Laju Eksploitasi dan Keragaan Reproduksi Kerang Darah (Anadara granosa) di Perairan Bondet dan Mundu, Cirebon, Jawa Barat

(1)

1.1. Latar Belakang

Aktivitas penangkapan sumberdaya kerang di perairan Cirebon yang intensif telah mengarah pada terjadinya penurunan stok. Salah satu sumberdaya potensial untuk perikanan tangkap yang sudah dieksploitasi oleh masyarakat adalah kerang darah. Kerang darah (Anadara granosa) merupakan bivalvia yang hidup di daerah intertidal dengan substrat pasir berlumpur sampai lumpur lunak. Kerang ini merupakan komoditi komersial yang menjadi sumber pangan. Permintaan yang terus meningkat, menyebabkan kerang ini menjadi salah satu target utama penangkapan di perairan Cirebon khususunya perairan Bondet dan Mundu. Hal ini menyebabkan harga kerang darah relatif lebih tinggi dibandingkan dengan jenis moluska lainnya.

Dinas Perikanan Tangkap Kabupaten Cirebon, hasil tangkapan kerang darah di perairan Cirebon mengalami penurunan. Kondisi ini terjadi sejak tahun 2005 sampai tahun 2009 telah terjadi produksi kerang darah yang ditangkap nelayan Cirebon. Aktivitas penangkapan yang berlangsung terus menerus merupakan salah satu faktor pemacu turunnya produksi. Pada tahun 2005 sampai tahun 2007 rata-rata produksi mencapai 5,325.70 ton/tahun. Namun pada tahun 2008 sampai tahun 2009 hanya mencapai 2,132.10 ton/tahun (DKP Kabupaten Cirebon 2010).

Penurunan produksi tersebut ditandai dengan semakin menurunnya hasil tangkapan sumberdaya kerang darah. Hal ini di indikasikan dengan semakin jauhnya areal penangkapan nelayan serta kecilnya ukuran kerang darah yang tertangkap. Penangkapan cenderung dilakukan eksploitatif dan dampaknya kegiatan penangkapan menjadi tidak terkontrol.

Akibatnya kerang darah yang tertangkap ukurannya menjadi kecil. Kerang darah dijual dalam bentuk hidup dan daging. Penjualan kerang darah pada nelayan penangkapan antara Rp 2.000-3.000/kg dan harga daging Rp 10.000-15.000/kg, sedangkan pada tingkat pengusaha harganya mencapai Rp 5.000-8.000/kg dan harga daging Rp 15.000-25.000/kg. Tingginya harga kerang darah mendorong nelayan terus melakukan penangkapan dan dkhawatirkan akan mengalami penurunan.


(2)

Penurunan populasi kerang darah selain karena penangkapan, juga disebabkan oleh ancaman tekanan lingkungan (pencemaran). Faktor lingkungan seperti limbah kegiatan industri dan pemukiman yang dilakukan manusia didaratan di sekitar perairan Cirebon. Bahan pencemaran masuk ke pesisir melalui sungai yang menjadi habitat kerang darah. Salah satu bahan pencemaran yang dapat mempengaruhi kualitas perairan dan mengancam kelangsungan hidup kerang darah adalah bahan organik.

Mengingat peran dan keberadaan populasi kerang darah sebagai sumber pengasilan nelayan dan juga untuk menjaga keseimbangan ekosistem, maka diperlukan upaya untuk tetap menjaga ketersedian populasi ini. Secara tidak langsung lingkungan yang sesuai akan mendukung kerang darah tetap hidup dan mempertahankan keturunanya melalui reproduksi. Untuk mengantisipasi agar populasi kerang darah selalu tersedia, diperlukan pengkajian dan penelahaan yang mendalam tentang struktur populasi, keterkaitan antara tingkat eksploitasi yang berbeda terhadap sumberdaya kerang darah dan pengaruhnya terhadap keragaan reproduksi. Informasi dari hasil penelitian ini diharapkan menjadi salah satu pertimbangan dalam pengelolaan dan pemanfaatan, pada khususnya sumberdaya kerang darah sehingga populasinya di ekosistem dapat di pertahankan dan berkelanjutan.

