Energiewende, Realistis atau Khayalan Belaka?

Bagian 4 Energiewende, Realistis atau Khayalan Belaka?

Urusan sains dan teknologi, Jerman itu rajanya. Baik dari ilmu fisika modern sampai teknologi kendaraan darat dan udara, negara ini secara konstan berada di tataran tertinggi dunia. Dari Mercedes-Benz sampai Siemens, tidak ada yang meragukan kecanggihan teknologi Jerman.

Tapi untuk urusan politik, tidak begitu ceritanya. Pasca kecelakaan Fukushima tahun 2011 kemarin, Kanselir Jerman,

Angela Merkel, mengambil keputusan ekstrem dengan menyatakan akan menutup seluruh PLTN di negaranya pada tahun 2022. Pada tahun 2011 pula, delapan unit PLTN yang mulai beroperasi sebelum tahun 1980 di-shutdown. Jerman kehilangan 8,336 GWe energi bersihnya dalam sekejap. Bulan Juni 2015, PLTN Grafenrheinfeld ditutup, melenyapkan 1,275 GWe listrik bersih mereka. Lalu rencananya, pada akhir 2017, PLTN Gundremmingen Unit B juga akan ditutup. Sisanya akan ditutup pada tahun 2019, 2021 dan terakhir 2022.

Dengan apa PLTN-PLTN ini rencananya akan diganti? “Energi terbarukan”, tentu saja. Itulah yang direncanakan oleh Jerman,

“revolusi energi” dari energi fosil dan energi nuklir menuju “energi terbarukan”, yang berarti mengandalkan energi bayu, surya, biomassa dan hidro. Istilah resminya adalah Energiewende.

Bagi kalangan pemuja “energi terbarukan” dan anti-nuklir, proyek Energiewende menjadi angin segar untuk menunjukkan bahwa “energi terbarukan” bisa menggantikan peran energi fosil dan nuklir. Energiewende dijadikan contoh “kebijakan hijau” yang selayaknya ditiru. Beberapa kalangan bersikap lebih jauh lagi; terpukau dengan kehebatan teknologi Jerman sehingga merasa Jerman tidak mungkin salah dalam kebijakannya, sehingga balik menyerang orang-orang yang mengkritik Energiewende menggunakan logical fallacy ad hominem.

Saya termasuk yang mengkritik Energiewende dan meragukan kemungkinannya untuk berhasil. Tapi apa gunanya keraguan tanpa ditunjukkan dalam angka?

1. Apa Itu Energiewende?

Energiewende dalam bahasa Jerman berarti “transisi energi”. Maksudnya adalah transisi dari energi fosil menuju energi rendah karbon, ramah lingkungan, reliabel dan affordable. Sistem yang akan dijalankan meliputi pemanfaatan “energi terbarukan”, efisiensi energi dan manajemen permintaan energi. Dan langkah kunci dalam Energiewende adalah menutup seluruh PLTN di Jerman pada tahun

2022. Uniknya, rencana untuk phase out PLTU batubara malah belum ada.

Implikasinya, Jerman merasa bisa menyuplai energi untuk lebih dari 80 juta warganya tanpa memerlukan energi fosil maupun nuklir. Cukup dengan panel surya, turbin angin dan biomassa 1 saja. Selain itu, konsumsi energi diturunkan dengan membuat penggunaan lebih efisien. Sebagian targetnya, pada tahun 2050, 80% listriknya berasal dari “energi terbarukan”, konsumsi listrik turun 25% dari level tahun 2008 dan reduksi gas rumah kaca hingga 90% dari level tahun 1990.

Pertanyaannya kemudian, apakah target seperti ini realistis atau cuma khayalan politikus Partai Kristen Demokrat dan Partai Liberal Demokrat Jerman saja?

2. Jerman Hari Ini

Pada tahun 2016, listrik yang dibangkitkan di Jerman sebesar 648 TWh, dengan permintaan sebesar 593 TWh dan 55,5 TWh diekspor. Dari total produksi ini, 150 TWh dihasilkan dari batubara tipe lignite 2 , 110 TWh

dari hard coal, 85 TWh dari nuklir, 79 TWh dari gas alam, 80 TWh dari energi bayu dan 111 TWh dari “energi terbarukan” lain (surya, hidro, biofuel, biomassa, sampah).

