Kasus Pembangunan Industri di Kawasan Situs Majapahit di Kecamatan Trowulan Kabupaten
1 Kasus Pembangunan Industri di Kawasan Situs Majapahit di Kecamatan Trowulan Kabupaten
Di Kabupaten Mojokerto, tepatnya di Kecamatan Trowulan terdapat area situs yang letaknya cukup strategis karena dilalui jalan arteri primer nasional yang menghubungkan Surabaya-Yogyakarta. Berdasarkan Kepmendikbud Nomor 177/M/1998 tentang Penetapan Situs dan Benda Cagar Budaya di Wilayah Provinsi Jawa Timur, Kompleks Trowulan ini dinyatakan sebagai situs dan benda cagar budaya.
Pada November 2012, Bupati Mojokerto memberikan izin pada PT. Manunggal Sejati Group untuk mendirikan Industri Pengolahan Baja di Desa Jatipasar, Kecamatan Trowulan. Permasalahannya, wilayah berdirinya industri tersebut masih belum jelas statusnya, berada di dalam atau di luar Kompleks Trowulan. Oleh karena itu pada Juli 2013, Kemdikbud melalui Balai Pelestarian Cagar Budaya Mojokerto mengajukan surat pada DPRD Kab. Mojokerto yang isinya menyatakan bahwa IMB atas rencana pendirian pabrik baja tidak benar karena Balai tidak pernah menerbitkan surat rekomendasi. Status terakhir, dinyatakan bahwa lokasi pabrik berada di luar
kawasan pemeliharaan cagar budaya. Berikut, kronologi Rencana Pembangunan Pabrik Pengolahan Baja di Desa Jatipasar Kecamatan Trowulan.
Saat ini, kasus tersebut masih belum selesai diputuskan dan sedang dalam proses pemeriksaan oleh Tim Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS)-Ditjen Penataan Ruang, Kementerian Pekerjaan Umum. Berdasarkan hasil laporan sementara, Tim PPNS mengungkapkan bahwa apabila pembangunan pabrik tersebutditeruskan, maka akan terbuka sekitar 300- 400 lapangan pekerjaan baru yang akan meningkatkan PAD Kab. Mojokerto. Sedangkan dampak negatifnya adalah kelestarian situs tersebut terancam dan mungkin akan terjadi gugatan dari masyarakat sipil (Komunitas ‘Save Trowulan’) kepada Pemerintah. Dalam proses penyelesaiannya, kondisi dilematis terjadi karena adanya perbedaan substansi antara RTRW Provinsi Jawa Timur dan RTRW Kab. Mojokerto terkait penetapan Kec. Trowulan sebagai kawasan cagar budaya. Sejauh ini, rekomendasi yang diajukan adalah merelokasi rencana pembangunan pabrik ke Kawasan Industri Ngoro dan segala konsekuensi dibicarakan lebih lanjut oleh Pemkab Mojokerto, Pemprov Jawa Timur, dan Pemerintah Pusat. Kemudian area calon pabrik yang dibatalkan (3,4 Ha) dimiliki oleh Pemerintah, dan dimanfaatkan untuk kegiatan pengembangan Trowulan sebagai Kawasan Taman Majapahit.
Gambar 4 Lokasi Pembangunan Industri Baja di Kawasan Situs Majapahit
Gambar 5 Pro Kontra Pembangunan Pabrik Baja di Trowulan
Gambar 3 Skema Program Peningkatan Pengawasan dan Pengendalian Pemanfaatan Ruang (P5R)
18 buletin tata ruang & pertanahan
Tantangan Koordinasi Penataan Ruang ke Depan: Berharap pada Peningkatan Kiprah BKPRN
Dr. Ir. Max H. Pohan, CES Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah, Kementerian PPN/Bappenas, 2007-2013
Pentingnya koordinasi dalam penataan ruang telah sejak awal disadari oleh Pemerintah dan para pengambil kebijakan. Dikeluarkannya Keputusan Presiden (Keppres) No. 57/1989 tentang Tim Koordinasi Pengelolaan Tata Ruang Nasional (selanjutnya disebut “Tim Tata Ruang”) yang mendahului keberadaan Undang Undang (UU) No. 24/1992 tentang Penataan Ruang. Pembentukan Tim Tata Ruang ini menunjukkan bahwa upaya koordinasi sejak awal telah ditetapkan untuk diserahkan pada sebuah badan khusus yang diberi peran utama melakukan koordinasi penyelenggaraan tata ruang, yang kemudian menjelma menjadi BKPRN (Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional) yang kita kenal sekarang.
Evolusi Menuju BKPRN Perjalanan menuju bentuk BKPRN dimulai dengan diterbitkannya
Keppres No. 57/1989 tentang Tim Koordinasi Pengelolaan Tata Ruang Nasional sebagaimana telah disebutkan di atas. Keppres ini merujuk pada UU No. 4 /1982 tentang Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pada saat tersebut, nama BKPRN atau BKTRN belum ada, dan tim koordinasi ini hanya disebut sebagai Tim Tata Ruang yang (hanya) beranggotakan lima instansi yaitu Bappenas, Departemen Dalam Negeri (Depdagri), Sekretariat Negara (Setneg), Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), dan Badan Pertanahan Nasional (BPN), dan diketuai oleh Meneg PPN/Ketua Bappenas. Walaupun masih baru dibentuk, namun tugas yang diemban cukup berat, yaitu menyangkut (i) perumusan kebijakan dan strategi, (ii) koordinasi penanganan masalah termasuk penelitian masalah, (iii) pengembangan dan penetapan kriteria, prosedur dan pengendalian pengelolaan tata ruang.
Menyusul terbitnya UU No. 24/1992 tentang Penataan Ruang, dilakukanlah penyempurnaan terhadap Tim Tata Ruang melalui penerbitan Keppres No. 75/1993 tentang Koordinasi Pengelolaan Tata Ruang Nasional. Selanjutnya Tim Tata Ruang berubah menjadi Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional (BKTRN), diketuai Meneg PPN/Ketua Bappenas dan anggotanya bertambah dengan masuknya Departemen Pertahanan dan Keamanan (Dephankam) dan Departemen Pekerjaan Umum (Dep. PU). Keberadaan UU No. 24/1992 kemudian menjadikan tugas BKTRN menjadi lebih berat
dari sebelumnya, yaitu melakukan inventarisasi sumber daya, mengoordinasikan pelaksanaan strategi nasional pengembangan pola tata ruang secara terpadu, menyelenggarakan pembinaan pelaksanaan penataan ruang daerah, dan mengoordinasikan penyusunan peraturan pelaksanaan UU No. 24/1992.
Memasuki era desentralisasi dan otonomi daerah pasca gerakan reformasi 1998 yang ditandai dengan lahirnya UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah, telah mendorong perubahan terhadap BKTRN melalui penerbitan Keppres No. 62/2000 tentang Koordinasi Penataan Ruang Nasional. Perubahan utama yang terjadi berupa perubahan BKTRN menjadi Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKPRN), dan diketuai oleh Menteri Negara Koordinator (Menko) Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Industri atau Menko Ekuin. Ini menyusul akibat adanya degradasi status Kemeneg PPN/Bappenas dari setingkat Menteri Negara menjadi “hanya” setingkat “Badan” pada Kabinet Gus Dur. Dengan demikian posisi Ketua BKTRN dipegang oleh Menko Ekuin.
Beberapa anggota baru BKTRN adalah Kementerian Negara Otonomi Daerah dan Departemen Pertanian (Deptan). Selain itu, tugas yang diemban menjadi semakin banyak bahkan beberapa bersifat eksekusi diantaranya mengoordinasikan dan memantau pelaksanaan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN); mengoordinasikan penyusunan peraturan perundang-undangan bidang tata ruang (TR); memaduserasikan UU No. 24/1992 dan peraturan pelaksanaannya dengan pelaksanaan UU No. 22/1999 serta memaduserasikan penatagunaan tanah dan sumberdaya alam (SDA) dengan Rencana Tata Ruang (RTR); menyelenggarakan pembinaan tata ruang di daerah serta pembinaan dan penentuan prioritas terhadap Kawasan Strategis Nasional (KSN); membina kelembagaan dan sumberdaya manusia (SDM) penyelenggara tata ruang (TR); menyelenggarakan pembinaan dan standarisasi perpetaan TR.
