Retorika Politik Kandidat Pemilukada Dki Jakarta: Analisis Komparatif Joko Widodo Dan Fauzi Bowo

(1)

ANALISIS KOMPARATIF JOKO WIDODO

DAN FAUZI BOWO

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I)

Oleh:

Herdina Rosidi

NIM: 108051000076

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1433 H./2013 M.


(2)

RETORIKA POLITIK KANDIDAT PEMILUKADA DKI JAKARTA: ANALISIS KOMPARATIF JOKO WIDODO DAN FAUZI BOWO

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I)

Oleh:

Herdina Rosidi NIM. 108051000076

Dosen Pembimbing,

Dr. Gun Gun Heryanto, M. Si NIP. 19760812 200501 1 005

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1433 H./2013 M.


(3)

(4)

(5)

Political Rhetoric the Candidates Elections of Regional Heads in Jakarta City: a Comparative Analysis to Joko Widodo and Fauzi Bowo

This research discusses The Political Rhetoric in Jakarta City Governor Candidates, The Second Round in 2012, they are Joko Widodo and Fauzi Bowo. This research is important because the city of Jakarta as the capital of Indonesia, the candidates was in the general election of regional heads the city of Jakarta in 2012 occurred a phenomenon those are not easily founded in the general election of regional heads of other cities, the occurrence of phenomenon SARA issues (ethnic, religious, racial, sectarian) use by one candidate. Two candidates, namely Fauzi Bowo and Joko Widodo have very differences in a political rhetoric, a unique personal character, all of differences, they convey in narrative form. Beside that, research questions from this research are, first, how is the political rhetoric Fauzi Bowo and Joko Widodo current election campaign heads Jakarta city area in 2012 second round. Second, what is typology orator in political rhetoric during the campaign Fauzi Bowo and Joko Widodo second round.

This research uses a constructivist paradigm, because in this research look at the rhetoric campaign of governor candidate Jakarta city. And this research uses a qualitative approach with descriptive analysis method to the type of case study. Subjects in this research is a major focus of the research, that is the election of regional heads candidate city of Jakarta, Fauzi Bowo and Joko Widodo. And the object of this research is the phenomenon or problem that is in focus, the political rhetoric. In The second round campaign occurrence SARA issue in Fauzi Bowo teams to attack political rivals, namely Jokowi and Basuki, but SARA issue is not work optimally in the city elections of regional heads Jakarta second round. Jokowi orator type is rhetorically sensitive and orator type Foke is noble selve.

Democratic party in the elections of regional heads in the city of Jakarta in 2012 has been running smoothly and there are not riots or unlawful for both the candidates and the citizens Jakarta. Momentum elections of regional heads the city of Jakarta in 2012 gives a sense of pride especially Jakarta residents are able to carry out the democratic process is good and civilized. Deserve a good example in the implementation of democracy in the world.

Keyword: Political Rhetoric, Narative Theory, The Candidates Elections of


(6)

ABSTRAK

Herdina Rosidi

Retorika Politik Kandidat Pemilukada DKI Jakarta: Analisis Komparatif Joko Widodo dan Fauzi Bowo

Penelitian ini membahas tentang retorika politik kandidat calon Gubernur DKI Jakarta 2012 putaran kedua, yaitu Joko Widodo dan Fauzi Bowo. Penelitian ini dianggap penting karena kota Jakarta sebagai ibukota Indonesia, selanjutnya di dalam Pemilukada DKI Jakarta 2012 tersebut terjadi fenomena yang tidak mudah ditemukan di Pemilukada DKI kota lainnya, yaitu terjadinya fenomena isu SARA yang digunakan oleh salah satu kandidat. Kedua kandidat, yaitu Joko Widodo dan Fauzi Bowo memiliki retorika politik yang sangat berbeda, karakter pribadi yang unik, yang mereka sampaikan dalam bentuk narasi. Maka pertanyaan penelitian ini adalah bagaimana retorika politik Fauzi Bowo dan Joko Widodo saat kampanye Pemilukada DKI Jakarta 2012 putaran kedua. Kedua, apa tipe orator dalam retorika politik Fauzi Bowo dan Joko Widodo saat kampanye Pemilukada DKI Jakarta 2012 putaran kedua.

Penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivis, karena pada penelitian ini melihat pada kampanye dari retorika kandidat gubernur DKI Jakarta. Pendekatan penelitian menggunakan kualitatif dengan metode analisis deskriptif dengan jenis studi kasus. Subjek pada penelitian ini adalah fokus besar dalam penelitian yaitu kandidat Pemilukada DKI Jakarta, Fauzi Bowo dan Joko Widodo. Kemudian objek pada penelitian ini adalah fenomena atau persoalan yang ada di dalam fokus, yaitu retotika politik. Kampanye putaran kedua terjadi fenomena isu SARA pada kubu Fauzi Bowo untuk menyerang rival politiknya, yakni Jokowi dan Basuki, tetapi isu SARA tidak optimal bekerja di Pemilukada DKI Jakarta putaran kedua ini. Tipe orator Joko Widodo adalah rhetorically sensitive dan tipe orator Fauzi Bowo adalah noble selve.

Pesta demokrasi pada Pemilukada DKI Jakarta 2012 telah berjalan dengan lancar dan tidak ada kerusuhan maupun melanggar hukum bagi kedua kandidat maupun masyarakat DKI Jakarta. Momentum Pemilukada DKI Jakarta 2012 memberikan rasa bangga khususnya masyarakat Jakarta mampu melaksanakan proses demokrasi secara baik dan beradab, pantas menjadi contoh yang baik dalam pelaksanaan demokrasi di dunia.

Kata Kunci: Retorika Politik, Teori Naratif, Kandidat Calon Gubernur DKI Jakarta 2012 Putaran Kedua.


(7)

menciptakan semua yang hidup dan bernafas, baik yang berakal maupun yang tidak berakal, dari makhluk yang sempurna dan yang tidak sempurna. Solawat dan salam untuk Nabi Muhammad SAW yang selalu dirindukan oleh umatnya, semoga kita selalu berada dibarisannya sampai akhir zaman. Dan syafa’at semoga selalu tercurahkan kepada keluarga besar Rasulullah SAW, sahabat-sahabatnya, dan semua yang telah membantu beliau untuk memperjuangkan Agama Islam.

Karya ini dipersembahkan untuk orang-orang terhebat yang peneliti cintai, yaitu untuk keluarga besar Alm. H. Abdul Somad dan Alm. H. Abdul Aziz Saleh, terutama untuk orang tua peneliti, Hj. Etty Sumiyati dan Ir. H. Hedi Rosidi. Saudara kandung, Muhammad Rifky Saleh, Ahmad Taufik, Ahmad Hidayat, dan kakak ipar Euis Komala Sari, Nur Khairiyah, dan Muhammad Alif Al-Azka, yang menanamkan semangat, humor, menjadi sebuah kekuatan untuk menyelesaikan skripsi ini. Serta untuk semua sahabat yang telah mendukung di dalam proses pembuatan skripsi ini. Dan semoga karya ini bermanfaat untuk menggali pengetahuan akademisi konsentrasi komunikasi politik.

Peneliti mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungan demi terselesaikannya penulisan skripsi ini. Maka penulis berterima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, selaku Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.


(8)

2. Dr. Arief Subhan, M.A selaku Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Pudek I Drs. Wahidin Saputra, M.A, Pudek II Drs. H. Mahmud Jalal, M.A, Pudek III Drs. Study Rizal LK, M.A.

3. Drs. Jumroni, M.Si dan Umi Musyarofah, M.A selaku Ketua Jurusan dan Sekretaris Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam.

4. Pembimbing skripsi, Dr. Gun Gun Heryanto, M.Si yang telah membantu penyelesaian skripsi ini. Terima kasih atas waktu, bimbingan, inspirasi, kesabaran dan semangat yang telah dituangkan untuk peneliti.

5. Seluruh Dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang memberikan ilmu dengan harap ilmu yang didapat menjadi bermanfaat kepada peneliti selama menempuh pendidikan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

6. Seluruh staf dan karyawan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membantu peneliti dalam urusan administrasi selama perkuliahan dan penelitian skripsi ini.

7. Seluruh staf Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, yang telah melayani peminjaman buku-buku literatur sebagai referensi dalam penulisan skripsi ini.

8. Seseorang yang mencintai segala kelemahan dan kekurangan yang saya miliki. Muhammad Rifai, lelaki halalku yang selalu memberikan semangat, doa, dan perhatiannya saat peneliti mengerjakan tugas akhir ini.

You’re the best i ever had.

9. Keluarga besar IKPDN Jakarta. Terutama untuk guru besar Darunnajah Jakarta, Kiayi Mahrus Amien beserta keluarga, Ustad Sofwan Manaf, M.Si


(9)

Ziah, Nadrah, Leli, Dwi, Renita, Diah, Lutfri, Rizky, Aufar, Sadad, Fachri, Ibnu, Muhdi, Puja, Wahyu, Subhi.

10.Kawan-kawan mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah. Teman-teman KKN 73, Abdul Wahid, Ahmad Zubait, Ahmad Sofyan Tsauri, Udin, Haerul, Hilman, Kiki, Zakia, seperjuangan KPI angkatan 2008, khususnya KPI C 2008 yang telah memberikan banyak cerita, pengalaman dan inspirasi untuk peneliti. Saiful Bahri, Anisa, Tami, Aim, Gana, Lala, Sandika, Oji, Ferdian, Iman, Amel, Anna, Ema, Irvan, Gin Gin, Bobby, Ilyas, dan semua Keluarga KPI C 2008.

11.Last but not least, narasumber pendukung skripsi ini, Hasan Nasbi

Batupahat, selaku tim sukses dari Jokowi-Ahok yang telah meluangkan waktu, memberikan tempat dan konsumsi untuk melakukan wawancara. Muhammad Rusydi Ali, selaku tim sukses Foke-Nara, dan Arya Fernandes, selaku konsultan politik yang telah berkontribusi pada proses pembuatan skripsi, dan memberikan beberapa pengetahuannnya untuk skripsi ini.