1 Strictly speaking, biomassa tidak bisa dikatakan bersih maupun netral karbon. Sebaliknya, biomassa lebih polutif daripada batubara dan membuang lebih banyak CO 2 ke udara daripada

yang bisa ditangkap ulang oleh pepohonan. 2 Jenis batubara dengan kualitas paling rendah dan paling kotor.

Beberapa PLTU batubara ditutup sejak tahun 2011, tapi 10,7 GWe PLTU baru mulai beroperasi pada rentang tahun 2011-2015. Di sisi lain, penutupan PLTU batubara terpaksa dikompensasi dengan lebih tingginya penggunaan gas alam. Konsumsi gas alam naik 16,5% dari tahun 2015, secara efektif menihilkan konsumsi batubara yang hanya turun 12,2%.

Estimasi penduduk Jerman sejumlah 82.175.700 jiwa. Artinya, konsumsi listrik per kapita Jerman sebesar 7216 kWh. Angka ini normal untuk wilayah Eropa Barat. Adanya program efisiensi energi meniscayakan konsumsi ini turun pada tahun 2050.

Tahun 2016, emisi CO 2 Jerman mencapai 916 juta ton. Naik dari tahun 2009 yang sebesar 906 juta ton. Agak ironis, menilik sudah begitu besarnya upaya untuk meningkatkan bauran “energi terbarukan” di jaringan energi nasionalnya. Di sisi lain, tarif listrik Jerman naik 47% dari tahun 2006, sekarang berkisar EUR 30 sen/kWh.

Dari sini, coba kita lihat apa yang harus dilakukan Jerman untuk meraih target Energiewende.

3. Analisis Kelayakan dan Ekonomis

Kalkulasi ini merupakan simplifikasi dari kondisi aslinya. Sehingga, beberapa komponen seperti biaya penyesuaian jaringan listrik dan intervensi untuk stabilisasi jaringan tidak dimasukkan. Begitu pula Kalkulasi ini merupakan simplifikasi dari kondisi aslinya. Sehingga, beberapa komponen seperti biaya penyesuaian jaringan listrik dan intervensi untuk stabilisasi jaringan tidak dimasukkan. Begitu pula

Analisis feasibility dan penurunan emisi CO 2 dibatasi pada sektor kelistrikan. Basis tahun untuk penurunan kadar CO 2 adalah tahun 1990. Pada tahun itu, emisi sektor energi sebesar 466 juta ton CO 2 .

Rencana energi efisiensi meniscayakan konsumsi listrik pada saat ini (harus) turun. Basis yang digunakan adalah tahun 2008, di mana konsumsi listrik tahun itu 587 TWh. Diharapkan pada tahun 2050 ada penghematan hingga 25%. Artinya, konsumsi listrik turun menjadi 440 TWh, setara dengan konsumsi 5357 kWh/kapita. Saya tidak tahu apakah target efisiensi ini bisa diterealisasi, mengingat saya tidak mempelajari teknologi efisiensi energi. Tapi untuk kalkulasi, anggaplah itu bisa dilakukan.

Bauran “energi terbarukan” untuk sektor kelistrikan adalah 80%. Mengasumsikan efisiensi energi, maka total yang harus disediakan oleh “energi terbarukan” adalah 352,2 TWh. Emisi yang dihasilkan harus

tinggal 10% dari level tahun 1990, yakni 46,6 juta ton CO 2 . Bagaimana opsinya? Energi hidro di Jerman sangat terbatas dan tidak

ada harapan untuk diekspansi lebih jauh. Potensi panas bumi pun tidak bisa diharapkan. Karena Jerman ingin sekali menjauh dari nuklir, maka opsi yang tersisa tinggal energi bayu dan surya saja. Dua moda energi ada harapan untuk diekspansi lebih jauh. Potensi panas bumi pun tidak bisa diharapkan. Karena Jerman ingin sekali menjauh dari nuklir, maka opsi yang tersisa tinggal energi bayu dan surya saja. Dua moda energi

Dari 352,2 TWh yang mesti disediakan, diasumsikan 32,2 TWh dari biomassa, yang dominannya diambil dari sampah, dan 20 TWh dari hidro. Sementara, 300 TWh sisanya mesti dipenuhi oleh energi bayu dan surya, di sini saya ambil proporsi energi bayu 240 TWh dan surya

60 TWh. Mengingat ketergantungan sangat tinggi terhadap “energi terbarukan”

yang bersifat intermittent, eksistensi penyimpanan energi menjadi kebutuhan mutlak untuk mampu menyediakan listrik secara kontinu. Tidak ada yang mau listrik mati ketika angin tidak berembus atau matahari terhalang awan, begitu juga tidak ada yang mau mendapat suplai listrik lebih besar dari yang dibutuhkan sehingga bikin perangkat elektronik jebol.