1.2. Perumusan Masalah

Permasalahan akibat kegiatan penangkapan kerang darah yaitu terjadinya penurunan stok. Permasalahan ini di indikasikan denagn produksi cenderung menurun di sertai dengan hasil tangkapan yang berukuran semakin kecil dan di samping itu daerah penangkapan semakin jauh dari pantai. Hal tersebut diduga sebagai penyebabnya adalah sistem penangkapan yang bersifat eksploratif dan tidak memperhatikan struktur polulasi, sehingga dapat menggangu siklus hidup, struktur populasi, pengurangan biomasa, penurunan jumlah kelimpahan, dan penurunan ukuran kerang yang tertangkap, sehingga akan berdampak terhadap penurunan hasil tangkapan di perairan tersebut.

Penelitian ini dilakukan pada lokasi penangkapan (fishing ground) yang berbeda dan menggunakan spesies kerang darah yang sama. Berdasarkan beberapa


(3)

keragaan biologi reproduksi tersebut, pengelolaan terhadap sumberdaya kerang diharapkan dapat dilaksanakan melalui pemanfaatan yang optimal dan berkelanjutan. Diagram alir perumusan masalah dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Skema perumusan masalah keterkaitan laju eksploitasi dengan reproduksi kerang darah (Anadara granosa)

1.3. Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis laju eksploitasi berdasarkan hasil analisis mortalitas alami serta keragaan reproduksi dari sumberdaya kerang darah yang meliputi rasio kelamin, tingkat kematangan gonad (TKG), indeks kematangan gonad (IKG). Selain itu penelitian ini juga bertujuan mengetahui pengaruh laju eksploitasi terhadap keragaan reproduksi kerang darah diperairan Bondet dan Mundu.

1.4. Manfaat

Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi mengenai beberapa keragaan reproduksi kerang darah di perairan Bondet dan Mundu, selanjutnya dapat menjadikan input dasar bagi proses untuk merumuskan pola pengelolaan kerang darah oleh masyarakat dan pihak terkait.

Sumberdaya Kerang Darah

Upaya Penangkapan

Siklus hidup:

Reproduksi Penurunan Produksi

Ukuran semakin kecil Laju Eksploitasi

Pengelolaan Sumberdaya lestari


(4)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Klasifikasi dan Morfologi Kerang Darah (Anadara granosa)

Menurut Linnaeus (1958) in Dance (1974) kerang darah (Anadara granosa) (Gambar 2) dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

Kingdom : Animalia

Filum : Moluska

Kelas : Bivalvia

Subkelas : Lamellibranchia

Ordo : Arcoida

Superfamili : Arcacea

Famili : Arcidae

Genus : Anadara

Species : Anadara granosa Linn (1958)

Nama umum : Kerang darah Nama lokal : Kerang darah

Gambar 2. Kerang darah (A. granosa)

Berdasarkan FAO (2009) A. granosa memiliki nama sinonim Arca

(Tegillarca) granosa Linn 1758, sedangkan nama FAO A. granosa adalah

En-Granular ark (formerly reported as”blood cockle”), Fr-Arche granuleuse, Sp-Arco

del Pacifico occidental; Anadara bisenensis Shrenck & Reinhart, 1938; Anadara obessa Kotaka 1953; A. granosa Kamakurensis Noda 1966. Jenis kerang ini juga


(5)

memiliki nama lokal yang berbeda-beda pada setiap daerah, sebagai contoh di

Malaysia dikenal dengan nama kerang, di Thailand dengan sebutan “hoi kreng”, di Kanton (China) disebut dengan “siham”, dan orang Inggris menamakannya dengan mangrove cockle atau blood cockle. Di Indonesia A. granosa memiliki nama lokal yaitu kerang darah (Suwignyo et al. 2005). Penamaan kerang darah karena kelompok kerang ini memiliki pigmen darah merah/haemoglobin sehingga disebut

bloody cockles.