Melihat dan mempertimbangkan bahwa UU No. 24/1992 sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan pengaturan penataan ruang, maka ditetapkanlah UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang. Mengimbangi lahirnya UU yang baru ini, kemudian dilahirkan Keppres No. 4/2009 tentang Badan Koordinasi Penataan Ruang
Penataan ruang nasional 1 tidak pelak lagi merupakan elemen yang penting dalam pembangunan nasional
kita. Penataan ruang yang baik dan dipatuhi akan menjamin keberlanjutan kehidupan bangsa sambil berupaya untuk peningkatan kesejahteraan rakyat. Ruang dan sumberdaya alam memiliki nilai sangat strategis bagi kehidupan setiap individu, masyarakat, dan bangsa dengan berbagai kepentingan masing-masing. Ruang dan sumberdaya alam juga memiliki keterbatasan (scarcity) sehingga dalam penggunaannya sering menimbulkan konflik dan segala macam ekses negatifnya. Oleh karena itu diperlukan pengaturan dan pengkoordinasian penataan ruang dalam perencanaan, pemanfaatan, dan pengendaliannya. Dalam skala nasional, koordinasi dalam penataan ruang sangat dibutuhkan dalam menciptakan keterpaduan pembangunan antarsektor, antarwilayah, dan antarpemangku kepentingan. Koordinasi penataan ruang akan mendorong terciptanya pemanfaatan ruang yang optimal. Dengan demikian, koordinasi menjadi salah satu kunci keberhasilan penataan ruang, dan pada gilirannya, keberhasilan pembangunan nasional itu sendiri.
1 Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang (UU No. 26/2007)
artikel
Nasional. Dalam Keppres ini tercatat beberapa perubahan lagi kegiatan yang bersifat eksekusi; (iii) kegiatan tambahan berupa mendasar terkait BKPRN yaitu: (i) bertambahnya anggota BKPRN
koordinasi pemasilitasian kerjasama penataan ruang antarprovinsi, dengan masuknya Kementerian Energi Sumber Daya Mineral
kerjasama penataan ruang antarnegara dan penyebarluasan (ESDM) , Kementerian Perindustrian, Kementerian Kehutanan,
informasi penataan ruang.
Kementerian Kelautan dan Perikanan; (ii) secara tegas dinyatakan tugas BKPRN adalah melakukan koordinasi, sehingga tidak ada
Tabel 1 Perbandingan Peran dan Fungsi BKPRN (1989-2014)
Keputusan Presiden (Keppres)
No 57/1989 tentang Tim Koor-
No 4/2009 tentang Badan Koordinasi dinasi Pengelolaan Tata Ruang
No 75/1993 tentang Koordinasi
No 62/2000 tentang Koordinasi
Penataan Ruang Nasional Nasional
Pengelolaan Tata Ruang Nasional
Penataan Ruang Nasional
Rujukan UU 4/1982 tentang Ketentuan
UU 26/2007 tentang Penataan Ruang Pokok Pengelolaan Lingkungan
UU 24/1992 tentang Penataan
UU 24/1992 tentang Penataan
UU 27/2007 tentang Pengelolaan Hidup
Ruang
Ruang
UU 22/1999 tentang Pemerintahan wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Daerah
Keanggotaan Tim Tata Ruang berasal dari dari
BKPRN terdiri dari 14 in- 5(lima) instansi, yaitu Bappenas,
Badan Koordinasi Tata Ruang
Badan Koordinasi Penataan Ruang
stitusi KemenkoPerek, Depdagri, Setneg,KLH, BPN
Nasional (BKTRN) terdiri dari 7
(BKPRN) terdiri dari 10 institusi
(tujuh) instansi, yaitu Bappenas,
yaitu Kemenko Ekuin, Bappenas,
KemenPU,Kemdagri,Bappenas, Ke
Setneg, Depdagri, Dephankam,
Depkimpraswil, Depdagri, Dephan,
menhankam,KemenESDM,Kemenp
Dep PU, Kemeng LH, BPN.
Deptan, MenegPU, MenegLH,
erindustrian, Kementan, Kemenhut,
KemenKP,KemengLH,BPN,Setneg Struktur
MenegOtda, Kepala BPN
Ketua: Meneg PPN/Ketua Bap-
Ketua: Menko Perekonomian penas, Waka: Menteri/Sekneg,
Ketua: Meneg PPN/Ketua Bap-
Ketua: Menko Ekuin
Waka: MenPU, Mendagri Meneg KLH Anggota: 4 eselon 1. Waka: Sekneg
penas
Waka: Menkimpraswil
Sekretaris: MenPPN/Kepala Bappenas Didukung oleh Pokja dan
Sekretaris: Kepala Bappenas
Anggota: 10 menteri dan 1 wamen sekretariat
Anggota: 5 menteri dan 1 eselon I Anggota: 7 menteri dan 1 eselon I
Didukung oleh Pokja dan Tim
Didukung Tim Teknis dan Pokja
Didukung Pokja dan Sekretariat
Teknis
Tugas (*) 1. Merumuskan kebijaksanaan
Melakukan koordinasi dalam: dan mengoordinasikan langkah
1. Melakukan inventarisasi sumber
1. Mengoordinasikan pelaksanaan
1. Penyiapan kebijakan penataan penanganan masalah peman-
daya dalam rangka penyusunan
RTRWN
ruang nasional faatan ruang
dan penyempurnaan strategi
secara terpadu yang dijabarkan
2. Pelaksanaan RTRWN secara ter- 2. Menyusun strategi nasional
nasional pengembangan pola tata
dalam programpembangunan
padu yang dijabarkan dalam program pengembangan pola tata ruang
ruang dan pola pengelolaannya
sektor dan program pembangunan
pembangunan sektor dan di daerah secara terpadu serta mengenda-
2. Mengoordinasikan pelaksanaan di daerah;
3. Penanganan dan penyelesaian likan pemanfaatan ruang
strategi nasional pengembangan
2. Merumuskan kebijakan dan
mengoordinasikan penanganan dan masalah yang timbul, baik di tingkat 3. Mengembangkan dan
pola tata ruang secara terpadu
nasional dan daerah, memberi penga- menetapkan kriteria pengelolaan
3. Menyelenggarakan pembinaan
penyelesaian masalah yang timbul
rahan dan pemecahannya tata ruang
pelaksanaan penataan ruang
baik di tingkat nasional maupun
4. Penyusunan peraturan per UU an di 4. Mengembangkan dan men-
daerah
daerah, dan memberikanpengara-
bidang TR, termasuk standar, prosedur etapkan prosedur pengelolaan
4. Mengembangkan dan men-
han serta saran pemecahannya;
dan kriteria tata ruang dan mengendalikannya tata ruang
etapkan prosedur pengelolaan
3. Mengoordinasikan penyusunan
5. Pemaduserasian berbagai peraturan 5. Meneliti masalah pemanfaatan
peraturan perundang-undangan
terkait penyelenggaraan TR ruang di daerah dan mem-
5. Merumuskan kebijaksanaan
bidang TR
6. Pemaduserasian penatagunaan berikan pengrahan serta saran
dan mengoordinasikan penanga-
4. Memaduserasikan UU 24/1992
tanah dan SDA lainnya dengan RTR pemecahan.
nan dan penyelesaian masalah
dan peraturan pelaksanaannya
penataan ruang, baik di nasional
dengan pelaksanaan UU 22/1999
7. Pemantauan pelaksanaan RTRWN
maupun daerah, danmemberi-
5. Memaduserasikan penatagunaan dan pemanfaatan hasil pemantauan
kan pengarahan dan saran
tanah dan SDA dengan RTR
untuk penyempurnaan
pemecahan
6. Memantau pelaksanaan RTRWN
8. Penyelenggaraan , pembinaan
6. Mengoordinasikan penyusu-
dan memanfaatkan hasilnya untuk
dan penentuan prioritas pelaksanaan
nan perturan pelaksanaan UU
penyempurnaan
penataan ruang KSN
9. Pelaksanaan penataan ruang tata ruang di daerah melalui sinkro- wilayah nasional dan KSN nisasi RTRWN/Prop/kab/kota
7. Menyelenggarakan pembinaan
10. Pemasilitasian kerjasama penataan
8. Mengembangkan dan men-
ruang antarpropvinsi
etapkan prosedur pengelolaan tata
11. Kerjasama penataan ruang
ruang
antarnegara
9. Menyelenggarakan pembinaan
12. Penyebarluasan informasi pena-
dan penentuan prioritas terhadap
taan ruang
KSN
13. Sinkronisasi rencana umum dan
10. Membina kelembagaan dan
rencana rinci TR daerah dengan per
SDM penyelenggara TR
UU an, termasuk RTRWN dan rencana
11. Menyelenggarakan pembinaan
rincinya
dan standarisasi perpetaan TR
14. Upaya peningkatan kapasitas kelembagaan pemerintah dan pemda dalam penyelenggaraan TR
Catatan (*): telah diringkas Sumber: Hasil olahan
buletin tata ruang & pertanahan 19
Kiprah BKPRN Saat Ini yang dikeluarkan oleh Badan Informasi Geospasial (BIG, dahulu Bakosurtanal) dalam hal ini perlu ditingkatkan lebih banyak.
