Pemanfaatan Lignin Kayu Kelapa Sawit Untuk Pembuatan Poliuretan Termoplastik Alam

(1)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

Lamp

1. Bongkahan Kayu Kelapa Sawit 59

2. Serbuk Kayu Kelapa Sawit 80 mesh 59

3. Lignin Isolat Kayu Kelapa Sawit 59

4. Pengendapan Lignin 60

5. Penentuan Kemurnian Lignin 60

6. Pembuatan Poliuretan 60

7. Poliuretan dengan perbandingan poliol dalam 10 gram 60 8. Spektrum FT-IR Lignin Isolat Kayu Kelapa Sawit 61 9. Perhitungan Penentuan Rendemen Lignin Isolat Kayu Kelapa Sawit 62 10. Perhitungan Penentuan Kadar Lignin Isolat 62

11. Spektrum FT-IR Poliuretan 63

12. Termogram TGA Poliuretan dengan perbandingan poliol

Lignin-PPG (4:6) 64

13. Hasil Foto SEM Poliuretan dengan Perbesaran 3500x 64 14. Data Hasil Uji Sifat Mekanik Poliuretan dengan Perbandingan Poliol 0:10 65 15. Data Hasil Uji Sifat Mekanik Poliuretan dengan Perbandingan Poliol 2:8 66 16. Data Hasil Uji Sifat Mekanik Poliuretan dengan Perbandingan Poliol 4:6 67 17. Data Hasil Uji Sifat Mekanik Poliuretan dengan Perbandingan Poliol 6:4 68 18. Data Hasil Uji Sifat Mekanik Poliuretan dengan Perbandingan Poliol 8:2 69 19. Data Hasil Uji Sifat Mekanik Poliuretan dengan Perbandingan Poliol 10:0 70


(2)

PEMANFAATAN LIGNIN KAYU KELAPA SAWIT UNTUK PEMBUATAN POLIURETAN TERMOPLASTIK

ALAM

ABSTRAK

Telah dilakukan penelitian pemanfaatan lignin isolat kayu kelapa sawit untuk pembuatan poliuretan termoplastik alam. Lignin adalah salah satu komponen yang terdapat dalam kayu kelapa sawit. Isolasi lignin dilakukan dengan metode klason. Hasil karakterisasi lignin dari kayu kelapa sawit melalui FT-IR menunjukkan bilangan gelombang pada daerah serapan 3448,72 cm-1 yang merupakan serapan gugus fungsi OH. Sintesis poliuretan termoplastik alam menggunakan monomer diisosianat berupa Toluena diisosianat (TDI) dengan poliol dari lignin isolat kayu kelapa sawit dan polieter poliol berupa polipropilen glikol (PPG) serta penambahan katalis Ni untuk menyempurnakan keefektifan reaksi antara diisosianat dengan poliol. Lignin isolat dan polipropilen glikol (PPG) sebagai poliol divariasikan dalam 10 gram. Sifat mekanik poliuretan menunjukkan bahwa perbandingan poliol 4:6 memiliki kekuatan tarik yang paling tinggi yaitu 0,493 MPa dan nilai kemuluran 12,337%. Berdasarkan hasil uji sifat mekanik, poliuretan dengan perbandingan poliol 4:6 dikarakterisasi lebih lanjut dengan FT-IR, TGA dan SEM. Hasil FT-IR menunjukkan spektrum yang sesuai, terutama pada bilangan gelombang 3410,15 cm-1 merupakan serapan puncak gugus N-H, 2345,44 cm-1 merupakan puncak C=O dari NCO, daerah 1226,73 cm-1 merupakan puncak serapan C-N, 1072,42 cm-1 merupakan deformasi dari gugus C-O. Hal ini menunjukkan telah terbentuknya gugus uretan. Sifat termal poliuretan dikarakterisasi dengan Thermogravimetry

Analysis (TGA) menunjukkan bahwa pada suhu 400oC kehilangan massa tidak

kurang dari 50 % dan pada suhu diatas 800oC menghasilkan 22,37% residu poliuretan. Hal ini menunjukkan poliuretan telah memiliki kestabilan termal yang baik. Sifat morfologi dianalisa dengan Scanning Electron Microscopy (SEM), menunjukkan bahwa permukaan poliuretan hampir merata. Hal ini ditandai dengan menyatunya komponen-komponen penyusun poliuretan dengan menunjukkan hasil yang kompatibel.


(3)

PALM OIL WOOD LIGNIN UTILIZATION FOR SYNTHESIS NATURAL THERMOPLASTIC

POLYURETHANE

ABSTRACT

Palm oil wood lignin utilization for synthesis natural thermoplastic polyurethane has been performed. Lignin is one of the component in the palm oil wood. Lignin isolation with Klason method. Characterization result polyol from palm oil wood through FT-IR shows the wave number at absorption area 3448,72 cm-1 which is absorption O-H functional group. Synthesis natural thermoplastic polyurethane using isocyanate monomer such as toluene diisocyanate with polyol from palm oil wood lignin isolates and polyether polyols such as polypropylene glycol and addition of Ni-catalyst to give a complete and effecttive reaction between isocyanate with polyol. Lignin isolates and polypropylen glycol (PPG) used as polyol by varying in 10 gram. The mechanical properties of polyurethane shows that the polyol ratio 4:6 has the highest tensile strength is 0.493 MPa and elongation value 12.337 %. Based on the results of mechanical properties , polyurethane of polyol ratio 4:6 characterized by FT-IR , TGA and SEM. The FT-IR result gives the corresponding spectrum, especially in the wavelength 3410.15 cm-1 which is the absorption peak of N-H group, 2345.44 cm-1 which is peak of C=O from NCO , the area of 1226.73 cm-1 is the absorption peak of C-N, 1072.42 cm-1 is a deformation of the C-O group . It shows that urethane group has been performed. The thermal properties of polyurethane characterized by Thermogravimetry Analysis ( TGA ), shows the polyurethane at temperature 400oC mass loss is not less than 50%, and above 800oC gives 22.37 % polyurethane residue. Its shows the polyurethane has good thermal stability. Morphology of polyurethane was analyzed by Scanning Electron Microscopy (SEM ), shows that surface polyurethane has almost prevalently. It was characterized by coherently components of polyurethane with compatible result.


(4)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Di Indonesia terdapat banyak perkebunan kelapa sawit baik milik pemerintah, milik swasta maupun milik rakyat. Kelapa sawit adalah salah satu komoditi andalan Indonesia yang perkembangannya demikian pesat. Khususnya untuk wilayah Sumatera dan Kalimantan. Kayu kelapa sawit merupakan salah satu limbah hasil perkebunan yang ketersediaannya yang berlimpah dan belum optimal dimanfaatkan.

Selama ini kayu kelapa sawit merupakan biomassa terbesar dari hasil peremajaan tanaman kelapa sawit masih dibiarkan jadi limbah pertanian yang tidak termanfaatkan. Penanggulangan limbah peremajaan ini membutuhkan biaya yang besar yang biasanya dilakukan dengan meracuni, menumpuk dan membakarnya. Hal ini tentu juga akan menimbulkan emisi yang dapat mencemari udara dan berdampak pada kelestarian lingkungan. (Desyanti. 2000).

Dalam sintesis poliuretan, lignin isolat dari kayu kelapa sawit akan dicampurkan dengan polipropilen glikol (PPG), dengan memvariasikan kandungan lignin dan polipropilen glikol. Setelah dilakukan pencampuran terhadap lignin dan polipropilen glikol, kemudian direaksikan dengan Toluena diisosianat serta dengan penambahan katalis Ni. Poliuretan yang dihasilkan dari sintesis ini merupakan bagian dari polimer yang mengandung senyawa polimer alam sehingga dianggap bersifat ramah lingkungan.

Beberapa penelitian tentang poliuretan telah menyimpulkan bahwa polimer poliuretan dapat disintesis dengan menggunakan bahan dasar poliol, senyawa poliester maupun polieter. Supri (2000) telah melakukan sintesis poliuretan dengan


(5)

mereaksikan campuran lignin isolat dari kayu meranti (Shorea Sp) dan polietilen glikol dengan pereaksi isosianat. Dengan memvariasikan kandungan lignin, hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin besar kandungan lignin yang diberikan maka tegangan, modulus elastisitas, dan kapasitas kalor poliuretan yang dihasilkan juga mengalami peningkatan. Rohaeti, (2005) telah melakukan sintesis poliuretan dengan menggunakan sumber poliol berupa sakarida (glukosa, maltosa dan amilum). Hasil sintesis menunjukkan bahwa sifat transisi gelas poliuretan semakin meningkat dengan adanya penambahan sakarida tersebut. Penggunaan sakarida sebagai sumber poliol menyebabkan poliuretan yang cepat mengeras sehingga sulit untuk diaplikasikan. Eceiza, A et al.(2008) melakukan penelitian tentang sifat struktur poliuretan dengan bahan dasar berupa polikarbonat, 4,4-difenilmetana diisosianat (MDI), dan 1,4 butana diol yang menunjukkan adanya segmen keras dan segmen lunak.

Sutiani A. dan Bizda, K.R (2013) telah mensintesis poliuretan dengan menggunakan bahan dasar poliol berupa senyawa gliserol, dan mereaksikannya dengan polietilen glikol dan 4,4-difenilmetana diisosianat (MDI). Dalam penelitiannya diberikan variasi komposisi gliserol, polietilen glikol dan MDI. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa komposisi paling maksimal terdapat pada perbandingan PEG: Gliserol : MDI sebesar 3:1:2 yang memiliki kekuatan tarik, perpanjangan paling tinggi. Dalam penelitian ini, pemanfaatan lignin isolat dari kayu kelapa sawit yang ditambahkan pada sintesis poliuretan diharapkan dapat memberikan sifat mekanik yang lebih baik. Selain itu, dapat pula meningkatkan nilai ekonomi kayu kelapa sawit dan dapat mengurangi pencemaran lingkungan serta merupakan usaha untuk menekan biaya produksi pembuatan poliuretan. Hasil polimerisasi poliuretan dikarakterisasi dengan FT-IR, SEM, TGA, dan uji sifat mekanik meliputi kekuatan tarik, dan perpanjangan. Analisa FT- IR ini dilakukan untuk analisa gugus fungsi polimer poliuretan yang dihasilkan. Analisa ini bertujuan untuk memastikan pembentukan senyawa poliuretan dengan melihat gugus fungsi yang ada dalam spektrum. Analisa sifat morfologi dengan Scanning Electron


(6)

poliuretan. Analisa sifat termal dengan termogravimetri untuk mengetahui temperatur dekomposisi dari poliuretan yang dihasilkan. Analisa sifat mekanik yang meliputi kekuatan tarik, dan perpanjangan maksimum bertujuan untuk menentukan pengaruh perbandingan lignin/PPG terhadap sifat mekanik poliuretan.

1.2 Permasalahan

1. Apakah lignin isolat dari kayu kelapa sawit dapat dimanfaatkan dalam pembuatan poliuretan

2. Bagaimana karakterisasi poliuretan dari lignin kayu kelapa sawit, polipropilen glikol (PPG) dan toluena diisosianat (TDI) dengan analisa gugus fungsi, analisa permukaan, analisis termal dan sifat mekanik poliuretan

3. Bagaimana pengaruh perbandingan antara lignin isolat dan polipropilen glikol (PPG) terhadap poliuretan yang dihasilkan

1.3 Pembatasan Masalah

Penelitian ini mengambil batasan-batasan sebagai berikut:

1. Lignin yang digunakan diisolasi dari Kayu Kelapa Sawit yang berasal dari kelapa sawit di area Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara

2. Karakterisasi poliuretan yang diperoleh dari lignin kayu kelapa sawit untuk analisa gugus fungsi dengan menggunakan Fourier Transform-Infra Red (FT-IR), analisa morfologi dengan Scanning Electron Microscopy (SEM), analisis termal dengan Thermogravimetry analysis (TGA) dan uji sifat mekanik yang mencakup kekuatan tarik, dan perpanjangan

3. Perbandingan antara lignin isolat dan polipropilen glikol (PPG) divariasikan dalam 10 gram


(7)

1.4 Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui apakah lignin isolat dari kayu kelapa sawit dapat dimanfaatkan pada pembuatan poliuretan

2. Untuk mengetahui karakterisasi poliuretan dengan menggunakan Fourier

Transform-Infra Red (FT-IR), analisa morfologi dengan Scanning Electron

Microscopy (SEM), analisis termal dengan analisis termogravimetrik (TGA)

dan uji sifat mekanik yang mencakup kekuatan tarik, dan perpanjangan

3. Untuk mengetahui pengaruh perbandingan antara lignin dan polipropilen glikol (PPG) terhadap poliuretan yang dihasilkan

1.5 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan pada masyarakat bahwa lignin yang terdapat pada kayu kelapa sawit dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan poliuretan. Sehingga penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan, dan meningkatkan nilai tambah kayu kelapa sawit dalam bidang industri.

