Evaluasi Subtitusi Tepung Ikan dan Bungkil Kedelai dalam Ransum Domba Lokal terhadap Performa Induk Laktasi dan Anak Prasapih

ABSTRACT
Evaluation of Fish Meal and Soybean Meal Substitution in Ration for Local
Sheep on Performance of Lactating Ewe and Pre-weaning Lamb
Vidianto, D., L. Khotijah and D. E. Amirroenas
Aim of this study was to evaluate the effect of substitution with fish meal and soy
bean meal on performance of lactating ewe and pre-weaning lamb. This study used
complete randomized block design, with 3 treatments and 5 replications. 15 local
sheep with gestation period of 133±8,29 day and average of body weight in the
beginning was 25,13±2,90 kg. Treatments consisted of P1 : field grass + 100%
commercial concentrate, P2 : field grass + 90% commercial concentrate + 10% fish
meal, and P3 : field grass + 85% commercial concentrate + 15% soybean meal. Data
were analyzed using ANOVA with parameters: feed consumption, nutrient ration
intake, water consumption, decreased weight of pre-weaning sheep, weight of
weaning sheep, birth weight of lamb, body weight of pre-weaning lamb, average
body weight gain of pre-weaning lamb, estimated milk production, and feed
efficiency. In addition this experiment was using descriptive analysis for a number of
parameters such as income over feed cost and pre-weaning mortality. The results
showed that the treatments did not significantly affect feed consumption, nutrient
ration intake, water consumption, decreased weight of pre-weaning ewes, weight of
weaning ewes, birth weight of lamb, body weight of pre-weaning lamb, average body
weight gain of pre-weaning lamb, estimated milk production of ewes and feed

efficiency and the performance of ewes fed ration with protein sources from soy bean
meal was better than other treatments. It was of concluded that the subtitution of
protein source did not affect significant toward production and performance of
lactating both of lactating ewes and pre-weaning lamb. Feeding soybean meal fed to
produce better performance.
Key word : lactation ewe, lamb, fish meal, soy bean meal, production performance

iii

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ternak domba merupakan salah satu ternak potong yang berkontribusi dalam
memenuhi kebutuhan protein hewani. Ternak ini mempunyai daya tahan terhadap
penyakit yang tinggi, interval beranak dan mortalitas anak yang relatif pendek,
adaptasi yang baik terhadap lingkungan termasuk resisten terhadap parasit internal
serta menghasilkan anak banyak (prolifik) (Rianto et al., 2004). Domba lokal dapat
menghasilkan jumlah anak sekelahiran rata-rata sebesar 1,77 ekor per induk (Inounu,
1996).
Produktivitas domba salah satunya dipengaruhi oleh penampilan produksi
anak dan induk pada fase laktasi. Pertumbuhan ternak fase ini sangat mempengaruhi

produktivitas ternak pada fase pertumbuhan selanjutnya. Domba yang mempunyai
bobot lahir, pertambahan bobot badan harian, dan bobot sapih tinggi, maka
pertumbuhan fase selanjutnya diprediksi akan tinggi.
Pemberian ransum komersial pada ruminansia sudah mulai dilakukan, namun
masih perlu dilakukan kajian mengenai zat-zat makanan yang dibutuhkan pada fase
tertentu, sesuai dengan kebutuhan. Fase laktasi merupakan periode dimana induk
domba membutuhkan nutrisi lebih tinggi dibandingkan fase yang lainnya karena zat
makanan tersebut digunakan untuk pemulihan kondisi pasca melahirkan,
memperbaiki jaringan reproduksi setelah melahirkan, dan produksi susu (NRC,
1985). Zat makanan yang berperan untuk performa induk dan anak domba salah
satunya adalah protein.
Perbaikan pakan dengan penambahan kualitas sumber protein diharapkan
mampu meningkatkan produktivitas domba lokal laktasi. Menurut Freer dan Dove
(2002), peningkatan kadar protein dalam pakan pada saat laktasi akan mempengaruhi
performa reproduksi dan produksi domba. Mathius (1996) juga menyatakan bahwa
peningkatan kadar protein pakan secara nyata meningkat sejalan peningkatan kualitas
air susu induk, terutama bahan kering, protein dan lemak susu. Bahan pakan yang
sering dipakai sebagai sumber protein adalah bungkil kedelai dan tepung ikan.
Bungkil kedelai dan tepung ikan merupakan bahan pakan sumber protein
yang mempunyai perbedaan dalam kualitas dan kuantitas. Berdasarkan kuantitas,

tepung ikan memiliki kandungan protein lebih tinggi dibandingkan bungkil kedelai.

1

Tepung ikan memiliki protein sekitar 66% dan komposisi asam amino yang
seimbang sehingga dapat mencukupi kebutuhan asam amino esensial khususnya lisin
dan metionin yang sering kali kurang dalam ransum ternak, sedangkan bungkil
kedelai memiliki kandungan protein sekitar 49% bahan kering (NRC, 2006).
Berdasarkan kualitas protein, bungkil kedelai memiliki tingkat degradasi lebih tinggi
dibandingkan tepung ikan. Bungkil kedelai memiliki tingkat degradasi mencapai
68,6% (Cleale et al., 1987), sedangkan tepung ikan sebesar 22% (Sardiana, 1984).
Perbedaan kualitas dan kuantitas tersebut, peningkatan kadar protein dalam pakan
dengan substitusi kedua bahan pakan tersebut diharapkan mampu mempengaruhi
performa induk laktasi dan anak domba lokal prasapih.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pengaruh substitusi ransum
dengan sumber protein tepung ikan dan bungkil kedelai dalam ransum domba lokal
laktasi terhadap performa induk dan anak pra sapih.

2


TINJAUAN PUSTAKA
Potensi Domba Lokal
Domba lokal mempunyai daya adaptasi yang tinggi pada iklim tropis, interval
beranak dan mortalitas yang relatif pendek, resisten terhadap parasit internal serta
menghasilkan anak banyak (prolifik) (Rianto et al., 2004). Domba lokal juga
termasuk ternak penghasil daging yang sangat potensial karena mampu
mengkonversi bahan pakan berkualitas rendah menjadi produk bergizi tinggi.
Populasi ternak domba di Indonesia dari tahun ke tahun terus meningkat.
Tahun 2005, populasi domba mencapai 8.327.000 ekor dan pada tahun 2010 menjadi
10.932.000 ekor (Direktorat Jendral Peternakan, 2010). Potensi domba lokal di
Indonesia masih memiliki fungsi secara ekonomis karena permintaan daging domba
yang setiap tahun terus meningkat. Permintaan daging domba meningkat sebesar
3,6% per tahun dan konsumsi per kapita sebesar 1,5% per tahun (Karyadi, 2008).
Peningkatan permintaan daging domba dikarenakan meningkatnya jumlah penduduk
di Indonesia. Permintaan daging domba yang meningkat juga dapat dilihat dari
meningkatnya pemotongan domba setiap tahunnya. Populasi dan pemotongan domba
lokal dari tahun 2005 sampai 2010 menurut Direktorat Jendral Peternakan (2010)
dapat dilihat pada Gambar 1.
12000


000 ekor

10000
8000
6000

Populasi

4000

Pemotongan

2000
0
2005

2006

2007

2008
Tahun

2009

2010

Gambar 1. Populasi dan Pemotongan Domba Lokal di Indonesia.
Menurut Diwyanto (1982), domba lokal di Indonesia dibagi menjadi tiga
kelompok, yaitu domba priangan/garut, domba ekor tipis, dan domba ekor gemuk.
Domba priangan merupakan domba hasil persilangan tiga bangsa antara domba ekor