Sebagai sebuah badan koordinasi, BKPRN telah melaksanakan fungsi dan tugasnya dengan cukup baik walaupun disadari
Sinergi dan Harmonisasi Perundang-undangan. Tahun 2015, tahun masih belum optimal mengingat semakin banyak serta semakin
awal pelaksanaan RPJMN 2015-2019, harus menjadi momentum kompleksnya masalah-masalah penataan ruang. Saat ini, fungsi
penting bagi penyelenggara tata ruang untuk menciptakan sinergi koordinasi berjalan baik terlihat dari berlangsungnya secara rutin
dan harmonisasi diantara berbagai peraturan perundangan terkait kegiatan utama yang bersifat koordinatif seperti Rapat Koordinasi
penyelenggaraan tata ruang. Untuk itu, dibutuhkan terobosan Nasional (Rakornas) Penataan Ruang setiap dua tahun dengan
BKPRN dalam menyelesaikan belum harmonisnya berbagai regulasi agenda utama penyiapan rencana kerja tahunan dan penanganan
terkait penataan ruang di Indonesia. Selain itu, masih banyak isu dan masalah tata ruang. Selain itu, rapat berkala mulai dari
regulasi yang merupakan bagian dari amanat Undang-Undang yang Tingkat Menteri, Eselon I, Eselon II, dan Eselon III secara berjenjang
perlu segera dilengkapi.
pun berlangsung secara rutin. Kerjasama BKPRN-BKPRD. Sebagai konsekuensi hukum Di sisi lain, harus diakui bahwa saat ini belum seluruh tugas dan
dari kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah, maka fungsi BKPRN dijalankan dengan baik. Kegiatan BKPRN masih
penyelenggaraan penataan ruang juga menjadi tugas pemerintah didominasi oleh penyelesaian konflik penggunaan ruang, baik
daerah. Terkait dengan itu, fungsi koordinasi juga ditangani di tingkat pusat maupun daerah. Hal ini terlihat dari beberapa
pada tingkat pemerintahan daerah (provinsi, kabupaten, kota). keberhasilan menyelesaikan konflik pemanfaatan ruang. Sebut
Keberadaan BKPRD (Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah) saja, keberhasilan BKPRN dalam mengendalikan pemanfaatan
menjadi sesuatu keharusan dalam memastikan terselenggaranya ruang dengan memanfaatkan keberadaan Perpres No. 54/2008
fungsi koordinasi di tingkat daerah. BKPRN harus mendorong tentang Penataan Ruang Kawasan Jabodetabekpunjur dan Perpres
pemerintah daerah agar membentuk BKPRD, meningkatkan No. 45/2011 tentang RTR Kawasan Perkotaan Sarbagita (Lihat
dan mempertahankan kualitas BKPRD, dan menjaga hubungan Boks: Kisah Sukses BKPRN). Selain itu, penyusunan dan penetapan
fungsional antara BKPRN dan BKPRD provinsi/kabupaten/kota. beberapa regulasi terkait tata ruang juga telah berhasil diselesaikan
Koordinasi Sektoral-Spasial. Salah satu isu utama yang selama melalui koordinasi BKPRN, termasuk upaya pemaduserasian
ini mengemuka adalah belum dijadikannya RTRW sebagai acuan berbagai peraturan.
sehingga terjadi ketidaksinkronan antara RTRW dan rencana Tantangan dan Agenda BKPRN Ke Depan
pembangunan sektoral. Keberadaan BKPRN dan BKPRD diharapkan dapat menjembatani kesenjangan antara RTRW dan rencana
Penyelesaian RTRW. Disadari adanya keinginan kita semua untuk pembangunan sektoral. Keterlibatan aktif BKPRN dan BKPRD menjadikan Rencana Tata Ruang sebagai “panglima” pelaksanaan
dalam proses perencanaan pembangunan melalui mekanisme pembangunan di Indonesia. Namun keinginan ini masih terkendala
Musyawarah Perencanaan Pembangunan (musrenbang) dapat oleh kenyataan bahwa masih belum seluruh provinsi, kabupaten
menjadi pintu masuk dimulainya upaya sinkronisasi RTRW dan dan kota memiliki RTRW. Oleh karena itu, penyelesaian RTRW yang
rencana pembangunan baik sektoral maupun regional. masih tersisa adalah agenda utama BKPRN ke depan: bagaimana
Sosialisasi dan diseminasi Penataan Ruang. Pelanggaran terhadap memasilitasi pemerintah daerah agar paling lambat akhir tahun pemanfaatan ruang diancam oleh sanksi pidana, namun dalam 2014 seluruh RTRW telah diselesaikan. Hal ini tentu bukan kenyataannya masyarakat termasuk para pemangku kepentingan pekerjaan yang mudah. Penyelesaian RTRW perlu disertai jaminan utama masih belum sepenuhnya memahami secara baik tentang kualitas produk RTRW yang memenuhi standar. BKPRN diharapkan penataan ruang dengan segala atributnya. Upaya meningkatkan berperan lebih besar dalam mengoordinasikan keseluruhan bantuan pemahaman masyarakat secara umum dapat menjadi salah satu teknis dan bentuk fasilitasi lainnya dari pemerintah agar terjadi agenda BKPRN. Dimulai dengan melakukan advokasi kepada para percepatan penyelesaian RTRW. Penggunaan data geospasial pengambil keputusan, dan sosialisasi pada masyarakat secara
BKPRN telah menggunakan Perpres No. 54/2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jabodetabekpunjur sebagai alat pengendalian pemanfaatan ruang. Rencana pembangunan Pusat Arsip PPATK di Ciloto, Kab. Cianjur telah memiliki HGB, namun belum memiliki IMB. Permohonan IMB yang diajukan ditolak karena pemanfaatannya tidak sesuai dengan Perpres No. 54/2008 dan Perda RTRW Kab. Cianjur No. 7/1997. Rekomendasi BKPRN dikeluarkan untuk menyelesaikan masalah tersebut melalui Surat Menko Perekonomian (selaku Ketua BKPRN) No. S-83/M.EKON/05/2011 tanggal 23 Mei 2011 yang menolak keberadaan gedung DRC dan PPATK karena tidak sesuai dengan arahan Perpres No. 54/2008. Kemudian Menko Perekonomian menyerahkan penertibannya kepada Pemda Kab Cianjur.
BKPRN telah menggunakan Perpres No. 45/2011 tentang RTR Kawasan Perkotaan Sarbagita sebagai acuan dalam pemberian rekomendasi pemanfaatan ruang kawasan pariwisata.
Pembangunan Bali International Park (BIP) sebagai Kawasan Pariwisata memiliki perbedaan kisah sukses BKPRN penafsiran antara RTRW Kab. Badung dengan Perpres No. 45/2011 (RTR Kaw.Perkotaan Sarbagita).
Surat No. TR.03 03-Mn/658 (Desember 2011) dari Menteri PU kepada Menko Perekonomian: izin prinsip pembangunan kawasan terpadu BIP dapat diterbitkan sesuai dengan acuan Perpres No. 45/2011 diterbitkan sebagai rekomendasi dari BKPRN yang berisi himbauan kepada Pemda Kab. Badung untuk mempercepat proses penetapan Perda RTRW Kab. Badung.
