Plastisitas fenotip kerang darah Anadara granosa L. dalam merespon pencemaran lingkungan: studi kasus di perairan Pesisir Banten

(1)

PLASTISITAS FENOTIP KERANG DARAH

Anadara granosa

L.

DALAM MERESPON PENCEMARAN LINGKUNGAN:

STUDI KASUS DI PERAIRAN PESISIR BANTEN

NURLISA ALIAS BUTET

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2013


(2)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Plastisitas Fenotip Kerang Darah Anadara granosa L. dalam Merespon Pencemaran Lingkungan: Studi Kasus di Perairan Pesisir Banten adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Maret 2013

Nurlisa Alias Butet NIM G362080021


(3)

SUMMARY

NURLISA ALIAS BUTET. Phenotypic Plasticity on Blood Cockle Anadara granosa L. as a Response to Environmental Pollution: a Case Study in Coastal Waters of Banten. Supervised by DEDY DURYADI SOLIHIN, KADARWAN SOEWARDI, and ASEP SAEFUDDIN.

Blood cockle Anadara granosa is a commercial bivalve inhabiting intertidal ecosystem. Coastal waters of Banten such Banten Bay, Bojonegara and Lada Bay, Panimbang are potential areas for blood cockle grow out. Banten Bay is a semi-closed waters facing North Coast of Java. Such industries as coal stockpile, fibre boat manufacturer, chemical industry, steel industry, and many others have been long existed there. Lada Bay geographically is located at the west coast of Banten Province and exposed to Sunda Strait. Anthrophogenic activity is signified by coal fueled power plant, operated in 2009. Anthrophogenic sewages become a problem and lead to environmental pollution. Mercury is one of the pollution source.

Inspite of being exposed to polluted habitat, therein blood cockle withstands and reproduce annually. Resistancy to such harmful environmental condition does not take for granted, there must be mechanism controlling the ballance between stress and resistancy. Without controlling factor, blood cockle in both areas is certainly extinct. The factor should be universal for individuals and able to recognize type of stress to be responded briefly. Continuous stress directs the controlling factor to acquintedly recognize and respond it; consequently, the blood cockle may adapt with the condition. The controlling factor, however, gives divergent response to stress, depending on type and level of stress. The factor comprises celluler stress response expressing stress protein and being controlled by one or more gene family. The gene family usually expressed during stress is heat shock protein (Hsp) as cytoprotector. Overexpression of a member of such Hsp gene family as Hsp70 indicates ability of the gene to protect tissue and cell, therefore they withstand to stress. Subsquently, more complex organs are protected from stress. Overexpression of Hsp70 gene is a result of individual habituation to stress. Lack of expression indicates inability of the gene to protect cell, therefore, organism’s resistancy declined. The resistancy defines threshold onto stress-stimulating environmental parameter and provides choice of phenotypic changes as an adaptation strategy.

Heterogenous environmental condition in Bojonegara and Panimbang waters may result in various stress responses in blood cockle. Bojonegara blood cockle has long been acquinted with heavy metal-contaminated waters, while Panimbang blood cockle is just exposed to environmental changes. Responses resulted from heterogenous environment are biochemical, physiological, and phenotypic responses. Biochemical and physiological responses appear in the short period of time and become a bottom line for phenotypic plasticity. Phenotypic plasticity occur for longer period of time and those characters are fixed. To support the notion that blood cockle in Bojonegara and Panimbang encounter harmful environment, yet they still survive therein, this research was,


(4)

thus, aimed at analyzing the ability of the blood cockle to develop phenotypic plasticity through Hsp70 gene expression, and spatial phenotypic variations. Additionally, tolerance limit of the cockle on mercury contamination through histological approach has been also studied.

Prior to investigate the existence and characterization of Hsp70 gene, quantitative and qualitative standarization of mRNA materials should be conducted. Standarization comprises application of housekeeping gene as an internal control. The success of this step would facilitate target gene detection. β -actin gene has been used as the housekeeping gene. Characterization of β-actin gene produced a specific gene for blood cockle with 353 bp nucleotide in length. cDNA amplification for β-actin gene resulted in high integrity and consistency product, therefore the gene is reliable to be used for internal control. Hsp70 gene showed mercury concentration-dependent expression and the expression varied on population of origin. Hsp70 gene increased on certain mercury concentration, the increasing trend was comparable for Bojonegara and Panimbang blood cockle. However, Hsp70 gene expression on Bojonegara blood cockle was higher. The tendency of Hsp70 gene expression correlated with gill histological analysis. At the certain mercury concentration which blood cockle expressed low Hsp70 gene level, gill injury occured as a necrosis. Habituation and adaptation gave rised to Bojonegara blood cockle developed the plasticity as it was exposed to higher mercury concentration. Heavy metal contamination in Panimbang is just a beginning, therefore, habituation level of blood cockle and other organisms to the condition is still subsided. As a consequence, Panimbang blood cockle has not yet been able to overcome the challenge from high mercury concentrations. Hsp70 gene in Panimbang blood cockle has not been capable to develop plasticity as a mean of adaptation.

This research prooved that heterogenous condition of Bojonegara and Panimbang supported the existence of phenotypic variation despite blood cockle population from both areas has come from one genetic source. Phenotyic plasticity has been achieved on several characters measured. Plastic phenotype such as length, height, and width of shell is a self defence to protect blood cockle soft in response to environmental challenge. It requires much time to develop phenotypic plasticity, because the plasticity involved several factors (biochemical and physiological) and phases (acclimatization, adjustment, adaptive, and adaptation). Based on time preiod of pollution exposure on ecosystem correlated with industrialization, Bojonegara blood cockle has attained phase of adaptation. During the phase, acquired character on phenotype is generated and becomes specific characters. On the other hand, Panimbang blood cockle is stil on adjustment phase.


(5)

RINGKASAN

NURLISA ALIAS BUTET. Plastisitas Fenotip Kerang Darah Anadara granosa

L. dalam Merespon Pencemaran Lingkungan: Studi Kasus di Perairan Pesisir Banten. Di bawah bimbingan DEDY DURYADI SOLIHIN, KADARWAN SOEWARDI, dan ASEP SAEFUDDIN.

Kerang darah Anadara granosa merupakan bivalvia komersial yang hidup di perairan intertidal. Perairan pesisir Banten seperti Teluk Banten, Bojonegara dan Teluk Lada, Panimbang merupakan daerah yang potensial bagi perkembangan hidup kerang darah. Teluk Banten merupakan perairan semi tertutup yang menghadap Pantai Utara Jawa dan di sana sejak lama telah berdiri berbagai industri, seperti stockpile batu bara dan pabrik perakitan perahu fiber yang menghasilkan limbah bahan kimia. Sedangkan perairan Teluk Lada secara geografis merupakan perairan pesisir yang terbuka ke arah Selat Sunda. Kegiatan antropogenik di sekitar perairan tersebut yang paling signifikan adalah Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), dioperasikan secara resmi sejak tahun 2009. Limbah yang dihasilkan oleh aktivitas antropogenik di sekitar kedua perairan tersebut menimbulkan permasalahan berupa pencemaran lingkungan bagi perairan sekitarnya dan bagi organisme yang hidup di dalamnya. Bahan pencemar yang paling nyata terdeteksi di kedua perairan tersebut adalah logam berat, terutama merkuri.

Walaupun demikian, kerang darah masih dapat bertahan hidup dan bereproduksi selama bertahun-tahun. Pertahanan (resistensi) tersebut tidaklah muncul secara tiba-tiba, tetapi pasti ada mekanisme yang mengatur keseimbangan antara stres dan resistensi. Tanpa adanya faktor pengatur, maka kerang darah pasti sudah punah dari kedua perairan tersebut. Faktor pengatur haruslah bersifat universal untuk semua individu dan dapat mengenali jenis stres untuk kemudian direspon dengan cepat. Stres yang berlanjut menjadikan faktor pengatur tersebut terbiasa mengenali dan meresponnya, sebagai konsekuensinya kerang darah dapat beradaptasi dengan kondisi yang demikian. Namun demikian, faktor pengatur akan memberikan respon yang berbeda terhadap stres, tergantung pada jenis dan level stres, serta habituasi terhadap stres. Faktor pengatur tersebut adalah berupa respon stres seluler yang mengekspresikan protein stres dan dikendalikan oleh famili gen. Famili gen yang biasa terekspresi pada saat stres adalah famili gen

heat shock protein (Hsp) yang berfungsi sebagai pelindung sel (cytoprotector). Ekspresi berlebih dari salah satu anggota famili gen Hsp seperti gen Hsp70 menunjukkan kemampuan gen tersebut untuk melindungi jaringan dan sel, sehingga jaringan dan sel mempunyai daya tahan terhadap stres. Sebagai konsekuensinya, tingkatan organ yang lebih kompleks juga terlindungi dari stres, akibatnya kerang darah dan organisme lain menjadi resisten dengan stres yang dihadapi. Munculnya ekspresi berlebih disebabkan oleh habituasi terhadap stres. Sedangkan kekurangan atau ketiadaan ekspresi gen Hsp menunjukkan rendahnya kemampuan untuk melindungi sel, sehingga organisme menjadi kurang atau tidak tahan. Daya tahan (resistensi) inilah yang akan menentukan batas ambang


(6)

terhadap suatu parameter lingkungan yang menstimulasi stres dan perlu atau tidaknya perubahan fenotip sebagai strategi adaptasi.

Perbedaan kondisi lingkungan Bojonegara dan Panimbang menimbulkan respon stres yang berbeda bagi kerang darah. Kerang darah Bojonegara telah lama terbiasa hidup pada kondisi yang terkontaminasi logam berat, sedangkan kerang darah Panimbang baru saja mengalami perubahan lingkungan. Respon yang disebabkan oleh perbedaan kondisi lingkungan yaitu berupa respon biokimia, fisiologis, genotip, dan fenotip. Respon biokimia dan fisiologis terjadi pada periode waktu yang cepat dan menjadi peletak dasar terjadinya perubahan fenotip, sedangkan respon genotip dan fenotip terjadi pada periode waktu yang lebih lama dan bersifat menetap. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menganalisis kemampuan kerang darah Anadara granosa dalam mengembangkan plastisitas fenotip melalui pendekatan ekspresi gen Hsp70 dan analisis keragaman fenotip. Di samping itu juga, batas toleransi kerang darah sebagai konsekuensi terhadap cemaran merkuri melalui pendekatan histologis akan dipelajari.

Sebelum mendeteksi keberadaan dan karakterisasi gen target Hsp70, maka di dalam tahapan studi yang menyangkut pendekatan ekspresi gen target selalu dilakukan standarisasi kualitatif dan kuantitatif material RNA terutama mRNA. Standarisasi tersebut biasanya dilakukan dengan menggunakan housekeeping gene sebagai kontrol internal. Keberhasilan dari tahapan ini akan dapat memfasilitasi dalam mendeteksi keberadaan gen target dalam hal ini gen Hsp70.

Housekeeping gene yang digunakan pada penelitian ini adalah gen β-aktin.

