroba pada media NA (c)

51 5.2 Persentase ordo serangga yang ditemukan pada pertanaman padi

di lahan gambut pada musim kemarau 2012 dan musim hujan 2012/2013

58

5.3 Persentase golongan serangga berdasarkan fungsinya di alam yang ditemukan pada pertanaman padi di lahan gambut pada musim kemarau 2012 dan musim hujan 2012/2013

58

5.4 Pengaruh perlakuan pestisida terhadap populasi fungi dan bakteri di lahan gambut pada musim kemarau 2012

60 5.5 Pengaruh perlakuan pestisida terhadap populasi fungi dan bakteri

di lahan gambut pada musim hujan 2012/2013

61 5.6 Pengaruh perlakuan air terhadap populasi fungi dan bakteri di

lahan gambut pada musim hujan 2012/2013

62 6.1 Status dan Nilai indeks Keberlanjutan dimensi Ekologi 72 6.2 Leverage analisis dimensi ekologi untuk menunjukkan atribut

yang sensitive yang ditunjukkan dengan nilai Root Mean Square

(RMS)

72

6.3 Status dan nilai indeks keberlanjutan dimensi ekonomi 73 6.4 Leverage analisis untuk dimensi ekonomi yang menunjukkan

atribut yang sensitive yang ditunjukkan dengan nilai Root Mean

Square (RMS)

74

6.5 Status dan nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial 75 6.6 Leverage analisis untuk dimensi sosial yang menunjukkan atribut

yang sensitive yang ditunjukkan dengan nilai Root Mean Square

(RMS)

75

6.7 Diagram layang-layang untuk status keberlanjutan usahatani padi di lahan gambut


(18)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Fluks CO2 hasil pengukuran di tanah di lahan gambut pada musim

kemarau 2012

93 2 Fluks CO2 hasil pengukuran di tanah dan tanaman di lahan

gambut pada musim kemarau 2012

93 3 Fluks CO2 hasil pengukuran di tanah di lahan gambut pada musim

hujan 2012/2013

94 4 Fluks CO2 hasil pengukuran di tanah dan tanaman di lahan gambut

pada musim hujan 2012/2013

94 5 Fluks CH4 hasil pengukuran di tanah di lahan gambut pada musim

hujan 2012/2013

95 6 Fluks CH4 hasil pengukuran di tanah dan tanaman di lahan gambut

pada musim hujan 2012/2013

95 7 Jenis dan konsentrasi asam-asam fenolat yang terbentuk di musim

kemarau 2012

96 8 Jenis dan konsentrasi asam-asam fenolat yang terbentuk di musim

hujan 2012/2013

97 9 Populasi fungi dan bakteri pada pengamatan musim kemarau 2012

dan musim hujan 2012/2013

98 10 Atribut setiap dimensi keberlanjutan dan deskripsi terhadap nilai

skor

99


(19)

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

Pemanfaatan lahan gambut sebagai lahan pertanian khususnya tanaman pangan menjadi pilihan yang tak terhindarkan. Luas total lahan gambut di tiga pulau utama, yaitu Sumatera, Kalimantan dan Papua adalah 14,905,574 hektar (Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP) 2011). Wahyunto et al. (2004) melaporkan sekitar 672,723 hektar lahan gambut di Kalimantan Tengah layak dikembangkan untuk pertanian. Pengembangan lahan gambut untuk tanaman pangan dan hortikultura diarahkan pada lahan gambut dangkal (< 100 cm) dan untuk tanaman tahunan dapat diusahakan pada gambut dengan ketebalan 2 – 3 m (Sabiham et al. 2008). Secara ekonomi lahan gambut berperan penting karena berpotensi untuk dikembangkan menjadi lahan pertanian padi sawah. Selain itu semakin bertambah luasnya lahan gambut yang ditinggalkan tanpa reklamasi, menambah kuat pemilihan lahan gambut untuk dimanfaatkan sebagai areal pertanian.

Pertanian padi di lahan gambut menghadapi berbagai kendala di antaranya gangguan organisme pengganggu tanaman (OPT). Serangan OPT dapat mengakibatkan penurunan dan kehilangan hasil 40 – 55 persen, bahkan bisa terancam gagal. Pengendalian OPT dapat dilakukan dengan beberapa cara antara lain dengan menggunakan varietas unggul tahan hama penyakit, cara mekanis, cara biologi, cara kimiawi dan sistem budidaya yang baik. Kenyataan yang dijumpai cara kimiawi (pestisida) masih menjadi pilihan utama para pelaku pertanian karena dianggap paling praktis dan ekonomis (Sudarmo 1991). Demikian juga halnya dengan kebiasaan petani padi lahan gambut yang masih tergantung pada pestisida untuk mengatasi masalah gangguan hama, penyakit dan gulma. Perkembangan perkebunan di lahan gambut juga semakin pesat dan salah satu kendala adalah pertumbuhan gulma yang cepat. Petani-petani perkebunan sangat tergantung pada herbisida untuk mengatasi masalah gulma di perkebunan mereka. Penggunaan pestisida selain memberikan nilai positif tetapi juga memberikan dampak negatif terutama akibat penggunaan yang tidak bijaksana. Dalam aplikasinya di lahan pertanian, kurang lebih hanya 20% yang mengenai sasaran sedangkan 80% lainnya jatuh ke tanah (Sa’id 1994). Residu pestisida yang jatuh ke tanah dapat mencemari lahan pertanian, perairan, biota lainnya, produk pertanian serta dapat meracuni manusia (Pohan 2004).

Kendala lainnya pada pertanian padi di lahan gambut adalah tata air yang buruk. Oleh karena itu pengelolaan air menjadi upaya penting untuk dilakukan pada budidaya padi di lahan gambut. Pengelolaan air di lahan gambut dimaksudkan untuk membuang kelebihan air pada musim hujan, dan mengkonservasi air pada musim kemarau. Selain itu pengelolaan air juga dimaksudkan untuk mencuci unsur-unsur beracun sebagai hasil dekomposisi bahan organik atau akibat peristiwa reduksi oksidasi. Pengelolaan air yang baik dapat memperbaiki sifat tanah gambut. Selain berfungsi untuk meningkatkan kualitas lahan, pengelolaan air berpengaruh terhadap kondisi aerobik dan anaerobik (oksidasi dan reduksi) lahan. Kedua kondisi ini berperan dalam proses emisi CO2 dan CH4. Pengeringan lahan gambut mengakibatkan dekomposisi


(20)

karbondioksida (CO2), sedangkan penggenangan lahan mengakibatkan

terbentuknya emisi metana (CH4) (Turetsky dan Louis 2006).

Besarnya emisi karbon di lahan gambut juga dipengaruhi oleh kandungan asam-asam organik yang tinggi. Stevenson (1994) mengemukakan bahwa dari proses degradasi lignin oleh mikroorganisme dapat dihasilkan asam-asam fenolat dan aldehida fenolat. Beberapa jenis asam fenolat yang merupakan hasil dari proses disintegrasi lignin adalah asam p-kumarat, asam p-hidroksibenzoat, asam fenilasetat, asam klorogenat, asam o-hidroksifenilasetat, asam 4-fenilbutarat, asam p-hidroksifenil-propionat, asam 3,4-dihdroksifenil-propionat, asam vanilat, asam ferulat, asam salisilat, asam galat, asam sinapat, asam gentisat, asam kafeat, asam prokatekuat dan asam syringat. Sabiham (1997). Mario dan Sabiham (2002) melaporkan ada enam derivat asam-asam fenolat yang dominan dan sangat penting ditemukan di lahan gambut Jambi dan Kalimantan Tengah, yaitu asam ferulat, sinapat, p-kumarat, vanilat, siringat dan asam p-hidroksibenzoat. Asam-asam itu bersifat racun dan dapat mengganggu pertumbuhan tanaman. Selain itu asam-asam organik ini juga menjadi sumber utama pelepasan karbon, terkait tingginya konsentrasi dari golongan karboksil (-COOH) dan metoksil (-OCH3).

COOH akan terurai secara sempurna menjadi CO2 dan CH4 melalui peristiwa

oksidasi reduksi (Van der Gon dan Neue 1995).

Kondisi lainnya yang dipengaruhi oleh kegiatan pengelolaan air di lahan gambut yang disawahkan adalah pencucian residu pestisida ke saluran pengairan dan selanjutnya ke perairan bebas. Pestisida yang tidak mengenai sasaran dan jatuh ke tanah, akan tercuci bersama aliran air dari sawah ke perairan. Kondisi air yang tergenang, macak-macak, atau kering akan mempengaruhi besarnya residu pestisida yang tercuci ke perairan. Bahan organik tanah memiliki kelompok gugus fungsional kimia (seperti hidroksil, karboksil, fenolik dan amina) yang dapat berinteraksi dengan pestisida (Young et al. 1992). Sebagian besar molekul pestisida adalah non-ionik, non-polar dan umumnya hidropobik, bahan organik menyediakan bagian penting untuk penyerapan pestisida (Harrad 1996). Menurut Stevenson (1994) pestisida atau produk dekomposisinya dapat membentuk hubungan kimia yang stabil dengan bahan organik. Melalui mekanisme tersebut reaksi penguraian asam-asam organik menjadi CO2 dan CH4 dapat terhambat.

