Pemanfaatan Ruang Kajian Rasa Memiliki Masyarakat

Secara leksikal rasa dalam frasa rasa memiliki diartikan sebagai tanggapan hati terhadap sesuatu Alwi, 2005. Karenanya rasa memiliki masyarakat terhadap kegiatan pemanfaatan dan pengendalian ruang dapat diartikan sebagai tanggapan hati masyarakat untuk memiliki kegiatan yang dilaksanakan.

4.3.1 Pemanfaatan Ruang

Rasa memiliki masyarakat terhadap kegiatan pemanfaatan ruang juga masih terkendala oleh keterbatasan pengetahuan mereka akan aturan tata ruang yang ada. Data‐ data di Kecamatan menunjukkan bahwa sangat jarang masyarakat datang ke instansi untuk urusan pemanfaatan ruang, kalaupun ada seputar permohonan IMB Ijin Mendirikan Bangunan. Hal tersebut sebagaimana diungkapkan B2.15 “….. Sebatas pengurusan IMB. Khusus Bawen rata‐rata permintaan untuk rumah tangga, sehingga urusan cukup di Kecamatan.” Hal senada secara singkat diutarakan oleh B3.15 “….. Jarang, kalaupun ada untuk permohonan IMB.” Hal tersebut diperkuat oleh pernyataan M1.15 “….. Jarang, karena banyak yang masih awam dengan tata ruang. Selain itu sudah ada telepon dan SMS.” Namun sinergi yang terbentuk dilapangan adalah masyarakat memanfaatkan forum ‐forum non formal yang sudah berjalan, semisal dengan menanyakan rencana kegiatan gotong royong pembuatan jalan tembus di lingkungan mereka, apakah hal itu melanggar aturan atau tidak. Dalam pemeliharaan fasilitas umum masyarakat selama ini juga turut berperan serta dengan bekerja bakti membersihkan sungai atau saluran disekitar mereka, namun dalam beberapa kasus mereka selama ini berbenturan dengan kepentingan para pendatang. Hal tersebut sebagaimana diungkapkan B3.17 menjawab pertanyaan seberapa jauh masyarakat berperan serta dalam pemeliharaan fasilitas umum sebagai upaya pemanfaatan ruang. “…..Sebetulnya masyarakat melalui LKMK dan RTRW sudah berusaha, tetapi banyak masyarakat yang kurang bertanggung jawab. Kasus sampah di bantaran sungai, PKL rata‐rata pendatang dari luar. Mereka ilegal tetapi lanjutan masyarakat memahami karena motif ekonomi, kalau diberi bak sampah sama dengan melegalkan mereka.” Hal tersebut diperkuat oleh pendapat M1.17 “….. Masyarakat sebenarnya bertanggungjawab, buktinya kalau ada jalan lingkungan yang jelek dan belum ada dana Pemda, masyarakat mau berswadaya. Tetapi banyak juga masyarakat yang kurang bertanggungjawab, buktinya masih banyak yang buang sampah di sungai.” Hal senada diungkapkan oleh M3.17 “….. Masyarakat turut berpartisipasi. Perkara pendatang yang kurang bertanggungjawab sebenarnya sudah dihimbau RTRW tetapi membandel. Kalau diusir warga tidak tega, karena pertimbangan kemanusiaan” Kasus di sepanjang jalan negara selama ini banyak pendatang yang menjadi PKL dan keterbatasan sarana tempat pembuangan sampah menjadikan mereka membuang sampah di bantaran sungai. Dari sisi masyarakat sekitar sebenarnya sudah ada pendekatan persuasif melalui RTRW setempat namun tidak membuahkan hasil, sementara kalau melakukan langkah paksa dengan mengusir mereka masyarakat sekitar tidak tega karena berhubungan dengan sumber penghidupan pada pendatang. Dari sisi aparat kalaulah di sekitar tempat itu di berikan tempat penampungan sampah sementara hal tersebut sama dengan melegalkan tempat usaha mereka. Diakui oleh semua pihak PKL tersebut menempati bahu jalan yang semestinya tidak untuk berdagang, upaya penindakan paksa belum bisa dilakukan karena keterbatasan aparat Satpol PP Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Semarang. Kesimpulan pada bagian ini adalah adanya rasa memiliki warga terhadap kegiatan pemanfaatan ruang di Kecamatan Bawen masih terkendala oleh banyaknya warga yang tidak mengetahui aturan tata ruang. Sehingga sering mereka tidak paham apakah yang mereka lakukan termasuk kegiatan pemanfaatan ruang atau tidak, tetapi sebagaimana uraian sebelumnya kualitas hubungan aparat dengan masyarakat menjadi pendukung utama partisipasi masyarakat. Hal tersebut terbukti dengan dekatnya hubungan masyarakat pada aparat lapangan, maka hampir setiap kegiatan dalam pemanfaatan ruang mereka selalu berkonsultasi dengan aparat Kecamatan. Masyarakat merasa cocok dengan pola hubungan yang terbentuk dengan aparat Kecamatan karena merasa dihargai. Namun sebagaimana terurai sebelumnya, bahwa keterbatasan kewenangan aparat Kecamatan menjadi kendala dalam aktualisasi kepentingan masyarakat. Sebagaimana terurai sebelumnya dari sisi pandang Sherry Arnstein Dwiyanto, 2006 tahapan yang ada sebatas lokalitas hubungan dengan aparat kecamatan, tahapannya sudah mencapai tahap kemitraan. Namun karena keterbatasan kewenangan aparat di Kecamatan dimana penindakan adalah kewenangan aparat Kabupaten dan dengan dasar amatan pada kondisi lapangan, tahapan partisipasi masyarakat ada pada tahap konsesi dimana masukan dari masyarakat selalu diterima melalui jejaring SKPD Satuan Kerja Perangkat Daerah yang ada tetapi tidak selalu dilaksanakan. Merujuk misal pada kasus PKL yang ada disepanjang jalan negara, masyarakat cukup bisa menerima kehadiran para pendatang diluar komunitas mereka. Disisi lain masyarakatpun sepakat kalau dilakukan penertiban, tetapi kewenangan yang ada di tataran Kecamatan sebatas memberikan sosialisai aturan dan himbauan. Berdasar tipologi partisipasi dari Moynihan Dwiyanto, 2006 jenis partisipasi yang terbentuk merupakan partisipasi palsu, karena kewenangan pengambilan keputusan tetap di tangan pejabat publik di Kabupaten. Sementara partisipasi masyarakat sudah diberikan wadah namun wadah tersebut hanya berperan simbolik belaka. Hal yang terjadi di lapangan peran‐peran simbolik masyarakat atau kelompok masyarakat tersebut berwujud dibukanya pintu partsipasi masyarakat di tingkat Kecamatan, tetapi pejabat publik di Kecamatan tidak diberi kewenangan melakukan penindakan.

4.3.2 Pengendalian Ruang