Lets Run The Numbers Menguji Klaim Antar (1)

Menguji klaim antara energi nuklir dan “energi terbarukan”

R. Andhika Putra Dwijayanto, S.T.

Diperkenankan untuk mengutip, mencetak dan memperbanyak salinan untuk

tujuan pendidikan/non-komersial

LET’S RUN THE NUMBERS

Menguji klaim antara energi nuklir dan “energi terbarukan”

R. Andhika Putra Dwijayanto, S.T.

Daftar Isi

Pendahuluan – 1

Apakah “Energi Terbarukan” Lebih Ekonomis Dibandingkan Energi

Nuklir? – 5

Berapa Biaya Investasi Energi Nuklir dan “Energi Terbarukan”? – 29

Bagaimana Cara Elektrifikasi Paling Feasible? – 54 Energiewende, Realistis Atau Khayalan Belaka? – 69 Referensi – 88 Tentang Penulis – 90 Lampiran – 91

Pendahuluan

Saya tidak tahu sejak kapan konflik antara energi nuklir dan “energi terbarukan” muncul. Saya pun awalnya tidak punya masalah dengan “energi terbarukan”. Energi panas bumi, hidro, bayu, surya, saya anggap semua itu oke-oke saja dan layak dikembangkan untuk mendukung pemanfaatan energi bersih.

Sampai kemudian saya menyadari penentangan keras orang-orang pro- “energi terbarukan” terhadap energi nuklir.

Pertama-tama yang saya lihat adalah dari Greenpeace. Ya, saya sejak lama memang tidak senang dengan organisasi pseudosains ini. Tapi saat saya menyadari (yang cenderung telat) sikap mereka yang senang sekali membenturkan energi nuklir dan “energi terbarukan”, saya mulai menyadari ada yang tidak beres.

Dan info-info berikutnya pun mengalir begitu saja. Di berbagai belahan dunia, gerakan-gerakan “hijau” banyak eksis dengan tujuan untuk menggembosi nuklir dan mempromosikan “energi terbarukan”. Selain Greenpeace, masih ada WWF, Friends of The Earth, Sierra Club, Union of Concerned Scientists, Dewan Energi Nasional, sampai individu- individu macam Helen Caldicott, Naomi Klein, Ralph Nader, Jill Stein, Robert F. Kennedy Jr., hingga Sonny Keraf. Semuanya dengan rutin Dan info-info berikutnya pun mengalir begitu saja. Di berbagai belahan dunia, gerakan-gerakan “hijau” banyak eksis dengan tujuan untuk menggembosi nuklir dan mempromosikan “energi terbarukan”. Selain Greenpeace, masih ada WWF, Friends of The Earth, Sierra Club, Union of Concerned Scientists, Dewan Energi Nasional, sampai individu- individu macam Helen Caldicott, Naomi Klein, Ralph Nader, Jill Stein, Robert F. Kennedy Jr., hingga Sonny Keraf. Semuanya dengan rutin

Saya menggunakan tanda petik pada “energi terbarukan” karena saya menganggap istilah ini tidak ada maknanya. Tidak ada hal yang benar- benar terbarukan, semua ada limitasi. Secara fisika, limitasi itu diungkapkan dalam istilah entropi. Sementara, secara teknis, instalasi “energi terbarukan” tidak tumbuh di pepohonan. Instalasi itu dibuat dari material yang terbatas, bisa habis, utamanya logam tanah jarang. Satu-satunya alasan kenapa saya masih pakai terminologi ini (walau diperi tanda petik) adalah untuk mempermudah penyampaian.

Nah, propaganda-propaganda negatif yang mereka lontarkan terhadap energi nuklir sedikit banyak membentuk persepsi buruk tentang nuklir di tengah masyarakat. Mulai dari isu bahaya sampai ekstra mahal. Ini diperparah dengan sebagian kalangan nuklir yang justru bersikap defensif-apologetik. Jadilah propagandis menyesatkan ini merasa di atas angin.

Isu pemanasan global dan polusi udara makin mendapat sorotan tahun-tahun belakangan. Makin buruknya kualitas udara dan tambah bertumpuknya gas rumah kaca di atmosfer mengancam kehidupan manusia. Persoalan ini mengharuskan adanya perubahan paradigma energi, dari energi kotor menuju energi bersih. Walau fakta lapangan menunjukkan usaha ini terganggu oleh kongkalikong penguasa dan Isu pemanasan global dan polusi udara makin mendapat sorotan tahun-tahun belakangan. Makin buruknya kualitas udara dan tambah bertumpuknya gas rumah kaca di atmosfer mengancam kehidupan manusia. Persoalan ini mengharuskan adanya perubahan paradigma energi, dari energi kotor menuju energi bersih. Walau fakta lapangan menunjukkan usaha ini terganggu oleh kongkalikong penguasa dan

Sayangnya, propaganda menyesatkan para pemuja “energi terbarukan” justru membuat usaha mengubah haluan ini (sangat) terancam gagal. Mengingat, energi nuklir adalah satu dari sekian bentuk energi bersih. Lebih dari itu, energi nuklir adalah bentuk energi paling bisa diandalkan, bahkan dibanding energi fosil sekalipun!

Nahas, energi nuklir malah terus menerus disudutkan dan “energi terbarukan” senantiasa didewakan. Seolah-olah “energi terbarukan” adalah panasea. Obat segala penyakit sebagaimana yang sering digembar-gemborkan tukang jualan herbal. Lebih buruk lagi, terminologi “energi terbarukan” dibatasi hanya pada panel surya dan turbin angin saja. Energi hidro dan panas bumi jarang sekali dibahas. Yang lucu, beberapa organisasi “hijau” ‘mengutuk’ energi hidro hampir sama kerasnya dengan mereka ‘melaknat’ energi nuklir.

Seperti saya katakan sebelumnya, beberapa opini negatif yang didengungkan soal energi nuklir mulai dari “bahaya” sampai biaya yang “ekstra mahal”. Di sini, saya coba membahas yang terakhir. Mengingat, seringkali para propagandis ini melakukan cherry-picking. Mengambil satu informasi sembari membuang informasi lainnya yang terkait. Juga Seperti saya katakan sebelumnya, beberapa opini negatif yang didengungkan soal energi nuklir mulai dari “bahaya” sampai biaya yang “ekstra mahal”. Di sini, saya coba membahas yang terakhir. Mengingat, seringkali para propagandis ini melakukan cherry-picking. Mengambil satu informasi sembari membuang informasi lainnya yang terkait. Juga

Saya tidak mau melakukan cara kotor. Saya menguji sesuai dengan data apa adanya yang tersedia di lapangan. Dengan begini, saya ingin menunjukkan realitas dari aspek ekonomi energi nuklir dan “energi terbarukan”. Analisis ini pernah saya tulis di blog, tapi ternyata ada beberapa data dan asumsi yang kurang akurat. Perbaikannya saya tulis di sini. Saya tidak menjamin akurasi perhitungan hingga 100%. Tapi memang bukan itu yang saya ingin tunjukkan, melainkan gambaran besar yang tidak terlalu sulit dipahami kalangan non-profesional.

Tidak, saya tidak anti “energi terbarukan”. Saya menulis ini cuma untuk menunjukkan pada pemuja “energi terbarukan”, apakah klaim yang sering mereka kemukakan benar adanya atau cuma pepesan kosong. Walau sebenarnya saya ragu apa yang saya sampaikan ini bisa mengubah pemikiran mereka, setidaknya orang-orang lain yang membaca bisa mempertimbangkan dengan lebih baik dan rasional.