Sumber: Buku Kinerja Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) I dan II, Bappenas, 2013
20 buletin tata ruang & pertanahan 20 buletin tata ruang & pertanahan
dapat tersususn secara terintegrasi, sinergis, dan efisien dalam dan publikasi masif yang terus menerus melalui berbagai media
penggunaan sumberdaya, serta efektif dalam pelaksanaannya. termasuk media sosial nantinya sewajarnya menjadi bagian dari
Fungsi rencana tata ruang sebagai rencana spasial sangat erat rutinitas BKPRN dan BKPRD.
terkait dengan rencana pembangunan sektoral yang a-spasial. Pemantauan dan evaluasi. Pemantauan dan evaluasi sementara
Oleh karena itu, peranan Ketua BKPRN dan BKPRD sangat penting ini juga belum tersentuh secara berarti oleh BKPRN. Sementara
sebagai mediator/penengah bagi semua kepentingan sektoral dan memasuki era RPJMN tahap III (2015-2019), penyelenggaraan
daerah. Ke depan, penulis berpendapat bahwa posisi Ketua BKPRN tata ruang akan mulai memasuki tahapan pemanfaatan dan
harus dikembalikan kepada Menteri Perencanaan Pembangunan pengendalian tata ruang. Sehingga menjadi suatu keniscayaan
Nasional/Kepala Bappenas sebagaimana dulu pernah terjadi, ketika kemudian BKPRN berperan dalam mengoordinasikan
mengingat tugas dan fungsinya yang juga mengoordinasikan upaya pemantauan dan pengendalian dari berbagai institusi mulai
semua rencana pembangunan baik sektoral maupun daerah, dari pusat sampai daerah. Dengan demikian diharapkan hasil
yang harus sejalan dengan rencana penataan ruang. Dengan pemantauan dan pengendalian dapat lebih berdayaguna.
demikian tujuan pembangunan yang berkelanjutan, terutama penekanan pada RPJMN 2015-2019, akan dapat lebih terjamin
Kerjasama. Kerjasama antarprovinsi harus sudah mulai dirintis pencapaiannya. Namun tentu keputusan mengenai hal ini dengan mempertimbangkan semakin banyaknya masalah lintas
sepenuhnya merupakan kewenangan dan diskresi Presiden terpilih wilayah, juga maraknya isu perkembangan kota-kota besar menuju
nantinya.
terbentuknya metropolitan bahkan megapolitan. Tidak kalah penting perlunya dirintis kerjasama antarnegara baik dengan alasan berbagi
Penutup
pengalaman maupun dalam konteks perbatasan negara. BKPRN Keberadaan BKPRN dan BKPRD sangat penting dan sangat diharapkan dapat menginisiasi hal ini bersama BKPRD.
diperlukan (pivotal) mengingat pekerjaan pembangunan nasional yang bersifat lintas sektoral, lintas daerah, lintas lembaga, dan
Proses Pengambilan Keputusan BKPRN. Salah satu kritik yang lintas waktu. Diperlukan lembaga yang dapat berfungsi sebagai sering mengemuka terhadap BKPRN adalah kelambanan dalam perekat (integrator), koordinator, sekaligus sebagai penyelesai pengambilan keputusan dikarenakan proses pengambilan masalah (solver), dan ini hanya bisa dilakukan oleh lembaga yang keputusan BKPRN harus melalui sidang BKPRN yang nota bene
lintas sektoral pula.
terdiri dari sejumlah menteri terkait. Selama ini, di masa reformasi, mengumpulkan seluruh menteri terkait ternyata tidak mudah.
Di dalam menghadapi pembangunan ke depan, khususnya Diperlukan suatu terobosan agar kendala ini dapat teratasi.
pembangunan jangka menengah 2015-2019, siapapun pemimpin Pimpinan BKPRN. Persoalan penataan ruang adalah persoalan
pemerintahan negara ini nanti, diharapkan BKPRN akan tetap lintas sektoral, lintaswilayah, lintas institusi, dalam pembangunan
dapat dipertahankan, bahkan diperbaiki kinerjanya sehingga nasional. Oleh karena itu fungsi dan keberadaaan BKPRN (dan/atau
merupakan tangan Presiden untuk mewujudkan visi dan misinya BKPRD) sebagai perpanjangan tangan dan sekaligus pembantu
secara lebih efektif lagi, dan pembangunan yang berkelanjutan akan dapat dijamin pewujudannya. Semoga.
Januari 2014 • Penggunaan internal secara intensif, Sosialisasi II, penggunaan • Penyusunan rencana kerja tahunan BKPRN berdasarkan
lintas K/L dalam penggunaan eBKPRN; agenda kerja BKPRN 2014-2015
• Pembuatan data yang dapat dianalisis (peta, rencana) dalam • Penyusunan rencana kerja Sekretariat RAN 2014 – 2015;
Portal TRP;
• Penyusunan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2015; • Penyusunan konsep dan pembuatan Web RAN dan eRAN; • Pertemuan Tingkat Eselon I, II, dan III BKPRN untuk tema:
• Diskusi internal, diskusi pakar, penyusunan TOR lengkap
a) Monitoring Implementasi mekanisme Holding Zone;
Kegiatan Knowledge Management.
b) Kajian hukum percepatan percepatan penyelesaian
April 2014
penetapan perda RTRW; • Pertemuan (Breakfast meeting) Tingkat Eselon I, II, dan III BKPRN • Pelaksanaan rapat antar pokja BKPRN untuk tema:
• Kunjungan lapangan ke Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi
a) Penyelarasan Implementasi RZWP-3-K; b) Penyusunan Bangka Belitung dalam rangka Koordinasi Access Reform Pedoman Penyelesaian Konflik Penataan Ruang
Sekretariat RAN
• Penyusunan TOR untuk pemetaan kegiatan dan penyusunan • Penyusunan Laporan Pokja III BKPRN; materi teknis masukan pedoman;
• Mengikuti pelaksanaan Musrenbangnas • Lokakarya pemetaan kegiatan.
Mei 2014
Februari 2014 • Penyusunan agenda Kerja BKPRN untuk Semester II Tahun 2014 • Penyusunan jadwal dan rencana kerja kegiatan Sekretariat
• Rapat Kerja Regional (Rakereg) BKPRN 2014; BKPRN 2014-2015;
• Kunjungan lapangan ke Propinsi Bali dalam rangka Publikasi Tata • Laporan Semester I BKPRN Tahun 2014;
Batas Kawasan Hutan, Sekretariat RAN; • Pertemuan Koordinasi Access Reform Sekretariat RAN 2014. • Pelaksanaan monitoring dan evaluasi pelaksanaan
Maret 2014 pembangunan Bidang Tata Ruang dan Pertanahan • Rapat teknis pelaksanaan Publikasi Tata Batas Kawasan
Juni 2014
Hutan, Sekretariat RAN 2014;
• Sidang BKPRN Tahun 2014;
agenda Januari-Juli 2014 • Laporan Semester I dan II BKPRN Tahun 2014;
• Pengumpulan dan pengolahan bahan, data dan informasi
BKPRN dan pengembangan e-BKPRN;
• Pembahasan Bank Tanah;
• Forum Sosialisasi Hasil Kajian Background Study dan Kajian • Penerbitan Buletin TRP Edisi I Tahun 2014. SCDRR di Kementerian PPN/Bappenas dan IRSA;
buletin tata ruang & pertanahan 21
22 buletin tata ruang & pertanahan
Falsafah Indonesia dalam konsep hubungan antara manusia dengan tanah menempatkan individu dan masyarakat sebagai kesatuan yang tak terpisahkan. Pemenuhan kebutuhan seseorang terhadap tanah diletakkan dalam kerangka kebutuhan seluruh masyarakat sehingga hubungannya tidak bersifat individualistis semata, tetapi lebih bersifat kolektif dengan tetap memberikan tempat dan penghormatan terhadap hak perseorangan (Maria Soemardjono, 2009). Dalam prakteknya, falsafah hubungan antara manusia dengan tanah ini kurang dipahami sehingga muncul berbagai permasalahan. Peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan yang sudah ada sejak tahun 1960, masih belum mampu menjadi alat dalam menyelesaikan permasalahan tersebut.
Tujuan kajian ini adalah menyusun draf rancang bangun kebijakan bidang pertanahan Tahun 2015-2019, meliputi:
1. Rumusan arah kebijakan Bidang Pertanahan dalam RPJMN 2015-2019;
2. Rumusan program dan kegiatan Bidang Pertanahan 2015- 2019; dan
3. Rumusan indikator input, ouput, dan outcome Bidang Pertanahan 2015-2019.
Permasalahan dan Isu Strategis Bidang Pertanahan Badan Pertanahan Nasional (BPN) mengklasifikasi kasus pertanahan menjadi konflik, sengketa dan perkara.Konflik merupakan permasalahan pertanahan yang memiliki nuansa/ aspek sosial dan politik yang luas, sedangkan sengketa adalah permasalahan pertanahan yang tidak memiliki nuansa sosial politik yang begitu luas, umumnya antar individu.Kemudian perkara merupakan konflik dan sengketa yang sudah masuk ke pengadilan baik itu pengadilan negeri, tinggi, maupun PTUN. Terjadinya sengketa dan konflik pertanahan karena adanya perbedaan persepsi, pendapat, kepentingan, nilai antara dua pihak atau lebih mengenai status tanah, status penguasaan, status kepemilikan, status surat keputusan mengenai kepemilikan atas tanah tertentu, yang berkepanjangan dan dianggap merugikan salah satu pihak dan muncul kepermukaan.
