Kerangka Teori

3. Tinjauan Umum Tentang Illegal Fishing

a. Kelautan Indonesia

Sebagai negara maritim, Indonesia menyimpan potensi kekayaan sumber daya kelautan yang belum dieksplorasi dan dieksploitasi secara optimal, bahkan sebagian belum diketahui potensi yang sebenarnya untuk itu perlu data yang lengkap, akurat sehingga laut sebagai sumber daya alternatif yang dapat diperhitungkan pada masa mendatang akan semakin berkembang. Dengan luas wilayah maritim Indonesia yang diperkirakan mencapai 5,8 juta km2 dan dengan kekayaan terkandung di dalamnya yang meliputi :

1. Kehidupan sekitar 28.000 spesies flora, 350 spesies fauna dan

110.000 spesies mikroba,

2. 600 spesies terumbu karang dan 40 genera, jauh lebih kaya dibandingkan Laut Merah yang hanya memiliki sekitar 40 spesies dari 7 genera,

3. Sumberdaya yang dapat diperbaharui (renewable resources), termasuk ikan, udang, moluska, kerang mutiara, kepiting, rumput laut, mangrove/hutan bakau, hewan karang dan biota laut lainnya,

4. Sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui (non renewable resources), seperti minyak bumi, gas alam, bauksit, timah, bijih besi, mangan, fosfor dan mineral lainnya,

5. Energi kelautan seperti : Energi gelombang, pasang surut, angin,

dan Ocean Thermal Energy Conversion,

6. Jasa lingkungan (environmental services) termasuk tempat-tempat yang cocok untuk lokasi pariwisata dan rekreasi seperti pantai yang indah, perairan berterumbu karang yang kaya ragam biota karang, media transportasi dan komunikasi, pengatur iklim dan penampung limbah,

7. Sudah terbangunnya titik-titik dasar di sepanjang pantai pada posisi terluar dari pulau-pulau terdepan sebagai titik-titik untuk menarik garis pangkal darimana pengukuran batas laut berpangkal.

: dengan India, Thailand, Malaysia, Singapura, Filipina, Australia dan PNG.

Sejumlah potensi tersebut di atas merupakan sumberdaya yang sangat potensial dikelola, untuk kesejahteraan rakyat. Di era krisis ekonomi yang masih belum dapat diatasi sepenuhnya hingga saat ini, seharusnya potensi laut yang besar tersebut menjadi solusi. Namun karena selama ini kita telalu fokus kepada sumberdaya yang ada di darat, maka sumberdaya laut yang besar menjadi tersia-siakan. Keadaan inilah yang memberikan peluang kepada bangsa-bangsa lain untuk mengeksploitasi laut kita dengan leluasa yang salah satunya dengan illegal fishing.

b) Kendala kelautan

Disadari bahwa penanganan bidang kelautan di Indonesia hingga saat ini masih memprihatinkan, antara lain.

1. Kehancuran sebagian terumbu karang yang memilili fungsi ekologi dan ekonomi yang hanya menyisakan sekitar 28%, rawa pantai dan hutan mangrove (bakau) yang merupakan habitat ikan dan penyekat abrasi laut, dari 4 (empat) jutaan hektar telah menyusut menjadi 2 (dua) jutaan hektar,

2. Pencurian ikan oleh orang asing menunjukkan kerugian sekitar 1/2 (setengah) milyar dollar sampai 4 (empat) milyar dollar per tahun,

3. Sumberdaya manusia (SDM) di bidang kelautan yang sangat minim baik di bidang perencanaan, pengelolaan, maupun hukum dan pengamanan kelautan,

4. Sebagian besar (85%) kapal-kapal yang beroperasi di perairan Indonesia menggunakan modal asing dan selebihnya adalah modal nasional. Hal ini juga berdampak pada sekitar 50% pelayaran antar pulau dikuasai oleh pihak asing,

5. Minimnya jumlah dan kualitas sarana dan prasarana (kapal, peralatan) menyebabkan seringkali aparat keamanan laut (Kamla) 5. Minimnya jumlah dan kualitas sarana dan prasarana (kapal, peralatan) menyebabkan seringkali aparat keamanan laut (Kamla)

6. Pemanfaatan teknologi maju melalui pengamatan satelit dalam rangka pengawasan dan pengamanan laut (Waspam) masih sangat terbatas dan belum terintegrasi secara permanen,

7. Eksplorasi, eksploitasi dan pembangunan di sepanjang pantai dan perairan telah menyebabkan pencemaran laut akibat pembuangan limbah dari proses kegiatan tersebut di atas, sehingga telah mendegradasi habitat pesisir dan laut,

8. Maraknya kasus pembajakan laut khususnya di Selat Malaka dan alur lintas kepulauan Indonesia (ALKI) telah menimbulkan konflik yang mengundang intervensi negara maju (USA dan Jepang).