Semua kalkulasi yang saya lakukan bisa diulang. Prinsipnya pun tidak terlalu susah. Tapi memang butuh pendetailan lumayan. Prinsip- prinsipnya saya berikan di Lampiran.

Cibinong, 24 Desember 2016

Bagian 1 Apakah “Energi Terbarukan” Lebih Ekonomis Dari Nuklir?

Beberapa waktu yang lalu, seorang rekan dari Tim Kajian Nuklir PPI Se- Dunia mengirimkan kliping koran di grup WhatsApp. Isinya berita seminar dari salah satu kampus di Jakarta yang cenderung tendensius dan menyerang teknologi nuklir fisi, walau judulnya dibalut dengan “dukungan” terhadap reaktor fusi. Mengingat salah satu pembicaranya dari Dewan Energi Nasional, yang terkenal sebagai salah satu pihak yang paling getol menggembosi teknologi energi nuklir di negeri ini, sebenarnya itu tidak terlalu mengherankan.

Walau begitu, tetap saja ada klaim yang membuat saya tergelitik. Mereka mengklaim, pada tahun 2030, “energi terbarukan” sudah lebih murah daripada energi nuklir dan fosil. Selain itu, pernyataan soal “ketergantungan” teknologi impor, impor bahan bakar dan limbah radioaktif dipenuhi cacat logika dan tidak berdasarkan data.

Di bagian ini, saya mau menguji klaim soal “energi terbarukan” bisa lebih murah dari energi nuklir.

1. Cacat Logika

Argumen pembicara yang mengklaim bahwa pada tahun 2030 “energi terbarukan” bisa lebih murah dari energi nuklir, dalam hemat saya, dibangun atas setidaknya tiga kesalahan logika. Pertama, mereka kemungkinan besar menyamakan harga energi nuklir antara di Eropa dan Amerika Utara dengan di Asia, khususnya Indonesia. Kalau di dua tempat pertama, nuklir memang relatif mahal karena berbagai faktor, diantaranya politik anti-sains yang lebih meng-anak emas-kan “energi terbarukan” dan, mengutip istilah Prof. Bernard Cohen, “regulatory ratcheting”. Regulasi yang makin ketat dan ketat tapi tidak pernah melonggar, walau tidak ada bukti pengetatan regulasi itu membantu apa-apa dalam meningkatkan level keselamatan reaktor. Di grup LinkedIn, saya sering mengamati diskusi dari orang-orang yang sudah puluhan tahun terlibat di industri nuklir, dan mereka rerata sepakat bahwa regulasi dan beban sistem keselamatan di dunia Barat terlalu ketat tapi tidak memberi efek apa-apa. Lagi-lagi, regulatory ratcheting ini diakibatkan oleh politik anti-sains.

World Nuclear Association mengumpulkan data rentang overnight cost untuk PLTN dari berbagai daerah, yang ditunjukkan dalam gambar berikut.

Gambar 1. Rentang overnight cost PLTN di berbagai area di dunia, dalam satuan USD/kW

Tampak jelas bahwa Amerika Utara dan Eropa memang memiliki rentang biaya yang tinggi. Adapun Asia, nilai investasi yang dibutuhkan untuk membangun PLTN justru paling rendah. Jika Amerika Utara dan Eropa bisa mencapai USD 4000-5000/kW, maka di Asia hanya USD 2200-2800/kW. Bahkan tren menunjukkan angka lebih rendah lagi, dimana pembangunan PLTN di Korea Selatan dan Cina angkanya tidak sampai USD 2000/kW!

Ini seharusnya tidak menjadi pertanyaan. Kondisi di Asia sama sekali berbeda dengan di Eropa dan Amerika Utara yang serba mahal dari segala sesuatunya. Standar biaya di Asia lebih rendah. Wajar kalau akhirnya lebih murah. Regulasinya pun tidak sekompleks dan se- paranoid dunia Barat. Tampaknya hal ini luput dari pandangan para Ini seharusnya tidak menjadi pertanyaan. Kondisi di Asia sama sekali berbeda dengan di Eropa dan Amerika Utara yang serba mahal dari segala sesuatunya. Standar biaya di Asia lebih rendah. Wajar kalau akhirnya lebih murah. Regulasinya pun tidak sekompleks dan se- paranoid dunia Barat. Tampaknya hal ini luput dari pandangan para

Yang kedua, mereka kemungkinan besar mengasumsikan bahwa teknologi energi nuklir itu stagnan. Kalau benar begitu, ini kesalahan fatal. Tidak ada teknologi yang stagnan. Teknologi energi nuklir saat ini sedang bergerak menuju Generasi IV, atau reaktor maju. Dibandingkan PLTN konvensional, reaktor maju memiliki keunggulan intrinsik lebih baik, yang mengakibatkan reaktor maju lebih murah, selamat dan reliabel. Aspek murah didukung dengan fakta bahwa reaktor maju memiliki desain lebih simpel dan memiliki fitur keselamatan melekat lebih baik, sehingga mengurangi komponen keselamatan super mahal yang dibutuhkan pada PLTN konvensional, yang sebenarnya juga tidak mahal-mahal amat.

Bukan cuma “energi terbarukan” saja yang teknologinya berkembang. Nuklir berkembang dengan kecepatan lebih tinggi lagi. “Energi terbarukan” hanya sedikit diuntungkan dengan kebijakan politik anti- sains yang lebih cenderung pada turbin angin dan panel surya saja.

Yang ketiga, ada batasan maksimal level murahnya sebuah moda energi. Tidak bisa terus menerus murah sampai hampir gratis, itu sama sekali mustahil. Ini berlaku untuk semua moda energi, mau energi fosil, nuklir maupun “energi terbarukan”. Contoh, untuk reaktor maju, angka Yang ketiga, ada batasan maksimal level murahnya sebuah moda energi. Tidak bisa terus menerus murah sampai hampir gratis, itu sama sekali mustahil. Ini berlaku untuk semua moda energi, mau energi fosil, nuklir maupun “energi terbarukan”. Contoh, untuk reaktor maju, angka

Panel surya dan turbin angin harganya memang terus jatuh, tapi seberapa besar akan terus turun? Saya akan terkesan kalau tahun 2030 harganya bisa turun sampai setengah dari harga sekarang. Saat ini, panel surya memiliki biaya berkisar USD 1000-2000/kW, sementara turbin angin antara USD 2000-4000/kW. Bisa turun sampai setengahnya itu luar biasa.

2. Menguji Klaim

Okelah, anggap harga panel surya dan turbin angin bisa turun sampai setengahnya. Sekarang, coba kita mainkan angka-angkanya. Kita uji kebenaran klaim tersebut, dengan mengomparasinya dengan energi nuklir. Untuk pemodelan, saya komparasi PLTS, PLTB, PLTN konvensional dan PLTN maju. Masing-masing pemodelan saya pakai proyeksi saat ini dan perkiraan proyeksi di masa depan. Dalam pemodelan ini, biaya penuh diperhitungkan. Tidak boleh yang sudah disubsidi dan segala insentif lainnya. Tujuannya, supaya memberi angka yang benar-benar adil dan terbuka bagi masyarakat yang ingin tahu.