Munculnya kasus pertanahan tersebut berpengaruh pada kondisi ekonomi, sosial, politik, pertahanan dan keamanan. Data BPN pada tahun 2012 mencatat 7.196 kasus pertanahan yang terdiri atas sengketa, konflik dan perkara. Dari jumlah tersebut, baru
4.291 kasus yang telah diselesaikan. Munculnya kasus-kasus pertanahan yang diliput oleh berbagai media massa pada awal tahun 2012 merupakan akumulasi dari kasus pertanahan yang telah berlangsung lama dan tidak terselesaikan. Berikut gambaran proporsi kasus pertanahan berdasarkan subjek.
Indonesia memiliki hukum pertanahan yang mengatur secara jelas mengenai tata cara baik kepemilikan maupun proses jual beli. Namun penggunaan hukum pertanahan nasional tidak dapat dilakukan khususnya pada wilayah ulayat/adat terutama wilayah timur Indonesia. Adanya perbedaan penggunaan hukum tanah di berbagai wilayah di Indonesia seringkali menimbulkan konflik pertanahan. Sehingga sistem tenurial dan pola kerjasama pemanfaatan berdasarkan hukum pertanahan nasional tidak dapat dilakukan dengan serta merta tanpa upaya matrikulasi penyamaan pemahaman konsep terlebih dahulu. Model-model pengenalan konsep atau modifikasi tenurial pada sistem pertanahan nasional perlu dikembangkan lebih lanjut untuk mengakomodasi model permasalahan kasus pertanahan ini. Tanah dengan kepemilikan ulayat/adat memerlukan adanya sistem pengelolaan yang jelas agar pihak-pihak terkait dapat mengetahui dengan jelas batas wilayah, tata cara pengelolaan (identifikasi dan penetapan) termasuk kewenangan para pihak dalam pengelolannya.
Salah satu arah kebijakan Reforma Agraria sebagaimana dimuat dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Latar Belakang Dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) dinyatakan bahwa seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah-air dari seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia. Selanjutnya dalam ayat (2) dinyatakan seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan kekayaan nasional. Kedua ayat ini mengandung makna bahwa tanah di seluruh wilayah Indonesiamerupakan tanah bersama Bangsa Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa. Didasarkan kepada Pasal 9 ayat (2) UUPA yang menyatakan bahwa tiap-tiap warga-negara Indonesia, baik laki-laki maupun perempuan, mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dari hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya, diakui kepemilikan secara individu di dalam konsep tanah bersama.
Kajian Arah Kebijakan Pengelolaan Pertanahan Nasional 2015-2019
kajian
Gambar 1 Proporsi Kasus Pertanahan Berdasarkan Subjek
Antar Instansi Pemerintahan
71,45
1,95 26,6
Antara Masyarakat-Pemerintahan Antar Masyarakat
18,4 30,8
50,8
Masyarakat-Instansi Pemerintahan Individu-Instansi Pemerintahan Badan Hukum-Instansi Pemerintah
Masyarakat-Masyarakat Individu-Individu Individu-Badan Hukum Badan Hukum-Badan Hukum
Sumber: BPN, 2012 Badan Hukum-Masyarakat
buletin tata ruang & pertanahan 23
Rakyat Republik Indonesia Nomor IX/MPR/2001tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam adalah melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (landreform) yang berkeadilan dengan memperhatikan kepemilikan tanah untuk rakyat, baik tanah pertanian maupun tanah perkotaan. Ini berarti kegiatan Reforma Agraria melalui Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) telah menjadi komitmen Pemerintah Republik Indonesia dalam upaya memperbaiki permasalahan utama pada ketimpangan Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T). Secara umum, tujuan Reforma Agraria antara lain:
a. Menata kembali ketimpangan struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah ke arah yang lebih adil;
b. Mengurangi sengketa dan konflik pertanahan;
c. Memperbaiki akses rakyat kepada sumber-sumber ekonomi, terutama tanah;
d. Mengurangi kemiskinan;
e. Menciptakan lapangan kerja;
f. Memperbaiki dan menjaga kualitas lingkungan hidup; dan
g. Menguatkan ketahanan pangan dan energi. Salah satu permasalahan mendasar pertanahan adalah
kecenderungan sebagian kecil penduduk Indonesia menguasai tanah yang amat luas sedangkan di sisi lain sebagian besar penduduk harus hidup di tanah yang sempit sehingga tidak efisien apabila diusahakan. Sehingga program landreform melalui redistribusi tanah melakukan koreksi agar sebagian besar penduduk dapat hidup di tanah yang luasannya layak secara ekonomi, sosial, dan budaya. Untuk menjamin keadilan semua pihak, tentunya perlu batas waktu dan parameter kinerja dimana pada satu waktu kegiatan redistribusi tanah dinyatakan selesai dan proporsi inventarisasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (IP4T) telah dikoreksi ke tingkat yang layak baik secara ekonomi, sosial, maupun budaya.
Berdasarkan data dari BPN (2013), saat ini masih terdapat berbagai permasalahan terkait dengan landreform, yaitu kelangkaan tanah yang dapat dijadikan sumber tanah objek reforma agraria (TORA), dan terjadinya pengalihan hak atas tanah yang telah diredistribusikan. Sebagian besar sumber tanah yang dapat dijadikan TORA hanya tinggal berasal dari tanah negara yang meliputi kawasan hutan yang dapat dikonversi dan tanah terlantar. Namun pada pelaksanaannya perubahan fungsi kawasan hutan menjadi non hutan memerlukan beberapa persyaratan khusus sehingga proses perubahannya memerlukan waktu yang lama. Selain itu, BPN juga mengalami kesulitan dalam menetapkan sebidang tanah sebagai tanah terlantar karena beberapa hal yaitu (i) pemegang hak dapat melakukan upaya teknis untuk menghindari status tanah terlantar; (ii) Data subjek untuk penerima reforma agraria belum tersedia dengan baik; (iii) Ketentuan tentang tata cara pengaturan (delivery mechanism) pelaksanaan redistribusi tanah belum jelas secara operasional; (iv) Pengukuran kadastral dan identifikasi P4T belum mencakup seluruh wilayah nasional.
Sementara itu permasalahan lainnya terkait dengan implementasi redistribusi tanah yang telah dilakukan adalah terjadinya pengalihan hak atas tanah yang telah diredistribusikan oleh pemerintahan kepada masyarakat miskin kepada pihak lain dikarenakan masyarakat miskin penerima tidak memiliki akses sumberdaya yang cukup untuk mengolah dan memanfaatkan tanah tersebut. Sehingga pada akhirnya program redistribusi tanah sebagai bagian dari reforma agraria yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan keadilan, belum dapat menunjukan hasil yang
signifikan dalam memperbaiki kesejahteraan masyarakat miskin. Berikut gambar diagram fenomena penyediaan tanah objek reforma agraria.
Pada tahun 2012 telah diterbitkan UU No. 2/2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum (selanjutnya disebut UU Pengadaan Tanah). UU ini kemudian dilengkapi dengan Perpres No. 71/2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Diterbitkannya UU Pengadaan Tanah dirasakan perlu karena peraturan perundang-undangan di bidang pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum sebelumnya belum dapat menjamin perolehan tanah untuk pelaksanaan pembangunan. Selain itu pengaturannya hanya berbentuk Keputusan Presiden dan Keputusan Menteri. Meskipun maksud dan tujuan penerbitan semua ketentuan tersebut untuk lebih memberikan jaminan kepastian hukum bagi pelaksanaan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum, namun pada kenyataannya kegiatan pengadaan tanah untuk pembangunan bagi kepentingan umum dalam pelaksanaannya tetap mengalami kesulitan. Keberadaan UU yang baru diharapkan dalam pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum dapat lebih terukur karena adanya kerangka waktu pengadaan tanah. Proses pengadaan tanah dapat dilakukan dalam kurun waktu terhitung sejak dokumen perencanaan resmi diterima oleh gubernur paling cepat (tanpa adanya gugatan) selama 319 hari kerja dan paling lama (dengan adanya gugatan) selama 583 hari kerja.