Satu-satunya opsi penyimpanan energi untuk Jerman adalah baterai. Pump hydro tidak bisa digunakan, kecuali kalau mereka mengandalkan energi hidro yang ada di Swedia dan Norwegia. Itupun kemungkinan kapasitas yang bisa dipakai tidak terlalu besar. Teknologi penyimpanan daya lain pun sedang dipelajari, tapi tidak ada yang cukup besar untuk skala jaringan listrik.

Di pemodelan ini, opsi alternatif tidak diambil. Jadi benar-benar mengandalkan baterai saja.

Yang pertama, soal feasibility. Di sini akan dibahas juga soal aspek ekonomisnya. Di Jerman, rekam jejak performa energi bayu dan surya relatif buruk. Faktor kapasitas turbin angin hanya mampu mencapai 19%, sementara panel surya lebih buruk lagi, hanya 11%. Menilik kebutuhan di atas, maka bisa dikonversi kebutuhan kapasitas terpasang sebagai berikut.

Tabel 1. Kebutuhan daya terpasang pada tahun 2050

Moda energi Energi (TWh)

Kapasitas terpasang (GWe) Bayu

Faktor kapasitas

Jika waktu pembangunan unit PLTB dan PLTS adalah dua tahun, maka unit terakhir harus dibangun pada tahun 2048, agar tahun 2050 produksi energi yang diharapkan bisa terwujud. Pada tahun 2016, kapasitas energi bayu yang terpasang adalah 49,6 GWe dan energi surya 40,3 GWe. Dari sini, penambahan kapasitas yang dibutuhkan adalah sebagai berikut.

Tabel 2. Kebutuhan penambahan kapasitas

Laju Daya

Daya

Kekurangan penambahan Moda energi

terpasang

terpasang

daya (GWe) daya 2016 (GWe)

2050 (GWe)

(GWe/tahun) Bayu

Dibanding tahun 2015, kapasitas energi bayu dan surya meningkat masing-masing 5 dan 1 GWe. Kalau dilihat dari sini saja, kelihatannya tidak ada masalah dengan ekspansinya. Kalau bukan fakta bahwa Jerman mulai “mengerem” laju pertumbuhan “energi terbarukan” mereka. Persoalannya, anggaran pemerintah untuk subsidi sudah luar biasa tinggi dan memberatkan, tahun 2014 mencapai USD 16,8 milyar. Selain itu, masalah ada pada jaringan listrik yang belum benar-benar disesuaikan untuk mengakomodir listrik dari “energi terbarukan”. tahun 2015, operator jaringan listrik mesti membayar total EUR 1 milyar pada operator PLTB yang listriknya tidak digunakan. Pertumbuhannya diperlambat menjadi 3,7 GWe untuk energi bayu dan 0,6 GWe untuk energi surya pada tahun 2020.

Dari sini, selisih antara kapasitas daya yang seharusnya dipenuhi dengan limitasi dari pemerintah Jerman. Untuk energi bayu mungkin tidak ada masalah, sebab mereka membangun dengan limitasi lebih tinggi daripada yang dimodelkan di sini. Masalah mungkni ada pada Dari sini, selisih antara kapasitas daya yang seharusnya dipenuhi dengan limitasi dari pemerintah Jerman. Untuk energi bayu mungkin tidak ada masalah, sebab mereka membangun dengan limitasi lebih tinggi daripada yang dimodelkan di sini. Masalah mungkni ada pada

Nah, ini semua mengasumsikan bahwa kondisi cuaca benar-benar optimal. Ketika cuaca tidak optimal, berarti produksi lebih rendah dari seharusnya. Untuk negara empat musim seperti Jerman, yang seperti ini menjadi perhatian besar, khususnya di musim dingin. Ketika cuaca di suatu tahun tidak sebaik tahun sebelumnya, masalah akan muncul. Seperti yang terjadi di tahun 2016.