Untuk PLTS, saya ambil contoh dari PLTS Cadiz, Filipina. Saya baca sebuah publikasi yang mengklaim bahwa “energi terbarukan” di Filipina Untuk PLTS, saya ambil contoh dari PLTS Cadiz, Filipina. Saya baca sebuah publikasi yang mengklaim bahwa “energi terbarukan” di Filipina

Gambar 2. PLTS Cadiz, Filipina

Untuk PLTB, kebetulan di Indonesia sudah ada proyeknya, yaitu PLTB Jeneponto di Sulawesi Selatan. PLTB ini dicanangkan memiliki daya 62,5 MWe dan menelan biaya USD 135 juta. Sama seperti PLTS, saya modelkan kondisi saat ini dan setengah harga.

PLTN lebih variatif. Untuk PLTN konvensional, diambil model PLTN Shin Kori Unit 3 dan 4 di Korea Selatan dan PLTN Barakah di Uni Emirat Arab. Shin Kori diambil karena dianggap memiliki biaya realistis untuk pasar Indonesia, yaitu USD 5 milyar untuk daya 2700 MWe. Sementara, PLTN Barakah diambil sebagai batas atas termahal di Asia (walau sebenarnya PLTN lebih variatif. Untuk PLTN konvensional, diambil model PLTN Shin Kori Unit 3 dan 4 di Korea Selatan dan PLTN Barakah di Uni Emirat Arab. Shin Kori diambil karena dianggap memiliki biaya realistis untuk pasar Indonesia, yaitu USD 5 milyar untuk daya 2700 MWe. Sementara, PLTN Barakah diambil sebagai batas atas termahal di Asia (walau sebenarnya

Gambar 3. PLTN Barakah, Uni Emirat Arab (dalam pembangunan)

Gambar 4. PLTN Shin Kori, Korea Selatan

Untuk PLTN maju, saya ambil model ThorCon dan LFTR. ThorCon diambil karena mereka berencana membangun reaktor maju mereka di Indonesia pada awal dekade 2020-an, dan teknologinya dianggap paling matang untuk konsep reaktor maju yang ada. Proyeksi batas atas dan bawah ThorCon adalah USD 1200/kW dan USD 800/kW, walau dalam executive summary-nya direncanakan yang lebih ambisius, yakni USD 600/kW. Saya agak toleran dengan tidak mengambil rencana paling ambisius ini. Untuk LFTR, sengaja diambil sebagai proyeksi ideal reaktor maju, dengan biaya USD 2000/kW. Pemodelan masa depannya diasumsikan konservatif, yaitu USD 1500/kW.

Pada dasarnya, saya anti ekonomi ribawi dan menolak keras segala sesuatu yang berbau bunga dan riba. Walau begitu, nyatanya model ekonomi inilah yang digunakan dalam industri saat ini, termasuk teknologi energi. Untuk sebatas pemodelan riil dengan kondisi yang ada saat ini, tidak apalah memperhitungkan laju bunga. Dalam perhitungan ini digunakan laju bunga/interest rate 10% per tahun. Dibuat juga pemodelan tanpa bunga.

Untuk perhitungan dengan mempertimbangkan interest rate, saya menggunakan fitur PMT pada Microsoft Excel. Ini digunakan oleh Robert Hargraves dalam bukunya, Thorium Energy Cheaper Than Coal, untuk memodelkan pembiayaan dasar berbagai moda energi. Pemodelan ini tidak mempertimbangkan waktu pembangunan, tapi cukup baik untuk memperhitungkan biaya dasar dari berbagai Untuk perhitungan dengan mempertimbangkan interest rate, saya menggunakan fitur PMT pada Microsoft Excel. Ini digunakan oleh Robert Hargraves dalam bukunya, Thorium Energy Cheaper Than Coal, untuk memodelkan pembiayaan dasar berbagai moda energi. Pemodelan ini tidak mempertimbangkan waktu pembangunan, tapi cukup baik untuk memperhitungkan biaya dasar dari berbagai

Untuk menghitung biaya pembangkitan listrik, utamanya ada tiga faktor, yaitu capital cost recovery (CCR), biaya operasional dan perawatan (O&M) serta biaya bahan bakar. CCR dihitung dengan menggunakan fitur PMT pada Microsoft Excel. Untuk biaya O&M, diasumsikan sama pada USD 1 sen/kWh, walau realitanya beda-beda. Sementara, bahan bakar hanya berlaku untuk PLTN. Proyeksi untuk PLTN konvensional berdasarkan harga uranium jangka panjang dan pengayaan saat ini adalah USD 0,4614 sen/kWh, sementara untuk ThorCon adalah USD 0,4237 sen/kWh. Harga uranium relatif stabil, sementara biaya pengayaan makin lama makin turun dengan ditutupnya fasilitas pengayaan difusi gas pada tahun 2013 lalu. Agak sulit memperkirakan biaya uranium pada tahun 2030, jadi saya menyamakannya dengan harga saat ini. Adapun LFTR, biaya bahan bakarnya nyaris tidak signifikan, yakni diasumsikan pada USD 0,00051 sen/kWh. Sebabnya, LFTR diproyeksikan hanya menggunakan thorium dengan jumlah sangat sedikit.

Dari sini, dapat dimodelkan komponen perhitungan dasar sebagai berikut.

Tabel 1. Komponen pembiayaan dasar (model pembiayaan saat ini) Pembangkit

Cadiz LFTR ThorCon daya

Biaya (USD) $ 20,4

juta milyar milyar Daya (MW)

1509 2000 1200 (USD/kW)

Dari tabel di atas, tampak bahwa PLTN Barakah adalah yang paling mahal, sementara paling murah adalah PLTN ThorCon. Apa artinya? Biaya investasi untuk PLTN ThorCon paling rendah untuk mendapatkan daya terpasang setara. PLTS Jeneponto sendiri ternyata termahal kedua, walau bedanya dengan PLTN Barakah jomplang sekali. PLTS Cadiz jadi termurah kedua.

Berikutnya, untuk pemodelan dasar “masa depan”, hasilnya jadi seperti ini.

Tabel 2. Komponen pembiayaan dasar (model pembiayaan masa depan) Pembangkit

Cadiz LFTR ThorCon daya

Biaya (USD) $ 20,4

juta milyar juta Daya (MWe)

755 1500 800 (USD/kWh)

Pada pemodelan “masa depan”, PLTS Cadiz menjadi yang termurah, diikuti ThorCon, Jeneponto dan lainnya. PLTN Barakah tentu saja paling mahal.

Lantas, bagaimana dengan biaya dasar pembangkitan listriknya? Untuk model konvensional saat ini, biaya dasar masing-masing

teknologi ditunjukkan dalam tabel berikut.

Apa yang bisa disimpulkan dari tabel di atas? Ternyata overnight cost mahal tidak lantas berarti harga listriknya juga

mahal. Sebab, ada faktor lain dalam perhitungan biaya pembangkitan listrik, yakni faktor kapasitas dan usia pakai. Kalau diperhatikan pada tabel, faktor kapasitas PLTN mencapai 90%, sementara PLTB hanya 30% dan PLTS 20%. Artinya, PLTN bisa beroperasi hingga 90% dari waktu dalam setahun, sementara PLTB dan PLTS hanya 30% dan 20% waktu setahun. Dikonversi ke jam, PLTN mampu beroperasi hingga 7884 jam setahun, sementara PLTB 2628 jam dan PLTS 1752 jam.

Kenapa bisa begitu? Ini kelemahan “energi terbarukan” yang hampir tidak pernah diungkap oleh para penggiatnya. Angin tidak berembus tiap saat dan matahari tidak selalu bersinar. Angin hanya berembus pada sekitar 30% waktu, sementara sinar matahari yang bisa diandalkan hanya sekitar 20% waktu. Ini angka optimis, walau nyatanya faktor kapasitasnya bisa lebih rendah lagi. Apalagi, mengutip pernyataan Ricky Elson (ya, Ricky Elson yang itu), angin di Indonesia itu nanggung. Kencang sekali tidak, lambat juga tidak. Faktor kapasitas sebenarnya bisa lebih rendah lagi.