Kerang darah memiliki cangkang simetris bilateral dengan mantel lunak yang memadati antara dua cangkang lateral yang secara dorsal berhimpitan. Cangkang yang melindungi tubuh berbentuk bulat yang ditandai dengan garis pertumbuhan konsentrik yang berputar memusat kearah tempat yang lebih besar (umbo) dekat dengan ujung anterior bagian dorsal. Sendi ligamen menahan cangkang bagian dorsal secara bersama-sama dan membentang untuk membuat kedua belah cangkang berpisah secara ventral. Permukaan interior pada masing-masing cangkang memiliki tanda yang menandakan dimana beberapa otot melekat. Otot ini berperan dalam membuka cangkang dan menggerakan kakinya (Storer et al. 1977). Barnes (1987) menambahkan A. granosa termasuk Famili Arcidae yang memiliki ciri cangkang dengan bentuk segitiga, persegi atau oval yang umumnya sama sisi dan memiliki jari-jari yang kuat dan ornamen konsentris. A. granosa merupakan kerang yang memiliki ciri tubuh yang tebal dan menggembung, cangkang bulat panjang dan hampir sama pada kedua sisinya. Selain itu, A.granosa juga memiliki alur sebanyak 20 yang saling berhubungan dengan bintil yang berbentuk seperti persegi panjang. Warna cangkangnya putih kecoklatan hingga warna gelap ke daerah periostracum

(lapisan zat tanduk cangkang). Periostracum pada kerang ini tipis dan lembut. Anatomi organ kerang di tunjukan pada Gambar 3.

Kerang darah (A. granosa) hidup di daerah pasang surut umumnya ditemukan pada lahan pantai yang berada di antara daerah rataan pasang dan rataan surut, tetapi hampir tidak ditemukan di atas garis ratan pasang. Kerang darah hidup di daerah tropik pada lumpur halus atau kadang-kadang pasir berlumpur dan dilindungi atau berasosiasi dengan pohon-pohon bakau (Broom 1985). Pathansali (1966) menambahkan walaupun A. granosa L. ditemukan juga pada lumpur berpasir, jumlah dan ukurannya tidak sebaik di lumpur halus yang payau dan habitat yang


(6)

ideal bagi A. granosa adalah pada substrat dengan kandungan lumpur halus berukuran kurang dari 0,124 mm (diameter lumpur) sebanyak dari 90% pada hamparan pasang yang terlindung dari ombak dan terletak di muara atau diluar dengan salinitas antara 18 sampai 30 ‰ dengan kecerahan 0,5-2,5 m dan pH 7,5-8,4 (Pathansali (1966) in Mubarak 1987). Kerang darah terdapat di pantai laut pada substrat lumpur berpasir dengan kedalaman 10 m sampai 30 m. Kerang ini hidup dalam cekungan-cekungan di dasar perairan di wilayah pantai pasir berlumpur. Broom (1982) in Broom (1985) berdasarkan penelitian yang dilakukan di Sungai Selangor dan Sungai Buloh, Malaysia, menyatakan bahwa A. granosa paling banyak ditemukan pada daerah dengan kandungan air substrat 55-65% dan proporsi diameter partikel yang berukuran <53µm di kedua lokasi tersebut sebesar 80-90%. Tiap jenis Anadara menghendaki lingkungan yang berbeda. A. antiguata, misalnya, hidup di perairan berlumpur dengan tingkat kekeruhan tinggi. Kerang darah dilihat dari populasinya terbesar umumnya ditemukan pada daerah pasang surut berlumpur lunak berbatasan dengan hutan bakau dan hamparan lumpur yang berada dekat muara dengan kisaran salinitas 28-31‰ pada musim kemaru dan salinitas 15‰ di musim hujan, hal ini merupakan kondisi yang disukai kerang darah (Broom 1985).

Dody (1998) dalam penelitiannya mengatakan kerang darah dijumpai membenamkan diri dalam substrat sedalam 5-10 cm. Warga Anadarinae mempunyai organ siphon yang tidak berkembang dengan sempurna, aliran air masuk (Inhalent) dan keluar (exhalent) terjadi melalui organ yang berbeda dibagian butiran (posterior margin) dari cangkangnya. Dengan tipe habitat seperti disebutkan di atas maka lumpur dengan muda diserap, sehingga diserapnya lumpur maka kerang darah memperoleh pakan yang terkandung dalam lumpur yang berbentuk detritus dan plankton dengan cara dengan menyaring air (filter feeder) (Tetelepta 1990).

Kerang darah termasuk kedalam subkelas Lamellibranchia, dengan filamen insang memanjang dan melipat. Menurut Brogstrom (1962); OFCF (1987); Budiyanto (1990); Winarno (1991) in Trilaksi dan Nurjanah (2004) bagian yang dapat dimakan dari kerang terdiri dari mantel 3-5% kaki 5-7%, otot adductor 2,5-3%, sedangkan siphon, insang dan organ pencernaan merupakan bagian yang tidak dimakan (limbah) yang besar sekitar 4-7%.