Environmental Progress melaporkan bahwa, pada tahun 2016, produksi listrik dari energi bayu hanya naik 0,6 TWh walau kapasitasnya naik 5 GWe. Energi surya lebih nelangsa, produksi listriknya turun 0,4 TWh walau memasang panel surya baru berdaya 1 GWe! Tidak peduli sebaik apapun penyimpanan daya, itu tidak bisa membuat cuaca lebih berangin atau awan lebih sedikit menutupi matahari.

Karena itu, kapasitas yang dipasang mesti lebih tinggi daripada proyeksi standar. Kemungkinan besar ini akan menambah komplikasi masalah dari segi supply and demand, tapi itu diabaikan dulu di sini. Kedua moda energi kapasitasnya dinaikkan 10% sehingga energi bayu menjadi 158,2 GWe dan energi surya menjadi 76,63 GWe.

Hasilnya adalah sebagai berikut.

Tabel 3. Kebutuhan penambahan kapasitas, over capacity

Laju Daya

Daya

Kekurangan penambahan Moda energi

terpasang

terpasang

daya (GWe) daya 2016 (GWe)

2050 (GWe)

(GWe/tahun) Bayu

Dari sini, tampak adanya selisih antara limitasi dari pemerintah Jerman dan kebutuhan. Untuk energi bayu, karena limitasinya akan dinaikkan pada tahun 2021 dan 2026, hal ini mungkin tidak terlalu masalah lagi. Tinggal di energi surya yang kemungkinan besar akan tertinggal jika menggunakan kondisi limitasi seperti ini.

Walau begitu, secara umum, target seperti ini dapat dikejar, dengan catatan pemerintah Jerman masih mampu memancing investor untuk berinvestasi di “energi terbarukan” yang performanya tidak bisa diandalkan dan mahal.

Pertanyaan berikutnya, seberapa ekonomis opsi Energiewende? Mengasumsikan overnight cost untuk PLTB dan PLTS masing-masing

USD 2200/kW dan USD 1800/kW, maka biaya yang dibutuhkan adalah sebagai berikut.

Tabel 4. Biaya dibutuhkan, “energi terbarukan”

Kebutuhan daya

Overnight cost

Moda energi Kebutuhan biaya (GWe)

(/kW)

USD 239,6 milyar Surya

USD 50,66 milyar

Ini belum termasuk untuk penyesuaian jaringan, kompensasi jaringan dan lain sebagainya.

Sekadar komparasi, kalau menggunakan nuklir, seberapa besar yang dibutuhkan?

Menggunakan asumsi yang mirip dengan yang tadi, energi bayu dan surya coba diganti dengan nuklir sepenuhnya. Asumsi yang diambil, PLTN memiliki faktor kapasitas 90%. Untuk mendapat 300 TWh, butuh 38,03 GWe secara keseluruhan. Kalau seluruh PLTN yang sudah di- shutdown dinyalakan kembali (karena belum dekomisioning, ini sangat mungkin dilakukan), maka total ada 20,339 GWe kapasitas nuklir yang sudah beroperasi. Maka, Jerman hanya kurang 17,69 GWe saja.

Pembangunan PLTN lama, bisa 5-7 tahun. Diasumsikan Jerman mampu membangun PLTN dalam waktu lima tahun. Maka, tiap tahun diperlukan pembangunan PLTN baru berdaya 0,71 GWe. Atau sekitar 3,55 GWe tiap periode pembangunan. Tidak terlalu banyak dan mudah dilakukan untuk level teknologi setara Jerman.

Bagaimana dengan keekonomisan?

Patokan overnight cost PLTN untuk wilayah Eropa rerata USD 5000/kW. Patut dicatat juga bahwa teknologi reaktor maju yang mulai eksis dekade 2020-2030-an akan menghasilkan biaya kurang dari setengah biaya ini, tapi di perhitungan ini tidak dimasukkan.

Maka, biaya yang dibutuhkan untuk membangun PLTN dengan daya yang diharapkan adalah sebagai berikut.

Tabel 5. Biaya dibutuhkan, nuklir Kebutuhan daya

Overnight cost

Moda energi Kebutuhan biaya

USD 88,43 milyar

Dibandingkan dengan “energi terbarukan”, biaya ini hanya sepertiganya saja!