1.6 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Ilmu Dasar FMIPA USU Medan, Laboratorium Terpadu USU untuk analisa sifat termal dengan TGA, LIPI Jakarta untuk analisa morfologi dengan SEM, Laboratorium Polimer Teknik Kimia USU untuk analisa sifat mekanik, dan Laboratorium Kimia Organik UGM untuk analisa gugus fungsi dengan FT-IR.


(8)

1.7 Metodologi Penelitian

Penelitian ini berupa eksperimen laboratorium. Ada beberapa tahapan penelitian: Pertama adalah penyiapan kayu kelapa sawit yang kemudian diisolasi untuk mendapatkan lignin. Kedua adalah pembuatan poliuretan yang dilakukan dengan mereaksikan lignin isolat kayu kelapa sawit dengan polipropilen glikol (PPG), Toluena diisosianat (TDI) dan disertai dengan penambahan katalis Ni . Kemudian ketiga adalah mengkarakterisasi poliuretan yang diperoleh dengan menggunakan FT-IR, SEM, TGA dan uji sifat mekanik.

Variabel yang digunakan adalah: - Variabel tetap

Suhu (105oC) Waktu (menit)

Toluena Diisosianat (20 gram) Katalis Ni (5 tetes)

- Variabel terikat

Analisa gugus fungsi dengan menggunakan Fourier Transform Infra Red (FT-IR), analisa morfologi dengan Scanning Electron Microscopy (SEM), analisis termal dengan Thermogravimetry Analysis (TGA) dan analisa sifat mekanik.

- Variabel babas: Komposisi poliol dalam 10 gram,

Lignin 0 2 4 6 8 10


(9)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kelapa Sawit

Kelapa sawit termasuk kelas Angiospermae, orde Palmales, family Palmaceae, sub-famili Palminae, genus Elaeis dan beberapa spesies antara lain Elaeis guineensis Jack dari Afrika, Elaeis melano cocca dan Elaeis odora dari Amerika Selatan (Tim penulis PS, 1997). Kelapa sawit bukan tanaman asli Indonesia, namun dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Perkebunannya dapat ditemukan antara lain di Sumatera Utara dan Aceh, produk olahannya yang berupa minyak sawit merupakan salah satu komoditas yang handal.(Risza, S. 1995)

Untuk Indonesia saat ini, tanaman kelapa sawit memiliki arti penting bagi pembangunan perkebunan nasional. Selain dapat menciptakan kesempatan kerja yang mengarah pada kesejahteraan masyarakat juga sebagai sumber devisa negara (Fauzi, I.Y. 2003). Tumbuhan yang mengandung banyak serat dikenal sebagai lignoselulosa yang merupakan sumber utama dari selulosa, hemiselulosa dan lignin. Lignoselulosa banyak terdapat pada kayu, sisa peninggalan perkebunan, tumbuhan berair, rumput dan jenis tumbuhan lainnya (Rowell et al, 2000). Tumbuhan dengan serat tinggi memiliki karakteristik dan struktur yang dapat digunakan dalam pembuatan komposit, tekstil, dan pembuatan kertas. Dan dipakai untuk menghasilkan bahan bakar, bahan kimia, enzim, dan bahan makanan. (Reddy dan Yang. 2000)


(10)

Komponen kimia dalam kayu mempunyai arti yang penting, karena menentukan kegunaan sesuatu jenis kayu. Selain itu, dengan mengetahuinya kita dapat membedakan jenis-jenis kayu. Susunan kimia kayu dapat digunakan sebagai pengenal ketahanan kayu terhadap serangga dan makhluk hidup perusak kayu. Dan dapat pula menentukan pengerjaan dari kayu sehingga didapat hasil yang maksimal. (Dumanauw, J.F. 1992). Pohon kelapa sawit produktif sampai umur 25 tahun, ketinggian 9 – 12 meter dan diameter 45 – 65 cm diukur dari permukaan tanah. (Tomimura, 1992). Batang kelapa sawit tumbuh tegak lurus ke atas dan tidak bercabang. Batang kelapa sawit berbentuk silinder, titik tumbuhnya terletak dipucuk batang, terbenam didalam tajuk. Batang kelapa sawit untuk beberapa tahun pada umumnya masih terbungkus pelepah daun, sehingga lingkar batang menjadi lebih besar. Tinggi tanaman di alam bisa mencapai 30 m, tetapi yang ditanam di perkebunan jarang sekali yang melebihi ketinggian 15-18 m.

Batang kelapa sawit yang sudah membusuk merupakan sarang bagi kumbang

Oryctes rhinoceros dan penyakit ganoderma yang potensial menyerang tanaman

muda. Oleh karena itu pemilik sawit akan berusaha menyingkirkan batang kelapa sawit ini dengan berbagai cara. Salah satu cara yang paling mudah dan murah adalah dengan membakarnya. Namun sejak ada larangan pemerintah, kegiatan pemusnahan limbah batang kelapa sawit dengan cara itu sangat jarang dilakukan. Akibatnya batang kelapa sawit menjadi masalah bagi pemilik atau pengelola kebun sawit. (Direktorat pengolahan hasil pertanian, 2006)

Batang kelapa sawit memiliki jaringan parenkim dan serat (vascular bundle). Kandungan parenkim meningkat sesuai dengan ketinggian pohon dan kedalamannya sedangkan kerapatannya menurun. Kayu kelapa sawit segar kandungan air sangat tinggi, itulah sebabnya sukar diperoleh kestabilan dimensi yang baik. Kadar parenkim yang tinggi menyebabkan rendahnya sifat mekanis pada kayu kelapa sawit karena kandungan air dan zat-zat ekstraktif lainnya mengisi pori-pori parenkim (Prayitno. 1994 dan Tomimura. 1992). Apabila kayu dikeringkan selama pengolahannya, semua


(11)

cairan dalam rongga sel dikeluarkan. Tetapi rongga sel selalu berisi sejumlah uap air. Banyaknya air yang tetap tinggal di dalam dinding-dinding sel suatu produk akhir tergantung pada tingkat pengeringan selama pembuatan dan lingkungan tempat tinggal produk. (Haygreen. J.G and Bowyer, J.L. 1996).

Kandungan serat kayu kelapa sawit merupakan komponen selulosa dan lignin, serat inilah sebagai pembangun kekerasan pada setiap kayu. Sebagian lignin juga terdapat pada parenkim. Lignin bertindak sebagai perekat antar serat, sehingga terbentuk kekerasan dan kekuatan pada kayu (Sukatik. 2006). Kayu kelapa sawit mempunyai sifat sangat beragam dari bagian luar ke bagian pusat batang dan sedikit bervariasi dari bagian pangkal ke ujung batang. Pada bagian inti dari struktur dan anatomi kayu kelapa sawit (KKS) yang paling dominan adalah jaringan dasar parenkim, sehingga memiliki kerapatan yang rendah. Pada daerah pinggir dekat kulit penyusun utamanya adalah berkas pengangkut yang terselimuti oleh serabut berdinding tebal sehingga rapat massanya lebih tinggi. Di daerah bagian kayu yang terdiri dari jaringan parenkim mengandung kadar air lebih tinggi dan menurun seiring persentase berkas pengangkut naik.(Sujasman, A. 2009). Sifat kimia kayu kelapa sawit mengandung komponen-komponen seperti holoselulosa, α-selulosa, lignin, pentosan, abu, dan silika. (Fengel, D and Wegener, G. 1995)

Komposisi kelapa sawit dapat dilihat dari tabel 2.1 berikut:

Kandungan %

Zat ekstraktif Holoselulosa

α- selulosa Lignin Abu

4.5 83.5 49.8 20.5

2.4 (Tsoumis,1991)


(12)

Sifat dasar kayu kelapa sawit sangat berbeda dengan kayu lainnya dalam hal berat jenis, kadar air dan kembang susut. Hal ini disebabkan variasi struktur anatomi kayu kelapa sawit sangat besar dan bagian pusatnya didominasi oleh sel pembuluh yang berdinding tebal (Prayitno, T.A. 1994). Kayu monokotil seperti kayu kelapa sawit mempunyai jaringan parenkim diantara bundel-bundel seratnya yang mula-mula dalam kayu segar masih mengandung air. Setelah pengeringan jaringan ini membentuk pori yang cenderung menyerap cairan bersifat polar sejenis air. Oleh karena itu, perlu dilakukan modifikasi pengisian pori kayu dengan polimer agar mampu meningkatkan stabilitas kayu dengan semakin banyaknya rongga-rongga sel kayu yang terisi bahan polimer.(Purnama, K.O. 2009)

Salah satu masalah serius dalam pemanfaatan batang sawit adalah sifat higroskopis yang berlebihan. Meskipun telah dikeringkan sehingga mencapai kadar air kering tanur, kayu sawit dapat kembali menyerap uap air dari udara hingga mencapai kadar air lebih dari 20%. Pada kondisi ini beberapa jenis jamur dapat tumbuh subur baik pada permukaan maupun bagian dalam kayu sawit. Hal ini terutama berhubungan dengan karakteristik kimia kayu sawit yang memiliki kandungan ekstraktif (terutama pati) yang lebih banyak dibandingkan kayu biasa. Batang berfungsi sebagai penyangga tajuk serta menyimpan dan mengangkut bahan makanan. Secara ekonomis, batang kelapa sawit dapat dimanfaatkan sebagai bahan konstruksi, pulp (bahan baku kertas), bahan kimia dan sebagai sumber energi. (Tim Penulis PS. 1997)

Distribusi lignin secara kualitatif dan kuantitatif terdapat pada beberapa spesies dari tumbuhan berserat dalam bidang pertanian seperti jerami gandum, tebu, padi, pepohonan, dan biji rami. Tetapi sangat di sayangkan, sedikitnya informasi bahwa lignin juga terdistribusi pada tumbuhan monokotil seperti kelapa sawit, daun nenas, dan juga tandan pisang. Untuk semua tumbuhan berserat level tertinggi, lignin


(13)

terdapat pada bagian tengah lamela yakni pada jaringan sel floem dan parenkim pada kelapa sawit. ( Khalil, A et al. 2006)

2.3 Lignin

Lignin adalah suatu produk alami yang dihasilkan oleh semua tumbuhan berkayu yang merupakan komponen kimia dan morfologi ciri dari jaringan tumbuhan tingkat tinggi. (Dumanauw, J.F. 1992). Lignin secara universal terdistribusi pada semua jaringan kayu, dimana lignin menambah kekuatan dan stabilitas dinding sel. Bentuk glikosida yang terikat pada selulosa dalam dinding sel adalah melalui gugus hidroksi bebas. Lignin mempunyai struktur yang sangat kompleks, polimer, dan merupakan suatu jaringan aromatik yang tidak larut dalam air. (Sastrohamidjojo, 1996). Selain selulosa, kayu juga mengandung bahan lain yang disebut lignin, yang mencakup sekitar 30% dari komponen kayu itu sendiri. Lignin berfungsi sebagai perekat, yang mengikat belai-belai selulosa menjadi satu dan memberikan kekuatan tambahan pada kayu. Seperti juga selulosa, lignin mengandung karbon dan sulit diuraikan. Zat organik polimer yang banyak dan penting dalam dunia tumbuhan selain selulosa adalah lignin. Lignin merupakan senyawa polimer tiga dimensi yang terdiri dari unit fenil propana yang diikat dengan C-O-C dan C-C (Judoamidjojo, R.M. dkk. 1989).

Molekul lignin memiliki derajat polimerisasi tinggi. Oleh karena ukuran dan strukturnya yang tiga dimensi bisa memungkinkan lignin berfungsi sebagai semen atau lem bagi kayu yang dapat mengikat serat dan memberikan kekerasan struktur serat. Bagian tengah lamela pada sel kayu, sebagian besar terdiri dari lignin, berikatan dengan sel-sel lain dan menambah kekuatan struktur kayu. Selain itu, dinding sel kayu juga mengandung lignin.

Lignin kayu mengandung unit guasilpropana (G) dan siringilpropana (S), dengan rasio perbandingan G/S 4:1 sampai 1:2, dan dalam jumlah yang kecil terdapat hidroksifenilpropana(H). Proses akhir pembentukan lignin melibatkan dehidrasi enzimatik prekursor, p-koumaril alkohol, koniferil alkohol,dan sinapil alkohol.


(14)

Adapun unit-unit struktur penyusun lignin sebagai berikut :

(Achmadi, 1990)

Gambar 2.1. Unit penyusun lignin, p-koumaril alkohol (1), koniferil alkohol(2), dan sinapil alkohol(3).