BPN memiliki tugas dan fungsi pokok sebagai instansi Pemerintah yang melakukan penataan dan pengelolaan bidang pertanahan di seluruh wilayah Republik Indonesia (Perpres No. 10/2006 dan Perpres No. 85/2012). Dalam melaksanakan tupoksi di atas, dari hasil evaluasi sementara, BPN secara ideal diharapkan memiliki kekuatan pegawai negeri sipil sebanyak 26.000 orang, dengan proporsi kompetensi ideal untuk juru ukur sekitar 10.000 orang. Dengan demikian terlihat bahwa kekuatan SDM BPN masih jauh dari memadai untuk dapat memberikan pelayanan pertanah-an nasional yang baik. Selain itu dari sisi pola penyebaran SDM, tercatat sebagian besar hanya terkonsentrasi di wilayah Jawa-Bali serta kota-kota besar lainnya di Indonesia, seperti Makasar, Medan, dll. Di sisi lain, saat ini BPN sedang memiliki prioritas utama dalam kegiatan percepatan pendaftaran tanah di seluruh Indonesia.
Dari aspek proporsi kompetensi, saat ini jumlah sumberdaya manusia juru ukur/surveyor masih sangat kurang yaitu baru mencapai sekitar 1.689 orang dari total kebutuhan ideal sekitar 10.000 orang. Pada Tahun 2012, proporsi pegawai BPN untuk juru ukur bila dibandingkan dengan keseluruhan 20.184 orang, baru
Tanah Negara Tanah Hak
WILAYAH REPUBLIK INDONESIA
Tanah Objek Reforma Agraria (TORA)
Hutan Pelepasan
Hak
Kriteria Terlantar
Redistribusi & Akses Sumberdaya
BMN Tanah Tidak Terlantar
Terlantar
Gambar 2 Diagram Fenomena Penyediaan Tanah Objek Reforma Agraria
mencapai 8 persen. Kebijakan penerimaan pegawai yang berjalan para hakim penyelenggara acara peradilan tersebut. Selain itu juga belum mengarah pada upaya mencapai kekuatan ideal, termasuk
dibukanya opsi banding yang sama dengan kasus peradilan lainnya, proporsi juru ukur sebagai ujung tombak pelayanan pertanahan
baik perdata, pidana, maupun tata usaha negara, menyebabkan nasional.
rentang waktu penyelesaian kasus pertanahan di pengadilan menjadi hampir tidak terbatas.
Kerangka Kebijakan Bidang Pertanahan 2015-2019 Perubahan Sistem Pendaftaran Tanah Stelsel Negatif Menjadi
Untuk itu perlu dilakukan upaya-upaya mendasar di sektor Stelsel Positif. Sistem pendaftaran tanah di Indonesia yang
kebijakan penyelesaian permasalahan pertanahan pada acara menggunakan sistem stelsel negatif telah teridentifikasi tidak dapat
peradilan yang dengan memperhatikan praktek selama ini, memberikan kepastian hukum bagi pemilik sertipikat atau pemilik
secara logis seharusnya paling tidak meliputi: (i) pelibatan hakim hak atas tanah tersebut. Penggunaan sistem ini memicu timbulnya
khusus yang menguasai permasalahan teknis pertanahan; (ii) berbagai permasalahan dalam bidang pertanahan yang kemudian
pembatasan jenis pengadilan bagi penyelesaian kasus pertanahan; memicu terjadinya konflik dan sengketa tanah. Di lain sisi, kepastian
(iii) pembatasan banding yang boleh dilakukan. Dengan demikian hukum atas kepemilikan tanah akan mengurangi kasus klaim
terlihat bahwa Indonesia, sebagaimana pengalaman negara lain kepemilikan oleh pihak lain yang tidak berhak pada sebidang tanah
pada hal yang sama, membutuhkan sebuah pengadilan khusus sehingga mendorong pembentukan iklim investasi ekonomi yang
di bidang pertanahan untuk menyelesaikan sengketa pertanahan, kondusif yang pada akhirnya berpengaruh kepada menguatnya
karena selain adil dan lebih berkepastian hukum serta dilakukan daya saing perekonomian nasional di dunia internasional.
dengan cepat, juga meniadakan kemungkinan keputusan berbagai pengadilan yang berbeda-beda untuk kasus pertanahan yang sama.
Pada dasarnya walaupun secara hukum formal sistem pendaftaran tanah di Indonesia menggunakan sistem pendaftaran tanah
Kebijakan Reforma Agraria (Pemberian Asset dan Access publikasi negatif, namun beberapa karakter publikasi positif telah
Reform). Sepanjang sejarah Indonesia, para petani yang menjadi mulai diaplikasikan sebagai pelengkap dalam kebijakan pendaftaran
tulang punggung sektor agraris, sejak jaman penjajahan, tanah nasional. Hal ini terlihat dalam proses pendaftaran tanah
kemerdekaan, hingga sekarang, sebagian besar belum menikmati yang melibatkan panitia ajudikasi atau panitia penilai sebagaimana
apa arti kemerdekaan yang sesungguhnya, yaitu bebas dari diterangkan dalam PP No. 24/1997 tentang Pendaftaran Tanah.
ketertindasan, kemiskinan dan menjadi bangsa yang bermartabat Terdapatnya panitia penilai atau panitia ajudikasi terhadap bidang
di dunia internasional. Oleh sebab itu dapat dipahami mengapa tanah yang akan didaftarkan merupakan salah satu ciri penggunaan
para founding fathers bangsa ini menempatkan mereka pada karakter pendaftaran tanah secara positif.
prioritas utama untuk ditingkatkan kesejahteraannya. Itulah Namun demikian, untuk melakukan penjaminan atas kepastian
sebabnya, Indonesia melalui UUPA, yang mengandung jiwa hak kepemilikan tanah masih diperlukan persiapan panjang yang
landreform, menghendaki adanya perubahan struktur pemilikan dan matang terutama dari kemampuan keuangan negara dalam
penguasaan tanah yang mencerminkan rasa keadilan bagi bagian melakukan ganti rugi pada kasus dimana sertipikat yang telah
terbesar rakyat Indonesia yaitu petani (Ahmad Sodiki. 2013 Hal diterbitkan terbukti oleh Pengadilan dinyatakan tidak sah. Saat ini,
130).
masih besar potensi terjadinya sertipikat ganda mengingat dua Telah teridentifikasi sebelumnya beberapa hal terkait pelaksanaan faktor yang amat terkait, yaitu (i) cakupan peta dasar pertanahan
redistribusi tanah di Indonesia selama ini, yaitu (i) Bahwa yang baru mencapai 11 persen dari wilayah nasional daratan bukan
pelaksanaan redistribusi tanah tidak memiliki kerangka waktu; hutan; serta (ii) cakupan wilayah bidang tanah yang bersertipikat
sedangkan di sisi lain; (ii) Tanah sumber TORA semakin langka, dan baru mencapai 47 persen dari wilayah nasional daratan bukan
saat ini sebagian besar TORA bersumber dari perlepasan kawasan hutan.
hutan dan tanah terlantar; dan (iii) Terjadi pengalihan hak atas tanah segera setelah bidang tanah diserahkan kepada penduduk miskin,
Untuk itu sebelum dilakukan perubahan sistem pendaftaran tanah walaupun tidak melalui transaksi jual beli formal (di bawah tangan), menjadi publikasi positif, perlu dilakukan beberapa langkah teknis karena penduduk miskin bersangkutan tidak memiliki sumber daya meliputi: (i) Percepatan Sertipikasi Tanah; dan (ii) Percepatan untuk mengolah dan memanfaatkan bidang tanah tersebut. Penyediaan Peta Dasar Pertanahan. Terkait dengan potensi
terjadinya kesalahan negara dalam menerbitkan sertipikat, Mengingat keadaan nyata pada masih terdapatnya ketimpangan diasumsikan bahwa tingkat kesalahan yang mengakibatkan beban
tajam terhadap proporsi pemilikan dan penguasaan tanah terutama keuangan negara dalam menyediakan ganti rugi, akan mencapai
masyarakat miskin yang tidak memiliki akses ke sumber daya tingkat yang dapat dikelola bila cakupan peta dasar pertanahan
tanah, dengan memperhatikan amanat UUPA dan telah diperkuat dan cakupan wilayah nasional yang telah bersertipikat, keduanya
dengan TAP MPR IX/2001 Indonesia perlu melanjutkan kebijakan mencapai 80 (atau 90) persen dari wilayah nasional daratan bukan
pelaksanaan redistribusi tanah yang merupakan bagian dari sebuah hutan. Pada kondisi ini, diyakini bahwa secara teknis kemungkinan
Reforma Agraria.Namun demikian dengan memperhatikan beberapa terjadi sertipikat sah ganda menjadi amat kecil sehingga bila
masalah yang teridentifikasi, tentunya kebijakan redistribusi tanah memang masih terjadi, resiko beban keuangan negara dalam
saat ini perlu disempurnakan dan dilengkapi sehingga dapat lebih memberikan ganti rugi masih dapat dikelola dengan baik.