Karakterisasi gen β-aktin menghasilkan gen β-aktin spesifik untuk kerang darah Anadara granosa (gen AgACT) dengan ukuran 353 bp. Amplifikasi cDNA untuk gen β-aktin menghasilkan produk yang berintegritas tinggi dan konsistensi untuk semua sampel yang diisolasi, sehingga layak dijadikan kontrol internal untuk menormalisasi ekspresi gen Hsp70. Gen Hsp70 menunjukkan ekspresi yang tergantung pada konsentrasi merkuri (mercury concentration-dependent expression) dan asal populasi. Ekspresi gen Hsp70 meningkat pada konsentrasi merkuri tertentu, dan peningkatan ekspresi ini berpola sama baik untuk kerang darah Bojonegara maupun Panimbang. Namun demikian, ekspresi gen Hsp70 pada kerang darah Bojonegara lebih tinggi dibandingkan dengan kerang darah Panimbang. Pola yang demikian, sesuai dengan analisis histologi insang yang menunjukkan adanya kerusakan pada induksi konsentrasi merkuri yang sama. Karena habituasi dan adaptasi, gen Hsp70 kerang darah Bojonegara mampu mengembangkan plastisitasnya pada saat kerang darah dipaparkan pada konsentrasi merkuri yang jauh melebihi batas ambang. Sedangkan di perairan Teluk Lada, Panimbang, kerang darah belum mampu mengatasi tantangan berupa konsentrasi merkuri yang tinggi. Hal ini disebabkan oleh periode waktu paparan kontaminasi bahan pencemar di perairan Panimbang masih baru, sehingga tingkat habituasi masih rendah. Gen Hsp70 kerang darah Panimbang belum mampu menunjukkan adanya plastisitas yang dapat mendukung proses adaptasi.

Penelitian ini juga membuktikan bahwa perbedaan kondisi perairan Bojonegara dan Panimbang mendorong terbentuknya keragaman fenotip walaupun populasi kerang darah dari kedua perairan tersebut berasal dari sumber genetik yang sama. Plastisitas fenotip telah bekerja pada beberapa karakter fenotip kerang darah yang diukur. Fenotip yang plastis seperti panjang, tinggi,


(7)

dan tebal cangkang merupakan bentuk pertahanan diri dan strategi adaptasi kerang darah dalam merespon tantangan lingkungan. Terbentuknya plastisitas fenotip memerlukan periode waktu yang lama, karena melibatkan beberapa faktor (biokimia dan fisiologis) dan fase (aklimatisasi, penyesuaian, adaptif dan adaptasi). Berdasarkan periode waktu paparan kontaminasi bahan pencemar yang erat kaitannya dengan masa industrialisasi, maka kerang darah Bojonegara telah mencapai fase adaptasi. Pada fase adaptasi ini terbentuk karakter akis (acquired character) pada fenotip yang menjadi penciri kerang darah Bojonegara. Sedangkan kerang darah Panimbang masih dalam fase penyesuaian.

Berkembangnya plastisitas fenotip, menyebabkan kerang darah Bojonegara dapat bertahan dan beradaptasi, dengan batas toleransi fisiologis yang tinggi terhadap stres yang distimulasi oleh bahan pencemar seperti merkuri. Dengan demikian, kerang darah Bojonegara dapat dijadikan hewan model untuk perairan tercemar. Sedangkan bagi kerang darah Panimbang, masih diperlukan beberapa generasi lagi untuk mencapai tahap adaptasi.


(8)

©Hak Cipta milik IPB, tahun 2013.

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(9)

PLASTISITAS FENOTIP KERANG DARAH

Anadara granosa

L.

DALAM MERESPON PENCEMARAN LINGKUNGAN:

STUDI KASUS DI PERAIRAN PESISIR BANTEN

NURLISA ALIAS BUTET

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Biosains Hewan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR


(10)

Penguji Ujian Tertutup: Dr Ir Rika Raffiudin

Dr Ir Ridwan Affandi, DEA Penguji Ujian Terbuka: Dr Ir Isdrajad Setyobudiandi,MSc.


(11)

Judul Disertasi: Plastisitas Fenotip Kerang Darah Anadara granosa L. dalam Merespon Pencemaran Lingkungan: Studi Kasus di Perairan Pesisir Banten

Nama : Nurlisa Alias Butet

NIM : G362080021

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Dedy Duryadi Solihin, DEA Ketua

Prof Dr Kadarwan Soewardi Prof Dr Asep Saefuddin

Anggota Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Biosains Hewan

Dr Bambang Suryobroto Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr


(12)

PRAKATA

Bismillahirrohmanirrohiim. Alhamdulillah, segala puji dan syukur hanya untuk Alloh subhanahu wa ta’ala yang telah memberikan rahmat dan kemudahan sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan disertasi ini. Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Rosululloh Muhammad SAW yang telah menyampaikan cahaya dan petunjuk Islam hingga akhir zaman. Disertasi yang berjudul “Plastisitas Fenotip Kerang Darah Anadara granosa L. dalam Merespon Pencemaran Lingkungan: Studi Kasus di Perairan Pesisir Banten” ini disusun berdasarkan hasil penelitian lapang yang dilakukan di perairan persisir Banten, yaitu Teluk Banten, Bojonegara dan Teluk Lada, Panimbang, dan hasil penelitian di Laboratorium Biologi Molekuler Hewan PPSHB IPB dan Laboratorium Terpadu FPIK IPB.

Penelitian ini dapat terlaksana atas bimbingan, arahan, bantuan, dan kerjasama dari berbagai pihak. Oleh karena itu sudah sepantasnya penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr Ir Dedy D Solihin, DEA selaku ketua komisi pembimbing yang telah meluangkan sebagian besar waktunya untuk mengarahkan dan membimbing penulis mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, hingga penulisan disertasi ini.

2. Bapak Prof Dr Kadarwan Soewardi selaku anggota komisi pembimbing yang telah mentransfer wawasan berfikir, membimbing dan menasehati selama penulis menjalankan studi di Sekolah Pascasarjana IPB sehingga disertasi ini dapat diselesaikan.

3. Bapak Prof Dr Asep Saefuddin selaku anggota komisi pembimbing yang telah mentransfer keilmuan kuantitatif yang rumit menjadi sederhana sehingga memudahkan penulis untuk mencerna dan menuangkan konsepnya di dalam disertasi ini.

4. Bapak Dr Ridwan Affandi dan Ibu Dr Rika Raffiudin selaku penguji luar komisi yang telah memberikan kirtik dan saran yang sangat berharga pada saat ujian tertutup.

5. Bapak Ketua Departemen Biologi FMIPA dan Bapak Wakil Dekan FMIPA atas saran yang diberikan pada saan ujian tertutup.

6. Bapak Dr. Isdradjad Setyobudiandi, MSc. dan Bapak Dr. Imron, SPi, MSi yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk menjadi penguji luar komisi pada saat ujian terbuka, serta memberikan kritik dan saran yang memperkaya karya ilmiah ini.

7. Ibu Dekan FMIPA, Bapak Dekan Pascasarjana, Ibu Wakil Dekan Pascasarjana dan Bapak Ketua Program Studi Biosains Hewan yang telah banyak memberikan kemudahan selama penulis menjalankan studi di Sekolah Pascasarjana IPB.

8. Bapak Ketua Departemen MSP FPIK yang telah banyak memberikan dorongan moril kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan studi S3. 9. Ibu Dr Utut Widyastuti yang selalu meluangkan waktunya untuk membuka

wawasan penulis.

10. Bapak Prof Dr Mennofatria Boer yang telah menyediakan waktunya untuk memberikan saran-saran dalam pengolahan data kuantitatif.


(13)

11. Bapak Dekan FPIK dan koordinator Laboratorium Terpadu FPIK yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk menggunakan fasilitas Lab. Terpadu FPIK.

12. Staf pendidik Departemen Biologi FMIPA yang telah memberikan peluang kepada penulis untuk menggunakan fasilitas Lab. Terpadu Biologi.

13. Guru-guru dan teman-teman di Departemen MSP dan THP, FPIK yang telah mendukung dan memberikan saran-saran yang berharga, sehingga penulis tetap bersemangat untuk menjalankan studi S3.

14. Mbak Elvavina, Pak Heri, Pak Mulya, Mbak Nia, Mbak Sarah, Dik Achya, Pak Sairi, dan mbak Retno yang telah membantu penulis dalam melakukan pekerjaan lab. Tanpa bantuan mereka, penelitian ini tidak akan pernah selesai.

15. Mahasiswa MSP FPIK angkatan 43 (Silvi, Siti, Kiki, Widya, Intan, Yesti, Tyo, dan Frida) dan mahasiswa Biologi FMIPA angkatan 44 (Gita, Dini, Ratna, dan Feri) yang telah membantu penulis baik dalam pengambilan sampel di lapang dan pekerjaan di lab. Pera Mutiara, SSi dan Nur Alim, SPi yang telah membantu mengolah data statistik.

16. Dr Etty Riani, Dr. Desniar, Dr. Yunizar Ernawati, Dr. Mukhlis Kamal, Dr Dyah Perwitasari, Dr. Ahmad Farajallah, Dr. Iriani Setianingsih, dan Ibu Dra. Taruni, MS, yang selalu menguatkan semangat.

17. Dr Fredinan Yulianda, Dr Niken TM Pratiwi, Dr Majariana Krisanti, Mbak Yayuk SPi, dan Bu Suryanti yang telah menyisihkan waktunya untuk membantu penulis.

18. Ayahanda E. Komaruddin (alm) dan Ibunda Effiana Karlina, serta adik-adikku, Abang Fachrein Effendy Nasution (alm) dan kakak Siti Amanah serta keponakan-keponakan yang selalu mendoakan dan menjaga semangatku. 19. Ayahandaku Alimuddin Nasution (alm) dan Ibundaku Nurlela Lubis (alm),

dengan kasih sayang yang tulus dan selalu mendorong semangatku untuk terus menimba ilmu.

20. Pelita hatiku yang selalu siap memberikan kasih dan sayangnya serta pengorbanan moril dan materil: suamiku Bambang M. Subur, ananda Ghiffary Nursabur, Bistamy Nursabur, dan Hana Nursabur.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi kemajuan ilmu pengetahuan.

Bogor, Maret 2013


(14)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 8 Desember 1965 dari pasangan Alimuddin Nasution (alm) dan Nurlela Lubis (almh). Pendidikan sarjana ditempuh pada Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan (MSP), Fakultas Perikanan IPB, lulus pada tahun 1989. Pada tahun 1994, penulis melanjutkan studi S2 di Faculty of Fisheries, Animal and Veterinary Sciences, University of Rhode Island, Kingston, Rhode Island USA, dan menamatkannya pada tahun 1997. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada program studi Biosains Hewan IPB diperoleh pada tahun 2008. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. Penulis mulai bekerja sebagai tenaga pendidik di Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan FPIK IPB sejak tahun 1990.

Dua buah karya ilmiah berjudul “Karakterisasi Gen Aktin dari Kerang Darah Anadara granosa L” telah diterima dan akan diterbitkan pada Jurnal Ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia pada tahun 2013, dan “Kondisi Histologi Insang Kerang Darah Anadara granosa sebagai Respon terhadap Stres yang distimulasi oleh Logam Berat Merkuri” telah diterima akan diterbitkan pada Jurnal Moluska Indonesia pada tahun 2013.