Biosintesis lignin dari unit monomer fenil propana merupakan polimerisasi dehidrogenatif. Biosintesis lignin dimulai dengan turunan glukosa yang berasal dari proses fotosintesis. Yang mana akan dikonversi menjadi asam shikimat yang berperan penting pada jalannya metabolisme.(Fengel, D and Wegener. 1995)

Lignin kayu mengandung gugus hidroksil fenolik, dimana gugus hidroksil fenolik ini sangat mempengaruhi stabilitas warna putih pulp dan berperan penting pada proses pulping serta pemucatan pulp. Hal ini karena kemampuannya memecah ikatan eter yang dibantu oleh katalis basa dan degradasi oksidatif lignin. Reaktivitas lignin secara kimia sangat dipengaruhi oleh kandungan gugus hidroksil fenolik. ( Supri, 2000)

Unit dasar senyawa lignin berasal dari fenilpropana yakni terdiri dari sebuah cincin benzena dengan enam atom karbon yang pada salah satu sisinya melekat tiga atom karbon berantai lurus. Dan ada pula yang dikenal dengan gugus metoksil (H3CO-) yang banyak melekat pada cincin aromatik lignin. Namun beberapa dari

CH2OH CH2OH CH2OH CH CH CH CH CH CH

OCH3 H3CO OCH3

OH OH OH (1) (2) (3)


(15)

gugus tersebut terpisah selama proses pulping kraft (Harkin, J.M. 1969). Berat molekul lignin diperkirakan sangat tinggi, tetapi karena proses pemisahan dari selulosa tidak terelakkan lagi menyebabkan degradasi, untuk menyatakan berapa besar tingginya adalah hal yang tidak mungkin. Karena lignin mengandung cincin aktif benzena dalam jumlah yang besar, lignin yang terdegradasi akan bereaksi dengan cepat. (Stevens, M.P. 2001)

Jumlah lignin yang terdapat di dalam tumbuhan yang berbeda sangat bervariasi. Distribusi lignin di dalam dinding sel dan kandungan lignin bagian pohon yang berbeda tidak sama. Sebagai contoh kandungan lignin yang tinggi adalah khas untuk bagian batang yang paling rendah, paling tinggi dan paling dalam, untuk cabang kayu lunak, kulit, dan kayu tekan. Dalam kebanyakan penggunaan kayu, lignin digunakan sebagai bagian integral kayu. Hanya dalam pembuatan pulp dan pengelantangan, lignin dilepaskan dari kayu dalam bentuk terdegradasi dan berubah (Fengel,D and Wegener. 1995). Selain itu, kandungan metoksil lignin juga bervariasi, dimana untuk tanaman, semakin tinggi tanaman berdiri dan berkembang maka kandungan metoksil lignin semakin tinggi. ( Harkin, J.M. 1969)

Menurut Damat (1989), tanaman jenis kayu maupun bukan kayu merupakan sumber utama lignin. Kandungan lignin daun jarum lebih besar dari pada kandungan lignin pada kayu daun lebar. Menurut Rahmawati (1999), kadar selulosa, hemiselulosa, lignin dan zat ekstraktif sangat bervariasi antara satu jenis kayu dengan jenis kayu yang lain. Variasi tersebut juga terlihat dalam satu pohon pada lokasi yang berbeda.

Kandungan kimia untuk serat kayu jarum terdiri dari tiga golongan, yaitu: polisakarida berupa selulosa dan hemiselulosa, senyawa lignin dan zat ekstraktif. Distribusi komponen kimia selulosa dan hemiselulosa banyak terdapat dalam dinding sel sekunder, sedangkan lignin banyak terdapat pada dinding sel primer dan lamela tengah, dan zat ekstraktif terdapat diluar dinding sel kayu (Dumanauw, J.F. 1992).


(16)

Lignin merupakan termoplastik alam yang akan menjadi lunak pada suhu yang lebih tinggi dan akan keras kembali apabila menjadi dingin. (Haygreen, J.G and Bowyer, J.L. 1996)

2.4 Polipropilena Glikol

Senyawa polieter yang banyak digunakan dalam poliuretan padatan adalah polipropilen glikol (PPG) dan politetrametilen glikol. Pembuatan keduanya dilakukan dengan penambahan polimerisasi dari monomer epoksida. Propilen oksida dibuat dari propilena dengan penggunaan klorohidrin sebagai senyawa intermediet. Pada pembuatan propilena glikol dibuat dalam stainless steel atau reaktor gelas, yaitu dengan proses batch. Katalis yang digunakan biasanya adalah natrium atau kalium hidroksida dalam bentuk larutan encer. Inisiator polimerisasi dibutuhkan untuk mengontrol jenis polieter yang dihasilkan. Etilena glikol, propilena glikol, dietilena glikol, dan dipropilena glikol dapat digunakan sebagai inisiator dalam pembuatan polieter difungsional, sedangkan gliserol dapat dijadikan inisiator polieter trifungsional. Reaksi pembentukan propilena glikol terdapat pada gambar 2.2. :

Gambar 2.2 Pembentukan polipropilena glikol ( Hepburn, C. 1991)

2.5 Toluena Diisosianat

Senyawa toluena diisosianat (TDI) memiliki senyawa dasar toluena. TDI terdiri dari dua jenis isomer yaitu 2,4 toluena diisosianat dan 2,6 toluena diisosianat. Terdapat

Polipropilena glikol Katalis basa

CH3

CH2-CHCH3 H [ OCH2CH ]n OH

O Katalis Basa Polipropilena Glikol Katalis Basa Katalis Basa Katalis Basa Katalis Basa Katalis Basa CH3

CH2-CHCH3 H [ OCH2CH ]n OH

O Polipropilena Glikol

Katalis Basa

CH3

CH2-CHCH3 H [ OCH2CH ]n OH

O Polipropilena Glikol


(17)

dua variasi campuran dari toluena diisosianat yaitu 80/20 (2,4/2,6) dan 65/35 (2,4/2,6). Gugus isosianat pada 2,4 toluena diisosianat memiliki perbedaan kereaktifan, yakni kedudukan isosianat pada posisi 4 ternyata empat kali lebih reaktif dari posisi 2 dan 50 persen lebih reaktif dari isosianat posisi 4 pada difenilmetana diisosianat (MDI). Dan kedudukan isosianat pada posisi 2 memiliki kereaktifan sama baik pada 2,4 maupun 2,6 toluena diisosianat. Struktur TDI dapat dilihat pada gambar 2.2 berikut:

Gambar 2.3 Struktur Toluena diisosianat (Randall, D and Lee, S. 2002)

Gugus isosianat dengan kereaktifan tinggi merupakan kunci reaksi dalam pembentukan poliuretan. Sebagian besar reaksi yang sangat penting dalam pembentukan poliuretan adalah reaksi antara isosianat dengan gugus hidroksil. Hasil reaksi adalah senyawa karbamat yang dikenal dengan senyawa uretan yang merupakan senyawa polimer dengan berat molekul yang tinggi. Senyawa alkohol primer alifatik memiliki kereaktifan dan kecepatan reaksi yang paling besar dibandingkan dengan alkohol sekunder dan tersier disebabkan adanya faktor sterik. (Randall, D and Lee, S. 2002)

CH3 OCN CH3

NCO NCO

OCN


(18)

2.6 Katalis

Katalis yang sebagian besar digunakan secara komersial dalam pembuatan poliuretan adalah senyawa amina tersier dan senyawa organonikel. Dalam hal ini terjadi promosi amina dari gugus uretan memiliki hubungan yang kuat secara mendasar, tetapi pengaruh struktural juga penting. Pandangan umum terhadap katalis dapat dilihat pada senyawa amina tersier yang dikombinasikan pada NCO/OH dan NCO/H2O,

katalis organonikel memiliki kemampuan lebih efektif digunakan untuk reaksi NCO/OH dan mempengaruhi ikatan urea dan biuret, tetapi tidak baik terhadap suasana basa dan tidak membuat terbentuknya isosianurat. Secara praktek, campuran dari amina tersier dan Ni katalis dapat digunakan untuk mencapai kesetimbangan ikatan rantai dan ikat silang. Temperatur reaksi tentunya sangat penting, diatas temperatur 50oC rantai linear membentuk predominasi tetapi pada temperatur tinggi maka akan dibentuk senyawa biuret dan isosianurat yang efektif dan terbentuk cabang. Pada suhu diatas 150oC, beberapa ikatan kurang stabil dan dapat mengalami degradasi. Perlu diketahui bahwa reaksi isosianat berupa reaksi eksotermik dan dibawah kondisi tersebut terjadi transfer panas yang lambat ketika temperatur dinaikkan. Pemakaian katalis dimaksudkan untuk menyempurnakan kefektifan reaksi dengan adanya peningkatan aktivitas reaksi. (Hepburn, C.1991)

2.7 POLIURETAN

Lignin merupakan polimer alam yang mempunyai gugus hidroksil lebih dari satu dimanfaatkan sebagai sumber poliol yang akhirnya dapat berikatan secara baik dalam pembentukan poliuretan (Fengel, D dan Wegener. 1985). Poliuretan linear biasanya dipreparasi dalam larutan karena polimer ini cenderung berdisosiasi menjadi alkohol dan isosianat atau terdekomposisi menjadi amin, olefin, dan karbondioksida pada suhu tinggi yang diperlukan untuk polimerisasi leburan (Stevens, M.P. 2001). Hal ini


(19)

teristimewa berlaku untuk poliuretan yang dipreparasi dengan diisosianat aromatik. Poliuretan merupakan polimer termoset yang terbentuk dari reaksi antara senyawa diisosianat dengan senyawa polifungsi yang mengandung sejumlah gugus fungsi hidroksil (Nicholson. 1997). Polimer termoset mempunyai kekuatan yang tinggi, ketahanan terhadap kelembaban, cukup kaku, dan memiliki kemampuan jangka pembebanan yang lama tanpa mengalami perubahan bentuk. Jenis perekat yang tergolong kategori polimer ini adalah fenol, resorsinol, melamin, isosianat, urea, dan epoksi. (Vick. C.B. 1999).

Ada dua metode utama untuk pembuatan poliuretan yaitu reaksi biskloroformat dengan diamin dan reaksi diisosianat dengan senyawa-senyawa dihidrasi. Banyak dari produksi poliuretan melibatkan pemakaian poliester-poliester berujung hidroksi dengan berat molekul rendah atau polieter-polieter sebagai monomer dihidroksi. Reaksi ikat silang diefektifkan dengan mempreparasi bagian dari polimer tersebut dengan suatu poliol sehingga gugus-gugus hidroksil yang terjadi sepanjang kerangka polimer bisa bereaksi dengan diisosianat untuk memberikan ikatan-ikatan silang uretan.(Stevens, M.P. 2001)

Senyawa diisosianat digunakan dalam sintesis poliuretan diantaranya adalah 1,6-heksametilen diisosianat (HMDI) dan campuran 2,4-toluena diisosianat dengan 2,6-toluena diisosianat (TDI). ( Rohaeti, 2003). Gugus isosianat, -NCO, merupakan gugus yang sangat reaktif dan dapat membentuk uretan dengan alkohol.

Jika diisosianat atau poliisosianat bereaksi dengan diol atau poliol (senyawa polihidrat), akan terbentuk poliuretan:

R.NCO + R’OH R.NH.COO.’R

OCN-R-NCO + OH-R’-OH OCN-R-NH-CO-O-R’-OH


(20)

Secara kimia isosianat dengan gugus hidroksil yang ada pada kayu membentuk ikatan poliuretan diantara partikel kayu. Secara fisik, isosianat bereaksi dengan air yang terdapat dalam kayu membentuk poliurea melalui ikatan fisik diantara partikel kayu (Galbraith dan Newman. 1992). Kelebihan poliuretan yang dibentuk dari isosianat adalah tidak ada air yang terkandung dalam sistem. Semua resin diaplikasikan dan digunakan sebagai perekat. Dan kelemahannya adalah biayanya lebih mahal. Selain itu, isosianat harus ditangani dengan hati-hati untuk mencegah timbulnya masalah kesehatan.(Maloney, I.M. 1993)

Dalam suatu proses pembentukan perekat lignin isosianat encer perlu dicatat bahwa meskipun poliisosianat sangat hidrofobik dengan berat molekul rendah dapat bereaksi lambat dengan air pada suhu ruang. Oleh karena itu, suatu larutan lignin encer yang berasal dari limbah cair proses pulping kimia dapat digunakan tanpa adanya modifikasi. Telah dilaporkan bahwa gas yang terbentuk karena reaksi air dengan isosianat tidak menjadi masalah sebab matriks kayu yang digunakan sebagai perekat cukup berpori dan dapat menyerap gas tanpa mempengaruhi kualitas ikatan.(Feldman, D. et al. 1992)

Reaksi lignin dengan fenol dan isosianat telah diteliti dan dirancang untuk menentukan potensi pemanfaatan lignin didalam industri. Hal ini disebabkan karena langkanya posisi aktif dalam struktur makromolekul lignin (Kratz, et al.1962). Poliuretan mempunyai sifat yang sama dengan nilon, tetapi karena sukar diwarnai dan titik lelehnya lebih rendah, polimer ini pada awalnya tidak banyak diperdagangkan. Akan tetapi, kemudian terjadi kemajuan pesat pada kimia poliuretan yang menghasilkan busa, elastomer, pelapis permukaan, serat, dan perekat poliuretan (Cowd. 1991). Jenis dari perekat poliuretan dapat berupa termoplastik atau termoset yang dapat dipergunakan untuk merekatkan logam, karet, kayu, kertas, kain , gelas, keramik dan plastik, kecuali polisulfida dan fluorokarbon. Bagus digunakan sebagai perekat polivinil klorida. Dan baik digunakan untuk pengatur sifat perekat basis karet (Hartomo, A.J. 1992). Perekat lignin dapat dimanfaatkan secara komersial sebagai


(21)

bahan pengikat, pengisi, surfaktan, produk polimer dan sumber bahan kimia lainnya terutama turunan benzena (Santoso, A. dan Sutigno. P. 2004). Kemampuan lignin untuk meredam kekuatan mekanis yang dikenakan pada kayu, memungkinkan usaha pemanfaatan lignin sebagai bahan perekat (adhesive) dan bahan pengikat (binder) pada papan partikel (particle board) dan kayu lapis (plywood). (Rudatin. 1989).

