Quality and nutritional evaluation on fish nugget of dark flesh tuna, Thunnus sp

(1)

EPI ROSPIATI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Evaluasi Mutu dan Nilai Gizi Nugget Daging Merah Ikan Tuna (Thunnus spp) adalah karya saya sendiri di bawah bimbingan Prof. DR. Ir. Deddy Muchtadi, Prof. DR. Ir. Made Astawan dan Ir. Santoso, Mphil dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada pergurua n tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Nopember 2006

Epi Rospiati


(3)

Flesh Tuna, Thunnus sp. Supervised by DEDDY MUCHTADI, MADE ASTAWAN and SANTOSO.

Dark flesh tuna is a kind of rejected flesh in processing and canning of tuna flesh because it is easy to be rancid and changed in color. The objectives of this research were : 1) to determine an effective concentration of Titanium dioxide

(TiO2) in bleaching the color of dark flesh tuna, 2) to evaluate and compare the

quality of fish nugget from both dark flesh which was bleached by TiO2 and white

flesh, and 3) to evaluate biological quality of fish nugget protein wich were stored in frozen temperature during 0, 1 and 2 months. Raw materials used, were as follows : dark and white flesh were collected from PT ISAAP BONECOM in Jakarta, TiO2 proanalysis as bleaching agent, and 21 to 23 days old Spraque

Dawley (SD) male rat for in vivo analysis. Nuggets were made by using BBPPHP (Balai Besar Pengembangan dan Pengendalian Hasil Perikanan) methods (2003). Parameters observed were degree of whiteness of the nugget, organoleptic test

(different test), proximate analysis (protein, fat, water and ash), nugget quality

(TVN ,TPC and TBA), and nutritiona l values of protein (digestibility, biological

value and NPU). The results of organoleptic on score of color of the nugget in concentration of TiO2 1 % were not significantly differ with control (white flesh

tuna). The score of texture of dark flesh nugget in all treatments with several concentration of TiO2 and withoutTiO2 were significantly differ from the control

(flesh white tuna). The average values of the aroma of dark flesh nugget using several treatments of TiO2 were not significantly differ from the control except

for the treatments without TiO2. The score of taste of dark flesh nuggets using

several treatment of TiO2 were not significantly differ from the control. Protein

content of nugget made of dark flesh tuna in storage duration 0, 1, and 2 months were: 42.0, 37.9 and 34.5 % respectively; fat content: 40.0, 30.4 dan 22.9 % respectively; water content: 70.5, 68.9 and 67.5 % respectively; ash content: 4.5, 4.2 and 4.0 % ; and Total Volatile Nitrogen (TVN): 7.1, 7.4 and 7.7 mgN/100g. The TVN content were still below maximum standard TVN value for fish-based food. Total Plate Count (TPC) : 5.3 x 103, 7.0 x 103 and 7.2 x 103 CFU/g which were still below the BSN standard and TBA content: 0.4, 0.4 and 0.6 malonaldehyde/kg. On the basis of nutritional protein evaluation of the nugget (in vivo) in different frozen storages (0, 1 and 2 months), digestibility values found were: 98.5, 98.1 and 96.8 %, respectively. Biological value: 92.1, 93.1 and 96.8, respectively. NPU were: 90.7, 91.3 and 95.1, respectively. These indicated that the protein quality the nugget made from dark flesh was good.


(4)

Tuna (Thunnus sp). Dibimbing oleh DEDDY MUCHTADI, MADE ASTAWAN and SANTOSO.

Daging merah tuna merupakan limbah pada pengolahan dan pengalengan tuna beku karena daging ini cepat mengalami ketengikan dan perubahan warna yang tidak diinginkan. Tujuan peneltian ini adalah 1) menentukan konsentrasi

titanium dioksida (TiO2) yang efektif sebagai pemucat warna merah daging tuna,

2) mengevaluasi mutu nugget ikan daging merah tuna yang dipucatkan dengan TiO2 dibandingkan dengan mutu nugget daging putih tuna, dan 3) mengevaluasi

nilai gizi protein nugget ikan tuna yang disimpan pada suhu beku selama 0, 1 dan 2 bulan. Bahan yang digunakan adalah daging merah dan putih ikan tuna yang diperoleh dari PT ISAAP BONECOM, bahan pemucat TiO2 proanalisis serta tik us

jenis Spraque Dawley (SD) jantan usia sapih 21 – 23 hari untuk analisis nilai gizi protein secara in vivo. Nugget dibuat berdasarkan Metode BBPPHP (Ba lai Besar Pengembangan dan Pengendalian Hasil Perikanan) (2003). Parameter yang diamati : derajat put ih nugget, uji organoleptik different test, proksimat (protein, lemak, air dan abu), kualitas nugget (TVN, TPC, TBA) dan nilai gizi protein (daya cerna, nilai biologis dan NPU). Hasil pengujian organoleptik (different test) terhadap skor warna nugget menunjukkanpenambahan TiO2 1 % tidak berbeda

nyata dengan kontrol (daging putih tuna). Skor tekstur nugget daging merah tuna pada berbagai penambahan TiO2 dan tanpa TiO2 berbeda nyata dengan

kontrol. Skor aromanugget daging merah tuna pada berbagai penambahan TiO2

tidak berbeda nyata dengan kontrol kecuali pada tanpa penambahan TiO2. Skor

rasanugget daging merah tuna pada berbagai penambahan TiO2 dan tanpa TiO2

tidak berbeda nyata dengan kontrol. Kadar protein nugget daging merah tuna penyimpanan 0, 1 dan 2 bulan adalah : 42,0 ; 37,9 dan 34,1 %, kadar lemak : 40,0 ; 30,4 dan 22,9 %, kadar air : 70,5 ; 68,9 dan 67,5 %, kadar abu : 4,5 ; 4,2 dan 4.0 %, kadar TVN : 7,1 ; 7,4 dan 7,7 mgN/100 g masih di bawah standar maksimum nilai TVN untuk makanan yang berasal dari ikan. Jumlah TPC : 5,3 x 103 ; 7,0 x103 dan 7,2 x103 CFU/g masih di bawah standar BSN dan kadar TBA: 0,4, 0,4 dan 0,6 malonaldehid/kg. Evaluasi mutu protein secara in vivo pada perlakuan nugget daging merah dengan penyimpanan beku 0, 1 dan 2 bulan diperoleh nilai daya cerna : 98,5, 98,1 dan 96,8 %. Nilai biologis : 92,1 ; 93,1 dan 96,8 dan NPU : 90,7, 91,3 dan 95,1. Hal tersebut menunjukkan bahwa protein produk nugget daging merah tuna mempunyai mutu yang baik.

Kata-kata kunci : Nugget ikan, Titanium dioksida, daging merah tuna, nilai biologis


(5)

EPI ROSPIATI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2006


(6)

Nama : Epi Rospiati

NRP : F251030021

Disetujui, Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Deddy Muchtadi, MS Ketua

Prof. Dr. Ir. Made Astawan, MS Ir. Santoso, M.Phil Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu Pangan Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof.Dr.Ir. Betty Sri Laksmi Jenie, MS Prof.Dr.Ir. Khairil A. Notodiputro, MS


(7)

ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli 2005 sampai April 2006 ini ialah ikan tuna, dengan judul Evaluasi Mutu dan Nilai Gizi Nugget Daging Merah Ikan Tuna (Thunnus sp).

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Deddy Muchtadi, MS, Prof. Dr. Ir. Made Astawan, MS dan Ir, Santoso, M.Phil selaku pembimbing yang telah meluangkan waktunya dalam mengarahkan penulis selama penyusunan karya ilmiah ini.

Pada kesempatan ini pula, penulis ingin menyampaikan terima kasih pula kepada berbagai pihak yang telah membantu dan mendukung :

1. Kepada orang tua saya, ibunda N.K. Roslyani serta kedua mertua atas doa dan kasih sayangnya selama ini.

2. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi DIKNAS atas BPPS yang diberikan selama kuliah di IPB.

3. Rektor IPB yang telah berkenan menerima saya sebagai mahasiswa Pascasarajana IPB.

4. Dekan Pascasarjana beserta staf atas bantuan pelayanan akademik dan kerjasamanya yang diberikan selama ini. Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Ketua Program Studi Ilmu Pangan Prof. Dr. Ir. Betty Sri Laksmi Jenie, MS beserta staf atas perhatian dan kerjasamanya. 5. Direktur Politeknik Pertanian Negeri Pangkejene Kepulauan Bapak Ir.

Zainal Abidin Musa, DR. Ir. Jayadi, MS serta ketua Jurusan TPHP bapak Ir. Tasir Pammula, atas izin dan bantuan yang diberikan selama ini.

6. Pemerintah Daerah (PEM DA) Propinsi Sulawesi Selatan atas bantuan penelitian yang diberikan.

7. Kepala Balai Besar Pengembangan dan Pengendalian Hasil Perikanan beserta staf pengolahan dan staf lab kimia atas bantuan fasilitas ya ng disediakan selama penelitian

8. Direktur PT. ISAAP BONECOM Jakarta beserta staf atas kesediaannya membantu menyediakan daging merah tuna selama penelitian.


(8)

10.Kepada Mahasiswa IPN S2 dan S3 angkatan 2003 (Anuraga, Reni, Herpandi, Cut, Rina, Nora, Ahmad, mbak Widowati, dan mbak Susi) mahasiswa TPP angkatan 2004 (Ismael, Yanie, mbak Rina, Astri, Adnan) serta teman-teman lainnya atas segala bantuan dan kerjasamanya selama ini

11.Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada : suami (Muhammad Jamal) kedua anak saya (Muh. Fauzan Syahbani dan Fathonah Annisa), Adik-adikku (Lia Rosiana sek, Hera Indryana sek , Ari Rifayandi sek, Elin Arlyni sek, dan Ade Tirtana) dan seluruh keluarga, atas segala doa, bantuan dan kasih sayangnya selama ini.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat, Amin.

Bogor, Nopember 2006


(9)

Penulis dilahirkan di Bone Sulawesi Selatan pada tanggal 20 Agustus 1966 dari ayah Supian Busra (Mayor Purn AD) dan ibu Ninin Karmini Roslyani. Penulis putri pertama dari enam bersaudara. Pendidikan sarjana ditempuh di jurusan Perikanan, Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin, Makassar, lulus tahun 1990. Pada tahun 2003, penulis diterima di program studi Ilmu Pangan pada Sekolah Pascasarjana IPB dengan beasiswa pendidikan diperoleh dari BPPS Departemen Pendidikan Nasional.

Penulis bekerja sebagai dosen di Politeknik Pertanian Negeri Pangkajene Kepulauan Jurusan Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan (TPHP) sejak tahun 1998. Pada tahun 1991 penulis menikah dengan Ir. Muhammad Jamal, M.Si dan telah dikaruniai 2 orang anak Muhammad Fauzan Syahbani dan Fathonah Annisa.


