The Regional Development Study of Sukabumi City

STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH
KOTA SUKABUMI

NOVIAR PAHLEVI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Studi Pengembangan
Wilayah Kota Sukabumi adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2014

Noviar Pahlevi
NIM A156120464

RINGKASAN
NOVIAR PAHLEVI. Studi Pengembangan Wilayah Kota Sukabumi. Dibimbing
oleh SETIA HADI dan SOEKMANA SOMA.
Pada proses pengembangan wilayah, Kota Sukabumi yang cukup berhasil
meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi menghadapi masalah dalam hal
pemerataan pembangunan antar kecamatan. Ketidakmerataan pembangunan antar
kecamatan diduga karena adanya perubahan batas wilayah administratif dimana
daerah yang baru bergabung tidak memiliki perkembangan yang sama dengan
daerah lama. Disparitas pembangunan antar wilayah ini dapat menyebabkan
timbulnya daerah tertinggal atau terbelakang yang apabila tidak ditangani secara
tepat melalui kebijakan pemerintah, dapat menimbulkan berbagai masalah yang
dapat menghambat pembangunan wilayah itu sendiri. Oleh karenanya diperlukan
kajian dan identifikasi mengenai arahan kebijakan pengembangan wilayah. Hal ini
penting pada perumusan kebijakan daerah untuk menciptakan pemerataan
pembangunan dalam rangka pengembangan wilayah Kota Sukabumi.
Berdasarkan perumusan masalah tersebut, maka penelitian ini bertujuan
untuk: (1) Menganalisis besaran tingkat dan dekomposisi disparitas pembangunan

wilayah, (2) Mengidentifikasi potensi sektor ekonomi yang dimiliki tiap
kecamatan, (3) Mengetahui tingkat perkembangan ekonomi dan hirarki masingmasing kecamatan, (4) Mengetahui persepsi stakeholder terhadap prioritas
pembangunan wilayah, dan (5) Mengkaji arahan kebijakan pengembangan
wilayah Kota Sukabumi.
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data
sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara dan kuisioner terhadap para
responden/ stakeholder. Sedangkan data sekunder meliputi: (1) Data Potensi Desa
(PODES) Tahun 2011; (2) Data PDRB; dan (3) Data Peta Administratif Wilayah.
Data direncanakan diperoleh dari Bappeda Kota Sukabumi, Badan Pusat Statistik
(BPS), dan dinas/badan/instansi terkait lainnya. Sementara metode analisis yang
digunakan adalah Indeks Williamson dan Indeks Theil untuk mengetahu tingkat
dan dekomposisi disparitas, LQ dan SSA untuk mengidentifikasi potensi sektor
ekonomi, Entropi dan skalogram untuk mengetahui tingkat perkembangan
wilayah, AHP untuk mengetahui prioritas pengembangan wilayah dan metode
deskriptif untuk menentukan arahan kebijakan pengembangan wilayah Kota
Sukabumi.
Berdasarkan hasil analisis disparitas wilayah ternyata terdapat kesenjangan
wilayah di Kota Sukabumi pada tingkat sedang/ tidak merata. Bahkan dalam
kurun waktu 2007 sampai 2011 tingkat disparitas di Kota Sukabumi mengalami
kenaikan. Ini berarti bahwa pembangunan yang telah dilakukan selama ini belum

efektif menciptakan pemerataan antar wilayah di Kota Sukabumi.
Untuk mengatasi hal tersebut maka perlu arahan pengembangan wilayah
berdasarkan potensi sektor ekonomi dan tingkat perkembangan masing-masing
wilayah. Berdasarkan hasil analisis LQ diketahui bahwa semua kecamatan di Kota
Sukabumi memiliki sektor basis. Sementara berdasarkan analisis SSA diketahui
bahwa Kota Sukabumi mengalami pertumbuhan yang cepat pada Sektor
Konstruksi dan Bangunan, Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran, serta Sektor
Pengangkutan dan Komunikasi. Dengan analisis perkembangan wilayah diketahui

bahwa Kecamatan Baros, Kecamatan Cibeureum dan Kecamatan Lembursitu
merupakan wilayah yang perlu diprioritaskan untuk dikembangkan karena ketiga
wilayah tersebut merupakan wilayah dengan tingkat perkembangan yang paling
rendah dan kurang berkembang.
Arahan kebijakan pengembangan wilayah Kota Sukabumi yang perlu
dilakukan diantaranya pengembangan menurut tingkat perkembangan wilayah
yang dibagi kedalam wilayah inti dan wilayah hinterland. Dimana kedua wilayah
ini harus diarahkan pada interaksi yang saling menguntungkan sehingga mampu
meningkatkan perkembangan antar wilayah di Kota Sukabumi. Sementara hasil
sintesis analisis LQ dan SSA dipergunakan untuk menentukan potensi sektor
ekonomi unggulan yang diarahkan pada pengembangan sektor pertanian agar

pembangunan yang terjadi di Kota Sukabumi tetap menjaga adanya keseimbangan
ekologis/ pembangunan berkelanjutan.
Kata kunci: disparitas, pembangunan berkelanjutan, pengembangan wilayah,
pertumbuhan ekonomi,

SUMMARY
NOVIAR PAHLEVI. The Regional Development Study of Sukabumi City.
Supervised by SETIA HADI and SOEKMANA SOMA.
In regional development process, Sukabumi city is quite successful in
increasing the rate of economic growth, but get problem in the distribution of
development between sub-districts. Disparity of sub-districts allegedly due to the
changed of administrative boundaries that the new districts which are joined
recently have not similar development with the old districts. Disparity between
regions can cause lagging or underdeveloped areas which if not properly handled
through government policy, can cause various problems that can obstruct the
development of the area itself. Therefore need a study and identification of the
policy directives of regional development. It is important in the formulation of
regional policies to create equitable development in order to develop Sukabumi
City.
Based on the issue formulation, the study aims to: (1) analyze the level and

the decomposition of regional development disparities in Sukabumi City, (2)
identify potential economic sectors in each sub-district in Sukabumi, (3)
determine the level of economic development and their hierarchy in each subdistrict in Sukabumi, (4) Find out the stakeholder’s perception on regional
development priorities of Sukabumi, and (5) reviewing regional development
policy directives in Sukabumi.
Data used in this study are primary data and secondary data. The primary
data
obtained
through
interviews
and
questionnaires
to
the
respondents/stakeholder, while secondary data include: (1) Potency of villages
(PODES) in 2011, (2) GDP, and (3) Administrative of Region Map. Data obtained
from Bappeda Sukabumi, the Central Statistics Agency (BPS), and other relevant
department/agency/authorities. Analyzing methods used are the Williamson index
and Theil index for decomposition and determines the level of disparity, LQ and
SSA to identify potential sectors of the economy, Entropy and schallogram to

determine the level of development of the region, the AHP to determine priorities
for regional development and descriptive method to determine the regional
development policy directives of Sukabumi.
Based on the disparity analysis, there are regional disparities in Sukabumi at
a medium level/uneven. Even, in the period 2007 to 2011 the level of disparity in
Sukabumi has increased. This means that the development has been done so far
has not been effectively create equity between regions in Sukabumi. To overcome
this problem, it is necessary to arrange regional development directives based on
the potential of economic sector and level of development of each region.
Based on the analysis of LQ is note that each districts in Sukabumi has a
basic sector. Based on the SSA analysis is note that Sukabumi has rapid growth in
the Construction and Building Sector, Tradings, Hotels and Restaurants Sector,
and Transportations and Communications Sector. With the regional development
analysis is note that Baros, Cibeureum and Lembursitu districts are the area that
need to be prioritized to be developed because these three regions have the lowest
level of development and underdeveloped.