Perekat dapat memiliki sifat yang berlainan walaupun bahan dasarnya sama, hal ini dikarenakan adanya penambahan zat lain dalam formulasi khususnya. Lagipula, sifat perekat tidak hanya ditentukan oleh komposisi bahan kimianya namun juga oleh kondisi saat dibuat dan dipergunakan. Oleh karena itu, dalam menangani perekat, perlu diingat bahwa sifat-sifat bakunya hanya merupakan acuan dasar. Jenis, komposisi, dan kondisi perlu diperhitungkan dan dioptimasi. (Hartomo, A.J. 1992)

Struktur lignin yang rumit dan adanya ikatan hidrogen akan membentuk ikatan silang yang teratur pada poliuretan, akhirnya poliuretan yang terbentuk menjadi kaku (Supri. 2004). Semakin tinggi rasio bagian keras maka akan semakin keras dan kaku polimernya. Rasio ini sangat ditentukan oleh jenis dan komposisi diisosianat pada saat sintesis. Penggunaan 4,4-difenilmetana-diisosianat (MDI), dan toluena diisosianat (TDI) akan menghasilkan poliuretan dengan bagian keras lebih besar, sedangkan penggunaan heksametilen diisosianat (HMDI) akan menghasilkan bagian lunak lebih besar.(Hasan. 2004)

Supri ( 2004) menyatakan bahwa poliuretan yang bersifat kaku (rigid) dapat dibentuk melalui sistem campuran lignin isolat dan polietilena glikol. Daerah keras (hard) dan lunak (soft) pada segment poliuretan diperlihatkan oleh Indeks Ikatan Hidrogen (HBI). Semakin besar kandungan lignin dari sistem campuran yang ditambahkan akan semakin tinggi indeks ikatan hidrogen poliuretan.

Poliuretan memiliki banyak kegunaan, diantaranya sekitar 70 % digunakan sebagai busa, selebihnya sebagai bahan elastomer, lem dan pelapis. Selain itu,


(22)

poliuretan digunakan sebagai bahan perekat logam, kayu, karet, kertas, kain, keramik, plastik polivinilklorida (PVC), penyambung tangki bahan bakar cryogenic, pelindung muka, dan kantong darah (Rohaeti, E. 2009). Berdasarkan jenisnya poliuretan dapat berupa termoplastik atau termoset yang merupakan produk reaksi isosianat polifungsi dan alkohol polihidroksi atau poliester tertentu. Kemudian ketahanan terhadap air, bahan kimia, ozon sampai radiasi dan cuaca juga cukup baik.(Hartomo, A.J. 1992)

Metode yang umum digunakan dalam sintesis poliuretan dengan mereaksikan suatu diol dengan diisosianat melalui metode polimerisasi larutan dan lelehan pada temperatur yang cukup tinggi (Sandler, S.R. 1974). Poliol yang diperoleh dari lignin berfungsi sebagai koreagen yang cukup kompetitif dan ekonomis khususnya untuk pembuatan poliuretan jenis busa, perekat dan pelapis (Rohaeti, E. 2005). Pada proses pembuatan poliuretan dapat dipercepat dengan penambahan katalis berupa senyawa basa seperti piridin, N,N-Dimetilbenzilamin dan N,N-endoetilenpiperazin dan berupa garam logam atau senyawa organometalik seperti bismut nitrat.(Sandler, S.R. 1974)

Glasser, W.G. (1985) telah melakukan serangkaian uji pada hidroksi propil yang merupakan turunan dari lignin poliol-isosianat. Pada percobaan awal dilakukan metode mendasar dengan mengontrol jaringan lignin poliuretan terlebih dahulu melalui metode sintesis senyawa polimer dengan karakterisasi terhadap struktur kimia, sifat termal, berat molekul dan kelarutannya dalam pelarut organik.


(23)

2.8 Karakterisasi Polimer

2.8.1 Fourier Transform- Infrared (FT-IR)

Serapan radiasi inframerah oleh suatu molekul terjadi karena adanya interaksi vibrasi ikatan kimia yang menyebabkan perubahan polaribilitas dengan medan listrik gelombang elektromagnetik. Dalam teknik spektroskopi inframerah, sampel molekul disinari dengan radiasi inframerah dengan bilangan gelombang tertentu. Beberapa bilangan gelombang radiasi yang sesuai dengan frekuensi vibrasi akan diserap dan radiasi yang diteruskan diamati dengan suatu detektor fotolistrik (Wirjosentono, B. 1995). Spektroskopi infra merah bermanfaat untuk kajian mikrostruktur maupun gugus fungsi dalam polimer. Komposisi kopolimer olefin, gugus nitril, hidroksi sampai ketidakjenuhan dapat diungkapkan. (Hartomo, A.J. 1995)

Pada dasarnya ada dua variasi instrumentasi dari spekroskopi IR yaitu metode dispersif dimana prisma atau kisi dipakai untuk mendispersikan radiasi IR dan metode Fourier Transform (FT) yang menggunakan prinsip interferometri.

Kelebihan-kelebihan dari FT-IR mencakup ukuran sampel yang kecil, perkembangan spektrum yang cepat, dan dilengkapi komputer yang terdedikasi sehingga memiliki kemampuan untuk menyimpan dan memanipulasi spektrum. FT-IR telah membawa tingkat keserbagunaan yang lebih besar dalam penelitian-penelitian struktur polimer karena spektrum-spektrum bisa di-scan, disimpan dan ditransformasikan dalam hitungan detik, teknik ini akan memudahkan penelitian reaksi-reaksi polimer seperti degradasi dan ikat silang.(Stevens, M.P. 2001)


(24)

Pada era modern ini, radiasi inframerah digolongkan atas empat daerah yang dapat dilihat dari tabel 2.2 berikut:

No. Daerah Inframerah Rentang panjang gelombang (λ)dalam µm Rentang Bilangan Gelombang(ύ) cm-1 Rentang Frekuensi (ν) Hz 1. 2. 3. 4. Dekat Pertengahan Jauh Terpakai untuk analisis instrumental 0,78-2,5 2,5-50 50-1000 2,5-15 13.000-4000 4000-200 200-10 4000-670

3,8-1,2(1014) 1,2-0,06(1014)

6,0-0,3(1012) 1,2-0,2(1014)

Disamping untuk maksud tujuan analisis kuantitatif, spektrofotometri inframerah ditujukan untuk maksud penentuan gugus-gugus fungsi molekul pada analisa kualitatif. (Mulja, M. 1995)

Molekul polimer dikenal dengan karakteristik rantai yang terdiri dari sejumlah satuan ulangan. Secara teori spektrum inframerah bahan polimer akan tergantung dari karakteristik spektrum dan struktur kimia satuan ulangannya. Akan tetapi berbeda dengan senyawa berbobot molekul rendah yang murni. Ditambah lagi perubahan susunan geometris, perubahan orientasi ikatan dan bentuk kristal akan mempengaruhi serapan inframerah oleh ikatan kimia dari satuan ulangan. Ikatan kimia dalam rantai polimer banyak pula yang simetris, vibrasi ikatan ini tidak merubah polarisabilitas ikatan dan karena itu tidak menyerap radiasi elektromagnit. (Wirjosentono, B. 1995). Hadirnya sebuah puncak serapan dalam daerah gugus fungsi dalam sebuah spektrum inframerah merupakan petunjuk pasti bahwa beberapa gugus fungsi tertentu terdapat dalam senyawa cuplikan. Demikian pula tidak adanya puncak dalam bagian tertentu dari daerah gugus fungsi sebuah spektrum inframerah berarti bahwa gugus fungsi yang menyerap pada daerah tersebut tidak ada.(Pine, S. 1988)


(25)

Pada sistem optik FT-IR dipakai radiasi laser yang berguna sebagai radiasi yang diinterferensikan dengan radiasi IR agar sinyal radiasi IR diterima oleh detektor secara utuh dan lebih baik. Detektor yang dipakai dalam FT-IR adalah TGS ( Tri

Glycine Sulfate) atau MCT (Mercury Cadmium Telluride). MCT lebih banyak

digunakan dari pada TGS sebab memberikan tanggapan yang lebih baik pada frekuensi modulasi tinggi, lebih sensitif, lebih cepat dan tidak dipengaruhi temperatur. MCT yang terpenting bersifat sangat selektif terhadap energi vibrasi yang diterima dari radiasi IR. (Mulja, M. 1995)

2.8.2 Scanning Electron Microscopy (SEM)

SEM (Scanning Electron Microscopy) dikembangkan untuk mempelajari struktur permukaan secara langsung. SEM (Scanning Electron Microscopy) merupakan suatu metode untuk membentuk bayangan daerah mikroskopis permukaan sampel. Suatu berkas elektron berdiameter antara 5 hingga 10 nm dilewatkan sepanjang spesimen sehingga terjadi interaksi antara berkas elektron dengan spesimen menghasilkan beberapa fenomena berupa pemantulan elektron berenergi tinggi, pembentukan elektron sekunder berenergi rendah, penyerapan elektron, pembentukan sinar-X, atau pembentukan sinar tampak (cathodoluminescence). Setiap sinyal yang terjadi dapat dimonitor oleh suatu detektor. Alat SEM terdiri atas bagian-bagian, yaitu sumber elektron (electron gun) berupa filamen kawat wolfram, alat untuk mencacah (scanner) titik-titik sepanjang spesimen berupa sistem lensa elektromagnetik dan alat pencacah elektromagnetik, seperangkat lensa elektromagnetik untuk memfokuskan elektron dari sumber menjadi titik kecil di atas spesimen, sistem detektor, serta sistem layar. (Rohaeti, E. 2009)

Dalam analisis ini, suatu berkas insiden elektron yang sangat halus di-scan menyilangi permukaan sampel dalam sinkronisasi dengan berkas tersebut dalam tabung sinar katoda. Elektron-elektron yang terhambur digunakan untuk


(26)

memproduksi sinyal yang memodulasi berkas dalam tabung sinar katoda, yang memproduksi suatu citra dengan kedalaman medan yang besar dan penampakan yang hampir tiga dimensi. Dalam penelitian morfologi permukaan SEM terbatas pemakaiannya, tetapi memberikan informasi yang bermanfaat mengenai topologi permukaan dengan resolusi sekitar 100 Ả. (Stevens, M.P.2001)

Sebuah ruang vakum diperlukan untuk preparasi cuplikan. Cara kerja SEM adalah gelombang elektron yang dipancarkan electron gun terkondensasi di lensa kondensor dan terfokus sebagai titik yang jelas oleh lensa objektif. Scanning coil yang diberi energi menyediakan medan magnetik bagi sinar elektron. Berkas sinar elektron yang mengenai cuplikan menghasilkan elektron sekunder dan kemudian dikumpulkan oleh detektor sekunder atau detektor backscatter. Gambar yang dihasilkan terdiri dari ribuan titik berbagai intensitas di permukaan Cathode Ray Tube (CRT) sebagai topografi gambar. (Kroschwitz, J. 1990).