(10)

Halaman

PRAKATA ... i

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

1 PENDAHULUAN ... 1

A. LATAR BELAKANG ... 1

B. TUJUAN PENELITIAN ... 2

C. PERUMUSAN MASALAH ... 3

D. HIPOTESIS ... 3

E. KEGUNAAN ... 4

2 TINJAUAN PUSTAKA ... 5

A. TUNA ... 5

B. DAGING MERAH IKAN TUNA ... 8

C. TITANIUM DIOKSIDA ... 9

D. KANDUNGAN PIGMEN ... 11

E. KOMPOSISI DAGING IKAN ... 13

F. NUGGET IKAN (FISH NUGGET) ... 16

G. HISTAMIN DAN MUTU IKAN TUNA ... 19

H. PEMBEKUAN ... 20

3 METODE PENELITIAN ... 24

A. WAKTU DAN TEMPAT ... 24

B. BAHAN DAN ALAT ... 24

C. PROSEDUR PENELITIAN ... 25

D. ANALISIS SAMPEL ... 32


(11)

A. PENELITIAN PENDAHULUAN ... 42

1. Derajat putih ... 42

2. Uji Organoleptik Nugget Daging Merah dan Daging Putih Tuna ... 43

3. Konsentasi Titanium Dioksida terhadap kadar protein nugget ... 46

B. PENELITIAN LANJUTAN 1 ... 47

1. Protein nugget ... 48

2. Lemak nugget ... 49

3. Kadar air ... 52

4. Kadar abu ... 53

5. pH Nugget Daging Merah... 54

6. Kadar TVN (Total Volatil Nitrogen) ... 55

7. Nilai TPC ( Total Plate Count) ……….. 56

8. Nilai Bilangan Peroksida ……….... 57

9. Kadar TBA (Thiobarbaituric Acid) ... 59

10. Kadar Histamin ... 61

C. PENELITIAN LANJUTAN 2 ... 63

1. Formulasi Ransum ... 63

2. Perkembangan Berat Badan, Jumlah Konsumsi Ransum dan Efisiensi Ransum Tikus Selama Percobaan ... 64

3. Evaluasi Mutu ProteinSecara in vivo... 69

5 KESIMPULAN DAN SARAN ... 73

A. KESIMPULAN ... 73

B. SARAN ... 74

DAFTAR PUSTAKA ... 75


(12)

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Komposisi Nilai Gizi Beberapa Nilai Gizi Ikan Tuna (Thunnus sp)

per 100 g Daging ... 7

2. Produksi Ikan Tuna Tahun 1989 - 1998 ... 7

3. Formulasi Bumbu Nugget Ikan per 100 g Daging Ikan ... 18

4. Komposisi Bahan Pengikat Nugget per 100 g Daging Ikan ... 18

5. Komposisi Ransum yang Dianjurkan untuk Penetapan PER ... 40

6. Skor rata-rata hasil uji organoleptik produk nugget daging merah dibandingkan nugget daging putih ... 44

7. Nilai TPC nugget daging merah Tuna ... 57

8. Rekapitulasi analisis proksimat Kasein, Tepung nugget daging putih, Tepung nugget daging merah tuna penyimpanan 0 bulan , Tepung nugget daging merah tuna penyimpanan 1 bulan dan Tepung nugget daging merah tuna penyimpanan 2 bulan ... 63

9. Komposisi bahan untuk pembuatan ransum 100 g ... 64

10. Pengaruh perlakuan terhadap pertambahan berat badan tikus, jumlah konsumsi ransum dan efisiensi ransum ... 65

11. Daya cerna, Nilai Biologis dan Net Protein Utilization tepung nugget daging putih dan daging merah dibandingkan dengan kasein ... 69


(13)

DAFTAR GAMBAR

. Halaman

1. Bentuk Tubuh Beberapa Spesies Ikan Tuna ... 6

2. Letak daging merah pada jenis ikan tuna ... 8

3. Pembagian daging merah tuna berdasarkan lapisan lemak ... 8

4. a. Kristal rutile, b. Kristal anatase dan c. Kristal brookite ... 10

5. Sistem Kristal Titanium Dioksida (TiO2) ... 10

6. Struktur molekul myoglobin ... 11

7. Struktur molekul heme ... 12

8. Struktur Tunaxanhtin dan ß – karoten ... 13

9 Tikus Sparaque Dawley (SD) jantan yang digunakan ... 24

10. Cara pembuatan nugget tuna ... 27

11. Kandang metabolik dan wadah penampung urin dan feses tikus ... 30

12. Prosedur Penelitian ... 31

13. Nilaiderajat putih nugget daging merah tuna ... 42

14. Kadar protein nugget pada berbagai konsentrasi TiO2 ... 47

15 Kadar protein nugget daging merah tuna ... 48

16. Kadar lemak nugget daging merah tuna ... 50

17. Kadar air nugget daging merah tuna ... 52

18. Kadar abu nugget daging merah tuna ... 53

19. Nilai pH nugget daging merah tuna ... 55


(14)

23. Kadar Histamin nugget daging merah tuna ... 61

24 . Tepung nugget daging putih tuna (DP), tepung daging merah tuna penyimpanan nol bulan (B0), tepung daging merah tuna penyimpanan satu bulan (B1) dan tepung daging merah tuna


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Contoh format uji pembedaan : Difference from control test ...…………. 81

2. Hasil analisis sidik ragam derajat putih …... 82

3. Uji Lanjut Tukey derajat putih ... 82

4. Uji pembanding warna nugget daging merah tuna ... 83

5. Uji pembanding aroma nugget daging merah tuna ... 84

6. Uji pembanding rasa nugget daging merah tuna... 85

7. Uji pembanding tekstur nugget daging merah tuna ... 86

8. Hasil analisis sidik ragam kadar protein nugget terhadap TiO2 ... 87

9. Hasil analisis sidik ragam kadar protein nugget ... 87

10. Hasil uji beda Tukey rata-rata kadar protein nugget ... 87

11. Hasil analisis sidik ragam kadar lemak nugget ... 88

12. Hasil uji beda Tukey rata-rata kadar lemak nugget ... 88

13. Hasil analisis sidik ragam kadar air nugget ... 88

14. Hasil uji beda Tukey rata-rata kadar air nugget ... 88

15. Hasil analisis sidik ragam kadar abu nugget ... 89

16. Hasil uji beda Tukey rata-rata kadar abu nugget ... 89

17. Hasil analisis sidik ragam pH nugget ... 89

18. Hasil analisis sidik ragam TVN nugge t... 90

19. Hasil uji beda Tukey rata-rata TVN nugget ... 90

20. Hasil analisis sidik ragam TPC nugget ... 90


(16)

24. Hasil uji beda Tukey rata-rata TBA nugget ... 91

25. Hasil analisis sidik ragam Nilai Histamin nugget ... 92

26. Hasil uji beda Tukey rata-rata Nilai Histamin nugget ... 92

27. Hasil analisis sidik ragam pertambahan berat badan tikus ... 92

28. Hasil uji beda Tukey rata-rata pertambahan berat badan tikus ... 92

29. Hasil analisis sidik ragam efisiensi ransum tikus ... 93

30. Hasil uji beda Tukey rata-rata efisiensi ransum tikus ... 93

31. Hasil analisis sidik ragam konsumsi ransum tikus ... 93

32. Hasil uji beda Tukey rata-rata konsumsi ransum tikus ... 93

33. Hasil analisis sidik ragam Daya Cerna (DC) sejati protein ... 94

34. Hasil uji beda Tukey rata-rata Daya Cerna (DC) sejati protein ... 94

35. Hasil analisis sidik ragam Nilai Biologis (NB) tikus ... 94

36. Hasil uji beda Tukey rata-rata Nilai Biologis (NB) tikus ... 94

37. Hasil analisis sidik ragam Nilai Protein Utilization (NPU) tikus ... 95

38. Hasil uji beda Tukey rata-rata Nilai Protein Utilization (NPU) tikus ... 95

39. Hasil perhitungan daya cerna, nilai biologis dan Net Protein Utilization pada tikus ... 96


(17)

A. LATAR BELAKANG

Indonesia yang tiga perempat wilayahnya berupa laut (5,8 juta km2) dan merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki potensi lestari (maximum sustainable yield) ikan laut seluruhnya 6,4 juta ton/tahun atau sekitar 7 % dari total potensi lestari ikan laut dunia. Artinya jika kita dapat mengendalikan tingkat penangkapan ikan laut lebih kecil dari 6,4 juta ton/tahun maka kegiatan usaha perikanan tangkap semestinya dapat berlangsung secara lestari (Dahuri, 2004).

Dalam dua puluh lima tahun terakhir banyak sekali penemuan ilmiah dari para ahli gizi dan kesehatan dunia yang membuktikan bahwa ikan dan jenis

seafood lainnya sangat baik untuk kesehatan serta kecerdasan manusia (Dahuri, 2004). Ikan (seafood) rata-rata mengandung 20 % protein yang mudah dicerna dengan komposisi asam amino esensial yang seimbang. Ikan juga mengandung omega 3 yang sangat penting bagi perkembangan jaringan otak, mencegah terjadinya penyakit jantung, stroke dan darah tinggi. Lebih dari itu omega 3 juga dapat mencegah penyakit inflamasi seperti arthritis, asma, colitis, dermatitis serta psoriasis, beberapa jenis penyakit ginjal dan memb antu penyembuhan penyakit depresi, skizofrenia serta gejala hiperaktif pada anak-anak (Dahuri, 2004 dan Astawan, 2004).

Pemanfaatan limbah perikanan berupa kepala ikan, sirip, tulang, kulit dan daging merah telah digunakan dalam beberapa hal, yaitu berupa daging lumat (minced fish) untuk bahan pembuatan produk-produk gel ikan seperti bakso, sosis, nugge t dan lain- lain. Selain itu dapat dibuat tepung, konsentrat, hidrolisat dan isolat protein ikan. Sebagai pakan ternak, ikan dapat diolah menjadi tepung, bubur dan larutan- larutan komponen ikan (Moeljanto, 1979).

Dibandingkan dengan nilai gizi daging hewan darat, misalnya daging sapi, kedudukan ikan boleh dikatakan jauh lebih tinggi. Sedangkan dibandingkan dengan telur kedudukan ikan sebagai bahan pangan juga tidak jauh berbeda. Protein ikan mempunyai nilai biologis tinggi. Meskipun tiap jenis ikan angka biologisnya berbeda tetapi umumnya sekitar 90. Derajat penerimaan seseorang terhadap ikan sangat tinggi. Hal ini karena ikan memberikan rasa yang khas yaitu


(18)

gurih, warna dagingnya kebanyakan putih, jaringan pengikatnya halus sehingga

jika dimakan terasa enak (Hadiwiyoto, 1993). Daging merah yang selama ini merupakan limbah bagi industri pengalengan tuna karena lemaknya yang tinggi dan proteinnya yang kurang, dapat dimanfaatkan dengan pengolahan yaitu mengkonversi menjadi produk yang lebih diminati.

Produk olahan hasil perikanan begitu marak di pasaran untuk memenuhi kebutuhan protein bagi masyarakat. Hal ini disebabkan oleh kehidupan modern yang serba sibuk dan banyak menyita waktu. Contoh produk olahan hasil perikanan yang siap saji adalah otak-otak ikan, bakso ikan, fish nugget, fishfinger, fish burger dan sebagainya. Produk olahan tersebut memiliki nilai gizi yang sangat dibutuhkan oleh konsumen.

Nugget ikan merupakan salah satu makanan baru, dibuat dari daging giling dengan penambahan bumbu-bumbu dan dicetak, kemudian dilumuri dengan pelapis (coating dan breading) yang dilanj utkan dengan penggorengan. Pada dasarnya nugget ikan mirip dengan nugget ayam, perbedaannya terletak pada bahan baku yang digunakan (Aswar, 1995). Nugget hasil olahan diharapkan memiliki citarasa yang enak, aman dan memenuhi kebutuhan zat gizi (Labuza, 1982), sehingga penting mengetahui perubahan mutu yang terjadi selama penyimpanan.

Pemucatan dengan bahan pemucat titanium dioksida (TiO2) biasa

digunakan sebagai bahan tambahan untuk pemucat. Pemucatan dengan TiO2 ini

tidak menurunkan nilai gizi protein. Diharapkan proses pemucatan terhadap daging merah ikan tuna dengan menggunakan TiO2 dapat meningkatkan nilai

organoleptik dan pemenuhan nilai gizi protein pada produk siap saji berupa nugget ikan. Sehingga daging merah tidak lagi merupakan limbah bagi pengalengan ikan tuna, tapi merupakan suatu bahan baku untuk diversifikasi produk protein hewani yang siap saji.

B. TUJUAN PENELITIAN Tujuan penelitian ini adalah:

1. Menentukan konsentrasi titanium dioksida (TiO2) yang efektif dalam


(19)

2. Menge valuasi mutu nugget ikan tuna yang terbuat dari daging merah yang

dipucatkan dengan TiO2 dibandingkan dengan nugget dari daging putih

tuna

3. Mengevaluasi nilai gizi protein nugget ikan yang disimpan pada suhu beku selama 0, 1 dan 2 bulan

C. PERUMUSAN MASALAH

Daging merah pada ikan tuna tidak disukai karena menimbulkan rasa pahit dan memiliki kadar lemak lebih tinggi (5,60 % bb atau 18,43 % bk) tetapi kadar protein lebih rendah dibandingkan daging putih (Hendriawan, 2002). Kadar lemak yang tinggi menyebabkan daging merah mudah teroksidasi, cepat mengalami proses penururan mutu dan berbau tengik sehingga biasanya dibuang dalam proses pengalengan ikan.

Daging merah tuna merupakan limbah dalam proses pengalengan tuna dan industri pembekuan tuna untuk ekspor yaitu tuna loin, biasanya limbah ini dimanfaatkan untuk pakan ternak. Pusparani (2003) mengatakan bahwa limbah potensial ini belum dimanfaatkan secara optimal.