Directions of regional development policy of Sukabumi should be done
according to the level of regional development which are divided into a node and
its hinterland. Both of these two regions should be directed to the mutual

interaction, which enhances the development between regions in Sukabumi. The
results of the analysis and synthesis of LQ and SSA are used to determine the
potential of leading economic sectors aimed to the development of the agricultural
sector so that the development in Sukabumi maintaining a balance of ecological /
sustainable development.
Keywords: disparity, economic growth, regional development, sustainable
development.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH
KOTA SUKABUMI


NOVIAR PAHLEVI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Penguji pada Ujian Tertutup: Dr. Ir. Dwi Putro Tejo Baskoro, M.Sc

Judul Tesis : Studi Pengembangan Wilayah Kota Sukabumi
Nama
: Noviar Pahlevi
NIM

: A156120464

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Setia Hadi, MS
Ketua

Dr. Ir. Soekmana Soma, MSP, MEng
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Ilmu Perencanaan Wilayah

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof Dr Ir Santun R.P. Sitorus


Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian:
27 Desember 2013

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam
penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei 2013 ini adalah Studi
Pengembangan Wilayah Kota Sukabumi.
Penelitian ini tidak terlepas dari peran dan dukungan berbagai pihak.
Ucapan terima kasih penulis ucapkan sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Dr Ir Setia Hadi, MS dan Bapak Dr. Ir. Soekmana Soma, MSP, M.Eng
selaku komisi pembimbing, serta Bapak Dr. Ir. Dwi Putro Tejo Baskoro,
M.Sc selaku penguji luar komisi yang telah banyak memberi arahan dan saran.
2. Pimpinan/staf Pusbindiklatren Bappenas yang telah memberikan kesempatan
beasiswa dan Pemerintah Kota Sukabumi yang telah memberikan ijin
pelaksanaan tugas belajar kepada penulis.
3. Segenap pengajar dan manajeman Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

Sekolah Pasca Sarjana IPB yang telah memberikan ilmu, pengetahuan dan
membantu penulis dalam pelaksanaan studi.
4. Orang-orang terkasih yaitu kedua orang tua, mertua, istriku tercinta Tria
Selfiyanti, anakku tersayang Maheswari Indyra Pahlevi serta seluruh keluarga
atas segala doa dan kasih sayangnya.
5. Rekan-rekan PWL 2012 dan semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan
satu persatu atas bantuan baik moril maupun materiil selama studi dan
penulisan tesis ini.
Akhirnya penulis berharap semoga karya ilmiah yang masih jauh dari
sempurna ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Bogor, Januari 2014
Noviar Pahlevi

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

vii

DAFTAR GAMBAR

vii

DAFTAR LAMPIRAN

viii

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Kerangka Pemikiran

1
1
4
5
5
5

2 TINJAUAN PUSTAKA
Konsep Pengembangan Wilayah
Kesenjangan Pembangunan antar Wilayah
Potensi Sektor Ekonomi
Penelitian Sebelumnya Mengenai Pengembangan Wilayah

7
7
9
11
12

3 METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Jenis dan Metode Pengumpulan Data
Bagan Alir Penelitian
Teknik Analisis Data
Analisis Kesenjangan Wilayah
Analisis Potensi Sektor Ekonomi
Analisis Tingkat Perkembangan Wilayah
Analisis Isu Utama Kebijakan Pengembangan Wilayah

14
14
14
16
17
17
19
20
23

4 KONDISI UMUM WILAYAH
Kondisi Fisik
Geografi dan Administrasi
Iklim dan Curah Hujan
Hidrologi
Topografi dan Kemiringan Lereng
Penggunaan Lahan
Kondisi Sosial
Penduduk
Tenaga kerja
Pendidikan
Kondisi Ekonomi
Keuangan Daerah
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

25
25
25
27
27
28
28
29
29
30
31
33
33
33

Pendapatan Perkapita
Pendapatan antar Wilayah

34
35

5 HASIL DAN PEMBAHASAN
36
Disparitas Pembangunan Wilayah di Kota Sukabumi
36
Identifikasi Potensi Ekonomi Setiap Wilayah di Kota Sukabumi
41
Potensi Sektor Komparatif
41
Potensi Sektor Kompetitif
45
Tingkat Perkembangan antar Wilayah di Kota Sukabumi
48
Perkembangan Diversitas Aktifitas Perekonomian
48
Hirarki Wilayah
51
Prioritas Pembangunan Wilayah berdasarkan Persepsi Stakeholders di Kota
Sukabumi
55
Arahan Kebijakan dalam Pengembangan Wilayah Kota Sukabumi
58
Arahan Pengembangan Wilayah Kelurahan
58
Prioritas Kecamatan dalam Pengembangan Wilayah Kota Sukabumi61
Pengembangan Potensi Ekonomi Kecamatan dan Pertanian Pangan
Berkelanjutan
62
Pengembangan Sumber Daya Manusia
66
6 KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Saran

69
69
70

DAFTAR PUSTAKA

71

LAMPIRAN

75

RIWAYAT HIDUP

85

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25

Laju Pertumbuhan PDRB Kota Sukabumi Menurut Kelompok
Sektor Tahun 2007-2011
PDRB Kecamatan Atas Dasar Harga Konstan di Kota Sukabumi
Tahun 2009-2011
Jenis, Sumber, cara Pengumpulan dan Analisis Data
Penentuan Nilai Selang Hirarki
Rincian Data Calon Responden
Kecamatan dan Kelurahan dalam Wilayah administrasi Kota
Sukabumi
Luas Tanah per Kecamatan dan Penggunaannya tahun 2011 (Ha)
Luas Lahan Kering/Bukan Sawah dan Penggunaannya tahun 2011
(Ha)
Jumlah Penduduk, Luas dan Kepadatan Kota Sukabumi, tahun 2011
Jumlah Penduduk menurut mata pencaharian tahun 2011
Jumlah Pelajar menurut jenjang pendidikan TA 2010/ 2011
Ringkasan Laporan Realisasi APBD Tahun Anggaran 2011
Struktur Ekonomi Kota Sukabumi menurut Kelompok Sektor Atas
Dasar Harga Berlaku tahun 2007-2011 (persen)
Kontribusi PDRB Kecamatan tahun 2007 – 2011 (persen)
Indeks Williamson Kota Sukabumi pada tahun 2011
Indeks Theil Kota Sukabumi pada tahun 2011
Nilai LQ berdasarkan nilai PDRB kecamatan persektor di Kota
Sukabumi Tahun 2011
Identifikasi sektor basis persektor di Kota Sukabumi tahun 2011
Hasil SSA berdasarkan Data PDRB per sektor di Kota Sukabumi
tahun 2007 dan 2011
Hubungan antara nilai differential shift dengan nilai proportional
shift
Identifikasi sektor kompetitif di Kota Sukabumi tahun 2011
Indeks Entropi Kecamatan di Kota Sukabumi tahun 2011
Indeks Entropi per Sektor di Kota Sukabumi tahun 2007-2011
Hirarki Wilayah Kecamatan berdasarkan Nilai IPK tahun 2011
Arahan pengembangan wilayah kelurahan