3

tipis jawa, merino dan cape dari Afrika Selatan (Devendra dan McLeroy, 1982).
Ukuran domba priangan lebih besar dibandingkan domba ekor tipis jawa. Bobot
badan domba priangan betina bisa mencapai 35-40 kg dan bobot jantan mencapai 5060 kg (Devendra dan McLeroy, 1982).
Domba ekor tipis merupakan domba asli Indonesia yang memiliki tubuh dan
ekor berukuran kecil, umumnya bulunya berwarna putih, domba ekor tipis betina
umumnya tidak bertanduk dan jantan bertanduk kecil dan melingkar. Bobot badan

betina dewasa bervariasi dari 26,11 kg dan domba jantan berkisar 34,90 kg
(Einstiana, 2006). Domba ekor gemuk merupakan domba yang memiliki ekor yang
besar, lebar, dan panjang. Bagian pangkal ekor membesar merupakan timbunan
lemak. Bentuk tubuh domba ekor gemuk lebih besar dari pada domba ekor tipis.
Menurut Malewa (2007), berat jantan dewasa domba ekor gemuk antara 30-50 kg
dan betina 25-35 kg.
Dewasa ini, produktivitas domba lokal masih rendah. Peningkatan
produktivitas domba diperlukan dukungan ketersediaan pakan kontinyu dan
berkualitas. Hal ini dibuktikan pertambahan bobot badan domba lokal yang
dipelihara di peternakan rakyat berkisar 30 g/ekor/hari, namun melalui perbaikan
teknologi pakan pertambahan bobot badan domba lokal mampu mencapai 57-132
g/ekor/hari (Prawoto et al., 2001). Purbowati (2007) menyatakan bahwa domba yang
diberi complete feed (17,35% protein kasar) dalam bentuk pelet 5,6% bobot badan
menghasilkan PBB harian 164 g/ekor/hari. Santi (2011) juga menyatakan bahwa
domba laktasi yang mengkonsumsi protein kasar sebesar 86,35 g/ekor/hari dan TDN
353,75 g/ekor/hari memiliki pertambahan bobot badan harian anak domba prasapih
sekitar 145,045 g/ekor/hari.
Konsumsi
Konsumsi pakan merupakan jumlah pakan yang dimakan oleh ternak untuk
mencukupi kebutuhan pokok dan keperluan produksi (Tillman et al., 1998). Menurut

Parakkasi (1999), tingkat konsumsi ternak dipengaruhi oleh faktor hewan itu sendiri,
faktor makanan yang diberikan, dan faktor lingkungan. Faktor ternak merupakan
permintaan fisiologis ternak tersebut untuk hidup pokok dan produksi sesuai dengan
kapasitas saluran pencernaan. Faktor ternak terdiri atas bobot badan, jenis kelamin,
umur, faktor genetik, dan tipe bangsa. Faktor makanan terbagi menjadi tingkat
4

kecernaan pakan dan kualitas bahan makanan. Faktor lingkungan terdiri atas suhu,
kelembaban, dan intensitas sinar matahari (Parakkasi, 1999). Menurut NRC (2006),
domba laktasi dengan bobot badan 40 kg beranak tunggal membutuhkan bahan
kering sekitar 3,5% dari bobot badan atau 1403 g/ekor/hari. Mathius (1996)
menyatakan induk domba fase laktasi mampu mengkonsumsi pellet 1110 g/ekor/hari.
Santi (2011) menyatakan domba lokal laktasi mampu mengkonsumsi rata-rata
538,57±117,79 g/ekor/hari. Konsumsi bahan kering umumnya akan meningkat
setelah beranak. Hal ini disebabkan kebutuhan zat makanan untuk produksi susu dan
volume perut yang lebih tinggi karena tidak ada fetus (Forbes, 2007).
Konsumsi Air Minum Domba Laktasi
Air merupakan zat makanan yang penting bagi makhluk hidup. Salah satu
fungsi air pada ternak adalah sebagai komponen utama dalam metabolisme tubuh.
Kekurangan air dalam tubuh akan penurunan konsumsi pakan dan produktivitas

ternak sampai mengakibatkan kematian ternak (Church dan Pond, 1988).
Menurut Parakkasi (1999), kebutuhan air minum pada ternak dipengaruhi
oleh faktor makanan, faktor lingkungan (suhu dan kelembaban), aktifitas ternak, dan
kondisi fisiologi ternak (fase pertumbuhan, bunting, atau laktasi). Kebutuhan air
minum juga dipengaruhi oleh konsumsi protein, semakin tinggi konsumsi protein,
maka semakin tinggi pula tingkat konsumsi air minum. Hal ini diduga karena air
digunakan untuk mengeluarkan hasil metabolisme N melalui urin (Parakkasi, 1999).
Menurut NRC (2006), tingkat kebutuhan air minum fase laktasi lebih tinggi
dibandingkan fase fisiologi lainnya. Hal ini dikarenakan air digunakan untuk sintesis
susu. Kebutuhan air domba laktasi dihitung dengan rumus 289-627 ml/kg BB0,75
dengan BB adalah bobot badan induk (NRC, 2006).
Kebutuhan Zat Makanan Domba Fase Laktasi
Fase laktasi merupakan periode induk domba yang membutuhkan nutrisi
lebih tinggi dibandingkan fase lainnya (NRC, 2006). Kurangnya pemberian zat
makanan pakan pada fase laktasi akan menyebabkan penurunan bobot hidup induk
secara drastis. Hal ini disebabkan penggunaan sumber energi cadangan dalam tubuh,
terutama lemak tubuh.

5


Selama laktasi, penggunaan zat makanan pakan untuk pembentukan susu
menjadi prioritas utama dibandingkan penggunaan proses lainnya didalam tubuh
sehingga kandungan zat makanan pakan harus memenuhi kebutuhan produksi susu
dan pertumbuhan anak (Gatenby, 1986). Kebutuhan protein pakan salah satunya
dipengaruhi oleh kondisi fisiologis ternak. Ternak pada fase laktasi memerlukan
protein yang lebih tinggi dibandingkan bunting dan pertumbuhan, terutama puncak
laktasi. Pengaruh status fisiologis terhadap kebutuhan protein domba menurut NRC
(2006) dapat dilihat dalam Gambar 2.
170

156,25

gram/hari

150

135,625
112,5

130

110

93,75

116,875

90
70
50
Awal

Akhir

Awal

Bunting

Gambar 2.

Tengah

Akhir

Laktasi

Pengaruh Status Fisiologis terhadap Kebutuhan Protein pada Domba
Berbobot Badan 25 kg dan Beranak Tunggal.

Kebutuhan protein pada fase laktasi meningkat, maka memerlukan protein
kasar ransum induk domba laktasi sebesar 15%, sedangkan Kearl (1982) menyatakan
bahwa kebutuhan protein kasar induk domba laktasi dengan berat badan 20 kg adalah
12%. Sementara menurut Mathius (1996), kebutuhan domba lokal laktasi sebaiknya
mengandung protein kasar sebesar 15%.
Tepung Ikan dan Bungkil Kedelai
Tepung ikan merupakan salah satu hasil pengawetan ikan dalam bentuk
kering yang dihilangkan seluruh lemaknya dan bagian-bagian ikan yang diolah
(kepala ikan, isi perut ikan, dan lain-lain). Tepung ikan untuk bahan pakan biasanya
berasal dari sisa-sisa hasil olahan maupun hasil penangkapan waktu musim ikan.
Menurut Rasyaf (1990), Kandungan protein kasar tepung ikan sebesar 60% hingga
70% dan kaya akan asam amino esensial terutama lisin dan metionin yang selalu
kurang dalam bahan makanan ternak asal nabati.