Ciputat, 8 Juli 2013

Herdina Rosidi NIM. 108051000076


(10)

DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN ... i

ABSTRAK ... ii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah... 6

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Manfaat Penelitian ... 7

E. Metodologi Penelitian ... 8

F. Tinjauan Pustaka ... 15

G. Sistematika Penulisan ... 17

BAB II TINJAUAN TEORITIS A. Teori Naratif ... 18

1. Asumsi Dasar Teori Naratif ... 19

2. Konsep Dasar Teori Naratif ... 21

B. Konseptualisasi Retorika Politik 1. Pengertian Retorika... 24

a. Lima Hukum Retorika... 27

b. Tipologi Pidato ... 28

2. Retorika Politik... 32

a. Tipologi Orator Politik... 36

b. Tipe-tipe Retorika Politik... 37

BAB III BIOGRAFI JOKO WIDODO DAN FAUZI BOWO A. Profil Joko Widodo ... 39

1. Menjadi Walikota Solo ... 41


(11)

Pasangan Nomor Urut 3 ... 47

B. Profil Fauzi Bowo ... 51

1. Menjadi Gubernur DKI Jakarta 2007 ... 55

2. Pemilihan Umum Kepada Daerah DKI Jakarta 2012 .... 57

3. Janji-janji Dr. Ing. H. Fauzi Bowo – Mayjen (Purn) H. Nachrowi Ramli sebagai Kandidat Cagub-Cawagub DKI Jakarta 2012 Pasangan Nomor Urut 1 ... 59

BAB IV PEMBAHASAN DAN ANALISIS RETORIKA POLITIK JOKO WIDODO DAN FAUZI BOWO A. Konteks Rivalitas Joko Widodo dan Fauzi Bowo pada Pemilukada DKI Jakarta 2012 Putaran Kedua ... 66

1. Isu SARA Putaran Kedua... 67

2. Rivalitas Kekuatan Joko Widodo dan Fauzi Bowo Pemilukada DKI Jakarta 2012 Putaran Kedua ... 69

B. Analisis Komparatif Retorika Politik Joko Widodo dan Fauzi Bowo pada Pemilukada DKI Jakarta 2012 Putaran Kedua ... 79

1. Kampanye Jokowi dan Foke Putaran Kedua ... 79

2. Analisis Retorika Jokowi-Foke ... 86

3. Narasi Retorika Jokowi-Foke ... 93

4. Tipe-tipe Retorika Politik Jokowi-Foke ... 97

C. Tipologi Orator dalam Retorika Politik Joko Widodo dan Fauzi Bowo ... 99

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 101

B. Saran ... 104

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(12)

DAFTAR GAMBAR

1. Teknik Analisis Data ... 14 2. Perolehan Suara Parpol Pendukung Foke – Nara pada Pemilu 2009 ... 69 3. Perolehan Suara Parpol Pendukung Jokowi - Ahok pada Pemilu 2009 .. 70 4. Partisipasi Pemilih pada Putaran Pertama dan Putaran Kedua ... 73 5. Grafik Hasil Suara Golput Pemilukada DKI Jakarta 2012 Putaran Pertama

dan Putaran Kedua ... 74 6. Grafik Hasil Suara Jokowi Versus Foke Putaran Kedua ... 75 7. Hasil Akhir Perhitungan Suara Pemilukada DKI Jakarta 2012 Putaran


(13)

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pemilihan umum kepala daerah DKI Jakarta adalah sebagai momen yang penting, karena posisi Jakarta sebagai Ibu kota negara dan menjadi sorotan publik se-Indonesia. Dalam konteks real, secara struktural perundangan yang mengatur pemilukada langsung berada pada bab VI pasal 18 ayat (4) UUD 1954: “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.”1

Mengingat kembali hasil perolehan suara pemilukada DKI Jakarta pada putaran pertama yang dilaksanakan pada 11 Juli 2012 adalah Joko Widodo-Basuki (43%), Fauzi Bowo dan Nachrowi Ramli (33%), Hidayat Nur Wahid– Didiek Rachbini (12%), Alex Noerdin–Nono (4,74%), Faisal Basri–Biem Benyamin (4,99%) dan Hendarji–Riza (2,05%). Dua Calon Gubernur masuk ke putaran kedua adalah pasangan Joko Widodo–Basuki Tjahaja Purnama dan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli.2

Fauzi Bowo (Foke) dan Joko Widodo (Jokowi) memiliki integritas yang berbeda. Keduanya merupakan kepala daerah yang masih aktif menjabat, sehingga memiliki modal yang sama sebagai pemimpin kepala daerah. Menurut anggota Dewan Pembina Partai Gerindra, Martin Hutabarat,

1

Mahi M. Hikmat, Komunikasi Politik: Teori dan Praktik (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010), cet. 1, h. 172.

2“Adu S

iasat Jokowi dan Foke di Putaran II,” artikel diakses pada 18 Juli 2012, dari: http://fokus.news.viva.co.id/news/read/335022-adu-siasat-jokowi-dan-foke-di-putaran-ii .


(14)

2

ada dua faktor yang paling penting, yaitu kepercayaan publik terhadap integritas seseorang dan harapannya terhadap figur tersebut.3

Pada 20 September 2012, berlangsungnya pemilukada DKI Jakarta 2012 putaran kedua. Pemimpin yang berkualitas, menurut Juergen Habermas, pemikir mahzab Frankfurt, sebaiknya memenuhi kualifikasi quantity of

participation dan quality of discourse. Idealnya pemimpin politik terpilih

adalah pemimpin yang memenuhi kualifikasi “jumlah kepala” sekaligus “isi kepala”, yakni kepala daerah yang didukung oleh jumlah pemilih mayoritas (konsituensi), sekaligus memiliki visi dan misi, konsepsi dan skill mengurus negara atau daerah serta masyarakat.4

Visi dan misi yang disampaikan oleh kandidat cagub DKI Jakarta dijadikan sebagai dokumen resmi daerah mengingat pemilukada DKI 2012 dilaksanakan secara langsung yang diikuti seluruh masyarakat Jakarta. Dalam penyampaian visi dan misinya, Foke-Nara menjanjikan dapat mengubah Jakarta menjadi maju, nyaman, dan sejahtera. Keduanya menyoroti permasalahan banjir dengan memaparkan latar belakang topografi DKI Jakarta yang dialiri 13 sungai. Kemudian kemacetan lalu lintas Ibu Kota menjadi fokus pasangan nomor ururt satu ini. Kemudian pasangan Jokowi-Ahok memaparkan visi dan misi secara taktis dan teratur. Jargon “Perubahan” adalah senjata yang mereka asah dan digunakan untuk kampanye pemilukada ini. Keduanya bertekad memperbaiki dan membenahi tata kota DKI Jakarta,

3 “Putaran Kedua Pemilihan Umum Gebernur DKI Jakarta, Adu

Integritas Foke versus

Jokowi,” artikel diakses pada 19 Juli 2012, dari: http://news.detik.Com /read/2012/07/25/070128/ 1974020/10/putaran-kedua-pilgub-dki-adu-integritas-foke-vs- jokowi?9922022.

4


(15)

dan menyelesaikan permasalahan yang ada secara bersama dengan masyarakat.5

Foke membuat strategi seperti pilkada DKI 2007 yang telah Foke menangkan sebagai Gubernur DKI Jakarta 2007, yaitu menggunakan

Konsep Blocking” dengan strategi penguasaan partai–partai pada level elite

dimana Foke melakukan koalisi besar pada partai PKS, PPP, PAN, Demokrat dan Golkar. Karena akan sangat mungkin elite partai di DPP memberi endorsement ke Foke-Nara. Partai-partai elite tersebut berpihak kepada Fauzi Bowo karena pertimbangan elektoral 2014, yaitu mereka sensitif atau sentimen terhadap partai PDIP dan Gerindra. Putaran kedua pemilukada DKI Jakarta 2012 membuktikan ini, bahwa Foke lebih cenderung membangun koalisi-koalisi parpol daripada mengubah strategi komunikasi politik. Akhirnya, citra yang terbangun dalam benak publik adalah Foke terkesan elitis.6

Sikap yang kontras Foke ditunjukkan oleh Jokowi yang sangat friendly terhadap masyarakat maupun wartawan sehingga menjadi media darling, dan menjadikan pemberitaan-pemberitaan Jokowi membuat citra positif di mata publik. Strategi Jokowi–Ahok bersifat inovatif yang membuat banyak simpati masyarakat. Seperti halnya turun ke kampung, makan di warung makan pinggiran, jalan–jalan ke pasar tradisional, serta berinteraksi langsung dengan masyarakat yang sasaran utamanya adalah masyarakat menengah ke bawah,

5

Husin Yazid, Berebut Kursi Jakarta Satu: Kenapa Foke dan Jokowi? Data dan Analisa Putaran Pertama Pilkada DKI Jakarta (Jakarta: Firdaus, 2012), cet. 1, h. 9.

6

Gun Gun Heryanto, Koalisi Pilgub DKI bentuk sentimen asal bukan PDIP dan Gerindra, artikel diakses pada 22 Juli 2012, dari: http://www.merdeka.com/jakarta/ koalisi-pilgub-dki-bentuk-sentimen-asal-bukan-pdip-dan-gerindra.html.


(16)

4

ini diakui langsung oleh Hasan Nasbi Batupahat.7 Tidak ada berita cacat di media mengenai Jokowi–Ahok. Pasangan nomor urut tiga ini diusung oleh partai PDIP dan Gerindra.8

Ramainya isu SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan) pada putaran kedua digunakan lawannya sebagai alat “name calling” (memberi label buruk kepada gagasan, orang, objek atau tujuan agar orang menolak sesuatu tanpa menguji kenyataan) untuk menjatuhkan Jokowi–Ahok, karena Ahok berasal dari agama minoritas. Bulan Ramadhan dimanfaatkan oleh berbagai pihak untuk memainkan isu agama melalui berbagai media dakwah. Seperti kasus H. Rhoma Irama salah satu masjid wilayah Tanjung Duren diduga mengandung SARA yang menyudutkan pasangan Jokowi-Ahok. Dan perkembangan teknologi menjadi sarana berkembangnya isu ini melalui

Blackberry Broadcast Message dan sarana media sosial lainnya. Maka isu

SARA yang mengarah pada bentuk kampanye hitam (Black Campaign) selalu muncul cenderung menyudutkan Jokowi-Ahok. Tapi dengan isu SARA tersebut membuktikan bahwa masyarakat kita pada umumnya lebih melihat seorang figur yang menghasilkan Jokowi–Ahok memenangkan di pemilukada pertama dan kedua. Isu SARA tidak berpengaruh besar pada masyarakat di dalam pemilukada ini.9

Hasil perolehan suara pemilukada pada putaran kedua yang dilaksanakan pada 20 September 2012, berdasarkan rekapitulasi tersebut,

7

Wawancara pribadi dengan Hasan Nasbi Batupahat, Jakarta, 10 Agustus 2012. 8

Wawan Bahrudin dan Ardi Nuswantoro, Kartu Sukses Jokowi-Ahok Melangkah Pasti Menuju DKI Jakarta 1, (Jakarta:Polite, 2012), cet. 1, h. 31.

9


(17)

hasil suara pasangan Jokowi-Ahok 53,82% atau 2.472.130 suara. Sedangkan pasangan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli 46,8% atau 2.120.815 suara.10

Foke dan Jokowi memiliki strategi kampanye yang berbeda–beda, serta keduanya juga memiliki perbedaan dalam segi retorika politik. Retorika sangat berpengaruh dalam kampanye, karena di dalam pidato kampanye tersimpan propaganda memiliki daya pengaruh yang kuat dalam merayu politik. Retorika tersebut menggunakan suara intonasi yang bagus, gerak tubuh yang meyakinkan, serta menggunakan kata–kata bersifat persuasif.11 Kampanye pemilihan umum idealnya merupakan proses penyampaian pesan-pesan politik yang salah satu fungsinya memberikan pendidikan politik bagi masyarakat.12

Berbagai penjelasan di atas, penulis bermaksud meneliti tentang retorika politik Joko Widodo dan Fauzi Bowo pada pemilukada DKI Jakarta 2012 putaran kedua. Argumentasi penulis menguatkan penelitian ini sangat penting dan bermanfaat karena di dalam proses pemilukada DKI Jakarta 2012, selain kota Jakarta adalah sebagai ibukota negara Indonesia, Pemilukada DKI Jakarta 2012 terjadinya fenomena yang tidak mudah ditemukan di pemilukada kota lainnya. Kemudian peneliti tertarik dengan kandidat pada putaran kedua, yakni Fauzi Bowo dan Joko Widodo, karena kedua kandidat tersebut sangat kontras, memiliki karakter yang unik dan setiap narasi pemilukada DKI Jakarta ini banyak sekali makna yang

10 “KPU DKI Jakarta, Terpilih Pasangan Jokowi-Ahok Pemilihan Gubernur DKI Jakarta,” artikel diakses pada 2 Oktober 2012, dari: http: //news. detik.com/read /2012/09/29/ 114959/2045146/10/kpu-dki-jokowi-ahok-pasangan-terpilih-pilgub-dki-2012?9911012.