(15)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xii

DAFTAR GAMBAR xiii

DAFTAR LAMPIRAN xiv

1 PENDAHULUAN 1

Latar belakang 1

Tujuan penelitian 4

Manfaat penelitian 4

Kebaruan penelitian 4

2 KARAKTERISASI GEN BETA AKTIN PADA KERANG DARAH

Anadara granosa L. 5

Pendahuluan 6

Tujuan penelitian 8

Bahan dan Metode 9

Pengambilan sampel 9

Induksi HgCl2 9

Isolasi RNA 9

Sintesis cDNA 9

Amplifikasi cDNA gen -aktin 9

Pengurutan DNA dan Analisis Urutan DNA 10

Hasil dan Pembahasan 10

Hasil 10

Isolasi RNA Total 10

Amplifikasi cDNA dari gen -aktin Anadara granosa

dengan PCR 11

Analisis pengurutan fragment gen AgACT 11

Pembahasan 13

Simpulan 15

3 KARAKTERISASI DAN EKSPRESI FAMILI GEN HEAT

SHOCK PROTEIN 70 PADA KERANG DARAH Anadara granosa L. 15

Pendahuluan 16

Tujuan Penelitian 19

Bahan dan Metode 19

Pengambilan sample 19

Induksi HgCl 19

Isolasi RNA 19

Sintesis cDNA 20

Amplifikasi gen Hsp70 20

Pengurutan dan Analisis Urutan DNA 21

Hasil dan Pembahasan 22


(16)

DAFTAR ISI lanjutan

Isolasi RNA 22

Amplifikasi cDNA dari gen Hsp70 Anadara granosa

dengan PCR 22

Ekspresi gen Hsp70 25

Pembahasan 26

Simpulan 27

4 KONDISI HISTOLOGI INSANG KERANG DARAH

Anadara granosa YANG DIINDUKSI OLEH MERKURI 27

Pendahuluan 28

Bahan dan Metode 29

Pengambilan sample 29

Induksi HgCl 29

Analisis histologi insang 30

Hasil dan Pembahasan 30

Hasil 30

Pembahasan 32

Simpulan 35

5 KARAKTERISTIK MORFOLOGI KERANG DARAH

Anadara granosa L. SEBAGAI RESPON TERHADAP

KERAGAMAN LINGKUNGAN 34

Pendahuluan 36

Tujuan penelitian 36

Bahan dan Metode 36

Waktu dan lokasi penelitian 36

Bahan dan Alat 36

Pengambilan contoh dan analisis karakter morfologi kerang

darah 37

Analisis kualitas air dan substrat 38

Analisis data 38

Hasil dan Pembahasan 39

Hasil 39

Pembahasan 41

Simpulan 43

6 PEMBAHASAN UMUM 43

7 SIMPULAN DAN SARAN 48

DAFTAR PUSTAKA 49


(17)

DAFTAR TABEL

1 Primer yang digunakan untuk amplifikasi gen -aktin

dari cDNA Anadara granosa 10

2 Persentase ketidakmiripan (p-Distance) nukleotida sekuen gen -aktin. 1:A.granosa-kontrol; 2: A.granosa-1ppm/24jam; 3: A.granosa-1ppm/48jam; 4:A. granosa-2ppm/24jam; 5:

A.granosa-2 ppm/48jam; 6: A.granosa-10 ppm/24jam;

7: M. yessoensis; 8: H. cumingii 12

3 Persentase ketidakmiripan (p-Distance) asam amino sekuen gen -aktin. 1:A.granosa-kontrol; 2: A.granosa-1ppm/24jam; 3: A.granosa-1ppm/48jam; 4:A. granosa-2ppm/24jam; 5:

A.granosa-2 ppm/48jam; 6: A.granosa-10 ppm/24jam;

7: M. yessoensis; 8: H. cumingii 12

4 Primer yang digunakan untuk amplifikasi cDNA Anadara granosa 21 5 Hasil alignment dengan BLASTn gen Hsp70 dari cDNA kerang

darah yang dibandingkan dengan spesies lainnya 24 6 Kondisi histologis insang kerang darah Anadara granosa yang

diinduksi dengan merkuri. 0: normal, 1: derajat kerusakan tingkat 1, 2: derajat kerusakan tingkat 2, 3: derajat kerusakan tingkat 3 32

7 Posisi lokasi penelitian 37

8 Parameter fisika dan kimia perairan yang diukur di lokasi

penelitian 39

9 Parameter kualitas air di Teluk Banten, Bojonegara dan

Teluk Lada, Panimbang 40

10 Nilai rata-rata karakter fenotip kerang darah Anadara granosa yang

berasal dari Bojonegara, Panimbang, dan Kuala Tungkal 40 11 Kriteria pencemaran berdasarkan ukuran morfologi 47


(18)

DAFTAR GAMBAR

1 Alur penelitian (Road map) plastisitas fenotip dan genetik

kerang darah Anadara granosa. 5

2 Struktur gen aktin (Nakajima-Iijima et al. 1985). 7 3 Alur penelitian (Road map) -aktin Anadara granosa sebagai

housekeeping gene. 8

4 Hasil elektroforesis RNA total dari kerang darah Anadara granosa menunjukkan dua pita RNA ribosomal 28S dan 18S. 10 5 Amplifikasi gen AgACT 353 bp. (1: 0 ppm; 2: 1ppm; 3: 2 ppm,

4: 10ppm; M: DNA marker 100 bp) 11

6 Filogenetik gen beta aktin antara A.granosa dan bivalvia lainnya

berdasarkan urutan 353 nukelotida. 13

7 Filogenetik gen beta aktin antar A.granosa dan bivalvia lainnya

berdasarkan urutan 117 asam amino 13

8 Struktur gen Hsc70 (Boutet et al. 2003b). 18 9 Alur penelitian (Road map) gen Hsp70 Anadara granosa 20 10 Hasil elektroforesis RNA total dari kerang darah

Anadara granosa menunjukkan dua pita RNA ribosomal

28S dan 18S 22

11 Amplifikasi gen Hsp70 kerang darah Anadara granosa

yang diinduksi merkuri, dengan menggunakan pasangan primer

degenerate FH70deg dan RH70.deg 23

12 Amplifikasi gen Hsp70 kerang darah Anadara granosa

yang diinduksi merkuri, dengan menggunakan pasangan primer FH70 dan RH70. M=DNA ladder 100bp; 1=Bojonegara

1ppm; 2=Panimbang 1ppm; 3=Bojonegara 1ppm 23

13 Alignment gen Hsp70 kerang darah Anadara granosa terhadap

gen Hsp70 Crassostrea gigas 24

14 Pohon filogeni gen Hsp70 dari beberapa spesies bivalvia,

berdasarkan sekuen nukleotida (530 bp) dan dikonstruksi dengan

metoda Neighbor-Joining 24

15 Pohon filogeni gen Hsp70 dari beberapa spesies bivalvia, berdasarkan sekuen asam amino (176 AA) dan dikonstruksi

dengan metoda Neighbor-Joining 25

16 Level relatif ekspresi gen Hsp70 gene pada kerang darah yang diinduksi merkuri 1 = 0 ppm; 2 = 1 ppm, 24 jam; 3 = 1 ppm, 48 jam; 4 = 2 ppm, 24 jam; 5 = 2 ppm, 48 jam;

6 = 10 ppm, 24 jam. 25

17 Contoh histologi insang kerang darah Anadara granosa.

(a-d) Bojonegara, kontrol, induksi merkuri 1 ppm, induksi merkuri 2 ppm, induksi merkuri 10 ppm; (e-h) Panimbang, kontrol, induksi merkuri 1 ppm, induksi merkuri 2 ppm, induksi merkuri 10 ppm 31 18 Lokasi penelitian di perairan pesisir Provinsi Banten 36 19 Peta lokasi penelitian Teluk Banten, Bojonegara 37 20 Peta lokasi penelitian Teluk Lada, Panimbang 37


(19)

DAFTAR GAMBAR lanjutan

21 Pengambilan sampel kerang darah Anadara granosa dengan menggunakan (a) manual di Bojonegara dan (b) garok di

Panimbang 38

22. Karakter fenotip yang diukur. TIC: tinggi cangkang, PC: panjang

cangkang, TU: tinggi umbo, TEC: tebal cangkang 38 23. Grafik fungsi diskriminan sepuluh karakter fenotip kerang

darah dari Bojonegara, Panimbang, dan Kuala Tungkal 41 24. Model adaptasi bivalvia pada lingkungan yang baru 46

DAFTAR LAMPIRAN

1 Sekuen nukleotida gen -aktin dari Anadara granosa dan

bivalvia lainnya 57

2 Sekuen asam amino gen -aktin dari Anadara granosa dan

bivalvia lainnya 60

3 Sekuen nukleotida gen Hsp70 dari beberapa bivalvia 61 4 Sekuen asam amino gen Hsp70 dari beberapa bivalvia 67 5 Persentase ketidakmiripan (p-distance) nukleotida sekuen gen

Hsp70. 1. C.gigas, 2. C.virginica, 3. O.edulis, 4. P. fucata, 5. A.granosa, 6. T. granosa, 7. A.irradians, 8. C. farreri,

9. P. Penguin, 10. M. galloprovincialis 69

6 Persentase ketidakmiripan (p-distance) asam amino sekuen gen Hsp70. 1. C.gigas, 2. C.virginica, 3. O.edulis, 4. P. fucata, 5. A.granosa, 6. T. granosa, 7. A.irradians, 8. C. farreri,

9. P. Penguin, 10. M. galloprovincialis 70 7 Sebaran data panjang cangkang kerang darah Bojonegara,

Panimbang, dan Kuala Tungkal 71

8 Hasil analisis diskriminan kanonik sepuluh karakter morfologi kerang darah darah dari Bojonegara, Panimbang, dan Kuala

Tungkal 72

9 Hasil analisis diskriminan Fisher linear sepuluh karakter morfologi kerang darah darah dari Bojonegara, Panimbang, dan Kuala


(20)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kerang darah Anadara granosa merupakan bivalvia filter feeder dari famili Arcidae, yang mendiami perairan intertidal dengan substrat pasir berlempung. Kerang darah dimanfaatkan secara komersial karena nilai ekonomisnya yang tinggi, harganya mencapai dua sampai tiga kali harga kerang lainnya. Penyebaran geografis hewan ini meliputi Red Sea, New Caledonia, China, Jepang, Vietnam, Thailand, Filipina, Laut China Selatan, Indonesia, perairan Pasifik bagian Barat, dan Australia (Nurdin et al. 2006). Menurut Tang

et al. (2009), penyebarannya di perairan Indonesia meliputi pesisir Sumatera bagian Barat, Selat Malaka, Pantai Utara Jawa, Pantai Timur Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Maluku, dan Papua. Perairan pesisir Banten seperti Teluk Banten, Bojonegara dan Teluk Lada, Panimbang merupakan daerah yang potensial bagi perkembangan hidup kerang darah Anadara granosa. Baik Panimbang maupun Bojonegara telah lama menjadi daerah pemasok stok induk kerang darah untuk kegiatan pembesaran di perairan Teluk Jakarta dan Cirebon. Panimbang direncanakan menjadi sentra kekerangan untuk wilayah pulau Jawa, khususnya Jawa bagian barat (Lubayasari 2010).