6

Bungkil kedelai merupakan salah satu bahan sumber protein dimanfaatkan
untuk makanan ternak. Bungkil kedelai memiliki kadar protein sekitar 49% dan TDN
84% (NRC, 2006). Kandungan zat makanan bungkil kedelai dan Tepung Ikan
disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Kandungan Zat Makanan Bungkil Kedelai dan Tepung Ikan Berdasarkan
Bahan Kering.
No.

Zat Makanan

1.
Abu
2.
Protein kasar
3.
Lemak
4.
Serat Kasar
5.
TDN
6.
Ca
7.
P
Sumber
: NRC (2006)

Bungkil Kedelai
Tepung Ikan
----------- % BK ----------7,00
20,00
49,00
66,00
1,60
8,00
6,00
1,00
84
74,00
0,38
5,50
0,71
3,15

Berdasarkan kandungan zat makanan, bungkil kedelai dan tepung ikan
mempunyai perbedaan. Kadar protein tepung ikan lebih tinggi dibandingkan bungkil
kedelai, akan tetapi tepung ikan memiliki lemak yang tinggi sehingga menyebabkan
bau tengik yang mengakibatkan penurunan palatabilitas. Tepung ikan yang bermutu
baik harus memiliki butiran-butiran seragam, bebas dari sisa-sisa tulang, mata ikan,
dan benda-benda asing (Moeljanto, 1992).
Tingkat palatabilitas bungkil kedelai lebih tinggi dibandingkan tepung ikan.
Stallings (2003) menyatakan tepung ikan merupakan bahan pakan yang kaya protein
tetapi palatabilitas rendah, terutama bagi ternak ruminansia. Suplementasi bungkil
kedelai dalam ransum dapat meningkatkan konsumsi total bahan kering
dibandingkan suplementasi tepung ikan lokal dan impor pada kambing kacang
(Addulah et al., 2007).
Berdasarkan tingkat degradasi dalam rumen, bungkil kedelai relatif tinggi
terdegradasi dibandingkan tepung ikan. Bungkil kedelai memiliki tingkat degradasi
mencapai 68,6% (Cleale et al., 1987), sedangkan tepung ikan sebesar 22% (Sardiana,
1984). Menurun Addulah et al. (2007), suplementasi tepung ikan memberi pengaruh
pertambahan bobot badan lebih tinggi dibandingkan suplementasi bungkil kedelai
pada kambing kacang.

7

Penyusutan Bobot Badan Induk Laktasi
Induk domba selama laktasi mengalami penyusutan bobot badan. Hal ini
dikarenakan pada awal laktasi aliran metabolit dari darah terjadi sangat cepat untuk
proses produksi susu, sedangkan konsumsi induk belum memenuhi kebutuhan zat
makanan induk sehingga menggunakan lemak tubuh sebagai cadangan sumber energi
(Forbes, 2007). Menurut Mathius (1996) bahwa penurunan bobot badan induk
selama laktasi mencapai 10-36 g/ekor/hari. Penurunan bobot badan terjadi pada
bulan pertama laktasi, kemudian akan meningkat kembali setelah satu bulan laktasi
(Freer dan Dove, 2002). Peningkatan protein ransum secara nyata meningkatkan
produksi susu, tanpa terjadi penurunan bobot hidup induk (Mathius et al., 2003).
Bobot Lahir Anak
Bobot lahir merupakan bobot anak pada saat dilahirkan, namun secara teknis
lapangan penimbangan anak domba setelah lahir seringkali sulit dilakukan, sehingga
bobot anak yang ditimbang dalam kurun waktu 24 jam sesudah lahir (Hardjosubroto,
1994). Faktor-faktor yang menentukan bobot lahir antara lain adalah jenis kelamin,
bangsa tipe kelahiran, umur domba, kondisi induk dan ransum tambahan untuk induk
saat bunting. Induk yang menghasilkan bobot lahir yang tinggi cenderung memiliki
daya hidup yang tinggi saat dilahirkan dan pertambahan bobot badan yang lebih
tinggi (Inounu, 1996).
Anak domba yang lahir kembar tiga baik jantan maupun betina bobot
lahirnya rendah, sifat fisiknya lemah, pembagian saat menyusu pada induk tidak
teratur, kompetisi memperoleh susu induk sangat tergantung kekuatan fisik
(Partodiharjo et al., 1983). Devendra dan McLeroy (1982) menyatakan anak domba
tipe kelahiran tunggal mempunyai perkembangan janin pada rahim induk domba
yang lebih baik daripada tipe kelahiran kembar dua dan kembar tiga. Hal ini
dikarenakan adanya kompetisi dalam uterus untuk mendapatkan zat-zat makanan
yang terbatas dari induk melalui plasenta (Hinch et al., 1983).
Rataan rendahnya bobot lahir pada domba erat hubungannya dengan bobot
induk yang rendah, jika bobot induk rendah biasanya bobot anak domba yang
dilahirkan juga rendah.

Bobot lahir anak yang dilahirkan induk akan semakin

meningkat bobotnya apabila induk semakin dewasa. Harahap (2008) menyatakan
rata-rata bobot lahir anak domba jonggol adalah 1,90±0,56 kg. Campbell et al.
8

(1996) menyatakan bahwa bobot induk yang rendah berhubungan dengan
menajemen pemberian pakan yang kurang baik. Induk-induk yang mendapat kadar
protein konsentrat yang lebih tinggi pada sepertiga akhir kebuntingan menghasilkan
anak dengan bobot lahir lebih besar dengan daya hidup yang tinggi (Inounu, 1996).
Bobot Sapih Anak
Bobot sapih adalah bobot disaat anak domba mulai dipisahkan dari induknya
pada umur yang paling muda. Penyapihan anak biasanya disesuaikan dengan rataan
bobot sapih umur tertentu, pada domba disesuaikan pada umur 90 hari
(Hardjosubroto, 1994). Bobot sapih anak dipengaruhi oleh jenis kelamin, umur sapih,
umur induk dan produksi susu induk. Domba lokal yang mengkonsumsi protein
kasar sebesar 86,35 g/ekor/hari dan TDN 353,75 g/ekor/hari memiliki bobot sapih
anak berkisar 10,50-11,25 kg/ekor dengan rata-rata 10,88 kg/ekor (Santi, 2011).
Sitorus dan Subandriyo (1986) menyatakan bahwa bobot anak saat disapih juga
dipengaruhi oleh tipe kelahirannya. Beliarti (1981) menyatakan bahwa anak domba
jantan memiliki berat sapih lebih tinggi dibandingkan dengan anak domba betina.
Menurut Saputra (2008), jenis kelamin jantan pada domba jonggol (6,97±2,08 kg)
lebih besar dibandingkan betina (6,47±1,79 kg). Bobot sapih meningkat bobotnya
mengikuti dengan kedewasaan induk. Induk yang lebih tua akan menghasilkan anak
dengan bobot sapih yang lebih besar dibandingkan dengan induk yang lebih muda
(Saputra, 2008).
Hasil penelitian Nafiu (2003) menunjukan kondisi pakan yang tinggi protein
dan energi berpengaruh sangat nyata terhadap bobot sapih domba, pada kondisi
pakan jelek rataan bobot sapih sebesar 10,87 kg/ekor dan meningkat 12,57 kg/ekor
pada kondisi pakan yang baik. Peningkatan kualitas pakan akan berdampak pada
kualitas susu yang diproduksi oleh induk (Sumaryadi, 1997).
Pertambahan Bobot Badan Anak Prasapih
Pertumbuhan merupakan proses terjadinya perubahan ukuran tubuh dalam
suatu organisme sebelum mencapai dewasa. Laju pertumbuhan dari lahir hingga
sapih sebagian besar dapat dipengaruhi oleh jumlah air susu yang dihasilkan induk.
Faktor lain yang mempengaruhi laju pertumbuhan prasapih anak domba yaitu jenis
kelamin, bobot lahir, dan kondisi lingkungan yang berpengaruh secara tidak