berkontribusi secara nasional dalam mengentaskan kemiskinan dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Percepatan Penyelesaian Kasus-Kasus Pertanahan. Hasil keputusan beberapa pengadilan yang berbeda pada beberapa acara
Redistribusi tanah sebagai bagian Program Pembaruan peradilan yang juga berbeda untuk kasus yang sama, selain akan
Agraria Nasional (PPAN) harus dilengkapi dengan kerangka menimbulkan potensi konflik yang berkepanjangan antara pihak-
waktu pelaksanaan. Mengingat pengalaman Filipina, Brasil, pihak yang bersengketa, juga akan merusak kepastian hukum hak
Thailand, Brasil, Indonesia juga memiliki masalah sengketa tanah atas tanah yang pada akhirnya juga mempengaruhi iklim investasi
skala besar yang perlu diselesaikan terlebih dahulu. Selain itu suatu negara. Salah satu faktor utama penyebab perbedaan
Indonesia juga berambisi mengembangkan teknologi pangan keputusan di atas adalah minimnya pengetahuan pertanahan dari
untuk mewujudkan kebijakan swasembada pangan nasional
24 buletin tata ruang & pertanahan
buletin tata ruang & pertanahan 25
seperti yang telah dilaksanakan oleh Thailand. Pada kasus Filipina, dibutuhkan 14 tahun upaya redistribusi tanpa pengembangan teknologi dan tanpa penyelesaian konflik skala besar. Sebagai upaya untuk menyelesaikan konflik skala besar dan kebutuhan untuk mengakomodasi pengembangan teknologi pertanian dan pangandiusulkan agar pelaksanaan redistribusi tanah di Indonesia dapat dilakukan dalam kurun waktu 10 tahun secara bertahap, yaitu:
Tahap I, dalam waktu 5 tahun. Selain melakukan identifikasi potensi rinci, berapa luas dan lokasi sumber TORA, dan melakukan pelaksanaan redistribusi itu sendiri, penyelesaian sengketa dan konflik pertanahan skala nasional (besar) menjadi prioritas utama pada tahap ini. Pengembangan teknologi pertanian dan pangan juga harus sudah dimulai dengan bekerjasama dengan instansi Pemerintah terkait dan juga dunia usaha swasta. Sebagai gambaran pengalaman negara-negara lain, Filipina berhasil melakukan redistribusi seluas 5,96 juta Ha; Thailand telah melakukan redistribusi tanah seluas 6,22 Juta Ha, dan Brasil setelah menyelesaikan sengketa dan konflik pertanahan skala besar berhasil melakukan redistribusi tanah seluas 85,8 juta Ha;
Tahap II, dalam waktu 5 Tahun. Pelaksanaan redistribusi sejalan dengan pengembangan teknologi pertanian dan pangan. Pengembangan interkoneksi antara usaha petani kecil dengan Usaha Kecil Menengah (UKM) serta badan usaha besar dengan fokus kepada orientasi ekspor.
Penyediaan input sumberdaya pendamping bagi penerima program redistribusi tanah–Access Reform. Upaya mengeluarkan penduduk miskin dari “jebakan kemiskinan” (poverty trap), di mana dalam pelaksanaan redistribusi tanah telah terjadi pengalihan hak atas tanah yang telah diserahkan, Pemerintah perlu melengkapi pemberian bidang tanah dengan sumber daya lain yang dibutuhkan penduduk miskin penerima untuk dapat mengolah dan memanfaatkan tanah yang telah redistribusi. Bila bidang tanah redistribusi dianggap sebagai asset, maka sumberdaya pelengkap yang diperlukan dapat dianggap sebagai access menuju tingkat kesejahteraan yang lebih layak. Dengan demikian diusulkan kebijakan penyediaan sumberdaya pelengkap disebut sebagai kebijakan Access Reform.
Sumber daya pelengkap dimaksud dapat meliputi: (i) pinjaman uang sebagai modal usaha kecil/menengah; (ii) penyediaan bibit unggul (termasuk bibit ternak) dan/atau pupuk; (iii) penyediaan teknologi dan/atau alat produksi; (iii) pelatihan-pelatihan; (iv) bantuan pemasaran termasuk pengembangan pasar baru; (v) pemberian sumber daya lainnya bagi keperluan peningkatan kesejahteraan terkait pengelolaan dan pemanfaatan bidang tanah redistribusi.
Pembangunan interkoneksi usaha. Secara akademis sebenarnya pembangunan interkoneksi usaha merupakan bagian dari bantuan pemasaran dan pengembangan pasar baru, namun dalam pelaksanaannya seringkali tidak mendapat cukup perhatian dan dilakukan dengan seadanya. Untuk itu diusulkan pembangunan interkoneksi menjadi sub kebijakan tersendiri. Upaya pembangunan interkoneksi membutuhkan koordinasi yang kuat, yang dapat diterima oleh seluruh stakeholder terkait, meliputi berbagai Instansi Pemerintah terkait, badan usaha swasta, dan petani miskin atau Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan).
Tujuan utama dari pembangunan interkoneksi ini adalah membangun apa yang dikenal sebagai Innovation System atau di beberapa negara juga dikenal sebagai Technology Policy dalam skala kecil yang dikhususkan bagi petani miskin penerima redistribusi tanah. Dalam innovation system, selain hubungan timbal balik antara pasar-produksi-lembaga litbang, feedback dari pasar atas permintaan spesifikasi tertentu atas barang produk dan/ atau inovasi produk juga amat penting dan strategis.
Peningkatan Kualitas dan Proporsi SDM Bidang Pertanahan. Memperhatikan kebutuhan pelayanan pertanahan dan jumlah pegawai BPN saat ini, perlu disusun kebijakan penerimaan PNS baru yang dapat merubah jumlah dan komposisi PNS menjadi lebih ideal. Dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan negara yang terbatas dan kebijakan organisasi birokrasi yang efektif dan efisien, kemudian beberapa pokok kebijakan yang diusulkan dapat dilihat pada Tabel 1.
Kesimpulan Kebijakan bidang Pertanahan tahun 2015 – 2019, perlu mendasarkan
pada Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, bahwa tanah yang ada di seluruh wilayah Indonesia dipergunakan sebesar-besar bagi kemakmuran rakyat. Guna melaksanakan kebijakan pertanahan tersebut, ditetapkan prioritas pembangunan berupa reforma agraria, dengan strategi dan arah kebija- kantercapainya kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia.Kerangka kebijakan dan fokus prioritas bidang pertanahan yang diusulkan untuk 2015-2019, dapat dilihat pada Tabel 2 [ik].
Kepastian hukum hak masyarakat atas tanah
Percepatan Penyelesaian Kasus-Kasus Pertanahan - Pembentukan pengadilan khusus pertanahan
Kepastian Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat - Pemetaan Tanah Adat Ulayat
Ketimpangan Pemilikan, Penguasaan, Penggunaan, dan Redistribusi Tanah dan Access Reform Pemanfaatan Tanah (P4T) & Kesejahteraan Masyarakat
Meningkatkan Pelayanan Pertanahan Peningkatan Kualitas & Proporsi SDM Bidang Pertanahan
Pencadangan Tanah Untuk Pembangunan Kepentingan Umum - Pembentukan Bank Tanah
Penyediaan Tanah Untuk Pembangunan Bagi Kepentingan Umum
Isu Strategis Rancangan Kebijakan
Eksisting
Jangka Waktu
(Tahun)
Penerimaan (Orang)
Juru Ukur
Non Juru
Ukur
Juru Ukur
Non Juru
Ukur
Jumlah Penerimaan
(Orang)
Pensiun/Purnajabatan
(Orang)
Juru Ukur
Non Juru
Ukur
Jumlah Penerimaan (Orang)
10
292 1.500 1.500 1.350 1.350 1.350
Juru Ukur
Non Juru Ukur
Jumlah Sumber Daya Manusia (Orang)
Persentase Jumlah SDM
Tabel 1 Usulan Peningkatan Jumlah dan Komposisi Pegawai BPN
Tabel 2 Isu strategis dan Rancangan Kebijakan Bidang Pertanahan
26 buletin tata ruang & pertanahan
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung atau yang disingkat Babel adalah provinsi kepulauan yang terdiri dari Pulau Bangka dan Pulau Belitung, serta pulau-pulau kecil seperti P. Lepar, P. Pongok, dengan total pulau ± 470 buah. Di antaranya hanya 50 pulau yang berpenghuni. Secara geografis, Bangka-Belitung terletak di bagian Timur Pulau Sumatera dekat dengan Provinsi Sumatera Selatan, dengan luas wilayah 16.424,06 km2. Pulau ini dikenal sebagai pulau penghasil timah.