Faktor-faktor lain yang berpengaruh.

1). Lepasnya P. Sipadan dan P. Ligitan dari klaim wilayah kita ke tangan Malaysia memberikan pelajaran berharga guna mewaspadai pulau-pulau kecil yang ada di zona perbatasan dan memberikan kesadaranbagi kita semua tentang pentingnya pembinaan atas pulau-pulau tersebut,

2). Kondisi faktual, banyak WNI penduduk wilayah perbatasan lebih banyak berhubungan dengan warga negara tetangga/asing yang lebih maju, mereka menggunakan uang asing, menonton TV asing, mendengarkan radio asing dan menggunakan bahasa. asing (bahasa negara tetangga). Contoh, penduduk P. Sebatik (Indonesia-Malaysia), Kep. Sangir & Talaud dan P. Miangas (Indonesia-Filipina). Dengan demikian secara tidak sengaja penduduk perbatasan sudah terbina dan terkooptasi oleh pengaruh negara tetangga, sementara itu pembinaan dari pemerintah terhadap mereka sangat minim,

3). Adanya batas yang sangat panjang dan khususnya alur laut (ALKI) yang tidak dapat diawasi secara memadai karena 3). Adanya batas yang sangat panjang dan khususnya alur laut (ALKI) yang tidak dapat diawasi secara memadai karena

4). Keadaan ekonomi negara dan rakyat (khususnya nelayan) yang masih sulit menyebabkan kepedulian dan kemampuan terhadap pengelolaan dan Waspam laut sangat rendah,

5). Adanya pertentangan internal dalam negeri, antar kelompok etnis, agama, ras dan. golongan (SARA) atau pemerintahan daerah (Pemda) memberikan celah-celah bagi elemen asing yang bertujuan negatif dengan mengintervensi dan mengeksploitasi permasalahan SARA tersebut.

c) Permasalahan batas laut

Beberapa Jenis Batas Laut dan Pengaruhnya terhadap Pertahanan Keamanan Negara menurut ketentuan Hukum Laut Internasional (Hukla 1982), ada enam jenis batas laut, yaitu :

1. Batas Perairan Pedalaman (BPP). Perairan pedalaman di dalam garis batas yang ditentukan oleh hukum yang berlaku di situ praktis sama dengan di wilayah darat, dimana NKRI mempunyai kedaulatan penuh, kapal-kapal asing tidak berhak lewat. Perairan pedalaman tersebut dibatasi oleh garis penutup (closing lines) sesuai ketentuan Hukla 1982. Namun sayang Indonesia hingga saat ini belum memanfaatkan haknya untuk menarik closing lines tersebut.

2. Batas Perairan Nusantara/Kepulauan (BPN/BPK). Di perairan ini Indonesia mempunyai hak kedaulatan wilayah penuh tetapi kapal/pelayaran asing masih mempunyai “hak melintas” (innocent passage ) melalui prinsip alur laut kepulauan. Perairan nusantara ini dikelilingi oleh garis-garis dasar yang lurus (base lines) yang menghubungkan titik-titik pangkal (base points) dan bagian terdepan pulau-pulau terdepan di seluruh Indonesia. Base lines

4 Tahun 1960 dan telah didepositkan di PBB. Undang-undang tersebut telah diperbaharui dengan UU Nomor 6 Tahun 1996 namun isinya justru mencabut base points dan base lines yang telah ada.

3. Batas Laut Wilayah (BLW). Batas laut ini ditarik dari base lines sejauh 12 mil, tetapi BLW yang pasti/tegas juga belum ada, karena BLW tidak dapat ditentukan sepihak. Pada laut wilayah, Indonesia masih mempunyai hak mengelola dan yurisdiksi kedaulatan wilayah penuh.

4. Batas Perairan Zona Tambahan (BPZT). Garis BPZT ini ditarik 12 mil dari garis BLW. Karena BLW nya belum pasti, maka BPZT nya juga belum dibuat.

5. Batas Zona Ekonomi Eksklusif (BZEE). Garis BZEE ditarik sejauh/selebar 200 mil dari base lines. Di perairan ZEE ini, Indonesia mempunyai hak berdaulat atas kekayaan alam di situ dan kewenangan melindungi lingkungan, mengatur penelitian ilmiah maritim dan pemberian ijin kepada pihak asing yang akan melakukan penelitian ilmiah dan atau mendirikan bangunan (instalasi, pulau buatan). BZEE juga belum memiliki keabsahan/pengakuan yang pasti.