Dilihat dari nilai gizinya, daging ini masih dapat dikonsumsi serta dapat dimanfaatkan untuk produk olahan yang memerlukan penanganan dan pengolahan agar rasa pahit dapat dikurangi serta menghambat proses ketengikan. Adapun proses penanganan daging merah ini yaitu dengan proses bleaching (pemucatan) dan pengolahannya dengan pembuatan nugget ikan dengan penyimpanan beku. Diharapkan hasil pemucatan tersebut dapat meningkatkan nilai organoleptik, menghilangkan rasa pahit dan me ncegah ketengikan serta tidak mengurangi nilai gizi protein.

D. HIPOTESIS

a. Perlakuan penambahan titanium dioksida (TiO2) berpengaruh terhadap

derajat putih daging merah tuna yang dipucatkan

b. Penambahan TiO2 berpengaruh terhadap komposisi kimia (protein, lemak,


(20)

c. Penyimpanan beku berpengaruh terhadap nilai gizi protein nugget daging

merah tuna yang dipucatkan E. KEGUNAAN

Kegunaan hasil penelitian ini yaitu :

• Memanfaatkan daging merah dari limbah pengalengan tuna menjadi


(21)

A. TUNA

Ikan tuna termasuk dalam keluarga Scombroidae, tubuhnya seperti cerutu. mempunyai dua sirip pungung, sirip depan yang biasanya pendek dan terpisah dari sirip belakang. Mempunyai jari-jari sirip tambahan (finlet) di belakang sirip punggung dan sirip dubur. Sirip dada terletak agak ke atas, sirip perut kecil, sirip ekor bercagak agak ke dalam dengan jari-jari penyokong menutup seluruh ujung hipural. Tubuh ikan tuna tertutup oleh sisik-sisik kecil, berwarna biru tua dan agak gelap pada bagian atas tubuhnya, sebagian besar memiliki sirip tambahan yang berwarna kuning cerah dengan pinggiran berwarna gelap (Ditjen Perikanan, 1983)

Menurut Saanin (1984), klasisifikasi ikan tuna adalah sebagai berikut : Phylum : Chordata

Sub phylum : Vertebrata Thunnus Class : Teleostei

Sub Class : Actinopterygii Ordo : Perciformes

Sub ordo : Scombroidae Genus : Thunnus

Species : Thunnus alalunga (Albacore)

Thunnus albacores (Yellowfin Tuna)

Thunnus macoyii (Southtern Bluefin Tuna)

Thunnus obesus (Big eye Tuna) Thunnus tongkol (Longtail Tuna)

Tuna termasuk perenang cepat dan terkuat di antara ikan- ikan yang berangka tulang. Penyebaran ikan tuna mulai dari laut merah, laut India, Malaysia, Indonesia dan sekitarnya. Juga terdapat di laut daerah tropis dan daerah beriklim sedang (Djuhanda, 1981). Adapun bentuk tubuh beberapa species ikan tuna dapat dilihat pada Gambar 1.


(22)

Gambar 1 Bentuk tubuh beberapa spesies ikan tuna 1. Tongkol (Euthynnus affinis) 2. Mata besar (Thunnus obesus)

3. Tuna sirip biru (Thunnus maccoyii) 4. Madidihang (Thunnus albacores) 5. Albacor (Thunnus alalunga) 6. Cakalang (Katsuwonus pelamis)


(23)

Ikan tuna adalah jenis ikan dengan kandungan protein yang tinggi dan lemak yang rendah. Ikan tuna mengandung protein antara 22,6 - 26,2 g/100 g daging. Lemak antara 0,2 - 2,7 g/100 g daging. Di samping itu ikan tuna mengandung mineral kalsium, fosfor, besi dan sodium, vitamin A (retinol), dan vitamin B (thiamin, riboflavin dan niasin) Departemen of Health Education and Walfare (1972 yang diacu Maghfiroh, 2000). Komposisi nilai gizi beberapa jenis ikan tuna dapat dilihat dalam Tabel 1 dan produksi ikan tuna di Indonesia disajikan dalam Tabel 2.

Tabel 1 Komposis i nilai gizi beberapa jenis ikan tuna (Thunnus sp) per 100 g daging

Jenis Ikan Tuna Komposisi

Bluefin Skipjack Yellowfin Satuan

Energi 121,0 131,0 105,0 Kal

Protein 22,6 26,2 24,1 g

Lemak 2,7 2,1 0,1 g

Abu 1,2 1,3 1,2 g

Kalsium 8,0 8,0 9,0 mg

Fosfor 190,0 220,0 220,0 mg

Besi 2,7 4,0 1,1 mg

Sodium 90,0 52,0 78,0 mg

Retinol 10,0 10,0 5,0 mg

Thiamin 0,1 0,03 0,1 mg

Riboflavin 0,06 0,15 0,1 mg

Niasin 10,0 18,0 12,0 mg

Sumber : Departement of Health, Education and Walfare (1972 yang diacu

Maghfiroh, 2000)

Tabel 2 Produksi ikan tuna tahun 1992- 2001

Tahun Produksi (ton)

1992 90.451

1993 76.650

1994 89.330

1995 101.688

1996 115.549

1997 116.214

1998 168.122

1999 136.474

2000 163.241

2001 153.110


(24)

B. DAGING MERAH IKAN TUNA

Secara umum bagian ikan yang dapat dimakan (edible portion) berkisar antara 45 – 50 % dari tubuh ikan (Suzuki, 1981). Untuk kelompok ikan tuna, bagian ikan yang dapat dimakan berkisar antara 50 – 60 % (Stanby, 1963). Kadar protein daging putih ikan tuna lebih tinggi dari pada daging merahnya. Namun sebaliknya kadar lemak daging putih ikan tuna lebih rendah dari daging merahnya. Pembagian daging merah ikan tuna dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Letak daging merah pada jenis ikan tuna (http://www.jakartafishport.com/ikan-tuna.jpg)

Daging merah tuna dapat dibedakan berdasarkan lapisan lemaknya yaitu

otoro, chutoro dan akami (Gambar 3). Otoro terdapat pada bagian perut bawah, berwarna lebih terang karena lebih banyak mengandung lemak dan lebih mahal dibandingkan chutoro.


(25)

Daging merah ikan adalah lapisan daging ikan yang berpigmen kemerahan sepanjang tubuh ikan di bawah kulit tubuh. Jumlah daging merah bervariasi mulai kurang dari 1 – 2 % pada ikan yang tidak berlemak hingga 20 % pada ikan yang berlemak. Diameter sel atau jaringan otot pada daging merah lebih kecil (Okada, 1990). Daging merah kaya akan lemak, suplai oksigen dan mengandung mioglobin. Daging merah pada ikan pelagis memungkinkan jenis ikan ini berenang pada kecepatan yang tetap untuk memperoleh makanan dan untuk bermigrasi (Learson dan Kaylor, 1990).

Okada (1990) menyatakan bahwa daging merah mengandung mioglobin dan hemoglobin yang bersifat prooksidan serta kaya akan lemak. Warna merah pada daging ikan disebabkan kandungan hemoproteinnya tinggi yang tersusun atas protein moiety, globin dan struktur heme. Di antara hemoprotein yang ada, mioglobin adalah hemoprotein yang terbanyak. Lebih 80 % hemoprotein pada daging merah adalah mioglobin dan hemoglobin. Kandungan mioglobin pada daging merah ikan tuna dapat lebih dari 3.500 mg/100 g (Watanabe, 1990). Hal ini yang menyebabkan mudahnya terjadi ketengikan pada daging merah ikan tuna (Okada, 1990).

C. TITANIUM DIOKSIDA (TiO2)

Sebelum dikenal sebagai semikonduktor tipe- n yang memiliki celah energi relatif lebar dengan sifat super hidrofilik ketika terkena cahaya, TiO2 dikenal

sebagai senyawa dioksida berwarna putih yang tahan karat dan tidak beracun. Karena sifatnya ini TiO2 telah lama digunakan sebagai bahan pemberi warna

(pigmen) putih pada makanan maupun produk kosmetik. Dalam bentuk mikroskopis, TiO2 diketahui memiliki dua bentuk utama yaitu kristal dan amorf

(Gunlazuardi, 2001 yang diacu Sudana, 2003).

Konfigurasi elektron atom titanium (22Ti) ialah 1s2 2s2 2p6 3s2 3p6 4s2 3d2

sementara atom oksigen (8O) yaitu 1s2 2s2 2p4. Secara sederhana orbital molekul

TiO2 terbentuk antara ikatan kulit 3d Ti dengan kulit 2p O. Tingkat energi kulit

3d menjadi daerah konduktif molekul sedangkan kulit 2p menjadi area valensi molekul.


(26)

TiO2 amorf seperti layaknya senyawa amorf lain tidak memiliki

keteraturan susunan atom sehingga bahan tersebut tidak memiliki keteraturan pita konduksi dan valensi, akan tetapi TiO2 amorf juga dikenal memiliki kemampuan

untuk mendegradasi polutan dalam waktu yang tidak singkat. Sedangkan dalam bentuk kristal, TiO2 diketahui memiliki tiga fase kristal yang berbeda yaitu rutile,

anatase dan brookite (Gambar 4).

a b c

Gambar 4 a. Kristal rutile, b. Kristal anatase dan c. Kristal brookite

http://ruby.colorado.edu/~smyth/min/tio2.html

Rutile merupakan bentuk kristal yang paling stabil dib andingkan dua fase lainnya, oleh karena itu kristal jenis ini lebih mudah ditemukan dalam bentuk yang paling murni (biji). Anatase dikenal sebagai fase kristal yang paling reaktif terhadap cahaya, eksitasi elektron ke pita konduksi dapat dengan mudah terjadi apabila kristal ini dikenai cahaya dengan energi yang lebih besar dari pada celah energinya. Kristal ini juga dapat terbentuk akibat pemanasan TiO2 amorf pada

suhu 400oC hingga 600oC sedangkan pemanasan hingga 700oC akan menyebabkan kristal anatase bertranformasi menjadi rutile. Sedangkan brookite

merupakan jenis kristal yang paling sulit diamati karena sifatnya yang tidak mudah dimurnikan (Diebold, 2003 yang diacu Marlupi, 2003).

Molekul TiO2 dalam fase anatase atau rutile tersusun dari konfigurasi satu

ion Ti+4 dan enam ion O-2 yang membentuk konfigurasi bangun oktahedron

dengan sistem kristal tetragonal (Gambar 5).

Gambar 5 Sistem kristal Titanium dioksida (TiO2)


(27)

TiO2 paling banyak digunakan sebagai material fotokatalisis karena paling

stabil, tahan terhadap korosi, aman memiliki sifat ampifilik dan harganya relatif murah. Sifat ampifilik ditunjukkan dengan perubahan sifat permukaan TiO2 yang

super hidrofobik sebelum disinari UV menjadi super hidrofilik setelah disinari UV. Karakteristik ini dimanfaatkan dalam sistem desinfeksi, antifogging, dan self cleaning (Gunlazuardi, 2001 yang diacu Marlupi, 2003). Titanium dioksida (Pigmen White 6 C I no : 77891) biasa digunakan sebagai bahan tambahan dalam makanan (Depkes RI, 1999 dan MacDougall, 2002) dan penggunaannya tidak boleh melebihi 1%.

D. KANDUNGAN PIGMEN v Myoglobin

Perbedaan utama antara daging putih dan daging merah adalah kandungan pigmennya, dimana myoglobin menjadi pigmen utama yang terdapat pada daging merah (Winarno, 1984).

Menurut Winarno (1984), myoglobin mirip dengan hemoglobin berbentuk lebih kecil, yaitu kira-kira satu per empat bagian dari besar hemoglobin. Satu molekul myoglobin terdiri dari satu rantai polipeptida yang terdiri satu rantai polipeptida yang terdiri dari 150 buah asam amino. Gambar 6 menunjukkan struktur molekul dari myoglobin.

