HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

3.2.2. Pemerintah Daerah (Pemda)

Menurut perspektif pemda, konversi hak ulayat menjadi tanah negara tetap saja merupakan kesalahan kebijakan pemerintahan daerah terdahulu dalam memanfaatkan tanah ulayat. semestinya pemerintahan daerah berada pada posisi melindungi tanah ulayat dengan tidak mendorong penyerahan-penyerahan tanah ulayat tersebut. Saat ini pelbagai konflik hak ulayat yang terjadi seputar hal itu, baik konflik antara anak-kemenakan dengan ninik mamak yang dianggap telah menyerahkan hak ulayat kepada pihak investor, konflik antara ninik mamak (masyarakat nagari) bersama anak-kemenakan dengan investor, serta masyarakat nagari dengan pemerintah.

Pemulihan hak ulayat pada tanah-tanah bekas konsesi (HGU) paska pemanfaatan oleh pihak ketiga (investor) kepada masyarakat nagari adalah sebuah konsep yang perlu di perhatikan serius. Namun hal tersebut terkendala oleh aturan hukum pertanahan nasional dalam hal ini UUPA, karena UUPA menyebutkan bahwa tanah-tanah bekas pembebanan HGU adalah tanah negara. Di sisi lain, pemaknaan tanah negara begitu beragam, yang jamak terjadi adalah tanah negara seakan-akan tanah yang di miliki atau dikuasai secara efektif oleh pemerintah. Pemaknaan tersebut tidak sepenuhnya betul, tanah negara itu bukan tanah milik pemerintah, namun tanah yang di kuasi oleh negara, dalam artian masyarakat bisa saja memanfaatkan tanah negara tersebut karena masyarakat adalah bagian dari negara.

Hal yang menarik dalam hal pemulihan hak ulayat terjadi di Pesisir Selatan, pemerintahan daerahnya melalui Bupati menyerahkan kembali tanah ulayat Nagari Pelangai yang sudah dimanfaatkan oleh pemerintahan daerah. Surat no: 520/1221/Diperta-Ps/2006 menjelaskan bahwa tanah ulayat dengan luas lahan 7,5 Ha yang terletak di Nagari Pelangai adalah tanah ulayat milik Nagari Pelangai. Surat No. 520 Hal yang menarik dalam hal pemulihan hak ulayat terjadi di Pesisir Selatan, pemerintahan daerahnya melalui Bupati menyerahkan kembali tanah ulayat Nagari Pelangai yang sudah dimanfaatkan oleh pemerintahan daerah. Surat no: 520/1221/Diperta-Ps/2006 menjelaskan bahwa tanah ulayat dengan luas lahan 7,5 Ha yang terletak di Nagari Pelangai adalah tanah ulayat milik Nagari Pelangai. Surat No. 520

3.2.3. Kantor Badan Pertanahan Negara (BPN)

Untuk tanah ulayat yang sudah dibebankan Hak Guna Usaha (HGU) diatasnya, maka perlu dibuatkan aturan yang lebih jelas untuk mengatur tentang makanisme pengembalian tanah ulayat kepada pemiliknya apabila sudah habis masa HGU nya. Sepanjang tidak ada aturannya yang lebih jelas, maka akan menimbulkan konflik ditingkat masyarakat. Perda TUP yang sudah dikeluarkan oleh pemerintahan Propinsi Sumatera Barat tidak banyak mengatur tentang hal ini. Dalam perda TUP ini sangat kabur karena tidak dengan tegas menyebutkan kembali kepada pemilik ulayat, tetapi kembali kebentuk semula. Frasa “kembali kebentuk semula” memberikan penafsiran yang jamak. Apakah tanah ulayat nagari yang sudah didaftarkan sebagai HGU, Hak pakai, atau hak pengelolaan, setelah perjanjian dengan investor berakhir, tanah tersebut akan kembali menjadi tanah ulayat yang dikuasai oleh KAN atau menjadi HGU, hak pakai, dan hak pengelolaan yang langsung dikuasai oleh pemerintah. Untuk itu diperlukan perda ditingkat kabupaten untuk mengatur yang lebih detailnya tentang mekanisme pengembalian tanah ulayat. Dan apakah tanah ulayat langsung diambil oleh pemilik tanah ulayat untuk dikelola setelah habis masa HGU tidak ada masalah sepanjang bisa meningkatkan ekonomi masyarakatnya.