11

Hafied Cangara, Komunikasi Politik: Konsep, Teori, dan Strategi, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), h. 230.

12

Asep Saeful Muhtadi, Komunikasi Politik Indonesia: Dinamika Islam Politik Pasca-Orde Baru, (Bandung: Rosda Karya, 2008), cet. 1, h. 145.


(18)

6

terkandung. Itulah beberapa yang dapat dijadikan penulis sebagai argumentasi, mengapa kasus ini diangkat dan dijadikan sebuah penelitian penting yang diberi judul RETORIKA POLITIK KANDIDAT PEMILUKADA DKI JAKARTA: ANALISIS KOMPARATIF JOKO

WIDODO DAN FAUZI BOWO”.

B. Batasan dan Rumusan Masalah

Dalam penelitian ini yang menjadi pembahasan dalam skripsi ini adalah bagaimana penerapan retorika politik Joko Widodo dan Fauzi Bowo dalam pemilukada DKI Jakarta 2012 putaran kedua dilihat dari rekaman audio visual kedua kandidat ketika berpidato dalam kampanye maupun acara debat kandidat pada putaran kedua, guna memberikan informasi mengenai retorika politik kedua kandidat tersebut. Agar penelitian ini lebih fokus, terarah, jelas dan spesifik penulis membatasi masalah yang akan diteliti.

Rumusan masalah penelitian dalam teoretisasi data adalah suatu pernyataan yang mengidentifikasi fenomena yang diteliti. Perumusan masalah cenderung berorientasi pada proses dan tindakan.13 Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana retorika politik Fauzi Bowo dan Joko Widodo saat kampanye pemilukada DKI Jakarta 2012 putara kedua?

2. Apa tipologi orator dalam retorika politik Fauzi Bowo dan Joko Widodo saat kampanye pemilukada DKI Jakarta 2012 putaran kedua?

13

Anselm Strauss dan Juliet Corbin, Dasar-dasar Penelitian Kualitatif: Tatalangkah dan Teknik-teknik Teoritisasi Data, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), h. 27.


(19)

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian merupakan arah dan sasaran yang harus dicapai oleh setiap tindakan. Dengan demikian tujuan memegang peranan yang sangat penting dan harus dirumuskan dengan jelas, tegas dan mendetail, karena tujuan merupakan jawaban tentang masalah yang akan diteliti.14 Maka Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Penelitian ini untuk mendapatkan gambaran tentang bagaimana Joko Widodo dan Fauzi Bowo melakukan retorika politik pada masa kampanye Pemilukada DKI Jakarta 2012 putaran kedua.

2. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari apa tipologi orator dalam retorika politik Fauzi Bowo dan Joko Widodo, serta menilai kriteria– kriteria calon pemimpin Jakarta.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan memberikan pengetahuan serta mengembangkan teori-teori retorika politik konsep komunikasi politik guna memberikan inspirasi bagi mahasiswa maupun penikmat politik.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini berkontribusi terhadap retorika politik Jokowi dan Foke pada masa kampanye pemilukada Jakarta yang banyak memberikan pengetahuan dan menganalisis siapakah yang layak untuk menjadi Gubernur DKI Jakarta 2012–2017.

14

Mohammad Kasiram, Metodologi Peneliti Kualitatif-Kuantitatif, (Yogyakarta: UIN-Maliki Press, 2010), cet. 2, h. 51.


(20)

8

3. Manfaat Akademis

Dengan penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan pengetahuan tentang retorika politik konsep komunikasi politik, khususnya bagi mahasiswa akademisi Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam.

E. Metodologi Penelitian

1. Metode dan Pendekatan Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dengan jenis penelitiannya adalah analisis deskriptif. Pendekatan kualitatif memusatkan perhatian pada prinsip-prinsip umum yang mendasari perwujudan sebuah makna dari gejala-gejala sosial di dalam masyarakat. Obyek analisis dalam pendekatan kualitatif adalah makna dari gejala-gejala sosial dan budaya dengan menggunakan kebudayaan dari masyarakat bersangkutan untuk memperoleh gambaran mengenai kategorisasi tertentu.15 Dengan menggunakan analisis deskriptif di mana peneliti berusaha melukiskan secara sistematis fakta atau karakteristik populasi tertentu atau bidang tertentu secara faktual dan cermat. Fungsi analisis deskriptif adalah untuk memberikan gambaran umum tentang data yang telah diperoleh. Gambaran umum ini bisa menjadi acuan untuk melihat karakteristik data yang kita peroleh.16

Deskriptif yaitu data yang dikumpulkan adalah berupa kata-kata, gambar dan bukan angka-angka, sehingga laporan penelitian akan berisi

15

Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, Metode Penelitian Survey, (Jakarta: LP3ES, 1995), cet. 2, h.220.

16

Jalaluddin Rakhmat, Metode Penelitian Komunikasi, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2005), h. 22.


(21)

kutipan-kutipan data untuk memberikan gambaran penyajian laporan tersebut. Peneliti menggunakan wawancara, observasi, dokumentasi-dokumentasi, rekaman bukti-bukti fisik.17

Qualitative research atau penelitian kualitatif adalah penelitian yang

menghasilkan penemuan-penemuan yang tidak dapat dicapai dengan menggunakan prosedur-prosedur statistik atau dengan cara-cara lain dari kuantifikasi.18 Lexy J. Moloeng mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subyek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah.19 Menurut Nasution penelitian kualitatif disebut juga penelitian naturalistik, karena dalam penelitian kualitatif dilakukan dalam setting latar yang natural.20

Penelitian ini menggunakan studi kasus (case study). Menurut Maxfield, metode studi kasus adalah penelitian mengenai subjek penelitian yang berkenaan dengan suatu fase spesifik atau khas dari keseluruhan personalitas.21 Secara umum, studi kasus merupakan strategi yang lebih cocok bila pokok pertanyaan suatu penelitian berkenaan dengan how atau why, bila peneliti hanya memiliki sedikit peluang untuk mengontrol peristiwa-peistiwa yang akan diselidiki, dan bilamana fokus penelitiannya

17

Rachmat Kriyantono, Teknik Praktis Riset Komunikasi (Jakarta, 2007), cet. 2 h. 102. 18

Anselm Strauss dan Juliet Corbin, Basic of Qualitative Research: Grounded Theory Procedures and Techniques, 2007, h. 11.

19

Lexy J. Moloeng, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: Rosda), h. 65. 20

Nasution, Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif, (Bandung: Tarsito), h. 78. 21

Andi Prastowo, Memahami Metode-metode Penelitian: Suatu Tinjauan Teoritis dan Praksis (Yogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), cet. 1, h.127.


(22)

10

terletak pada fenomena kontemporer (masa kini) di dalam konteks kehidupan nyata.22 Studi kasus adalah uraian dan penjelasan komprehensif mengenai berbagai aspek seorang individu, suatu kelompok, organisasi, suatu program, atau suatu situasi sosial. Metode yang digunakan studi kasus adalah wawancara, pengamatan, menelaah dokumen, hasil survei, dan data-data untuk menguraikan suatu kasus secara terperinci.23

2. Subjek dan Objek Penelitian

Subjek penelitian adalah sumber tempat memperoleh keterangan.24 Adapun subjek dalam penelitian ini adalah kandidat pemilukada DKI Jakarta 2012 putaran kedua, yaitu Fauzi Bowo (Foke) dan Joko Widodo (Jokowi).

Sedangkan objeknya adalah bagian dari subjek yang diteliti secara terperinci.25 Objek penelitian merinci fenomena yang akan diteliti sekaligus merupakan deskripsi dari penelitian yaitu analisis deskriptif terhadap retorika politik para kandidat pemilukada DKI Jakarta 2012 putaran kedua.

3. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data kualitatif yaitu kegiatan pengumpulan data harus dilakukan sendiri oleh peneliti dan tidak boleh diwakilkan.26 Dalam pengumpulan data, penulis menggunakan data primer yaitu wawancara terhadap timses dari Fauzi Bowo dan Joko Widodo. Selain itu, peneliti juga menggunakan data sekunder melalui reverensi buku maupun artikel yang

22

Robert K.Yin, Studi Kasus Desain dan Metode (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), h. 1.

23

Deddy Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru, Ilmu Komunikasi, dan Ilmu Sosial lainnya (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006), h. 201.

24

Tatang M Arifin, Menyusun Rencana Penelitian (Jakarta: Rajawali 1978/2003). h. 92. 25

Ibid., h. 93. 26

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), h. 11.


(23)

berkaitan tentang retorika politik, kampanye, pemulikada DKI Jakarta putaran pertama dan kedua, maupun kampanye Fauzi Bowo dan Joko Widodo. Penelitian lapangan (field research), yaitu penelitian yang di lapangan, tempat dimana objek penelitian itu berada.27 Untuk pengambilan data penelitian lapangan digunakan metode sebagai berikut:

a. Wawancara

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode wawancara mendalam, yaitu proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab dengan bertatap muka antara peneliti dengan informan.28 Wawancara yaitu percakapan antara peneliti – seseorang yang berharap mendapat informasi dari informan (seseorang yang diasumsikan mempunyai informasi langsung dari sumbernya).29 Wawancara dibagi menjadi dua jenis. Pertama, jenis wawancara berstruktur, yaitu wawancara terdapat pertanyaan dan alternatif jawaban sudah disediakan oleh pewawancara. Kedua, wawancara tidak berstruktur, yaitu wawancara yang lebih bersifat informal.30 Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik wawancara tak berstruktur, antara lain:

1) KH. Muhammad Rusydi Ali, selaku penasihat Fauzi Bowo dan tim sukses Fauzi Bowo–Nachrowi Ramli, kantor pusat di Jalan Diponegoro nomor 61 A Menteng Jakarta Pusat, tetapi peneliti wawancara langsung

27

Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004), h. 89.

28

Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial lainnya (Jakarta: Kencana, 2010), cet. 4, h.108.

29

Rahmat Kriyantono, Tehnik Praktisi Riset Komunikasi, h. 116. 30

Yatim Riyanto, Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif, Surabaya: Unesa University Press, 2007, h. 70.


(24)

12

di kediamannya, tepatnya di Jalan Masjid II nomor 7 Kampung Melayu Besar Jakarta Selatan.