Sinar matahari juga begitu. Angka 20% itu optimis. Artinya, tiap hari hanya ~5 jam yang bisa digunakan untuk menghasilkan listrik. Nyatanya, saya pernah hitung pakai sejenis simulator di internet, untuk area Cibinong, Bogor, faktor kapasitas energi surya hanya 13,8%!

Belum lagi kalau misalnya mendung atau hujan, praktis tidak ada produksi listrik sama sekali. Saat malam hari, mau menghasilkan listrik dari mana?

Semakin rendah faktor kapasitas, semakin mahal harga listriknya. Biaya dasar “energi terbarukan” di tabel yang saya tampilkan cenderung optimis.

Sementara, PLTN tidak memiliki kendala seperti itu. PLTN bisa beroperasi terus menerus tanpa gangguan cuaca. Itulah keunggulan pembangkit listrik base load, operasinya tidak tergantung kondisi alam. Angka patokan untuk faktor kapasitas PLTN saat ini mencapai 90%. Nyatanya, ThorCon dan LFTR bisa meraih angka lebih tinggi lagi, mengingat sifatnya yang tidak perlu mematikan reaktor untuk mengganti bahan bakar. Di sini, saya sebatas mengambil angka konservatif.

Selain itu, waktu operasi PLTN lebih lama, bisa mencapai 40 bahkan 60 tahun. PLTB dan PLTS sulit mencapai angka 25 tahun, apalagi lebih. Bahkan bisa saja kurang dari 20 tahun. Di executive summary-nya, ThorCon diproyeksikan beroperasi selama 32 tahun, tapi di website-nya diungkapkan bisa beroperasi hingga 80 tahun. Saya mengambil angka konservatif saja.

Pada interest rate 10%, PLTN Barakah yang memiliki biaya investasi paling mahal memiliki biaya dasar USD 6,093 sen/kWh. Sementara,

PLTB Jeneponto mencapai USD 10,5 sen/kWh dan PLTS Cadiz justru paling mahal, USD 10,964 sen/kWh! Sementara, ThorCon menjadi kampiun, dengan USD 2,95 sen/kWh.

CCR merupakan aspek sensitif terhadap interest rate. Jadi, ketika investasi menggunakan uang yang sama sekali bebas bunga, hasilnya jadi bergeser. LFTR menjadi kampiun dengan USD 1,423 sen/kWh, menggeser ThorCon yang biayanya USD 1,677 sen/kWh.

Bagaimana dengan “energi terbarukan”? Tetap saja paling mahal. PLTB Jeneponto jadi USD 5,11 sen/kWh dan PLTS Cadiz jadi USD 5,308 sen/kWh! Dibandingkan PLTN Barakah saja, yang biaya dasarnya USD 2,223 sen/kWh, “energi terbarukan” tetap lebih mahal.

Jadi, apakah “energi terbarukan” lebih ekonomis dibandingkan nuklir? Tidak.

Tapi itu, kan, pemodelan sekarang! Bagaimana dengan pemodelan masa depan? Harga panel surya dan turbin angin bisa turun sampai setengahnya!

Untuk masa depan, biaya dasarnya sebagai berikut.

Apa yang bisa disimpulkan dari kedua tabel di atas? Pada interest rate 10%, “energi terbarukan” ternyata hanya bisa lebih

murah daripada PLTN Barakah! Sementara, melawan PLTN Shin Kori, LFTR dan ThorCon, keduanya kalah telak, dengan ThorCon lagi-lagi menjadi paling digdaya. Padahal, kalau mengacu pada Tabel 2, overnight cost dari “energi terbarukan” hanya USD 755-1080/kW.

Sementara, dengan interest rate 0%, “energi terbarukan” makin nelangsa. Masih kalah murah dengan PLTN Barakah sekalipun! Di sini, kembali LFTR mengambil alih mahkota dengan menjadi yang paling murah, sekitar sepertiga dari biaya dasar “energi terbarukan”.

Bagaimana dengan skenario mustahil? Ada, ketika harga panel surya dan turbin angin jatuh sampai

seperempat harga sekarang. Pada kondisi itu, dengan interest rate 10%, PLTB Jeneponto menghasilkan biaya dasar USD 3,376 sen/kWh dan PLTS Cadiz USD 3,491 sen/kWh. Lebih murah dari PLTN Barakah dan Shin Kori, tapi masih lebih mahal dari LFTR dan ThorCon yang masih menggunakan asumsi di Tabel 2. Sementara, dengan interest rate 0%, PLTB dan PLTS masing-masing memiliki biaya dasar USD 2,03 sen/kWh dan USD 2,08 sen/kWh. Lebih murah dari PLTN Barakah, tapi kalah murah ketimbang Shin Kori, LFTR dan ThorCon.

Perhitungan di atas belum mempertimbangkan backup atau penyimpanan daya berupa baterai untuk “energi terbarukan”. Kalau dimasukkan dalam perhitungan, biaya dasar bisa melonjak berkali lipat dari angka yang saya masukkan di tabel.

Untuk gambaran penyimpanan daya, saya pakai contoh paling ambisius, yakni “Taman Baterai” Schwerin di Jerman. Info ini saya dapat dari salah satu laman facebook terkait nuklir. Saya coba cari data dari sumber primernya, tapi ternyata lamannya sudah dihapus. Untungnya, laman Clean Technica (salah satu laman propagandis “energi terbarukan”) mengungkapkan biaya dan kapasitasnya.

Gambar 5. Taman Baterai Schwerin

Baterai untuk menyimpan daya dari “energi terbarukan” ini dapat menyimpan daya hingga 5 MWh dengan biaya EUR 1,3 juta atau USD 1,4 juta. Artinya, per kWh daya yang bisa disimpan berbiaya EUR 260 Baterai untuk menyimpan daya dari “energi terbarukan” ini dapat menyimpan daya hingga 5 MWh dengan biaya EUR 1,3 juta atau USD 1,4 juta. Artinya, per kWh daya yang bisa disimpan berbiaya EUR 260

Untuk komparasi lain, coba kita lihat Tesla Power Pack, yang diklaim menjadi breakthrough dari teknologi penyimpanan daya. Baterai ini menggunakan lithium-ion alih-alih asam timbal seperti yang umumnya digunakan. Tesla mengklaim baterai ini bisa tahan selama 5000 siklus. Saya tidak tahu ini realistis atau tidak, jadi anggap saja seperti itu. Daya yang bisa disimpan sebesar 210 kWh dengan biaya USD 145 ribu. Tesla Powerwall sendiri didesain tahan lama, yang artinya mengorbankan efisiensi. Angka 92% yang diklaim pabrikan cenderung meragukan, Catalytic Engineering menganggap angka RTE yang lebih reasonable itu 87%. Tidak apa-apa, anggap saja sama-sama 90%.

Gambar 6. Tesla Power Pack

Dari sana, kita hitung biaya penyimpanan ini.

Tabel 7. Perhitungan biaya penyimpanan, model konvensional. Moda penyimpanan

Schwerin Battery Park Tesla Power Pack Biaya (USD)

145 ribu Kapasitas penyimpanan (kWh)

90% Biaya penyimpanan

Dari sini, biaya penyimpanan daya saja sudah jauh melebihi biaya pembangkitan listriknya sendiri!