Keterangan : M = methyl (-CH3) V = vinyl (-CH-CH2)

P = Propinic acid (CH2CH2COOH)


(28)

Menurut Gray dan Pearson (1984), gugus heme yang terdapat dalam molekul hemoglobin sama dengan gugus heme pada myoglobin, yaitu terdiri dari porpirin yang mengandung sebuah atom besi (Fe). Struktur molekul heme dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7 Struktur molekul heme

Berdasarkan sifat fisiknya, myoglobin merupakan bagian dari protein sarkoplasma daging, bersifat larut dalam air dan larutan garam encer (Clydesdale dan Francis, 1976)

Kramlich et al (1973) menjelaskan beberapa faktor yang mempengaruhi jumlah hemoglobin dan myoglobin pada daging antara lain 1) tingkat aktivitas jaringan, (2) suplai darah, (3) tingkat kebutuhan oksigen, serta (4) umur dan species.

v Karotenoid

Karotenoid merupakan kelompok pigmen yang berwarna kuning, orange dan merah serta larut dalam minyak (Winarno, 1984). Karotenoid merupakan grup pigmen yang terdapat pada kulit, alat-alat dalam tubuh ikan dan bagian-bagian la innya dari ikan (Simpson, 1962). Selanjutnya dinyatakan bahwa, ikan tuna termasuk jenis ikan yang banyak mengandung karotenoid. Kandungan pigmen ini dapat disebabkan karena beberapa jenis ikan dapat mengkonsumsi ikan-ikan lain atau kerang-kerangan yang lebih kecil yang mengandung karotenoid.

Pigmen yang telah diisolasi dari grup ikan tuna adalah “ tunaxanthin “ dan pigmen tersebut merupakan karakterisrtik utama ikan- ikan laut pada umumnya (Simpson, 1962).


(29)

Tunaxanhtin dan ß – karoten mempunyai struktur yang mirip, terdiri dari delapan unit isoprene dan dua cincin ionon. Perbedaan terlihat pada adanya dua gugus hidroksil dan pada cincin ionon dari tunaxanthin seperti terlihat pada Gambar 7. Menurut Clydesdale dan Francis (1976), ß – karoten adalah karotenoid yang paling umum dan merupakan sumber utama bagi sintesa vitamin A pada hewan.

Gambar 8 Struktur Tunaxanhtin dan ß – karoten (Simpson, 1962)

Selanjut nya Simpson (1962) menjelaskan bahwa pengurangan intensitas warna ikan yang berdaging merah lebih mudah terjadi pada suhu pembekuan (refrigerasi) dan bebas dari cahaya. Selain itu juga homogenaisasi pada proses pengolahan ikan dapat pula mendegradasi tunaxanhtin dan ß – karoten, terutama yang terletak pada jaringan di bawah kulit dan jaringan dekat hati, sehingga bagian tersebut berubah menjadi bagian yang tidak berwarna.

Kerusakan lanjut dari karotenoid dapat disebabkan oleh faktor- faktor cahaya, adanya enzim lipoksigenase dan perlakuan pengeringan (Simpson, 1962). Kerusakan tersebut dapat berupa perubahan warna secara bertahap dan terisomerisasi.

E. KOMPOSISI DAGING IKAN v Protein

Kandungan protein ikan sangat tinggi dibandingkan denganprotein hewan lainnya, dengan asam amino esesnsial sempurna, karena hampir semua asam amino esensial terdapat pada daging ikan (Pigott dan Tucker, 1990 ). Berdasarkan lokasi terdapatnya dalam daging, yaitu protein sarkoplasma, miofibrillar dan


(30)

protein pengikat (stroma), protein pembentuk atau pembentuk enzim, koenzim dan hormon (Hadiwiyoto, 1993).

Jebsen (1983) membagi protein ikan menjadi 3 kelompok yaitu : 1), kelompok yang terdiri dari tropomiosin, aktin, miosin dan aktomiosin yang terdapat kira-kira 65 % dari total protein dan larut dalam natrium klorida netral dengan kekuatan ion lebih tinggi dari (0,50), 2) terdiri dari globin, miosin dan mioglobin yang terkandung sekitar 25 sampai 30 persen dari total protein yang diekstrak dengan larutan netral dengan kekuatan ion lebih rendah (0,15) 3), meliputi stroma protein yang terdapat kira-kira 3 persen dari protein ikan. Kelompok protein ini tidak dapat larut dalam larutan garam netral, asam encer atau alkali.

Suzuki (1981) menyatakan protein miofibrilar bersifat sedikit larut dalam air pada pH netral tetapi larut dalam larutan garam kuat. Protein miofibrilar adalah protein yang membentuk miofibril yang terdiri dari protein struktural (aktin, miosin dan aktomiosin) dan protein regulasi (troponin, tropomiosin dan aktinin). Protein miofibrilar merupakan bagian terbesar dari protein ikan, yaitu sekitar 66 – 77 % dari total protein ikan.

Pada proses pengolahan daging protein miofibrilar memegang peranan penting dalam struktur yang menentukan karakteristik produk yang diinginkan adalah miosin, Miosin adalah merupakan protein berserabut besar dengan berat molekul 500.000 dan terdapat sekitar 43 % dari total miofibrilar dalam jaringan otot (Xiong, 2000 yang diacu Nakai, 2000). Suzuki (1981) menyatakan bahwa aktivitas ATP-ase miosin dipengaruhi oleh ion K+, Mg 2+ dan Ca 2+. Pada daging yang mengalami rigor mortis aktin akan berikatan dengan miosin membentuk aktomiosin. Aktin akan terekstrak bersama-sama dengan miosin dengan adanya garam dan polifosfat.

Xiong (2000 yang diacu Nakai, 2000) menyatakan bahwa protein kolagen merupakan serabut sarkoplasma yang penting adalah mioglobin yang sangat berperan dalam warna merah pada daging. Molekul mioglobin terdiri dari dua bagian yaitu : bagian protein (globin) dan bagian nonprotein (heme). Selanjutnya dinyatakan bahwa kandungan mioglobin dalam tiap daging berbeda tergantung jenisnya.


(31)

Kolagen adalah salah satu protein stroma (jaringan pengikat) yang tersusun dari asam-asam amino penyusun protein kecuali triptofan, sistin dan sistein (Hadiwiyoto, 1993). Stanley (1999) menyatakan bahwa merupakan serabut protein yang sangat penting dalam tekstur daging yang tersusun dari asam amino glisin (30%), proline dan hydroproline (25%). McCormick yang diacu Kinsman

et al (1994) menyatakan bahwa kolagen adala h 2 – 6 % berat kering otot, tergantung jenis otot dan umur.

v Lemak

Suzuki (1991) menyatakan bahwa kandungan lemak ikan bermacam-macam tergantung pada jenis ikan, umur dan jumlah daging merah serta kondisi makanan. Kandungan lemak erat kaitannya denga n kandungan protein dan kandungan air, pada ikan yang kandungan lemaknya rendah umumnya mengandung protein dalam jumlah yang cukup besar

Winarno (1993) menyatakan bahwa berdasarkan kandungan lemaknya, ikan terbagi menjadi 3 golongan yaitu : ikan dengan kandungan lemak rendah (kurang dari 2%) terdapat pada kerang, cod, lobster, bawal, gabus, ikan dengan kandungan lemak sedang (2 – 5 %) terdapat pada rajungan,oyster,udang, ikan mas, lemuru, salmon dan ikan dengan kandungan lemak tinggi (4 – 5%) terdapat pada hering, mackerel, salmon, tuna, sepat, tawes dan nila.

Ikan banyak mengandung asam lemak bebas berantai karbon lebih dari 18. Asam lemak ikan lebih banyak mengandung ikatan rangkap atau asam lemak tak jenuh (PUFA) dari pada mamalia. Keseluruhan asam lemak yang terdapat pada daging ikan krang lebih 25 macam. Jumlah asam lemak jenuh 17 – 21% dan asam lemak tidak jenuh 79 – 83 % dari seluruh asam lemak yang terdapat pada daging ikan. Asam lemak tidak jenuh mempunyai ikatan rangkap a 1-6 (Hadiwiyoto, 1993).

v Karbohidrat

Karbohidrat dalam daging ikan merupakan polisakarida yaitu glikogen yang terdapat dalam sarkoplasma diantara miofibril- miofibril. Glikogen terdapat dalam jumlah jumlah terbanyak dari karbohidrat yang terdapat pada daging ikan


(32)

yaitu 0,05 – 0,085 %. Disamping itu terdapat jauga glukosa (0,038 %), asam laktat (0,005 – 0,43 %) dan berbagai senyawa antara dalam metabolisme karbohidrat (Hadiwiyoto, 1993).

Lebih lanjut Hadiwiyoto (1993) menjelaskan bahwa hasil antara proses glikolisa juga terdapat dalam daging ikan ,yaitu : asam fruktosafosfor, asam fosfogliserat dan asam piruvat. Selain itu masih terdapat sejumlah kecil monosakarida dari golongan pentosa yaitu ribosa dan deoksiribosa yang merupakan hasil pemecahan asam asam nukleat. Kedua monosakarida ini dapat membentuk protein-protein kompleks.

v Air

Kadar air pada ikan adalah 66 – 84 %. Kadar air mempunyai hubungan yang berlawanan dengan kadar lemak. Makin tinggi kadar air, makin rendah kadar lemaknya. Air terdapat dalam ruang-ruang antar sel dan plasma (Suzuki, 1981). Air yang ditemukan dalam jaringan otot terdiri dari tiga tipe yaitu : air konstitusional merupakan air yang terletak dalam molekul protein (1%), air yang terikat kuat (0,3 g air/100 g protein) dan air permukaan yang terletak pada permukaan multi layer protein dan dalam celah-celah kecil. Sekitar 10 % dari air tersebut ditemukan dalam ruang ekstraseluler yang bisa bertukar denga n air sel pada kondisi tertentu sehingga mengakibatkan perubahan protein miofibril. F. NUGGET IKAN (FISH NUGGET)

Pada tahun 1982, Castle dan Cooke Foods San Fransisco telah memasarkan produk salmon nugget dengan label Bumble Bee yang memiliki aroma, bau, rasa ikan salmon segar dengan bentuk baru dan menarik. Bentuk makanan nugget ikan berupa cincangan daging ikan yang memiliki kekenyalan khas, dibalut lapisan remah roti kering (buttered and breaded) yang dapat diberi cita rasa khusus dengan ukuran sekitar 50 g, sehingga mudah disajikan bersama saus setelah digoreng dalam minyak terlebih dahulu. Pada saat disajikan berupa gumpalan berwarna coklat keemasan dengan bagian luar yang renyah (crispy) dan bagian tengahnya lunak – kenyal dengan aroma bau rasa ikan salmon.


(33)

Nugget adalah suatu bentuk produk olahan daging yang merupakan bentuk emulsi minyak dalam air (O/W). Nugget ikan yang sekarang dipasarkan di Indonesia umumnya menggunakan bahan baku ikan kakap merah (Manullang dan Tanoto, 1995). Penambahan polyphospate pada pengolahan nugget diduga kuat juga mencegah timbulnya ketengikan pada produk precooked selama penyimpanan dan distribusinya (Brotsky, 1976 yang diacu Huffman et al, 1987). Alkalin polyphospate telah diizinkan untuk digunakan sebagai pengawet flavor produk daging oleh USDA sejak tahun 1984 (Huffman et al, 1987).

Nugget adalah suatu bentuk produk olahan dari daging giling dan diberi bumbu-bumbu serta dicampur dengan bahan pengikat kemudian dicampur dengan bentuk-bentuk tertentu selanjutnya dilumuri dengan tepung roti (coating) dan digoreng. Nugget merupakan produk makanan baru yang dibekukan, rasanya lezat, gurih dapat dihidangkan dengan cepat karena hanya digoreng dan dapat langsung dimakan (Anonim, 1990). Pada umumnya nugget berbentuk persegi panjang ketika digoreng menjadi kekuningan dan kering. Hal yang terpenting dari

nugget adalah penampakan produk akhir, warna, tekstur dan aroma. Pada saat pelumuran dengan tepung roti diusahakan secara merata jangan sampai adonan kelihatan. Tekstur dari nugget tergantung dari asal bahan baku (Maghfiroh, 2000).

Pada dasarnya produk fish nugget hampir sama dengan chicken nugget dan

shrimp nugget. Perbedaannya terletak pada jenis dan karakteristik bahan baku yang digunakan (Aswar, 1995). Pembuatan fish nugget tidak jauh berbeda dengan pemb uatan surimi seperti kamaboko, sosis, chikuwa dan ham ikan yang juga dibuat dari daging ikan giling (Suzuki, 1981). Nugget ikan tenggiri yang menggunakan bahan pengikat maizena dan emulsifier SPI (Soy Protein Isolate) menunjukkan hasil yang relatif lebih dapat diterima oleh panelis jika dibandingkan dengan kombinasi bahan pengikat dan emulsifier yang lain (terigu dan kasein). Batter yang digunakan berasal dari formula maizena 80 g, garam 12 g, bumbu nugget 3 g dan air 300 ml (Elingsari, 1994).