Batas Landas Kontinen (BLK). Landas Kontinen adalah ujung kaki benua atau lanjutan daratan yang tenggelam, garis BLK ditarik dari landas kontinen secara verfikal (di permukaan laut) sampai 200 mil dari base lines atau maksimal 350 mil dari base lines.

b. Arti Perikanan

Perikanan diatur oleh Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan. Pada Pasal 1 butir 1 dimuat arti perikanan adalah ”semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran, yang Perikanan diatur oleh Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan. Pada Pasal 1 butir 1 dimuat arti perikanan adalah ”semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran, yang

Wilayah perikanan diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan yang bunyinya sebagai berikut :

”wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia untuk penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan meliputi:

(i)

perairan Indonesia;

Sungai, danau, waduk, rawa, dan genangan air lainnya yang dapat diusahakan serta lahan pembudidayaan ikan yang potensial di wilayah Republik Indonesia.”

c. Tentang Perikanan Illegal

Perikanan ilegal saat ini telah menjadi perhatian dunia termasuk FAO (Food and Agriculture Organization). Lembaga ini menggunakan beberapa terminologi seperti perikanan ilegal (illegal), unreported (tidak dilaporkan) dan unregulated (tidak diatur) atau biasa disingkat dengan IUU Fishing. Penjelasan mengenai ketiga terminologi ini adalah sebagai berikut :

1. Illegal Fishing

Adalah kegiatan penangkapan ikan secara ilegal di perairan wilayah atau Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) suatu negara.Artinya kegiatan penangkapan yang tidak memiliki izin melakukan penangkapan ikan dari negara bersangkutan. Praktek terbesar dalam IUU Fishing seperti yang ditulis oleh Bray (2000), pada dasarnya adalah poaching atau pirate fishing. Yaitu penangkapan ikan oleh negara lain tanpa izin dari negara yang bersangkutan atau Adalah kegiatan penangkapan ikan secara ilegal di perairan wilayah atau Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) suatu negara.Artinya kegiatan penangkapan yang tidak memiliki izin melakukan penangkapan ikan dari negara bersangkutan. Praktek terbesar dalam IUU Fishing seperti yang ditulis oleh Bray (2000), pada dasarnya adalah poaching atau pirate fishing. Yaitu penangkapan ikan oleh negara lain tanpa izin dari negara yang bersangkutan atau

a. Pencurian semi ilegal

Yaitu pencurian ikan yang dilakukan oleh kapal asing dengan memanfaatkan surat izin pengkapan legal yang dimiliki oleh pengusaha lokal, dengan menggunakan kapal berbendera lokal atau berbendera negara lain. Praktek ini tetap dikategorikan sebagai illegal fishing karena selain menangkap ikan di wilayah yang bukan hak-nya, pelaku illegal fishing ini tidak jarang juga langsung mengirim hasil tangkapan tanpa melalui proses pendaratan ikan di wilayah yang sah.

b. Pencurian murni ilegal

Yaitu proses penangkapan ikan di mana kapal asing menggunakan benderanya sendiri untuk menangkap ikan di wilayah negara lain.

2. Unregulated Fishing

Adalah kegiatan penagkapan ikan di perairan wilayah atau ZEE suatu negara yang tidak mematuhi aturan yang berlaku di negara tersebut.Tercakup dalam hal ini diantaranya adalah :

a. Penggunaan alat tangkap yang merusak seperti trawl, bom, dan bius.

b. Pelanggaran wilayah tangkap

3. Unreported Fishing

Adalah kegiatan penangkapan ikan di perairan wilayah atau ZEE suatu negara, yang tidak dilaporkan baik operasionalnya maupun data kapal dan hasil tangkapannya.Perikanan yang tidak dilaporkan mencakup :

a. Kesalahan dalam pelaporannya (misreported)

b. Pelaporan yang tidak semestinya (under reported) b. Pelaporan yang tidak semestinya (under reported)

1. Pencurian ikan di wilayah Indonesia oleh kapal asing dan kapal ikan berbendera Indonesia yang tidak dilengkapi izin penangkapan.

2. Penggunaan izin palsu, termasuk kapal berdokumen asli atau sah secara hukum tetapi berbeda dengan fisik kapal. Kapal-kapal itu diperoleh dengan cara impor, hutang, lewat penetapan pengadilan, hibah atau pemalsuan surat kapal.

3. Penyalahgunaan izin. Yaitu penggunaan alat dan bahan yang tidak sesuai dengan ketentuan atau penggunaan anak buah kapal (ABK) asing.

4. Praktek transhipment, ekspor ilegal, dan pelanggaran daerah operasi penangkapan.

5. Perubahan bendera kapal yang dilakukan secara hibah (BUMN Online, 29 April 2002).

Menurut Agnew DJ, Pearce J, Pramod G, Peatman T, Watson R, et al. (2009) Estimating the Worldwide Extent of Illegal Fishing. PLoS ONE 4(2): e4570. doi:10.1371/journal.pone.0004570