2) Hasan Nasbi Batupahat, selaku tim sukses Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama, yaitu Hasan Nasbi Batupahat, Direktur Cyrus Network, kantor pusat di Graha Pejaten nomor 8, Jalan Raya Pejaten Jakarta 12510. 3) Arya Fernandes, konsultan politik Charta Politika, kantor pusat di Jalan

Cipaku 2 nomor 18, Kebayoran Baru Jakarta Selatan. b. Observasi

Observasi adalah sebagai pemilihan, pengubahan, pencatatan, dan pengkodean serangkaian pelaku dan suasana yang berkenaan dengan organisme, sesuai dengan tujuan-tujuan empiris.31 Dalam penelitian ini, peneliti melakukan observasi tidak berstruktur metode catatan lapangan, yaitu pengamatan dan pencatatan dengan sistematik terhadap fenomena yang diselidiki. Dalam penelitian ini peneliti melakukan observasi, observasi pada masa kampanye pemilukada DKI Jakarta 2012, yaitu pada acara car free day di Senayan, Jakarta.

c. Dokumentasi

Dalam penelitian ini dokumentasi berupa mengumpulkan buku-buku, artikel dari internet yang berkaitan dengan kampanye, retorika politik, biografi Jokowi dan Foke, artikel tentang pemilukada DKI Jakarta 2012 putaran pertama dan putaran kedua. Kemudian dokumentasi dari rekaman audio visual (rekaman video) kampanye Jokowi-Foke putaran kedua, rekaman didapat dari Timses Jokowi berupa CD Jokowi berkampanye dan

31


(25)

pada saat debat kandidat yang diunggah melalui situs youtube di link

http://www.youtube.com/watch?v=Xeplwq-p4G8.32

3. Teknik Analisis Data

Analisis kualitatif yaitu data yang muncul berwujud kata-kata dan bukan rangkaian angka. Data dikumpulkan dalam bentuk macam cara, yaitu observasi, wawancara, intisari dokumen, dan pita rekaman.33 Mengikuti Bodgan dan Biklen, analisis data kualitatif adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-memilahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola menemukan apa yang penting, dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan oleh orang lain.34

Peneliti menggunakan analisis deskriptif, peneliti menginterpretasi data untuk memperoleh arti dan makna yang lebih mendalam dan luas terhadap hasil penelitian yang sedang dilakukan. Pembahasan hasil penelitian dilakukan dengan cara meninjau hasil penelitian secara kritis dengan teori yang relevan dan informasi akurat yang diperoleh dari lapangan.35

Untuk menganalisis data dalam penelitian ini, maka dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:36

32“Debat Foke vs Jokowi,”

artikel diakses pada 3 September 2012, dari: http:// www.solopos.com/2012/09/16/malam-ini-di-metro-tv-debat-foke-vs-jokowi-329366.

33

Matthew Miles dan Michael Huberman, Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber Tentang Data-data Baru (Jakarta: UI-Press, 1992), h. 15.

34

Lexy J Moeloeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, h. 248. 35

Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D (Bandung: Alfabeta, 2010), h. 244.

36

Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Kualitatif: Aktualisasi Metodologis ke arah Ragam Varian Kontemporer (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), h. 145.


(26)

14

Gambar 1 Teknik Analisis Data

Sumber: Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Kualitatif: Aktualisasi Metodologis

ke arah Ragam Varian Kontemporer

Keterangan:

1. Pengumpulan informasi, melalui wawancara dan observasi langsung. 2. Reduksi. Langkah ini adalah untuk memilih informasi mana yang sesuai

dan tidak sesuai dengan masalah penelitian.

3. Penyajian. Setelah informasi dipilih maka disajikan bisa dalam bentuk tabel, ataupun uraian penjelasan.

4. Tahap akhir, adalah menarik kesimpulan.

Penyajian

Kesimpulan Reduksi


(27)

Pertanyaan melalui wawancara yang diajukan kepada informan semata-mata sebagai bahan kajian yang mendasar untuk membuat kesimpulan. Bagaimanapun pendapat banyak orang merupakan hal penting meskipun tidak dijamin validitasnya. Semakin banyak informasi, maka diharapkan akan menghasilkan data yang sudah tersaring dan lebih akurat.37

F. Tinjauan Pustaka

Dalam penelitian ini, peneliti melakukan tinjauan pustaka. Dengan mengadakan tinjauan perpustakaan utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah dan Komunikasi. Peneliti melakukan tinjauan pustaka ini guna memastikan apakah ada judul atau tema yang serupa dengan penelitian (skripsi) ini. Berdasarkan hasil penelusuran peneliti, belum ada yang meneliti mengenai retorika politik, tetapi ada beberapa skripsi yang meneliti mengenai tema peneliti, diantaranya:

1. Komunikasi Politik Pasangan Hj. Airin Rachmi Diany dan Drs. H. Benyamin Davnie dalam Pilkada Tangsel Tahun 2011, Peneliti Amalia tahun 2011. Skripsi ini membahas tentang strategi–strategi yang digunakan oleh pasangan Airin dan Benyamin serta para tim sukses dalam mempromosikan pasangan tersebut dan hal–hal apa saja yang menyebabkan pasangan Airin dan Benyamin memenangkan Pilkada Tangerang Selatan 2011. Persamaan pada penelitian ini adalah tentang penelitian Pilkada, tetapi objeknya, subjek dan tujuan dari penelitiannya berbeda.

37

Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Kualitatif: Aktualisasi Metodologis ke arah Ragam Varian Kontemporer, h. 145.


(28)

16

2. Retorika Dakwah KH. Habib Ali Alwi bin Thohir, peneliti Syarifah Sa’diyah tahun 2007. Skripsi ini membahas tentang retorika dakwah Habib Ali Alwi pada saat beliau berceramah. Persamaan pada penelitian ini adalah membahas tentang retorika, tetapi yang membatasinya adalah penelitian terdahulu retorika dakwah dan penelitian ini adalah retorika politik.

Selama peneliti melakukan tinjauan pustaka di Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah dan Perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, peneliti belum menemukan judul penelitian yang serupa, tentang retorika politik.

G. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan penyusunan skripsi ini, maka Penulis menyusun sistematika penulisan mengelompokkan dalam lima bab pembahasan, yaitu sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

BAB I menjelaskan Latar Belakang Masalah, Batasan dan Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Metodologi Penelitian, Tinjauan Pustaka dan Sistematika Penulisan.

BAB II TINJAUAN TEORITIS

BAB II menjelaskan Teori Naratif yang terdiri dari: Asumsi Dasar Teori Naratif, Konsep Dasar Teori Naratif. Konseptualisasi Retorika Politik, Retorika: Pengertian


(29)

Retorika, Lima Hukum Retorika, Tipologi Pidato. Retorika Politik: Tipologi Orator Politik, Tipe - tipe Retorika Politik.

BAB III BIOGRAFI JOKO WIDODO DAN FAUZI BOWO

BAB III menjelaskan Profile Joko Widodo: Menjadi Walikota Solo, Menuju DKI Jakarta, Janji-janji Jokowi-Basuki sebagai Kandidat Cagub-Cawagub DKI Jakarta 2012. Profile Fauzi Bowo: Menjadi Gubernur DKI Jakarta 2007, Pemilihan Umum Kepala Daerah DKI Jakarta 2012, Janji-janji Foke-Nara sebagai Kandidat Cagub-Cawagub DKI Jakarta 2012.

BAB IV ANALISIS RETORIKA POLITIK JOKO WIDODO DAN FAUZI BOWO

BAB IV menjelaskan Konteks Rivalitas Jokowi-Foke Pemilukada DKI Jakarta 2012 Putaran Kedua: Isu SARA, Rivalitas Kekuatan Jokowi-Foke Putaran Kedua. Analisis Komparatif Retorika Politik Jokowi-Foke: Kampanye Putaran Kedua, Analisis Retorika Politik Jokowi-Foke, Narasi Retorika Politik, Tipe-tipe Retorika Politik Jokowi-Foke. Tipologi Orator dalam Retorika Politik Jokowi-Jokowi-Foke.

BAB V PENUTUP

BAB V menjelaskan penutup dari penelitian ini yang berisikan Kesimpulan dan Saran.


(30)

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. Teori Naratif

Teori ini dikembangkan oleh Walter Fisher. Walter Fisher yang lebih suka menyebut teori ini sebagai paradigma naratif. Teori ini mengemukakan keyakinan bahwa manusia adalah seseorang pencerita dan bahwa pertimbangan akal ini, emosi, dan estetika menjadi dasar keyakinan dan perilaku kita. Akar pemikiran Fisher berupaya menggambarkan dan menjelaskan komunikasi sebagai storytelling. Dalam pandangannya,

Storytelling bukanlah aktivitas sesaat, melainkan proses yang terus-menerus

di mana kita merasakan dunia dan berkomunikasi satu sama lainnya.1

Manusia lebih mudah terbujuk oleh sebuah cerita yang bagus dari pada argumentasi yang baik. Mengkonsepkan bahwa manusia adalah pencerita dan manusia mengalami kehidupan dalam suatu bentuk narasi. Fisher mendefinisikan narasi sebagai tindakan simbolik (kata-kata) atau tindakan yang memiliki rangkaian serta makna bagi siapapun yang hidup, mencipta atau memberi interpretasi. Ini merupakan cara pandang yang sangat luas dalam melihat narasi. Oleh karena itu, hampir sulit untuk tidak mengidentifikasi komunikasi sebagai narasi.2

Logika narasi lebih dipilih dibandingkan logika tradisional yang digunakan dalam argumentasi. Logika narasi (logika dari pemikiran yang

1

West Richard dan Turner Lynn. Pengantar Teori Komunikasi Analisis dan Aplikasi

(Jakarta: Salemba Humanika), edisi 3, 2008, h. 44. 2


(31)

luas), menyatakan bahwa orang menilai kredibilitas pembicara melalui apakah ceritanya runtut (mempunyai koherensi) dan terdengar benar (mempunyai ketepatan). Paradigma atau naratif memungkinkan sebuah penilaian demokratis terhadap pembicara karena tidak ada seorang pun yang harus dilatih secara khusus agar mampu menarik kesimpulan berdasarkan konsep koherensi dan kebenaran.3

1. Asumsi Dasar Teori Naratif:

Ada lima asumsi dasar teori naratif, antara lain:4

a. Manusia pada dasarnya adalah makhluk pencerita. Fisher mengatakan

bahwa manusia merupakan homo narrans sebagai metafora untuk menjelaskan kemanusiaan. Cerita merupakan hal mendasar dalam hidup yang mempengaruhi, menggerakkan, dan membentuk dasar keyakinan dan tindakan kita. Dalam berkomunikasi dengan pihak lain, manusia juga memposisikan dirinya sebagai pencerita tersebut. Fisher memunculkan asumsi demikian karena berdasar pengamatannya naratif bersifat universal, ditemukan dalam semua budaya dan periode waktu. Dalam hal ini Elkins mengatakan bahwa manusia pada dasarnya menggunakan cerita dalam semua aspek kehidupan keseharian kita, untuk menghabiskan waktu, menyampaikan informasi, untuk menempatkan diri di sebuah tempat, keluarga, dan komunitas.

b. Keputusan mengenai harga dari sebuah cerita didasarkan pada

“pertimbangan sehat” (good reasons). Yang dimaksud pertimbangan yang

3

West Richard dan Turner Lynn. Pengantar Teori Komunikasi Analisis dan Aplikasi, h. 46.