9

langsung terhadap produksi susu induk (Inounu, 1996). Soeparno dan Davies (1987)
menyatakan pertambahan bobot hidup induk selama laktasi sangat dipengaruhi oleh
kandungan nutrisi pakan. Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa kandungan
energi dan protein pakan sangat berperan terhadap produksi ternak (Banerjee, 1981);
pakan berenergi ataupun berprotein tinggi akan menyebabkan efek yang
menguntungkan, antara lain peningkatan pertumbuhan ternak.
Pertambahan bobot hidup anak selama laktasi juga sangat dipengaruhi oleh
tipe kelahiran (Subandriyo, 1996). Anak tunggal mempunyai pertumbuhan yang
lebih cepat karena mendapat lebih banyak susu, namun pada induk yang bisa
menyapih anak kembar, total rataan pertambahan bobot hidup anak lebih besar
daripada induk yang memiliki anak tunggal. Induk yang memiliki anak kembar lebih
banyak menghasilkan susu dibandingkan induk yang beranak tunggal (Gatenby,
1986). Menurut Santi (2011), domba lokal yang mengkonsumsi protein kasar sebesar
86,35 g/ekor/hari dan TDN 353,75 g/ekor/hari memiliki rata-rata pertambahan bobot
badan anak sebesar 162,81 g/ekor/hari pada umur 0-28 hari, sedangkan umur 28-56
hari sebesar 127,28 g/ekor/hari.
Pendugaan Produksi Susu Induk
Periode laktasi adalah interval waktu selama proses keluarnya air susu induk
semenjak anak lahir hingga proses menyusui anaknya atau pemerahan. Produksi susu
induk berpengaruh pada pertumbuhan anak domba. Produksi susu dipengaruhi oleh
gizi induk selama laktasi, tipe kelahiran, dan ukuran ambing. Penggunaan zat
makanan untuk pembentukan susu selama laktasi menempati prioritas utama
dibandingkan penggunaan untuk proses lain di dalam tubuh, sehingga gizi induk
sangat mempengaruhi produksi susu dan pertumbuhan anak (Gatenby, 1986).
Produksi susu pada tipe kelahiran kembar lebih tinggi dibandingkan dengan
produksi susu tipe kelahiran tunggal. Hal ini dikarenakan kecukupan makanan untuk
anak yang harus disediakan untuk induk sehingga pertumbuhan sel-sel sekretoris
kelenjar ambing harus juga semakin tinggi agar dapat menyediakan makanan untuk
anaknya (Capuco et al., 2003). Selisih produksi susu antara tipe kelahiran tunggal
dan kembar pada domba priangan adalah 4,96 g/ekor/hari (Adriani, 1998).
Produksi susu pada domba lokal yang mengkonsumsi protein kasar sebesar
86,35 g/ekor/hari dan TDN 353,75 g/ekor/hari sebesar 976,85 g/ekor/hari pada umur
10

0-28 hari, sedangkan pada umur 28-56 hari sebesar 763,69 g/ekor/hari (Santi, 2011).
Berbeda dengan penelitian Raharjo (2008) yang menyatakan produksi susu induk per
laktasi di daerah tropis untuk domba lokal yang dipelihara secara ekstensif adalah
355,29±72,43 g/ekor/hari. Rendahnya produksi susu dipengaruhi oleh kondisi
lingkungan sehingga mempengaruhi kualitas dan kuantitas pakan.
Mortalitas Anak Lahir Hingga sapih
Mortalitas adalah persentase kematian anak yang didapatkan dari jumlah anak
yang mati dibagi jumlah anak yang dilahirkan. Menurut Inounu (1996), keragaman
tingkat kematian anak dipengaruhi oleh interaksi genotif dan manajemen, serta zat
makanan pakan.
Kemampuan hidup anak domba sebesar 90% pada kelahiran tunggal, 68%
pada kelahiran kembar dua, dan 60% – 65% pada kelahiran kembar tiga (Inounu,
1996). Gatenby (1986) menyatakan bahwa mortalitas pada anak kelahiran tunggal
5,5%, kembar dua 9,8%, dan kembar tiga atau lebih adalah 27,8%. Tingkat kematian
anak kembar lebih tinggi dibandingkan anak tunggal. Hal ini berhubungan dengan
gangguan sifat keindukan pada saat kelahiran yang dipengaruhi oleh tingkat
pemberian pakan pada sepertiga akhir kebuntingan. Faktor yang mempengaruhi daya
hidup anak adalah interaksi genotip dan sistem manajemen dan pertambahan bobot
badan induk dan Kematian prasapih pada anak domba sering terjadi pada umur
antara 1-6 hari setelah kelahiran (Inounu, 1996).
Tingkat kematian anak domba di UP3-Jonggol adalah sebesar 21,50%
(Harahap, 2008). Tingkat mortalitas yang tinggi dipengaruhi oleh tingkat nutrisi
pakan. Jumlah anak yang dilahirkan secara langsung akan mempengaruhi
kemampuan hidup anak karena adanya kompetisi dalam uterus untuk mendapatkan
zat-zat makanan yang terbatas dari induk melalui plasenta, tetapi dengan pemberian
nutrisi yang baik pada akhir kebuntingan maka akan dihasilkan daya hidup maksimal
94% atau mortalitas 6% pada kelahiran kembar tiga dengan total bobot lahir diatas
lima kilogram (Saputra, 2008). Menurut Santi (2011), domba laktasi yang
mengkonsumsi protein kasar sebesar 86,35 g/ekor/hari dan TDN 353,75 g/ekor/hari
dapat menurunkan mortalitas sampai 0%. Inounu et al. (1993) menambahkan bahwa
untuk mendapatkan daya tahan hidup yang tinggi maka anak domba yang dilahirkan
harus memiliki bobot lahir 1,5 kg.

11

Efisiensi Penggunaan Pakan
Efisiensi pakan merupakan nilai yang menggambarkan banyaknya pakan
yang dikonsumsi diubah menjadi produk ternak yang dihasilkan dalam waktu
tertentu. Menurut Parakkasi (1999), efisiensi pakan dipengaruhi oleh genetik,
kualitas pakan, suhu, dan lingkungan. Freer dan Dove (2002), bentuk fisik pakan
dapat mempengaruhi efisiensi, rumput yang ukurannya pendek lebih efisien
dibandingkan rumput yang lebih panjang. Pakan yang mempunyai kecernaan yang
tinggi maka akan meningkatkan efesiensi pakan karena dapat meningkatkan
penyerapan zat makanan untuk kebutuhan ternak (Parakkasi, 1999). Forbes (2007)
menambahkan bahwa faktor yang dapat mempengaruhi efesiensi pakan diantaranya
adalah laju perjalanan pakan dalam saluran pencernaan, bentuk fisik bahan makanan,
dan komposisi zat makanan pakan.
Pertambahan bobot badan untuk menghitung efisiensi pakan domba laktasi
dihitung dari pertambahan bobot badan anak dan penyusutan bobot badan induk.
Menurut Gatenby (1986), penggunaan zat makanan pakan untuk pembentukan susu
selama laktasi menempati prioritas utama dibandingkan penggunaan untuk proses
lain di dalam tubuh, sehingga gizi induk sangat mempengaruhi produksi susu. Freer
dan Dove (2002) menambahkan bahwa pertumbuhan anak selama laktasi hanya
dipenuhi dari produksi susu induk. Penyusutan bobot badan induk terjadi
dikarenakan aliran metabolit darah terjadi sangat cepat untuk proses produksi susu.
Menurut Forbes (2007), penyusutan bobot badan pada induk laktasi disebabkan oleh
belum terpenuhi kebutuhan zat makanan sehingga menggunakan lemak tubuh
sebagai cadangan sumber energi.
Income Over Feed Cost (IOFC)
Perhitungan Income Over Feed Cost (IOFC) merupakan salah satu cara
menghitung keuntungan ekonomis pemeliharaan ternak. Keuntungan dihitung dari
selisih penerimaan dengan pengeluaran. Menurut (Boediono, 2002), penerimaan
merupakan hasil yang diterima produsen dari penjualan output, sedangkan
pengeluaran input yang dipakai untuk menghasilkan suatu output tertentu. Analisis
pendapatan dengan cara ini didasarkan pada harga jual domba, harga beli bakalan,
dan biaya pakan. Induk domba laktasi menghasilkan anak domba lepas sapih
sehingga keuntungan dipengaruhi oleh bobot sapih anak. Menurut Sinegar (2003),
12