Illegal and unreported fishing contributes to overexploitation of fish stocks and is a hindrance to the recovery of fish populations and ecosystems. This study is the first to undertake a world-wide analysis of illegal and unreported fishing. Reviewing the situation in 54 countries and on the high seas, we estimate that lower and upper estimates of the Illegal and unreported fishing contributes to overexploitation of fish stocks and is a hindrance to the recovery of fish populations and ecosystems. This study is the first to undertake a world-wide analysis of illegal and unreported fishing. Reviewing the situation in 54 countries and on the high seas, we estimate that lower and upper estimates of the

26 million tonnes. Our data are of sufficient resolution to detect regional differences in the level and trend of illegal fishing over the last

20 years, and we can report a significant correlation between governance and the level of illegal fishing. Developing countries are most at risk from illegal fishing, with total estimated catches in West Africa being 40% higher than reported catches. Such levels of exploitation severely hamper the sustainable management of marine ecosystems. Although there have been some successes in reducing the level of illegal fishing in some areas, these developments are relatively recent and follow growing international focus on the problem. This paper provides the baseline against which successful action to curb illegal fishing can be judged.

It is widely accepted that there is a severe problem with future global food security. Driven by substantial world population growth, demand for fish protein continues to increase, but a large number of the world's fish stocks are currently depleted and therefore not capable of producing their maximum sustainable yield Illegal and unreported fishing (in this paper taken to include illegal and unreported catches but to exclude discards and artisanal unregulated catches) prejudices the managed recovery of the world's oceans from severe fish depletions It is reported to lead to a loss of many billions of dollars of annual economic benefits, creates significant environmental damage through the use of unsustainable fishing practices and has wider consequences for food supply.

Estimating the level of illegal fishing is, by its very nature, extremely difficult and has not previously been attempted on a global scale. Fishing vessels, especially those fishing in high seas waters and under third party access agreements to EEZ waters (Exclusive Economic Zones, which can extend up to 200 nm from the coast), are

IUU (Illegal, Unreported and Unregulated) fishing in individual fisheries (both EEZs and high seas), only two studies have attempted to estimate the impacts of IUU over a whole region. In this paper we set out, for the first time, a detailed study which arrives at global estimates of current and historical illegal and unreported catches. ( Penangkapan ikan ilegal dan tidak dilaporkan memberikan kontribusi untuk eksploitasi berlebihan stok ikan dan merupakan penghalang bagi pemulihan populasi ikan dan ekosistem. Penelitian ini adalah yang pertama untuk melakukan analisis di seluruh dunia penangkapan ikan ilegal dan tidak dilaporkan. Meninjau situasi di 54 negara dan di laut lepas, kami memperkirakan bahwa bawah dan atas perkiraan dari total nilai arus kerugian illegal fishing dan tidak dilaporkan di seluruh dunia antara $ 10 miliar dan $ 23,5 milyar per tahun, mewakili antara 11 dan 26 juta ton.

Data kami resolusi cukup untuk mendeteksi perbedaan regional dalam tingkat dan kecenderungan penangkapan ikan secara ilegal selama 20 tahun terakhir, dan kita dapat melaporkan korelasi yang signifikan antara tingkat pemerintahan dan illegal fishing. Negara- negara berkembang yang paling berisiko dari illegal fishing, dengan menangkap total diperkirakan di Afrika Barat menjadi 40% lebih tinggi dari hasil tangkapan yang dilaporkan. tingkat eksploitasi tersebut sangat menghambat pengelolaan ekosistem laut. Meskipun ada beberapa keberhasilan dalam mengurangi tingkat penangkapan ikan ilegal di beberapa daerah, perkembangan yang relatif baru dan mengikuti tumbuh fokus pada masalah internasional. Makalah ini menyediakan basis yang berhasil untuk menghentikan aksi illegal fishing.

Hal ini diterima secara luas bahwa ada masalah berat dengan masa depan ketahanan pangan global. Didorong oleh pertumbuhan populasi dunia yang besar, permintaan protein ikan terus meningkat, Hal ini diterima secara luas bahwa ada masalah berat dengan masa depan ketahanan pangan global. Didorong oleh pertumbuhan populasi dunia yang besar, permintaan protein ikan terus meningkat,

Hal ini dilaporkan menyebabkan hilangnya banyak miliaran dolar manfaat ekonomi tahunan, menciptakan kerusakan lingkungan yang signifikan melalui penggunaan praktek penangkapan ikan yang tidak berkelanjutan dan memiliki konsekuensi yang lebih luas. Memperkirakan tingkat penangkapan ikan illegal ini, pada dasarnya, sangat sulit dan ini belum pernah dicoba pada skala global. kapal Perikanan, khususnya mereka yang memancing di perairan laut yang tinggi dan di bawah perjanjian akses pihak ketiga ke perairan ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif, yang dapat memperpanjang hingga 200 nm dari pantai), sangat mobile.

