Catatan Reflektif bagi Kebijakan Kriminalisasi dalam Rancangan KUHP

C. Catatan Reflektif bagi Kebijakan Kriminalisasi dalam Rancangan KUHP

Bahwa saat ini pembaruan KUHP Indonesia tengah dilakukan. Proses pembahasan KUHP saat ini perlu dipertimbangkan sebagai salah satu peluang untuk melakukan intervensi substansi dengan menempatkan kejahatan diskriminasi rasial dalam rumusan yang memiliki substansi memadai dan presisi pasal yang memuat rumusan perbuatan yang layak dikriminalisasi dengan tepat. Kebijakan tim perancang KUHP secara umum adalah meniadakan adanya ketentuan hukum pidana dalam peraturan perundang-undangan di luar KUHP. Di mana KUHP merupakan satu-satunya sumber hukum pidana nasional

Indonesia yang memuat ketentuan umum hukum pidana dan tindak pidana. 72 Kebijakan kriminalisasi yang diterapkan oleh Tim Perumus Pembaruan KUHP

adalah dengan cara melakukan amandemen Buku II KUHP, di mana rumusan-rumusan perbuatan yang di kriminalisasi tersebut disisipkan pada pasal-pasal dalam bab dan bagian yang relevan. Dalam konteks ini langkah-langkah untuk melakukan harmonisasi peraturan perundang-undangan sangat menentukan isi KUHP mendatang. Isu diskriminasi rasial dalam ranah pergaulan politik internasional merupakan salah satu isu

72 Lihat Mudzakkir, Melihat Politik Kodifikasi dalam Rancangan KUHP, diselenggarakan oleh ELSAM, Jakarta, 28 September 2006.

yang memiliki bobot dalam kerangka hubungan inter relasi antar negara di dunia. Norma- norma internasional yang berhubungan dengan tema penghapusan segala bentuk diskriminasi rasial harus menjadi substansi yang menjadi bagian dari langkah-langkah harmonisasi tersebut.

Dalam hal ini, ratifikasi Indonesia terhadap Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial dan Rancangan Undang-Undang tentang Penghapusan Diskriminasi Rasial harus menjadi referensi utama untuk merumuskan bobot perbuatan-perbuatan yang akan dikriminalisasi sebagai tindak pidana di KUHP. Pendalaman dan penilaian atas bobot perbuatan yang akan dikriminalisasi tersebut akan mempengaruhi tempat di mana rumusan-rumusan tindak pidana yang dikategorikan sebagai praktik diskriminasi rasial akan diletakkan. Dalam kerangka kebijakan kriminalisasi KUHP mendatang maka perlu dipertimbangkan hal-hal sebagai berikut:

Pertama, pertimbangan mengenai bobot perbuatan yang ada pada konvensi dan rancangan undang-undang tentang penghapusan diskriminasi dan etnis. Parameter yang harus diingat dalam perumusan pasal pidana selain merumuskan perbuatan pidana dan bobot sanksinya yang akan dikriminalisasi, juga harus melihat praktik kebijakan hukum pidana dinegara lain sehubungan dengan resepsi norma internasional dalam hukum nasional.

Kedua, pertimbangan dalam menentukan konstruksi perbuatan pidana yang akan dikriminalisasi. Bahwa saat ini KUHP Indonesia telah mengatur kejahtan membuat pernyataan dan menyebarluaskan kebencian, permusuhan, dan merendahkan terhadap golongan penduduk tertentu. Kejahatan tersebut masuk kedalam golongan delik hatzaai artikelen (delik-delik penyebaran kebencian). Pada satu sisi rumusan dengan bentuk delik penyebaran rasa kebencian tersebut memiliki dimensi perlindungan terhadap kelompok, entitas, atau misi tertentu yang memang harus dilindungi. Namun terdapat pula dimensi lainnya, yakni mengenai aspek perlindungan kebebasan meyatakan pendapat, berbicara, dan berkreasi. Nantinya rumusan perbuatan pidana yang dikriminalisasi harus memiliki kecermatan pelingkupan yang cukup memadai agar tidak menjadi ancaman bagi kebebasan fundamental. Dari segi muatan substansi yang telah ada saat ini, perumus harus memperhitungkan konstruksi perbuatan yang akan dikriminalisasi apakah akan mengikuti konstruksi kejahatan yang terdapat pada KUHP saat ini dan kemudian mengembangkannya sesuai dengan tuntutan kekinian atau akan melakukan terobosan dengan melihat konstruksi perbuatan-perbuatan yang mandiri dengan mengacu pada Kedua, pertimbangan dalam menentukan konstruksi perbuatan pidana yang akan dikriminalisasi. Bahwa saat ini KUHP Indonesia telah mengatur kejahtan membuat pernyataan dan menyebarluaskan kebencian, permusuhan, dan merendahkan terhadap golongan penduduk tertentu. Kejahatan tersebut masuk kedalam golongan delik hatzaai artikelen (delik-delik penyebaran kebencian). Pada satu sisi rumusan dengan bentuk delik penyebaran rasa kebencian tersebut memiliki dimensi perlindungan terhadap kelompok, entitas, atau misi tertentu yang memang harus dilindungi. Namun terdapat pula dimensi lainnya, yakni mengenai aspek perlindungan kebebasan meyatakan pendapat, berbicara, dan berkreasi. Nantinya rumusan perbuatan pidana yang dikriminalisasi harus memiliki kecermatan pelingkupan yang cukup memadai agar tidak menjadi ancaman bagi kebebasan fundamental. Dari segi muatan substansi yang telah ada saat ini, perumus harus memperhitungkan konstruksi perbuatan yang akan dikriminalisasi apakah akan mengikuti konstruksi kejahatan yang terdapat pada KUHP saat ini dan kemudian mengembangkannya sesuai dengan tuntutan kekinian atau akan melakukan terobosan dengan melihat konstruksi perbuatan-perbuatan yang mandiri dengan mengacu pada

Ketiga, pertimbangan untuk meletakkan karakter khusus dari perbuatan yang akan dikriminalisasi yang akan menentukan penempatan tindak pidana tersebut dalam struktur KUHP yang baru. Hal ini berkaitan dengan dua pertimbangan yang telah diuraikan diatas, yakni penentuan bobot atas perbuatan dan konstruksi yang dibangun terhadap rumusan tindak pidannya. Bahwa karakter khusus dari akar tindak pidana yang dirumuskan sangat penting untuk menentukan penempatan tindak pidana tersebut pada struktur KUHP. Perlu dipikirkan mengenai bobot tindak pidana yang dirumuskan menjadi bagian dari perbuatan-perbuatan lainnya yang diasumsikan serumpun, sehingga membentuk satu rumusan dengan mengintegrasikannya dengan karakteristik akar suatu perbuatan pidana yang lian. Atau merumuskan secara mandiri sebagai bentuk tindak pidana baru dengan menekankan karakter khusus dari perbuatan yang dikriminalisasi tersebut.