Maka diharapkan penggunaan pestisida di lahan gambut tidak memberikan pengaruh negatif seperti di lahan mineral. Lahan gambut dengan asam-asam organiknya dapat menghalangi pencemaran tanah dan air oleh residu pestisida. Selanjutnya pestisida dapat berkontribusi positif terhadap penekanan emisi karbon di lahan gambut melalui mekanisme ikatan komplek dengan asam-asam organik.

Informasi tentang dampak penggunaan pestisida dan pengelolaan air terhadap kualitas lingkungan dan emisi karbon di lahan gambut masih sangat terbatas. Demikian juga halnya dengan produktivitas dan nilai ekonomisnya. Untuk itu penelitian yang mendalam masih diperlukan guna mendapatkan data dan informasi mengenai interaksi antara bahan organik, pestisida dan pengelolaan air di lahan gambut. Hasil yang diperoleh dapat digunakan sebagai masukan untuk pengelolaan lahan gambut secara berkelanjutan.


(21)

Kerangka Pemikiran

Mengacu pada data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2014, jumlah penduduk Indonesia telah mencapai 253,609,643 orang. Dengan laju pertumbuhan pertahunnya 1.5 persen atau sekitar 3 (tiga) juta jiwa lebih. Maka perlu diimbangi dengan mengembangkan sektor pertanian guna menyediakan pangan yang cukup. Apabila asumsi kebutuhan pangan setiap jiwa 139.15 kg per kapita per-tahun, maka dibutuhkan pangan sebanyak kurang lebih 35 juta ton pertahunnya. Sementara itu lahan pertanian potensial di Pulau Jawa semakin sempit akibat laju pembangunan, menyebabkan penyediaan pangan pada masa mendatang tidak dapat lagi bertumpu di Pulau Jawa. BBSDLP (2011) melaporkan luas lahan sawah yang terkonversi ke penggunaan non pertanian mencapai 30,000 – 40,000 hektar pertahun. Dalam jangka panjang sangat dikhawatirkan bahwa produksi padi diperkirakan tidak akan mampu memenuhi kebutuhan pangan nasional. Disisi lain cadangan lahan nasional sebagian besar adalah lahan sub optimal. Maka pembangunan pertanian harus memberikan perhatian yang lebih besar kepada lahan-lahan sub optimal.

Salah satu lahan sub optimal dengan potensi besar untuk dikembangkan sebagai lahan pertanian adalah lahan gambut. Secara ekonomi lahan gambut layak untuk dikembangkan sebagai pertanian tanaman pangan. Lahan yang luas, ketersediaan air yang melimpah dan dukungan teknologi yang cukup, merupakan potensi untuk pengembangan pertanian tanaman pangan di lahan gambut. Namun pembangunan pertanian tanaman pangan di lahan gambut bukan tanpa kendala. Sifat lahan gambut yang ringkih atau mudah rusak, drainase yang buruk serta potensi terlepasnya emisi GRK ke atmosfer harus menjadi perhatian utama dalam pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian.

Penggunaan pestisida dan pengelolaan air menjadi upaya penting untuk dilakukan agar mencapai hasil panen yang tinggi. Selain itu, pestisida dan pengelolaan air di lahan gambut juga dapat menjadi sarana untuk menurunkan potensi pelepasan emisi GRK. Kandungan bahan organik yang sangat tinggi pada lahan gambut akan mengikat kuat pestisida. Penyerapan pestisida oleh bahan organik tanah dapat terjadi melalui beberapa mekanisme, dua atau lebih mekanisme dapat terjadi secara simultan tergantung dari sifat pestisida dan permukaan bahan organik (Stevenson 1994). Mekanisme-mekanisme yang banyak terlibat dalam penyerapan pestisida pada permukaan bahan organik adalah; ikatan

Van der Waals, ikatan hidrogen, transfer muatan, pertukaran ion, dan pertukaran

ligan (Khan 1978). Melalui mekanisme-mekanisme tersebut di atas diharapkan pestisida dapat menjadi “jembatan” dengan cara menghubungkan molekul asam organik bebas menjadi struktur rantai. Kondisi ini membuat material gambut menjadi stabil, sehingga proses pembentukan CO2 dan CH4 akibat penguraian

asam organik dapat dihambat dan mampu menurunkan emisi karbon.

Tingginya kandungan bahan organik pada tanah gambut juga diduga akan meningkatkan proses dekomposisi pestisida. Morrill (1982) melaporkan terdapat korelasi positif antara peningkatan bahan organik dan tingkat degradasi dari pestisida DDT, diazinon, diuron, dan parathion. Peningkatan degradasi pestisida ini terjadi karena bahan organik tanah bertindak sebagai ko-metabolit dan kemampuannya untuk mensuplai nutriens bagi mikroba dan sebagai sumber energi. Selain itu pengelolaan air yang tepat juga akan mempercepat penguraian pestisida di tanah. Pengelolaan air akan menciptakan kondisi anaerob dan aerob


(22)

yang kondusif bagi penguraian pestisida secara biotik (mikroba) maupun abiotik (hidrolisis, photolisis) (Roger et al. 1994).

Kerangka pemikiran penelitian ini disusun berdasarkan keterkaitan elemen-elemen pendukung, berupa kondisi eksisting, potensi, permasalahan dan rencana pengembangan. Kerangka pemikiran dapat dilihat pada Gambar 1.1.

Perumusan Masalah

Sesuai hasil konvensi perubahan iklim dan COP 15 di Kopenhagen, pemerintah Indonesia telah sepakat untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 26 persen pada tahun 2020. Untuk mencapai angka tersebut maka berbagai upaya harus dilakukan termasuk mengurangi laju emisi dari lahan gambut, di antaranya dengan upaya mengurangi laju dekomposisi bahan organik dari lahan gambut akibat kegiatan pertanian. Dekomposisi terjadi bila rantai karbon yang panjang mengalami degradasi menjadi senyawa dengan rantai karbon lebih pendek. Pestisida sebagai salah satu input pertanian memiliki potensi untuk digunakan sebagai penghubung untuk membentuk polimerisasi asam organik. Stevenson (1994) mengemukakan dua mekanisme untuk proses pembentukan ikatan kimia yang stabil antara pestisida dengan bahan organik, yaitu: (1) residu pestisida dapat langsung berikatan pada bagian reaktif dari permukaan koloid organik oleh ikatan kimia, dan (2) selama proses humifikasi residu pestisida dapat dimasukkan ke dalam struktur asam humat dan asam fulfat yang baru terbentuk.

Melalui mekanisme-mekanisme tersebut, maka diharapkan penggunaan pestisida di lahan gambut tidak menyebabkan penurunan kualitas lingkungan. Selain itu, emisi karbon (CO2 dan CH4) yang terbentuk dari penguraian

asam-asam organik juga dapat ditekan. Hal ini dimungkinkan karena ikatan kimia yang terjadi antara asam organik dan pestisida membentuk ikatan polimer yang tidak mudah terurai. Selain itu pengelolaan air di lahan gambut juga dapat mempengaruhi besaran emisi karbon yang diemisikan ke atmosfir. Agus et al. (2010) melaporkan bahwa pengelolaan air akan mempengaruhi perubahan tinggi muka air tanah dan juga kandungan air tanah, selanjutnya akan mempengaruhi emisi CO2.

Dengan memperhatikan keterkaitan berbagai dimensi permasalahan pada uraian di atas, maka pengembangan pertanian di lahan gambut harus bersifat selektif dengan memperhatikan beberapa persyaratan sebagai berikut: (1) tidak berada dekat kubah gambut dan hulu sungai; (2) sistem perairan dilakukan secara tepat dan hati-hati, sesuai dengan dinamika permukaan air tanah; dan (3) memperhatikan rambu-rambu dampak lingkungan (Las et al. 2009).


(23)

Gambar 1.1. Kerangka pemikiran penelitian Kebutuhan lahan

untuk budidaya pertanian Review:

• Peningkatan jumlah penduduk

• Peningkatan kebutuhan pangan

• Kebijakan pemerintah

• Penurunan lahan produktif akibat alih fungsi lahan

Tercapainya Ketahanan Pangan

Potensi:

• Luas (± 15 jt Ha)

• Kandungan C organik tinggi

• Dukungan teknologi

Lahan Gambut Pertanian Lahan Gambut Input Teknologi:

• Pengelolaan lahan

• Pengelolaan air

• Pemupukan & ameliorasii

Pengendalian HPT (Pestisida)

Masalah:

• Ringkih (fragile)

• Emisi GRK

Pengguna:

• Petani

• Swasta

• Pemerintah Daerah

Dampak penggunaan pestisida dan pengelolaan air Mengurangi resiko penurunan produksi tanaman padi Dampak terhadap lingkungan:

• Penurunan kualitas tanah & air

• Emisi CO2 & CH4

• Serangga hama & musuh alami

• Mikroba tanah

• Parameter hasil & komponen hasil

• Analisis tanah

• Analisis air

• Analisis asam-asam organik

• Pengukuran emisi CO2 & CH4

Penggunaan pestisida untuk meningkatkan produktivitas padi di lahan gambut yang disawahkan tanpa menyebabkan degradasi lingkungan

Acuan:

• Indeks pembangunan berkelanjutan (Aspek Ekonomi, Ekologi, & sosial-Budaya)

• Indeks kualitas lingkungan (pestisida)

B A T A S P E N E L I T I A N

Kelestarian dan kemanfaatan lahan


(24)

Tujuan Penelitian

Perkembangan pertanian di lahan gambut yang semakin pesat serta penggunaan pestisida yang semakin tinggi oleh para petani di lahan gambut, menghasilkan berbagai pertanyaan mengenai pengaruh pestisida terhadap kualitas lingkungan dan emisi GRK di lahan gambut. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan utama untuk mempelajari dan memberi informasi atas penggunaan pestisida dan pengelolaan air terhadap emisi CO2 dan CH4. Secara spesifik

penelitian ini bertujuan:

1. Mempelajari pengaruh penggunaan pestisida serta pengelolaan air terhadap emisi CO2 dan CH4 di lahan gambut yang disawahkan.