Meskipun ada sejumlah studi tentang tingkat IUU (Illegal, tidak dilaporkan dan tidak diatur) perikanan di perikanan individu (baik EEZs dan laut lepas)], hanya dua studi telah berusaha untuk memperkirakan dampak IUU atas seluruh wilayah. Dalam makalah ini kami berangkat, untuk pertama kalinya, sebuah studi rinci yang tiba pada perkiraan global tangkapan saat ini dan sejarah ilegal dan tidak dilaporkan )

Sumber Daya Ikan merupakan sumber daya yang dapat pulih kembali atau renewable resources, Namur demikian tetap ada batas- batasnya. Apabila sumber daya ikan dimanfaatkan tanpa batas atau tidak rasional serta melabihi batas optimal, maka dapat mengakibatkan kerusakan dan terancam kelestariannya. Pemanfaatan berlebihan yang mempunyai dampak kurang menguntungkan terhadap pelestarian sumber daya ikan, perlu dicegah dengan suatu pengaturan yang baik Sumber Daya Ikan merupakan sumber daya yang dapat pulih kembali atau renewable resources, Namur demikian tetap ada batas- batasnya. Apabila sumber daya ikan dimanfaatkan tanpa batas atau tidak rasional serta melabihi batas optimal, maka dapat mengakibatkan kerusakan dan terancam kelestariannya. Pemanfaatan berlebihan yang mempunyai dampak kurang menguntungkan terhadap pelestarian sumber daya ikan, perlu dicegah dengan suatu pengaturan yang baik

Kegiatan usaha penangkapan ikan akan terus berkembang pada masa Sekarang dan yang akan datang seiring dengan perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi perikanan (IPTEK Perikanan). Pemahaman terhadap semua pihak terhadap tata cara pengendalian pemanfaatan sumber daya ikan dalam suatu kawasan perairan laut dimaksudkan sebagai upaya terjaminnya kelestarian sumber, kesinambungan usaha, serta mencegah konflik sosial diantara nelayan. Hal ini dapat berjalan ketika ditunjang dengan penerapan sistem monitoring , controling dan surveillance (M-C-S) yang teratur dan sinambung, yaitu:

1) Monitoring adalah kegiatan untuk dapat mengetahui status sumber daya perikanan sehingga diperoleh data akurat yang dapat dijadikan dasar bagi pengaturan pemanfaatan yang harus dikeluarkan;

2) Controling adalah kegiatan untuk mengendalikan segala kegiatan penangkapan ikan sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku serta tujuan pengelolaan sumber;

3) Surveillance adalah kegiatan pengawasan untuk ditaatinya ketentuan peraturan-peraturan pengelolaan sumber di laut yang diikuti dengan sanksi bagi pelanggar dan untuk itu diperlukan enforcement .

Oceans in Crisis by Jo Kuper, Greenpeace International (2009) Over-fishing, climate change and pollution have severely degraded the world's oceans. PLoS ONE 6(3): e6860. doi:12.1481/journal.pone.0006860

Over-fishing and destructive fishing are made worse by illegal fishing, including unreported and unregulated fishing, collectively referred to in fisheries circles as IUUfishing.The High Seas Task Force estimates that globally, pirate fishing is worth up to US$9 billion.

US$100 million. In the Western and Central Pacific, pirates steal fish with a value of up to four times what the region earns in license fees. Environmental destruction goes hand in hand with illegal fishing. Because pirates operate, quite literally, off the radar of any enforcement, the fishing techniques.In 2001, Greenpeace estimated that there were at least 1 300 industrial scale pirate fishing ships at sea. The poorest countries pay the highest costs, through diminished resources and lost potential catches. As if illegal fishing weren't bad enough, legal fleets practice their own brand of piracy by paying developing countries pitifully small fees for licenses to fish in their national waters. Pacific island countries, for example, get a mere 5% of the US$3 billion their tuna.

Lack of funds makes it impossible for these countries to effectively police their own waters. The island of Kiribati, for instance, has an Exclusive Economic Zone (EEZ) of over 3 million square miles. Yet, they have just one patrol boat donated by Australia.Closing off international water areas between EEZs is critical to the fight against pirate fishing and overfishing. Because these areas are far away from land and hard to monitor, they are all too often easy pickings for illegal fishing.

Pirates often fish in national country waters and then claim that the catch came from international waters. They also use these areas to trans-ship (offload catch) and refuel at sea. This makes it much easier to avoid regulation of how much they have caught, and how much time they have spent at sea. The Greenpeace ship 'The Esperanza' is currently in the Western and Central Pacific, challenging the over- fishing of tuna species and highlighting the urgent need for Marine Reserves in three key high seas areas known as the Pacific Commons. Over-fishing and pirate fishing activities are driven by the growing demand for seafood around the world.

oleh illegal fishing, termasuk penangkapan ikan tidak dilaporkan dan tidak diatur, The High Seas Task Force memperkirakan bahwa secara global, memancing bajak laut bernilai hingga US $ 9 miliar. Somalia kehilangan US $ 300 juta setahun untuk bajak laut; Guinea kehilangan US $ 100 juta. Di Pasifik Barat dan Tengah, bajak laut mencuri ikan dengan nilai hingga empat kali lipat di daerah memperoleh biaya lisensi. Kerusakan lingkungan sejalan dengan illegal fishing. Karena bajak laut beroperasi, secara harfiah, dari radar dari setiap penegakan hukum, teknik penangkapan ikan yang mereka gunakan adalah menghancurkankehidupanlaut.