Untuk pemulihan tanah ulayat yang sudah dimanfaatkan oleh pihak ketiga, menurut BPN adalah dengan mengembalikan pengelolaan tanah ulayat kepada pemilik hak ulayat. Konflik pertanahan yang terjadi selama ini perlu diselesaikan dan di mediasi oleh pemerintahan daerah. Pemetaan dan inventarisasi tanah ulayat perlu dilakukan untuk menghindari konflik antar nagari, kaum dan suku. Dengan adanya inventarisasi tanah ulayat kaum, suku dan nagari diharapkan adanya kejelasan tentang luas dan jumlah serta Untuk pemulihan tanah ulayat yang sudah dimanfaatkan oleh pihak ketiga, menurut BPN adalah dengan mengembalikan pengelolaan tanah ulayat kepada pemilik hak ulayat. Konflik pertanahan yang terjadi selama ini perlu diselesaikan dan di mediasi oleh pemerintahan daerah. Pemetaan dan inventarisasi tanah ulayat perlu dilakukan untuk menghindari konflik antar nagari, kaum dan suku. Dengan adanya inventarisasi tanah ulayat kaum, suku dan nagari diharapkan adanya kejelasan tentang luas dan jumlah serta

3.2.4. Dinas Kehutanan dan Perkebunan

Persoalan yang mendasar dalam pemulihan hak ulayat di dalam kawasan hutan adalah sentralisme UU kehutanan. Dinas kehutanan pada tingkat kabupaten tidak mempunyai kekuasaan besar dalam kawasan sehingga menghambat berbagai kebijakan-kebijaka yang relevan terhadap hak-hak masyarakat hukum adat.

3.2.5. Masyarakat Hukum Adat, KAN dan Pemerintah Nagari

Pada persepsi masyarakat hukum adat (nagari), KAN dan pemerintah nagari tentang pemulihan hak ulayat mempunyai persamaan yaitu; perjanjian yang ada antara masyarakat hukum adat dengan investor bukanlah penyerahan hak ulayat yang mengakibatkan perubaha status hak ulayat namun pegalihan sementara hak ulayat. Dalam setiap perjanjian disebutkan menggunakan lembaga siliah jariah dengan ketentuan adat di isi limbago di tuang sehingga menurut ketentuan hukum adat bukan merupakan penyerahan secara utuh hak ulayat masyarakat hukum adat. Persoalan yang terjadi hari ini adalah perbedaan persepsi tentang makna siliah jariah antara masyarakat hukum adat, pemerintah dan investor.

Di masa orde baru oleh Bagi pemerintah perjanjian tersebut merupakan penyerahan secara mutlak hak ulayat kepada negara. Hal ini menyebabkan pemaknaan tanah negara yang diartikan secara sempit. Artinya negara berwenang penuh menentukan hubungan hukum terhadap tanah-tanah itu. Di sisi lain investor berpandangan serupa dengan itu yang kemudian mengakibatkan investor berkewajiban dalam pemanfaatan tanah ulayat hanya kepada negara. Hal itu berakibat pada tuntutan-tuntutan kompensasi dari masyarakat hukum adat kepada investor semakin marak. Secara umum, pandangan masyarakat hukum adat, KAN dan pemerintah nagari dalam pemanfaatan tanah ulayat Di masa orde baru oleh Bagi pemerintah perjanjian tersebut merupakan penyerahan secara mutlak hak ulayat kepada negara. Hal ini menyebabkan pemaknaan tanah negara yang diartikan secara sempit. Artinya negara berwenang penuh menentukan hubungan hukum terhadap tanah-tanah itu. Di sisi lain investor berpandangan serupa dengan itu yang kemudian mengakibatkan investor berkewajiban dalam pemanfaatan tanah ulayat hanya kepada negara. Hal itu berakibat pada tuntutan-tuntutan kompensasi dari masyarakat hukum adat kepada investor semakin marak. Secara umum, pandangan masyarakat hukum adat, KAN dan pemerintah nagari dalam pemanfaatan tanah ulayat

Dalam konteks kawasan hutan, konflik hak ulayat yang terjadi adalah pemutusan hak ulayat dalam kawasan hutan dengan penentuan kawasan. Di kabupaten pesisir selatan, penentuan kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) berakibat pada kaburnya hak ulayat nagari kambang dan palangai sedangkan di solok selatan (nagari lubuak gadang dan pasir talang) hal serupa terjadi dengan penunjukkan kawasan hutan produksi. Menghilangnya hak ulayat di kawasan hutan di solok selatan di perkuat dengan konsesi IUPHHK / HPH kepada PT. AMT tanpa sepengetahuan da persetujuan masyarakat hukum adat.

Dari jabaran diatas terlihat perbedaan sumber konflik hak ulayat di dalam dan di luar kawasan hutan sehingga konteks pemulihan hak ulayat berbeda dalam persepsi masyarakat hukum adat. Yaitu;

1. Bagi tanah-tanah yang dimanfaatkan atas perjanjian, maka tanah ulayat tersebut harus di kembalikan kepada masyarakat hukum adat setelah perjanjian berakhir, sedangkan

2. bagi hak ulayat pada kawasan hutan, seperti yang terjadi di pesisir selatan adalah kejelasan batas kawasan hutan dan pegakuan hak ulayat di dalam kawasan hutan dengan memperhatikan fungsi kawasa tersebut.

3. untuk konflik dalam konsesi kehutanan adalah pengakuan hak ulayat atas kawasan hutan sehingga ada negosiasi ulang antara masyarakat hukum adat dengan perusahaan dalam pemanfaatan hutan tersebut.