2
3
15
22
23
26
28
29
29
31
32
33
34
35
36
39
42
42
45
47
47
49
51
52
59

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5

Grafik PDRB Kecamatan tahun 2007-2011 di Kota Sukabumi
Kerangka Pemikiran Penelitian
Bagan alir Penelitian
Struktur AHP
Peta Wilayah Administrasi Kota Sukabumi

4
6
16
24
25

6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18

Jumlah pencari kerja menurut tingkat pendidikan dan jenis kelamin
pada tahun 2011
Persentase penduduk 10 tahun ke atas menurut ijasah tertinggi yang
dimiliki
Perkembangan Indeks Williamson tahun 2007 – 2011 di Kota
Sukabumi
Perkembangan Indeks Williamson tahun 2007 – 2011 di kawasan
Kota Sukabumi Utara (Kota Lama)
Dekomposisi Disparitas Wilayah tahun 2007 – 2011 di Kota
Sukabumi
Peta wilayah berdasarkan identifikasi sektor basis di Kota Sukabumi
Nilai Entropi per Kecamatan di Kota Sukabumi tahun 2007 – 2011
Peta hirarki kecamatan di Kota Sukabumi tahun 2011 Beserta
Kondisi Jalan yang Melintasinya
Peta hirarki kelurahan di Kota Sukabumi tahun 2011
Komposisi jumlah kelurahan di tiap kecamatan berdasarkan hirarki
wilayah tahun 2011
Persepsi Stakeholders dalam penentuan prioritas pembangunan
wilayah Kota Sukabumi yang merata
Persepsi Stakeholders dalam penentuan alternatif prioritas untuk
pemerataan pembangunan infrastruktur antar wilayah
Matriks Analisis berdasarkan nilai LQ dan Differential Shift pada
SSA menurut Kecamatan di Kota Sukabumi

30
32
37
38
40
43
50
53
55
55
56
57
63

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8

Laju Pertumbuhan PDRB ADHK 2000 menurut Kab/ Kota di
Provinisi Jawa Barat (Persen)
Hirarki Wilayah Kelurahan berdasarkan Nilai IPD tahun 2011
Analisis Indeks Theil Kota Sukabumi tahun 2011
Jenis data yang digunakan dalam Analisis Skalogram
Data asli fasilitas yang dipergunakan dalam penentuan hirarki
wilayah kecamatan di Kota Sukabumi tahun 2011
Sintesis hasil analisis ekonomi
Sintesis hasil analisis perkembangan wilayah
Analisis AHP berdasarkan persepsi stakeholder

75
76
77
79
80
82
83
84

1

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Proses pembangunan dapat diartikan sebagai upaya sistematis dan
berkesinambungan untuk mencapai keadaan yang dapat memberikan beberapa
alternatif bagi pencapaian aspirasi dan tujuan setiap warga negara yang
humanistik (Rustiadi et al. 2011). Pembangunan harus mencerminkan perubahan
dalam masyarakat, baik itu ekonomi, sosial, politik dan lain-lain.
Pembangunan daerah merupakan bagian dari Pembangunan Nasional, akan
tetapi arah pembangunan daerah harus disesuaikan dengan kepentingan daerah itu
sendiri. Dalam Undang–undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah disebutkan bahwa Pemerintah Daerah baik tingkat provinsi maupun
kabupaten memiliki peranan yang penting dalam perencanaan dan pelaksanaan
pembangunan. Pembangunan daerah perlu diarahkan untuk mendorong wilayah
agar tumbuh secara mandiri berdasarkan potensi sosial ekonomi dan karakteristik
spesifik wilayah yang dimilikinya. Ada tiga sasaran pengembangan wilayah
dalam kerangka pembangunan daerah yang dicanangkan oleh pemerintah pusat
dan pemerintah daerah, yaitu meningkatkan pertumbuhan ekonomi, memperluas
kesempatan berusaha, serta menjaga pembangunan agar tetap berjalan secara
berkesinambungan (sustainable development).
Pendekatan pembangunan ini memang telah berhasil mempercepat
perkembangan pusat pertumbuhan, namun tidak dapat diikuti oleh perkembangan
wilayah hinterland. Pendekatan pembangunan yang selama ini lebih menekankan
pada pertumbuhan ekonomi ternyata menimbulkan banyak masalah, karena
cenderung mengabaikan kesenjangan-kesenjangan pembangunan antar wilayah.
Investasi dan sumber daya lebih banyak terserap oleh perkotaan atau pusat
pertumbuhan, sementara wilayah hinterland mengalami pengurasan sumber daya
yang berlebihan sehingga menimbulkan kesenjangan pembangunan yang
mengakibatkan proses perkembangan suatu wilayah tidak dapat berlangsung
secara merata yang pada akhirnya menimbulkan disparitas atau ketimpangan
pembangunan antar wilayah.
Posisi geografis Kota Sukabumi yang berjarak ± 120 Km dengan Kota
Jakarta sebagai ibu kota negara dan Kota Bandung sebagai ibu kota propinsi ± 90
Km, menjadikan Kota Sukabumi berada pada posisi strategis karena berada
diantara pusat pertumbuhan megaurban Jabodetabek dan Bandung Raya. Posisi
strategis tersebut telah mendorong tingginya investasi sektor tersier terutama di
bidang perdagangan dan jasa yang berdampak positif terhadap pertumbuhan
ekonomi.
Perekonomian Kota Sukabumi yang ditunjukan oleh Laju Pertumbuhan
Ekonomi meningkat cukup signifikan di tahun 2011 yaitu sebesar 6,31% (Tabel 1),
meskipun masih berada di bawah laju pertumbuhan ekonomi Propinsi Jawa Barat
yang tumbuh sebesar 6,48% (Lampiran1). Ini menunjukan bahwa Kota Sukabumi
memiliki pertumbuhan ekonomi yang cukup baik dan berada di peringkat ke 6
dari 26 kabupaten/ kota yang ada di Provinsi Jawa Barat.