2.8.3 Termogravimetric Analysis (TGA)

Dalam analisis termogravimetri (TGA) diamati perubahan bobot dari sampel selama kenaikan suhu dengan laju tetap. Karena itu dengan analisis ini dapat diperoleh informasi kehilangan bobot karena penguapan, dekomposisi atau mungkin pertambahan bobot karena pengikatan molekul gas dari atmosfer. (Wirjosentono, B. 1995). TGA juga bermanfaat untuk penetapan volatilitas bahan pemlastik dan bahan-bahan tambahan-bahan lainnya. Penelitian-penelitian stabilitas panas merupakan aplikasi utama dari TGA. Suatu termogram khas yang mengilustrasikan perbedaan stabilitas panas antara polimer yang seluruhnya aromatik dan polimer alifatik sebagian yang berstruktur analog. Berat yang tersisa sering kali merupakan refleksi yang akurat dari pembentukan arang yang merupakan parameter penting dalam pengujian nyala. (Stevens, M.P. 2001)


(27)

Ketika suatu zat dipanaskan, maka tentunya akan mengalami perubahan fisika dan kimia. Perubahan fisika dan kimia ini terjadi akibat adanya penggunaan temperatur yang tinggi. Perubahan fisika seperti peleburan dan pendidihan yang terjadi akibat variasi dari temperatur yang diberikan pada suatu material. Dan perubahan kimia seperti proses dekomposisi atau reaksi yang terjadi akibat adanya perubahan temperatur juga. Reaksi fisika dan kimia yang terjadi pada suatu sampel ketika dilakukan pemanasan akan memiliki karakteristik tersendiri yang dapat diuji atau diperiksa. Ada hal-hal yang harus diperhatikan dalam analisis termogravimetri diantaranya adalah penentuan temperatur saat terjadi kehilangan berat material. Kehilangan berat ini diindikasikan sebagai proses dekomposisi atau penguapan dari sampel. Selanjutnya, saat sampel tidak mengalami kehilangan berat yang dinyatakan sebagai stabilitas dari material. Rentang temperatur yang diberikan merupakan sifat fisika yang terdapat pada senyawa dan dapat digunakan untuk mengidentifikasi senyawa kimia.

Instrumen dasar yang diperlukan dalam analisis termogravimetri adalah sebuah neraca presisi dengan suatu tungku yang diprogramkan untuk memberi kenaikan temperatur secara linier dengan waktu. Sifat-sifat kurva termogravimetri yag hendaknya diperhatikan adalah bagian-bagian yang horizontal (datar = plano) menunjukkan daerah dimana tidak ada perubahan bobot, bagian yang melengkung menunjukkan kehilangan bobot, karena kurva termogravimetri merupakan metode kuantitatif perhitungan-perhitungan atas stoikiometri senyawaan dapat dibuat pada setiap temperatur yang ditentukan. Atmosfer-atmosfer paling umum yang dipakai dalam termogravimetri adalah:

1. Udara statis (udara dari sekeliling yang mengalir melalui tungku).

2. Udara dinamis, dimana udara mampat dari sebuah silinder dialurkan melalui tungku dengan laju aliran yang diukur.

3. Gas nitrogen (bebas oksigen) yang memberikan lingkungan inert. (Vogel, A.I. 1994)


(28)

Analisis termogravimetri sangat berkaitan dengan sensitifitas yang digunakan untuk mengikuti pertukaran berat dari sampel oleh adanya pengaruh temperatur. Aplikasi ini berperan dalam memperkirakan temperatur panas yang stabil dan temperatur saat dekomposisi. (Billmeyer, F.W. 1984)

2.8.4 Analisa Sifat Mekanik

Analisa yang dilakuan untuk menentukan sifat mekanik bahan polimer salah satunya adalah kekuatan tarik. Kekuatan tarik (σ) merupakan kekuatan tegangan maksimum spesimen untuk menahan tegangan yang diberikan. Kekuatan tarik mengacu kepada ketahanan terhadap tarikan yang diukur dengan menarik sekeping polimer dengan dimensi yang seragam. Perpanjangan sering disebut juga dengan kemuluran (ɛ) yang berarti adalah pertambahan panjang yang dihasilkan oleh ukuran tertentu panjang spesimen, yang diakibatkan oleh tegangan yang diberikan. Selanjutnya adalah modulus tarik yang diperoleh dari perbandingan tegangan terhadap perpanjangan. (Stevens, M.P. 2001)

Bila suatu bahan polimer yang elastis dikenakan gaya tarikan dengan laju yang tetap, mula-mula kenaikan tegangan yang diterima bahan berbanding lurus dengan perpanjangan spesimen. Sampai dengan titik elastis bila tegangan dilepaskan maka spesimen akan kembali seperti bentuk semula, tetapi bila tegangan dinaikkan sedikit saja, akan terjadi perpanjangan yang besar. Diatas titik elastis, molekul-molekul berorientasi searah dengan tarikan dan hanya membutuhkan sedikit tegangan untuk menaikkan perpanjangan. (Wirjosentono, B. 1995)


(29)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut:

Nama Alat Spesifikasi Merk

Alat-alat Gelas Neraca Analitis Kertas Saring Biasa Termometer Hot Plate Oven Indikator Universal Ayakan Kondensor

Labu alas leher tiga Stirer Fischer Scientific Statif dan Klem

Seperangkat alat FT-IR Alat press hidrolik

Seperangkat alat Scanning Electron Microscopy

Seperangkat alat

Thermogravimetry Analysis Alat Uji Tarik

-

Presisi ± 0.0001 -

100 oC 30-600oC 30-200oC

- 80 mesh - 500 mL - - - - - - - - Ohaus - Fischer Cimarex Memmert - - Pyrex Pyrex Made in USA

-

Shimadzu Gotech Jeol Type JSM-6510

SDT Q600 V20.9 Build 20

Universal Testing Machine Gotech AL-7000M


(30)

3.2 Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut:

Nama Bahan Spesifikasi Merk

Kayu Kelapa Sawit - -

Alkohol 96% p.a E. merck

Benzena p.a E. merck

H2SO4 97% p.a E. merck

Aquadest - -

Toluena Diisosianat (TDI) p.a E. merck

Polipropilena glikol (PPG) p.a E. merck DMSO p.a E.merck

Ni- catalyst p.a E. merck

3.3 Prosedur Kerja

3.3.1. Pembuatan Pereaksi

3.3.1.1 Pembuatan Larutan H2SO4 72%

Sebanyak 185,6 ml H2SO4(p) 97%diencerkan dengan aquadest dalam labu takar 250

ml hingga garis batas, dihomogenkan.

3.3.2. Preparasi Serbuk Kayu Kelapa Sawit

Kayu kelapa sawit dipisahkan dari kulitnya kemudian dicacah kecil-kecil, dalam hal ini kayu kelapa sawit yang diambil adalah pada bagian pangkal batang (sekitar 1 meter dari permukaan tanah) dan pada daerah sekitar 15-20 cm dari pinggir batang,


(31)

kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 105 oC hingga kering. Kemudian dihaluskan hingga membentuk serbuk dengan ukuran 80 mesh.

3.3.3. Isolasi Lignin dari Kayu Kelapa Sawit

Sebanyak 1 gram serbuk kelapa sawit diekstraksi menggunakan etanol : benzena dengan perbandingan 1:2 selama 8 jam. Kemudian disaring dan dicuci residu dengan etanol dan air panas lalu dikeringkan dalam oven pada suhu 105oC. Selanjutnya dipindahkan sampel kedalam beaker gelas 100 ml dan menambahkan asam sulfat 72% sebanyak 15 ml. Penambahan dilakukan secara perlahan-lahan dalam bak perendaman sambil dilakukan pengadukan dengan menggunakan batang pengaduk selama 2-3 menit. Setelah terdispersi sempurna, beaker gelas ditutup menggunakan kaca arloji dan dibiarkan pada bak perendaman selama 45 menit dan sekali-kali dilakukan pengadukan. Kemudian aquadest sebanyak 300-400 ml dimasukkan kedalam wadah 1000 ml dan sampel dipindahkan dari beaker gelas secara kuantitatif. Kemudian larutan diencerkan dengan aquadest sampai volume 575 ml sehingga konsentrasi H2SO4 3%. Selanjutnya larutan dipanaskan sampai mendidih dan

dibiarkan selama 1 jam dengan pemanasan tetap dan digunakan pendingin balik. Kemudian membiarkannya sampai endapan lignin mengendap sempurna. Larutan didekantasi dan endapan lignin dipindahkan secara kuantitatif kecawan atau kertas saring yang telah diketahui beratnya. Endapan lignin dicuci hingga bebas asam dengan aquadest panas, kemudian diuji dengan kertas pH universal. Kemudian endapan lignin dikeringkan dalam oven pada suhu 105oC. Rendemen lignin dihitung berdasarkan perbedaan berat antara lignin yang diperoleh setelah dikeringkan dengan berat kayu kering yang digunakan.

Rendemen (%) = LigninKering


(32)

3.3.4. Kadar Kemurnian Lignin

Sebanyak 0.5 gram lignin yang telah dikeringkan dalam oven pada suhu 105oC selama 4 jam ke dalam beaker gelas 100 ml. Kemudian dilarutkan dengan 15 ml H2SO4 72% secara perlahan-lahan sambil diaduk dengan batang pengaduk selama

2-3 menit. Kemudian ditutup dengan kaca arloji selama 2 jam. Selanjutnya hasil reaksi dipindahkan ke dalam labu Erlenmeyer ukuran 500 ml dan diencerkan dengan aquadest sampai 400 ml, lalu direfluks selama 4 jam. Endapan lignin yang terbentuk disaring dengan kertas saring yang telah diketahui beratnya dan dicuci dengan aquadest hingga bebas asam. Kemudian sampel dikeringkan dalam oven pada suhu 105oC dan ditimbang sampai berat konstan, kadar kemurnian lignin dapat dihitung dengan persamaan berikut:

Kadar Lignin = BeratLignin

BeratKeringLignin

x 100%

3.3.5. Analisa Gugus Fungsi Lignin dengan Fourier Transform Infrared

Spectroscopy (FT-IR)

Sebanyak 3 gram lignin isolat diletakkan pada kaca transparan, diusahakan menutupi seluruh permukaan kaca. Kemudian diletakkan pada alat ke arah sinar infra merah. Hasilnya akan direkam ke dalam kertas berskala berupa aliran kurva bilangan gelombang terhadap intensitas.


(33)

3.3.6. Proses Pembuatan Poliuretan

Dirangkai alat sedemikian rupa didalam lemari asam yang dilengkapi termometer dan pengaduk, kemudian lemari asam dihidupkan dan diatur suhu Hot Plate pada suhu 40oC. Sebanyak 2 gram lignin isolat dari kayu kelapa sawit dilarutkan dengan DMSO dan dimasukkan kedalam labu leher tiga 500 ml lalu ditambahkan 8 gram polipropilen glikol (PPG), ditambahkan 5 tetes katalis Ni dan 20 gram Toluena diisosianat, campuran diaduk selama 20 menit pada suhu 40oC. Campuran dimasukkan kedalam cetakan dan ditempatkan ke dalam Hot Compressor pada suhu 50oC selama 5 menit. Hasil cetakan didinginkan pada suhu kamar, kemudian dikeluarkan dari cetakan untuk di uji. Disimpan dalam vacuum oven apabila belum di lakukan uji.

3.3.7. Uji Sifat Mekanik

Sifat mekanik poliuretan dikarakterisasi menggunakan alat uji tarik Universal Testing

Machine Gotech AL-7000M dengan kecepatan tarik 5 mm/menit. Sampel yang sudah

berbentuk dumbbell dijepitkan pada alat uji tarik, kemudian alat dijalankan dan data yang diperoleh dicatat. Uji sifat mekanik ini dilakukan dengan berat beban sebesar 2000 kgf.

3.3.8. Analisa Gugus Fungsi Poliuretan dengan Fourier Transform Infrared

Spectroscopy (FT-IR)

Sebanyak 3 gram poliuretan diletakkan pada kaca transparan, diusahakan menutupi seluruh permukaan kaca. Kemudian diletakkan pada alat ke arah sinar infra merah.


(34)

Hasilnya akan direkam ke dalam kertas berskala berupa aliran kurva bilangan gelombang terhadap intensitas.

3.3.9. Analisa Sifat Morfologi dengan Scanning Electron Microscopy (SEM)

Dalam melakukan analisa permukaan sampel dengan menggunakan Scanning

Electron Microscopy (SEM) diawali dengan melapisi sampel dengan emas bercampur

palladium dalam suatu ruang vakum yang bertekanan 0,2 Torr. Kemudian sampel disinari dengan pancaran elektron sebesar 1,2 kVolt sehingga menyebabkan sampel mengeluarkan elektron sekunder dan elektron terpental yang dapat dideteksi oleh detektor dan kemudian diperkuat oleh rangkaian listrik sehingga akan menghasilkan gambar Chatode Ray Tube. Kemudian dilakukan pemotretan dengan memilih bagian tertentu dan dilakukan perbesaran agar didapatkan foto yang jelas dan bagus.

3.3.10. Analisa Degradasi Termal dengan Thermogravimetric Analysis (TGA)

Pada analisa degradasi termal menggunakan Thermogravimetric Analysis diawali dengan penimbangan sampel dengan massa 11.8120 mg. Kemudian dipanaskan pada suhu kamar sampai suhu 1000oC dengan laju pemanasan 10oC/menit. Adanya perubahan berat merupakan akibat dari proses pemanasan yang dapat ditentukan langsung dari termogram.