bobot lahir yang rendah anak menghasilkan bobot sapih yang rendah, sebaliknya
bobot lahir yang tinggi akan menghasilkan bobot sapih yang tinggi.
Korelasi
Korelasi merupakan salah satu teknik statistik yang digunakan untuk menguji
ada atau tidaknya hubungan serta arah hubungan dari dua variabel atau lebih.
Bowman (1974) menyatakan bahwa untk mengukur derajat hubungan antara dua
sifat atau peubah, maka digunakan keofisien korelasi (r). Nilai koefisien ini berkisar
negatif satu sampai positif satu. Semakin besar nilai koefisien berarti semakin erat
hubungan antar kedua peubah tersebut, sedangkan nilai negatif atau positif
menyatakan sifat hubungan variabel tersebut (Warwick et al., 1983). Menurut
Sugiono (2006), tingkat hubungan internal koefisien korelasi terdiri atas tingkat
hubungan sangat rendah pada interval 0,00 sampai 0,19; interval koefisien 0,20
sampai 0,399 memiliki tingkat hubungan rendah; interval koefisien 0,40 sampai
0,599 memilki tingkat hubungan sedang; interval keofisien 0,60 sampai 0,799
memiliki tingkat hubungan kuat; dan interval koefisien 0,80 sampai 1,000 memiliki
tingkat hubungan sangat kuat.

13

MATERI DAN METODE
Lokasi dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Nutrisi Ternak Daging
dan Kerja untuk tahap pemeliharaaan serta analisis sampel di Laboratorium Ilmu dan
Teknologi Pakan, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas
Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Maret
sampai Juni 2011
Materi
Hewan Percobaan
Ternak yang digunakan dalam penelitian ini adalah 15 ekor domba lokal
dengan umur kebuntingan 133±8,29 hari dan rata-rata bobot awal 25±2,90 kg.
Ternak domba lokal yang digunakan dikandangkan secara individu seperti disajikan
pada Gambar 3.

Gambar 3. Domba yang Digunakan Dalam Penelitian
Kandang dan Peralatan
Kandang yang digunakan adalah kandang individu sebanyak lima belas buah
dengan ukuran 125 cm x 55 cm x 110 cm yang dilengkapi dengan tempat pakan dan
air minum. Peralatan yang digunakan adalah termometer untuk mengukur suhu
dalam kandang, timbangan gantung kapasitas 50 kg untuk menimbang bobot domba,
timbangan duduk dengan kapasitas 2 kg untuk menimbang hijauan, timbangan digital
untuk menimbang pakan konsentrat dan sisa pakan.
Pakan
Ransum perlakuan yang digunakan terdiri atas dua jenis, yaitu rumput lapang
dan

konsentrat komersial yang berasal dari CV. Tani Mulya Cibinong dengan

imbangan 60 : 40. Ransum disusun berdasarkan isoprotein dan isoenergi (TDN).

14

Secara lengkap komposisi bahan makanan ransum yang digunakan tercantum pada
Tabel 2, sedangkan kandungan zat makanan ransum tercantum pada Tabel 3.
Tabel 2. Komposisi Bahan Makanan Ransum Penelitian
Bahan
Rumput Lapang
Konsentrat
Konsentrat Komersial
Tepung Ikan
Bungkil kedelai
Total
Keterangan :

P1
P2
P3

:
:
:

Ransum Penelitian
PI
P2
P3
----------------------- % ----------------------40
40
40
60
60
60
100
90
85
0
10
0
0
0
15
100
100
100

rumput lapang + 100% konsentrat komersial
rumput lapang + 90% konsentrat komersial + 10% tepung ikan
rumput lapang + 85% konsentrat komersial + 15% bungkil kedelai

Tabel 3. Kandungan Zat Makanan
Berdasarkan Bahan Kering
Zat
Makanan*
BK
Abu
PK
LK
SK
Beta-N
TDN**
Ca
P
Keterangan :

Bahan

Penyusun

Ransum

Konsentrat
Rumput
Lapang
P1
P2
----------------------- %BK ----------------------19,01
89,07
89,16
5,73
12,54
11,79
11,84
14,64
19,18
5,37
5,95
7,24
23,20
18,10
16,39
53,87
48,77
45,41
64,60
66,08
78,72
0,32
0,68
1,16
0,05
0,64
0,89

Penelitian

P3
88,91
13,66
19,19
6,26
16,74
44,16
70,48
0,62
0,64

*) Hasil Perhitungan menggunakan Software Winfeed versi 2,8
**) Rumus TDN = 37,937 – 1,018 (SK) – 4,886 (LK) + 0,173 (Beta-N) + 1,042
(PK) + 0,015 (SK)2 – 0,058 (LK)2 + 0,008 (SK)(Beta-N) + 0,119 (LK)(Beta-N)
+ 0,038 (LK)(PK) + 0,003 (LK)2(PK). (Hartadi et al. 1980)
P1 : rumput lapang + 100% konsentrat komersial
P2 : rumput lapang + 90% konsentrat komersial + 10% tepung ikan
P3 : rumput lapang + 85% konsentrat komersial + 15% bungkil kedelai

15

Rancangan Percobaan dan Analisis Data
Perlakuan
Penelitian ini menggunakan perlakuan 3 jenis ransum dengan 5 ulangan yang
dicobakan pada 15 ekor domba betina bunting. Perlakuan yang diberikan adalah
sebagai berikut:
P1 :

rumput lapang + 100% konsentrat komersial

P2 :

rumput lapang + 90% konsentrat komersial + 10% tepung ikan

P3 :

rumput lapang + 85% konsentrat komersial + 15% bungkil kedelai

Model
Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK)
dengan model matematik rancangan adalah sebagai berikut :
X ij = µ + τ i +β j + ε ij
Keterangan :
X ij
= Nilai pengamatan pada perlakuan ke-i dan kelompok ke-j
µ
= Rataan umum pengamatan
τi
= Pengaruh pemberian ransum (i = 1, 2, 3)
βj
= Pengaruh kelompok ke-j
ε ij
= Pengaruh galat ransum ke-i dan ulangan ke-j (j = 1, 2, 3,)
Peubah yang diamati
Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1) Konsumsi Bahan Kering
Konsumsi bahan kering dihitung dari selisih antara pemberian pakan dan sisa
pakan harian dalam bentuk bahan kering.
Konsumsi Pakan (g/ekor) = Pakan yang diberikan (g/ekor) – sisa pakan (g/ekor)
2) Konsumsi Zat Makanan Ransum
Konsumsi zat makanan yang dikonsumsi didapatkan dengan cara menghitung
persentase zat makanan yang dikonsumsi di dalam pakan dikalikan konsumsi
bahan kering. Persentase zat makanan yang dikalikan dalam bentuk bahan kering
(BK) dan merupakan hasil dari pengujian laboratorium. Konsumsi zat makanan
yang dihitung terdiri atas bahan kering, protein kasar, dan TDN.
Zat Makanan (g/e/h) =

% Zat Makanan x Konsumsi BK (g/e/h)