Pada tahun 2001, Greenpeace memperkirakan bahwa ada setidaknya

1 300 industri kapal nelayan skala bajak laut di laut. Negara-negara termiskin membayar biaya tertinggi, melalui sumber daya berkurang dan kehilangan potensi hasil tangkapan. Seakan illegal fishing tidak cukup buruk, armada praktek hukum merek mereka sendiri pembajakan dengan membayar negara-negara berkembang menyedihkan biaya kecil untuk lisensi untuk ikan di perairan nasional mereka. negara pulau Pasifik, misalnya, mendapatkan hanya 5% dari US $ 3 miliar tuna. Kurangnya dana membuat tidak mungkin bagi negara-negara untuk secara efektif polisi perairan mereka sendiri. Pulau Kiribati, misalnya, memiliki Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) lebih dari 3 juta mil persegi. Namun, mereka hanya satu kapal patrol yang disumbangkan oleh Australia.

Menutup wilayah dengan air internasional antara EEZs sangat penting untuk memerangi penangkapan ikan bajak laut dan penebangan hutan. Karena daerah ini jauh dari tanah dan sulit untuk memantau, mereka terlalu sering mudah bagi-hasil illegal fishing.

Pirates sering ikan di perairan negara nasional dan kemudian mengklaim bahwa menangkap berasal dari perairan internasional. Mereka juga menggunakan area tersebut untuk trans-kapal (menangkap Pirates sering ikan di perairan negara nasional dan kemudian mengklaim bahwa menangkap berasal dari perairan internasional. Mereka juga menggunakan area tersebut untuk trans-kapal (menangkap

d. Jalur-Jalur Penangkapan Ikan

Jalur penangkapan ikan di Indonesia berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 392/Kpts/IK.120/4/99 tentang Jalur-Jalur Penangkapan Ikan, menetapkan jalar-jalur penangkapan ikan sebagai berikut:

1) Jalur Penangkapan Ikan I meliputi perairan pantai diukur dari permukaan air laut pada surut terendah pada setiap pulau sampai dengan 6 mil laut ke arah laut bebas. Jalur penangkapan ini dibagi menjadi 2 (dua) yaitu: (a) perairan pantai yang diukur dari permukaan air laut pada

surut terendah sampai 3 mil laut; (b) perairan pantai diluar 3 mil laut sampai dengan 6 mil laut. (c) jalur penangkapan ikan tersebut tertutup bagi:

(i) Perahu atau kapal perikanan dengan mesin dalam (in

board ) lebih dari 5 GT atau 10 DK (ii) Semua jenis jaring trawl (beam-otter-pair) (iii) Jaring pukat dan sejenisnya – purse seine (iv) Jaring pukat lingkar atau hanyut (v) Payang, dogol, dan lain-lain yang panjangnya lebih dari

120 meter

2) Jalur Penangkapan Ikan II meliputi perairan di luar jalur penangkapan ikan I sampai dengan 12 mil laut ke arah laut bebas, pada jalur ini hanya diperbolehkan untuk :

(b) Kapal Perikanan dengan menggunakan alat penangkap ikan: (i) Pukat Cincin (purse seine) berukuran panjang maksimal 600 meter dengan cara pengoprasian menggunakan 1 (satu) kapal (tunggal) yang bukan grup atau maksimal 1000 meter dengan cara pengoprasian menggunakan 2 (dua) kapal (ganda) yang bukan grup;

(ii) Tuna long line (pancing tuna) maksimal 1.200 (seribu

dua ratus) buah mata pancing; (iii) Jaring insang hanyut (drift gill net), berukuran panjang

maksimal 2.500 meter. (c) Jalur penangkapan ikan tersebut tertutup bagi:

(i) Perahu atau kapal perikanan dengan mesin dalam (in

board ) lebih dari 25 GT atau 50 DK (ii) Jaring trawl dasar dengan tali ris lebih dari 12 meter (iii) Jaring trawl melayang (iv) Jaring pukat cincin dan sejenisnya lebih dari 300 meter

3) Jalur Penangkapan Ikan III meliputi perairan di luar jalur penangkapan ikan II sampai dengan batas terluar Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia diatur sebagai berikut: (a) Di perairan Indonesia diperbolehkan untuk kapal perikanan

berbendera Indonesia; ukuran maksimal 200 GT, kecuali yang menggunakan alat penangkap ikan Purse Seine Pelagis Dasar di Teluk Tomini, Laut Maluku, Laut Seran, Laut Banda, Laut Flores, dan Laut Sawu, dilarang untuk semua ukuran;