4


(32)

20

sehat adalah individu membuat keputusan mengenai cerita mana yang akan diterima dan mana yang ditolak berdasarkan apa yang masuk akal bagi dirinya. Asumsi ini memberitahu kepada kita bahwa tidak semua cerita itu sama atau sebanding dalam hal efektivitasnya, sebaliknya faktor dalam pemilihan cerita dibuat berdasarkan alasan-alasan yang bersifat personal berdasarkan pemikiran yang logis. Semua orang mempunyai kapasitas untuk menjadi rasional dalam paradigma naratif. Karena ukuran rasionalitas dalam paradigma naratif berbeda dengan ukuran rasionalitas tradisional yang mendasarkan pada logika formal. Setiap orang mengambil keputusan-keputusan hidup menganggap cara berfikirnya logis dan rasional menurut ukuran personal orang bersangkutan.

c. Pertimbangan yang sehat ditentukan oleh sejarah, biografi, budaya dan

karakter. Asumsi ini memperjelas bahwa ukuran rasionalitas manusia itu

tidak sama satu sama lain. Masing-masing orang mempunyai ukuran dan jenis rasionalitasnya sendiri. Munculnya rasionalitas tertentu pada seseorang tergantung konteks di mana mereka terikat.

d. Rasionalitas didasarkan pada penilaian orang mengenai konsistensi dan

kebenaran sebuah cerita. Orang akan mempercayai sebuah cerita selama

cerita tersebut terlihat konsisten secara internal dan dapat dipercaya. Yang perlu digarisbawahi bahwa rasionalitas yang dimaksud dalam paradigma naratif ini berbeda dengan rasionalitas tradisional. Sebuah cerita dikatakan runtut ketika pencerita tidak meninggalkan detail-detail yang penting atau mengkontradiksi elemen-eleman dalam cerita dengan cara apapun.


(33)

e. Kita mengalami dunia sebagai dunia yang diisi dengan cerita dan kita

harus memilih dari cerita yang ada. Kita mengalami dunia sebagai dunia

yang diisi dengan cerita, dan kita harus memilih dari cerita yang ada, dan ketika kita memilih cerita-cerita tersebut, kita akan mengalami kehidupan secara berbeda, juga memungkinkan untuk menciptakan ulang kehidupan kita.5

2. Konsep Dasar Teori Naratif

Beberapa konsep kunci yang membentuk inti dari kerangka pendekatan naratif, yaitu:6

a. Konsep narasi. Dalam perspektif Fisher narasi lebih dari sekedar cerita

mencakup deskripsi verbal atau nonverbal apapun dengan urutan kejadian yang oleh pendengar diberi makna. Hal ini tentunya Fisher menunjuk bahwa Semua komunikasi adalah narrative (cerita). Dia beragumen bahwa

narrative bukanlah gender tertentu tetapi lebih kepada cara dari pengaruh

sosial.

b. Rasionalitas Naratif. Standar untuk menilai cerita mana yang dipercayai

dan mana yang diabaikan. Karena kehidupan kita dialami dalam naratif, kita membutuhkan metode untuk menilai cerita mana yang kita percayai dan mana yang tidak kita perhatikan. Fisher manyatakan bahwa tidak semua cerita sama atau tidak semua cerita memiliki power yang sama untuk bisa dipercayai. Fisher mengidentifikasi dua hal prinsip dalam rasionalitas naratif, yakni koherensi (coherence) dan kebenaran (fidelity).

5

West Richard dan Turner Lynn. Pengantar Teori Komunikasi – Teori dan Aplikasi, h. 50.

6


(34)

22

c. Koherensi, adalah konsistensi internal dari sebuah naratif. Prinsip

rasionalitas naratif yang menilai konsistensi internal dari sebuah cerita. Prinsip koherensi merupakan standar yang penting dalam menilai rasionalitas naratif, yang pada akhirnya akan menentukan apakah seseorang menerima naratif tertentu atau menolaknya. Koherensi sering kali diukur oleh elemen-elemen organisasional dan struktural dari sebuah naratif. Sehingga koherensi didasarkan pada tiga tipe konsistensi yang spesifik, yaitu:

1) Koherensi struktural, berpijak pada tingkatan di mana elemen-elemen

dari sebuah cerita mengalir dengan lancar. Suatu jenis koherensi yang merujuk pada aliran cerita. Ketika cerita membingungkan, ketika satu bagian tidak tersambung dengan bagian berikutnya, atau ketika alurnya tidak jelas, maka cerita itu kekurangan koherensi struktural.

2) Koherensi material, merujuk pada tingkat koherensi antara satu cerita

dengan cerita lainnya yang sepertinya berkaitan dengan cerita tersebut. jenis koherensi yang merujuk pada koherensi antara satu cerita dan cerita lainnya yang berkaitan. Jika semua cerita kecuali satu menyatakan masalah bahwa seorang teman telah memberikan informasi yang keliru sehingga menimbulkan situasi yang memalukan bagi yang seorang lagi, anda cenderung tidak akan memercayai satu cerita yang berbeda sendiri tersebut. Anda akan percaya bahwa cerita yang berbeda ini kekurangan koherensi material.


(35)

3) Koherensi karakterologis, merujuk pada dapat dipercaya karakter-karakter di dalam sebuah cerita. Jenis koherensi yang merujuk pada dapat dipercayainya karakter-karakter di dalam cerita.7

d. Logika dan Good Reasons (Logika dengan pertimbangan yang sehat),

adalah seperangkat nilai untuk menerima suatu cerita sebagi benar dan berharga untuk diterima, adalah memberikan suatu metode untuk menilai kebenaran. Prinsip rasionalitas naratif yang menilai kredibilitas dari sebuah cerita. Fisher menyatakan bahwa ketika elemen-elemen sebuah cerita “merepresentasikan pernyataan-pernyataan akurat mengenai realitas sosial”, elemen tersebut memiliki kebenaran. Fisher menyatakan bahwa ketika naratif memiliki kebenaran, kebenaran adalah reliabilitas dari sebuah cerita. Naratif itu menyusun suatu pertimbangan yang sehat bagi seseorang untuk memegang keyakinan tertentu atau untuk mengambil tindakan, atau berarti bahwa pertimbangan yang sehat manapun setara dengan yang lainnya, ini berarti bahwa apapun yang mendorong orang untuk percaya sebuah naratif tergantung pada nilai atau konsepsi yang baik.8

Logika dari good reason berhubungan dengan ide Fisher akan

ketepatan adalah metode utama yang ia kemukakan untuk menilai ketepatan naratif, adalah logika pertimbangan yang sehat. Karena itu, logika bagi paradigma naratif membuat seseorang mampu menilai harga atau nilai dari cerita. Logika dari pertimbangan yang sehat, seperangkat

7

West Richard. 2008. Pengantar Teori Komunikasi–Teori dan Aplikasi, h. 52. 8


(36)

24

nilai untuk menerima suatu cerita sebagai benar dan berharga untuk diterima: memberikan suatu metode untuk menilai kebenaran.9

Seperti yang diprediksikan oleh paradigma naratif, logika bagi paradigma naratif membuat seseorang mampu menilai harga atau nilai dari cerita. Cerita yang dikisahkan dengan baik terdiri atas rasionalitas naratif (memenuhi kriteria koherensi dan kebenaran) akan lebih menggugah bagi pembaca dibandingkan dengan kesaksian dari para ahli yang menyangkal akurasi faktual di dalam naratif itu.

B. Konseptualisasi Retorika Politik 1. Pengertian Retorika

Gaya komunikasi seseorang juga dapat dilihat dari retorika. Retorika adalah ilmu berbicara. Dalam bahasa Inggris, yaitu rhetoric dan dari bahasa latin rhetorica yang berarti ilmu bicara.10

Retorika berasal dari bahasa Yunani rhetoric yang berarti seni berbicara, pada awalnya sering dipakai dalam perdebatan di pengadilan atau dalam perdebatan antarpersonal untuk mempengaruhi orang lain yang ada di sekitarnya dengan cara persuasif. Littlejohn mendefinisikan kajian retorika secara umum sebagai simbol yang digunakan manusia. Pengertian ini kemudian diperluas dengan mencakup segala cara manusia dalam menggunakan simbol untuk memengaruhi lingkungan sekitarnya.11

Retorika adalah komunikasi dua arah, face to face, satu atau lebih orang (seorang berbicara kepada beberapa orang maupun seorang bicara kepada

9 West, Richard. 2008. Pengantar Teori Komunikasi – Teori dan Aplikasi, h. 53.

10

Onong Uchjana Effendy, Komunikasi: Teori dan Praktek, h. 53. 11


(37)

seorang lain) masing–masing berusaha dengan sadar untuk mempengaruhi pandangan satu sama lain melalui tindakan timbal balik satu sama lain. Sasaran persuasi timbal balik itu, tentu saja tidak perlu dibatasi hanya pada orang–orang yang turut dalam perdebatan, yaitu para ahli retorika dapat juga berusaha mempengaruhi pihak ketiga. Tujuannya adalah untuk membantu yang di persuasi dalam membangun citra tentang masa depan, masa untuk bertindak, yaitu melalui retorika, persuader dan yang dipersuasi saling bekerja sama dalam merumuskan kepercayaan, nilai, pengharapan mereka. 12

Retorika diartikan sebagai seni membangun argumentasi dan seni berbicara “the art of constructing arguments and speech making”. Dalam perkembangannya, retorika juga mencakup proses untuk menyesuaikan ide dengan orang lain dan menyesuaikan orang dengan ide melalui berbagai macam pesan. Dewasa ini, fokus perhatian retorika bahkan lebih luas lagi, yang mencakup segala hal bagaimana manusia menggunakan simbol untuk mempengaruhi siapa saja yang ada di dekatnya dan membangun dunia di mana mereka tinggal.13

Titik tolak retorika adalah berbicara. Berbicara berarti mengungkapkan kata atau kalimat kepada seseorang atau sekelompok orang, untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Berbicara adalah salah satu kemampuan khusus pada manusia. Dewasa ini, retorika diartikan sebagai kesenian untuk berbicara baik, yang dipergunakan dalam proses komunikasi antarmanusia. Kesenian berbicara ini bukan hanya berarti berbicara lancar tanpa jalan pikiran yang

12

Dan Nimmo, Komunikasi Politik: Komunikator, Pesan, dan Media (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1989 ), cet. 1, h. 140 – 141.

13

Morissan dan Andy Corry, Teori Komunikasi: Komunikator, Pesan, Percakapan, dan Hubungan (Bogor: Ghalia Indonesia, 2009), cet. 1, h. 44.


(38)

26

jelas dan tanpa isi. Melainkan suatu kemampuan untuk berbicara dan berpidato secara singkat, jelas, padat, dan menegaskan. 14

Retorika adalah bagian dari ilmu bahasa (Linguistik), khususnya ilmu bina bicara (Sprecherziehung). Retorika sebagai bagian dari ilmu bina bicara ini mencakup, yaitu Monologika (Ilmu tentang seni berbicara secara monolog, dimana hanya seorang yang berbicara). Dialogika (Ilmu tentang seni berbicara secara dialog, dimana dua orang atau lebih berbicara atau mengambil bagian dalam satu proses pembicaraan). Pembinaan Teknik

Bicara (teknik bernafas, teknik mengucap, bina suara, teknik membaca dan

bercerita).15

Ada dua aspek yang harus diperhatikan dalam retorika ini yaitu,

pertama, pengetahuan mengenai bahasa dan penggunaan bahasa dengan baik.

Kedua, pengetahuan mengenai objek tertentu yang akan disampaikan dengan

menggunakan bahasa yang baik.16

Teori retorika berpusat pada pemikiran mengenai retorika, yang disebut Aristoteles sebagai alat persuasi yang tersedia. Maksudnya, seorang pembicara yang tertarik untuk membujuk khalayaknya harus mempertimbangkan tiga bukti retoris: logika (logos), emosi (pathos), dan etika/kredibilitas (ethos). Khalayak merupakan kunci dari persuasi yang efektif, dan silogisme retoris, yang mendorong khalayak untuk menemukan

14

Dori Wuwur Hendrikus, Retorika: Terampil berpidato, Berdiskusi, Berargumentasi, Bernegosiasi (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1991), h. 14.