16

3) Konsumsi Air Minum
Konsumsi air didapatkan dengan cara menghitung selisih antara air yang
diberikan dan sisa air.
Konsumsi air minum (l/e/h) = Air yang diberikan (l/e/h) – sisa air (l/e/h)
4) Penyusutan Bobot Badan Induk
Pengukuran penyusutan badan diketahui dengan cara menghitung bobot badan
akhir dikurangi bobot badan awal dibagi bobot awal dalam satuan persen.
Penyusutan Bobot Badan (kg/ekor) =

Bobot Sapih (kg) – Bobot Awal Melahirkan (kg)
Bobot Awal (kg)

X 100

5) Bobot Lahir Anak
Bobot lahir anak domba didapatkan dengan cara menimbang anak domba sesaat
setelah lahir dalam kurun waktu 24 jam (Hardjosubroto, 1994).
6) Bobot Sapih Anak
Bobot sapih induk dan anak didapatkan dari bobot badan saat anak domba
dipisahkan pemeliharaannya dengan induknya. Penyapihan pada penelitian ini
saat umur 56 hari.
7) Pertambahan Bobot Badan Anak Prasapih
Pertambahan bobot badan anak diketahui dengan cara menghitung bobot badan
akhir dikurangi bobot badan awal, kemudian dibagi dengan lamanya
pemeliharaan.
Pertambahan bobot badan (g/e/h) =

Bobot Sapih (g/ekor) – Bobot Lahir (g/ekor)
Lama penelitian (hari)

8) Pendugaan Produksi Susu Induk
Pendugaan produksi susu sesuai pernyataan Dove et al. (1988) yang menyatakan
setiap pertambahan bobot badan 1 kg anak, maka akan menghasilkan 6 kg susu
induk. Pengukuran pertambahan bobot badan anak sampai umur 28 hari karena
diprediksi anak domba hanya mengkonsumsi susu sampai umur 28 hari.
Produksi Susu (kg) = Pertambahan Bobot Badan Anak (kg) x 6

17

9) Mortalitas Anak Prasapih
Perhitungan mortalitas anak sampai sapih dapat dilakukan dari persentase
banyaknya anak yang mati sampai umur 56 hari dibagi keseluruhan anak domba
yang dilahirkan.
Mortalitas (%) =

Anak yang mati sampai sapih
Total anak yang dilahirkan

X 100

10) Efisiensi Penggunaan Pakan
Efisiensi pakan dihitung dari pertambahan bobot badan dibagi dengan konsumsi
bahan kering pakan dalam satuan tertentu selama penelitian. Pertambahan bobot
badan merupakan penjumlahan penyusutan bobot badan induk dan pertambahan
bobot badan anak prasapih.
Efisiensi Penggunaan Pakan =

Pertambahan Bobot Badan (g/ekor/hari)
Konsumsi Bahan Kering (g/ekor/hari)

11) Income Over Feed Cost (IOFC)
Income Over Feed Cost merupakan keuntungan yang didapatkan dari harga jual
domba dikurangi biaya untuk pakan.
IOFC = Harga Jual domba – Biaya Pakan
Analisis Data
Data yang didapatkan dianalisis deskriptif pada peubah mortalitas pra sapih,
income over feed cost (IOFC), dan performa anak prasapih berdasarkan tipe
kelahiran dan jenis kelamin anak; sedangkan konsumsi pakan induk, konsumsi zat
makanan ransum, konsumsi air minum, penyusutan bobot badan induk, bobot lahir
anak, bobot sapih anak, PBB anak prasapih, pendugaan produksi susu dan efisiensi
penggunaan pakan menggunakan analisis sidik ragam (Analysis of Variance) dan jika
terdapat perbedaan yang nyata, maka dilakukan dengan Uji Ortogonal Kontras (Steel
dan Torrie, 1995).
Penelitian ini juga menggunakan analisis korelasi sederhana antarvariabel.
Variabel yang diuji adalah hubungan bobot lahir dengan bobot sapih anak dan
hubungan pertambahan bobot badan anak dengan produksi susu induk 0-28 hari.

18

Prosedur
Pemeliharaan
Pemeliharaan domba dilakukan selama tiga bulan pada fase akhir
kebuntingan dan laktasi. Pengambilan data dilakukan selama tujuh minggu sebelum
penyapihan. Domba yang akan digunakan ditimbang terlebih dahulu untuk
mengetahui bobot awal pemeliharaan. Pemberian pakan dilakukan pada pagi dan
sore hari. Pemberian pada pagi hari sekitar pukul 06.30 WIB dan sore hari dilakukan
sekitar pukul 16.00 WIB. Pagi hari diberikan konsentrat terlebih dahulu, kemudian
pada pukul 09.00 WIB diberikan hijauan, sedangkan sore hari hanya diberikan
hijauan.
Penimbangan Bobot Badan Induk dan Anak
Penimbangan bobot badan dilakukan untuk mengetahui pertambahan bobot
badan induk dan anak. Penimbangan bobot badan induk dilakukan setiap 28 hari,
sedangkan penimbangan bobot badan anak dilakukan setiap 14 hari. Penimbangan
bobot badan dilakukan sebelum domba diberi pakan pada pagi hari.

19

PEMBAHASAN
Keadaan Umum Penelitian
Rata-rata suhu lingkungan dan kelembaban kandang Laboratotium Ilmu
Nutrisi Ternak Daging dan Kerja sekitar 26,990C dan 80,46%. Suhu yang nyaman
untuk domba di daerah tropis yaitu sekitar 25-28 0C (Williamson dan Payne, 1993).
Selama penelitian, semua domba yang digunakan mengalami pertumbuhan dan
dalam keadaan sehat.
Zat Makanan Ransum
Kandungan zat makanan ransum yang diberikan selama penelitian ini secara
lengkap tercantum pada Tabel 4.
Tabel 4. Kandungan Zat Makanan Ransum Penelitian Berdasarkan Bahan Kering
Zat Makanan
BK
Abu
PK
LK
SK
Beta-N
TDN*
Ca
P
Keterangan :

Perlakuan
P1
P2
P3
--------------------------- % BK --------------------------61,05
55,54
58,05
9,82
8,48
10,55
13,52
15,51
16,27
5,72
3,89
4,44
20,14
20,25
19,76
50,81
51,87
48,99
65,48
61,99
62,17
0,59
1,00
0,57
0,45
0,69
0,48

P1 : rumput lapang + 100% ransum komersil, P2 : rumput lapang + 90% konsentrat
komersial + 10% tepung ikan, P3 = rumput lapang + 85% konsentrat komersial + 15%
bungkil kedelai. *) Hasil Perhitungan menurut Hartadi et al., (1980). BK : Bahan
Kering, PK : Protein Kasar, LK : Lemak Kasar, SK : Serat Kasar, TDN : Total
Digestibility Nutrient, Ca : kalsium, P : Phospor.