Belum lagi kalau kita bicara soal penyimpanan daya. Untuk memperhalus alira listrik sekaligus sebagai cadangan, perlu baterai. Di sini, dimodelkan cadangan untuk seminggu. Yang menjadi contoh adalah Taman Baterai Schwerin, berbiaya USD 1,4 juta untuk penyimpanan 5 MWh.

Selama seminggu, listrik yang dibutuhkan dari “energi terbarukan” berarti (240+60) TWh/48 minggu = 6,25 TWh per minggu. Mengadopsi Taman Baterai Schwerin, maka butuh 1,25 juta unit baterai. Dengan harga USD 1,4 juta per baterai, berarti butuh USD 1,75 trilyun dan Selama seminggu, listrik yang dibutuhkan dari “energi terbarukan” berarti (240+60) TWh/48 minggu = 6,25 TWh per minggu. Mengadopsi Taman Baterai Schwerin, maka butuh 1,25 juta unit baterai. Dengan harga USD 1,4 juta per baterai, berarti butuh USD 1,75 trilyun dan

Total, butuh USD 2,054 trilyun untuk menjalankan proyek Energiewende sesuai dengan harapan. Minus kompensasi, subsidi, penyesuaian jaringan listrik dsb. Pengeluaran EUR 27,5-42,5 milyar mesti digunakan untuk penyesuaian jaringan listrik untuk menerima suplai listrik dari “energi terbarukan”. Juga tidak memperhitungkan bahwa secara praktis mustahil menghabiskan nyaris setengah lithium dunia cuma untuk keperluan satu negara. Pada tahun 2013, Peter Altmaiter, menteri lingkungan Jerman, menyatakan bahwa pada tahun 2030, Jerman bisa menghabiskan lebih dari EUR 1 trilyun untuk Energiewende, sebagian besar untuk subsidi, yang pada tahun 2020 akan mencapai EUR 680 trilyun. Total, bisa lebih dari USD 2,1 trilyun yang mesti dikeluarkan untuk “menyukseskan” Energiewende. Kalau benar-benar sukses.

Sementara, jika seluruh “energi terbarukan” itu diganti saja dengan nuklir, biayanya hanya 4,33% dari biaya total Energiewende dan ekspansinya bisa lebih cepat!

Berikutnya soal emisi karbon. Ditargetkan bahwa emisi karbon tahun 2050 di sektor kelistrikan harus tinggal 46,6 juta ton. Dari sektor kelistrikan, bisakah ini dilakukan?

World Nuclear Association mengeluarkan analisis emisi gas rumah kaca dari berbagai moda energi selama usia pakainya. Pada analisis itu,

disebutkan bahwa panel surya dan turbin angin memiliki emisi masing- masing sebesar 85 g CO 2 /kWh dan 26 g CO 2 /kWh. Sebagian besar dihasilkan ketika proses produksi dan dekomisioning ketika usia pakai habis. Ketika beroperasi, secara praktis tidak ada emisi yang dihasilkan. Ini lumrah untuk moda energi bersih. Walau begitu, tetap saja

realitanya ada CO 2 yang dilepaskan. Jadi ini tetap diperhitungkan. Di sisi lain, bauran “energi terbarukan” pada tahun 2050 hanya 80%.

Sisanya? Tidak lain dan tidak bukan adalah energi fosil, bukan nuklir. Dan energi fosil memancarkan emisi. Sumber utama emisi karbon Jerman di sektor energi berasal dari sini. Energi fosil mesti menyediakan listrik sebesar 88 TWh.

Seberapa besar proporsinya? Jerman menggunakan batubara lignite dan hard coal, biasanya proporsi lignite lebih banyak. Dalam jumlah lebih kecil, Jerman juga menggunakan gas alam. Jerman punya stok lignite sendiri, tapi gas alam sebagian besar impor dari Rusia. Kalau mau mengurangi emisi, kemungkinan besar Jerman akan lebih dominan menggunakan gas alam. Di sini, saya mengasumsikan proporsi untuk lignite:hard coal:gas alam sebesar 25%:25%:50%. Sehingga, masing-masing energi yang dibangkitkan adalah 22 TWh, 22 TWh dan

44 TWh.

Dari analisis yang sama, lignite menghasilkan CO 2 sebesar 1069 g/kWh, hard coal 888 g/kWh dan gas alam 500 g/kWh.