Hasil pene litian Aswar (1995) bahwa penggunaan bahan pengikat maizena sebanyak 15 % , emulsifier lechitin 2 % dengan batter maizena menghasilkan nugget ikan nila merah yang lebih disukai dibandingkan dengan menggunakan


(34)

bahan pengikat tapioka 15 %, emulsifier dan batter yang sama karena produk yang dihasilkan teksturnya lebih lembut serta warnanya kuning keemasan. Warna ini muncul setelah produk digoreng, diduga sebagai hasil reaksi Maillard.

Nugget ikan yang digoreng akan menyerap minyak selama proses pemasakan sehingga rasanya lebih enak dan gurih. Formulasi bumbu nugget ikan terlihat dalam Tabel 4.

Menurut Maghfiroh (2000), bahwa nugget ikan dengan menggunakan tepung terigu 15 % sebagai bahan pengikat memiliki kemiripan dengan produk komersial. Kedua nugget tersebut mempunyai warna kuning kemerahan, penampakan utuh dan rapi, tekstur kompak, aroma dan rasa ikan. Komposisi bahan pengikat nugget ikan per 100 g daging ikan Tabel 5.

Tabel 3 Formulasi bumbu nugget ikan per 100 g daging ikan

Bahan Jumlah (gram)

Bawang putih 2

Bawan bombay 42,17

Garam 4

Merica 1

Emulsifier (susu) 50

Tepung terigu 15

Putih telur 40

Telur utuh 120

Sumber : Maghfiroh (2000)

Tabel 4. Komposisi bahan pengikat nugget ikan per 100 g daging ikan

Bahan Jumlah (gram)

Tepung terigu 100

Tepung maizena 5

Bawang putih 2

Merica 11

Garam 4

Breading 150

Sumber : Maghfiroh (2000)

Nilai log TPC nugget tuna meningkat dengan lama waktu penyimpanan, tetapi nilai hedonik nugget tuna setelah digoreng tidak dipengaruhi oleh waktu penyimpanan. Namun rata-rata penilaian panelis cenderung menurun seiring


(35)

dengan bertambahnya waktu penyimpanan suhu kamar , demikian halnya terhadap parameter warna dan penampakan nugget (Hidayati, 2002).

Dari hasil uji fisik terhadap dua bahan dasar nugget yaitu daging lumat dan surimi, meliputi daya ikat air, nilai kekerasan dan susut masak fish nugget menunjukkan bahwa sifat fisik tersebut tidak berbeda nyata pada setiap perlakuan yang diamati. Sedangkan hasil perhitungan Kruskal Wallis, diperoleh bahan dasar yang terbaik adalah surimi untuk penelitian lanjutan yaitu pemberian bahan pengisi dan bahan pengikat pada nugget Hal ini dikarenakan pada daging lumat yang tidak mengalami pencucian dan perlakuan seperti surimi, sehingga daging merah yang banyak mengandung mioglobin yang mudah teroksidasi dan produk menjadi tengik dalam hal rasanya (Sianipar, 2003).

G. HISTAMIN DAN MUTU IKAN TUNA

Histamin adalah senyawa yang terdapat pada daging ikan dari famili

scombroidae, subfamili scombroidae, atau ikan lain yang telah membusuk yang di dalam dagingnya terdapat kadar histidin yang tinggi. Histamin di dalam daging diproduksi oleh hasil karya enzim yang menyebabkan pemecahan histidin. Melalui proses dekarboksilasi (pemotongan gugus karboksil ) dihasilkan histamin. Satuan kadar histamin dalam daging tuna dapat dinyatakan dalam mg/100 g ; mg % atau ppm (mg/1000 g) (Hadiwiyoto, 1993)

”Histidin bebas” yang terdapat dari daging ikan erat sekali hubungannya dengan terbentuknya histamin dalam daging. Semua daging yang berwarna gelap tinggi kandungan histidin bebasnya. Kandungan histidin bebas dalam daging ikan tuna segar berkisar dari 745 sampai 1460 mg %. Sebaliknya, ikan- ikan berdaging putih rendah kandungan histidin bebasnya dan ketika busuk tidak menghasilkan histamin sampai 10 mg % setelah dibiarkan 48 jam pada suhu 250C.

Pada jenis ikan tuna yang memiliki 2 jenis daging yaitu putih dan gelap, justru daging-daging putihlah yang tinggi histaminnya. Daging yang merah jauh lebih sedikit. Untuk konsumsi manusia, daging merah lebih aman daripada daging putihnya bila dipandang dari segi histamin. Mengapa daging merah justeru kecil kandungan histaminnya, hal itu disebabkan daging merah tinggi kandungan


(36)

trimetil amina oksida (TMAO) yang berfungsi menghamb at proses terbentuknya histamin (Winarno, 1993).

Meskipun enzim pemecah karboksil dapat berasal dari daging tubuh ikan sendiri, sebagian besar enzim pemecah tersebut dapat dihasilkan oleh mikroba yang terdapat dalam saluran pencernaan ikan serta mikroba lain ya ng mengkontaminasi ikan dari luar. Di Amerika Serikat, khususnya oleh US-FDA telah dikeluarkan pedoman kadar histamin dalam tuna, yaitu: 20 mg per 100 g menunjukkan indikasi penanganan yang tidak higienis pada beberapa tahap penanganan pasca tangkap dan 50 mg per 100 g menunjukkan bahwa ikan tuna tersebut telah membahayakan kesehatan konsumen bila dikonsumsi. Bagian depan tubuh ikan biasanya memiliki kadar histamin paling tinggi, dan terendah di bagian ekor.

Ada 3 jenis bakteri yang mampu memproduksi histamin dari histidin dalam jumlah tinggi yaitu: Proteus marganii (bigeye, skipjack), Enterobacteri aerogenes (skipjack), Clostridium pefringens (skipjack). Hampir semua mikroba pembentuk histamin bersifat gram negatif dan berbentuk batang. Mikroba tersebut banyak yang berasal dari sentuhan tangan manusia dan kotoran tinja dan isi usus ikan. Mikroba dan enzim protease isi perut ikan dapat merembes dari dinding perut ke daging (Winarno, 1993)

H. PEMBEKUAN

Menurut Hadiwiyoto (1993) pengolahan agar mempertahankan sifat segar ikan dengan suhu rendah. Penerapan suhu rendah antara lain yaitu dengan pendinginan dan pembekuan. Penerapan suhu rendah adalah untuk menghindarkan hasil perikanan terhadap kerusakan yang disebabkan oleh autolisa dan atau karena pertumbuhan mikroba. Baik aktifitas enzim maupun pertumbuhan mikroba sangat dipengaruhi oleh suhu. Pada kondisi tertentu aktifitasnya menjadi optimum dan pada kondisi lain aktifitasnya dapat menurun, terhambat bahkan terhenti. Suhu optimum dimana enzim dan mikroba mempunyai aktifitas yang paling baik biasanya terletak pada suhu di antara sedikit di bawah dan di atas suhu kamar.


(37)

Menurut Muchtadi (1997) setiap bahan pangan mempunyai suhu yang optimum untuk berlangsungnya proses metabolisme secara normal. Suhu penyimpanan yang lebih tinggi dari suhu optimum akan mempercepat terjadinya proses pembusukan. Suhu rendah di atas suhu pembekuan dan di bawah 150C efektif dalam mengurangi laju metabolisme. Suhu seperti ini diketahui sangat berguna untuk pengawetan jangka pendek. Setiap penurunan suhu 80C menyebabkan laju metabolisme akan berkurang setengahnya. Menyimpan bahan pangan pada suhu sekitar -20C sampai 100C diharapkan dapat memperpanjang masa simpan bahan pangan. Hal ini disebabkan suhu rendah dapat memperlambat aktivitas metabolisme dan menghambat pertumbuhan mikroba. Selain itu juga mencegah terjadinya reaksi-reaksi kimia dan hilangnya kadar air dari bahan pangan.

Selama pendinginan dan pembekuan akan terjadi perubahan-perubahan sifat pada ikan. Perubahan tersebut meliputi perubahan sifat kimiawi, sifat fisikiawi dan perubahan organoleptik. Pada pendinginan tidak terlalu banyak perubahan yang terjadi dibandingkan pada proses pembekuan, karena terbentuknya kristal es yang terjadi di dalam jaringan daging ikan (Hadiwiyoto, 1983)

Pembentukan adonan dengan menggiling daging yang ditambahkan dengan es dimaksudkan agar suhu daging tetap dingin sehingga protein tidak terdenaturasi. Penghancuran daging bertujuan untuk memecah dinding sel serabut otot sehingga protein seperti miosin dan aktin dapat terekstrak dengan penggunaan larutan garam. Suhu optimum untuk mengekstrak protein serabut otot adalah 4 – 5 0C dan dipertahankan agar tidak melebihi 200C, karena gesekan daging dengan alat penghalus grading seperti “cutter”, mixer“ atau alat pengemulsi lemak mengakibatkan terhambatnya ekstraksi protein serabut otot sehingga terjadi koagulasi protein (Pisula, 1984).

Penambahan air ke dalam adonan nugget pada waktu penggilingan berperan penting dalam membentuk adonan yang lebih baik dan untuk mempertahankan temperatur selama pendinginan. selain itu air berfungsi sebagai fase pendispersi dalam emulsi daging dan melarutkan protein sarkoplasma, pelarut garam yang akan melarutkan protein miofibril (Kramlich, 1973).


(38)

Produk nugget pre-cooked merupakan produk basah yang harus disimpan pada suhu beku di bawah -180C untuk menjaga mutunya. Perubahan sifat inderawi pada berbagai suhu penyimpanan adalah sama hanya prosesnya menjadi lebih lambat pada suhu penyimpanan yang lebih rendah. Nugget yang disimpan pada suhu beku (-250C) sampai pada pengamatan minggu keenam tidak dapat diterima panelis karena terasa asam dan berlendir (Prayitno, 2003).

Menurut Fennema et al (1973)dan Ilyas (1972) sela ma penyimpanan beku produk perikanan akan kehilangan air, terjadi oksidasi , perubahan warna dan rasa, serta terjadi “drip”, yaitu cairan bening yang merembes keluar sewaktu produk dilelehkan. Proses pembekuan cenderung menyebabkan susunan mutu makanan berubah dan perubahan ini akan langsung berakibat pada susunan proteinnya (Connell, 1968). Dyer dan Dingle (1961) menjelaskan perubahan yang terjadi adalah denaturasi protein, perubahan dalam sistem garam, protein dan air selama pembekuan dan perubahan dalam sistem aktomiosin.

WHC atau daya ikat air nugget ikan manyung yang disimpan pada suhu beku rata-rata lebih rendah dibandingkan dengan nugget yang disimpan pada suhu ruang dan suhu dingin, hal tersebut ditandai dengan banyaknya jumlah air bebas yang tidak dapat diikat oleh protein pada nugget yang disimpan pada suhu beku, karena denaturasi protein yang terjadi. Hal ini menunjukkan bahwa daya mengikat airnya rendah. Banyaknya air yang bebas yang terjerat dalam mikrostruktur jaringan dipengaruhi oleh suhu (Syartiwidya, 2003).

Menurut Suzuki (1981) ada beberapa teori, yang menjelaskan mekanisme denaturasi protein akibat pembekuan yaitu : 1) meningkatnya konsentrasi garam di dalam sel-sel otot akibat perubahan air menjadi kristal-kristal es, 2) hilangnya molekul air dari ruang menyebabkan molekul menjadi lebih dekat satu sama lain dan membentuk berbagai ikatan silang yang menimbulkan agregasi dan 3) terjadinya auto-oksidasi, pengaruh protein larut air, reaksi dengan lemak dan reaksi dengan formaldehida yang terbentuk dari trimetilamin (TMA). Denaturasi atau degradasi protein yang disebabkan oleh penyimpanan beku yang dipercepat dengan adanya penggilingan dan pencincangan.