Beberapa pihak mengklaim kalau tahun 2030, biaya per kWh penyimpanan daya bisa turun hingga USD 100-200/kWh. Saya tidak tahu juga seberapa realistis target itu, tapi anggap saja klaim itu benar. Asumsikan harga baterai bisa turun hingga dalam rentang tersebut. Pemodelan Schwerin saya turunkan hingga setengahnya, jadi memiliki biaya USD 140/kWh. Sementara, harga Tesla Power Pack diturunkan hingga seperempatnya, menjadi USD 173/kWh.

Hasilnya di tabel berikut.

Tabel 8. Perhitungan biaya penyimpanan daya, model “masa depan” Moda penyimpanan

Schwerin Battery Park Tesla Power Pack Biaya (USD)

32,5 ribu Kapasitas penyimpanan (kWh)

90% Biaya penyimpanan/kWh

Jadi, untuk menyimpan daya saja, biayanya setara bahkan lebih mahal daripada biaya pembangkitan listrik dari PLTN! Sama-sama menggunakan skenario “masa depan”, Tesla Power Pack mungkin lebih rendah daripada PLTN Barakah dan Shin Kori dengan interest rate 10%, tapi lebih mahal ketimbang LFTR dan ThorCon. Bahkan dibanding pemodelan LFTR dan ThorCon konvensional sekalipun, Power Pack masih lebih mahal. Pada interest rate 0%, Tesla Power Pack kalah mutlak dibanding semua model PLTN, baik dalam model konvensional maupun “masa depan”.

Ditambah dengan biaya pembangkitan listriknya, biaya pembangkitan lisrik dalam skenario paling mustahil dan interest rate 10% adalah USD 7,331 sen/kWh untuk PLTS Cadiz dan USD 7,216 sen/kWh untuk PLTB Jeneponto. Masih lebih mahal ketimbang PLTN Barakah. Sementara, skenario mustahil dan interest rate 0%, biaya listrik PLTS Cadiz menjadi 5,917 sen/kWh dan PLTB Jeneponto 5,867 sen/kWh. Hampir dua kali lipat PLTN Barakah dengan interest rate 0% dan hanya sedikit lebih murah dengan interest rate 10%.

Bagaimana dengan Schwerin? Tidak usah dipikirkan. Mahalnya tidak ketulungan.

3. Kesimpulan

Apa yang bisa disimpulkan dari sini?

“Energi terbarukan” memiliki keterbatasan alamiah yang menghalanginya

energi yang murah. Ketergantungannya pada kondisi alam membuat “energi terbarukan” menjadi moda energi paling tidak reliabel dan paling mahal yang pernah ada. Secanggih apapun teknologinya, ada batasan saintifik dan engineering yang tidak bisa ditabrak. Semurah apapun panel surya dan turbin angin, tidak ada yang bisa memprediksi fluktuasi angin maupun mengubah kondisi siang dan malam. Semurah apapun baterai, ketahanan kimiawinya tidak bisa diperpanjang tanpa batas. It’s simply impossible.

menjadi

pilihan

Ini pil pahit yang mau tidak mau harus ditelan para pemuja “energi terbarukan”. Performa energi nuklir masih jauh melampaui apa yang bisa dilakukan “energi terbarukan”. Bahkan, dalam beberapa skenario, teknologi nuklir “stagnan” masih lebih unggul daripada “energi terbarukan” yang dianggap berkembang dan maju.

Hadapilah, “energi terbarukan” tidak bisa lebih ekonomis daripada energi nuklir. Kebijakan yang menomorsatukan “energi terbarukan” dan meminggirkan energi nuklir hanya akan mengundang masalah dalam penyediaan energi nasional maupun dunia.

Bagian 2 Berapa Biaya Investasi Energi Nuklir dan “Energi Terbarukan”?

Di bagian sebelumnya, saya membahas soal biaya produksi listrik dari energi nuklir dan “energi terbarukan”. Di sana, saya mementahkan habis-habisan anggapan bahwa “energi terbarukan” bisa lebih murah dari energi nuklir. Tidak, energi nuklir akan tetap menjadi opsi energi bersih termurah. Kalkulasi objektif manapun bisa menemukan fakta itu dengan mudah.

Tapi bagaimana dengan biaya investasinya? Bukankah biaya investasi nuklir mahal?

Betul, biasanya biaya investasi untuk energi nuklir relatif lebih mahal ketimbang moda lain. Sebabnya, PLTN butuh sistem kompleks untuk menjamin keselamatan operasinya. Sehingga, biaya investasi dasar, atau istilah lebih kompleksnya, overnight cost, PLTN cenderung lebih tinggi. Khususnya untuk tipe Light Water Reactor (LWR). Dalam sistem ekonomi neoliberal, dimana profit cepat adalah hal yang paling dipuja- puja, besarnya biaya investasi menjadi gangguan bagi investor yang ingin buru-buru dapat untung.

Tapi benarkah overnight cost tinggi ini membuat biaya investasi total untuk energi nuklir jadi kelewat tinggi juga?

Kalau mengamati biaya produksinya yang realitanya lebih rendah, sih, seharusnya bisa dipahami bahwa sebenarnya biaya investasinya juga lebih rendah dari “energi terbarukan”. Tapi untuk lebih meyakinkan, seperti soal biaya pembangkitan listrik sebelumnya, saya buat juga kalkulasinya.

1. Pemodelan

Untuk simulasi, diambil proyeksi energi Indonesia. Tahun 2050, diproyeksikan konsumsi listrik per kapita mencapai 7000 kWh. Ini setara dengan konsumsi listrik rerata di Eropa, walau lebih rendah dari Amerika Serikat dan Skandinavia. Tidak masalah, toh konsumsi terlalu tinggi juga buat apa? Lalu, diproyeksikan bahwa penduduk Indonesia pada tahun 2050 bertambah hingga mencapai 300 juta orang.

Kebijakan Energi Nasional yang ditelurkan Dewan Energi Nasional menyatakan bahwa bauran energi baru dan terbarukan (EBT) pada tahun 2050 hanya 31%. Dengan proyeksi daya terpasang 430 GWe, bauran energi bersih ini terlalu kecil dan cenderung mencari masalah dengan iklim global. Rekam jejak emisi karbon Indonesia memang belum seburuk Inggris Raya dan Amerika Serikat, tapi kalau itu jadi dalih untuk terus membakar energi fosil, saya kira ini juga tidak bermoral. Cuma karena tetangga kita sudah sering sekali membuang Kebijakan Energi Nasional yang ditelurkan Dewan Energi Nasional menyatakan bahwa bauran energi baru dan terbarukan (EBT) pada tahun 2050 hanya 31%. Dengan proyeksi daya terpasang 430 GWe, bauran energi bersih ini terlalu kecil dan cenderung mencari masalah dengan iklim global. Rekam jejak emisi karbon Indonesia memang belum seburuk Inggris Raya dan Amerika Serikat, tapi kalau itu jadi dalih untuk terus membakar energi fosil, saya kira ini juga tidak bermoral. Cuma karena tetangga kita sudah sering sekali membuang

Di artikel lain, saya buat proyeksi bahwa energi bersih itu baurannya harusnya mencapai 90% energi nasional. Tapi untuk argumen di sini, saya proyeksikan saja energi bersih itu memenuhi setengah dari konsumsi listrik per kapita, yakni 3500 kWh. Angka ini harus dipenuhi menggunakan tiga opsi: energi nuklir, energi bayu, atau energi surya.