Sebentar, ada yang tertinggal. Biomassa juga mesti diperhitungkan. Dari segi manapun, tidak ada ceritanya biomassa itu bersih. Tetap ada emisi yang dikeluarkan, apalagi kalau asalnya dari sampah. Beberapa

pihak menganggap biomassa itu netral karbon, karena toh CO 2 yang dilepaskan akan diambil-ambil juga oleh tanaman. Saya tidak sepakat. CO 2 yang dilepaskan lebih tinggi daripada CO 2 yang ditangkap.

Seberapa besar kelebihan CO 2 ini? Temuan World Nuclear Association memberikan angka 45 g CO 2 /kWh. Relatif kecil, mengingat Environmental Progress menggunakan angka 983 g CO 2 /kWh. Alasannya, ada “utang karbon” dari biomassa, sebab penyerapan CO 2 yang dilepaskan ke atmosfer tidak secepat pembakarannya. Untuk kalkulasi ini, tidak apalah menggunakan asumsi dari World Nuclear Association.

Hasilnya adalah sebagai berikut.

Tabel 6. Emisi tahunan sektor kelistrikan Moda energi

Emisi CO 2 (ton) Surya

g CO 2 /kWh

22 23.518.000.00 Hard coal

22 19.536.000.00 Gas alam

Kalau skenarionya seperti ini, jelas sekali target tahun 2050 tidak berhasil dipenuhi. Itupun kalau berhasil untuk memasukkan 80% bauran “energi terbarukan” di jaringan listrik nasional.

Tentu saja skenario yang digunakan belum tentu sebagaimana yang di atas. Coba kita ganti dengan menihilkan batubara (walau kurang memungkinkan) dan menolkan emisi di energi bayu dan surya (walau tidak etis).

Hasilnya sebagai berikut.

Tabel 7. Emisi tahunan sektor kelistrikan, skenario 2 Moda energi

Emisi CO 2 (ton) Gas alam

g CO 2 /kWh

TWh

88 44.000.000.00 Biomassa

Total

Kalau pakai skenario ini, barulah target bisa dipenuhi. Walau sekali lagi, kurang etis untuk menihilkan kontribusi energi bayu dan surya kalau mau menghitung emisi total. Karena Jerman sendiri punya stok batubara lumayan, bahkan lebih besar cadangannya daripada cadangan batubara Indonesia, agak sulit membayangkan mereka mau-maunya impor seluruh gas alam untuk keperluan energi fosil. Apalagi, nyatanya Jerman belum menentukan kapan mereka akan phase out batubara sepenuhnya, sehingga kemungkinan besar pada tahun 2050 masih akan dipakai.

Sehingga, besar sekali peluang bahwa Jerman gagal mencapai target penurunan 90% emisi. Untuk mencapai 85% pun kemungkinan besar akan meleset.

Walau begitu, sebenarnya tidak terlalu sulit untuk mengotak-atik angka emisi spesifik di atas, sehingga bisa disesuaikan agar seolah-olah penurunan hingga 90% berhasil. Misal, turunkan saja nilai emisi spesifik gas alam dan hard coal, lalu ubah proporsi penggunaan energi fosil Taraaa! Hitung-hitungan target penurunan emisi pun seolah-olah tercapai. Apalagi soal biomassa, yang sebenarnya sangat tinggi pun bisa saja dibuat rendah dengan alasan “netral karbon”, walau sebenarnya kurang tepat. Tinggal tunggu saja ada kalangan skeptis yang mencoba mengumpulkan data dan mengalkulasi ulang, lalu biarkan mereka gontok-gontokkan soal angka mana yang benar.

Selama 20% dari bauran energi masih menggunakan energi fosil, nuklir sekalipun tidak bisa terlalu menolong. Kecuali kalau 80% menggunakan nuklir dan sisanya “energi terbarukan”, sebagai contoh, barulah target emisi bisa jauh terlampaui. Sayangnya, Jerman (hingga saat ini) masih berdelusi soal kemampuan mereka untuk bertahan di era industri dan menurunkan emisi secara drastis tanpa bantuan energi nuklir.