Teluk Banten merupakan perairan semi tertutup yang menghadap Pantai Utara Jawa dan di sana sejak lama telah berdiri berbagai industri, seperti pabrik plastik, industri perakitan kapal, stockpile batu bara, industri kerajinan, dan kegiatan antropogenik lainnya. Kegiatan-kegiatan tersebut menghasilkan limbah yang masuk ke dalam perairan dan selanjutnya dapat mengganggu keseimbangan ekosistem. Perairan Teluk Lada secara geografis merupakan perairan pesisir yang terbuka ke arah Selat Sunda. Kegiatan antropogenik di sekitar perairan tersebut diantaranya adalah Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang dioperasikan secara resmi sejak tahun 2009, perkebunan kelapa, pemukiman penduduk, dan kegiatan lainnya. PLTU yang berbahan bakar batu bara merupakan sumber cemaran bagi perairan sekitarnya. Bahan pencemar yang paling nyata terdeteksi di kedua perairan tersebut adalah logam berat, terutama merkuri (Setyobudiandi 2004; Muawannah et al. 2005).

Gangguan lingkungan seperti kontaminasi logam berat memberikan respon yang negatif berupa stres bagi organisme. Berbagai logam berat yang dapat membahayakan adalah merkuri, kadmium, timbal, arsenik, tembaga, nikel, dan kromium. Merkuri merupakan logam berat yang paling berbahaya dengan daya penyebarannya yang luas dan bersifat ubiquitous. Sebagai bahan kimia, merkuri dihasilkan secara alami dan tidak dapat dihancurkan. Walaupun dengan konsentrasi yang rendah, merkuri bersifat toksik. Sumber utama kontaminasi merkuri di perairan adalah deposisi atmosfer, sumber erosi, limbah pertanian, pertambangan, dan limbah industri (Navarro et al. 2012). Substrat yang terkontaminasi di dasar perairan dapat berperan sebagai reservoir merkuri, dan merkuri yang terjerat dalam substrat dapat terlepas kembali ke dalam kolom air setelah puluhan tahun (US-EPA 1997). Jalur masuknya merkuri ke dalam tubuh hewan bivalvia adalah melalui filtrasi, dan jaringan yang terlibat dalam proses ini


(21)

adalah mantel, kelenjar pencernaan, dan insang. Tingkat akumulasi tertinggi paling banyak ditemukan di dalam insang (Arockia et al. 2012). Menurut Sreekala (1993), kondisi histopathologi insang bivalvia dapat menjadi bioindikator bagi pencemaran logam berat merkuri dan kadmium.

Selain cemaran yang berasal dari kegiatan antropogenik, faktor alami juga menjadi tantangan bagi hewan-hewan intetidal seperti kerang darah. Fenomena pasang surut di perairan intertidal seperti Bojonegara dan Panimbang secara signifikan menyebabkan perubahan suhu, salinitas, dan konsentrasi bahan-bahan organik dan anorganik. Kerang darah akan merespon terhadap tantangan lingkungan yang demikian, untuk tetap dapat mempertahankan kelangsungan hidup dan bereproduksi. Jenis respon yang dilakukan tergantung dari sifat organisme tersebut. Bagi organisme kerang darah yang bersifat sessile, menurut Evans & Hofmann (2012), akan melakukan strategi penyesuaian dan adaptasi sebagai respon terhadap lingkungan. Pertama, melakukan perubahan biokimia dan fisiologis sebagai alat untuk menyesuaikan diri dengan adanya lingkungan. Kedua, melakukan strategi adaptasi dengan perubahan genetik untuk jangka waktu yang panjang. Perubahan-perubahan tersebut merupakan dasar untuk terjadinya plastisitas fenotip dalam rangka penyesuaian terhadap lingkungan.

Menurut Sultan (1987), Schlichting & Smith (2002), Pigliucci et al.

(2006), DeWitt & Scheiner (2004), plastisitas fenotip merupakan keragaman ekspresi fenotipik, seperti perubahan biokimia, ekspresi gen, fisiologis, tingkah laku, dan morfologi, yang dikembangkan oleh satu genotip sebagai respon terhadap kondisi lingkungan. Individu-individu yang dapat melakukan ekspresi fenotip yang beragam, adalah individu-individu yang mempunyai potensi plastisitas fenotipik (Bradshaw 1965; Sultan 1987; Pigliucci et al. 2006). Respon plastis berperan penting untuk kelangsungan hidup dan bereproduksi demi mempertahankan populasi dalam menghadapi tekanan lingkungan (Price et al. 2003). Menurut Waddington (1953), karakter baru dari suatu fenotip yang merespon perubahan lingkungan akan bersifat stabil dan diturunkan kepada generasi berikutnya melalui proses seleksi. Munculnya galur baru yang sedikit berbeda dari moyangnya merupakan respon aktif terhadap perubahan lingkungan dan hasil seleksi dari genotip yang plastis (Frankham et al. 2002)

Keragaman fenotipik secara spasial merupakan hasil plastisitas yang terjadi pada saat perkembangan (developmental plasticity) (Luttikhuizen et al

2003). Bagi bivalvia seperti kerang darah, plastisitas perkembangan terjadi pada fase spat (pasca larva) yang merupakan fase kritis untuk penentuan dalam perkembangan selanjutnya. Pada fase ini spat kerang darah melakukan penyesuaian fenotip terhadap habitat yang cocok, untuk kelangsungan hidup dan perkembang biakannya.

Keragaman ekspresi fenotip sebagai reaksi terhadap fluktuasi lingkungan dapat ditelusuri dengan menganalisis respon stres seluler (celluler stress response, CSR). Semua sel akan berespon terhadap perubahan lingkungan yang menstimulasi stres dengan menginduksi sekumpulan protein yang berfungsi untuk mencegah dan memperbaiki kerusakan molekuler (Evans & Hofmann 2012). Pada saat terjadi stres yang distimulasi oleh faktor eksternal, protein yang menjadi peletak dasar plastisitas fenotip akan mengalami denaturasi dan agregasi. Menurut Wang et al. (2004), denaturasi dan agrerasi protein dapat dicegah dengan mengaktifkan gen yang mengendalikan CSR. Beberapa gen yang telah


(22)

teridentifikasi sebagai bagian dari kelompok CSR dan memiliki kemampuan mengembangkan multi genotip dalam merespon fluktuasi lingkungan, diantaranya adalah famili gen Plasticity Related Gene (PRG) (Savaskan et al. 2004; Brogini et al. 2010), famili gen heat shock protein (Hsp) (Favatier et al. 1997), dan family gen Mitogene Activated Protein Kinase (MAPK) (Pearson et al. 2001). Gen Hsp telah dijadikan marka molekuler untuk mendiagnosis sensitivitas organisme terhadap berbagai faktor abiotik (Hofmann 1999, 2005; Hofmann et al. 2000; Hamdoun et al. 2003).

Pendekatan fisiologis sejak lama telah digunakan untuk memahami plastisitas fenotipik dan batas toleransi suatu organisme terhadap kondisi lingkungan. Beberapa tahun terakhir ini, paradigma ilmu pengetahuan untuk mempelajari respon organisme telah berubah ke arah molekuler. Ekspresi gen telah banyak dimanfaatkan untuk mempelajari stres yang distimulasi oleh lingkungan abiotik. Keuntungan dari pendekatan ekspresi gen ini sudah jelas, dengan alasan bahwa ekspresi gen yang dimanipulasi oleh lingkungan merupakan salah satu respon yang cepat dan adaptif bagi organisme yang mengalami stres (Evans & Hofmann 2012). Kelompok gen yang terekspresi pada saat stres merupakan kelompok stress protein gene. Famili gen heat shock protein (Hsp) adalah salah satu gen yang diaktivasi pada kondisi stres maupun normal yang berfungsi sebagai molecular chaperone dan chaperonin. Salah satu anggota dari famili gen Hsp adalah Hsp70, yang berfungsi untuk mencegah terjadinya denaturasi protein, agregasi protein yang rusak di dalam sel, membantu mengembalikan struktur protein yang rusak, sedangkan dalam kondisi normal Hsp70 membantu pelipatan dan penempatan protein (Lindquist 1986; Parsell & Lindquist 1993; Feder dan Hofmann 1999; Wang et al. 2004). Gen Hsp70 ini merupakan gen yang responsif dan bersifat universal terhadap beragam stres lingkungan, bukan hanya stres perubahan suhu tetapi juga logam berat dan stres lainnya (Parsell & Lindquist 1993).

Perbandingan fenotip antara kerang darah Bojonegara dan Panimbang perlu dilakukan untuk menganalisis plastisitas fenotip sebagai respon adaptif terhadap keragaman kondisi lingkungan. Penelusuran karakter fenotip perlu dilakuan terkait dengan fenotip yang adaptif terhadap tekanan lingkungan. Untuk menguji batas toleransi yang akan dimanfaatkan oleh kerang darah (Anadara granosa) dalam beradaptasi terhadap cemaran lingkungan, maka dalam penelitian ini akan dikarakterisasi gen Hsp70 pada A. granosa sebagai salah satu anggota dari famili gen heat shock protein (Hsp), serta dianalisis pula respon akut gen Hsp70 dan perubahan fenotip pada histologi insang hewan ini terhadap cemaran merkuri yang diinduksi pada beberapa level konsentrasi.

Sebelum mendeteksi keberadaan dan karakterisasi gen target Hsp70, maka di dalam tahapan studi yang menyangkut pendekatan ekspresi gen target selalu dilakukan standarisasi kualitatif dan kuantitatif material RNA terutama mRNA. Standarisasi tersebut biasanya dilakukan dengan menggunakan housekeeping gene sebagai kontrol internal. Keberhasilan dari tahapan ini akan dapat memfasilitasi dalam mendeteksi keberadaan gen target dalam hal ini gen Hsp70. Oleh karena housekeeping gene ini umumnya bersifat “spesies spesifik” maka karakterisasi dan standarisasinya merupakan tahapan yang sangat strategis sebagai bagian dari tahapan pendekatan ekspresi gen.


(23)

Tujuan Penelitian

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk menganalisis kemampuan kerang darah A. granosa dalam mengembangkan plastisitas fenotip melalui pendekatan ekspresi gen Hsp70, dan keragaman morfologi. Di samping itu juga, batas toleransi kerang darah sebagai konsekuensi terhadap cemaran merkuri melalui pendekatan histologis akan dipelajari. Adapun tahapan untuk mencapai tujuan penelitian adalah sebagai berikut:

1. Mengkarakterisasi gen -aktin sebagai internal kontrol untuk keberhasilan amplifikasi gen target

2. Mengkarakterisasi dan menganalisis ekspresi gen Hsp70 pada kerang darah sebagai salah satu gen CSR untuk menganalisis respon organisme terhadap stres lingkungan

3. Menganalisis batas toleransi kerang darah melalui pendekatan histologis insang sebagai bagian strategi adaptasi

4. Menganalisis keragaman morfologi sebagai bagian dari strategi adaptasi. Penelitian ini dirancang dan ditelusuri berdasarkan pertimbangan dengan alur penelitian (Road map) seperti gambar 1.

Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah: (1) gen -aktin kerang darah dapat dijadikan acuan untuk disain primer bagi kerang lain dari famili Arcidae; (2) gen Hsp70 dapat dijadikan biomarker untuk perairan tercemar; (3) dengan memanfaatkan plastisitas gen Hsp70, maka diharapkan kerang darah dapat dijadikan biofilter untuk budidaya tambak udang di perairan tercemar; (4) model adaptasi yang dikembangkan dapat diadopsi untuk hewan perairan lainnya.

Kebaruan Penelitian

Kebaruan (novelty) penelitian ini adalah:

1) ditemukannya sekuen gen -aktin kerang darah A. granosa yang dapat dijadikan rujukan sebagai kontrol internal pada kajian ekspresi gen untuk bivalvia famili Arcidae lainnya,

2) batas adaptasi fisiologis kerang darah dapat ditentukan dengan ekspresi gen Hsp70 sebagai respon terhadap induksi merkuri.


(24)

Gambar 1. Alur penelitian (Road map) plastisitas fenotip kerang darah Anadara granosa.

2 KARAKTERISASI GEN BETA AKTIN PADA KERANG DARAH Anadara granosa L.

Abstrak

Gen aktin adalah gen yang konserve dan memiliki sifat sebagai housekeeping dan

constitutive gene. Dengan karakteristiknya yang demikian, gen aktin telah banyak digunakan sebagai kontrol internal untuk menormalisasi ekspresi gen. Informasi mengenai gen aktin pada bivalvia famili Arcidae belum pernah dilakukan, sehingga diperlukan kajian mengenai isolasi dan karakterisasinya untuk keperluan

Perairan intertidal

Faktor alami

Histologis insang

Faktor antropogenik

Keragaman fenotip Plastisitas fenotip kerang darah Anadara granosa

Gen protein stres

Ekspresi Gen Hsp70

Gen -aktin, kontrol internal


(25)

ekspresi gen dan bioinformatika. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengeksplorasi ekspresi gen aktin dan menganalisis karakteristiknya pada kerang darah Anadara granosa terhadap induksi logam berat merkuri pada berbagai konsentrasi, sehingga gen aktin dapat digunakan sebagai kontrol internal dalam kajian ekspresi gen target yang diinduksi oleh logam berat merkuri tersebut. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa gen aktin yang diisolasi dari kerang darah Anadara granosa dapat dijadikan kontrol internal untuk kajian ekspresi gen, disebabkan ekspresinya yang konstan untuk semua sampel yang diinduksi dan kespesifikan sekuennya. Produk pengurutan gen aktin A. granosa

menghasilkan sekuen parsial sebanyak 353 pasang basa nukleotida yang menyandikan 117 asam amino.

Kata-kata kunci: gen aktin, ekspresi gen, gen housekeeping.

Abstract

Actin gene is a conserve and constitutive gene. Therefore, it has been used as an internal control to normalize gene expression. Information on actin gene from bivalve of the family Arcidae has not been explored yet. Hence, it is necessary to isolate and characterize the gene in order to analyze gene expression and to study bioinformatics. The objective of this research is to explore actin gene expression on blood cockle Anadara granosa in response to mercury induction at several concentration. This research revearled that the actin gene isolated from blood cockle can be used as an internal control for analysis of gene expression, due to its constant level of expression at all mercury concentrations induced. In addition, sequenced actin gene produced 353 base pairs of nucleotide encoding 117 amino acids.

Keywords: actin gene, gene expression, house keeping gene.

Pendahuluan

Aktin adalah protein yang sangat konserve dan yang menjadi salah satu komponen utama sitoskeleton yang berperan penting pada semua sel eukariotik (Cooper & Crain 1982). Persentase aktin pada sel eukariotik mencakup 50% total seluler protein. Aktin berfungsi pada semua proses seluler, termasuk motilitas sel, kontraktil, mitosis dan sitokinesis, transport intraseluler, dan sekresi sel. Di samping itu pula, aktin berperan dalam regulasi transkripsi gen (Zheng et al. 2009).

Aktin memiliki tiga isoform utama, yaitu alpha, beta, dan gamma. Alpha aktin ditemukan pada sel otot yang merupakan bagian penting dari aparatus kontraktil. Sedangkan beta dan gamma aktin berada pada semua jenis sel sebagai komponen sitoskeleton dan mediator motilitas sel internal. Beta aktin dan gamma aktin masing-masing terletak di kromosom 7 dan 17 pada manusia (Erba et al.

1988). Adapun alpha aktin berada di kromosom 1, 11, dan 15 pada manusia. Berat molekul α, , dan aktin adalah sekitar 4β hingga 4γ kDa (Gunning et al.


(26)

Beta aktin berperan dalam transkripsi gen, yang erat hubungannya dengan ketiga hal berikut. Pertama, aktin berperan dalam penyusunan benang-benang kromatin yang terikat dengan ATP (Percipalle & Visa 2006). Kedua, membentuk kompleks dengan ribonucleotide protein (RNP) yang mengikat RNA dari inti ke sitoplasma (Percipalle & Visa 2006; Zheng et al. 2009). Ketiga, aktin diperlukan untuk transkripsi oleh tiga polimerase RNA inti, yaitu Polimerase I, II, dan III pada sel inti eukariot (Percipalle & Visa 2006; Zheng et al. 2009).

Gen aktin memiliki tingkat ekspresi yang stabil dan ekspresinya tidak membutuhkan adanya faktor induksi. Dengan sifat gen yang seperti ini, maka aktin disebut sebagai housekeeping dan constitutive gene. Gen yang bersifat

housekeeping dan constitutive sangat berguna untuk dijadikan sebagai kontrol internal dalam normalisasi tingkat ekspresi mRNA. Normalisasi diperlukan dalam mengoreksi perbedaan untuk identifikasi adanya keragaman dalam ekspresi gen, disebabkan oleh kondisi sampel dan perlakuan serta induksi dari material yang dipakai (Yperman et al. 2004).

Gen aktin telah digunakan sebagai kontrol ekspresi gen pada manusia (Goidin et al. 2001), domba (Garcia-Crespo et al. 2005), mencit (Ikegami et al. 2002), ikan zebra Danio rerio (Evans et al. 2005; Keller et al. 2008) , dan bivalvia

Crassostrea gigas (Farcy et al. 2009). Menurut Nakajima-Iijima et al. (1985), struktur gen aktin pada manusia terdiri dari promoter, enam ekson, lima intron, dan diakhiri dengan terminator, yang digambarkan seperti pada gambar 2 di bawah ini. Promoter gen aktin pada manusia memiliki situs pengikat protein (protein binding site) yaitu CCAAT dan TATA box, masing-masing terletak pada -818 dan -879 upstream. Berdasarkan data GenBank, coding sequence (CDS) gen beta aktin manusia (kode akses NM_001101.3) terdiri dari 1128 nukleotida yang menyandikan asam amino sebanyak 376.

5’ I1 I2 I3 I4 I5 3’

Gambar 2. Struktur gen aktin (Nakajima-Iijima et al. 1985).

Pada penelitian penentuan tingkat ekspresi gen Hsp70 pada Anadara granosa ini, gen aktin digunakan sebagai kontrol internal untuk menormalisasi ekspresi gen. Informasi mengenai gen aktin dari bivalvia famili Arcidae, termasuk A. granosa, sampai saat ini masih belum ada. Oleh karena itu perlu diketahui dengan tepat mengenai karakterisasi gen aktin pada bivalvia famili Arcidae terutama A. granosa sehingga kontrol internal sebagai housekeeping gene

lebih akurat dan tepat. Untuk selanjutnya sekuen gen aktin A. granosa yang diperoleh dapat dijadikan rujukan untuk mendisain primer gen aktin dari anggota famili Arcidae lainnya.


(27)

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengkarakterisasi gen -aktin secara parsial di daerah yang relatif konserve untuk kerang darah Anadara granosa.

2. Menganalisis ekspresi gen -aktin Anadara granosa sebagai kontrol internal yang merupakan housekeeping gene dan standarisasi kualitas dari sintesis cDNA untuk gen-gen target pada kerang darah.

Penelitian ini dirancang dan ditelusuri berdasarkan pertimbangan dengan alur penelitian (Road map) seperti gambar 3 berikut.


(28)

Gambar 3. Alur penelitian (Road map) -aktin Anadara granosa sebagai

housekeeping gene.

Bahan Dan Metode Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel kerang darah dilakukan di dua perairan di propinsi Banten, yaitu Bojonegara- Teluk Banten dan Panimbang-Teluk Lada. Kerang darah dibawa ke laboratorium dan ditempatkan pada akuarium yang terpisah yang berisi air laut. Selanjutnya kerang darah diaklimatisasi selama 48 jam sebelum dilakukan cekaman logam berat.

Sebaran dan perkembangan hidup A.granosa

Data genbank gen aktin

aktin pada manusia (kode akses genbank

NM_001101.3)

Produk PCR gen -aktin parsial pada Anadara

granosa aktin parsial menggunakan primer dari gen aktin manusia

Sekuensing gen -aktin parsial Anadara granosa

(353 bp)

Kontrol internal (sebagai

housekeeping gene) untuk ekspresi gen target dari

hasil cDNA Alignment gen

aktin parsial

A. granosa dengan manusia dan hewan akuatik

Purifikasi RNA

Anadara granosa

Sintesa cDNA


(29)

Indukasi HgCl2

Sampel kerang darah dipaparkan pada tiga konsentrasi HgCl2, yaitu 1, 2, dan 10 ppm selama 24 dan 48 jam. Kerang darah kontrol dibiarkan tanpa perlakuan merkuri. Jumlah kerang darah pada setiap perlakuan masing-masing tiga individu. Ukuran kerang darah yang dianalisis 2.753 ± 0.427 cm. Rancangan percobaan yang diterapkan adalah rancangan acak kelompok (RAK). Pada akhir periode perlakuan merkuri, insang kerang darah diambil dan dibilas untuk digunakan pada analisis histologi insang dan isolasi RNA.

Isolasi RNA

Insang diekstraksi untuk analisa RNA total, dengan menggunakan GeneJet RNA Purification Kit (Thermo Scientific Inc.) Prosedur isolasi mengikuti manual pabrik. Integritas RNA diperoleh dengan memasukkan sample ke dalam gel agarose 1,2% dan dilarikan pada mesin elektroforesis. Sampel RNA dimonitor di bawah UV transluminator. Kemurnian RNA diukur dengan spektrofotometer.

Sintesis cDNA

Transkripsi balik cDNA dilakukan dengan menggunakan RevertAid Transcriptase (Thermo Scientific Inc.). Prosedur Reverse Transcriptase-Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) ini mengikuti manual pabrik. Sampel hasil sintesis cDNA digunakan sebagai cetakan untuk amplifikasi cDNA dari gen -aktin.

Amplifikasi cDNA gen β-aktin

Pasangan primer yang digunakan adalah S-ACT dan A-ACT (Tabel 1). Primer ini didisain dari gen -aktin manusia (Wan et al. 2008). Komposisi bahan-bahan PCR terdiri dari 3 µl cDNA ditambah dengan buffer Kapa2G Fast 5 µl; MgCl2 2.5 µl; dNTP, primers, and DMSO masing-masing 1 µl; Taq polymerase 0.2 µl, dan double distilled water sampai campuran mencapai volume 25 µl (Kapa Biosystem). PCR dilakukan dengan menggunakan mesin AB Verity dan Biometra. PCR dilakukan pada kondisi pra denaturasi 940C (3 menit), denaturasi 940C (45 detik). Penempelan primer -actin pada suhu 610C, dengan waktu penempelan 1,5 menit. Pemanjangan 720C (1 menit). PCR dilakuan sebanyak 35 siklus. Pasca PCR 720C (7 menit), dan pendinginan 150C (10 menit). Produk PCR dimasukkan pada 1,2% gel agarose yang dijalankan dengan menggunakan mesin elektroforesis selama 60 menit. Integritas produk PCR kemudian dilihat dibawah UV transluminator.