(b) Perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia Selat Malaka diperbolehkan untuk kapal berbendera Indonesia ukuran maksimal 200GT, kecuali yang menggunakan alat penangkap ikan pukat (fish net)minimal berukuran 60 GT;

Ekonomi Eksklusif Indonesia Selat Malaka, diperbolehkan bagi: (i) Kapal Perikanan berbendera Indonesia dan berbendera

Asing ukuran maksimal 350 GT bagi semua alat penangkap ikan;

(ii) Kapal Perikanan ukuran di atas 350 GT sampai 800 GT yang menggunakan alat penangkap ikan Purse Seine, hanya boleh beroperasi di luar Jawa 100 mil laut dari Garis Pangkal Kepulauan Indonesia;

(iii) Kapal Perikanan dengan alat penangkap ikan Purse Seine dengan sistem grup hanya boleh beroperasi di luar 100 mil laut di luar Garis Pangkal Kepulauan Indonesia.

(d) Jalur penangkapan ikan tersebut tertutup bagi: (i) Perahu atau kapal perikanan dengan mesin dalam (in

board ) lebih dari 100 GT atau 200 DK (ii) Jaring trawl dasar atau melayang dengan tal iris lebih

dari 20 meter (iii) Pair trawl (sepasang jaring trawl) (iv) Jaring pukat cincin atau kolor dan sejenisnya lebih dari

600 meter

4) Jalur Penangkapan Ikan IV : yaitu diluar jalur III, dimana terbuka

bagi:

a) Semua jenis kapal dan alat

b) Pair (bull) trawl khusus di Samudra Hindia

c) Jalur I khusus bagi nelayan tradisional.

“Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia adalah jalur di luar dan berbatasan dengan laut territorial Indonesia sebagaimana ditetapkan berdasarkan berdasarkan undang-undang yang berlaku tentang perairan Indonesia yang meliputi dasar laut, tanah di bawahnya, dan air di atasnya dengan batas terluar 200 (dua ratus) mil laut yang diukur dari

Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan).

Dalam Zona Ekonomi Eksklusif, Indonesia mempunyai dan melaksanakan hak berdaulat untuk eksplorasi, eksploitasi, pengelolaan dan konservasi sumber daya alam hayati. Kegiatan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam hayati di Zona ekonomi Eksklusif harus berdasarkan izin dari pemerintah Republik Indonesia atau berdasarkan persetujuan internasional dengan Pemerintah Republik Indonesia.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 15 tahun 1984 tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam Hayati di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia:

1) Menteri Pertanian menetapkan jumlah tangkapan yang diperbolehkan menurut jenis atau kelompok jenis sumber daya alam hayati di sebagian atau seluruh Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia;

2) Menteri Pertanian menetapkan alokasi jumlah unit kapal perikanan dan jenis alat penangkap ikan dari masing-masing kapal dengan memperhatikan jumlah tangkapan yang diperbolehkan;

3) Orang atau badan hukum yang melakukan penangkapan ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia harus terlebih dahulu memperoleh izin dari Pemerintah Republik Indonesia;

4) Orang atau badan hukum asing yang akan melakukan penangkapan ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia terlebi dahulu memperoleh izin dari Pemerintah Republik Indonesia, wajib terlebih dahulu mengajukan permohonan untuk izin penangkapan ikan kepada Menteri Pertanian atau pejabat yang ditunjuk olehnya;

5) Dalam surat permohonan, harus dilengkapi dengan data sebagai berikut: (a) Jumlah kapal yang akan digunakan; (b) Nama, alamat dan kebangsaan pemilik kapal; (c) Nama kapal;

(e) Negara registrasi, nomor registrasi, dan bendera kapal; (f) Panjang kapal; (g) Berat kotor kapal; (h) Kekuatan mesin kapal; (i) Daya muat palkah kapal; (j) Nama, alamat dan kebangsaan nahkoda kapal; (k) Jumlah awak kapal; (l) Jenis dan jumlah alat penangkap ikan yang akan dibawa atau

digunakan masing-masing kapal; (m) Daerah penangkapan ikan yang diinginkan.

e. Alat Penangkap Ikan

Jenis-jenis alat penangkap ikan yang dilarang menurut Pasal 8-9 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan adalah sebagai berikut :

1) Pukat Udang

Pukat udang adalah jenis jaring berbentuk kantong dengan sasaran tangkapannya udang. Jaring dilengkapi sepasang (2 buah) papan pembuka mulut jaring (otter board) dan Turtle Excluder Device /TED, tujuan utamanya untuk menangkap udang dan ikan dasar (demersal), yang dalam pengoperasiannya menyapu dasar perairan dan hanya boleh ditarik oleh satu kapal motor.