2. Mempelajari pengaruh penggunaan pestisida dan pengelolaan air terhadap kualitas tanah dan air serta organisme di lahan gambut yang disawahkan. 3. Mempelajari pengaruh penggunaan pestisida dan pengelolaan air terhadap

produksi tanaman padi dan kelayakan usahatani serta keberlanjutannya di lahan gambut yang disawahkan.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi pembanding dan melengkapi informasi-informasi yang telah dipublikasikan sebelumnya dan juga dapat menjadi suatu masukan teknologi pengelolaan lahan gambut yang dapat menjaga kualitas tanah dan air di lahan gambut yang disawahkan. Juga diharapkan, teknologi yang dihasilkan dapat menjadi sarana untuk meningkatkan produktivitas tanaman padi dan menjaga keberlanjutan produktivitas lahan serta dapat menekan emisi gas rumah kaca.

Hipotesis

Hipotesa yang diajukan dalam penelitian ini adalah:

1. Penggunaan pestisida dan pengelolan air dapat menekan emisi CO2 dan CH4

melalui mekanisme pengikatan antara pestisida dan asam organik di lahan gambut yang disawahkan.

2. Penggunaan pestisida dan pengelolan air tidak menurunkan kualitas tanah dan air di lahan gambut.

3. Penggunaan pestisida dan pengelolaan air dapat mempertahankan produksi tanaman padi dan kelestarian lahan gambut.

Ruang Lingkup Penelitian

Berdasarkan kerangka pemikiran seperti pada Gambar 1, maka disusun serangkaian kegiatan sebagai berikut:

1. Judul : Pengaruh pestisida (paraquat, fenobucar, difenoconazole) dan pengelolaan air terhadap emisi CO2 dan CH4 pada pertanaman

padi di lahan gambut.

Tujuan : Mempelajari pengaruh penggunaan pestisida serta pengelolaan air terhadap fluks CO2 dan CH4 di lahan gambut yang disawahkan


(25)

2. Judul : Pengaruh pestisida (paraquat, fenobucar, difenoconazole) dan pengelolaan air terhadap kualitas lingkungan.

Tujuan : Mempelajari pengaruh penggunaan pestisida dan pengelolaan air terhadap kualitas tanah dan air serta organisme di lahan gambut yang disawahkan.

3. Judul : Kondisi sosial ekonomi dan status keberlanjutan usahatani padi di lahan gambut

Tujuan : Mempelajari pengaruh penggunaan pestisida dan pengelolaan air terhadap produksi tanaman padi dan kelayakan usahatani serta keberlanjutannya di lahan gambut yang disawahkan.

Kebaruan Penelitian(Novelty)

Penelitian ini merupakan pengembangan dari penelitian-penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan masalah pengaruh pestisida dan pengelolaan air terhadap emisi GRK, antara lain; penelitian Bartha et al. (1967) tentang

Stability and Effects of Some Pesticides in Soil”, bertujuan untuk mempelajari

pengaruh 29 jenis pestisida terhadap produksi CO2 dan nitrifikasi oleh

mikroorganisme tanah. Penelitian dilaksanakan di laboratorium dengan media tanah lempung berpasir. Hasil penelitian diketahui bahwa pestisida yang dapat secara mikrobiologis terdegradasi akan meningkatkan produksi CO2, sedangkan

pestisida yang sangat toksik akan menekan produksi CO2.

Penelitian yang dilakukan oleh Kumaraswamy et al. (1998) berjudul "Influence of the Insecticide Carbofuran on the Production and Oxidation of

Methane in Flooded Rice Soil” bertujuan untuk mempelajari pengaruh insektisida

karbofuran terhadap produksi dan emisi metan. Penelitian dilakukan di laboratorium dan pertanaman padi sawah. Pada penelitian lapang diketahui bahwa aplikasi 2 dan 12 kg bahan aktif karbofuran per-hektar menurunkan emisi metan pada lahan sawah tergenang. Pada penelitian laboratorium dilaporkan pada 5 dan 10 mg bahan aktif karbofuran per-kg tanah dapat menghambat produksi metan.

Penelitian Kinney et al. (2003) tentang “Effects of the Herbicides

Prosulfuron and mMetolachlor on Fluxes of CO2, N2O, and CH4 in a Fertilized

Colorado Grassland Soil” bertujuan mempelajari pengaruh herbisida prosulfuron

dan metolachlor yang umum digunakan terhadap fluks CO2, N2O, dan CH4 dari

tanah yang diberi pupuk. Penelitian dilaksanakan di laboratorium dan lahan pertanian dengan tanah mineral. Hasil penelitian menyebutkan bahwa penelitan lapang menunjukkan herbisida prosulfuron meningkatkan emisi N2O dan

konsumsi CH4.

Penelitian lainnya mengenai dampak dari penggunaan agrokimia terhadap emisi GRK dilakukan oleh Setyanto dan Burhan (2009) tentang “The Effect of Water Regime and Soil Management on Methane Emission from Rice Field”,

bertujuan untuk mengetahui pengaruh rejim air dan pengolahan tanah terhadap emisi gas CH4. Penelitian dilakukan di lahan sawah irigasi. Hasil penelitian

menunjukan bahwa total emisi CH4 dari perlakuan rejim air macak-macak 0-1 cm

memberikan penurunan emisi tertinggi dibandingkan intermitten dan penggenangan 5 cm. Sementara perlakuan pengolahan tanah yang dilakukan dengan cara tanpa olah tanah dengan pemberian 2 kg paraquat ha-1 memberikan


(26)

hasil emisi terendah dibandingkan olah tanah maksimum dan tanpa olah tanah yang diberi 3 kg paraquat ha-1.

Penelitian Poniman et al. (2011) berjudul “Reduksi Produksi dan Emisi Metana di Lahan Sawah Melalui Pemanfaatan Biochar Limbah Pertanian dan Pemberian Beberapa Jenis Pestisida”, bertujuan untuk mengetahui pengaruh biochar dan pestisida terhadap emisi CH4. Penelitian dilaksanakan di labortorium

dan rumah kaca pada tanah mineral. Hasil penelitian menunjukkan bahwa herbisida paraquat dan bioinsektisida azadirakhtin efektif menekan emisi metana. Pada percobaan inkubasi, insektisida deltametrin mampu menekan emisi CH4

sebesar 98.84% dibandingkan tanpa pestisida, berturut-turut diikuti bioinsektisida azadiractin, insektisida klorfirifos dan herbisida paraquat masing-masing sebesar 95.51%, 95.04% dan 93.97%.

Berdasarkan uraian dari hasil-hasil penelitian tersebut di atas, maka perbedaan mendasar yang sekaligus merupakan kebaruan (novelty) dari penelitian ini dapat ditinjau dari beberapa aspek, sebagai berikut:

1. Penelitian-penelitian sebelumnya dilaksanakan di laboratorium, rumah kaca dan lahan pertanaman padi dengan media tanah mineral, sedangkan penelitian ini dilaksanakan di lapangan pada lahan gambut yang disawahkan.

2. Penelitian-penelitian sebelumnya membahas penurunan emisi GRK (CO2,

N2O, dan CH4) oleh pestisida melalui mekanisme penekanan terhadap aktifitas

mikroorganisme tanah, sedangkan penelitian ini mempelajari penurunan emisi CO2 dan CH4 melalui mekanisme pengikatan pestisida oleh asam-asam

organik.

Berdasarkan uraian di atas, maka yang menjadi kebaruan (novelty) dari penelitian ini adalah informasi yang lebih detil mengungkapkan hubungan pestisida sebagai jembatan antara dua asam organik untuk menurunkan emisi CO2


(27)

2. TINJAUAN PUSTAKA Lahan Gambut Proses Pembentukan Gambut

Lahan gambut di Indonesia terjadi karena adanya proses sedimentasi dan progradasi yang menyebabkan garis pantai cenderung bertambah ke arah laut. Daerah-daerah ini kemudian ditumbuhi oleh berbagai jenis vegetasi yang mampu beradaptasi dengan kondisi lingkungan dan mengisi cekungan-cekungan tersebut. Di daerah pantai dan dataran rendah (cekungan), mula-mula terbentuk gambut topogen karena kondisi anaerobik yang dipertahankan oleh tingginya permukaan air sungai. Proses selanjutnya terjadi peningkatan penumpukan serasah tanaman sehingga menghasilkan pembentukan hamparan gambut ombrogen yang berbentuk kubah (dome) (Sabiham 2006).