(35)

3.4 Bagan Penelitian

3.4.1. Bagan Preparasi Serbuk Kayu Kelapa Sawit (KKS)

← dipotong dan dicacah kecil-kecil

← dikeringkan dalam oven pada suhu 105oC hingga kering

← dihaluskan hingga membentuk serbuk dengan ukuran 80 mesh Kayu Kelapa Sawit

Serbuk KKS halus

← dipotong dan dicacah kecil-kecil

← dikeringkan dalam oven pada suhu 105oC hingga kering

← dihaluskan hingga membentuk serbuk dengan ukuran 80 mesh Kayu Kelapa Sawit

Serbuk KKS halus

← dipotong dan dicacah kecil-kecil

← dikeringkan dalam oven pada suhu 105oC hingga kering

← dihaluskan hingga membentuk serbuk dengan ukuran 80 mesh Kayu Kelapa Sawit

Serbuk KKS halus

← dipotong dan dicacah kecil-kecil

← dikeringkan dalam oven pada suhu 105oC hingga kering

← dihaluskan hingga membentuk serbuk dengan ukuran 80 mesh Kayu Kelapa Sawit


(36)

3.4.2 Bagan Isolasi Lignin dari Kayu Kelapa Sawit (KKS)

← Dicuci sampai bebas asam

← Dikeringkan dalam oven (T=105OC ; t= 4 jam) Lignin Isolat

← Diencerkan hingga H2SO4 3% ← Dipanaskan selama 1 jam

← Didekantasi larutan Endapan Lignin

← Ditambahkan 15 ml H2SO4 72% secara perlahan-lahan ← Didiamkan selama 45 menit

Lignin Terdispersi

← Diekstraksi dengan Etanol : Benzena (1:2) selama 8 jam 1 gram Serbuk KKS

Serbuk Hasil Ekstraksi

Serbuk Kayu Siap Isolasi

← Dicuci dengan Etanol

← Dibilas dengan air panas

← Dikeringkan dalam oven (T=105oC)

← Ditambahkan 15 ml H2SO4 72% secara perlahan-lahan ← Didiamkan selama 45 menit

← Diekstraksi dengan Etanol : Benzena (1:2) selama 8 jam 1 gram Serbuk KKS

Serbuk Hasil Ekstraksi

Serbuk Kayu Siap Isolasi

← Ditambahkan 15 ml H2SO4 72% secara perlahan-lahan ← Didiamkan selama 45 menit

← Diekstraksi dengan Etanol : Benzena (1:2) selama 8 jam 1 gram Serbuk KKS

Serbuk Hasil Ekstraksi

Serbuk Kayu Siap Isolasi

Lignin Terdispersi

← Ditambahkan 15 ml H2SO4 72% secara perlahan-lahan ← Didiamkan selama 45 menit

← Diekstraksi dengan Etanol : Benzena (1:2) selama 8 jam 1 gram Serbuk KKS

Serbuk Hasil Ekstraksi

Serbuk Kayu Siap Isolasi

Lignin Terdispersi

← Ditambahkan 15 ml H2SO4 72% secara perlahan-lahan ← Didiamkan selama 45 menit

← Diekstraksi dengan Etanol : Benzena (1:2) selama 8 jam 1 gram Serbuk KKS

Serbuk Hasil Ekstraksi

Serbuk Kayu Siap Isolasi

← Diencerkan hingga H2SO4 3% ← Dipanaskan selama 1 jam

← Didekantasi larutan Lignin Terdispersi

← Ditambahkan 15 ml H2SO4 72% secara perlahan-lahan ← Didiamkan selama 45 menit

← Diekstraksi dengan Etanol : Benzena (1:2) selama 8 jam 1 gram Serbuk KKS

Serbuk Hasil Ekstraksi

Serbuk Kayu Siap Isolasi

← Diekstraksi dengan Etanol : Benzena (1:2) selama 8 jam 1 gram Serbuk KKS

Serbuk Hasil Ekstraksi

← Dicuci dengan Etanol

← Dibilas dengan air panas

← Dikeringkan dalam oven (T=105oC) Serbuk Kayu Siap Isolasi

← Diekstraksi dengan Etanol : Benzena (1:2) selama 8 jam 1 gram Serbuk KKS

Serbuk Hasil Ekstraksi

← Ditambahkan 15 ml H2SO4 72% secara perlahan-lahan ← Didiamkan selama 45 menit

← Dicuci dengan Etanol

← Dibilas dengan air panas

← Dikeringkan dalam oven (T=105oC) Serbuk Kayu Siap Isolasi

← Diekstraksi dengan Etanol : Benzena (1:2) selama 8 jam 1 gram Serbuk KKS

Serbuk Hasil Ekstraksi

← Ditambahkan 15 ml H2SO4 72% secara perlahan-lahan ← Didiamkan selama 45 menit

← Dicuci dengan Etanol

← Dibilas dengan air panas

← Dikeringkan dalam oven (T=105oC) Serbuk Kayu Siap Isolasi

← Diekstraksi dengan Etanol : Benzena (1:2) selama 8 jam 1 gram Serbuk KKS

Serbuk Hasil Ekstraksi

← Diencerkan hingga H2SO4 3% ← Dipanaskan selama 1 jam

← Didekantasi larutan

← Ditambahkan 15 ml H2SO4 72% secara perlahan-lahan ← Didiamkan selama 45 menit

← Dicuci dengan Etanol

← Dibilas dengan air panas

← Dikeringkan dalam oven (T=105oC) Serbuk Kayu Siap Isolasi

← Diekstraksi dengan Etanol : Benzena (1:2) selama 8 jam 1 gram Serbuk KKS

Serbuk Hasil Ekstraksi

Endapan Lignin

← Diencerkan hingga H2SO4 3% ← Dipanaskan selama 1 jam

← Didekantasi larutan

← Ditambahkan 15 ml H2SO4 72% secara perlahan-lahan ← Didiamkan selama 45 menit

← Dicuci dengan Etanol

← Dibilas dengan air panas

← Dikeringkan dalam oven (T=105oC) Serbuk Kayu Siap Isolasi

← Diekstraksi dengan Etanol : Benzena (1:2) selama 8 jam 1 gram Serbuk KKS

Serbuk Hasil Ekstraksi

← Dicuci sampai bebas asam

← Dikeringkan dalam oven (T=105OC ; t= 4 jam) Endapan Lignin

← Diencerkan hingga H2SO4 3% ← Dipanaskan selama 1 jam

← Didekantasi larutan

← Ditambahkan 15 ml H2SO4 72% secara perlahan-lahan ← Didiamkan selama 45 menit

← Dicuci dengan Etanol

← Dibilas dengan air panas

← Dikeringkan dalam oven (T=105oC) Serbuk Kayu Siap Isolasi

← Diekstraksi dengan Etanol : Benzena (1:2) selama 8 jam 1 gram Serbuk KKS

Serbuk Hasil Ekstraksi

← Dikarakterisasi FT-IR

Lignin Isolat

← Dicuci sampai bebas asam

← Dikeringkan dalam oven (T=105OC ; t= 4 jam) Endapan Lignin

← Diencerkan hingga H2SO4 3% ← Dipanaskan selama 1 jam

← Didekantasi larutan

← Ditambahkan 15 ml H2SO4 72% secara perlahan-lahan ← Didiamkan selama 45 menit

← Dicuci dengan Etanol

← Dibilas dengan air panas

← Dikeringkan dalam oven (T=105oC) Serbuk Kayu Siap Isolasi

← Diekstraksi dengan Etanol : Benzena (1:2) selama 8 jam 1 gram Serbuk KKS


(37)

3.4.3 Bagan Penentuan Kadar Kemurnian Lignin

← Dilarutkan dengan 15 ml H2SO4 72% ← Diaduk selama 2-3 menit

← Didiamkan selama 2 jam

← Disaring

← Dicuci dengan aquadest hingga bebas asam

← Dikeringkan dalam oven (T=105oC ; t= 4 jam) Lignin murni

← Diencerkan dengan 400ml aquadest

← Direfluks selama 4 jam Endapan Lignin

0,5 gram Lignin Isolat


(38)

3.4.4 Bagan Pembentukan Poliuretan

2 gram Lignin Isolat

← Dilarutkan dengan DMSO

← Dimasukkan kedalam labu leher tiga

←Diaduk dan dipanaskan (T= 40oC ; t = 20 menit)

← Ditambahkan 8 gram PPG

← Ditambahkan 5 tetes katalis Ni

← Ditambahkan 20 gram Toluena Diisosianat (T= 40oC ; t = 20 menit)

Poliuretan

← Dimasukkan kedalam cetakan

← Ditempatkan pada hot compressor dengan suhu 50oC dan selama 5 menit

Poliuretan yang telah dipress

← Dikarakterisasi

Uji FT-IR Uji SEM Uji TGA Analisa sifat Mekanik


(39)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

4.1.1 Isolasi Lignin dari Kayu Kelapa Sawit

Isolasi lignin merupakan tahap pemisahan lignin, dalam penelitian ini lignin diisolasi dari kayu kelapa sawit. Terdapat berbagai metode isolasi yang bisa dilakukan, tetapi pada prinsipnya sama yaitu diawali dengan proses pengendapan padatan. Pada penelitian ini, metode isolasi yang digunakan adalah metode Klason (SII.0528-81 dan 1293-58). Untuk menghilangkan zat-zat ekstraktif yang terdapat pada serbuk kayu kelapa sawit perlu dilakukan metode ektraksi terlebih dahulu dengan menggunakan etanol dan benzena dengan perbandingan 1:2. Selanjutnya dilakukan pemisahan lignin dari selulosa dengan menggunakan H2SO4 72%. Reaksi dengan H2SO4 72%

dan adanya pemanasan menyebabkan terjadinya hidrolisa pada molekul selulosa sehingga menjadi terlarut. Asam akan mengendapkan lignin karena lignin tidak larut dalam larutan asam. Lignin isolat yang dihasilkan berupa tepung lignin yang berwarna coklat kehitaman (Lampiran 3).

4.1.2 Rendemen Lignin Isolat

Rendemen lignin isolat dapat dihitung berdasarkan berat kayu kering yang digunakan dalam proses isolasi. Rendemen lignin hasil isolasi dari kayu kelapa sawit yang diperoleh adalah 27,5% (Lampiran 9). Sedangkan berdasarkan analisa kayu daun jarum yang dilaporkan memiliki rendemen berkisar antara 27-34%. Lubis, A.A. (2007) melakukan isolasi lignin dari lindi hitam dan menghasilkan rendemen lignin sebesar 27,74 %. Adanya perbedaan rendemen lignin yang diperoleh dipengaruhi oleh jenis bahan baku, jenis larutan dan proses pemisahan. Selain itu adanya sebagian lignin yang terlarut oleh H2SO4 72%. Pada proses pemisahan lignin dari komponen


(40)

selulosa, hemiselulosa, serta senyawa organik lainnya yang berlangsung lama akan mengakibatkan lignin menjadi hitam, sehingga tidak dapat dibedakan antara lignin dan komponen yang terkandung dalam serbuk kayu kelapa sawit selama berlangsungnya proses isolasi.

4.1.3 Kadar Kemurnian Lignin

Isolat lignin yang dihasilkan dari serbuk kayu kelapa sawit bukan merupakan lignin murni, sehingga perlu dilakukan analisa untuk mengetahui kadar lignin murni dalam lignin isolat tersebut. Berdasarkan hasil analisa yang dilakukan dengan menggunakan H2SO4 72% diperoleh kadar kemurnian lignin sebesar 74% (Lampiran 10). Adanya

lignin terlarut dalam H2SO4 72% dalam proses isolasi juga berpengaruh terhadap hasil

isolasi. Berkisar antara 15-22% lignin kayu daun jarum akan terlarut yang mengakibatkan terjadinya perubahan struktur karena kondensasi antara lignin dengan asam. Fengel (1995) menyatakan bahwa polisakarida merupakan kontaminan umum pada lignin terisolasi. Kandungan sisa polisakarida sangat tergantung pada proses isolasi, jenis kayu dan pemurnian lignin. Kadar lignin yang rendah menunjukkan bahwa isolat lignin masih mengandung komponen-komponen non lignin dalam jumlah yang lebih besar. Menurut Damat (1989), tingginya komponen-komponen non lignin pada tepung lignin menunjukkan bahwa degradasi dan pemisahan polisakarida beserta komponen-komponen non lignin lainnya masih kurang sempurna. Degradasi polisakarida terjadi karena adanya penambahan asam kuat.

4.1.4 Pembuatan Poliuretan

Sintesis poliuretan dalam penelitian ini dilakukan dengan sistem lignin isolat- polipropilen glikol (PPG) sebagai sumber poliol dan direaksikan dengan Toluena diisosianat (TDI). Proses pembentukan poliuretan dilakukan pada suhu 40oC selama 20 menit dan dialiri gas nitrogen.