2) Pukat Cincin (Purse Seine)

Pukat cincin atau jaring lingkar (purse seine) adalah jenis jaring penangkap ikan berbentuk empat persegi panjang atau trapesium, dilengkapi dengan tali kolor yang dilewatkan melalui cincin yang diikatkan pada bagian bawah jaring (tali ris bawah), sehingga dengan menarik tali kolor bagian bawah jaring dapat dikuncupkan sehingga gerombolan ikan terkurung di dalam jaring.

3) Pukat Ikan 3) Pukat Ikan

4) Pukat Hela

Pukat Hela adalah semua jenis alat penangkapan ikan berbentuk jaring berkantong, berbadan dan bersayap yang dilengkapi dengan pembuka jaring yang dioperasikan dengan cara ditarik/dihela menggunakan satu kapal yang bergerak sedangkan Kapal Pukat Hela adalah kapal penangkap ikan yang menggunakan alat penangkapan ikan pukat hela.

5) Pukat Harimau (Jaring Trawl)

Jaring Trawl merupakan jenis-jenis jaring berbentuk kantong yang ditarik oleh sebuah kapal bermotor dan menggunakan alat pembuka mulut jaring yang disebut gawang (beam) atau sepasang alat pembuka (otter board) dan jaring yang ditarik oleh 2 (dua) buah kapal bermotor. Nama lainnya dikenal dengan pukat harimau, pukat tarik, tangkul tarik, jaring tarik, jaring trawl ikan, pukat apolo, dan pukat langgasi. Alat tangkap ini merupakan alat tangkap yang produktif, untuk berbagai jenis ikan, dan utamanya adalah udang.

6) Pukat Kantong (sein net)

Pukat Kantong adalah alat penangkapan ikan berbentuk kantong yg terbuat dari jaring & terdiri dari 2 (dua) bagian sayap, badan dan kantong jaring. Bagian sayap pukat kantong (seine net) lebih panjang dari pada bagian sayap pukat tarik (trawl). Alat tangkap ini digunakan untuk menangkap berbagai jenis ikan pelagis, dan demersal. Pukat Kantong terdiri dari Payang, Dogol dan Pukat Pantai.

Pancing adalah alat penangkapan ikan yang terdiri dari sejumlah utas tali dan sejumlah pancing. Setiap pancing menggunakan umpan atau tanpa umpan, baik umpan alami ataupun umpan buatan. Alat penangkapan ikan yang termasuk dalam klasifikasi pancing, yaitu rawai (long line) dan pancing.

8) Muroam

Muroam adalah alat penangkapan ikan berbentuk kantong yg terbuat dari jaring dan terdiri dari 2 (dua) bagian sayap yang panjang, badan dan kantong jaring (cod end). Pemasangannya dng cara menenggelamkan muroami yang dipasang menetap menggunakan jangkar. Pada setiap ujung bagian sayap serta di sisi atas kedua bagian sayap dan mulut jaring dipasang pelampung bertali panjang. Untuk menarik jaring ke arah belakang, menggunakan sejumlah perahu/kapal yg diikatkan pada bagian badan dajn kantong jaring. Muroami dipasang di daerah perairan karang untuk menangkap ikan-ikan karang.

9) Perangkap (Traps)

Perangkap adalah alat penangkapan ikan berbagai bentuk yang terbuat dari jaring, bambu, kayu dan besi, yangg dipasang secara tetap di dasar perairan atau secara portable (dapat dipindahkan) selama jangka waktu tertentu. Umumnya ikan demersal terperangkap atau tertangkap secara alami tanpa cara penangkapan khusus.

10) Jaring Angkat (Lift Net)

Jaring angkat adalah alat penangkapan ikan berbentuk lembaran jaring persegi panjang atau bujur sangkar yang direntangkn atau dibentangkan dengan menggunakn kerangka dari batang kayu atau bambu (bingkai kantong jaring) sehingga jaring angkat membentuk kantong.

11) Jaring Insang (Gillnet) 11) Jaring Insang (Gillnet)

Tinggi jaring insang permukaan 5-15 meter & bentuk gill net empat persegi panjang atau trapesium terbalik, tinggi jaring insang pertengahan 5-10 meter dan bentuk gill net empat persegi panjang serta tinggi jaring insang dasar 1-3 meter dan bentuk gill net empat persegi panjang atau trapesium. Bentuk gill net tergantung dari panjang tali ris atas dan bawah.

12) Alat Pengumpul Rumput Laut (Sea Weed Colector)

Alat pengumpul rumput laut adalah alat yg digunakan untuk mengambil dan mengumpulkan rumput laut, terdiri dari pisau, sabit dan alat penggaruk. Pengumpulannya dilakukan dengan menggunakan tangan dan pisau atau sabit sebagai alat pemotong dan alat penggaruk sebagai alat pengumpul rumput laut. Hasil potongan rumput laut dimasukkan ke dalam keranjang.