Selanjutnya Sarwono (2003) melaporkan bahwa proses pembentukan gambut terjadi melalui dua tahapan. Tahapan pertama, merupakan proses akumulasi bahan organik (menghasilkan bahan induk) yang dikenal dengan proses geogenesis. Tahapan kedua, merupakan proses pematangan gambut yang terjadi pada awal reklamasi atau pengeringan tanah gambut dikenal dengan proses pedogenesis. Proses ini meliputi: (a) proses pematangan fisik, yaitu pematangan disebabkan oleh dehidratasi akibat pengeringan (drainase dan evaporasi); (b) proses pematangan kimia, terjadi karena bahan gambut kehilangan kelembapan dan masuknya udara ke dalam pori-porinya; (c) proses pematangan biologi, terjadi akibat pencampuran bahan gambut oleh mikrofauna, yang menghasilkan atau moder yaitu gambut yang kadar bahan organiknya tinggi dan kandungan liatnya rendah. Pembentukan mull terjadi pada tanah gambut yang mengandung liat dan pH tinggi sampai sedang. Sedangkan pembentukkan moder terjadi pada lapisan atas (top soil) tanpa dan atau dengan kadar liat yang rendah.

Pengelompokan Gambut

Berdasarkan tingkat kematangan atau kandungan serat, tanah gambut dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu; (1) Fibrik: apabila bahan vegetasi aslinya masih dapat diidentifikasikan atau sedikit mengalami dekomposisi. Gambut jenis ini memiliki kandungan serat lebih dari 3/4 bagian volume tanah (terdekomposisi < 33%); (2) Hemik: apabila tingkat dekomposisinya sedang, yaitu memiliki kandungan serat antara fibrik dan saprik (terdekomposisi 33 – 66%); dan (3) Saprik: apabila tingkat dekomposisinya telah lanjut, yaitu kandungan seratnya kurang dari 1/6 bagian dari volume tanah (terdekomposisi > 66%) (Soil Survey Staff, 2010).

Berdasarkan tingkat kesuburan alami, gambut dibagi dalam 3 kelompok yakni; (1) Eutrofik (kandungan mineral tinggi); (2) Oligotrofik (miskin unsur hara atau kandungan mineral, terutama Ca rendah dan reaksi masam); dan (3) Mesotrofik (terletak di antara keduanya, kandungan basa sedang) (Andriesse 1988).

Berdasarkan ketebalannya, gambut Indonesia dikelompokan menjadi 4 kelas, yaitu: (1) Gambut dangkal: memiliki ketebalan lapisan gambut 50 - 100 cm; (2) Gambut agak tebal: memiliki ketebalan lapisan gambut 100 - 200 cm; (3) Gambut tebal: memiliki ketebalan lapisan gambut 200 - 300 cm; dan (4) Gambut


(28)

sangat tebal: memiliki ketebalan lapisan gambut lebih dari 300 cm (Widjaja-Adhi 1988; Subagyo etal. 1996).

Berdasarkan lingkungan tumbuh dan pengendapannya, gambut dapat dikelompokan menjadi dua jenis yaitu: (1) Gambut ombrogen adalah gambut yang airnya hanya berasal dari air hujan. Gambut jenis ini dibentuk dalam lingkungan pengendapan dimana tumbuhan pembentuk yang semasa hidupnya hanya tumbuh dari air hujan, sehingga kandungan mineralnya adalah asli (inherent) dari tumbuhannya itu sendiri; dan (2) Gambut topogen adalah gambut yang airnya berasal dari air aliran permukaan. Jenis gambut ini diendapkan dari sisa tumbuhan yang semasa hidupnya tumbuh dari pengaruh elemen yang terbawa oleh air permukaan. Gambut topogen lebih subur digunakan untuk budi daya tanaman dibandingkan dengan gambut ombrogen, karena gambut topogen relatif mengandung lebih banyak unsur hara (Driessen dan Soepraptohardjo 1974).

Karakteristik Fisik Gambut

Lahan gambut memiliki variabilitas yang sangat tinggi dari segi ketebalan, kematangan maupun kesuburannya. karena berbagai kendala fisik dan kimia tidak semua lahan gambut layak untuk pertanian. Karakteristik fisik gambut yang penting dalam pemanfaatannya untuk pertanian meliputi kadar air, berat isi (bulk

density, BD), daya menahan beban (bearing capacity), subsiden (penurunan

permukaan), dan mengering tidak balik (irriversible drying) (Najiyati et al. 2005). Kadar air tanah gambut berkisar antara 100 – 1.300 persen dari berat keringnya . Artinya bahwa gambut mampu menyerap air sampai 13 kali bobotnya. Dengan demikian, sampai batas tertentu, kubah gambut mampu mengalirkan air ke areal sekelilingnya (Mutalib et al. 1991). Karena tingginya kadar air, maka secara fisik tanah gambut menjadi lembek dan dayanya menahan beban (bearing

capasity) menjadi rendah serta berat volume (BD)-nya rendah (Widjaja-Adhi

1995). Rendahnya daya menahan atau menyangga beban (bearing capasity) lahan gambut menyulitkan beroperasinya peralatan mekanisasi karena tanahnya yang empuk. Gambut juga tidak bisa menahan pokok tanaman tahunan untuk berdiri tegak. Tanaman perkebunan seperti karet, kelapa sawit atau kelapa seringkali doyong atau bahkan roboh.

Sifat fisik tanah gambut lainnya adalah sifat mengering tidak balik

(irriversible drying). Gambut yang telah mengering, dengan kadar air < 100

persen (berdasarkan berat), tidak bisa menyerap air lagi walaupun dibasahi (hidrofobik) (Widjaja-Adhi 1988).

Karakteristik Kimia Gambut

Lahan gambut Sumatera dan Kalimantan umumnya didominasi oleh bahan kayu-kayuan. Oleh karena itu komposisi bahan organiknya sebagian besar adalah lignin yang umumnya melebihi 60%, sedangkan kandungan komponen lainnya seperti selulosa, hemiselulosa, dan protein umumnya tidak melebihi 11% (Polak 1975). Sehingga gambut mengandung asam-asam organik yang tinggi dengan tingkat kemasaman tanahnya tergolong tinggi dengan nilai pH berkisar antara 3 - 5. Gambut pedalaman yang oligotropik dan memiliki substratum pasir kuarsa di Berengbengkel Kalimantan Tengah atau di Sepucuk Sumatera Selatan memiliki kisaran pH 3.25 – 3.75 (Salampak 1999). Sementara itu gambut peralihan di


(29)

sekitar Air Sugihan Kiri Sumatera Selatan memiliki kisaran pH H2O yang lebih tinggi yaitu antara 4.1 sampai 4.3 (Hartatik et al. 2004).

Secara alamiah lahan gambut memiliki tingkat kesuburan rendah. Kandungan kation basa-basa seperti Ca, Mg, K, dan Na umumnya sangat rendah (Driessen dan Soepraptohardjo 1974). Selain itu lahan gambut juga mengandung beragam asam-asam organik yang sebagian bersifat racun. Asam organik yang bersifat racun bagi tanaman adalah dari golongan asam fenolat, seperti asam hidroxybenzoat, asam vanilat, asam siringat, asam p-kumarat, dan asam ferulat. Namun demikian asam-asam tersebut merupakan bagian aktif dari tanah yang menentukan kemampuan gambut untuk menahan unsur hara. Karakteristik dari asam-asam organik ini akan menentukan sifat kimia dari gambut (Sabiham et al. 1997).

Hidrologi Lahan Gambut

Lahan rawa merupakan lahan yang menempati posisi peralihan antara daratan dan perairan selalu tergenang sepanjang tahun atau selama kurun waktu tertentu, genangannya relatif dangkal, dan terbentuk karena pengairan yang terhambat. Berdasarkan besarnya kekuatan arus air pasang dan arus air sungai, lahan rawa dapat dibagi menjadi dua yaitu rawa pasang surut dan rawa non pasang surut atau lebak dan lahan gambut terdapat di kedua jenis rawa tersebut (Najiyati et al. 2005).

Rawa pasang surut adalah lahan rawa yang genangan airnya terpengaruh oleh pasang surutnya air laut. Rawa pasang surut terbagi menjadi tiga tipe, yaitu; (1) Rawa pasang surut air salin, asin atau payau. Tipe rawa ini berada pada zona I (landform marine). Di wilayah ini, genangan selalu dipengaruhi gerakan arus pasang surutnya air laut sehingga pengaruh salinitas air laut sangat kuat. Akibatnya, air di wilayah tersebut cenderung asin dan payau, baik pada pasang besar maupun pasang kecil, selama musim hujan dan musim kemarau. (2) Rawa pasang surut air tawar, yang berada pada zona II (landform fluvio-marin). Di wilayah ini, kekuatan arus air pasang dari laut sedikit lebih besar atau sama dengan kekuatan arus atau dorongan air dari hulu sungai. Oleh karena energi arus pasang dari laut masih sedikit lebih besar dari pada sungai, lahan rawa zona ini masih dipengaruhi pasang surut harian, namun air asin atau payau tidak lagi berpengaruh. Makin jauh ke pedalaman, kekuatan arus pasang makin melemah. Kedalaman luapan air pasang juga makin berkurang, dan akhirnya air pasang tidak menyebabkan terjadinya genangan lagi. Tanda adanya pasang surut terlihat pada gerakan naik turunnya air tanah. Di kawasan ini gerakan pasang surut harian masih terlihat, hanya airnya didominasi oleh air tawar yang berasal dari sungai itu sendiri. (3) Rawa non pasang surut, atau sering disebut rawa lebak. memiliki kekuatan arus pasang dari laut jauh lebih kecil (atau bahkan sudah tidak tampak sama sekali) daripada kekuatan arus dari hulu sungai. Tipe ini menduduki posisi pada Zona III. Pada zona ini, pengaruh kekuatan arus sungai jauh lebih dominan (Najiyati et al. 2005).