Degradasi enzimatis dari trimetilaminoksida (TMAO) menjadi dimetilamin (DMA) dan formaldehida dapat menyebabkan beberapa kerusakan


(39)

tekstural, kerusakan ini disebabkan oleh karena adanya formaldehida yang berikatan dengan protein (Gratham, 1981). Menurut Kamallan (1988) selama penyimpanan beku elastisitas/kekenyalan produk akan menurun. Hal ini disebabkan adanya pelepasan sejumlah cairan dari dalam produk selama thawing, sehingga keteguhan gel menjadi berkurang akibat terbentukya pori-pori pada produk.

Pada suhu beku peningkatan asam tiobarbiturat hanya mencapai 0,25 mg malonaldehid/kg sampai pada minggu ke- 10 (70 hari) , dan aroma nugget masih beraroma ikan. Hal ini terjadi karena penyimpanan pada suhu beku dapat menghambat reaksi oksidasi lemak (Syartiwidya, 2003)

Fennema et al. (1973) dan Ilyas (1972) menyatakan bahwa selama penyimpanan beku produk perikanan akan terjadi perubahan warna dan rasa. Proses mincing dan proses penghancuran produk yang dihasilkan berwarna lebih gelap. Semakin lama penyimpanan warna akan semakin gelap (Winarno, 1993).


(40)

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juni 2005 sampai April 2006, di Laboratorium Pilot Plant Southeast Asian Food and Agricultural Science and Technology Center (SEAFAST CENTER) IPB dan Pengujian dilakukan di bagian Kimia, Mikrobiologi, dan Biokimia Pangan Departeme n Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian IPB, serta laboratorium Pengolahan Balai Besar Pengembangan dan Pengendalian Hasil Perikanan (BBPPHP) Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta.

B. BAHAN DAN ALAT

Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah daging merah ikan tuna beku yang diperoleh dari PT ISAAP (BONECOM) Jakarta. Daging merah tuna dibawa menggunakan cold box styroform yang telah diberi es curah. Adapun bahan tambahan untuk pembuatan nugget ikan adalah : tepung maizena, bawang putih, bawang merah, garam, merica. Bahan untuk pemucat adalah titanium dioksida (TiO2) proanalisis yang diperoleh dari PT. BRATACO CHEMIKA

Bogor. Untuk analisis nilai gizi protein secara in vivo digunakan tikus jenis

Spraque Dawley (SD) jantan masa sapih antara 21 – 23 hari yang diperoleh dari Pusat Penelitian Gizi dan Makanan, Bogor. Komposisi ransum tikus yang diberikan sesuai rekomendasi AOAC (1984) yang dikutip Muchtadi (1993) yaitu meliputi sumber protein, sumber lemak, pati (maizena merk honig), selulosa, vitamin, mineral dan air.


(41)

Bahan yang digunakan untuk analisis kimia : a) penetapan kadar nitrogen (metode Kjeldahl) : NaOH 10 %, H2SO4 pekat, H3BO3 3 %, HCl ; b) Pengukuran

derajat putih: BaSO4 ; c) Penetapan TBA : 0,5 -1,0 ml KI 25 %, aquades, larutan

blanko, larutan TBA dan HCL ; d) Penetapan TVN : TCA 5 %, HCl 0,01 M, NaOH 0,01 M 2 %, NaOH 2 M, formaldehid 15 % ; e) Penetapan pH : aquades, tissue, larutan Buffer ; f) Penetapan total asam : NaOH 0,1 M, kalium hidrogen ptalat / (COOH)2, indikator fenolftalein ; g) Penentuan lemak : dietyl eter ;

h) Pengujian in vivo : enzim a-amilase, standar asam amino, standar asam lemak, anti oksidan merk nature-E, n-heksan, kloroform, formalin, alkohol, methanol, NaCl, NaOH, HCl, asam asetat, asam sulfat, akuades, dan gas N2.

Alat yang digunakan dalam pembuatan dan penyimpanan nugget : meat separator, pisau stainless, talenan, baskom, cold box, blender, pengaduk, plastik PE, freezer, deep fryer, sodet, dan timbangan.

Alat yang digunakan untuk analisis kimia adalah whiteness meter, pH-meter, gelas piala, buret, pipet mikropH-meter, tabung reaksi, pengaduk, labu Erlenmenyer, gelas ukur, stirer, desicator, oven, alat destilasi dan blender,.

Alat yang digunakan untuk analisis mikrobiologi : cawan petri, jarum ose, obyek glass, mikroskop elektron, tabung reaksi, buret dan stirer

Alat yang digunakan untuk analisis organoleptik : pisau, wadah pencicip, sendok, garpu kecil, dan tabel angka acak.

Alat yang digunakan untuk analisis nilai gizi protein secara in-vivo adalah timbangan analitik, termometer, sentrifuse, oven, tanur, mikro-Kjeldahl, freezer, labu Erlenmeyer, labu takar, gelas piala, pipet, kertas saring, buret, cawan, hot plate, stirer, kandang metabolik tikus, wadah ransum, wadah minum, labu leher tiga, HPLC, GC, mikroskop, rotapavor dan labu pemisah.

C. PROSEDUR PENELITIAN

Penelitian ini terdiri dari tiga tahap : Penelitian Pendahuluan

Dilakukan untuk menentukan konsentrasi titanium dioksida (TiO2) yang

efektif dalam memucatkan warna merah daging tuna. Cara pembuatan nugget daging merah tuna berdasarkan BBPPHP (2003) sebagai berikut : daging lumat


(42)

merah tuna yang telah siap (setelah dithawing, dicuci dan dipress) dibagi menjadi lima bagian. Setelah itu masing - masing bagian diberikan perlakua n penambahan TiO2 sebagai berikut :

A0 = 0 % TiO2

A1 = 0,25 % TiO2

A2 = 0,50 % TiO2

A3 = 0,75 % TiO2

A4 = 1,00 % TiO2

Adonan yang telah ditambahakan TiO2 dimasukkan ke dalam silent cutter

bersama dengan bahan lainnya yaitu : maizena (0,34%) , air es (6,71%), garam (1,34 %), merica (0,67%), bawang (2,01%) hingga terbentuk adonan yang homogen. Setelah itu dimasukkan ke dalam cetakan lalu dikukus dengan pengukus steam pada suhu 800C selama 30 menit. Setelah matang dibiarkan dingin lalu dicelup ke dalam adonan batter (terigu, air dan garam) dan dilumuri tepung roti. Nugget yang telah dilumuri disimpan dalam lemari es selama 15 menit kemudian digoreng menggunakan deep fryer electric selama 3 menit dengan suhu 1800C. Cara pembuatan nugget daging putih tuna (kontrol) juga berdasarkan BBPPHP (2003). Cara pembuatan nugget daging merah tuna secara skematis dapat dilihat pada Gambar 10.

Parameter yang diamati adalah derajat putih nugget dengan menggunakan

Whiteness meter, uji kadar protein dengan metode Kjedhaldan uji organoleptik

nugget dengan metode different test panelisnya adalah mahasiswa IPB. Form uji pembedaan (Difference from control test) dapat dilihat pada Lampiran 1.


(43)

Gambar 10 Cara pembuatan nugget tuna Pencucian daging dengan air dingin (suhu 50C)3 kali

Pengepresan daging tuna secara mekanik

Pelumatan daging dengan grinder

Penambahan TiO2 sebanyak 0 %, 0,25 %, 0,50 %, 0,75 % dan 1 %

Penambahan bumbu :

garam 1,34 %, merica 0,67 %, bawang 2,01 % dan air es 6,71 %

Penambahan bahan pengikat maizena 0,34 %

Pencetakan dengan alat cetak nugget

Pengemasan dengan polietylen Pengukusan dengan dandang selama 30 menit

Battering dan breading menggunakan terigu, air, garam dan tepung roti

Penyimpanan di lemari es dengan suhu -50C selama 15 menit


(44)

Penelitian Lanjutan 1

Dari hasil penelitian pendahuluan diperoleh konsentrasi TiO2 1 % efektif

digunakan dalam memucatkan warna merah daging tuna. Sehingga nugget yang disimpan pada perlakuan penyimpanan beku adalah nugget daging merah tuna dengan perlakuan penambahan TiO2 1 % yang memiliki derajat putih yang sama

dengan nugget daging putih (kontrol). Nugget didinginkan terlebih dahulu kemudian dibekukan dengan blast freezer pada suhu -320C selama 20 menit. Setelah beku, nugget dikemas dengan plastik lalu disimpan dalam freezer

dengan suhu -180C sampai -200C.

Perlakuan penyimpanan beku adalah sebagai berikut : DP = nugget daging putih penyimpanan 0 bulan (kontrol)

B0 = nugget daging merah penambahan TiO2 1 % penyimpanan 0 bulan

B1 = nugget daging merah penambahan TiO2 1 % penyimpanan 1 bulan

B2 = nugget daging merah penambahan TiO2 1 % penyimpanan 2 bulan

Parameter yang diamati pada penelitian lanjutan 1 adalah pengamatan proksimat nugget yang meliputi : protein, lemak, air, dan abu serta mutu nugget

meliputi : pH, TVN, TPC, bilangan peroksida, TBA, dan histamin. Penelitian Lanjutan 2

Hasil pengujian proksimat yaitu uji protein dari masing- masing sampel

nugget daging putih penyimpanan 0 bulan ; nugget daging merah penambahan TiO2 1 % penyimpanan 0 bulan ; nugget daging merah penambahan TiO2 1 %

penyimpanan 1 bulan ; nugget daging merah penambahan TiO2 1 % penyimpanan

2 bulan diperoleh kadar nitrogen berdasarkan metode Kjeldahl (AOAC, 1990).. Setelah kadar nitrogen dari masing- masing sampel nugget diketahui maka dihitung jumlah protein contoh nugget yang dibutuhkan untuk komposisi pembuatan rans um tikus sesuai standar AOAC (1984) yang dikutip Muchtadi (1993) dengan menggunakan rumus seperti yang terdapat pada Tabel 5. Setelah diketahui jumlah protein contoh maka dicampurkan seluruh bahan campuran ransum sesuai dengan standar AOAC (1984) yang dikutip Muchtadi (1993).

Nugget yang telah berbentuk tepung tersebut dicampurkan ke dalam ransum tikus percobaan dan diberikan selama masa penelitian berlangsung.


(45)

Tikus yang digunakan adalah jenis Spraque Dawley jantan yang berumur 21 – 23 hari yang baru disapih dengan berat rata-rata sekitar 25 g. Sebanyak 30 ekor tikus jantan dipersiapkan untuk penelitian ini. Sebelum percobaan dimulai, tikus diadaptasikan di lingkungan laboratorium selama 4 hari. Pada masa adaptasi, tikus diberi ransum kasein (BDH Chem, LTD, London) sebagai sumber protein dicampur dengan bahan-bahan lain (minyak jagung, vitamin, mineral, tepung maizena dan selulosa).

Minyak yang digunakan untuk melengkapi ransum adalah minyak jagung. Campuran mineral terdiri dari 139,3 g NaCL ; 079 g KI ; 389,0 g KH2PO4 ; 57,3

g MnSO4 anhyd ; 381,4 g CaCO3 ; 27,0 g FeSO4 ; 7H2O ; 4,01 g MnSO4,

H2O ; 0,548 g ZNSO4 ; 7 H2O ; 0,477 g CuSO4 5H2O dan CoCL2 6H2O,

Vitamin untuk ransum terdiri dari 2000 IU vit A ; 200 IU vit D ; 10 IU vit ;, 0,5 mg Menadione ; 200 mg Choline ; 10 mg Inositol ; 4 mg Niacin ; 4 mg Ca- D panthotenat ; 0,5 mg Riboflavin ; 5 Thiamine HCl ; 0,5 mg Piridoksin ; 0,2 g asam Folat ; 0,04 mg Biotin ; 0,003 mg vit B12 dan glukosa untuk membuat ransum menjadi 100 persen digunakan tepung maizena.

Tikus-tikus tersebut dibagi dalam enam grup, masing- masing grup terdiri dari lima ekor tikus. Perbedaan berat badan antar kelompok tidak boleh lebih dari 5 g. Tikus-tikus tersebut dikandangkan sendiri-sendiri pada kandang metabolik yang dapat menampung urin dan feses (Gambar 11). Keenam grup tikus dengan perlakuan ransum adalah sebagai berikut :

• A = ransum kasein sebagai standar

• B = ransum non protein.