2
Tabel 1 Laju Pertumbuhan PDRB Kota Sukabumi Menurut Kelompok Sektor
Tahun 2007-2011
Kelompok Sektor
Atas Dasar Harga Berlaku (%)
1. Sektor Primer
2. Sektor Sekunder
3. Sektor Tersier
PDRB Kota Sukabumi
Atas Dasar Harga Konstan (%)
1. Sektor Primer
2. Sektor Sekunder
3. Sektor Tersier
PDRB Kota Sukabumi

2007

2008

Tahun
2009
2010

3,79
15,04
10,64
10,81

19,05
19,66
17,65
17,95

9,56
15,3
18,18
17,42

13,14
18,04
17,96
17,76

7,5
10,92
15,26
14,41

3,34
7,92
6,49
6,51

5,88
8
5,83
6,11

-8,5
3,89
7,28
6,14

1,87
7,23
6,13
6,12

1,8
5,96
6,65
6,31

2011

Pada Tabel 1 memperlihatkan bahwa berdasarkan harga konstan pada tahun
2011, adanya kekuatan kelompok tersier yang mendominasi pertumbuhan
tertinggi sebesar 6,65%, diikuti kelompok sekunder 5,96% dan yang terendah
adalah sektor primer sebesar 1,8%. Kondisi tersebut mampu menciptakan
pertumbuhan ekonomi Kota Sukabumi sebesar 6,31%. Tingginya kontribusi
sektor tersier menunjukan bahwa perkembangan wilayah Kota Sukabumi telah
didominasi oleh aktifitas perdagangan, jasa dan pelayanan.
Sesuai dengan kondisi obyektif yang terus berkembang, pertumbuhan kota
mengarah kepada kegiatan perekonomian yang berbasis pada jasa meliputi
perdagangan, perhotelan, perbankan, kesehatan, pendidikan dan pertanian. Hal
inilah yang mendasari penetapan visi kedepan keberadaan Kota Sukabumi ”
Terwujudnya Kota Sukabumi sebagai Pusat Pelayanan Berkualitas Bidang
Pendidikan, Kesehatan dan Perdagangan di Jawa Barat Berlandaskan Iman dan
Takwa ” yang kemudian ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kota Sukabumi
No.7 Tahun 2008 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Kota
Sukabumi 2005 – 2025.
Pada proses pengembangan wilayah, Kota Sukabumi yang cukup berhasil
meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi menghadapi masalah dalam hal
pemerataan pembangunan antar kecamatan. Dimana masih adanya wilayahwilayah dengan pertumbuhan ekonomi yang rendah dan ada wilayah yang maju
dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Ketidakmerataan pembangunan antar
kecamatan diduga karena adanya perubahan batas wilayah administratif dimana
daerah yang baru bergabung tidak memiliki perkembangan yang sama dengan
daerah lama. Kawasan Kota Sukabumi yang terletak di bagian selatan didominasi
oleh wilayah hasil pemekaran yang berasal dari wilayah Kabupaten Sukabumi dan
masih bercirikan daerah rural, sedangkan yang terletak di daerah utara sudah
bercirikan urban.
Berdasarkan PP No.3 Tahun 1995 tentang Perubahan Batas Wilayah
Kotamadya DT. II Sukabumi dan Kabupaten DT. II Sukabumi, terjadi perubahan/
perluasan wilayah Kota Sukabumi menjadi 48 Km2. Sebagian wilayah Kabupaten

3
Sukabumi menjadi bagian wilayah administratif Kotamadya Sukabumi, sehingga
Kotamadya Sukabumi mengalami perluasan wilayah administratif dan
penambahan jumlah desa/ kelurahan. Pada tahun 2000 berdasarkan Perda No.15
tahun 2000 tentang pembentukan kecamatan dan kelurahan di Kota Sukabumi,
ditetapkan perubahan wilayah adminstratif menjadi 7 (tujuh) kecamatan dan 33
(tigapuluh tiga) kelurahan. Pemekaran wilayah dan perubahan wilayah
administrasi Kota Sukabumi tersebut berdampak terhadap pengembangan wilayah
dan permasalahannya dalam hal pemerataan pembangunan antar kecamatan.
Salah satu indikator untuk mengetahui terjadinya ketimpangan dalam
pemerataan pembangunan antar kecamatan dapat dilihat dari kontribusi PDRB
perkecamatan. Perkembangan PDRB setiap kecamatan di Kota Sukabumi
diketahui memiliki perbedaan yang cukup besar (Tabel 2), dimana nilai PDRB
kecamatan yang berada di bagian selatan jauh lebih kecil dibandingkan dengan
PDRB kecamatan bagian utara. PDRB diyakini dapat memberikan Gambaran
keberhasilan pembangunan wilayah melaui pertumbuhan ekonomi, struktur
ekonomi, dan peranan sektor ekonomi yang diukur dari perbedaan PDRB tahun
tertentu dengan tahun sebelumnya.
Tabel 2 PDRB Kecamatan Atas Dasar Harga Konstan di Kota Sukabumi Tahun
2009-2011
Tahun
Kecamatan

2009

2010

2011

PDRB

Kontribusi

PDRB

Kontribusi

PDRB

Kontribusi

(juta rupiah)

(%)

(juta rupiah)

(%)

(juta rupiah)

(%)

Cikole

479.033,84

26,47

518.954,00

27,02

553.328,63

27,10

Citamiang

342.088,99

18,90

358.531,21

18,67

381.957,99

18,71

Gunungpuyuh

270.569,74

14,95

284.493,24

14,81

302.238,47

14,80

Warudoyong

385.102,94

21,28

409.341,66

21,31

435.978,20

21,35

Baros

108.462,36

5,99

113.552,20

5,91

119.690,62

5,86

Cibeureum

95.608,81

5,28

99.662,32

5,19

104.823,26

5,13

Lembursitu

128.964,55

7,13

136.192,42

7,09

143.952,57

7,05

Jumlah

1.809.831,23

100,00

1.920.727,05

100,00

2.041.969,74

100,00

Tabel tersebut menggambarkan bahwa kegiatan ekonomi di Kota Sukabumi
terkonsentrasi di Kecamatan Cikole yang memberikan kontribusi ekonomi sebesar
28,36%, diikuti oleh kecamatan-kecamatan disekitarnya yang berada di kawasan
Kota Sukabumi Utara dengan besarnya kontribusi diatas 14%. Sementara
kecamatan-kecamatan lain yang berada di kawasan Kota Sukabumi Selatan hanya
memberikan kontribusi yang besarnya tidak mencapai 8%. Besarnya perbedaan
kontribusi PDRB kecamatan dapat terlihat jelas dengan grafik yang terdapat pada
Gambar 1.
Berdasarkan Gambar 1 dapat diketahui bahwa dari tahun 2007 hingga 2011
kawasan Kota Sukabumi Utara yang terdiri dari 4 kecamatan memiliki kontribusi
yang jauh berbeda dengan kawasan Kota Sukabumi Selatan yang terdiri dari 3
kecamatan. Kondisi ini memperlihatkan adanya ketimpangan pembangunan
ekonomi antar wilayah di Kota Sukabumi.