15

Ibid., h. 16. 16


(39)

sendiri potongan–potongan yang hilang dari suatu pidato, digunakan dalam persuasi.17

a. Lima Hukum Retorika

Dalam pandangan Aristoteles, seorang ahli retorika klasik lima tahap penyusunan pidato yang dikenal dengan Lima Hukum Retorika “The Five

Cannons of Rhetorica”, yaitu sebagai berikut:

1) Inventio (penemuan). Pada tahap ini, pembicara menggali topik dan

meneliti khalayak untuk mengetahui metode persuasi yang paling tepat. Bagi Aristoteles, retorika tidak lain dari kemampuan untuk menentukan dalam kejadian tertentu dan situasi tertentu dengan metode persuasi yang ada. Dalam tahap ini juga, pembicara merumuskan tujuan dan mengumpulkan bahan (argumen) yang sesuai dengan kebutuhan khalayak.

2) Disposito (penyusunan). Pada tahap ini, pembicara menyususun pidato

atau mengorganisasikan pesan. Aristoteles menyebutnya taxis yang berarti pembagian. Pesan harus dibagi ke dalam beberapa bagian yang berkaitan dengan logis. Susunan berikut mengikuti kebiasaan berpikir manusia, yaitu pengantar, pernyataan, argumen, dan epilog.

3) Elocutio (gaya). Pada tahap ini, pembicara memilih kata–kata dan

menggunakan bahasa yang tepat untuk mengemas pesannya. Aristoteles memberikan nasihat, gunakan bahasa yang tepat, benar, dan dapat diterima, yaitu pilih kata–kata yang jelas dan langsung, sampaikan

17

Richard West dan Lynn Turner, Pengantar Teori Komunikasi: Analisis dan Aplikasi, h. 5.


(40)

28

kalimat yang indah, mulia dan hidup: dan sesuaikan bahasa dengan pesan, khalayak, dan pembicara.

4) Memoria (memori). Pada tahap ini, pembicara harus mengingat apa

yang ingin disampaikannya dengan mengatur bahan–bahan pembicaranya.

5) Pronountiatio (penyampaian). Pada tahap ini, pembicara

menyampaikan pesannya secara lisan. Di sini, akting sangat berperan. Pembicara harus memerhatikan oleh suara dan gerakan–gerakan anggota badan.18

b. Tipologi Pidato

Dalam retorika, terdapat jumlah tipologi pidato yang menentukan pendekatan dan proses yang berbeda–beda juga alam penyelenggaraannya:

1) Tipe impromtu. Tipe impromtu adalah mengungkapkan perasaan

pembicara, karena pembicara tidak memikirkan terlebih dahulu pendapat yang disampaikannya. Gagasan dan pendapatnya itu datang secara spontan. Impromtu memungkinkan orator terus berfikir. Kerugian tipe ini adalah dapat menimbulkan kesimpulan yang mentah, penyampaian yang kurang lancar. Jika tidak hati–hati gagasan menjadi kurang bahkan tidak sistematis. Jalaludin Rahmat menyarankan sebaiknya hindari orasi atau pidato impromtu, tetapi bila terpaksa, hal-hal berikut dapat dijadikan pegangan:

18

Gun Gun Heryanto dan Irwa Zarkasy, Public Relations Politik (Bogor: Ghalia Indonesia, 2012), h. 118-119.


(41)

a) Pikirkan terlebih dahulu teknik pemulaan pidato yang baik. Seperti, cerita, hubungkan dengan pidato sebelumnya, ilustrasi, dan sebagainya.

b) Tentukan sistem organisasi pesan. Seperti, susunan kronologis, teknik pemecahan soal, kerangka sosial ekonomi–politik, hubungan teori dan praktek.

c) Pikirkan teknik menutup pidato yang mengesankan.

2) Tipe Memoriter. Tipe memoriter adalah retorika yang pesan politiknya

ditulis dan kemudian diingat kata demi kata atau dihafal. Jalaluddin Rahmat dalam bukunya Retorika Modern: Pendekatan Praktis, menuliskan beberapa kelebihan dan kekurangan tipe memoriter, yakni: a) Memungkinkan ungkapan yang tepat

b) Organisasi pesan yang terencana c) Pemilihan bahasa yang teliti

d) Gerak dan isyarat yang diintegrasikan dengan uraian

Adapun kekurangan dari tipe ini, yaitu:

a) Kurang terjalinnya saling hubungan antara pesan dengan pendengar. b) Memerlukan waktu dalam persiapan

c) Kurang spontan karena perhatian beralih pada upaya mengingat pesan.

Bahaya terbesar timbul bila satu kata atau lebih hilang dari ingatan, seperti manuskrip, maka naskah memoriter pun harus ditulis dengan gaya ucapan.19

19

Gun Gun Heryanto dan Ade Rina Farida, Komunikasi Politik (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah), cet. 1, 2011. h. 146.


(42)

30

3) Tipe Forensik/Tipe Manuskrip. Pidato yang dipersiapkan secara tertulis,

pidato dengan naskah, atau orasi yang dilakukan dengan cara membacakan naskah pidato dari awal sampai akhir. Manuskrip dibutuhkan oleh tokoh–tokoh nasional, sebab kesalahan satu kata saja, dapat menimbulkan kekacauan dan berakibat jelek bagi pembicara. Manuskrip juga sering dilakukan oleh ilmuan yang melaporkan hasil penelitiannya dalam pertemuan ilmiah. Jalaluddin Rahmat dalam Retorika Modern: Pendekatan Praktis, menulis tentang keuntungan dan kerugian dari tipe manuskrip adalah:

Keuntungan dari tipe ini adalah:

a) Kata–kata dapat dipilih sebaik–baiknya b) Pernyataan dapat dihemat

c) Kefasihan berbicara dapat dicapai dengan kata–kata yang sudah disiapkan

d) Hal–hal yang menyimpang dapat dihindari e) Manuskrip dapat diterbitkan atau diperbanyak

Sementara kelemahan dari tipe ini, yaitu:

a) Komunikasi dengan pendengar berkurang karena pembicara tidak berbicara langsung dengan mereka meski dalam forum yang sama b) Pembicara tidak dapat melihat pendengar dengan baik, sehingga

akan kehilangan gerak dan bersifat kaku

c) Umpan balik tidak dapat mengubah, memperpendek atau memperpanjang pesan


(43)

Untuk mengurangi kekurangan–kekurangan itu, beberapa petunjuk dapat diterapkan dalam penyusunan dan penyampaian manuskrip:

a) Susunlah lebih dahulu garis–garis besarnya dan siapkan bahan– bahannya

b) Tulislah manuskrip seakan–akan anda bicara. Gunakan gaya percakapan yang lebih informal dan langsung

c) Baca naskah itu berkali–kali sambil membayangkan pendengar d) Hafalkan sekedarnya sehingga anda dapat lebih sering melihat

pendengar

e) Siapkan manuskrip dengan ketikan besar, tiga spasi dan batas pinggir yang luas.20

4) Tipe Ekstemporer. Tipe ini merupakan jenis yang paling baik dan

paling sering digunakan. Orasi telah dipersiapkan sebelumnya berupa outline dan pokok–pokok penunjang pembahasan, pembicara tidak berupaya mengingat kata demi kata, outline hanya merupakan pedoman untuk mengatur gagasan yang ada dalam pikiran kita. Sebab itu, ekstemporer membutuhkan banyak latihan, pengalaman dan pengetahuan yang cukup. Memang sukses sebuah pidato, juga ditentukan oleh adanya persiapan, baik jangka panjang maupun jangka pendek. Harus diingat pepatah Latin “qui assendit sine labore des

condit sine homore. Artinya, barang siapa yang bekerja tanpa

persiapan, akan jatuh dengan kehilangan kehormatan. Adapun kelebihan ekstemporer, yakni: terjadi interaksi dengan pendengar,

20


(44)

32

fleksibel, lebih spontan, dan komunikasi pembicara dengan pendengar lebih baik karena pembicara berbicara langsung dengan khalayak. Sedangkan kekurangannya bagi pembicara yang kurang mahir, yakni persiapan kurang baik jika terburu–buru, menyimpang dari outline, kehilangan arah interpretasi dari apa yang telah ditulis dari outline, pemilihan kata yang kurang sesuai konteks, terhambatnya kefasihan karena kesukaran memilih kata dengan segera, dan tentunya tidak dapat dijadikan bahan penerbitan.21

2. Retorika Politik

Retorika merupakan “art of speach” (seni berbicara). Yakni suatu bentuk komunikasi yang diarahkan pada penyampaian pesan dengan maksud mempengaruhi khalayak agar dapat memperhatikan pesan yang disampaikan secara baik. Retorika menggabungkan antara argumentasi pesan, cara penyampaian yang menarik serta kredibilitas diri pembicara. Dengan demikian retorika politik merupakan seni berbicara kepada khalayak bersifat politik, dalam upaya mempengaruhi khalayak tersebut agar sesuai dengan apa yang diinginkan oleh komunikator politik.22

Retorika politik adalah suatu proses yang memungkinkan terbentuknya masyarakat melalui negosiasi. Retorika menggunakan bahasa untuk mengidentifikasi pembicara dan pendengar melalui pidato. Pidato adalah suatu konsep yang sama pentingnya dalam menganalisis retorika sebagai identifikasi atau sebagai simbolisme. Pidato adalah negosiasi, yaitu proses memberi dan menerima yang kreatif. Dengan proses itu orang – orang

21

Gun Gun Heryanto dan Ade Rina Farida, Komunikasi Politik, h. 150. 22


(45)

menyusun makna bersama bagi kata–kata dan lambang–lambang lain. Dengan berpidato kepada satu sama lain orang–orang menyikapkan pandangan masing–masing dan menciptakan seluruh bidang wacana bersama. Dengan kata lain, melalui retorika politik kita menciptakan masyarakat dengan negosiasi yang terus berlangsung tentang makna situasi dan tentang identitas kita dalam situasi tersebut.23

Sejak zaman Yunani–Romawi, retorika sudah digunakan sebagai salah satu upaya untuk mempersuasi publik atau membangun opini publik. Oleh karena itu retorika bersentuhan dengan politik (negara, kekuasaan, dan kewenangan) karena opini publik sendiri merupakan sebuah kekuatan politik, terutama di negara–negara demokrasi. Retorika bertujuan membujuk khalayak agar mau menggunakan daya serapnya dalam memahami pesan– pesan politik yang dikomunikasikan.24

Retorika mengandung banyak unsur persuasi, seperti unsur gaya dan keindahan yang mencakup suara yang berirama, intonasi yang bagus, kata– kata yang indah, serta postur dan gerak tubuh yang dapat menarik dan meyakinkan. Retorika merupakan komunikasi verbal dan nonverbal yang memiliki unsur persuasi dengan daya pengaruh yang kuat dalam merayu publik. Dengan adanya unsur persuasi yang melekat pada retorika, mendorong para politikus memanfaatkan retorika sebagai salah satu bentuk komunikasi yang efektif dalam merayu opini publik.25

Retorika secara etimologi berasal dari bahasa Yunani, rhetoric yang berarti seni bicara. Retorika merupakan seni bicara yang dapat dicapai

23

Dan Nimmo, Komunikasi Politik: Komunikator, Pesan, dan Media, h. 142. 24

Gun Gun Heryanto dan Ade Rina Farida, Komunikasi Politik, h. 141. 25


(46)