Berdasarkan hasil analisis proksimat, kandungan zat makanan yang
diharapkan dapat isoprotein, tetapi ternyata berbeda, terutama kandungan protein
kasar pada perlakuan substitusi sumber protein tepung ikan. Hal ini dikarenakan
kandungan protein tepung ikan yang digunakan masih dibawah standar NRC (2006).
Kandungan protein tepung ikan yang diharapkan yaitu sekitar 66% bahan kering
(NRC, 2006), tetapi kandungan protein tepung ikan pada penelitian ini adalah
34,88% bahan kering (Hasil Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, 2011).
20

Kandungan substitusi bungkil kedelai sudah sesuai dengan diharapkan, bungkil
kedelai pada penelitian memiliki protein kasar sekitar 49,01% bahan kering (Hasil
Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, 2011), sedangkan yang diharapkan sekitar
49% bahan kering (NRC, 2006).
Konsumsi Bahan Kering
Konsumsi pakan merupakan jumlah pakan yang dimakan oleh ternak untuk
mencukupi kebutuhan pokok dan keperluan produksi (Tillman et al., 1998). Rata-rata
konsumsi bahan kering ransum, konsentrat, dan rumput lapang domba laktasi yang
dihasilkan pada penelitian ini disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Konsumsi Bahan Kering Domba Laktasi
Peubah

P1

Konsumsi BK
Rumput (g/e/h)
Konsentrat (g/e/h)
Ransum (g/e/h)
Total Ransum (%BB)
Keterangan :

Perlakuan
P2

365,23±46,85 342,60±45,65
614,28±103,23 557,70±71,70
979,51±117,24 900,30±103,70
3,37
2,91

P3
310,08±81,56
577,48±34,36
887,56±80,93
2,91

Rataan
339,31±60,60
583,15±73,76
922,46±103,17
3,06

P1 : rumput lapang + 100% konsentrat komersial, P2 : rumput lapang + 90%
konsentrat komersial + 10% tepung ikan, P3 : rumput lapang + 85% konsentrat
komersial + 15% bungkil kedelai, BB : Bobot Badan, BK : Bahan Kering

Berdasarkan analisis ragam, perlakuan tidak memberikan pengaruh yang
nyata terhadap keseluruhan data konsumsi bahan kering induk domba selama laktasi.
Hal ini menunjukkan bahwa ransum yang mendapatkan substitusi tepung ikan dan
bungkil kedelai sebagai sumber protein memiliki palatabilitas sama dengan ransum
tanpa substitusi sumber protein. Hal ini sesuai dengan pernyataan Church dan Pond
(1988), palatabilitas pakan dapat mempengaruhi konsumsi bahan kering ransum.
Konsumsi bahan kering induk laktasi tanpa substitusi sumber protein 979,51±117,24
g/ekor/hari, substitusi tepung ikan 900,30±103,70 g/ekor/hari, dan substitusi bungkil
kedelai 887,56±80,93 g/ekor/hari dengan rata-rata 922,46±103,17 g/ekor/hari. NRC
(2006) menyatakan bahwa induk domba dengan bobot badan 25 kg beranak tunggal
membutuhkan konsumsi bahan kering 704,17 g/ekor/hari. Mathius (1996)
menambahkan bahwa induk domba laktasi mengkonsumsi bahan kering 893,083
g/ekor/hari. Rata-rata konsumsi bahan kering induk laktasi pada penelitian ini lebih
tinggi dibandingkan NRC (2006) dan Mathius (1996). Tingginya konsumsi bahan
21

kering induk ini dipengaruhi oleh genetik dan kualitas pakan yang digunakan, serta
lingkungan yang berbeda (Forbes, 2007).
Persentase bahan kering yang dikonsumsi berdasarkan bobot badan berkisar
2,91% - 3,37% bobot badan. Rata-rata persentase bahan kering berdasarkan bobot
badan pada induk yang mendapatkan substitusi tepung ikan sama dengan substitusi
bungkil kedelai yaitu 2,91% dari bobot badan, sedangkan induk tanpa substitusi
sumber protein rata-rata sekitar 3,37% dari bobot badan. Menurut NRC (2006),
domba laktasi dengan bobot badan 25 kg beranak tunggal membutuhkan bahan
kering sekitar 2,19% dari bobot badan. Rata-rata konsumsi bahan kering induk
laktasi pada penelitian lebih tinggi dari yang disarankan NRC (2006) sehingga
kebutuhan konsumsi bahan kering sudah sesuai dengan standar NRC (2006).
Pola Konsumsi Bahan Kering
Tingkat konsumsi bahan kering induk domba selama laktasi umumnya
mengalami peningkatan. Hal ini sesuai dengan Forbes (2007) yang menyatakan
bahwa konsumsi bahan kering selama laktasi mengalami peningkatan dikarenakan
kebutuhan zat makanan induk domba laktasi meningkat. Peningkatan kebutuhan zat
makanan ini digunakan untuk memulihkan kondisi pasca melahirkan, memperbaiki
jaringan reproduksi setelah melahirkan, dan untuk produksi susu (NRC, 1985). Pola
konsumsi bahan kering ransum pada domba laktasi selama penelitian disajikan pada
Gambar 4.

Konsumsi BK (g/ekor/hari)

1100
1000
900

P1
P2

800

P3
700
600
1

2

3

4

5

6

7

8

Minggu

Gambar 4. Grafik Pola Rataan Konsumsi Bahan Kering Selama Pemeliharaan.

22

Gambar 4 memperlihatkan rata-rata konsumsi bahan kering induk yang
tidak mendapatkan substitusi sumber protein cenderung lebih tinggi dibandingkan
induk pada perlakuan lainnya. Hal ini diduga tingkat kebutuhan belum tercukupi
karena rendahnya kualitas ransum pada perlakuan tanpa substitusi sumber protein
sehingga diperlukan kuantitas yang lebih tinggi. Rata-rata konsumsi bahan kering
induk yang tidak mendapatkan substitusi sumber protein yaitu 979,51±117,24
g/ekor/hari, induk yang mendapatkan substitusi tepung ikan yaitu 900,30±103,70
g/ekor/hari, sedangkan konsumsi bahan kering induk yang mendapatkan substitusi
bungkil kedelai yaitu 887,56±80,93 g/ekor/hari.
Konsumsi Protein dan Energi (TDN)
Konsumsi protein dan energi (TDN) ransum domba laktasi pada penelitian
ini tercantum pada Tabel 6.
Tabel 6. Konsumsi Protein dan Energi (TDN) Domba Laktasi
Zat
Makanan
PK
TDN

Ransum Penelitian
P1
P2
P3
----------- g/ekor/hari ----------132,43±15,85 139,55±16,08
144,40±13,16
623,94±74,68 574,57±66,18
555,86±50,67

Rataan
138,82±14,87
584,79±66,80

Keterangan : P1 : rumput lapang + 100% konsentrat komersial, P2 : rumput lapang + 90% konsentrat
komersial + 10% tepung ikan, P3 : rumput lapang + 85% konsentrat komersial + 15%
bungkil kedelai, PK : Protein Kasar, TDN : Total Digestibility Nutrient.

Berdasarkan sidik ragam, perlakuan tidak memberikan pengaruh yang nyata
terhadap konsumsi protein kasar dan energi (TDN). Rata-rata konsumsi harian
protein kasar dan TDN yaitu masing-masing 138,82±14,87 g/ekor/hari dan
584,79±66,80 g/ekor/hari. Jumlah tersebut sesuai dengan standar NRC (2006) yaitu
protein kasar sekitar 137,36 g/ekor/hari dan TDN sekitar 404,17 g/ekor/hari. Mathius
(1996) melaporkan bahwa untuk memenuhi kebutuhan harian induk domba laktasi
diperlukan protein kasar sekitar 138-238 g/ekor/hari dan 13,4 MJ/kg BK. Menurut
Ismoyo (2011), konsumsi protein kasar dan TDN domba lokal laktasi masing-masing
berkisar 122,75 g/ekor/hari dan 541.71 g/ekor/hari. Santi (2011) yang menyatakan
konsumsi protein kasar dan TDN domba lokal laktasi sekitar 86,35 g/ekor/hari dan
353,75 g/ekor/hari. Sudjatmogo (1998) juga menyatakan bahwa kebutuhan protein

23

kasar dan TDN domba lokal laktasi masing-masing berkisar 103,81 g/hari/ekor dan
503,21-559,64 g/ekor/hari.
Konsumsi Air Minum
Air merupakan komponen utama dalam metabolisme tubuh ternak. Menurut
Church dan Pond (1988), kekurangan air dalam tubuh akan menurunkan konsumsi
pakan dan produktivitas ternak sampai mengakibatkan kematian ternak. Konsumsi
air minum domba laktasi tercantum pada Gambar 5.
Konsumsi Air Minum (liter//ekor/hari)

2

1,87
1,72

1,75
1,5
1,5
1,25
1
0,75
0,5
0,25
0

P1

Gambar 5.