Keistimewaan Provinsi Babel ini adalah Program Satam Emas, yaitu program pemerataan pembangunan melalui pemberian bantuan senilai 1 Milyar Rupiah untuk setiap kecamatan. Program yang secara resmi di luncurkan pada 2 Oktober 2013 lalu itu merupakan salah satu prioritas pembangunan provinsi Babel yang telah ditetapkan dalam RPJMD 2012-2017.
Bentuk Program Satam Emas sendiri secara umum meliputi beberapa kegiatan seperti bedah rumah; pemberdayaan UMKM; revitalisasi komoditas lada, perikanan tangkap; serta revitalisasi komoditas rumput laut . Pada pelaksanaannya, pemerintah kecamatan-lah yang nantinya akan melakukan assessment (penilaian) terhadap bentuk kebutuhan bantuan warganya serta penentuan jumlah calon penerima yang telah memenuhi kriteria, sehingga selanjutnya pemerintah provinsi dapat dengan segera menyalurkan bantuan senilai 1 Milyar tersebut.
Terkait dengan Program Reforma Agraria, Program Satam Emas dalam hal ini dapat dijadikan pelengkap bagi kegiatan asset reform (redistribusi tanah) yang telah dilakukan oleh BPN. Di masa depan, masyarakat dapat memanfaatkan tanah-tanah tersebut secara maksimal bagi peningkatan kesejahteraannya.
Salah satu kasus pertanahan yang seringkali muncul dan tidak terselesaikan adalah kasus yang berlokasi di wilayah-wilayah yang berbatasan langsung dengan kawasan hutan. Salah satu penyebab utama yang teridentifikasi adalah karena perbedaan skala peta kawasan hutan (1:100.000) dengan non hutan (1:5.000), serta tidak terpublikasinya batas-batas kawasan hutan tersebut. Uji coba publikasi tata batas kawasan hutan sebagaimana diusulkan oleh Kementerian PPN/Bappenas, akan dilakukan pula di Provinsi Babel. Dua lokasi yang direkomendasikan adalah Hutan Lindung Pantai Rebo dan Hutan Konservasi Gunung Mangkol. Lokasi tersebut dipilih berdasarkan kriteria yang telah disepakati oleh Kementerian PPN/Bappenas dan Kanwil BPN Provinsi Bangka Belitung. Kedua lokasi tersebut memiliki kondisi yang serupa, yakni keberagaman corak penggunaan lahan di sekitarnya dengan beberapa potensi intrusi yang mungkin terjadi.
Pada lokasi hutan lindung Pantai Rebo terdapat sebuah kuil yang tergolong berukuran besar. Adapun di sekitarnya telah terdapat beberapa penggunaan lahan berupa perkebunan, pertambangan, kawasan pariwisata maupun permukiman masyarakat setempat.
Adapun pada lokasi hutan konservasi Gunung Mangkol telah terdapat perumahan, dengan dominasi sekitarnya berupa penggunaan lahan perkebunan (termasuk sawit), bahkan pertambangan di lokasi yang lebih mengarah ke dalam kawasan hutan [hi].
Pada edisi kali ini, Redaksi Buletin TRP memilih Provinsi Kepulauan Bangka Belitung untuk rubrik melihat dari dekat. Provinsi Bangka Belitung diangkat menjadi objek tulisan ini karena provinsi ini akan menjadi salah satu lokasi pilot project Program Reforma Agraria dan publikasi tata batas kawasan hutan pada Tahun 2014. Berikut cerita kami mengenai Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Kepulauan Bangka Belitung
Rencana Pilot Project Program Reforma Agraria
melihat dari dekat
Gambar 1 Pembahasan Pilot Project Program Reforma Agraria Gambar 2 Kawasan Hutan
Kawasan Hutan Lindung Pantai Rebo
Kawasan Hutan Konservasi Gunung Mangkol
Hutan Lindung Hutan Produksi Hutan Produksi yg dapat di Konversi KSA/KPA
Kawasan Hutan
Penyusunan Background Study RPJMN 2015-2019
Bidang Tata Ruang dan Pertanahan
Kegiatan yang mendukung agenda penting Tahun 2014 sebagai tahun penyusunan rencana pembangunan jangka menengah, pada Tahun 2013, Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan (TRP) sedang menyusun Kajian Background Study penyiapan RPJMN tersebut. Berbagai kegiatan telah dilakukan antara lain adalah review RPJPN, RPJMN 2010-2014 Bidang Tata Ruang dan Pertanahan serta berbagai peraturan yang mendasari penyelenggaraan penataan ruang dan pengelolaan pertanahan nasional.
Kajian berbagai kebijakan ini ditujukan untuk mengidentifikasi
Isu strategis Bidang Pertanahan:
Indikator Pencapaian Minimal 2015-2019, backlog selama 5 tahun,
a. Belum jelasnya kepastian hukum hak atas tanah; dan kebutuhan penyelenggaraan penataan ruang dan pengelolaan
b. Masih timpangnya pemilikan, penguasaan, penggunaan, dan pertanahan. Dalam proses kajian, telah dilaksanakan ekspose Hasil
pemanfaatan tanah (P4T);
Review RTRWN dan FGD dan survei di pusat dan daerah untuk
c. Rendahnya pelayanan pertanahan; serta menjaring persepsi direktorat sektoral di Bappenas dan aspirasi
d. Semakin mendesaknya penyediaan lahan untuk pembangunan daerah.
bagi kepentingan umum [as/rn/ad].
Dari berbagai rangkaian kegiatan tersebut, telah berhasil diidentifikasi permasalahan dan isu strategis untuk Bidang Tata Ruang dan Bidang Pertanahan. Beberapa permasalahan Bidang Tata Ruang:
a. Banyaknya peraturan perundangan terkait ruang yang perlu disinkronkan;
b. Kompetensi SDM penyelenggara penataan ruang yang belum memadai;
c. Kurangnya kapasitas dan koordinasi kelembagaan di bidang penataan ruang;
d. Belum terintegrasinya indikasi program dalam RTR dengan Gambar 1 Focus Group Discussion (FGD) Background Studi RPJMN 2015- 2019 Bidang Tata Ruang dan Pertanahan
rencana pembangunan dan program sektoral;
e. Tingginya variasi kualitas RTR;
f. Masih lemahnya penegakan hukum dalam implementasi RTR;
g. Belum operasionalnya perangkat pengendalian yang jelas dan lengkap; dan
h. Masih terbatasnya sistem informasi penataan ruang dalam rangka monitoring dan evaluasi.
Isu strategis yang diangkat untuk Bidang Tata Ruang:
a. Belum efektifnya kelembagaan penyelenggaraan penataan ruang;
b. Belum efektifnya pemanfaatan dan pengendalian penataan ruang; dan
c. RTRW belum dijadikan acuan pembangunan berbagai sektor. Untuk Bidang Pertanahan, permasalahan yang berhasil diidentifikasi
adalah:
a. Tingginya konflik pertanahan;
b. Lambatnya penyelesaian kasus pertanahan;
c. Rendahnya cakupan peta dasar pertanahan;
d. Rendahnya cakupan bidang tanah bersertipikat;
e. Kurangnya SDM Bidang Pertanahan khususnya juru ukur;
f. Belum semua kantor pertanahan memiliki fasilitas memadai;
g. Sulitnya pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum;
h. Sebagian besar masyarakat (petani) hanya menguasai tanah dengan luasan yang kecil (<0,5 ha) sehingga tidak efisien untuk sebagai lahan usaha; dan
i. Masalah tanah adat dan ulayat. Gambar 2 Lokakarya Kajian Background Study RPJMN 2015-2019 Bidang Tata Ruang dan Pertanahan
buletin tata ruang & pertanahan 27
28 buletin tata ruang & pertanahan
ringkas buku
Bank Tanah