34

berdasarkan bakat alam dan keterampilan teknik. Kajian Retorika secara umum didefinisikan sebagai simbol yang digunakan manusia. Retorika pada awalnya berkaitan dengan persuasi, sehingga retorika adalah seni penyusunan argumentasi dan pembuatan naskah pidato. Kemudian, berkembang sampai mengikuti proses “adjusting ideas to people and people to ideas” dalam segala jenis pesan. Kajian Retorika diperluas dengan mencakup segala cara manusia dalam menggunakan simbol untuk mempengaruhi lingkungan di sekitarnya. Pusat dari tradisi retorika adalah penemuan, penyusunan, gaya penyampaian, dan daya ingat, yang dikenal sebagai lima karya agung retorika.26

Bila memiliki aspek sejarah, pada awalnya retorika digunakan dalam perdebatan–perdebatan di ruang pengadilan, atau dalam perdebatan– perdebatan antarpersona, sehingga merupakan bentuk komunikasi yang bersifat dua arah atau dialogis. Pada tahapan perkembangannya, retorika dikembangkan sebagai ilmu tersendiri. Selanjutnya, retorika kemudian berkembang menjadi komunikasi massa (satu–kepada-semua) melalui pidato atau orasi kepada orang banyak, sehingga tidak lagi merupakan kegiatan antarpersona (satu–kepada-satu) saja. Dalam hal ini, retorika berkembang menjadi pernyataan umum, terbuka dan aktual, dengan menjadikan khalayak (publik atau massa) sebagai sasaran yang tercakup dalam ilmu komunikasi.27

Perkembangan retorika dari komunikasi dialogis ke komunikasi massa, pada awalnya dilakukan oleh Sophist pada masa Yunani–Romawi dengan tujuan memperoleh kekuasaan politik dengan jalan membentuk dan membina

26

Gun Gun Heryanto dan Ade Rina Farida, Komunikasi Politik, h. 142. 27


(47)

opini publik. Itulah sebabnya retorika menjadi fenomena komunikasi politik yang sangat menarik bagi tokoh–tokoh politik di kemudian hari.28

Aristoteles merupakan tokoh utama yang memasyhurkan dan mengembangkan retorika dengan menerbitkan buku retorika yang merupakan hasil catatan kuliahnya Plato. Plato sendiri tidak begitu menyukai beberapa cara sejumlah kaum Sophist yang menggunakan retorika sebagai seni berdebat yang sering mengabaikan kebenaran dengan mengutamakan kemenangan. Selanjutnya tulisan–tulisan orang Yunani tentang retorika disalin kembali oleh orang Romawi, termasuk Isocrates, Quintilian, dan Cicero. Selain itu, tercatat pula beberapa tokoh yang mengembangkan retorika pada zamannya seperti Dhemosthenes, Phillipus, dan Lycurgus yang terkenal juga sebagai orator yang ulung.29

Plato termasuk tokoh yang mengancam keras penggunaan retorika dalam mempersuasi dan mempropaganda publik lewat serangkaian pidato atau bentuk komunikasi lainnya sebab hal itu dianggap banyak berisi kebohongan dan pemalsuan tanpa memperhitungkan prinsip–prinsip kebenaran, kebajikan, dan moralitas. Plato berharap para orator politik juga harus memiliki kesadaran mendalam tentang kebenaran, terutama kebenaran suatu isu yang dibicarakan.30

Aristoteles menawarkan pentingnya ethos dalam retorika yaitu faktor personal, terutama masalah karakter. Ethos, “ethical or personal appeals” meliputi upaya membangun kualitas personal, dimana kepribadian pembicara jauh lebih penting dari pesan yang disampaikan. Dalam literatur ilmu

28

Gun Gun Heryanto dan Ade Rina Farida, Komunikasi Politik, h 143. 29

Ibid., h. 143. 30


(48)

36

komunikasi, ethos diartikan juga sebagai kredibilitas komunikator, yaitu komunikator yang dapat dipercaya. Aristoteles juga memperkenalkan pathos

dan logos. Phatos berkaitan dengan dimensi yang menyentuh emosi dalam

retorika, sedangkan logos adalah dimensi yang berkaitan dengan penggunaan argumentasi yang masuk akal (logis) dan fakta–fakta yang nyata.31

a. Tipologi Orator Politik

Dalam Public Relations Politik dibutuhkan kesadaran diri bahwa seorang Public Relations akan membawa nama lembaga yang diwakilinya atau menunjukkan citra kandidat yang didukungnya. Oleh karena itu, harus senantiasa menyadari tipologi orator yang sedang diperankannya. Tipologi orator dalam Public Relations politik itu antara lain seperti berikut:

1) Noble Selves: orang yang menganggap dirinya paling benar, mengklaim

lebih hebat dari yang lain dan sulit menerima kritik. Jika tipe ini yang ada dalam diri praktisi Public Relations Politik, maka tentu akan menghambat proses Public Relations politik yang sedang dilakukan.

2) Rhetorically Reflector: orang yang tidak punya pendirian yang teguh,

hanya menjadi cerminan orang lain. Tipe seperti ini akan melemahkan lembaga atau kandidat, karena orator tak memiliki kapasitas untuk membangun diskursus, berpolemik atau mempertahankan ide dan konsep. Dia tak lebih dari sekedar cerminan kepentingan pihak lain.

3) Rhetorically Sensitive: orang yang adaptif, dan cepat menyesuaikan diri

dengan lingkungannya. Ini merupakan tipe ideal karena tahu bagaimana dan kapan harus memainkan diri publik (public self) dan diri pribadi

31


(49)

(private self). Cenderung fleksibel, tetapi memiliki konsep diri yang jelas, sehingga bisa menunjukkan ketegasan dan kewibawaannya di depan khalayak.32

b. Tipe – tipe Retorika Politik: 1) Retorika Deliberatif

Retorika Deliberatif dirancang untuk mempengaruhi orang–orang dalam masalah kebijakan pemerintah dengan menggambarkan keuntungan dan kerugian relatif dari cara–cara alternatif dalam melakukan segala sesuatu. Fokusnya ialah pada apa yang akan terjadi di masa depan jika di tentukan kebijakan tertentu. Jadi, ia menciptakan dan memodifikasi pengharapan atas hal-hal yang akan datang. Di dalam seluruh tahap politik kita melihat retorika deliberatif. Ketika seorang menteri pertahanan meminta pembiayaan militer yang lebih dasar untuk menghindari ancaman dari kekuatan asing, menteri keuangan meminta kenaikan pajak untuk “meredam api inflasi ”, walikota kota–kota besar meminta bantuan pemerintah federal untuk mencegah kebangkrutan finansial di daerah–daerah metropolitan, dan sebagainya.

2) Retorika Forensik

Retorika Forensik berfokus pada apa yang terjadi pada masa lalu untuk menunjukkan bersalah atau tidak bersalah, pertanggungjawaban, atau hukuman dan ganjaran. Setting–nya yang biasanya adalah ruang pengadilan, tetapi terjadinya di tempat lain. Pemeriksaan pada musim panas tahun 1974 di depan komite Yuridis dari parlemen mengenai

32


(50)

38

kemungkinan didakwanya Presiden Richard Nixon memberi peluang bagi wacana forensik, persis seperti semua acara di depan badan pengaturan pemerintah, pemeriksaan Komisi pengaturan Nuklir untuk mengizinkan pembangunan fasilitas nuklir, pemeriksaan Dewan Hubungan Perburuhan Nasional mengenai perselisihan buruh manajemen dan sebagainya.

3) Retorika Demonstratif

Ini adalah Retorika Demonstratis wacana yang memuji dan menjatuhkan. Tujuannya adalah untuk memperkuat sifat baik dan sifat buruk seseorang, suatu lembaga, atau gagasan. Kampanye politik penuh dengan retorika demonstratif seperti satu pihak menantang kualifikasi pihak lain bagi jabatan di dalam pemerintahan. Dukungan editorial oleh surat kabar, majalah, televisi, dan radio juga mengikuti garis demonstratif, memperkuat sifat–sifat positif kandidat yang didukung dan sifat–sifat negatif lawannya.33

33


(51)

BIOGRAFI JOKO WIDODO DAN FAUZI BOWO

A. Profil Joko Widodo

Jokowi adalah sebutan Walikota Solo yang bernama lengkap Ir. Joko Widodo, lahir di Surakarta, 20 Juni 1961. Nama ini sangat begitu populer, terutama di DKI Jakarta setelah memenangkan putaran pertama pemilukada DKI Jakarta 2012. Sebelum memenangi putaran pertama pemilukada DKI Jakarta 2012, Jokowi menjadi Walikota selama 7 tahun dari tahun 2005. Pendidikan Jokowi TK Ketelan Banjasari, SD Negeri 111 Tirtoyoso Solo, SMP Negeri 1 Solo, SMAN 6 Solo, Universitas Gajah Mada Yogyakarta Fakultas Kehutanan hingga menyandang gelar insinyur pada tahun 1985.

Nama Jokowi berawal dari salah order, awalnya Mircl Romaknan, pembeli mebel dari Prancis sering salah mengirim pesanan, maksudnya untuk Joko Widodo yang di Solo, tapi surat itu terkirim ke Surabaya atau Jepara, karena sering terjadinya salah order, maka buyer yang berasal dari Perancis itu mengubah nama Joko Widodo menjadi Jokowi. Sejak itu nama Jokowi resmi dijadikan sebagai nama dalam pergaulan bisnisnya. Bahkan nama Jokowi dipopulerkan saat bertransaksi dengan mitra bisnisnya di Amerika Serikat, Asia, Australia, dan sejumlah negara Eropa lainnya.1

Anak pertama dari pasangan Noto Miharjo dan Sujiatmi menjalani masa kecilnya di Kampung Srambatan, Banjasari, Solo, kemudian Jokowi bersama keluarganya pindah rumah ke kawasan Gilingan, Banjasari, karena

1


(52)

40

tempat tinggalnya direndam banjir luapan sungai Bengawan Solo di tahun 1965. Jokowi adalah anak laki-laki satu-satunya dari empat bersaudara, ketiga adiknya perempuan yaitu Iit Sriyatmini, Idayati, dan Titik Ritawati. Ayahnya, Noto Miharjo bekerja sebagai tukang kayu membuat kusen, daun pintu, kayu kuda – kuda, dan masih banyak lagi untuk dijual. Jadi, keterampilan Jokowi di dunia pertukangan kayu diperolehnya dengan pengalaman sehari-hari.2

Jokowi menikah pada 24 Desember 1986 dengan Iriana dan dikaruniai tiga orang anak, yaitu Gibran Rakabuming, lulusan dari Universitas di Australia, dan kini menjadi pengusaha katering. Kahiyang Ayu, masih kuliah, dan Kaesang Pangarep, masih sekolah di Singapura. 3

Setelah tamat kuliah di UGM, Jokowi bekerja di sebuah perusahaan PULP (bubur kertas) di Aceh, karena berlatar belakang pendidikan sarjana kehutanan, Jokowi pun ditempatkan pada bagian pembibitan tanaman. Jokowi merantau ke Aceh selama 1,5 tahun, kemudian pulang kembali ke tanah kelahirannya. Jokowi kembali lagi bekerja di CV Roda Jati, sebuah perusahaan pengolahan kayu jati ternama di kota Bengawan, lokasinya terletak di pintu masuk kota Solo dari arah Bandara Adisumarno, Solo. Perusahaan itu milik kakak kandung Sujiatmi, Mulyono Suryo Sujono. Di CV Roda Jati, posisi Jokowi sebagai direktur yang cukup dijalankan selama 1,5 tahun. Setelah itu, Jokowi merintis usaha sendiri yang dibantu oleh ibu dan adik dari ibu Jokowi yang memberi tambahan modal untuk membuka bisnis mebel (furniture) pada 1998 di Kadiporo, Banjasari, Solo4.