Kenapa saya tidak membuat kombinasi dari ketiganya? Pertama, untuk simplisitas perhitungan. Terlalu banyak kombinasi cuma bikin pusing dan bisa jadi poin pentingnya malah tidak dapat. Kedua, untuk menunjukkan argumen pada para pemuja “energi terbarukan”, yang biasanya menganggap “energi terbarukan” saja sudah cukup, tidak perlu nuklir.

Ya, ya, saya tahu akan ada yang bilang “nuklir dan terbarukan seharusnya bekerjasama!” Sekali lagi, saya tidak anti “energi terbarukan”, kecuali bahwa saya kurang senang pada sifatnya yang mahal dan tidak reliabel. Saya juga tidak menafikan bahwa toh energi bayu dan surya akan dipakai-dipakai juga. Pemodelan ini sebatas untuk memberi argumen pada para pemuja “energi terbarukan” yang seringkali anti-nuklir.

Oke, kembali ke topik. Jadi, energi nuklir, energi bayu dan energi surya. Mana yang paling murah dari ketiganya?

Untuk pemodelan nuklir, saya mengambil batas atas, median dan bawah. Batas atas saya ambil dari PLTN Barakah, Uni Emirat Arab. Proyek ini memakan biaya USD 20,4 milyar untuk daya 5600 MWe. Pemodelan median, saya ambil PLTN Shin Kori unit 3 dan 4, Korea Selatan. Proyek ini memakan USD 5 milyar untuk daya 2700 MWe. Pemodelan bawah, ThorCon dijadikan contoh. Proyeksi dari Martingale Inc., ThorCon berdaya 1000 MWe butuh biaya USD 1,2 milyar.

Untuk pemodelan energi bayu, diambil PLTB Jeneponto, Indonesia. Turbin angin berdaya 62,5 MWe dibangun dengan biaya USD 135 juta. Ini pemodelan standar. Untuk pemodelan rendah, dianggap biaya pembangunannya setengah dari biaya model standar. Sementara untuk pemodelan energi surya, diambil PLTS Cadiz, Filipina. Biaya yang ditelan mencapai USD 200 juta, untuk daya 135 MWe.

Jadi, pada dasarnya pemodelan di sini mirip dengan bagian sebelumnya.

2. Tunggu Dulu!

Pemodelan masih belum selesai sampai di sini. Ada hal lain yang mesti diperhatikan. Untuk “energi terbarukan”, pemodelan harus memperhitungkan penyimpanan daya.

Lho, kok? Kenapa? Sifat dari “energi terbarukan” itu tidak reliabel (jujur saja, tidak usah

bermanis mulut). Keluaran dayanya tidak stabil, fluktuatif, tergantung ada-tidaknya angin atau sinar matahari. Kalau listrik tidak stabil ini yang dialirkan, bisa rusak jaringan listrik dan perangkat elektronik lainnya.

Bayangkan sungai yang alirannya deras dan turbulen. Kadang tenang, kadang deras sekali. Perahu yang melaju di sungai itu akan gampang sekali terbalik bahkan hancur (kecuali untuk arung jeram, tapi itu cerita lain). Nah, seperti itulah aliran listrik dari “energi terbarukan”.

Supaya aliran listriknya stabil, tidak merusak jaringan listrik, energi yang dihasilkan mesti disimpan dulu di moda penyimpanan. Nanti listriknya dialirkan dari sini ke jaringan listrik, sehingga alirannya jadi lebih halus dan stabil.

Persoalan lain, karena “energi terbarukan” tidak mungkin menghasilkan listrik tiap saat, dan seringkali produksi maksimalnya bukan ketika beban daya sedang tinggi-tingginya, listrik ini mesti disimpan di penyimpanan daya, untuk kemudian dialirkan ketika beban daya tinggi atau sedang tidak ada produksi listrik akibat ketiadaan angin atau sedang malam hari. Tidak ada yang mau, kan, malam hari tidak ada listrik karena tidak ada sinar matahari?

Jadi, kita mesti masukkan biaya investasi untuk moda penyimpanan ini.

Ada beberapa jenis moda penyimpanan, diantaranya pump hydro dan baterai. Yang pertama butuh dua reservoir air dengan ketinggian berbeda. Mirip dengan PLTA. Persoalan utama dari pump hydro adalah tempatnya terbatas. Di Indonesia, ada satu proyek pump hydro di Cisokan, Jawa Barat. Pump hydro ini menelan biaya USD 800 juta,

3 memiliki volume reservoir atas 14 juta m 3 (10 juta m yang bisa dipakai) dengan beda ketinggian antara dua reservoir 276 m. Kalau dihitung,

volume ini dapat menampung daya hingga 7,5 GWh. Artinya, sejumlah 7,5 GWe bisa disimpan selama satu jam. Atau 1 GWe disimpan selama 7,5 jam. Sama saja.

Gambar 7. Skema pump hydro

Untuk menanggulangi ketidakstabilan daya, biasanya disarankan agar penyimpanan daya didesain untuk mampu menjadi backup selama seminggu. Tapi untuk pump hydro, saya cuma mengaturnya untuk bisa menampung daya selama sehari. Kenapa? Coba perhatikan paragraf Untuk menanggulangi ketidakstabilan daya, biasanya disarankan agar penyimpanan daya didesain untuk mampu menjadi backup selama seminggu. Tapi untuk pump hydro, saya cuma mengaturnya untuk bisa menampung daya selama sehari. Kenapa? Coba perhatikan paragraf

Alternatif lain pakai baterai. Ini dianggap menjadi breakthrough bagi penggembar “energi terbarukan”. Penggunaan “energi terbarukan” dan penyimpanan daya berupa baterai dianggap mampu untuk menggantikan sepenuhnya energi fosil dan nuklir, serta makin lama makin murah. Kita uji saja.

Ada beberapa jenis baterai, tapi yang umumnya dipakai adalah baterai asam timbal, karena paling murah. Walau begitu, baterai lithium-ion makin sering digunakan. Beberapa proyek penyimpanan daya besar menggunakan baterai lithium-ion.

Contoh paling ambisius di Eropa ada di “Taman Baterai” Schwerin, Jerman. Digunakan baterai yang mampu menampung 5 MWh dengan biaya USD 1,4 juta. Ada baterai lain yang lebih besar kapasitas penyimpanannya, tapi tidak ada data yang diberikan soal biaya dan sebagainya. Jadi saya pakai yang ini saja. Katanya, pada tahun 2030, biaya baterai ini akan turun sampai setengahnya. Oke, saya dengan polos dan tanpa dosa memotong biaya jadi setengahnya, USD 700 ribu.

Baterai ini bisa bertahan kira-kira selama 1000 siklus. Kalau satu siklus untuk seminggu, berarti bisa tahan 20 tahun. Ini setara dengan klaim produsennya yang menyatakan baterai ini bisa bertahan 20 tahun.

Ada alternatif baterai lain? Ada. Tarararam! Tesla Power Pack! Well, Elon Musk tampaknya serius soal menggunakan baterai sebagai

suplemen bagi “energi terbarukan”. Jadi perusahaannya, Tesla, membuat baterai untuk penyimpanan daya tinggi. Beda dengan baterai biasa, Tesla menggunakan lithium-ion. Diklaim bisa tahan sampai 5000 siklus. Katanya. Tapi anggap saja ini benar. Tesla Power Pack punya daya 210 kWh, dengan biaya sekitar USD 145 ribu. Untuk batas bawah, saya potong setengahnya juga. Kedua baterai ini bisa dimodelkan untuk bisa menjadi backup daya selama seminggu.