Tabel 1. Primer yang digunakan untuk amplifikasi gen -aktin dari cDNA

Anadara granosa.

Nama primer Sekuen Primer

Produk PCR

(bp)

No akses GenBank

S-ACT 5'-GCTCGTCGTCGACAACGGCTC-3'

353 NM_001101

.3


(30)

Pengurutan DNA dan Analisis U Pengurutan sampel DNA gen dilakukan dengan menggunakan

masing-masing sampel lengkap Pengerjaannya dilakukan di L kesejajaran gen -aktin dilakuka (Tamura et al. 2007). Rekonst membuat pohon filogeni berdasa asam amino (AA) secara be Rekonstruksi pohon filogeni be dengan menggunakan metoda Boot

Hasi

Hasil

Isolasi RNA Total

RNA total telah berhasil di telah diberi cekaman logam berat kontrol 0 ppm. Gambar 4 m ribosomal, yaitu 28S rRNA dan 18S spektrofotometer menunjukkan ni integritas dan kemurnian RNA tot sebagai cetakan untuk sintesa cD

Gambar 4. Hasil elektroforesis R menunjukkan dua pita

Amplifikasi cDNA dari gen β-ak

Amplifikasi untuk menda aktin manusia menghasilkan frag Selanjutnya fragmen ini dinamaka

sis Urutan DNA

Pengurutan sampel DNA gen -aktin dari individu yang berbe kan mesin sekuenser. Pengurutan (sequencing

ap dua arah baik forward maupun reverseny Laboratorium First Base, Singapura. Anal kukan dengan menggunakan program MEGA konstruksi kedekatan antar sampel dilakukan denga

sarkan jarak genetik antar nukleotida (nt) maupun berpasangan menggunakan nilai p distanc

berdasarkan Neighbor Joining (NJ) yang diula Bootstrap 1000x (Tamura et al. 2007).

asil dan Pembahasan

sil diisolasi dari kerang darah Anadara granosa ya rat merkuri pada konsentrasi 1, 2, dan 10 ppm, se menunjukkan pita RNA dengan dua pita RN n 18S rRNA. Pengukuran kemurnian RNA denga n nilai kisaran antara 1,582 sampai 1,902. Deng

total yang tinggi ini, maka sample dapat digunaka DNA total.

s RNA total dari kerang darah Anadara granosa

pita RNA ribosomal 28S dan 18S.

aktin Anadara granosa dengan PCR

ndapatkan cDNA gen -aktin dengan primer be ragmen cDNA dengan ukuran 353 pb (Gambar

akan dengan fragmen gen aktin Anadara granosa 28S 18S beda ncing) senya. nalisa GA4 ngan upun ance. ulang yang , serta RNA ngan ngan gunakan beta bar 5). anosa.


(31)

1 2 3 4 M

Gambar 5. Amplifikasi gen AgACT 353 bp. (1: 0 ppm; 2: 1ppm; 3: 2 ppm, 4: 10ppm; M: DNA marker 100 bp)

Hasil amplifikasi gen aktin dari Anadara granosa yang berukuran 353 bp, memperlihatkan bahwa pita-pita yang dihasilkan memiliki ketebalan yang sama. Ketebalan pita yang merata menunjukkan bahwa gen aktin memiliki ekspresi yang sama pada ketiga level konsentrasi HgCl2 yang diinduksi. Dengan demikian gen aktin dari A.granosa layak dijadikan kontrol internal bagi ekspresi gen target pada penelitian ekspresi famili gen Hsp70. Urutan primer yang digunakan dari disain sekuen gen -aktin manusia (NM_001101.3) menempel 62 % untuk primer forward dan 100% untuk primer reverse, sehingga untuk selanjutnya pasangan primer yang dapat mengamplifikasi gen -aktin A. granosa dengan baik adalah Forward 5’- GTTTGTTGTTGACAAAGGGTT-3’ dan Reverse 5’- CAAACATGATCTGGGTCATCTTCTC-3’.

Analisis pengurutan fragment gen AgACT

Pengurutan fragment gen -aktin Anadara granosa terkoreksi yang berasal dari individu yang berbeda menghasilkan basa nukleotida 353 pb yang menyandikan 117 asam amino (Lampiran 1 dan 2). Persentase perbedaan gen -aktin antar Anadara granosa sebesar 0.000 – 0.013 nukleotida dan 0.000 – 0.040 asam amino (Tabel 2 dan 3). Persentase ketidakmiripan fragmen nukleotida gen -aktin Anadara granosa dengan gen aktin bivalvia lainnya berkisar antara 0.225 – 0.251. Berdasarkan analisa kesejajaran asam amino menunjukkan bahwa ketidakmiripan asam amino gen aktin kerang darah dengan bivalvia lainnya sebesar 0.210 – 0.226.

Persentase ketidakmiripan nukleotida dan asam amino antara gen -aktin

Anadara granosa dengan gen aktin dari spesies bivalvia lainnya menunjukkan bahwa -aktin A. granosa yang telah diisolasi dari Anadara granosa adalah kandidat gen aktin. Sampai saat ini belum pernah ada isolasi gen aktin untuk bivalvia famili Arcidae, terlebih spesies Anadara granosa. Dengan demikian, gen aktin akan sangat penting bagi kontrol positif dalam analisa ekspresi gen pada A. granosa.


(32)

Tabel 2. Persentase ketidakmiripan (p-Distance) nukleotida sekuen gen -aktin. 1: A.granosa-kontrol; 2: A.granosa-1ppm/24jam; 3: A.granosa -1ppm/48jam; 4: A. granosa-2ppm/24jam; 5: A.granosa-2 ppm/48jam; 6: A.granosa-10 ppm/24jam; 7: M. yessoensis; 8: H. cumingii

Takson Takson

1 2 3 4 5 6 7

2 0.000

3 0.000 0.000

4 0.008 0.008 0.008

5 0.008 0.008 0.008 0.000

6 0.013 0.013 0.013 0.011 0.011

7 0.225 0.225 0.225 0.227 0.227 0.233

8 0.243 0.243 0.243 0.246 0.246 0.251 0.126

Tabel 3. Persentase ketidakmiripan (p-Distance) asam amino sekuen gen -aktin. 1: A.granosa-kontrol; 2: A.granosa-1ppm/24jam; 3: A.granosa -1ppm/48jam; 4: A. granosa-2ppm/24jam; 5: A.granosa-2 ppm/48jam; 6: A.granosa-10 ppm/24jam; 7: M. yessoensis; 8: H. cumingii

Takson Takson

1 2 3 4 5 6 7

2 0.000

3 0.000 0.000

4 0.024 0.024 0.024

5 0.024 0.024 0.024 0.000

6 0.040 0.040 0.040 0.032 0.032

7 0.210 0.210 0.210 0.210 0.210 0.226

8 0.210 0.210 0.210 0.210 0.210 0.226 0.000 Hasil analisis filogenetik menunjukkan baik urutan nukleotida maupun asam amino gen -aktin Anadara granosa membentuk kelompok yang terpisah dari gen -aktin spesies bivalvia lainnya (Gambar 6 dan 7). Sedangkan antar individu-individu Anadara granosa terbentuk pengelompokan. Individu-individu kontrol dan yang diberi perlakuan induksi logam berat merkuri konsentrasi 1 ppm membentuk kelompok tersendiri dengan kemiripan 89% baik untuk urutan nukleotida maupun asam amino. Kelompok pertama tersebut terpisah dengan individu-individu yang diberi perlakuan induksi merkuri konsentrasi 2 dan 10 ppm.


(33)

Gambar 6. Filogenetik gen beta aktin antara A.granosa dan bivalvia lainnya berdasarkan urutan 353 nukelotida.

Gambar 7. Filogenetik gen beta aktin antar A.granosa dan bivalvia lainnya berdasarkan urutan 117 asam amino.

Pembahasan

Gen aktin bersifat conserve dan ubiquitous pada organisme eukariot. gen aktin terlibat dalam struktur sitoskeletal, motilitas seluler, mobilitas permukaan sel, transport intraseluler, dan mitosis. Dengan karakteristik tersebut, maka gen aktin banyak dimanfaatkan sebagai housekeeping gene (Morga et al. 2010). Sebagai agen molekuler, gen -actin selanjutnya dimanfaatkan untuk kontrol internal dalam banyak analisis RNA (Thellin et al. 1999).

Penelitian ini menghasilkan ketebalan pita hasil PCR yang konstan dari gen -aktin Anadara granosa yang diinduksi oleh berbagai konsentrasi merkuri. Dengan demikian, ekspresi gen -aktin Anadara granosa tidak terpengaruh oleh adanya induksi merkuri. Di lain pihak, beberapa penelitian menunjukkan bahwa ekspresi gen -aktin sensitif terhadap adanya perubahan stimulant. Morga et al. (β010) menemukan ketidakkonstanan ekspresi gen -aktin pada bivalvia Ostrea edulis yang diinfeksi oleh parasit Bonamia ostreae. Parasit Bonamia ostreae

A. granosa 0 A. granosa 1/48 A. granosa 1/24 A. granosa 10/24 A. granosa 2/48 A. granosa 2/24 M. yessoensis H. cumingii

78 100

89

0.00 0.02

0.04 0.06

0.08 0.10

A. granosa 0 A. granosa 1/48 A. granosa 1/24 A. granosa 10/24 A. granosa 2/48 A. granosa 2/24 M. yessoensis H. cumingii

100 77 89

0.00 0.02

0.04 0.06

0.08 0.10

HM045420 GU596498


(34)

nampaknya berpengaruh terhadap ekspresi gen aktin tersebut, yang dalam hal ini gen aktin terlibat dalam struktur sitoskeleton yang berperan fagositosis dan pembungkusan sel. Ekspresi gen -actin juga ditemukan pada ikan Ictalurus punctatus yang diperlakukan terhadap stressor seperti kekurangan pakan dan rendahnya tinggi permukaan air. Kondisi fisiologis ikan nampaknya memberikan pengaruh terhadap ekspresi gen di dalam jaringan (Small et al. 2008). Ekspresi gen -actin yang beragam juga terlihat pada katup jantung domba (Yperman et al. 2004), ayam yang diinduksi suhu tinggi (Banerji et al, 1986), dan jalur pernapasan penderita asma (Glare et al. 2002). Dengan demikian, penelitian-penelitian terdahulu tersebut tidak berhasil menjadikan gen -actin sebagai kontrol internal.

Menurut Morga et al. (2010), suatu gen yang memiliki ekspresi stabil dapat dijadikan sebagai kontrol internal untuk menormalisasi ekspresi gen target. Pada penelitian ini, gen -actin dari Anadara granosa menunjukkan respon yang sama terhadap induksi merkuri, sehingga gen -actin A. granosa ini dapat dijadikan sebagai standard untuk menormalisasi ekspresi gen target yang dalam hal ini adalah gen Hsp70.