• C = ransum tepung nugget daging putih tuna

• D = ransum tepung nugget daging merah tuna penyimpanan 0 bulan

• E = ransum tepung nugget daging merah tuna penyimpanan 1 bulan


(46)

Gambar 11 Kandang metabolik dan wadah penampung urin dan feses tikus

Tikus diberi makan secara ad libitum, berat badan tikus ditimbang setiap dua hari sekali. Kadar nitrogen dalam ransum, urin dan feses ditentukan berdasarkan metode Kjeldahl. Nilai-nilai tersebut kemudian digunakan unt uk mengukur keseimbangan nitrogen. Parameter nilai gizi protein yang diamati pada penelitian lanjutan 2 yaitu : daya cerna sejati , nilai biologis (biological value) dan NPU (net protein utilization). Prosedur penelitian secara lengkap dapat dilihat pada Gambar 12.


(47)

Gambar 12 Prosedur penelitian v Penambahan TiO2 dengan kadar :

A0 = 0 % TiO2

A1 = 0,25 % T iO2

A2 = 0,50 % T iO2

A3 = 0,75 % TiO2

A4 = 1,00 % TiO2

Analisis Kimia :

Derajat putih, kadar protein, Organoleptik (warna,aroma,tekstur dan rasa)

Pembuatan Nugget

Analisis proksimat, Kimia, dan Mikrobilogi

(protein, lemak, air, abu , Histamin, Bilangan Peroksida, TVN,TBA, pH,dan TPC).

Penyimpanan Suhu -180C

0 bulan 1 bulan 2 bulan

Pengujian Protein Secara In Vivo

Daging Merah Tuna

Daging merah lumat


(48)

D. ANALISIS SAMPEL

1. Uji Proksimat

a. Kadar Air (AOAC, 1984).

Cawan aluminium dikeringkan dalam oven pada suhu 1050C selama 15 menit, kemudian didinginkan lalu ditimbang (A). Sampel ditimbang sebanyak 5 gram (B). Setelah itu cawan berisi sampel dikeringkan dalam oven pada suhu 1050C selama 6 jam kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang hingga diperoleh bobot tetap (C). Kadar air dihitung dengan rumus :

Kadar Air (%wb) =

[

]

B A C

B−( − )

x 100 %

Kadar Air (%db) =

[

]

A C A C B − − −( )

x 100 %

b. Kadar Abu (AOAC, 1984)

Sampel ditimbang sebanyak 1-5 gram, lalu dimasukkan ke dalam cawan porselen yang sudah diketahui bobot tetapnya. Sampel diarangkan di atas Bunsen dengan nyala api kecil hingga berasap, selanjutnya dimasukkan ke dalam tanur pada suhu 500-6000C sampai menjadi abu yang berwarna putih. Cawan yang berisi abu didinginkan dalam desikator dan dilakukan penimbangan hingga diperoleh bobot tetap. Kadar abu dapat dihitung dengan rumus :

Kadar Abu (%) =

) ( ) ( g l BeratSampe g BeratAbu

x 100 %

c. Kadar Protein (AOAC, 1984)

Sampel dihitung sebanyak 0,5-3 g lalu dimasukkan ke dalam labu kjeldahl dan didestruksi dengn menggunakan 20 ml asam sulfat pekat dengan pemanasan sampai terjadi larutan berwarna jernih. Larutan hasil destruksi diencerkan dan didestilasi dengan penambahan 10 ml NaOH 10 %. Destilat ditampung dalam 25 ml larutan H3BO3 3 %. Larutan H3BO3 dititrasi dengan


(49)

Dari hasil titrasi ini total nitrogen dapat diketahui. Kadar protein sampel dihitung dengan mengalikan total nitrogen dan faktor koreksi.

Total Nitrogen (%) =

l BobotSampe

HClxfkx mltitranxN 14

x 100 % Kadar Protein (%) = Total Nitrogen x 6,25

d. Kadar Lemak (AOAC, 1984)

Labu lemak yang ukurannya sesuai dengan alat ektraksi soxhlet dikeringkan dalam oven. Kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang hingga bobot tetap. Sebanyak 5 g sampel dibungkus dengan kertas saring, kemudian ditutup dengan kapas wool yang bebas lemak. Kertas saring yang berisi sampel tersebut dimasukkan dalam alat ektraksi soxhlet, kemudian dipasang alat kondensor ditasnya dan labu lemak di bawahnya.

Pelarut dietil eter atau petroleum eter dituangkan ke dalam labu lemak secukupnya sesuai dengan ukuran yang digunakan. Selanjutnya dilakukan refluks minimum 5 jam sampai pelarut yang turun kembali ke labu lemak berwarna jernih. Pelarut yang ada di dalam labu lemak didestilasi dan ditampung. Kemudian labu lemak yang berisi hasil ekstraksi dipanaskan dalam oven pada suhu 1050C. Selanjutnya didinginkan dalam desikator dan dilakukan penimbangan hingga diperoleh bobot tetap.

Kadar Lemak (%) =

) ( ) ( g l BeratSanpe g BeratLemak

x 100 %

2. Total Volatile Base Nitrogen/TVN (Apriyantono et al., 1989)

Sampel sebanyak 100 gram yang sudah digiling dimasukkan ke dalam waring blender. Kemudian ditambah 300 ml larutan TCA 5 % dan diblender sampai homogen. Dipisahkan ekstrak TCA dengan cara penyaringan atau sentrifuse. Ekstrak TCA sebanyak 5 ml dimasukkan ke dalam alat destilasi Kjeldahl semimikro dan ditambahkan 5 ml NaOH 2 M. Selanjutnya didestilasi, di mana destilat ditangkap dengan 15 ml HCl 0,01 M standar. Ke dalam destilat ditambahkan beberapa tetes merah fenol, lalu dititrasi dengan NaOH 0,01 M standar sampai tercapai titik akhir.


(50)

TVN (mg N/100 g) = 5 01 , 0 ) 15 ( ) 300 (

14 +W xV x

x

M

100

Keterangan : 14 = Bobot atom nitrogen

V = Volume NaOH 0,01 M yang dibutuhkan untuk titrasi M = Berat sampel (g)

W = Jumlah air (kadar air) yang ada dalam bahan (g) 3. Derajat Putih (Fardiaz, 1989)

Derajat putih dilakukan dengan menggunakan whiteness meter. Standar warna putih yang digunakan untuk kalibrasi adalah BaSO4 yang diasumsikan

derajat putih 100 %. Prinsip pengukurannya adalah berdasarkan jumlah sinar yang dipantulkan oleh permukaan sampel yang diukur dibandingkan warna standar.

4. Total Plate Count/TPC (Fardiaz, 1987)

Pembuatan media agar dengan cara mencampurkan 23 g nutrient agar ke dalam 1 liter aquades dala m gelas piala. Larutan yang terbentuk dipanaskan sambil diaduk sampai mendidih sehingga semua agar terlarut. Sterilisasi (1210C, 1 atm) dilakukan terhadap larutan agar beserta peralatan lain yang akan digunakan seperti pipet, dan blender dalam autoklaf selama 15 menit. Larutan agar disimpan dalam pemanas air bersuhu 450C. Pembuatan larutan pengencer dengan pencampuran 8,5 g NaCl ke dalam 1000 ml akuades. Larutan pengencer kemudian disterilisasi.

Pembuatan larutan sampel dengan mencampurkan 1 g bahan dan dihancurkan bersama larutan pengencer sebanyak 9 ml sampai larutan menjadi homogen. Pengenceran dilakukan dengan mengambil 1 ml larutan sampel yang sudah homogen tersebut dengan menggunakan pipet steril, lalu kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi berisi 9 ml larutan pengencer sehingga terbentuk pengenceran 10-1 kemudian larutan tersebut dikocok sampai homogen. Pengenceran dilakukan menurut kebutuhan penelitian. Pemipetan dilakukan dari masing- masing tabung pengenceran sebanyak 1 ml larutan sampel dan dipindahkan ke dalam cawan petri steril secara duplo dengan menggunakan pipet steril. Media agar ditambahkan ke dalam cawan


(51)

petri dengan metode tuang sebanyak 20 ml dan digoyangkan sampai merata. Cawan petri (agar yang sudah membeku) diinkubasi dengan posisi terbalik dalam inkubator bersuhu 370C selama 48 jam. Perhitungan koloni bakteri pada cawan yang telah diinkubasi dihitung berdasarkan jumlah yang layak dihitung (30-300 koloni). Perhitungan jumlah bakteri total per gram dapat dihitung dengan memperhitungkan jumlah pada tingkat pengenceran dan pada cawan petri dengan menggunakan koloni counter atau hand counter.

5. pH (Apriyantono et al., 1989)

• Menyalakan pH meter sampai diperoleh keadaan stabil selama 15 sampai 30 menit. Sampel sebanyak 10 g ditambah dengan 50 ml akuades dan kemudian diblender.

• Elektroda pH meter dibilas dengan akuades dan dikeringkan. Kemudian pH meter dikalibrasi dengan buffer pH 4 dan buffer pH 7 lalu dikeringkan dengan tissue.

• Elektroda dicelupkan ke dalam larutan sampel dan nilai pH dapat diketahui setelah diperoleh pembacaan yang stabil dari pH meter.

• Catat pH sampel

6. Analisis Histamin (BBPPHP, 2001)

• Timbang 10 g contoh dalam beaker glass 250 ml dan tambahkan 50 ml metahanol, blender hingga homogen

• Panaskan di atas waterbath selama 15 menit pada suhu 60oC. Dijaga sample dalam kondisi tertutup, diinginkan hingga suhu kamar.

• Tuangkan contoh ke dalam labu takar 100 ml dan tepatkan hingga volume labu dengan metanol.

• Saring menggunakan kertas saring dan filtratnya ditampung dalam botol contoh. Pada tahap ini filtrat contoh dapat disimpan dalam refrigerator.

• Timbang 3 g resin untuk setiap kolom dalam beaker glass 250 ml.

• Kemudian tambahkan 15 ml NaOH 2 N/g resin untuk mengubah resin menjadi bentuk OH.


(52)

• Aduk menggunakan stirer-plate selama 30 menit.

• Tuang cairan pada bagian atas dan ulangi penambahan NaOH (basa) dengan jumlah yang sama.

• Cuci/bilas resin dengan aquadest sebanyak 3 kali.

• Saring melalui kertas saring No. 588 atau yang setara dan cuci kembali dengan aquadest.

• Siapkan resin segar setiap minggu dan simpan dalam aquadest.

• Masukkan galasswool dalam kolom resin setinggi ± 1,5 cm.

• Masukkan resin dalam kolom resin setinggi ± 8 cm, pertahanakan volume air yang berada di atas resin ± 1 cm, jangan dibiarkan kering.

• Letakkan labu takar 50 ml yang sudah berisi 5 ml HCl 1 N dibawah kolom resin guna menampung elusi contoh yang dilewatkan pada kolom resin.

• Pipet 1 ml filtrat contoh, masukkan dalam kolom resin, kran kolom resin dalam posisi terbuka biarkan aliran menetes (hasil elusi) ditampung dalam labu takar 50 ml.

• Seketika tinggi cairan ± 1 cm diatas resin, tambahkan aquadest dan biarkan cairan berelusi. Lakukan demikian seterusnya hingga labu takar tepat 50 ml. Hasil elusi (contoh) dapat disimpan dalam refrigator.

• Siapkan tabung reaksi 50 ml duplo, tambahkan : - 5 ml contoh

- 10 ml HCl 0,1 N, kocok

- 3 ml NaOH 1 N, kocok, dalam waktu 5 menit harus sudah ditambah 1 ml OPT 0,1 %, kocok dan biarkan selama 4 menit. - 3 ml H3PO4 3 N, kocok dan sample sesegera mungkin dibaca

dengan alat spectrofotometer Ex : 350 nm dan Em : 444 nm

• Standar diberlakukan sama seperti pada persiapan pembacaan contoh. Untuk blanko digunakan HCl 0,1 N.

• dalam waktu 90 menit standar dan sample harus sudah dibaca flouresensinya pada instrumen fluorometer.


(53)

Perhitungan :

• Masukkan nilai konsentrasi dan fluorosense dari larutan standar dalam program/persamaan linier untuk mendapatkan kurva standar (kurva kalibrasi). Nilai koefisien regresi (r) slope (b) dari intercep (a) digunakan untuk menghitung konsentrasi contoh. Masukkan nilai fluorosense contoh ke dalam persamaan regresi standar (y = a + bx) dimana :

y = fluorosense contoh a = intercep

b = slope

x = konsentrasi contoh

• Setelah didapat nilai konsentrasi contoh (x); kalikan dengan faktor pengenceran dan kembalikan ke berat contoh. Nyatakan hasil dalam satuan mg/100 g contoh.