Pasang surutnya air laut berpengaruh terhadap ketinggian dan kedalaman air tanah di dalam lahan. Berdasarkan jangkauan luapan air pasang di dalam lahan, lahan pasang surut dapat dibedakan menjadi empat tipe yaitu Tipe A, B, C, dan Tipe D. Ketinggian air pasang besar di musim hujan dan kemarau biasanya berbeda, sehingga luas Tipe luapan A, B, C, dan D selalu berubah menurut


(30)

musim. Pada waktu musim hujan, suatu kawasan dapat tergolong Tipe A, tetapi pada musim kemarau termasuk Tipe B atau C. Hal ini dikarenakan permukaan air sungai meninggi di musim hujan dan menurun di musim kemarau (Najiyati et al. 2005).

Gambar 2.1. Hubungan bentuk lahan dengan keempat tipe luapan

Ritzema dan Wösten (2002) menjelaskan bahwa curah hujan memainkan peranan penting dalam hidrologi lahan gambut, khususnya curah hujan musim kemarau dan periode kering ketika evapotranspirasi melebihi curah hujan. Periode kering biasanya berlangsung 3 – 4 bulan. Hampir semua lahan gambut Indonesia mendapat curah hujan tahunan yang tinggi (>2000 mm), namun curah hujan di musim kemarau dan lama periode kering lebih menentukan kelestarian lahan gambut. Hal ini karena sebagian besar curah hujan yang masuk akan langsung terbuang keluar.

Neraca air lahan gambut alami biasanya dicirikan atas evapotranspirasi (+ intersepsi) sebagai komponen keluaran yang utama. Seperti ditemukan di blok A bagian utara Eks PLG sekitar 58.6% dari curah hujan kotor hilang melalui evapotranspirasi dan intersepsi. Sekitar 40.7 persen dibuang melalui limpasan permukaan di musim hujan, sementara hanya 8.1 % sebagai groundwater flow

(Rais 2008)

Model Pengelolaan Air di Lahan Gambut

Pengelolaan air (tata air) di lahan gambut bertujuan untuk menghindari genangan yang berlebihan di musim hujan dan menghindari kekeringan di musim kemarau. Najiyati et al. (2005) mengemukakan bahwa pengelolaan air di lahan gambut sangat penting dilakukan terutama untuk: Pertama mencegah banjir di musim hujan dan menghindari kekeringan di musim kemarau. Kedua mencuci garam, asam-asam organik, dan senyawa beracun lainnya didalam tanah. Ketiga mensuplai unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman. Keempat mencegah terjadinya penurunan permukaan tanah (subsidence) terlalu cepat. Kelima mencegah pengeringan dan kebakaran gambut serta oksidasi pirit. Keenam memberikan suasana kelembaban yang ideal bagi pertumbuhan tanaman dengan cara mengatur tinggi muka air tanah.

Pengelolaan air di lahan gambut lebih sulit karena hal-hal sebagai berikut (Najiyati et al. 2005): (a) Lahan menghasilkan senyawa-senyawa beracun sehingga saluran irigasi perlu dipisahkan dengan saluran drainase dengan sistem aliran satu arah, (b) kecenderungan terjadinya banjir lebih besar dibandingkan di lahan kering sehingga tata air harus dapat menjamin tidak terjadinya banjir di


(31)

musim hujan, (c) gambut dan lapisan pirit (jika ada) membutuhkan suasana yang senantiasa lembab, (d) gambut bersifat sangat porous sehingga laju kehilangan air di saluran melalui rembesan jauh lebih tinggi dibandingkan di lahan kering hal ini menuntut adanya teknik khusus untuk mempertahankan keberadaan air.

Pengelolaan air di lahan gambut harus mengacu pada sistem aliran satu arah, yaitu pada tingkat saluran tersier, saluran irigasi dan drainase harus terpisah (Widjaja-Adhi 1995). Dengan demikian, aliran air di saluran tersebut tetap satu arah. (Gambar 2.2). Keuntungan sistem aliran satu arah adalah terjadi pergantian air segar di dalam saluran secara lebih lancar, endapan lumpur di saluran lebih sedikit, dan penumpukan senyawa beracun dapat dikurangi.

Gambar 2.2. Denah sistem aliran satu arah (Sumber: Najiyati et al. 2005) Untuk mendukung keperluan ini, maka diperlukan pintu-pintu air yang dapat dibuka pada saat kelebihan air dan dibuka pada saat kekurangan air, atau dengan menggunakan pintu otomatis. Pintu otomatis ini akan membuka ketika surut dan menutup ketika pasang (Gambar 2.3).

Gambar 2.3. Pintu otomatis pada saluran sistem aliran satu arah (Sumber: Najiyati


(32)

Emisi Gas Rumah Kaca di Lahan Gambut

Karbon dioksida (CO2), uap air (H2O), kloro fluoro karbon (CFC), metana

(CH4) dan nitrogen oksida (N2O) merupakan gas rumah kaca (GRK) yang dapat

meningkatkan suhu permukaan bumi (global warming). Peningkatan konsentrasi GRK di atmosfer menyebabkan terjadinya efek rumah kaca. Efek rumah kaca sendiri diartikan sebagai proses masuknya radiasi matahari dan terjebaknya radiasi tersebut di atmosfer akibat GRK sehingga menaikkan suhu permukaan bumi (IPCC 2006).

Karbon dioksida (CO2), dan metana (CH4) merupakan gas rumah kaca yang

dilepaskan (diemisikan) dari lahan gambut. Di antara ketiga gas tersebut CO2

merupakan GRK yang relatif besar diemisikan, terutama dari lahan gambut yang sudah berubah fungsi dari hutan menjadi lahan pertanian. Sedangkan emisi CH4

cukup besar pada gambut yang berada dalam keadaan alami yang pada umumnya terendam atau jenuh air. Bila gambut dikeringkan maka emisi CO2 menjadi

dominan dan emisi CH4 menjadi sangat berkurang. Jumlah emisi GRK dari tanah

gambut untuk selang waktu tertentu dapat dihitung berdasarkan perubahan cadangan karbon pada tanah gambut yang terjadi pada selang waktu tersebut (Agus et al. 2011).

Menurut konsep pedologi, gambut adalah sumber dan rosot (sink) karbon sehingga dapat masuk sebagai sumber emisi gas rumah kaca (GRK) yang dapat menyebabkan terjadinya perubahan iklim dan pemanasan global. Dalam keadaan hutan alami, lahan gambut berfungsi sebagai penambat (sequester) karbon sehingga berkontribusi dalam mengurangi gas rumah kaca di atmosfir, walaupun proses penambatan berjalan sangat pelan setinggi 0 - 3 mm gambut per tahun atau setara dengan penambatan 0-5,4 t CO2 ha-1 tahun-1. Apabila hutan gambut

ditebang dan dikeringkan, maka karbon tersimpan pada gambut mudah teroksidasi menjadi gas CO2 (salah satu gas rumah kaca terpenting) (Parish et al. 2007; Agus

2009; Noor 2010).

Simpanan karbon dalam gambut dapat keluar dari bumi ke atmosfer melalui dua cara yaitu: (1) pembakaran lahan gambut yang menghasilkan emisi gas CO2

dan (2) drainase lahan gambut yang menyebabkan kondisi reduksi dan oksidasi. Oksidasi bahan gambut (yang umumnya mengandung 10% organ tanaman dan 90% air) menghasilkan emisi gas CO2 (Hooijer et al. 2006).

Karbon Dioksida (CO2)

Karbon dioksida dihasilkan dalam jumlah yang besar pada lahan-lahan gambut yang sudah dibuka dan dimanfaatkan sebagai lahan pertanian. Meskipun emisi CO2 sangat tinggi di lahan pertanian, tetapi gas ini akan kembali digunakan

tanaman saat berlangsungnya proses fotosintesis dan akan dikonservasikan ke bentuk biomas tanaman. Karbon dioksida kemudian disimpan dalam tanah sebagai karbon organik, sehingga tanah gambut dapat bertindak sebagai rosot (sink) (Rinnan et al. 2003). Produksi CO2 dari tanah berasal dari hasil

dekomposisi bahan organik secara aerobik, respirasi akar tanaman dan mikroba. Gas CO2 yang dihasilkan dari dekomposisi bahan organik pada pertanian lahan

gambut dikendalikan oleh perubahan suhu, kondisi hidrologi, ketersediaan dan kualitas bahan gambut, dan teknik budidaya pertanian. Suprihati (2007)


(33)

melaporkan praktek pengelolaan lahan pertanian berpengaruh terhadap penyimpanan dan pelepasan CO2.