Yah, ini juga sama dengan bagian sebelumnya. Saya cuma mereplikasi biar perbandingannya pas.

3. Maaf, Tidak Ada Makan Siang Gratis. Salah Semesta.

Pump hydro dan baterai tidak bisa mengonversi seluruh potensi energi yang dimilikinya menjadi listrik. Kira-kira, hanya 70-90% energi disimpan yang bisa dikembalikan dalam bentuk listrik. Istilahnya adalah round-trip-efficiency (RTE). Jadi, untuk menghasilkan daya sebagaimana dikeluarkan oleh penyimpanan daya, turbin angin dan panel surya mesti ditingkatkan jumlahnya.

Yah... nambah biaya lagi, deh.

Oke, berarti ada beberapa komponen yang kita nilai. PLTN model atas, median dan bawah. Lalu PLTS model median dan bawah, serta PLTB model median dan bawah. Keempat ini masing-masing dikombinasikan lagi dengan penyimpanan daya—baterai Schwerin model median dan bawah, baterai Powerpack model median dan bawah, serta pump hydro. Banyak juga, ya.

Hasilnya bagaimana? Kita cek dulu overnight cost-nya. Pertama, untuk PLTN.

Tabel 1. Overnight cost PLTN

Pembangkit daya

PLTN median PLTN bawah Biaya (USD)

PLTN atas

$ 5 milyar $ 1,2 milyar Daya (MW)

$ 20,4 milyar

1000 Overnight cost

(USD/kW)

Lalu untuk PLTB dan PLTS.

Tabel 2. Overnight cost PLTB dan PLTS

Pembangkit daya

PLTB

PLTB

PLTS PLTS

median bawah Biaya (USD)

median

bawah

$ 200 juta $ 100 juta Daya (MW)

$ 135 juta

$ 67,5 juta

62.5 62.5 132,5 132,5 Overnight cost

(USD/kW)

Oke, jelas sekali kalau PLTB dan PLTS relatif lebih murah, apalagi model bawah.

Ups, tunggu dulu. Bagaimana dengan moda penyimpanannya?

Tabel 3. Biaya per kWh penyimpanan daya

Moda Schwerin

Power Pack Pump median

Schwerin

Power Pack

bawah hydro Harga

bawah

median

$ 72,5 ribu $ 800 juta Penyimpanan 5000 kWh

210 kWh 7,5 juta kWh Biaya per kWh

Dari sini, jelas bahwa pump hydro paling murah penyimpanannya. Mengingat semua baterai mesti impor, agak sulit membayangkan biayanya berbeda antara di dalam dan luar negeri.

Nah, bagaimana dengan biaya investasi dasarnya? Untuk nuklir, biaya investasinya sebagai berikut.

Tabel 4. Biaya investasi PLTN

PLTN atas

PLTN median PLTN bawah

Overnight cost/kW

$ 1.851 $ 1.200 Kebutuhan

(kWh/kapita)

Penduduk (orang) 300 juta Daya listrik

(kWh/tahun) 1,05 trilyun Faktor kapasitas

90% Daya dibutuhkan (GW)

133 Biaya investasi

$ 246,2 milyar $ 159,6 milyar Usia pakai

$ 484,5 milyar

Sementara, untuk “energi terbarukan”, berikut biaya investasinya.

Tabel 5. Biaya investasi dasar PLTB dan PLTS

PLTS median PLTS bawah Overnight cost/kW

PLTB median

PLTB bawah

(kWh/kapita) Penduduk (orang)

300 juta

Daya listrik 1,05 trilyun (kWh/tahun)

20% 20% Daya dibutuhkan

Faktor kapasitas

600 600 Biaya investasi

$ 905,4 milyar $ 453 milyar Usia pakai

Ups. Saya belum memperhitungkan RTE dari penyimpanan daya. Pump hydro cuma punya efisiensi ~80%, sementara baterai ~90%. Jadi, daya yang dibutuhkan mesti dibagi dengan RTE itu.

Pakai pump hydro, hasilnya jadi seperti ini.

Tabel 6. Biaya investasi dasar PLTB dan PLTS, backup pump hydro

PLTS median PLTS bawah Overnight cost/kW

PLTB median

PLTB bawah

(kWh/kapita) Penduduk (orang)

300 juta

Daya listrik (kWh/tahun)

1,05 trilyun

20% 20% Daya dibutuhkan

Faktor kapasitas

750 750 Biaya investasi

$ 1,08 trilyun $ 540 milyar $ 1,32 trilyun $ 566,26 milyar Usia pakai

Kalau pakai baterai, hasilnya begini.

Tabel 7. Biaya investasi dasar PLTB dan PLTS, backup baterai

PLTS median PLTS bawah Overnight cost/kW

PLTB median

PLTB bawah

(kWh/kapita) Penduduk (orang)

300 juta

Daya listrik

1,05 trilyun

(kWh/tahun) Faktor kapasitas

20% 20% Daya dibutuhkan

666 666 Biaya investasi

$ 1 trilyun $ 502,83 milyar Usia pakai

$ 959 milyar

$ 479,5 milyar

Oh.

Oke, bedanya jomplang sekali bahkan sebelum memperhitungkan moda penyimpanan daya. Dan itu cuma buat 20 tahun! Untuk disetarakan dengan PLTN, ya harus dikali tiga. Hasilnya, untuk yang menggunakan penyimpanan daya pump hydro,

Tabel 8. Biaya investasi dasar PLTB dan PLTS, backup pump hydro, penyetaraan 60 tahun

PLTS median PLTS bawah Overnight cost/kW

PLTB median

PLTB bawah

(kWh/kapita) Penduduk (orang)

300 juta

Daya listrik 1,05 trilyun (kWh/tahun)

20% 20% Daya dibutuhkan

Faktor kapasitas

750 750 Biaya investasi

$ 3,4 trilyun $ 1,7 trilyun Usia pakai

Dan yang menggunakan baterai,

Tabel 9. Biaya investasi dasar PLTB dan PLTS, backup baterai, penyetaraan 60 tahun PLTB median

PLTS median PLTS bawah Overnight cost/kW

PLTB bawah

(kWh/kapita) Penduduk (orang)

300 juta

1,05 trilyun Faktor kapasitas

Daya listrik (kWh/tahun)

20% 20% Daya dibutuhkan

666 666 Biaya investasi

$ 2,88 trilyun $ 1,44 trilyun $ 3 trilyun $ 1,51 trilyun Usia pakai

Aduh. Mesti dicatat, ini mengasumsikan faktor kapasitas PLTB dan PLTS

memang setinggi itu. Kalau ternyata faktor kapasitas lebih rendah, artinya butuh lebih banyak turbin angin dan panel surya, menambah bengkak pengeluaran dan bikin pemerintah makin stres.

Ini fakta yang mau tidak mau harus dihadapi propagandis “energi terbarukan”, bahwa reliabilitasnya rendah. Dari waktu yang tersedia selama setahun, hanya sedikit yang bisa digunakan untuk menghasilkan listrik.

Karena itulah, untuk memenuhi kebutuhan 3500 kWh per kapita, banyak sekali unit PLTB dan PLTS yang dibutuhkan, jauh lebih banyak Karena itulah, untuk memenuhi kebutuhan 3500 kWh per kapita, banyak sekali unit PLTB dan PLTS yang dibutuhkan, jauh lebih banyak

Nah, bagaimana dengan penyimpanan dayanya? Ini kalau menggunakan baterai.

Sementara, kalau menggunakan pump hydro, ini hasilnya.