7. Analisis Bilangan Peroksida (Apriyantono et al. 1989)

Timbang sampel seberat 200 mg yang telah dilarutkan dengan heksan dalam tabung reaksi. Tambahkan 0,5 ml larutan Potasium Iodida , 0,5 ml larutan Aluminium klorida dan heksan 1 ML, campur (kocok) kemudian diinkubasi pada suhu 37 0C selama 5 menit. Tambahkan 15 ml HCl 0,01 N dan 0,5 ml larutan pati campur sampai merata. Pindahkan larutan ke dalam tabung sentrifus selama 3 me nit dengan kecepatan 3000 rpm. Lapisan bawah (fase cair) ditetapkan absorbansinya pada 560 nm (Total lapisan air adalah 16,5ml). Blanko ditetapkan seperti pada penetapan contoh.

8. Analisis TBA (Apriyantono et al. 1989)

Sampel seberat 10 gram dimasukkan kedalam blender (waring blender), lalu ditambah dengan 50 ml aquades dan dilumatkan selama 2 menit. Pindahkan secara kuantitatif kedalam labu destilasi sambil dicuci dengan 4,75 ml aquades. Tambahkan 2,5 ml 4 M HCI sampai pH 1,5, batu didih dan pencegah buih (anti foaming agent). Pasang labu destilasi pada alat destilasi,


(54)

panaskan sampai didapat 50 ml destilat selama 10 menit. Aduk destilat yang didapat dan pipetkan 5 ml ke dalam tabung reaksi tertutup . Kemudian tambahkan 5 ml pelarut TBA dan panaskan selama 35 menit dalam air mendidih. Dinginkan selama 10 menit kemudian baca absorbansinya (A) pada ? = 5,28 nm dengan larutan blanko sebagai titik nol (blanko terdiri dari 5 ml aquadest dan 5 ml pereaksi). Bilangan TBA dinyatakan dalam mg malonaldehid per kg sampel. Bilangan TBA = 7,8 D. Bilangan TBA dapat diketahui dengan rumus :

3

mg malonaldehid per kg sampel = x absorban x 7,8 berat sampel

9. Penentuan KadarProtein (AOAC, 1984)

Kadar protein ditetapkan dengan metode Micro Kjeldhal bahan ditimbang 1 g dimasukkan kedalm labu Kjeldahl. Tambahkan 5 ml H2SO4 pekat dan

setegah sendok selenium mixture, lalu dipanaskan untuk menghilangkan uap SO2. Pemanasan mula-mula dengan api kecil lalu api hijau hingga terbentuk

larutan berwarna jernih kehijauan. Kemudian dimasukkan ke dalam labu ukur (100 ml) dan diencerkan sampai tanda tera. Kemudian diambil 10 ml dimasukkan ke dalam labu destilasi dan ditambahkan 10 ml NaOH 30 %, lalu disuling. Destilasi dilakukan sampai uap destilasi tidak bereaksi basa (diuji dengan kertas pH). Hasil destilasi ditampung dalam 20 ml larutan asam boraks (H3BO3 3 %), dititrasi dengan HCl standar menggunakan merah methil

Perhitungan : % Total Nitrogen =

sampel mg

x Fp x Hcl N x HCl

ml 14,007

x 100 %

Kadar protein = % total nitrogen x Fk

10. Uji Organoleptik (Meilgaard et al., 1999)

Uji organoleptik yang dilakukan terhadap nugget ikan adalah uji penampakan fisik yang meliputi warna, aroma, rasa dan tekstur. Uji organoleptik ini menggunakan uji pembeda (different test) dengan kisaran nilai yang digunakan adalah 0-6 untuk masing- masing atribut. Nilai 0 = tidak


(1)

Lampiran 21 Hasil analisis sidik ragam Bilangan Peroksida nugget

Sumber keragaman

Derajat bebas JK KT F hitung

Perlakuan 3 24,445 8,148 26,20**

Galat 4 1,249 0,312

Total 7 25,694

Keterangan : F tab (0,05) = 6,59 dan F tab (0,01) = 16,69 ** = sangat berbeda nyata (P<0,01)

Lampiran 22 Hasil uji beda Tukey rata-rata Bilangan Peroksida nugget

Perlakuan Rata-rata Superskrip

B0 3,77 a

DP 4,81 b

B1 6,67 c

B2 8,33 d

Lampiran 23 Hasil analisis sidik ragam TBA nugget Sumber

keragaman

Derajat bebas JK KT F hitung

Perlakuan 3 0,0678 0,0226 8,68*

Galat 4 0,0104 0,0026

Total 7 0,0782

Keterangan : F tab (0,05) = 6,59 dan F tab (0,01) = 16,69 * = berbeda nyata (P<0,01)

Lampiran 24 Hasil uji beda Tukey rata-rata TBA nugget

Perlakuan Rata-rata Superskrip

DP 0,34 a

B0 0,38 a

B1 0,40 a


(2)

Lampiran 25 Hasil analisis sidik ragam Nilai Histamin nugget

Sumber keragaman

Derajat bebas JK KT F hitung

Perlakuan 3 117,84 39,28 27,18**

Galat 4 5,78 1,445

Total 7 123,62

Keterangan : F tab (0,05) = 6,59 dan F tab (0,01) = 16,69 * = berbeda nyata (P<0,01)

Lampiran 26 Hasil uji beda Tukey rata-rata Nilai Histamin nugget

Perlakuan Rata-rata Superskrip

DP 15,60 a

B0 16,20 a

B1 20,20 b

B2 25,20 c

Lampiran 27 Hasil analisis sidik ragam pertambahan berat badan tikus

Sumber keragaman

Derajat bebas

JK KT F hitung

Perlakuan 5 39127,1 7852,42 72,51**

Galat 24 2599,2 108,30

Total 29 41726,3

Keterangan : F tab (0,05) = 2,62 dan F tab (0,01) = 3,90 ** = sangat berbeda nyata (P<0,01)

Lampiran 28 Hasil uji beda Tukey rata-rata pertambahan berat badan tikus

Perlakuan Rata-rata Superskrip

Non Protein -8,4 a

Kasein (A) 53,8 b

B2 82 c

B1 88,8 cd

B0 89,6 cd


(3)

Lampiran 29 Hasil analisis sidik ragam efisiensi ransum tikus

Sumber keragaman

Derajat bebas

JK KT F hitung

Perlakuan 5 4706,3 941,26 77,79**

Galat 24 290,3 12,10

Total 29 4996,6

Keterangan : F tab (0,05) = 2,62 dan F tab (0,01) = 3,90 ** = sangat berbeda nyata (P<0.01)

Lampiran 30 Hasil uji beda Tukey rata-rata efisiensi ransum tikus

Perlakuan Rata-rata Superskrip

Non Protein -5,41 a

Kasein (A) 23,37 b

B1 27,97 c

B0 28,35 c

B2 28,71 c

DP 30,22 c

Lampiran 31 Hasil analisis sidik ragam konsumsi ransum tikus Sumber

keragaman

Derajat bebas

JK KT F hitung

Perlakuan 5 109729,9 21946 22,09**

Galat 24 23844,4 993,52

Total 29 133574,3

Keterangan : F tab (0,05) = 2,62 dan F tab (0,01) = 3,90 ** = sangat berbeda nyata (P<0.01)

Lampiran 32 Hasil uji beda Tukey rata-rata konsumsi ransum tikus

Perlakuan Rata-rata Superskrip

Non Protein 153,6 a

Kasein (A) 231,4 b

B2 285,8 c

B0 313,4 cd

B1 316,4 cd


(4)

Lampiran 33 Hasil analisis sidik ragam Daya Cerna (DC) sejati tikus

Sumber keragaman

Derajat bebas

JK KT F hitung

Perlakuan 4 9,707 2,426 6.06**

Galat 21 8,409 0,400

Total 25 1,116

Keterangan : F tab (0,05) = 2,84 dan F tab (0,01) = 4,41 ** = sangat berbeda nyata (P<0,01)

Lampiran 34 Hasil uji beda Tukey rata-rata Daya Cerna (DC) sejati tikus

Perlakuan rata-rata superskrip

Kasein (A) 97,610 ab

B1 98,069 bc

B0 98,481 c

B2 96,813 a

DP 98,458 c

Lampiran 35 Hasil analisis sidik ragam Nilai Biologis (NB) tikus Sumber

keragaman

Derajat bebas

JK KT F hitung

Perlakuan 4 184,425 46,106 4.14*

Galat 21 233,861 11,136

Total 25 418,286

Keterangan : F tab (0,05) = 2,84 dan F tab (0,01) = 4,41 * = berbeda nyata (P<0,05)

Lampiran 36 Hasil uji beda Tukey rata-rata Nilai Biologis (NB) tikus

Perlakuan rata-rata superskrip

Kasein (A) 97,610 b

B1 93,105 a

B0 92,080 a

B2 96,813 ab


(5)

Lampiran 37 Hasil analisis sidik ragam Nilai Protein Utilization (NPU) tikus

Sumber keragaman

Derajat bebas

JK KT F hitung

Perlakuan 4 146,761 36,690 3,90*

Galat 21 197,597 9,409

Total 25 344,358

Keterangan : F tab (0,05) = 2,84 dan F tab (0,01) = 4,41 * = berbeda nyata (P<0,05)

Lampiran 38 Hasil uji beda Tukey rata-rata Nilai Protein Utilization (NPU) tikus

Perlakuan rata-rata superskrip

Kasein (A) 96,823 b

B1 91,292 a

B0 90,683 a

B2 95,083 ab


(6)

Lampiran 39 Hasil perhitungan daya cerna, nilai biologis dan Net Protein Utilization pada tikus

Perlakuan

Jumlah konsumsi makan (g)

Jumlah protein intake

(g)

Jumlah N urine

(%)

Jumlah N feses

(g)

DC

(%) NB NPU

Kasein-1 83.5 8.35 0.013 0.176 97.913 99.107 97.039 Kasein-2 74.8 7.48 0.008 0.250 96.681 99.571 96.266 Kasein-3 77.4 7.74 0.020 0.191 97.555 98.637 96.225 Kasein-4 108.9 10.89 0.003 0.188 98.290 99.854 98.146 Kasein-5 74.6 7.46 0.016 0.180 97.610 98.799 96.438 rata-rata 83.84 8.384 0.012 0.197 97.610 99.194 96.823 DP-1 100.1 10.01 0.061 0.274 97.280 97.763 95.104 DP-2 134.1 13.41 0.088 0.225 98.335 97.062 95.446 DP-3 138.3 13.83 0.282 0.123 99.123 83.188 82.459 DP-4 138.9 13.89 0.158 0.176 98.745 93.474 92.301 DP-5 135 13.5 0.142 0.163 98.805 93.479 92.363 rata-rata 129.28 12.928 0.146 0.192 98.458 92.993 91.535 B0-1 130.4 13.04 0.189 0.284 97.835 94.866 92.813 B0-2 134.9 13.49 0.178 0.198 98.545 93.278 91.921 B0-3 98.0 9.80 0.246 0.173 98.252 85.346 83.854 B0-4 146.4 14.64 0.169 0.144 99.028 91.888 90.995 B0-5 111.7 11.17 0.078 0.142 98.744 95.024 93.831 rata-rata 124.28 12.428 0.172 0.188 98.481 92.080 90.683 B1-1 120.2 12.02 0.147 0.338 97.202 96.364 93.668 B1-2 109.3 10.93 0.149 0.157 98.579 91.222 89.926 B1-3 126.8 12.68 0.222 0.294 97.695 94.011 91.844 B1-4 107.6 10.76 0.138 0.122 98.882 89.339 88.34 B1-5 115.3 11.53 0.145 0.234 97.985 94.587 92.681 rata-rata 115.84 11.584 0.160 0.229 98.069 93.105 91.292 B2-1 95.9 9.59 0.022 0.295 96.941 96.942 96.185 B2-2 116.6 11.66 0.077 0.396 96.619 96.619 95.001 B2-3 105.8 10.58 0.056 0.465 95.621 95.621 94.529 B2-4 120.0 12.00 0.116 0.299 97.523 97.523 94.352 B2-5 131.2 13.12 0.094 0.348 97.361 97.361 95.347 rata-rata 113.9 11.39 0.073 0.361 96.813 96.813 95.083