Karbon dioksida diemisikan ke atmosfer melalui proses respirasi tanah. Respirasi tanah merupakan gabungan antara tiga proses biologi (respirasi mikroorganisme, respirasi akar, dan respirasi hewan) serta satu proses non-biologis (oksidasi kimia) yang dapat terjadi pada suhu tinggi (Rastogi et al. 2002). Karbon dioksida dari sistem pertanian berasal dari: (a) respirasi tanaman, (b) oksidasi bahan organik tanah dan sisa tanaman, (c) penggunaan bahan bakar fosil pada mesin pertanian seperti traktor, alat panen dan alat irigasi, dan (d) pupuk dan pestisida. Pada suhu tinggi, gas CO2 dan CH4 merupakan bentuk gas yang segera

terbentuk dan besar jumlahnya. Perbandingan perubahan gas CH4 menjadi CO2

dalam tanah pada suhu dan pH tinggi, bentuk CH4 lebih memungkinkan, karena

kondisi tersebut merupakan suhu optimum untuk metanogen (Kirk 2004). Beberapa faktor yang mempengaruhi besarnya emisi CO2 dari tanah adalah suhu, kelembaban, variasi pola diurnal, variasi musim dan ruang gerak, tekstur tanah, pH tanah, salinitas, tekanan atmosfer, aplikasi pupuk organik dan buatan, penggunaan inhibitor nitrifikasi, jenis tanaman budidaya, dan pengolahan lahan (Rastogi et al. 2002).

Metana (CH4)

Metana adalah hidrokarbon paling sederhana yang terbentuk gas dengan rumus kimia CH4. Metana (CH4) berkontribusi sebanyak 18.6% dari total radiasi

yang diterima bumi (WMO 2007). Selain waktu tinggalnya yang lama, CH4

memiliki kemampuan mamancarkan panas 21 kali lebih tinggi dari CO2. Dengan

berat molekulnya yang ringan, CH4 mampu menembus sampai lapisan ionosfir

dimana terdapat senyawa radikal O3 yang berfungsi sebagai pelindung bumi dari

serangan radiasi gelombang pendek ultra violet (UV-B) (Setyanto dan Kartikawati 2008).

Menurut Mosier et al. (2005), produksi metana hanya terjadi dalam kondisi anaerobik seperti yang terjadi di daerah rawa alami dan sawah dataran rendah. Proses utama yang terjadi di lahan tergenang dan merupakan sumber CH4 adalah

serangkaian reaksi reduksi-oksidasi (redoks) yang dimediasi oleh beberapa jenis mikoorganisme yang berbeda. Beberapa literatur (Segers 1998; Whalen 2005; Lay 2009) mengungkapkan bahwa:

1. Sebagian besar metana dari gambut berasal dari karbon yang masih baru. 2. Produksi metana menurun ketika substrat yang bersifat labil telah habis,

misalnya dengan kedalaman di bawah tinggi muka air tanah.

3. Produksi metana dapat dirangsang secara substansial dengan penambahan substrat.

Pengamatan ini mengarah pada kesimpulan bahwa, setelah kondisi anaerob yang diberikan, kualitas dan penyediaan substrat adalah faktor utama dalam produksi metana. Jumlah substansial metana hanya diproduksi ketika substrat karbon yang labil cukup tersedia dan gambut yang telah tua hanya memainkan peran sebagai substrat subordinat untuk pembentukan metana (Chanton et al. 1995).

Pembentukan metana juga dipengaruhi oleh sensitivitas suhu (Segers 1998; Whalen 2005). Kemungkinan hal ini disebabkan oleh respon suhu yang bervariasi diantara rantai makanan dalam kondisi anaerobik (Whalen 2005). Pada suhu di bawah -5 °C produksi metana secara konsisten rendah. Sementara


(34)

kebanyakan Archaea methanogenic tumbuh hanya di bawah kisaran pH yang sempit antara 6 dan 8, beberapa diketahui terjadi di bawah kondisi lebih asam (Garcia et al. 2000; Whalen 2005; Lay 2009). Namun penilaian kuantitatif dari pengaruh pH pada metanogenesis tidak pada hasil yang konsisten (Whalen 2005).

Hanya sebagian dari metana yang dihasilkan dipancarkan ke atmosfer, sejumlah besar lainnya dikonsumsi oleh bakteri metanotropik. Re-oksidasi metana terutama terbatas pada zona dekat dengan permukaan air, di mana tidak ada pasokan oksigen atau jumlah gas metana terbatas. Demikian pula, konsumsi metana terjadi di zona sekitar akar tanaman yang beroksigen. Potensi untuk oksidasi metana oleh methanotrophik biasanya menempati urutan lebih besar dari potensi produksi metana oleh metanogen. Akibatnya, bakteri metanotropik dapat membatasi jumlah metana yang dilepaskan ke atmosfer secara substansial (Segers 1998).

Gas metana yang dipancarkan dari gambut ke atmosfer terjadi melalui tiga jalur utama yaitu: difusi, Ebulisi dan transportasi yang dimediasi oleh tanaman. Difusi metana secara keseluruhan berjalan lambat dan difusi dari lahan gambut adalah kecil dibandingkan dengan dua jalur lainnya (Kiene 1991; Lay 2009). Difusi metana dari zona anaerobik penting dalam mendukung komunitas metanotropik di zona dekat permukaan aerobik (Whalen 2005). Ebulisi mengacu pada metana yang dilepaskan ke atmosfer dalam bentuk gelembung. Gelembung metana umumnya terjadi pada lapisan gambut yang jenuh air, di mana metana tetap terjebak dan tumbuh besar. Ketika batas tekanan tertentu tercapai, pelepasan tiba-tiba dari metana yang terperangkap terjadi. Seringkali pelepasan ini dikaitkan dengan perubahan tingkat tekanan air , barometrik dan suhu serta gangguan mekanis (Fechner-Levy dan Hemond 1996).

Pestisida Pengertian dan Jenis Pestisida

Pestisida adalah bahan kimia yang dirancang untuk mengendalikan serangan berbagai hama dan vektor pada tanaman pertanian, hewan domestik, dan manusia (FAO 1989). Definisi tersebut menyiratkan bahwa pestisida adalah bahan kimia beracun yang sengaja dilepaskan ke lingkungan untuk mengendalikan hama dan vektor penyakit. Bahan kimia yang digunakan sebagai pestisida memiliki berbagai kelompok dengan senyawa yang berbeda-beda yang dikelompokkan berdasarkan kegunaannya (Tabel 2.1).


(35)

Tabel 2.1. Jenis-jenis pestisida dan sasarannya Jenis Pestisida Fungsi dan kegunaannya Insektisida

Herbisida Fungisida Nematisida Rodentisida Bakterisida Akarisida Algisida Mitisida Moluskisida Avisida Piscisida Ovisida

Growth regulator Defoliant

Desiccant Repellent Atractant Chemosterilant

Mengendalikan serangga Mengendalikan rumput (gulma) Mengendalikan jamur (fungi) Mengendalikan nematoda

Mengendalikan binatang pengerat Mengendalikan bakteri

Mengendalikan laba-laba Mengendalikan alga Mengendalikan tungau Mengendalikan moluska Mengusir burung

Mengendalikan ikan Mematikan telur

Merangsang atau menghambat pertumbuhan Penggugur daun

Mempercepat pengeringan tanaman

Mengusir serangga, rayap, anjing dan kucing Menarik serangga

Mensterilisasi serangga Sumber: Watterson (1988)

Transfer, Degradasi dan Persistensi Pestisida di Tanah

Menurut Waldron (1992) proses transfer pestisida dapat terjadi melalui 5 cara, yaitu;

(1) Adsorpsi adalah terikatnya pestisida dengan partikel-partikel tanah. Jumlah pestisida yang dapat terikat dalam tanah bergantung pada jenis pestisida, kelembaban, pH, dan tekstur tanah. Pestisida dapat teradsorpsi dengan kuat pada tanah berlempung ataupun tanah yang kaya bahan-bahan organik, sebaliknya pestisida tidak dapat teradsorpsi dengan kuat pada tanah berpasir. Adsorpsi pestisida yang kuat di dalam tanah mengakibatkan tidak terjadi penguapan sehingga tidak menimbulkan pencemaran terhadap air tanah maupun air danau.

(2) Penguapan adalah suatu proses perubahan bentuk padat atau cair ke bentuk gas, sehingga dalam bentuk gas bahan tersebut dapat bergerak dengan bebas ke udara sesuai dengan pergerakan arah angin. Pestisida dapat menguap dengan mudah karena bersifat mudah menguap dan akibat tanah yang berpasir dan basah. Cuaca yang panas, kering dan berangin juga mempercepat terjadinya penguapan pestisida.

(3) Kehilangan pestisida saat aplikasi adalah kehilangan yang disebabkan terbawanya pestisida oleh angin saat disemprotkan (drift). Kehilangan ini dipengaruhi oleh ukuran butiran semprotan, kecepatan angin, jarak antara lubang penyemprot dengan tanaman.

(4) Limpasan akhir adalah terbawanya pestisida bersama-sama aliran air menuju daerah yang lebih rendah. Pestisida yang terbawa ini dapat bercampur dengan air atau terikat dengan tanah erosi yang ikut terbawa. Banyaknya pestisida


(36)

yang terbawa ini dipengaruhi oleh: kecuraman lokasi, kelembaban tanah, curah hujan, dan jenis pestisida yang digunakan.