4
600000.0
500000.0
Cikole
400000.0

Citamiang
Gunungpuyuh

300000.0

Warudoyong
Baros

200000.0

Cibereum
100000.0

Lembursitu

.0
2007

2008

2009

2010

2011

Gambar 1 Grafik PDRB Kecamatan tahun 2007-2011 di Kota Sukabumi
Menurut Rustiadi et al. (2011), ketidakmerataan pembangunan antar
wilayah dapat menimbulkan urban bias yang mendorong percepatan urbanisasi
dan pada akhirnya dapat menimbulkan biaya-biaya sosial yang tinggi dan
berdampak pada tidak meratanya jumlah dan kepadatan penduduk. Proses migrasi
akan terjadi sebagai respon dari masyarakat karena adanya ekpektasi
meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang bermigrasi. Hal ini disebabkan
wilayah yang lebih maju akan menarik SDM dari wilayah lain, sehingga
perkembangan daerah yang ditinggalkan menjadi tidak optimal.
Perkembangan kawasan Kota Sukabumi Utara yang dilengkapi sarana dan
prasarana dengan kualitas dan kuantitas yang lebih baik telah membuat kepadatan
penduduk perkecamatan di wilayah ini memiliki tingkat kepadatan penduduk
diatas rata-rata, sementara kawasan Kota Sukabumi Selatan tingkat kepadatan
penduduknya masih dibawah rata-rata. Jika ditinjau dari Luas wilayah Kota
Sukabumi yang hanya 4.800 Ha atau 48 Km2, dan Jumlah Penduduk pada tahun
2011 sebanyak 356.085 jiwa, maka kepadatan penduduk rata-rata per Km2 adalah
7.418,08 jiwa/Km2.

Perumusan Masalah
Ketimpangan pembangunan akan melahirkan beberapa masalah, diantaranya
terjadi urbanisasi masyarakat dari wilayah yang tertinggal ke wilayah perkotaan,
yang menambah permasalahan di pusat pertumbuhan sekaligus memperlemah
daerah yang tertinggal. Wilayah hinterland menjadi lemah karena pengurasan
sumber daya (backwash), sementara nilai tambah mengalir dan terakumulasi di
pusat-pusat pertumbuhan. Disparitas pembangunan antar wilayah ini dapat
menyebabkan timbulnya daerah tertinggal atau terbelakang yang apabila tidak
ditangani secara tepat melalui kebijakan pemerintah, dapat menimbulkan berbagai
masalah yang dapat menghambat pembangunan wilayah itu sendiri. Oleh
karenanya diperlukan kajian dan identifikasi mengenai arahan kebijakan

5
pengembangan wilayah. Hal ini penting pada perumusan kebijakan daerah untuk
menciptakan pemerataan pembangunan dalam rangka pengembangan wilayah
Kota Sukabumi.
Dari beberapa uraian di atas, maka yang menjadi pertanyaan dan perlu dikaji
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Berapa besaran tingkat dan dekomposisi disparitas pembangunan antar
wilayah?
2. Apa saja potensi sektor ekonomi yang dimiliki tiap kecamatan?
3. Bagaimana tingkat perkembangan ekonomi dan hirarki masing-masing
kecamatan?
4. Bagaimana persepsi stakeholders terhadap prioritas pembangunan wilayah?
5. Apa arahan kebijakan yang tepat untuk pengembangan wilayah Kota
Sukabumi?

Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah tersebut di atas, maka penelitian ini
bertujuan untuk:
1. Menganalisis tingkat dan dekomposisi disparitas pembangunan wilayah di
Kota Sukabumi.
2. Mengidentifikasi potensi sektor ekonomi yang dimiliki tiap kecamatan di
Kota Sukabumi.
3. Mengetahui tingkat perkembangan ekonomi dan hirarki masing-masing
kecamatan di Kota Sukabumi.
4. Mengetahui persepsi stakeholder terhadap prioritas pembangunan wilayah di
Kota Sukabumi
5. Mengkaji arahan kebijakan pengembangan wilayah Kota Sukabumi.

Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai:
1. Bahan informasi dan pemikiran bagi pemerintah daerah tentang arahan
pengembangan wilayah Kota Skabumi.
2. Bahan masukan dalam perumusan kebijakan pembangunan daerah.
3. Bahan pembelajaran dan pengembangan perencanaan wilayah dengan isu
sentralnya adalah pengembangan wilayah untuk mengatasi disparitas
pembangunan antar wilayah.

Kerangka Pemikiran
Paradigma lama yang lebih mengutamakan pertumbuhan ekonomi dengan
kebijakan pembangunan yang sentralistik pada dasarnya telah membuat
pertumbuhan ekonomi di Kota Sukabumi secara agregat mengalami
perkembangan yang cukup baik. Namun apakah keberhasilan ini juga telah
mampu menciptakan pemerataan pembangunan diseluruh wilayah Kota Sukabumi
yang mengalami pemekaran wilayah pada tahun 1995.

6
Kondisi eksisting di Kota Sukabumi berdasarkan kontribusi PDRB dan data
Podes mengenai ketersediaan sarana prasarana antar wilayah dapat diketahui
apakah program pengembangan wilayah telah berhasil menciptakan pemerataan
pembangunan antar wilayah atau sebaliknya. Dengan analisis disparitas akan
diketahui tingkat keberhasilan pengembangan wilayah Kota Sukabumi dalam
mengatasi ketimpangan antar wilayah. Hal tersebut diperlukan untuk mengetahui
sejauh mana keberhasilan/ efektifitas program pembangunan Kota Sukabumi yang
telah dilakukan.
Jika ternyata masih terdapat ketimpangan antar wilayah di Kota Sukabumi
maka perlu diketahui wilayah-wilayah mana saja yang memiliki perkembangan
ekonomi dan hirarki yang cukup baik dan mana yang kurang berkembang. Ini
penting diketahui untuk menentukan prioritas wilayah untuk dikembangkan.
Selain itu untuk pengembangan wilayah Kota Sukabumi perlu juga diperhatikan
potensi-potensi sektor ekonomi yang dimiliki masing-masing wilayah dan
persepsi stakeholder untuk menentukan arahan kebijakan yang tepat dalam
menciptakan pembangunan Kota Sukabumi yang merata.
Secara umum, kerangka pemikiran yang digunakan dalam penelitian ini
dapat dilihat pada Gambar 2.

PEMEKARAN WILAYAH

PARADIGMA LAMA
PEMBANGUNAN

PENGEMBANGAN WILAYAH
KOTA SUKABUMI

KONDISI EKSISTING

Tidak

· Pertumbuhan Ekonomi
· Sentralistik
DISPARITAS?