2

Arif Supriyono, dkk, Jokowi Tokoh Perubahan, h. 5-6. 3

Ibid., h. 8. 4


(1)

Jokowi. Perbedaan ini terletak pada persuasi. Foke melakukan persuasi dengan cara menonjolkan keberhasilan-keberhasilan kepemerintahannya, misalnya dalam hal program kerja pembangunan modal transportasi seperti busway, kemudian keberhasilan dalam menghadapi banjir. Jadi Foke lebih dari pada sifat yang menjelaskan keberhasilan kepemerintahannya. Tetapi, kelemahannya adalah gaya komunikasi Foke itu cenderung blak-blakan atau tidak tersaring dan cenderung tidak memahami emosi warga. Kalau kita ketahui emosi warga pasca di masa Foke itu cenderung tidak puas dalam masa kepemerintahannya, harusnya dilakukan Foke adalah tidak berbicara langsung mengenai keberhasilan-keberhasilan program kerjanya dia selama menjabat, karena itu bertabrakan dengan emosi warga. Yang kedua, bicara dia yang blak-blakan dan emosional, gaya komunikasinya itu tidak disukai oleh tim media, dan orang-orang yang mengakses informasi, karena selalu dibandingkan dengan Jokowi yang cenderung lebih halus. Kerena orang-orang yang mengakses informasi pasti membandingkan antara kedua kandidat ini menilai siapa yang terbaik itu melihat dari cara kedua kandidat melakukan persuasi. Kalau Foke memang dilihat dia gagal dalam hal mempersuasi emosi publik, faktor kedua gaya komunikasi Foke atau retorika berbicara kepada masalah dia menghendle atau menanggapi pemberitaan-pemberitaan menyangkut dirinya. Kalau Foke ini terkesan sangat emosional dalam menghadapi berita-berita mengenai dirinya dan itu merusak citranya dia sebagai pemimpin, dan itu bertolak belakang sekali dengan retorika Jokowi yang lebih lentur dalam berbicara.

Q : Bagaimana pandangan bang Arya dengan retorika politik Joko Widodo pada saat kampanye Pemilukada DKI Jakarta putaran kedua?


(2)

A : Jokowi itu merepresentasikan bahasa politik yang sesuai dengan bahasa masyarakat bawah, menggunakan bahasa keseharian, tidak tinggi dan mudah dipahami oleh semua kalangan. Jokowi sadar bahwa secara demokrasi kita adalah pemilih yang pendapatan menengah kebawah di Jakarta, secara pendidikan juga menengah kebawah. Karena kita dulunya adalah kelompok menengah kebawah, makanya Jokowi sadar dia menggunakan kata yang mudah dipahami, kata-kata yang merakyat, yang bahasanya tidak tinggi dan cenderung tidak muluk-muluk lebih to the point. Kemudian kekuatan Jokowi selain bahasanya yang mudah dipahami juga adalah cara dia bertutur seperti orang kebanyakan, cara menyampaikannya lebih kontekstual.

Q : Apakah Foke masuk ke dalam high profile contect dan low profile contect? A : Ya, Foke masuk kedalam konteks high profile. Ini bisa dilihat terhadap sikapnya

yang memberikan jarak kepada masyarakat, berbeda dengan Jokowi yang metode kampanyenya lebih banyak turun langsung ke masyarakat, berkomunikasi langsung dengan masyarakat. Sementara Foke tidak mengandalkan itu, padahal dia punya potensi untuk melakukan hal itu, Foke lebih bermain pada level elite politik, melalui spanduk-spanduk, dan dia sebagai Gubernur memiliki sedikit waktu untuk turun ke masyarakat. Padahal dia sudah memulai lama, sejak dulu berkampanye dengan konteks perubahan, dan itu kurang berhasil di putaran pertama. Tetapi kekalahan di putaran pertama tidak menjadi pembelajaran yang berhaga untuk Foke, dia cenderung merangkul partai-partai elite politik. Sangat bertolakbelakang dengan Jokowi yang low profile. Foke dan Jokowi adalah rivalitas antara high profile dan low profile. Hal yang dilakukan Jokowi banyak simpati di benak khalayak, mungkin ini bisa menjadi salah satu cara yang akan digunakan oleh kandidat-kandidat calon pemimpin.


(3)

Q : Apa saja kekurangan dan kelebihan Jokowi pada saat kampanye di putaran kedua?

A : Kekurangan Jokowi relatif kecil. Jokowi berhasil sebelum di putaran pertama mengangkat pesan di benak publik adalah kandidat unggulan dan menjadi kandidat yang berbeda dengan yang lain. Dia juga berhasil menanamkan pesan kepada publik adalah dia mungkin yang benar-benar bekerja, yang mempunyai integritas untuk perbaikan Jakarta, dan dia menanamkan pesan bahwa dia adalah tim rakyat atau prorakyat. Tiga hal itu kemudian benar-benar tertanam dari benak publik. Jokowi tidak perlu mengeluarkan energi yang banyak lagi untuk berkampanye. Dia secara langsung telah terbantu dengan kampanye oleh pemberitaan media massa, melalui pemberitaan mengenai dirinya ketika membangun Solo, dan pada putaran kedua relatif Jokowi dia tidak melakukan serangan politik seperti yang dilakukan oleh kubu Foke, dan dia tetap konsisten di awal memberikan pesan ke dalam benak publik adalah pemimpin yang cocok sesuai dengan karakter dia.

Q : Ketika putaran kedua berlangsung, terjadinya black campaign di kubu Foke, mereka menyerang Jokowi dengan Isu SARA kepada publik. Bagaimana Sikap Jokowi dalam menghadapi isu-isu tersebut?

A : Menurut saya Jokowi ini sangat sadar bahwa isu SARA tidak optimal bekerja, karena dalam survei yang kita lakukan itu menunjukkan tidak ada korelasi hubungan antara etnis dengan hubungan politik, misalnya apakah orang betawi yang akan dipilih untuk menjadi pemimpin Jakarta? Tetapi pada putaran pertama kalau kita crop datanya dengan orang pilihan, banyak orang betawi yang memilih Jokowi. Yang kedua isu Agama, kalau isu Agama bekerja, seharusnya umat


(4)

muslim memilih Foke, Foke ketimbang lebih santri dari Jokowi. Pada survei tidak ditemukan umat muslim, orang-orang yang dekat dengan organisasi Islam itu justru banyak memilh Jokowi, nah artinya apa? isu agama tidak optimal bekerja di Jakarta, atau tidak berpengaruh pada masyarakat. Jokowi sadar kalau SARA tidak berpengaruh pada citranya, makanya dia tidak bereaksi mengenai isu-isu SARA yang digunakan rivalnya.

Q : Melihat dari reaksi masyarakat terhadap kinerja Foke selama menjabat, mereka menganggap Foke gagal menjadi gubernur, atau merasa kurang puas, bagaimana pandangan bang Arya melihat reaksi masyarakat terhadap Foke?

A : Keberhasilan seorang pemimpin itu bisa dideteksi melalui survei opini publik, untuk mengujinya apakah masyarakat puas atau tidak puas bisa melakukan survei untuk mendeteksinya. Ketika kita melakukan peretingan survei pada putaran pertama selama 3 kali. Itu menunjukkan rasa ketidakpuasan hampir separuh warga Jakarta itu tidak puas terhadap Foke, biasanya dalam studi empiris kalau tidak puas terhadap pemerintah biasanya hak untuk tidak memilih bisa, karena hasil ketidakpuasan ini bisa jadi atau berpengaruh terhadap pemilihan mereka untuk tidak memilih Foke. Kemudian, ini menjadi beban Foke pada pilkada kemaren, dia harus menanggung ketidakpuasan warga terhadapnya. Kalau kita lihat apakah Foke berhasil atau tidak, ketika dari Foke memimpin tidak ada kebijakan besar yang dilakukan oleh Foke, apa yang dilakukan Foke cenderung melanjutkan kebijakan-kebijakan sebelumnya ketika Sutiyoso menjabat, seperti tentang busway, BKT, itu hanya melanjutkan. Jadi pemilih tidak mempunyai gambaran yang komprehensip dalam kebijakan Foke.


(5)

Q : Didalam retorika politik ada tiga tipelogi orator, yakni noble selve, retorically reflector, dan retorically sensitive. Menurut bang Arya sendiri Foke dan Jokowi masuk kedalam kategori tipelogi orator apa?

A : Melihat dari sikap yang ditonjolkan Foke dalam menangani Pemilukada ini, tipeloginya adalah noble selve. Ini bisa diunggah dalam acara debat kandidat cagub Jakarta yang disiarkan di media. Jokowi tipelogi oratornya adalah retorically sensitive, yakni bisa dilihat dari strategi-strategi kampanye Jokowi yang turun langsung ke masyarakat.

Q : Melihat sikap akhir Foke dalam kemenangan Jokowi pada Pemilukada DKI Jakarta 2012 ini, sikap Foke terlihat sportif, gentle, dan mengakui kelebihan rivalnya. Padahal kita melihat sebelumnya sangat agresif sekali. Bagaimana menurut bang Arya melihat finally sikap Foke? Apakah ini sengaja dilakukan untuk memperbaiki citranya?

A : Menurut saya itu adalah salah satu hal positif yang dapat kita lihat dari seorang Foke, meskipun kalah dia tetap menunjukkan ke publik bahwa dia telah berkompetisi secara baik, tidak melanggar hukum, dan dia mengakui kekalahannya. Karena jarang sekali kita temukan pemimpin yang seperti ini, yang mau mengakui kekalahannya yang dilakukan Foke. Saya kira ini adalah berambisi baik dalam hal politik yang harus kita dorong. Tapi menurut saya ini didorong karena faktor kepribadian Foke, atau pendidikannya Foke atau lingkungan. Foke adalah seorang Doktor dari universitas ternama di Jerman, seorang yang berpendidikan, dan rasional. Faktor tersebut mempengaruhi Foke secara kesatria dia harus mengakui kekalahannya. Kalau kita lihat point-point dalam pidato Foke adalah dia kalah dan mau membantu Jokowi dalam menangani Jakarta, itu salah satu hal yang baik menurut saya. Kemudian, strategi Foke


(6)

menunjukkan kepada kita bahwa pemimpin yang besar itu adalah berani mengakui kekalahan, dan apa yang dilakukan Foke harusnya menjadi pembelajaran bagi politisi-politisi yang lain dalam mengakui kekalahannya. Dan target utamanya dia adalah untuk memperbaiki citranya setelah berdarah-darah dalam kampanye dan mencitrakan pada beberapa kalangan bahwa dia sangat emosioanal itu ingin dikenang juga sebagai pemimpin yang sportif. Dan hal itu biasa saja dalam hal berdarah-darah dalam kampanye dan mengakui kekalahannya yang cukup bagus dan berani, itu sangat penting juga memperbaiki citranya di akhir. Tetapi dalam kekalahan ini karir Foke tidak akan mati, dia masih memiliki potensi yang besar untuk menjadi mentri misalnya, atau lebih dari itu.