(5) Rembesan adalah perpindahan pestisida dalam air di dalam tanah. Perembesan dapat terjadi keseluruh penjuru, ke bawah, atas dan samping. Fakto-faktor yang mempengaruhi terjadinya perembesan adalah sifat-sifat pestisida dan tanah, dan interaksi pestisida dengan air seperti saat terjadinya hujan ataupun irigasi saat musim tanam. Proses perembesan dapat meningkat bila pestisida bersifat mudah larut dalam air, tanahnya berpasir, turun hujan saat penggunaan pestisida, dan pestisida tidak teradsorpsi dengan kuat dalam tanah.

Tarumingkeng (1992) menyampaikan degradasi pestisida adalah proses terjadinya penguraian pestisida oleh mikroba, reaksi kimia, dan sinar matahari. Prosesnya dapat terjadi setiap saat dari hitungan jam, hari, sampai tahunan bergantung pada kondisi lingkungan dan sifat-sifat kimia pestisida. Utamanya degradasi pestisida terjadi secara biokimia oleh mikrobia tanah. Kerentanan pestisida sintetik terhadap penguraian oleh mikrobia sangat tergantung pada strukturnya, terutama kesamaannya dengan mikro-organisme yang biasanya organik substrat. Degradasi terbagi :

(1) Degradasi akibat mikroba (biological degradation) adalah degradasi pestisida oleh mikroorganisme seperti fungi dan bakteri. Proses degradasi oleh mikroba ini akan mengalami peningkatan bila: temperatur, pH tanah cocok untuk pertumbuhan mikroba, cukup oksigen, dan fertilitas tanahnya cukup baik. (2) Degradasi kimia (chemical degradation) adalah proses degradasi akibat

reaksi kimia. Tipe dan kecepatan reaksi yang terjadi dipengaruhi oleh; ikatan antara pestisida dengan tanah, temperatur dan pH tanah.

(3) Degradasi fisik akibat sinar matahari (physical degradation) adalah degradasi pestisida oleh adanya sinar matahari. Tingkat degradasi akibat sinar matahari ini dipengaruhi oleh intensitas dan spektrum sinar matahari, lamanya terpapar, dan sifat pestisida.

Pestisida dikatakan persisten (persistent) jika dapat bertahan pada bidang sasaran atau pada lingkungan dalam jangka waktu yang relatif lama sesudah diaplikasikan. Tingkat residu pestisida di lingkungan dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti suhu lingkungan, kelarutannya dalam air, serta penyerapan oleh koloid dan bahan organik tanah (Djojosumarto 2008).

Interaksi Pestisida dengan Bahan Organik Tanah

Aktifitas dan biodegradasi pestisida dipengaruhi oleh afinitas pestisida untuk diadsorpsi (dijerap) oleh bahan organik tanah. Jerapan adalah proses dimana bahan kimia bergerak dari cairan atau fase cairan ke fase padat. Kemampuan menjerap tanah monmorillonit lebih tinggi daripada allopan dan kaolinit. Jerapan akan meningkat seiring meningkatnya kandungan bahan organik, liat, KTK, dan akan menurun seiring dengan meningkatnya pH dan temperatur. Tanah yang tinggi kandungan bahan organik dan liatnya mengadsorpsi pestisida lebih besar daripada tanah berpasir (Waldron 1992; Zimdahl 1993). Penyerapan pestisida ke dalam bahan organik dapat mempengaruhi sifat dan keberadaan pestisida di tanah melalui beberapa cara yaitu:


(37)

1. penyerapan itu membuat pestisida secara fisiologis menjadi tidak aktif atau sesuai untuk diurai oleh aktifitas mikroba.

2. Menurunkan pergerakan pestisida di tanah membuat pestisida cenderung kurang terhadap pencucian (Pedersen et al. 1995)

3. Bahan organik terlarut atau materi partikel koloid dapat membentuk ikatan komplek dengan pestisida, sehingga secara cepat meningkatkan kerentanan pestisida terhadap kehilangan karena pencucian (Gerstler 1991).

4. Pestisida yang berasosiasi dengan bahan organik rentan terhadap erosi tanah dan pergerakan ke air tanah sebagai suspensi akan tertunda (Brown et al. 1995).


(38)

3. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Letak Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian terletak di Desa Kanamit Jaya, Kecamatan Maliku, Kabupaten Pulang Pisau, Provinsi Kalimantan Tengah (Gambar 1). Lokasi penelitian terletak pada titik geografis -20 55’46”LU and 1140 10’16” BT.

Gambar 3.1. Peta lokasi penelitian

Lokasi terpilih merupakan lahan pertanian milik petani yang aktif digunakan sebagai lahan sawah yang ditanamai padi satu tahun sekali dan tata air makro sudah tersedia dengan kondisi yang baik (Gambar 3.2).

Gambar 3.2. Lahan sawah petani yang digunakan sebagai lahan penelitian (a) dan pintu air pada tata air makro di lokasi penelitian (b)


(1)

Lampiran 9. Populasi fungi dan bakteri pada pengamatan musim kemarau 2012 dan musim hujan 2012/2013

Awal Akhir Awal Akhir Awal Akhir Awal Akhir

P0 2.3 x 106 6 x 106 193 x 106 204 x 106 0.1 x 106 0.2x 106 700 x 106 2,900 x 106 P1 1.8 x 106 0.2 x 106 423 x 106 67 x 106 0.2 x 106 0.03 x 106 200 x 106 2,200 x 106 P2 2.3 x 106 0.04 x 106 644 x 106 174 x 106 0.03 x 106 0.002x 106 500 x 106 3,400 x 106 P3 1.5 x 106 0.04 x 106 557 x 106 103 x 106 0.3 x 106 0.002x 106 900 x 106 2,600 x 106 P4 3.8 x 106 0.006 x 106 992 x 106 656 x 106 0.2 x 106 0.001x 106 900 x 106 2,100 x 106 P5 0.5 x 106 0.006 x 106 981 x 106 371 x 106 0.1 x 106 0.1 x 106 200 x 106 5,200 x 106

A0 x x x x 1.0 x 106 0.002x 106 300 x 106 4,200 x 106

A1 x x x x 1.2 x 106 1.0 x 106 300 x 106 2,900 x 106

A2 x x x x 0.3 x 106 0.009x 106 2,100 x 106 2,000 x 106

Perlakuan pestisida dan pengelolaan air

Musim kemarau Musim hujan


(2)

Lampiran 10. Atribut setiap dimensi keberlanjutan dan deskripsi terhadap nilai skor

No. Atribut Skor Deskripsi

1. 1, 2, 3, 4 4 = 75 - 100% tenaga kerja usahatani berasal dari TKK

3 = 50 - 75% tenaga kerja usahatani berasal dari TKK 2 = 25-50% tenaga kerja usahatani berasal dari TKK 1 = < 25% tenaga kerja usahatani berasal dari TKK

2. 1, 2, 3, 4 4 = 100% kebutuhan tenaga kerja dari TKK

3 = 75% kebutuhan tenaga kerja dari TKK 2 = 50-75% kebutuhan tenaga kerja dari TKK 1 = < 50% kebutuhan tenaga kerja dari TKK 3. Penguasaan lahan dan

intensitas pengelolaan

1, 2, 3, 4 4 = Penguasaan lahan luas (> 4 ha) dan dikelola intensif

3 = Penguasaan lahan terbatas dan dikelola intensif 2 = Penguasaan lahan luas tapi tidak dikelola intensif 1 = Penguasaan lahan terbatas tapi tidak dikelola intensif

4. Minat untuk berusahatani 1, 2, 3, 4 4 = tinggi 3 = sedang 2 = kurang 1 = rendah

5. Tujuan berusahatani 1, 2, 3, 4 4 = mendapatkan keuntungan

3 = sedikit untuk mendapatkan keuntungan 2 = memenuhi kebutuhan sendiri

1 = mengisi waktu luang 6. Kestabilan harga hasil 1, 2, 3, 4 4 = stabil dan relatif tinggi

3 = agak stabil 2 = kurang stabil 1 = tidak stabil

7. 1, 2, 3, 4 4 = seluruh hasil panen mudah dipasarkan

3 = sebagian besar hasil panen mudah dipasarkan 2 = sebagian besar hasil panen sulit dipasarkan 1 = sulit memasarkan hasil panen

8. 1, 2, 3, 4 4 = seluruhnya tersedia di desa

3 = sebagian besar tersedia di desa 2 = sebagian besar tidak tersedia di desa 1 = tidak tersedia di desa

9. 1, 2, 3, 4 4 = 100% dari usahatani

3 = 50% dari usahatani

2 = sebagian besar pendapatan dari buruh tani 1 = sebagian besar pendapatan dari non pertanian

10. 1, 2, 3, 4 4 = R/C rasio > 1.5

3 = R/C rasio 1.25 - 1.5 2 = R/C rasio 1.0 - 1.25 1 = R/C rasio < 1.0 Ketersediaan input usaha

tani di desa

Kontribusi usahatani terhadap pendapatan total petani

Produktivitas lahan / keuntungan finansial (RC ratio) usahatani plot penelitian

Dimensi Ekonomi :