Ya

POTENSI SEKTOR
EKONOMI

TINGKAT
PERKEMBANGAN
WILAYAH

ARAHAN PENGEMBANGAN WILAYAH
KOTA SUKABUMI

Gambar 2 Kerangka Pemikiran Penelitian

PERSEPSI
STAKEHOLDER

7

2 TINJAUAN PUSTAKA
Konsep Pengembangan Wilayah
Dalam Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang,
wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur
yang terkait kepadanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek
administratif dan/atau aspek fungsional. Menurut Rustiadi et al. (2011) wilayah
dapat didefinisikan sebagai unit geografis dengan batas-batas spesifik tertentu
dimana komponen-komponen wilayah tersebut satu sama lain saling berinteraksi
secara fungsional. Komponen-komponen wilayah mencakup komponen biofisik
alam, sumber daya buatan (infrastruktur), manusia serta bentuk-bentuk
kelembagaan. Dengan demikian istilah wilayah menekankan interaksi antar
manusia dengan sumber daya-sumber daya lainnya yang ada di dalam suatu
batasan unit geografis tertentu.
Dalam Peraturan Daerah Kota Sukabumi No. 11 tahun 2012 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Sukabumi tahun 2011-2031 disebutkan bahwa
Wilayah Kota adalah seluruh wilayah Kota Sukabumi yang meliputi ruang darat
dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi berdasarkan ketentuan peraturan
perundangan-undangan. Dalam proses pengembangannya, wilayah Kota
Sukabumi diarahkan pada kawasan budi daya untuk mendorong pertumbuhan
wilayah. Kawasan budi daya merupakan wilayah yang ditetapkan dengan fungsi
utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam,
sumber daya manusia dan sumber daya buatan.
Konsep wilayah yang paling klasik (Hagget et al., 1977 dalam Rustiadi et
al., 2011) mengenai tipologi wilayah, mengklasifikasikan konsep wilayah ke
dalam tiga kategori, yaitu: 1) wilayah homogen (uniform/homogenous region), 2)
wilayah nodal (nodal region), dan 3) wilayah perencanaan (planning region atau
programming region). Sejalan dengan konsep wilayah nodal, maka suatu wilayah
dipandang secara dikotomis (tebagi menjadi dua bagian), yaitu wilayah inti (pusat
wilayah/ pertumbuhan) dan wilayah hinterland (daerah belakang) yang memiliki
hubungan fungsional.
Wilayah inti berfungsi sebagai: (1) tempat terkonsentrasinya penduduk
(pemukiman); (2) pusat pelayanan terhadap daerah hinterland; (3) pasar bagi
komoditas-komoditas pertanian maupun industri dan (4) lokasi pemusatan industri
manufaktur. Sementara wilayah hinterland berfungsi sebagai: (1) pemasok
(produsen) bahan mentah; (2) pemasok tenaga kerja; (3) daerah pemasaran barang
dan jasa industri manufaktur dan (4) penjaga keseimbangan ekologis.
Pengembangan wilayah merupakan program menyeluruh dan terpadu dari
semua kegiatan dengan memperhitungkan sumber daya yang ada dan memberikan
kontribusi pada pembangunan suatu wilayah. Konsep pengembangan wilayah
adalah suatu upaya dalam mewujudkan keterpaduan penggunaan sumber daya
dengan penyeimbangan dan penyerasian pembangunan antar daerah, antar sektor
serta pelaku pembangunan dalam mewujudkan tujuan pembangunan daerah.
Strategi pengembangan suatu wilayah sangat ditentukan oleh karakteristik dan
potensi yang terdapat di wilayah tersebut. Oleh karena itu, sebelum melakukan
suatu perumusan tentang kebijakan yang akan dilaksanakan perlu untuk

8
mengetahui tipe/jenis kebijakan yang tepat dilakukan dalam pengembangan
wilayah. Menurut Anwar (2005) dalam suatu wilayah akan terdapat beberapa
macam karakteristik wilayah yaitu:
1. Wilayah maju
2. Wilayah sedang berkembang
3. Wilayah belum berkembang, dan
4. Wilayah tidak berkembang
Wilayah maju adalah wilayah yang telah berkembang yang biasanya
dicirikan sebagai pusat pertumbuhan. Di wilayah ini terdapat pemusatan
penduduk, industri, pemerintahan dan sekaligus pasar yang potensial. Wilayah
yang sedang berkembang biasanya dicirikan oleh pertumbuhan yang cepat dan
biasanya merupakan wilayah penyangga dari wilayah maju, karena itu
mempunyai aksesibilitas yang sangat baik terhadap wilayah maju, juga dicirikan
oleh potensi sumber daya alam yang tinggi, pendapatan dan kesempatan kerja
yang tinggi, namun belum terjadi kesesakan dan tekanan biaya sosial. Sedangkan
wilayah yang belum berkembang tingkat pertumbuhannya masih rendah baik
secara absolut, maupun secara relatif, namun memiliki potensi sumber daya alam
yang belum dikelola atau dimanfaatkan, tingkat kepadatan penduduk yang masih
rendah, pendapatan dan pendidikan yang juga relatif rendah. Wilayah yang tidak
berkembang dicirikan oleh dua hal yaitu : (a) wilayah tersebut memang tidak
memiliki potensi baik potensi sumber daya alam maupun potensi lokasi, sehingga
secara alamiah sulit sekali berkembang dan mengalami pertumbuhan dan (b)
wilayah tersebut sebenarnya memiliki potensi, baik sumber daya alam atau lokasi
maupun memiliki keduanya, tetapi tidak dapat berkembang dan bertumbuh karena
tidak memiliki kesempatan dan cenderung dieksploitasi oleh wilayah lain.
Setelah tipe/ jenis wilayah diketahui, maka dapat dirumuskan kebijakan
yang tepat dalam kerangka pengembangan wilayah. Salah satu aspek dalam
pengembangan wilayah yang perlu diperhatikan adalah kegiatan perencanaan
wilayah. Menurut Tarigan (2008) perencanaan wilayah adalah perencanaan
penggunaan ruang wilayah dan perencanaan kegiatan pada ruang wilayah tersebut.
Perencanaan penggunaan ruang wilayah diatur dalam bentuk perencanaan tata
ruang wilayah, sedangkan perencanaan kegiatan dalam wilayah diatur dalam
perencanaan pembangunan wilayah. Salah satu pendekatan dalam perencanaan
pembangunan menurut Tarigan (2008) adalah pendekatan sektoral. Pendekatan
sektoral dilakukan dengan mengelompokkan kegiatan pembangunan kedalam
sektor-sektor, selanjutnya masing-masing sektor dianalisis satu persatu untuk
menetapkan apa yang dapat dikembangkan atau ditingkatkan dari sektor-sektor
tersebut guna mengembangkan wilayah.
Alkadri et al. (2001) mengatakan bahwa pengembangan wilayah pada
umumnya mencakup berbagai dimensi pembangunan yang dilaksanakan secara
bertahap. Pada tahap awal, kegiatan pengembangan wilayah biasanya ditekankan
pada pembangunan fisik untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, kemudian
diikuti dengan pembangunan sistem sosial dan politik. Namun begitu, tahapan ini
bukanlah merupakan suatu ketentuan yang baku, karena setiap wilayah
mempunyai potensi pertumbuhan yang berbeda dengan wilayah lain. Potensi
sumber daya alam, kondisi sosial, budaya, ekonomi masyarakat, ketersediaan
infrastruktur dan lain-lain sangat berpengaruh pada penerapan konsep
pengembangan wilayah yang digunakan.