Berdasarkan hasil sekuen, sekuen gen gen -aktin di antara sample kerang darah bersifat conserve, baik urutan nukleotidanya maupun asam aminonya (Lampiran 1 dan 2). Baik berdasarkan urutan nukleotida maupun asam amino, hanya ada enam situs yang berbeda. Walaupun demikian, terbentuk pengelompokan antara kelompok kerang darah kontrol dan induksi merkuri 1 ppm sebagai kelompok pertama dengan kemiripan 89%, dan kelompok yang diinduksi dengan merkuri 2 dengan kemiripan dan 10 ppm sebagai kelompok lainnya. Pengelompokkan ini seperti adanya pengaruh dari konsentrasi merkuri yang diinduksi. Namun demikian, keragaman genetik individu dapat terjadi pada organisme yang memiliki kemampuan penyebaran (dispersal ability) yang tinggi (Frankham et al. 2002). Sebagai perenang pasif, dispersi larva bivalvia yang tinggi tergantung pada arus pasang surut dan gelombang laut. Jika tidak ada penghalang fisik dan kimia, larva dapat mencapai habitat yang menjauhi tempat stok induknya. Dengan adanya penghalang fisik dan kimia dapat membatasi dispersi larva (Butet 1997). Penghalang tersebut dapat membatasi aliran gen (gene flow) yang dapat berakibat pada rendahnya keragaman genetik (Frankham

et al. 2002) dan peremajaan populasi berasal dari sumber genetik yang sama. Teori dispersal tersebut dapat diaplikasikan pada penelitian ini. Diduga sebaran larva kerang darah Anadara granosa tinggi, sehingga terjadi aliran gen menyebabkan keragaman gen -aktin. Dengan demikian, keragaman gen -aktin kerang darah yang diinduksi merkuri berasal dari keragaman genetik individu.

Walaupun ada beberapa situs nukleotida dan asam amino yang conserve dari gen -aktin kerang darah dan bivalvia lainnya, hubungan kekerabatan keduanya jauh. Sekuen gen -aktin menunjukkan perbedaan sekuen nukleotida dan asam aminonya. Dengan demikian, gen -aktin yang diisolasi dari kerang darah dapat diperhitungkan sebagai kandidat gen -aktin untuk kerang darah khususnya dan untuk bivalvia famili Arcidae umumnya. Sehingga gen -aktin kerang darah menjadi penting untuk digunakan sebagai kontrol positif dalam analisa ekspresi gen.


(35)

Simpulan

Berdasarkan kekonstanan pita PCR, gen -aktin dari Anadara granosa

dapat digunakan sebagai kontrol internal dalam analisis ekspresi gen target. Hasil sekuen gen -aktin menunjukkan kekhasan gen tersebut.

Primer spesifik gen -aktin untuk Anadara granosa adalah Forward AgACT Forward 5’- GTTTGTTGTTGACAAAGGGTT-3’ dan Reverse AgACT 5’- CAAACATGATCTGGGTCATCTTCTC-3’. Dari primer ini dapat digunakan sebagai sarana amplifikasi gen -aktin yang merupakan kontrol internal pada hewan-hewan bivalvia lainnya.

3 KARAKTERISASI DAN EKSPRESI GEN HEAT SHOCK PROTEIN 70 PADA KERANG DARAH Anadara granosa L. SEBAGAI RESPON

TERHADAP INDUKSI MERKURI

Abstrak

Sebagai organisme intertidal dan subtidal, kerang darah Anadara granosa setiap menghadapi lingkungan yang selalu berubah yang seringkali menimbulkan stres. Stres yang distimulasi biasanya dikendalikan oleh gen-gen protein stres. Ada banyak gen protein stres, diantaranya gen heat shock protein (Hsp) seperti Hsp70 yang berfungsi sebagai molecular chaperone dan terekspresi pada kondisi stres. Penelitian ini bertujuan untuk mengkarakterisasi dan menganalisis ekspresi gen Hsp70 pada kerang darah sebagai respon terhadap induksii merkuri. Hasil dari penelitian ini mendapatkan bahwa gen Hsp70 kerang darah bersifat spesies spesifik dan berbeda dengan spesies lainnya. Selain itu penelitian ini membuktikan bahwa merkuri mampu menginduksi ekspresi gen Hsp70 yang mana levelnya meningkat pada konsentrasi merkuri tertentu. Hal ini membuktikan bahwa kerang darah memiliki plastisitas yang tinggi dalam mentoleransi logam berata terutama cemaran merkuri. Dengan demikian, gen Hsp70 selanjutnya dapat dimanfaatkan sebagai marka molekuler untuk perairan tercemar.

Kata-kata kunci: gen Hsp70, Anadara granosa, molecular chaperone, acquired character.

Abstract

As an intertidal and subtidal organism, blood cockle Anadara granosa must cope with the ever-changing environment. It constantly generates stress controlled by stress protein genes. There are many stress genes that play an important role in cell protection. Hsp70 gene becomes one of the genes which function as a

molecular chaperone and be expressed under stress condition. The research aimed at exploring the expression of Hsp70 gene in blood cockle responding to mercury induction. The research revealed that mercury was able to induce Hsp70 gene expression which level increased at certain mercury concentration. This


(36)

notion suggests that blood cockles have high plasticity to tolerate heavy metals particularly mercury pollution. Additionally, Hsp70 gene may become a good molecular marker in a contaminant habitat.

Keywords: Hsp70 gene, Anadara granosa, molecular chaperone, acquired character.

Pendahuluan

Heat shock protein (Hsp) merupakan protein yang bersifat konserve dan ada pada semua sel prokariot sampai eukariot (Lindquist 1986; Lindquist dan Craig 1988; Farcy et al. 2009). Hsp termasuk dalam famili gen (gene family) karena terdiri dari beberapa gen seperti Hsp100, Hsp90, Hsp70, Hsp60, dan small heat shock proteins (Hsp40 dan Hsp20). Gen Hsp terletak pada berbagai kromosom dari organisme yang sama. Oleh karena sifatnya yang konserve itu, kemiripan heat shock protein manusia dengan Drosophila sebesar 73%, sedangkan dengan E. coli sebesar 50% (Lindquist 1986). Posisi Hsp70 terletak di kromosom 1 sampai 5 pada Arabidopsis (Sung et al. 2001), di kromosom 1, 2, 3, dan X pada Drosophila melanogaster (Gunawardena dan Rykowski 2000), di kromosom 2 pada nyamuk Anopheles darlingi (Raphael et al. 2004), di kromosom 6 dan 18 pada ikan zebra (Yamashita et al. 2010), di kromosom 3, 10 dan 23 pada bovine (Grosz et al. 1992; Gallagher et al. 1993), di kromosom 1,4, 5, 6, 9, 10, 11, 13, 14, 20, dan 21 pada manusia (Grosz et al. 1992; Brocchieri et al. 2008).

Penamaan awal Heat shock protein berdasarkan berat molekul setiap proteinnya, seperti Hsp70, 72, 73, dan lainnya, serta dikelompokkan berdasarkan ukuran umum yang terdekat sebagai contohnya adalah famili gen HSP70. Hsp70 adalah salah satu anggota dari kelompok heat shock protein yang paling banyak ditemukan pada semua sel organisme dengan berat molekul sebesar 70 kiloDalton (Farcy et al. 2009).

Selain berdasarkan berat molekul, Heat shock protein dikelompokkan menjadi isoform constitutive dan inducible. Bentuk Hsp yang constitutive, yaitu protein yang selalu ada dan dinamakan Heat shock cognate (Hsc). Hsc diekspresikan dibawah kondisi fisiologis tanpa induksi dan berperan sebagai

molecular chaperone. Sedangkan bentuk yang inducible dinamakan Heat shock protein (Hsp), yang disintesa oleh sel dibawah kondisi stres dan berperan dalam melindungi sel (Farcy et al. 2009), dan memperbaiki lembar protein yang memproduksi pelipatan akibat stres.

Hsp70 berfungsi sebagai molecular chaperon, yaitu agen molekuler yang dapat membantu mencegah agen molekuler lain dari agregasi yang tidak tepat dan mengembalikan kesalahan pelipatan strukturnya yang rusak selama atau setelah mengalami stres (Lindquist 1986; Feder dan Hofmann 1999). Dengan fungsi tersebut, Hsp70 melipat kembali protein yang terurai ketika terjadi denaturasi parsial (Molina et al. 2000). Oleh karena kemampuan menginduksi beberapa stres proteotoxic intraseluler (kerusakan fungsi sel yang disebabkan oleh kesalahan pelipatan protein) dalam waktu yang cepat, maka Hsp70 dapat


(1)

(2)

SUMMARY

NURLISA ALIAS BUTET. Phenotypic Plasticity on Blood Cockle Anadara granosa L. as a Response to Environmental Pollution: a Case Study in Coastal Waters of Banten. Supervised by DEDY DURYADI SOLIHIN, KADARWAN SOEWARDI, and ASEP SAEFUDDIN.

Blood cockle Anadara granosa is a commercial bivalve inhabiting intertidal ecosystem. Coastal waters of Banten such Banten Bay, Bojonegara and Lada Bay, Panimbang are potential areas for blood cockle grow out. Banten Bay is a semi-closed waters facing North Coast of Java. Such industries as coal stockpile, fibre boat manufacturer, chemical industry, steel industry, and many others have been long existed there. Lada Bay geographically is located at the west coast of Banten Province and exposed to Sunda Strait. Anthrophogenic activity is signified by coal fueled power plant, operated in 2009. Anthrophogenic sewages become a problem and lead to environmental pollution. Mercury is one of the pollution source.

Inspite of being exposed to polluted habitat, therein blood cockle withstands and reproduce annually. Resistancy to such harmful environmental condition does not take for granted, there must be mechanism controlling the ballance between stress and resistancy. Without controlling factor, blood cockle in both areas is certainly extinct. The factor should be universal for individuals and able to recognize type of stress to be responded briefly. Continuous stress directs the controlling factor to acquintedly recognize and respond it; consequently, the blood cockle may adapt with the condition. The controlling factor, however, gives divergent response to stress, depending on type and level of stress. The factor comprises celluler stress response expressing stress protein and being controlled by one or more gene family. The gene family usually expressed during stress is heat shock protein (Hsp) as cytoprotector. Overexpression of a member of such Hsp gene family as Hsp70 indicates ability of the gene to protect tissue and cell, therefore they withstand to stress. Subsquently, more complex organs are protected from stress. Overexpression of Hsp70 gene is a result of individual habituation to stress. Lack of expression indicates inability of the gene to protect cell, therefore, organism’s resistancy declined. The resistancy defines threshold onto stress-stimulating environmental parameter and provides choice of phenotypic changes as an adaptation strategy.