4. Kesimpulan

Secara singkat: Energiewende itu kacau. Biaya ekstra mahal, listrik tidak bisa diandalkan, bahkan sampai sekarang masih bingung soal bagaimana menyimpan listrik berlebih menanggulangi hari-hari dan tahun-tahun yang agak berawan atau angin tidak terlalu banyak berembus. Energi fosil pun terpaksa masih digunakan dalam kondisi operasi tidak efisien, yang berarti usaha menurunkan emisi sangat terhambat.

Orang-orang boleh saja kagum bahwa Jerman bisa dengan cepat meningkatkan bauran “energi terbarukan” mereka tanpa mengalami kolaps ekonomi. Tapi ingatlah bahwa harga listrik Jerman naik hingga nyaris dua kali lipat Prancis, yang 78% listriknya berasal dari nuklir. Begitu pula, banyak industri yang “kabur” dari Jerman karena tingginya biaya listrik.

Harga yang harus dibayar Jerman untuk meninggalkan energi nuklir dan beralih pada “energi terbarukan” sangat tinggi, dan hingga sekarang Harga yang harus dibayar Jerman untuk meninggalkan energi nuklir dan beralih pada “energi terbarukan” sangat tinggi, dan hingga sekarang

Seandainya Merkel dan partai-partai berkuasa di Jerman mau menggunakan akal sehatnya sedikit, transisi energi menuju energi bersih akan jauh lebih mudah dan murah dilakukan menggunakan energi nuklir, bahkan dengan standar Eropa yang mahalnya kelewatan sekalipun. Apalagi dengan era teknologi nuklir Generasi IV yang akan segera menjelang. Sayang, politik anti-nuklir yang tidak sedikitpun dilandaskan pertimbangan saintifik mengacaukan semuanya.

Sejujurnya, saya tidak ada masalah dan tidak peduli kalau misalnya Jerman jadi kacau dan kolaps dengan program Energiewende. Saya ada masalah kalau misalnya Energiewende dijadikan contoh untuk diikuti. Karena realitanya, Energiewende itu tidak feasible dan penuh dengan masalah alih-alih menyelesaikan masalah. Alih-alih contoh baik, Energiewende hanya bisa dijadikan sebagai contoh buruk dan pelajaran bahwa meninggalkan teknologi nuklir dalam proses menuju energi bersih sama saja membuat masalah jadi puluhan kali lebih kompleks dan mahal.

Dokumen yang terkait

ALOKASI WAKTU KYAI DALAM MENINGKATKAN KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA DI YAYASAN KYAI SYARIFUDDIN LUMAJANG (Working Hours of Moeslem Foundation Head In Improving The Quality Of Human Resources In Kyai Syarifuddin Foundation Lumajang)

1 46 7

Analisis Komparasi Internet Financial Local Government Reporting Pada Website Resmi Kabupaten dan Kota di Jawa Timur The Comparison Analysis of Internet Financial Local Government Reporting on Official Website of Regency and City in East Java

19 819 7

Analisis Pertumbuhan Antar Sektor di Wilayah Kabupaten Magetan dan Sekitarnya Tahun 1996-2005

3 59 17

FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP PENDAPATAN TENAGA KERJA PENGRAJIN ALUMUNIUM DI DESA SUCI KECAMATAN PANTI KABUPATEN JEMBER The factors that influence the alumunium artisans labor income in the suci village of panti subdistrict district jember

0 24 6

The Correlation between students vocabulary master and reading comprehension

16 145 49

An analysis of moral values through the rewards and punishments on the script of The chronicles of Narnia : The Lion, the witch, and the wardrobe

1 59 47

The Effectiveness of Computer-Assisted Language Learning in Teaching Past Tense to the Tenth Grade Students of SMAN 5 Tangerang Selatan

4 116 138

The correlation between listening skill and pronunciation accuracy : a case study in the firt year of smk vocation higt school pupita bangsa ciputat school year 2005-2006

9 128 37

Laporan Praktek Kerja Lapangan Di Lembaga Kantor Berita Nasional Antar Biro Jawa Barat

0 59 1

Peranan Komunikasi Antar Pribadi Antara Pengajar Muda dan Peserta Didik Dalam Meningkatkan Motivasi Belajar ( Studi pada Program Lampung Mengajar di SDN 01 Pulau Legundi Kabupaten Pesawaran )

3 53 80