9

Kesenjangan Pembangunan antar Wilayah
Pendekatan pembangunan daerah yang selama ini dilaksanakan, terlalu
menekankan pada batas-batas administratif yang sering tidak mengakomodasikan
keragaman potensi, permasalahan dan keterkaitan antar daerah. Wilayah-wilayah
yang memerlukan penanganan atau intervensi pemerintah untuk dapat
dikembangkan meliputi kawasan yang sangat luas, sementara sumber daya yang
dimiliki untuk mengelolanya relatif terbatas.
Pembangunan berbasis pengembangan wilayah memandang pentingnya
keterpaduan antar sektor, spasial, serta pelaku pembangunan di dalam maupun
antar daerah, sehingga tujuan dari pembangunan berupa pertumbuhan (growth),
pemerataan (equity), dan keberlanjutan (sustainability) dapat dicapai. Namun
demikian pembangunan wilayah yang dilaksanakan seringkali dihadapkan pada
pilihan yang bersifat trade off sehingga salah satu dari ketiga tujuan tersebut tidak
dapat dicapai. Pembangunan yang dilaksanakan seringkali tidak bisa merata baik
antar sektor maupun antar wilayah sehingga menyebabkan terjadinya kesenjangan
pembangunan atau disparitas pembangunan antar wilayah.
Menurut Chaniago et al. (2000) kesenjangan diartikan sebagai suatu kondisi
yang tidak seimbang atau ketidakberimbangan atau ketidaksimetrisan.
Dihubungkan dengan pembangunan sektoral atau wilayah, kesenjangan
pembangunan adalah suatu kondisi ketidakberimbangan pembangunan antar
sektor dan antar wilayah yang ditunjukkan oleh perbedaan pertumbuhan antar
wilayah. Kesenjangan pertumbuhan antar wilayah tergantung pada perkembangan
struktur sektor-sektor ekonomi dan struktur wilayah (perkembangan sarana dan
prasarana sosial-ekonomi, seperti sarana pendidikan, kesehatan, perumahan,
transportasi, sanitasi dan lain-lain). Kesenjangan pembangunan yang terjadi dapat
menyebabkan munculnya berbagai permasalahan baik masalah sosial, politik,
ekonomi dan lingkungan.
Penyebab dari kesenjangan pembangunan antar wilayah sebagaimana
diungkapkan Rustiadi et al. (2011) antara lain :
1) Faktor Geografis
Suatu wilayah atau daerah yang sangat luas akan terjadi variasi pada keadaan
fisik alam berupa topografi, iklim, curah hujan, sumber daya mineral dan
variasi spasial lainnya. Apabila faktor-faktor lainnya sama, maka wilayah
dengan kondisi geografis yang lebih baik akan berkembang dengan lebih baik.
2) Faktor Historis
Perkembangan masyarakat dalam suatu wilayah tergantung dari kegiatan atau
budaya hidup yang telah dilakukan masa lalu. Bentuk kelembagaan atau
budaya dan kehidupan perekonomian pada masa lalu merupakan penyebab
yang cukup penting terutama yang terkait dengan sistem insentif terhadap
kapasitas kerja. Wilayah yang memiliki sejarah kelembagaan dan kehidupan
perekonomian yang maju akan berkembang lebih baik.
3) Faktor Politis
Tidak stabilnya suhu politik sangat mempengaruhi perkembangan dan
pembangunan di suatu wilayah. Instabilitas politik akan menyebabkan orang
ragu untuk berusaha atau melakukan investasi sehingga kegiatan ekonomi di
suatu wilayah tidak akan berkembang, bahkan terjadi pelarian modal ke luar

10
wilayah, untuk diinvestasikan ke wilayah yang lebih stabil. Wilayah dengan
stabilitas politik yang terjaga akan berkembang lebih baik.
4) Faktor Kebijakan
Terjadinya kesenjangan antar wilayah bisa diakibatkan oleh kebijakan
pemerintah. Kebijakan pemerintah yang sentralistik hampir di semua sektor,
dan lebih menekan pertumbuhan dan membangun pusat-pusat pembangunan
di wilayah tertentu menyebabkan kesenjangan yang luar biasa antar daerah.
Menurut Lessmann (2006) negara dengan tingkat desentralisasi fiskal yang
tinggi memiliki kesenjangan wilayah yang rendah. Kewenangan dan otonomi
lokal terhadap kapasitas fiskal wilayah yang besar akan dapat mengurangi
kesenjangan.
5) Faktor Administratif
Kesenjangan wilayah dapat terjadi karena perbedaan kemampuan pengelolaan
administrasi. Wilayah yang dikelola dengan administrasi yang baik cenderung
lebih maju. Wilayah yang ingin maju harus mempunyai administrator yang
jujur, terpelajar, terlatih, dengan sistem administrasi yang efisien.
6) Faktor Sosial
Masyarakat yang tertinggal cenderung memiliki kepercayaan-kepercayaan
yang primitif, kepercayaan tradisional dan nilai-nilai sosial yang cenderung
konservatif dan menghambat perkembangan ekonomi. Sebaliknya masyarakat
yang relatif maju umumnya memiliki institusi dan perilaku yang kondusif
untuk berkembang. Perbedaan ini merupakan salah satu penyebab
kesenjangan wilayah.
7) Faktor Ekonomi
Faktor ekonomi yang menyebabkan kesenjangan antar wilayah yaitu
a) Perbedaan kuantitas dan kualitas dari faktor produksi yang dimiliki
seperti: lahan, infrastruktur, tenaga kerja, modal, organisasi dan
perusahaan;
b) Terkait akumulasi dari berbagai faktor. Salah satunya lingkaran
kemiskinan, konsumsi rendah, tabungan rendah, investasi rendah, standar
hidup rendah, efisiensi yang rendah pengangguran meningkat.
Sebaliknya diwilayah yang maju, masyarakat maju, standar hidup tinggi,
pendapatan semakin tinggi, tabungan semakin banyak yang pada
akhirnya masyarakat semakin maju;
c) Kekuatan pasar bebas telah mengakibatkan faktor-faktor ekonomi seperti
tenaga kerja, modal, perusahaan dan aktifitas ekonomi seperti industri,
perdagangan, perbankan, dan asuransi yang dalam ekonomi maju
memberikan hasil yang lebih besar, cenderung terkosentrasi di wilayah
maju.
Myrdal (1957) mengatakan bahwa sistem kapitalis yang menekankan
kepada tingkat keuntungan bagi suatu wilayah yang memberikan harapan tingkat
keuntungan tinggi akan berkembang menjadi pusat-pusat perkembangan
kesejahteraan. Di sisi lain, wilayah-wilayah dengan harapan tingkat keuntungan
yang rendah tidak akan berkembang sehingga terjadi kesenjangan. Teori efek
polarisasi menjelaskan kesenjangan antar wilayah yang meningkat karena
berpindahnya faktor produksi dari wilayah yang terbelakang ke wilayah yang
lebih maju (backwash effect).