Tabel 11. Biaya investasi pump hydro Jenis penyimpanan

Pump hydro Kapasitas penyimpanan (kWh)

$ 800 juta Biaya per GWh-hari

Biaya

$ 2,55 milyar Kebutuhan penyimpanan (GWh-hari)

2876,71 Kebutuhan unit

3,2 Biaya investasi

$ 7,343 trilyun

Oh (lagi). Baterai Schwerin model murah sekalipun butuh biaya investasi setara

dengan biaya termahal dari pembangkitan energinya. Walau tidak secara otomatis membuat biaya per kWh jadi lebih murah daripada Powerpack, tapi ini lumayan bikin anggaran tekor. Sementara, untuk menyediakan pump hydro saja, sudah makan hampir 48 kali lipat APBN Indonesia tahun 2016!

Karena baterai Schwerin hanya bisa bertahan 20 tahun, maka untuk menyetarakan dengan PLTN, perlu dikali tiga. Baterai Powerpack punya siklus yang lebih panjang, jadi kira-kira bisalah dianggap bertahan 60 tahun (benar tidaknya saya tidak tahu, jadi saya berasumsi positif saja). Sementara, pump hydro bisa dioperasikan sampai lama sekali. Jadi, yang dua ini biarkan saja.

Dari sini, coba kita deretkan berapa pembiayaan total dari masing- masing pembangkit listrik.

Tabel 12. Biaya investasi total PLTN

PLTN bawah Biaya investasi

PLTN atas

PLTN median

$ 484,52 milyar $ 246,18 milyar

$ 159,6 milyar

Dari sini, kita bisa lihat bahwa biaya investasi “energi terbarukan” yang paling murah, yaitu PLTB batas bawah dengan penyimpanan pump hydro itu 18,5 kali lebih mahal daripada biaya investasi nuklir yang paling mahal!

4. Itu Juga Kalau Sumber Dayanya Cukup

Inilah kenapa saya menganggap “energi terbarukan” tidak ada maknanya. Sumber daya untuk membangun instalasinya terbatas. Sorotan lebih khusus ada pada moda penyimpanannya, baik baterai maupun pump hydro.

Menilik cadangan terbukti timbal dan lithium di planet ini, saya tidak yakin bahwa semua itu cukup untuk membangun unit baterai yang dibutuhkan untuk keperluan Indonesia dalam pemodelan ini. Apalagi untuk keperluan belahan bumi lainnya.

Cadangan timbal yang ekonomis untuk diekstrak adalah 89 juta ton. Baterai asam timbal memiliki kapasitas energi spesifik antara 33-42 Wh/kg. Anggaplah baterai yang dimodelkan di sini punya energi spesifik paling tinggi. Komposisi timbal mencapai 60% dari berat baterai. Dari sini, ditemukan bahwa kita butuh 288,4 juta ton timbal. Sekitar 3,24 kali lebih banyak daripada cadangan timbal terbukti dunia.

Cadangan timbal yang terestimasi (belum semuanya terbukti) memang mencapai 2 milyar ton. Artinya, kebutuhan timbal untuk baterai di

Indonesia mencapai seperempat estimasi total. Sementara yang mau pakai baterai bukan cuma Indonesia saja. Belum lagi penggunaan di sektor non-pembangkitan listrik. Dan itu juga kalau memang cadangannya terbukti segitu adanya.

Baterai lithium-ion sama saja. Cadangan lithium terbukti dunia mencapai 13 juta ton, dengan estimasi total 39 juta ton. Penggunaan lithium dalam tiap-tiap baterai berbeda, tergantung pabrikan. Namun, salah satu penelitian menunjukkan bahwa butuh 565 g lithium per kWh daya yang disimpan. Dimodelkan dengan kebutuhan penyimpanan daya seminggu, hasilnya butuh 11,408 juta ton lithium. Sekitar 87,76% dari cadangan terbukti lithium dunia dan 29,25% estimasi cadangan lithium total. Masa’ iya kita mau menggunakan lithium sebanyak ini cuma untuk baterai?

Lithium bisa diekstrak dari air laut, tapi prosesnya butuh energi sangat tinggi sehingga tidak ekonomis. Apalagi kalau menggunakan “energi terbarukan”.

Bagi saya, lithium lebih baik digunakan sebagai garam pelarut di LFTR daripada harus dihabiskan untuk baterai yang mahal dan tidak efisien. Penggunaan lithium di LFTR mampu membangkitkan energi jutaan kali lebih besar daripada yang bisa dibangkitkan dalam baterai.

Kalau pump hydro, kendalanya adalah lahan dan ketersediaan sumber air. Untuk memenuhi kebutuhan sebagaimana tertera, butuh Kalau pump hydro, kendalanya adalah lahan dan ketersediaan sumber air. Untuk memenuhi kebutuhan sebagaimana tertera, butuh

Seluruh potensi energi hidro negeri ini sudah bisa dipastikan tidak cukup untuk menjadi backup “energi terbarukan”.

Bagaimana kalau tidak usah pakai backup saja? Ya silakan. Tapi risiko jaringan listrik jadi rusak, perangkat elektronik gampang jebol dan suplai listrik ala kadarnya dengan harga ekstra mahal ditanggung sendiri. Sebagai orang yang masih punya common sense, saya tidak mau yang seperti itu.

5. Kesimpulan

Untuk menentukan moda energi, selain dari biaya pembangkitan listrik, biaya investasi juga mesti diperhatikan. Economics wise, kalau ada moda energi yang bisa dipasang dengan biaya investasi lebih murah, kenapa harus memilih yang lebih mahal? Apalagi kalau lebih mahal sampai puluhan kali dengan level komplikasi jauh lebih tinggi.

Dokumen yang terkait

ALOKASI WAKTU KYAI DALAM MENINGKATKAN KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA DI YAYASAN KYAI SYARIFUDDIN LUMAJANG (Working Hours of Moeslem Foundation Head In Improving The Quality Of Human Resources In Kyai Syarifuddin Foundation Lumajang)

1 46 7

Analisis Komparasi Internet Financial Local Government Reporting Pada Website Resmi Kabupaten dan Kota di Jawa Timur The Comparison Analysis of Internet Financial Local Government Reporting on Official Website of Regency and City in East Java

19 819 7

Analisis Pertumbuhan Antar Sektor di Wilayah Kabupaten Magetan dan Sekitarnya Tahun 1996-2005

3 59 17

FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP PENDAPATAN TENAGA KERJA PENGRAJIN ALUMUNIUM DI DESA SUCI KECAMATAN PANTI KABUPATEN JEMBER The factors that influence the alumunium artisans labor income in the suci village of panti subdistrict district jember

0 24 6

The Correlation between students vocabulary master and reading comprehension

16 145 49

An analysis of moral values through the rewards and punishments on the script of The chronicles of Narnia : The Lion, the witch, and the wardrobe

1 59 47

The Effectiveness of Computer-Assisted Language Learning in Teaching Past Tense to the Tenth Grade Students of SMAN 5 Tangerang Selatan

4 116 138

The correlation between listening skill and pronunciation accuracy : a case study in the firt year of smk vocation higt school pupita bangsa ciputat school year 2005-2006

9 128 37

Laporan Praktek Kerja Lapangan Di Lembaga Kantor Berita Nasional Antar Biro Jawa Barat

0 59 1

Peranan Komunikasi Antar Pribadi Antara Pengajar Muda dan Peserta Didik Dalam Meningkatkan Motivasi Belajar ( Studi pada Program Lampung Mengajar di SDN 01 Pulau Legundi Kabupaten Pesawaran )

3 53 80