(41)

Reaksi umum H O

R’ – N = C = O + R” – O – H R’ – N – C – O – R”

Isosianat Hidroksil Uretan

H – O:δ- H – O:δ- H O

N̈=C=O + H–O:̈δ- N̈ – C = O N̈ – C = O N – C = O

Uretan

Monomer Lignin isolat + PPG + toluena diisosianat poliuretan

CH3 CH3

CH2OH + H O-CH2-CH OH + NCO

CH m OCN y CH

OCH3 OH n

CH3 CH3

CH2O CO-NH NH-CO-O-CH2-CH-O- CO-NH-R

CH Gugus uretan CH

OCH3 CH3 CH3 NH-CO-O CH2-CH-O-CO-NH R

O CO-NH

Gambar 4.1 Reaksi sintesis poliuretan

Katalis Ni Katalis Ni Katalis Ni Katalis Ni Katalis Ni Katalis Ni Katalis Ni Katalis Ni Katalis Ni Katalis Ni Katalis Ni


(42)

Poliuretan yang berasal dari sistem lignin isolat-polipropilen glikol (LI-PPG) akan memberikan informasi bahwa dalam struktur poliuretan akan terdapat daerah segmen keras dan segmen lunak seperti pada gambar 4.2. Daerah segmen keras dibentuk oleh adanya blok ikatan antara lignin isolat dan Toluena diisosianat (TDI). Dan daerah segmen lunak dibentuk oleh ikatan diantara blok polipropilen glikol (PPG). Segmen keras dimungkinkan dapat terjadi apabila terdapat ikatan hidrogen, dimana ikatan hidrogen terjadi pada daerah gugus uretan karena karbonil dalam ikatan hidrogen dan alkoksi oksigen pada uretan bersifat akseptor proton. Penambahan katalis pada pembuatan poliuretan ini digunakan sebagai pelengkap reaksi tanpa menentukan kecepatan reaksi. Lignin yang memiliki struktur bercabang dengan jumlah hidroksi lebih dari dua (poliol) membentuk blok uretan sehingga poliuretan manjadi kaku dan keras serta mempengaruhi sifat mekanik poliuretan.

Gambar 4.2 Gambaran bagian segmen keras dan segmen lunak poliuretan (Supri,2000)

H CH3 O

R-N-C-O [ CH2-CH-O ] C-N-R

O H H CH3 O

R-N-C-O [ CH2-CH-O ] C-N-R

O H H CH3 O

R-N-C-O [ CH2-CH-O ] C-N-R

O H

Segmen lunak

Segmen keras


(43)

4.2 Pembahasan

4.2.1 Karakterisasi Lignin Isolat dengan Fourier Transform-Infra Red (FT-IR)

Analisa gugus fungsi secara kualitatif terhadap lignin isolat yang dihasilkan dilakukan dengan menginterpretasikan puncak-puncak serapan dari spektrum inframerah. Analisa ini dikenal sebagai salah satu teknik identifikasi struktur baik untuk senyawa organik maupun anorganik. Adanya kombinasi pita serapan yang khas dapat digunakan untuk menentukan struktur senyawa yang terdapat dalam suatu bahan. Identifikasi pita adsorbsi yang khas disebabkan oleh berbagai gugus fungsi yang merupakan dasar penafsiran spektrum inframerah.

Hasil karakterisasi terhadap lignin isolat dengan teknik spektroskopi inframerah FT-IR dapat dilihat pada gambar 4.3 berikut:


(44)

Hasil identifikasi gugus fungsi lignin isolat kayu kelapa sawit menunjukkan adanya pita serapan pada berbagai daerah ulur yang dinyatakan pada tabel 4.1 berikut:

No Lignin Isolat

Frekuensi (cm-1)

Pita Serapan Asal

1. 2. 3. 4. 5. 3448.72 1627.92 1465.90 1273.02 1111 3450-3400 1675-1660 1470-1460 1275-1265 1150-1070

Serapan gugus OH Vibrasi cincin aromatik Deformasi C-H asimetri Vibrasi cincin guaiasil Serapan gugus C-O, C-H

Dari tabel 4.1 diatas menunjukkan bahwa lignin isolat yang berasal dari kayu kelapa sawit memiliki unit guaiasil pada serapan 1273.02 yang merupakan suatu ciri khas dari lignin isolat dari jenis kayu daun jarum. Lignin guaiasil pada kayu berdaun jarum berkisar 26-32% dan terdiri dari prazat koniferil alkohol. Menurut Sugesty et al. (1986) menyatakan bahwa lignin pada jenis gymnosperms (kayu daun jarum) terdiri dari unit guaiasil, lignin pada jenis angiosperms (kayudaun lebar) terdiri dari unit guaiasil dan siringil, sedangkan pada jenis rumput-rumputan terdiri dari unit guaiasil, siringil dan p-hidroksifenil.

Analisis spektrum FT-IR lignin isolat memperlihatkan serapan pada bilangan gelombang 3448,72 cm-1 yang menunjukkan adanya serapan khas dari gugus hidroksi (OH), pada daerah panjang gelombang 1627,92 menunjukkan adanya serapan dari vibrasi cincin aromatik, pada panjang gelombang 1465,90 merupakan deformasi dari C-H asimetri, kemudian daerah panjang gelombang 1273,02 menunjukkan adanya vibrasi cincin guaiasil dan serapan 1111 merupakan serapan dari alkohol tersier. Adanya perbedaan panjang gelombang lignin dipengaruhi oleh asal lignin dan cara isolasinya.

Getaran regang O-H fenol bebas cenderung akan mempunyai absorpsi pada bagian ujung rendah daerah 3500 cm -1. Dan getaran regang O-H terikat terjadi dalam daerah 3700-3500 cm-1. Pita OH bebas memiliki intensitas yang lebih rendah


(45)

daripada pita OH terikat dan hanya akan nyata pada larutan encer. (Creswell, J.C. et al. 1982)

4.2.2 Analisa Kekuatan Tarik dan Perpanjangan Poliuretan Termoplastik Alam

Pengujian kekuatan tarik dilakukan untuk mengetahui sifat mekanik dari poliuretan termoplastik seperti kekuatan tarik dan regangannya. Pada penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh penambahan lignin isolat dari kayu kelapa sawit pada perbandingan poliol antara lignin isolat dengan polipropilen glikol (PPG). Kekuatan tarik diukur dengan menarik sekeping polimer dengan dimensi yang seragam.

Tegangan tarik, σ, adalah gaya yang diaplikasikan, Ϝ, dibagi dengan luas penampang,

Α, yakni sesuai dengan persamaan:

σ

=

Ϝ

Secara praktis, kekuatan tarik dapat didefenisikan sebagai besarnya beban maksimum (Ϝ) yang dibutuhkan untuk memutuskan spesimen bahan kemudian dibandingkan dengan luas penampang. Selanjutnya perpanjangan tarik, ɛ, adalah perubahan panjang sampel dibagi dengan panjang awal, seperti persamaan:

ɛ

=

�Ɩ

Ɩ

Bila bahan polimer (elastis) diberikan gaya tarikan dengan laju tetap, mula-mula kenaikan tegangan berbanding lurus dengan perpanjangan spesimen akan kembali ke bentuk semula, tetapi bila tegangan dinaikkan sedikit saja maka akan terjadi perpanjangan yang besar.


(46)

Hasil pengujian sifat mekanik poliuretan termoplastik yang dihasilkan ditunjukkan pada tabel 4.2 berikut:

Sampel (Lignin:PPG)

Kekuatan tarik (MPa)

Perpanjangan Saat Putus (%)

0:10 0.090 4.785

2:8 0.175 0.747

4:6 0.493 12.377

6:4 0.347 3.481

8:2 0.244 1.918

10:0 0.265 5.452

Untuk lebih jelasnya, data hasil uji sifat mekanik diatas, dapat dilihat dalam grafik berikut: (a) 0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6

0:10 2:08 4:06 6:04 8:02 10:00

K e k u at an T ar ik ( M P a)

Variasi Komposisi Lignin:PPG


(47)

(b)

Gambar 4.4 Grafik uji sifat mekanik poliuretan (a) Grafik kekuatan tarik (MPa), (b) Grafik Perpanjangan saat putus (%)

Variasi komposisi poliol pada pembuatan poliuretan berpengaruh terhadap kekuatan tarik, dan perpanjangan yang dihasilkan. Berdasarkan data (tabel 4.2) dan grafik (Gambar 4.4) dari hasil penelitian yang dilakukan dapat dilihat bahwa komposisi yang menghasilkan kekuatan tarik dan perpanjangan yang maksimal adalah perbandingan lignin:PPG (4:6) sebesar 0.493 MPa dan 12.377 %.

Pada awalnya kekuatan tarik meningkat dari perbandingan lignin:PPG 0:10; 2:8; 4:6;, lalu kemudian mengalami penurunan pada perbandingan 6:4; 8:2; 10:0. Hal ini berkaitan dengan komposisi TDI yang tetap, sehingga tidak seimbang lagi banyaknya gugus hidroksi pada poliol dan jumlah TDI yang ditambahkan. Karena makin banyak lignin dalam pembentukan poliuretan makin banyak TDI diperlukan. Akibatnya makin besar kemungkinan terbentuk bagian poliuretan yang keras (hard segment). Dapat dinyatakan bahwa poliuretan termoplastik yang memiliki hasil uji sifat mekanik yang paling tinggi dari beberapa perbandingan yang digunakan adalah poliol lignin:PPG (4:6).

0 5 10 15

0:10 2:08 4:06 6:04 8:02 10:00

P e rpa nja ng a n S a a t P ut us (% )

Variasi Komposisi Lignin:PPG


(48)

Penelitian sebelumnya menurut Sutiani, A. dan Bizda, K.R (2013) yang melakukan uji sifat mekanik terhadap poliuretan yang dihasilkan dari campuran gliserol, polietilen glikol (PEG) dan 4,4-difenil metana diisosianat (MDI) menunjukkan hasil yang hampir sama. Pada semua perbandingan PEG, Gliserol dan MDI yang digunakan pada awalnya menyebabkan kekuatan tarik dan perpanjangan mengalami peningkatan tetapi kemudian mengalami penurunan.

Hampir sama dengan poliuretan yang berasal dari lignin isolat dari kayu kelapa sawit, polipropilen glikol (PPG), dan toluena diisosianat yang telah disintesis, berdasarkan grafik (gambar 4.4) pada perbandingan pertama, kedua dan ketiga kekuatan tarik dan perpanjangan mengalami peningkatan, dan kemudian untuk perbandingan ke empat dan selanjutnya mengalami penurunan. Hal ini menunjukkan bahwa variasi komposisi poliol maupun senyawa isosianat yang dipakai pada pembentukan poliuretan berpengaruh terhadap kekuatan tarik, dan perpanjangan poliuretan yang dihasilkan.

4.2.3 Analisa FT-IR Poliuretan Termoplastik Alam

Berdasarkan data uji sifat mekanik yang telah dilakukan, didapatkan bahwa perbandingan poliol yang paling baik adalah poliuretan dengan perbandingan poliol lignin:PPG (4:6). Selanjutnya poliuretan dengan perbandingan poliol 4:6 tersebut di uji dengan FT-IR dan menghasilkan spektrum seperti gambar 4.5.


(49)

Gambar 4.5 Hasil Spektrum FT-IR Poliuretan

Hasil identifikasi sampel poliuretan termoplastik yang diuji dengan FT-IR dapat ditunjukkan pada tabel 4.3 berikut:

No Sampel Poliuretan Kedudukan (cm-1) Pita serapan asal 1 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 3410.15 2970.38 2877.79 2345.44 1705.07 1604.77 1543.05 1226.73 1072.42 3500-3333 3300-2700 2960-2870 2500-2000 1725-1705 1650-1600 1550-1540 1250-1020 1085-1030

Serapan gugus N-H terikat Serapan gugus C-H

Serapan metil dan metilen Serapan C=O dari NCO Serapan C=O tak terkonjugasi Vibrasi cincin aromatik Serapan deformasi N-H Serapan C-N

Deformasi CH2-C-O

Hasil karakterisasi terhadap poliuretan termoplastik hasil sintesis dengan teknik FT-IR menunjukkan pita serapan pada 3410 cm-1 yang merupakan daerah ulur N-H terikat, 2970 cm-1 merupakan serapan gugus C-H, 2877 cm-1 merupakan rentangan metil dan metilen, 1705 cm-1 merupakan daerah serapan ulur C=O tak


(50)

terkonjugasi, 1543 cm-1 merupakan daerah serapan deformasi N-H, daerah 1226 merupakan serapan C-N, dan 1072 cm-1 yang merupakan daerah serapan ulur C-O.