P2

P3

Diagram Konsumsi Air Minum Domba Laktasi Selama Pemeliharaan.
(■) P1 : Rumput Lapang + 100% Konsentrat Komersial; (■) P2 : Rumput
Lapang + 90% Konsentrat Komersial + 10% Tepung Ikan; (■) P3 : Rumput
Lapang + 85% Konsentrat Komersial + 15% Bungkil Kedelai.

Berdasarkan sidik ragam, perlakuan tidak memberikan pengaruh yang nyata
terhadap konsumsi air minum domba lokal selama laktasi. Konsumsi air minum
induk domba yang mendapatkan substitusi bungkil kedelai cenderung lebih tinggi
dibandingkan induk perlakuan lainnya. Hal ini diduga karena tingkat konsumsi
protein induk dengan substitusi bungkil kedelai lebih tinggi dibandingkan induk
lainnya sehingga dibutuhkan air minum yang lebih tinggi untuk mengeluarkan hasil
metabolisme N melalui urin (Parakkasi, 1999). Peningkatan kadar protein didalam
pakan akan meningkatkan kadar urea di dalam darah. Urea tersebut sebagian besar
tidak digunakan oleh ternak sehingga diekresikan ke dalam urin. Menurut Promkot
dan Wanapat (2005), semakin tinggi protein pada pakan, maka semakin tinggi urea
di dalam darah. Rata-rata konsumsi air minum induk tanpa substitusi sumber protein
sebesar 1,5±0,28 liter/hari, substitusi tepung ikan sebesar 1,72±0,22 liter/hari, dan
24

substitusi bungkil kedelai sebesar 1,87±0,25 liter/hari, sedangkan rata-rata konsumsi
air minum pada penelitian yaitu 1,70±0,28 liter/ekor/hari. Menurut NRC (1985),
domba laktasi yang mempunyai bobot badan 25 kg membutuhkan air minum sebesar
0,72 sampai 1,62 liter/hari. Rata-rata konsumsi air minum induk domba laktasi pada
penelitian ini lebih tinggi dari yang disarankan NRC (2006). Tinggi konsumsi air
minum pada penelitian ini dikarenakan suhu lingkungan. Semakin tinggi suhu
lingkungan, maka konsumsi air minum semakin tinggi (Parakkasi, 1999).
Performa Induk Domba Laktasi
Performa induk domba laktasi yang diamati pada penelitian ini diantaranya
bobot sesaat setelah melahirkan, bobot sapih induk, dan penyusutan bobot badan
induk sampai sapih. Penampilan produksi induk domba pada penelitian ini tercantum
pada Tabel 7.
Tabel 7. Performa Induk Domba Laktasi
Peubah
Bobot Badan (kg/ekor)
Sesaat setelah melahirkan
Sapih
Penyusutan bobot badan
induk (%)
Keterangan :

P1

Perlakuan
P2

P3

Rataan

24,20±2,95
22,40±3,21

24,80±3,35
23,40±4,28

23,40±2,97
23,40±2,88

24,13±2,92
23,07±3,28

7,38

5,78

0

4,39

P1 : rumput lapang + 100% konsentrat komersial, P2 : rumput lapang + 90%
konsentrat komersial + 10% tepung ikan, P3 : rumput lapang + 85% konsentrat
komersial + 15% bungkil kedelai, BB = Berat Badan.

Penyusutan Bobot Badan Induk Prasapih
Berdasarkan sidik ragam, perlakuan tidak memberikan pengaruh yang nyata
terhadap penyusutan bobot badan induk prasapih. Adanya penyusutan bobot badan
induk domba laktasi menandakan bahwa zat makanan belum mencukupi kebutuhan
domba laktasi sehingga cadangan lemak dalam tubuh digunakan untuk produksi
susu, pemulihan pasca melahirkan, perbaikan jaringan reproduksi setelah melahirkan,
dan mempersiapkan perkawinan selanjutnya (NRC, 1985). Rata-rata penyusutan
bobot badan induk pada perlakuan tanpa substitusi sumber protein sebesar 7,38%;
substitusi tepung ikan sebesar 5,78%; dan substitusi bungkil kedelai sebesar 0%.
Induk yang mendapatkan substitusi bungkil kedelai tidak mengalami penyusutan
bobot badan sampai sapih. Hal ini diduga dikarenakan induk yang mendapatkan
25

substitusi bungkil kedelai memiliki tingkat degradasi protein lebih tinggi
dibandingkan induk perlakuan lainnya, terutama degradasi bungkil kedelai. Menurut
Cleale et al. (1987), tingkat degradasi bungkil kedelai mencapai 68,6%, sedangkan
tepung ikan sebesar 22% (Sardiana, 1984). Protein bahan makanan yang mudah
didegradasi sebagian besar hanya akan memberikan protein mikroba kepada induk
semang, sedangkan protein yang tahan didegradasi dapat memberikan protein
mikroba dan protein yang lolos dari degradasi mikroba sehingga produksi protein
lebih tinggi (Sutardi, 1979). Sardiana (1984) menyatakan bahwa konsumsi dari induk
yang mengkonsumsi ransum mengandung tepung ikan memiliki tingkat degradasi
lebih rendah, diduga mengakibatkan rendahnya efisiensi pertumbuhan mikroba,
disamping itu pengolahan tepung ikan dengan suhu yang tinggi akan menyebabkan
kelarutan protein menurun, sehingga akan menurunkan efek fermentasi dalam rumen.
Rata-rata penyusutan dalam penelitian ini lebih rendah dibandingkan penelitian Santi
(2011) yang menyatakan domba lokal yang mengkonsumsi protein kasar sebesar
86,35 g/ekor/hari dan TDN 353,75 g/ekor/hari mengalami penyusutan sebesar
11,16%. Hal ini dikarenakan ransum yang digunakan pada penelitian ini memiliki
kualitas lebih baik dibandingkan pada penelitian Santi (2011).
Performa Anak Domba Prasapih
Bobot Lahir Anak
Bobot lahir merupakan bobot anak pada saat dilahirkan, namun secara
teknis lapangan penimbangan anak domba setelah lahir seringkali sulit dilakukan,
sehingga bobot anak yang ditimbang dalam kurun waktu 24 jam sesudah lahir
(Hardjosubroto, 1994). Bobot lahir anak yang mendapatkan ransum substitusi
sumber protein pada penelitian ini disajikan pada Gambar 6.

26

11,32

12

Bobot Lahir (kg/ekor)

10,33
10

8,92

8
6
4
2

n=7

n=6

n=6

P1

P2

P3

0

Gambar 6.

Diagram Bobot Lahir Anak. (■) P1 : Rumput Lapang + 100% Konsentrat
Komersial; (■) P2 : Rumput Lapang + 90% Konsentrat Komersial + 10%
Tepung Ikan; (■) P3 : Rumput Lapang + 85% Konsentrat Komersial + 15%
Bungkil Kedelai, n= jumlah anak.

Berdasarkan sidik ragam, perlakuan tidak memberikan pengaruh yang nyata
terhadap bobot lahir anak. Induk yang mendapatkan substitusi tepung ikan cenderung
mempunyai bobot lahir anak yang lebih berat dibandingkan induk perlakuan lainnya.
Rata-rata bobot lahir anak perlakuan tanpa substitusi sumber protein yaitu 2,29±0,52
kg, substitusi tepung ikan yaitu 2,96±0,81 kg, dan substitusi bungkil kedelai
2,76±0,7