Heterogenous environmental condition in Bojonegara and Panimbang waters may result in various stress responses in blood cockle. Bojonegara blood cockle has long been acquinted with heavy metal-contaminated waters, while Panimbang blood cockle is just exposed to environmental changes. Responses resulted from heterogenous environment are biochemical, physiological, and phenotypic responses. Biochemical and physiological responses appear in the short period of time and become a bottom line for phenotypic plasticity. Phenotypic plasticity occur for longer period of time and those characters are fixed. To support the notion that blood cockle in Bojonegara and Panimbang encounter harmful environment, yet they still survive therein, this research was,


(3)

thus, aimed at analyzing the ability of the blood cockle to develop phenotypic plasticity through Hsp70 gene expression, and spatial phenotypic variations. Additionally, tolerance limit of the cockle on mercury contamination through histological approach has been also studied.

Prior to investigate the existence and characterization of Hsp70 gene, quantitative and qualitative standarization of mRNA materials should be conducted. Standarization comprises application of housekeeping gene as an internal control. The success of this step would facilitate target gene detection. β -actin gene has been used as the housekeeping gene. Characterization of β-actin gene produced a specific gene for blood cockle with 353 bp nucleotide in length. cDNA amplification for β-actin gene resulted in high integrity and consistency product, therefore the gene is reliable to be used for internal control. Hsp70 gene showed mercury concentration-dependent expression and the expression varied on population of origin. Hsp70 gene increased on certain mercury concentration, the increasing trend was comparable for Bojonegara and Panimbang blood cockle. However, Hsp70 gene expression on Bojonegara blood cockle was higher. The tendency of Hsp70 gene expression correlated with gill histological analysis. At the certain mercury concentration which blood cockle expressed low Hsp70 gene level, gill injury occured as a necrosis. Habituation and adaptation gave rised to Bojonegara blood cockle developed the plasticity as it was exposed to higher mercury concentration. Heavy metal contamination in Panimbang is just a beginning, therefore, habituation level of blood cockle and other organisms to the condition is still subsided. As a consequence, Panimbang blood cockle has not yet been able to overcome the challenge from high mercury concentrations. Hsp70 gene in Panimbang blood cockle has not been capable to develop plasticity as a mean of adaptation.

This research prooved that heterogenous condition of Bojonegara and Panimbang supported the existence of phenotypic variation despite blood cockle population from both areas has come from one genetic source. Phenotyic plasticity has been achieved on several characters measured. Plastic phenotype such as length, height, and width of shell is a self defence to protect blood cockle soft in response to environmental challenge. It requires much time to develop phenotypic plasticity, because the plasticity involved several factors (biochemical and physiological) and phases (acclimatization, adjustment, adaptive, and adaptation). Based on time preiod of pollution exposure on ecosystem correlated with industrialization, Bojonegara blood cockle has attained phase of adaptation. During the phase, acquired character on phenotype is generated and becomes specific characters. On the other hand, Panimbang blood cockle is stil on adjustment phase.


(4)

RINGKASAN

NURLISA ALIAS BUTET. Plastisitas Fenotip Kerang Darah Anadara granosa L. dalam Merespon Pencemaran Lingkungan: Studi Kasus di Perairan Pesisir Banten. Di bawah bimbingan DEDY DURYADI SOLIHIN, KADARWAN SOEWARDI, dan ASEP SAEFUDDIN.

Kerang darah Anadara granosa merupakan bivalvia komersial yang hidup di perairan intertidal. Perairan pesisir Banten seperti Teluk Banten, Bojonegara dan Teluk Lada, Panimbang merupakan daerah yang potensial bagi perkembangan hidup kerang darah. Teluk Banten merupakan perairan semi tertutup yang menghadap Pantai Utara Jawa dan di sana sejak lama telah berdiri berbagai industri, seperti stockpile batu bara dan pabrik perakitan perahu fiber yang menghasilkan limbah bahan kimia. Sedangkan perairan Teluk Lada secara geografis merupakan perairan pesisir yang terbuka ke arah Selat Sunda. Kegiatan antropogenik di sekitar perairan tersebut yang paling signifikan adalah Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), dioperasikan secara resmi sejak tahun 2009. Limbah yang dihasilkan oleh aktivitas antropogenik di sekitar kedua perairan tersebut menimbulkan permasalahan berupa pencemaran lingkungan bagi perairan sekitarnya dan bagi organisme yang hidup di dalamnya. Bahan pencemar yang paling nyata terdeteksi di kedua perairan tersebut adalah logam berat, terutama merkuri.

Walaupun demikian, kerang darah masih dapat bertahan hidup dan bereproduksi selama bertahun-tahun. Pertahanan (resistensi) tersebut tidaklah muncul secara tiba-tiba, tetapi pasti ada mekanisme yang mengatur keseimbangan antara stres dan resistensi. Tanpa adanya faktor pengatur, maka kerang darah pasti sudah punah dari kedua perairan tersebut. Faktor pengatur haruslah bersifat universal untuk semua individu dan dapat mengenali jenis stres untuk kemudian direspon dengan cepat. Stres yang berlanjut menjadikan faktor pengatur tersebut terbiasa mengenali dan meresponnya, sebagai konsekuensinya kerang darah dapat beradaptasi dengan kondisi yang demikian. Namun demikian, faktor pengatur akan memberikan respon yang berbeda terhadap stres, tergantung pada jenis dan level stres, serta habituasi terhadap stres. Faktor pengatur tersebut adalah berupa respon stres seluler yang mengekspresikan protein stres dan dikendalikan oleh famili gen. Famili gen yang biasa terekspresi pada saat stres adalah famili gen heat shock protein (Hsp) yang berfungsi sebagai pelindung sel (cytoprotector). Ekspresi berlebih dari salah satu anggota famili gen Hsp seperti gen Hsp70 menunjukkan kemampuan gen tersebut untuk melindungi jaringan dan sel, sehingga jaringan dan sel mempunyai daya tahan terhadap stres. Sebagai konsekuensinya, tingkatan organ yang lebih kompleks juga terlindungi dari stres, akibatnya kerang darah dan organisme lain menjadi resisten dengan stres yang dihadapi. Munculnya ekspresi berlebih disebabkan oleh habituasi terhadap stres. Sedangkan kekurangan atau ketiadaan ekspresi gen Hsp menunjukkan rendahnya kemampuan untuk melindungi sel, sehingga organisme menjadi kurang atau tidak tahan. Daya tahan (resistensi) inilah yang akan menentukan batas ambang


(5)

terhadap suatu parameter lingkungan yang menstimulasi stres dan perlu atau tidaknya perubahan fenotip sebagai strategi adaptasi.

Perbedaan kondisi lingkungan Bojonegara dan Panimbang menimbulkan respon stres yang berbeda bagi kerang darah. Kerang darah Bojonegara telah lama terbiasa hidup pada kondisi yang terkontaminasi logam berat, sedangkan kerang darah Panimbang baru saja mengalami perubahan lingkungan. Respon yang disebabkan oleh perbedaan kondisi lingkungan yaitu berupa respon biokimia, fisiologis, genotip, dan fenotip. Respon biokimia dan fisiologis terjadi pada periode waktu yang cepat dan menjadi peletak dasar terjadinya perubahan fenotip, sedangkan respon genotip dan fenotip terjadi pada periode waktu yang lebih lama dan bersifat menetap. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menganalisis kemampuan kerang darah Anadara granosa dalam mengembangkan plastisitas fenotip melalui pendekatan ekspresi gen Hsp70 dan analisis keragaman fenotip. Di samping itu juga, batas toleransi kerang darah sebagai konsekuensi terhadap cemaran merkuri melalui pendekatan histologis akan dipelajari.

Sebelum mendeteksi keberadaan dan karakterisasi gen target Hsp70, maka di dalam tahapan studi yang menyangkut pendekatan ekspresi gen target selalu dilakukan standarisasi kualitatif dan kuantitatif material RNA terutama mRNA. Standarisasi tersebut biasanya dilakukan dengan menggunakan housekeeping gene sebagai kontrol internal. Keberhasilan dari tahapan ini akan dapat memfasilitasi dalam mendeteksi keberadaan gen target dalam hal ini gen Hsp70. Housekeeping gene yang digunakan pada penelitian ini adalah gen β-aktin.

Karakterisasi gen β-aktin menghasilkan gen β-aktin spesifik untuk kerang darah Anadara granosa (gen AgACT) dengan ukuran 353 bp. Amplifikasi cDNA untuk gen β-aktin menghasilkan produk yang berintegritas tinggi dan konsistensi untuk semua sampel yang diisolasi, sehingga layak dijadikan kontrol internal untuk menormalisasi ekspresi gen Hsp70. Gen Hsp70 menunjukkan ekspresi yang tergantung pada konsentrasi merkuri (mercury concentration-dependent expression) dan asal populasi. Ekspresi gen Hsp70 meningkat pada konsentrasi merkuri tertentu, dan peningkatan ekspresi ini berpola sama baik untuk kerang darah Bojonegara maupun Panimbang. Namun demikian, ekspresi gen Hsp70 pada kerang darah Bojonegara lebih tinggi dibandingkan dengan kerang darah Panimbang. Pola yang demikian, sesuai dengan analisis histologi insang yang menunjukkan adanya kerusakan pada induksi konsentrasi merkuri yang sama. Karena habituasi dan adaptasi, gen Hsp70 kerang darah Bojonegara mampu mengembangkan plastisitasnya pada saat kerang darah dipaparkan pada konsentrasi merkuri yang jauh melebihi batas ambang. Sedangkan di perairan Teluk Lada, Panimbang, kerang darah belum mampu mengatasi tantangan berupa konsentrasi merkuri yang tinggi. Hal ini disebabkan oleh periode waktu paparan kontaminasi bahan pencemar di perairan Panimbang masih baru, sehingga tingkat habituasi masih rendah. Gen Hsp70 kerang darah Panimbang belum mampu menunjukkan adanya plastisitas yang dapat mendukung proses adaptasi.

Penelitian ini juga membuktikan bahwa perbedaan kondisi perairan Bojonegara dan Panimbang mendorong terbentuknya keragaman fenotip walaupun populasi kerang darah dari kedua perairan tersebut berasal dari sumber genetik yang sama. Plastisitas fenotip telah bekerja pada beberapa karakter fenotip kerang darah yang diukur. Fenotip yang plastis seperti panjang, tinggi,


(6)

dan tebal cangkang merupakan bentuk pertahanan diri dan strategi adaptasi kerang darah dalam merespon tantangan lingkungan. Terbentuknya plastisitas fenotip memerlukan periode waktu yang lama, karena melibatkan beberapa faktor (biokimia dan fisiologis) dan fase (aklimatisasi, penyesuaian, adaptif dan adaptasi). Berdasarkan periode waktu paparan kontaminasi bahan pencemar yang erat kaitannya dengan masa industrialisasi, maka kerang darah Bojonegara telah mencapai fase adaptasi. Pada fase adaptasi ini terbentuk karakter akis (acquired character) pada fenotip yang menjadi penciri kerang darah Bojonegara. Sedangkan kerang darah Panimbang masih dalam fase penyesuaian.

Berkembangnya plastisitas fenotip, menyebabkan kerang darah Bojonegara dapat bertahan dan beradaptasi, dengan batas toleransi fisiologis yang tinggi terhadap stres yang distimulasi oleh bahan pencemar seperti merkuri. Dengan demikian, kerang darah Bojonegara dapat dijadikan hewan model untuk perairan tercemar. Sedangkan bagi kerang darah Panimbang, masih diperlukan beberapa generasi lagi untuk mencapai tahap adaptasi.