Pada berbagai jenis ikatan C-H menunjukkan absorbsi dibagian tertentu dari daerah regangan 3300-2700 cm-1 . Dengan catatan bahwa C=C-H dan Ar-H mengadsorbsi diatas 3000 cm -1 sedangkan C-H alifatik dan aldehid mengadsorbsi dibawah 3000 cm -1. Serapan pada 1600 dan 700 menunjukkan sifat khas senyawa aromatik (Creswell, J.C. et al. 1982). Ada sekilas perbedaan dalam gugus karbonil yang terdapat pada gugus sederhana uretan atau karbamat dalam poliuretan. Gugus sederhana karbamat dalam inframerah terdapat pada serapan antara 1739 dan 1700 cm-1. Nilai serapan absorbansi gugus NCO pada inframerah adalah 2270 cm-1 (Hepburn, C. 1991). Pada spektrum diatas tidak ditemukan daerah serapan 2270 cm-1, yang menunjukkan bahwa gugus isosianat telah habis bereaksi.

Penelitian sebelumnya, Sutiani, A. dan Bizda, K.R (2013) juga menghasilkan spektrum poliuretan yang tidak jauh berbeda. Pada bilangan gelombang 3343,16 cm-1 merupakan daerah serapan N-H, pada bilangan gelombang 2906,17 cm-1 merupakan serapan C-H, pada bilangan gelombang 1709,16 cm-1 merupakan bilangan gelombang C=O tak terkonjugasi, pada bilangan gelombang 1692,45 merupakan vibrasi cincin aromatik. Selanjutnya pada bilangan gelombang 1107,16 merupakan deformasi C-O.

4.2.4 Analisa Termal dengan Thermogravimetric Analysis (TGA)

Metode TGA yang paling banyak dipakai didasarkan pada pengukuran berat yang kontinyu terhadap suatu neraca sensitif ketika suhu sampel dinaikkan dalam udara atau dalam suatu atmosfer yang inert. TGA ini dikatakan sebagai TGA non

isothermal. Data dicatat sebagai termogram berat terhadap temperatur. Hilangnya


(51)

suhu-suhu tertentu yang lebih tinggi menyebabkan terurainya polimer. (Stevens, M.P. 2001)

Cara termogravimetri (TGA ) memberikan info kuantitatif dekomposisi termal. Dari data dapat ditentukan keawetan bahan. Energi pengaktifan suatu peristiwa termal dapat dicari dengan laju pemanasan berbeda. Makin cepat pemanasan, maka termogram akan bergeser ke suhu yang lebih tinggi. Analisis TGA dipergunakan untuk mengkaji degradasi bahan, berbagai faktor dapat mempengaruhi kestabilan bahan, seperti kekristalan, berat molekul, orientasi, gugus fungsi substituen, grafting, polimerisasi, zat penstabil dan lain-lain. ( Hartomo, A.J. 1995)

Dalam prakteknya, sampel dimasukkan kedalam krusibel dan ditambahkan alat penghitung berat untuk mengatur kesetimbangan alat penimbang. Proses pembakaran atau mentanur dilakukan dengan cara pemanasan dengan suhu terkontrol, dimulai dari suhu ruang dan diakhiri pada temperatur 1000oC. Pengaturan dasar temperatur dilakukan dengan peningkatan secara perlahan agar reaksi kimia dan kesetimbangan termal dapat berlangsung secara menyeluruh ketika dilakukan pemanasan. Jika dilakukan pemanasan yang terlalu cepat maka pertukaran kimia dan fisika akan sangat cepat sehingga tidak dapat diamati perubahannya secara maksimal. Dan apabila dilakukan pemanasan yang terlalu lambat, maka percobaan tersebut akan membutuhkan waktu yang lama.

Analisis termogravimetri memiliki peranan yang penting, diantaranya yang pertama adalah dapat mengetahui temperatur pengeringan yang tepat untuk endapan yang digunakan dalam analisis termogravimetri. Kemudian peranan yang kedua adalah dapat mengidentifikasi gas yang dikeluarkan ketika temperatur sampel dinaikkan. Dan sebagai tambahan, komposisi residu dapat diperiksa. Hal ini dinyatakan sebagai proses dekomposisi kimia jika suatu material dipanaskan dan memungkinkan identifikasi struktur dari residu. Dan peranan yang ketiga adalah


(52)

dapat dilakukan identifikasi senyawa-senyawa yang terdapat dalam campuran. Hasil analisa termogravimetri poliuretan dapat dilihat pada termogram gambar 4.6 berikut:

Gambar 4.6 Termogram TGA dari poliuretan

Tabel. 4.4 Data (%) Berat Poliuretan pada Berbagai Temperatur

No Temperatur (oC) % Berat Berat poliuretan (mg)

1 35 100 % 11,8120

2 400 72,94% 8,6160

3 500 72,26% 8,5353

4 800 22,37% 2,643

Dari termogram diatas dapat diketahui bahwa poliuretan mulai mengalami dekomposisi pertama pada temperatur 400oC dengan sisa sebesar 72,94%, selanjutnya terjadi dekomposisi kedua pada temperatur 500oC menghasilkan sisa sebesar 72,26% dan terakhir pada temperatur 800oC terjadi dekomposisi dengan residu sebesar 22,37 % poliuretan. Pada dasarnya senyawa-senyawa yang terlebih dahulu terurai adalah senyawa yang mengandung cincin aromatik yang bersifat volatil dan memiliki titik didih yang rendah. Poliuretan pada umumnya


(53)

terdekomposisi pada suhu 280-365oC. Dari data tersebut menunjukkan bahwa pada suhu 400oC kehilangan massa tidak kurang dari 50 %. Hal ini menunjukkan bahwa poliuretan yang dihasilkan memiliki kestabilan termal yang baik. Rohaeti, E (2011) juga melakukan uji sifat termal poliuretan yang berasal dari minyak jarak-PEG-TDI yang menunjukkan data yang hampir sama, pada suhu 400oC kehilangan massa tidak kurang dari 50 %. Sehingga dapat dinyatakan bahwa pada suhu 400oC poliuretan belum terjadi dekomposisi secara total.

4.2.5 Analisa Morfologi dengan Scanning Electron Microscopy (SEM)

Morfologi permukaan suatu sampel dapat dilihat dengan menggunakan Scanning

Electron Microscopy (SEM). Untuk analisa ini sampel yang digunakan adalah

poliuretan dari hasil reaksi lignin isolat-PPG (4:6) dengan TDI yang memiliki sifat mekanik yang paling baik. Adapun hasil foto SEM-nya dapat ditunjukkan pada gambar 4.7 berikut dengan perbesaran 3500 kali.


(54)

Berdasarkan gambar 4.7 hasil foto SEM diatas dapat diketahui bahwa poliuretan yang merupakan campuran dari Polipropilen Glikol (PPG) - lignin isolat (4:6) dengan toluena diisosianat (TDI) yang menunjukkan permukaan yang hampir merata dengan tampak menyatunya komponen-komponen penyusun poliuretan yang dibentuk, yaitu lignin isolat, polipropilen glikol dan toluena diisosianat. Bila dibandingkan dengan pembuatan poliuretan yang disintesis tanpa menggunakan pelarut, hasil ini jauh lebih kompatibel atau homogen. Dalam hal ini butir-butir lignin telah larut dengan pelarut yang digunakan, sehingga sifat mekaniknya jauh lebih baik dari poliuretan yang disintesis tanpa menggunakan pelarut.

Hasil penelitian sebelumnya, Sihotang, S.H. (2013) juga menghasilkan foto SEM poliuretan yang dihasilkan dari campuran lignin isolat dari serbuk kayu jati, polietilen glikol(PEG), dan TDI yang menunjukkan bahwa permukaan poliuretan yang dihasilkan masih kurang merata akibat masih adanya lignin yang tidak mengalami destrukturisasi selama reaksi polimerisasi yang diakibatkan sintesis poliuretan yang dilakukan tanpa menggunakan pelarut.


(55)

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Dari penelitian dan analisa yang dilakukan maka diperoleh:

1. Lignin isolat yang diperoleh memiliki rendemen 27,5% dan kadar kemurnian lignin sebesar 74 %, lignin isolat telah dapat digunakan sebagai sumber poliol alternatif yang baik, hasil analisa gugus fungsi dengan FT-IR menunjukkan bilangan gelombang 3448,72 cm-1 yang merupakan serapan gugus fungsi OH. 2. Perbandingan Lignin Isolat-Polipropilen Glikol 4:6 memiliki sifat mekanik

yang paling baik dengan kekuatan tarikyaitu 0,493 MPa dan nilai kemuluran 12,337%.

3. Hasil analisa gugus fungsi poliuretan dengan FT-IR menunjukkan spektrum yang sesuai, terutama pada bilangan gelombang 3410,15 cm-1 merupakan serapan puncak gugus N-H, 2345,44 cm-1 merupakan puncak C=O dari NCO, daerah 1226,73 cm-1 merupakan puncak serapan C-N, 1072,42 cm-1 merupakan deformasi gugus C-O. Hal ini menunjukkan terbentuknya gugus uretan dari poliuretan.

4. Hasil analisa termal poliuretan dengan Thermogravimetry Analysis (TGA) menunjukkan bahwa pada suhu 400oC kehilangan massa tidak kurang dari 50%. Hal ini menunjukkan bahwa poliuretan yang dihasilkan memiliki kestabilan termal yang baik.

5. Hasil analisa morfologi poliuretan dengan Scanning Electron Microscopy

(SEM), menunjukkan permukaan yang hampir merata. Hal ini ditandai dengan

menyatunya komponen-komponen lignin isolat, PPG, dan TDI sebagai penyusun poliuretan dengan menunjukkan hasil yang kompatibel.


(56)

5.2. Saran

1. Diharapkan penelitian selanjutnya melakukan pembuatan poliuretan dengan menggunakan bahan-bahan poliol alami lainnya seperti vegetable oil dan soybean oil

2. Diharapkan penelitian selanjutnya melakukan analisa dengan XRD untuk mengetahui sifat kristalinitas dari poliuretan

3. Diharapkan penelitian selanjutnya untuk melakukan metode lain pada proses isolasi lignin dengan menggunakan pelarut organik atau anorganik lain sebagai pengganti asam sulfat agar tidak merubah warna dari lignin


(57)

DAFTAR PUSTAKA

Billmeyer, F.W. 1984. Textbook of Polymer Science. Third Edition. New York: John Wiley and Sons

Cowd, M.A. 1991, Kimia Polimer, Bandung : Institut Teknologi Bandung

Creswell, J.C.; Runquist, O.A.; Campbell,M.M. 1982. Analisis Spektrum Senyawa Organik. Bandung: Penerbit ITB Bandung

Damat. 1989. Isolasi Lignin dari Larutan Sisa Pemasak Pabrik Pulp dengan menggunakan H2SO4 dan HCl. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, IPB.

Desyanti, 2000. Pemanfaatan Kayu Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Sebagai Inti Papan Blok. Institut Pertanian Bogor

Direktorat Pengolahan Hasil Pertanian. 2006. Pedoman Pengelolaan Limbah Indusri Kelapa Sawit. Departemen Pertanian. Jakarta

Dumanauw ,J.F., 1992. Mengenal Kayu. Semarang: Penerbit Kanisius

Eceiza, A., Larranaga, M., De la caba, K., Kortaberria, G., Marieta, C., Corcuera, M.A., Mondragon, I. 2008. Structure-Property Relationships of Thermoplastic Polyurethane Elastomers Based on Polycarbonate Diols. Spain : Journal of Applied Polymer Science, Vol. 108, 3092–3103 (2008)

Fauzi, I.Y., 2003. Kelapa Sawit. Jakarta: Penebar Swadaya

Feldman, D., Wang, J., Manley, R.S.J. 1992. Synthetic Polymer- Lignin Copolymers and Blends. Great Britain. Pergamon Press Ltd. Prog.Polym.Sci., Vol.7, 611-646 (1992)

Fengel, D and Wegener, G. 1995. Wood: Chemistry, Ultrastructure,reactions. Berlin-N.Y. Walterde Gruyter.

Galbraith, C.J, and Newman, W.H. 1992. Reaction Mechanism and Effect with MDI Isocyanate Binders for Wood Composites. Proceedings of the Pacific Rim Bio-based Composites Symposium.Rotorua New Zealand.

Glasser, W.G. 1985. Fundamentals Of Thermochemical Biomass Convertion. New York and London. Elsevier Applied Science Publisher


(1)

Lampiran 14

Gambar: Data Uji Sifat Mekanik Poliuretan dengan Perbandingan Poliol 0:10


(2)

Lampiran 15


(3)

Lampiran 16

Gambar: Data Uji Sifat Mekanik Poliuretan dengan Perbandingan Poliol 4:6


(4)

Lampiran 17


(5)

Lampiran 18

Gambar: Data Uji Sifat Mekanik Poliuretan dengan Perbandingan Poliol 8:2


(6)

Lampiran 19