11

Potensi Sektor Ekonomi
Di Indonesia pembangunan ekonomi secara umum dibagi kedalam sembilan
sektor dan untuk mengembangkan semua sektor tesebut secara bersamaan,
diperlukan investasi yang sangat besar. Jika modal (investasi) tidak cukup, maka
perlu ada penetapan prioritas pembangunan. Biasanya sektor yang mendapat
prioritas tersebut adalah sektor unggulan yang diharapkan dapat mendorong (push
factor) sektor-sektor lain untuk berkembang menjadi pendorong utama (prime
mover) pertumbuhan ekonomi wilayah (Rustiadi et al. 2011).
Secara garis besar, menurut Rustiadi et al. (2011); Widodo (2006); Tarigan
(2005), sektor ekonomi suatu wilayah dapat dibagi dalam dua golongan, yaitu
sektor basis (leading sector) dimana kelebihan dan kekurangan yang terjadi dalam
proses pemenuhan kebutuhan tersebut menyebabkan terjadinya mekanisme ekspor
dan impor antar wilayah. Artinya industri basis ini akan menghasilkan barang dan
jasa, baik untuk pasar domestik daerah maupun pasar luar wilayah/daerah.
Sedangkan sektor non-basis adalah sektor dengan kegiatan ekonomi yang hanya
melayani pasar di daerahnya sendiri dan kapasitas ekspor daerah belum
berkembang. Rustiadi et al. (2011), lebih lanjut mengatakan bahwa pembangunan
terhadap sektor basis (leading sector) didasarkan pada dua kerangka konseptual
pembangunan wilayah yang dipergunakan secara luas. Pertama, konsep basis
ekonomi; konsep ini terutama dipengaruhi oleh kepemilikan masa depan terhadap
pembangunan daerah (dalam konteks nasional adalah merkantilisme). Teori basis
ekonomi beranggapan bahwa permintaan terhadap input hanya dapat meningkat
melalui perluasan permintaan terhadap output yang diproduksi oleh sektor basis
(ekspor) dan sektor non basis (lokal). Permintaan terhadap produksi sektor lokal
hanya dapat meningkat bila pendapatan lokal meningkat. Tetapi peningkatan
pendapatan ini hanya terjadi bila sektor basis (ekspor) meningkat. Oleh karena itu,
menurut teori basis ekonomi, ekspor daerah merupakan faktor penentu dalam
pembangunan ekonomi.
Kedua, konsep beranggapan bahwa perbedaan tingkat imbalan (rate of
return) adalah lebih dibawakan oleh perbedaan dalam lingkungan dari atau
prasarana, dari pada ketidakseimbangan rasio modal-tenaga. Dalam kerangka
pemikiran ini, daerah terbelakang bukan karena tidak beruntung atau karena
kegagalan pasar, tetapi karena produktifitasnya yang rendah. Oleh karena itu
investasi dalam prasarana adalah penting sebagai sarana pembangunan daerah.
Namun demikian, tidak seperti pendekatan basis ekonomi, tidak banyak terdapat
studi empirik dengan menggunakan konsep kedua ini. Hal ini disebabkan karena
kelangkaan data (terutama mengenai stok barang modal).
Metode LQ (location quontient) dan SSA (shift share analysis) merupakan
dua metode yang sering dipakai sebagai indikator sektor ekonomi unggulan.
Untuk mengetahui potensi aktifitas ekonomi yang merupakan indikasi sektor basis
dan bukan basis dapat digunakan metode LQ, yang merupakan perbandingan
relatif antara kemampuan sektor yang sama pada daerah yang lebih luas dalam
suatu wilayah. Asumsi dalam LQ adalah terdapat sedikit variasi dalam pola
pengeluaran secara geografi dan produktifitas tenaga kerja seragam serta masingmasing industri menghasilkan produk atau jasa yang seragam.

12
Berbagai dasar ukuran pemakaian LQ harus harus disesuaikan dengan
kepentingan penelitian dan sumber data yang tersedia. Jika penelitian
dimaksudkan untuk mencari sektor yang kegiatan ekonominya dapat memberikan
kesempatan kerja sebanyak-banyaknya maka yang dipakai sebagai dasar ukuran
adalah jumlah tenaga kerja sedangkan bila keperluannya untuk menaikan
pendapatan daerah, maka pendapatan merupakan dasar ukuran yang tepat dan bila
hasil produksi maka jumlah hasil produksi yang dipilih.
LQ juga menunjukan efisiensi relatif wilayah, serta terfokus pada subtitusi
impor yang potensial atau produk dengan potensi ekspansi ekspor. Hal ini akan
memberikan Gambaran tentang industri mana yang terkonsentrasi dan industri
mana yang tersebar (Rustiadi et al. 2011; Bendavil-Val, 1991). Secara operasional,
LQ didefinisikan sebagai rasio persentase dari total aktifitas sub wilayah ke-i
terhadap persentase aktifitas wilayah yang diamati. Asumsi yang digunakan dalam
analisis ini adalah : (1) kondisi geografis relatif homogen; (2) pola-pola aktifitas
bersifat seragam, dan; (3) setiap aktifitas menghasilkan produk yang sama.
Shift Share Analysis (SSA) merupakan salah satu dari sekian bayak teknik
analisis untuk memahami pergeseran struktur aktifitas di suatu lokasi tertentu,
dibandingkan dengan suatu referensi cakupan wilayah yang lebih luas dalam dua
titik waktu. Pemahaman struktur aktifitas dari hasil SSA juga menjelaskan
kemampuan berkompetisi (competitiveness) aktifitas tertentu di suatu wilayah
secara dinamis atau perubahan aktifitas dalam cakupan wilayah yang lebih luas.
SSA mampu memberikan Gambaran sebab-sebab terjadinya pertumbuhan
suatu aktifitas di suatu wilayah. Sebab-sebab yang dimaksud dibagi kedalam tiga
bagian yaitu sebab yang berasal dari dinamika lokal (sub wilayah), sebab dari
dinamika aktifitas atau sektor total wilayah dan sebab dari dinamika wilayah
secara umum.
Hasil SSA juga mampu menjelaskan kinerja (performance) suatu aktifitas di
suatu sub wilayah dan membandingkannya dengan kinerjanya di dalam wilayah
total. Gambaran kinerja tersebut dapat dijelaskan dari tiga (3) komponen hasil
analisis, yaitu : (a) komponen laju pertumbuhan total (regional share) yang
merupakan pertumbuhan total wilayah pada dua titik waktu yang menunjukan
dinamika total wilayah; (b) komponen pergeseran proposional (proportional shift)
yang merupakan pertumbuhan total aktifitas tertentu secara relatif dibandingkan
dengan pertumbuhan secara umum dalam total wilayah yang menunjukan
dinamika sektor/aktifitas total dalam wilayah; (c) komponen pergeseran
diferensial (differential shift) yang menjelaskan bagaimana tingkat kompetisi
(competitiveness) suatu aktifitas tertentu dibandingkan dengan pertumbuhan total
sektor/aktifitas tersebut dalam wilayah. Komponen ini menggambarkan dinamika
keunggulan atau ketidakunggulan suatu sektor/aktifitas tertentu di subwilayah
tertentu terhadap aktifitas tersebut di subwilayah lain.

Penelitian Sebelumnya Mengenai Pengembangan Wilayah
Myrdal (1957) melakukan penelitian tentang sistem kapitalis yang
menekankan kepada tingkat keuntungan bagi suatu wilayah yang memberikan
harapan tingkat keuntungan tinggi akan berkembang menjadi pusat-pusat
perkembangan kesejahteraan. Di sisi lain, wilayah-wilayah dengan harapan

13
tingkat keuntungan yang rendah tidak akan berkembang sehingga terjadi
kesenjangan. Teori efek polarisasi menjelaskan kesenjangan antarwilayah yang
meningkat karena berpindahnya faktor produksi dari wilayah yang terbelakang ke
wilayah yang lebih maju. Sebaliknya terdapat teori yang menjelaskan proses yang
berlawan arah, yaitu teori efek penetesan yang menjelaskan penyebaran faktor
produksi dari suatu wilayah yang telah maju ke wilayah yang belum maju karena
di wilayah yang telah maju terjadi eksternalitas negatif yang makin besar.
Pembangunan wilayah pada kenyataannya meni