Potensi tenaga kerja keluarga (TKK) dalam usahatani

Kecukupan tenaga kerja keluarga (TKK) untuk usahatani

Kemudahan pemasaran hasil produksi usahatani


(3)

No. Atribut Skor Deskripsi

1. 1, 2, 3, 4 4 = lahan gambut sebagai lahan potensial asal dikelola intensif sesuai aturan

3 = sebagai lahan potensial dan dikelola sebagai lahan alternatif dari lahan mineral

2 = dikelola seadanya

1 = tidak perlu dikelola sesuai aturan karena lahan alternatif lain masih tersedia cukup

2. 1, 2, 3, 4 4 = mengerti dan mempelajari lebih dalam 3 = mengerti tapi tidak jelas

2 = baru mendengar dari penyuluhan

1 = tidak mengerti sama sekali atau tidak peduli 3. 1, 2, 3, 4 4 = mengerti dan mempelajari lebih dalam

3 = mengerti tapi tidak jelas

2 = baru mendengar dari penyuluhan

1 = tidak mengerti sama sekali atau tidak peduli 4. 1, 2, 3, 4 4 = penyuluhan dilakukan intensif

3 = penyuluhan tidak fokus pada pengelolaan lahan gambut saja

2 = penyuluhan sekali-kali saja 1 = tidak ada penyuluhan 5. 1, 2, 3, 4 4 = kelompok tani ada dan aktif

3 = kelompok tani ada tetapi tidak aktif 2 = kelompok tani antara ada dan tidak ada 1 = kelompok tani tidak ada

6. 1, 2, 3, 4 4 = dengan inisiatif sendiri membuat tabat, memberi pupuk kandang, mengelola air, dll

3 = dengan anjuran atau ada proyek melakukan hal tersebut di atas

2 = kadang-kadang mengikuti anjuran

1 = tidak ada indikasi melakukan hal tersebut diatas 7. Cara membuka lahan dan

mengolah tanah plot

1, 2, 3, 4 4 = tidak dengan membakar dan melakukan konservasi

3 = tidak dengan membakar 2 = kadang-kadang membakar 1 = selalu dengan cara membakar 8. 1, 2, 3, 4 4 = sangat respon

3 = cukup respon

2 = respon tetapi dengan imbalan 1 = tidak respon/ tidak peduli 9. 1, 2, 3, 4 4 = ada kearifan lokal yang dijalankan

3 = ada kearifan lokal tetapi tidak dijalankan 2 = tidak ada kearifan lokal

1 = tidak tahu/ tidak peduli 10. 1, 2, 3, 4 4 = tenaga kerja wanita aktif

3 = tenaga kerja wanita sebagian aktif 2 = tenaga kerja wanita tidak peduli 1 = tenaga kerja wanita tidak aktif Langkah petani yang

berindikasi melestarikan usaha tani lahan gambut

Respon petani dalam menerapkan teknologi melestarikan lahan gambut

Dimensi Sosial :

Persepsi masyarakat terhadap pengelolaan lahan gambut

Pengetahuan dan pengalaman tentang perubahan iklim

Kearifan lokal terkait dengan pertanian berkelanjutan

Keikutsertaan tenaga kerja wanita dalam pengelolaan usahatani

Pengetahuan dan pengalaman tentang pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT) Intensitas dan efektifitas penyuluhan kepada masyarakat tentang pengelolaan lahan gambut berkelanjutan

Eksistensi dan kebersamaan kelompok tani


(4)

No. Atribut Skor Deskripsi 1. Perkembangan tingkat emisi

GRK lahan observasi

1, 2, 3, 4 4 = emisi turun > 25% 3 = emisi turun 1 - 25% 2 = emisi tetap

1 = emisi naik

2. 1, 2, 3, 4 4 = bahan organik meningkat 3 = bahan organik tetap

2 = bahan organik turun 1 - 25% 1 = bahan organik turun > 25% 3. 1, 2, 3, 4 4 = kadar serat turun > 30%

3 = kadar serat turun 20 - 30% 2 = kadar serat turun 10 - 20% 1 = kadar serat turun < 10% 4. 1, 2, 3, 4 4 = elevasi muka air tanah naik

3 = elevasi muka air tanah tetap 2 = elevasi muka air tanah turun 1 = elevasi muka air tanah turun > 85cm 5. 1, 2, 3, 4 4 = tidak terjadi fluktuasi

3 = terjadi sedikit fluktuasi 2 = terjadi fluktuasi dan sering 1 = fluktuatif

6. 1, 2, 3, 4 4 = pH naik

3 = pH tetap

2 = pH turun (< dari 1) 1 = pH turun (> dari 1)

7. 1, 2, 3, 4 4 = pH naik

3 = pH tetap

2 = pH turun (< dari 1) 1 = pH turun (> dari 1) 8. 1, 2, 3, 4 4 = tidak pernah terjadi

3 = kadang-kadang kebakaran 2 = sering kebakaran

1 = sengaja dibakar untuk membuka lahan

9. 1, 2, 3, 4 4 = Tidak ada residu

3 = residu < 1 ppm 2 = residu > 1 ppm 1 =

10. 1, 2, 3, 4 4 = Jenis dan jumlah serangga meningkat > 25% 3 = Jenis dan jumlah serangga meningkat 1 - 25% 2 = Jenis dan jumlah serangga tetap

1 = Jenis dan jumlah serangga menurun Jenis dan jumlah serangga

pada awal dan akhir pengamatan Perubahan tingkat dekomposisi bahan organik

Elevasi muka air tanah pada awal dan akhir pengamatan

Fluktuasi debit air di lahan observasi pada awal dan akhir pengamatan

pH tanah lahan observasi pada awal dan akhir pengamatan

pH air lahan observasi pada awal dan akhir pengamatan

Kejadian kebakaran pada saat pelaksanaan penelitian Dimensi Ekologi/Lingkungan :

Konsentrasi bahan organik lahan observasi sebelum dan sesudah perlakuan

Residu pestisida di tanah dan air pada awal dan akhir pengamatan


(5)

Lampiran 11. Analisa kelayakan usahatani petani setempat

No. Uraian Petani

1 Produksi gabah (GKG)/Ha (ton/ha) 1.4

2 Penerimaan (produksi x harga GKG/kg) 5,544,000

3 Biaya/ modal (Rp)

a. Saprodi

* Benih padi 579,700

* Urea 352,800

* Tsp 233,333

* KCl 350,000

* NPK 187,500

* Kapur 416,667

* Insektisida 157,955

* Fungisida 20,000

* Herbisida 462,000

* Rodentisida 55,714

Jumlah 2,815,669

b. Tenaga kerja

1. Persemaian 70,000

2. Pengolahan tanah 512,400

3. Tanam 429,800

4. Memupuk 95,200

5. Menyiang 165,200

6. Menyemprot pestisida 120,400

7. Panen 292,600

8. Merontok 196,000

9. Menjemur 280,000

10. Mengelola air

-Jumlah 2,528,400

4 Total biaya (3a + 3b) 5,344,069

5 Keuntungan (2 - 4) 199,931


(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor (Jawa Barat) pada tanggal 16 April 1973, dari ayah H. Supardi Suping, M.Sc. dan ibu Hj. Nani Sumarni. Penulis merupakan anak pertama dari empat bersaudara, Suryawal, S.Hut, Indra Suwiguna, SE dan Inge Susana, Sp.

Penulis menyelesaikan pendidikan Strata-1 (S1) pada jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian Universitas Lambung Mangkurat (UNLAM), Kalimantan Selatan pada bulan Febuari tahun 1998. Kesempatan melanjutkan pendidikan master (S2) diperoleh pada tahun 2001 di University of the Philippines at Los Banos (UPLB), Department of Entomology atas dukungan biaya Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian dan selesai pada Juni 2003. Selanjutnya pada September 2010 kembali mendapatkan kepercayaan untuk mengikuti tugas belajar program doktor (S3) pada Institut Pertanian Bogor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL) atas biaya dari Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian.

Penulis adalah Peneliti Pertama pada Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa (BALITTRA), Kalimantan Selatan. Selama bertugas, penulis banyak terlibat dalam kegiatan penelitian, baik sebagai penanggung jawab penelitian maupun sebagai anggota. Terkait penelitian yang telah dilakukan untuk disertasi ini, sebuah artikel telah diterbitkan pada Jurnal Nasional terakreditasi LIPI, Jurnal Tanah dan Iklim Vol. 38 No. 2. 2014 dengan judul “Emisi CO2 dan CH4 dan

Konsentrasi Asam-Asam Fenolat di Bawah Pengaruh Beberapa Perlakuan Pestisida di Lahan Sawah Gambut Pasang surut”. Artikel lainnya sedang dalam proses penerimaan pada jurnal Internasional, yaitu Jurnal ISSAAS dengan judul “CO2 and CH4 emissions on different water management and pesticide treatments

in rice field of tidal peat swamp”. Karya-karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari program S-3 penulis.

Penulis dikaruniai satu orang putra, yaitu Khairunnajmi Alif Pratama. Harapan penulis semoga tenaga, pikiran dan pengorbanan yang telah tercurahkan untuk meraih penghargaan tertinggi di bidang akademik ini dapat meningkatkan kapasitas pengabdian kepada masyarakat dalam pembangunan pertanian dan sekaligus menjadi motivasi terutama bagi putra tercinta.