(7)

Komposisi kimia kerang darah meliputi kandungan protein 9-13 %, lemak 0-2 %, glikogen 1-7 %. Komposisi kimia sangat bervariasi tergantung pada spesies, jenis, kelamin, umur, musim, dan habitat. Dalam 100 gram daging kerang terkandung kurang lebih 300 kalori, sedangkan rendemannya sekitar 20%. Jenis kerang ini termasuk makanan yang mengandung kolestrol tinggi berkisar antara 100-200 mg per 100 gram berat dapat dimakan (Borgstrom 1962; OFCF 1987; Budiyanto et al 1990; Winarno 1991 in Trilaksi dan Nurjanah 2004).

Gambar 3. Anatomi organ kerang (Wahyono 1993)

2.2. Alat Tangkap

Penangkapan atau pengambilan kerang banyak dilakukan di perairan Cirebon, Kabupaten Cirebon. Penangkapan kerang merupakan salah satu mata pencarian nelayan Cirebon. Masyarakat sekitar melakukan kegiatan penangkapan dengan menggunakan tangan/gogo (without gear), kemudian berkembang terus menerus secara perlahan-lahan dengan menggunakan alat tangkap yang masih tradisonal hingga modern saat ini.

Alat tangkap yang banyak digunakan nelayan Cirebon khususnya untuk penangkapan kerang darah adalah garuk. Pada prinsipnya alat garuk berbentuk kantong jaring yang dilengkapi dengan kisi berupa barisan gigi-gigi dari besi yang dipasang di bagian bawah mulut kantong jaring tersebut. Pada saat


(8)

pengoprasiannya, garuk ditarik menyusuri di atas dasar perairan seperti jaring trawll dasar. Gigi-gigi kisi menggaruk kerang yang ada di dasar perairan, sebagian akan tergaruk dan masuk ke dalam kantong. Jenis kerang yang banyak tertangkap di perairan Cirebon adalah kerang bulu, kerang darah, kerang mencos, kerang putih, dan simping. Pada umumnya penangkapan kerang dengan garuk dilakukan pada siang hari.

Gambar 4. Deskripsi alat tangkap garuk (Sri 2009)

2.3. Aspek Reproduksi Kerang Darah

Hewan ini termasuk hewan berumah dua (dioecious). Menurut Wilmoth (1987), pada umumnya bivalvia dioecious, namun ada beberapa yang hermaprodit seperti pada Ostrea (oysters: tiram), pecten (scallops: kerang) dan Anadonta (kerang air tawar). Pada hewan dioecious terjadi pemisahan antara jantan dan betina dan jenis kelamin terpisah secara sempurna. Produk genital (gonad) terhubung dengan rongga ginjal, adapula yang terpisah dekat dengan genital duct. Umumnya rongga terbuka kelapisan suprabranchial, dimana gamet dibawah keluar dan pembuahan ini terjadi secara eksternal dan perkembangan terjadi secara tidak langsung (Brusca &


(9)

Richard 1990). Dua gonad mencakup intestinal loops, yaitu bagian yang berhubungan dengan usus dan keduanya dalam kondisi yang sulit untuk dideteksi (Barnes 1987).

Pelepasan gamet pada pembuhan eksternal sangat di pengaruhi oleh lingkungan, gamet disalurkan secara langsung ke bagian luar oleh gonaduct yang terpisah, dimana tidak berhubungan dengan nephridia. Reproduksi jenis kerang darah ini terjadi secara eksternal. Telur yang menetas akan berkembang menjadi larva yang bersifat planktonik sampai beberapa minggu, kemudian akan mengalami metamorphosis. Larva ini kemudian berkembang menjadi spat (juvenil), hingga menjadi kerang yang sempurna sampai dewasa (Barnes 1987).

2.3.1. Rasio kelamin

Berdasarkan Hamilton (1967) rasio kelamin adalah perbandingan antara individu jantan dan betina dalam suatu populasi. Secara ideal perbandingan antara individu jantan dan betina adalah 1:1 (50% jantan dan 50% betina), namun pada kenyataannya di alam perbandingan antara jantan dan betina terjadi penyimpangan dari pola 1:1 yang disebabkan olah pola tingkah laku bergerombol antara jantan dan betina. Hal ini di pengaruhi oleh pola hidup yang disebabkan oleh ketersediaan makanan, kepadatan populasi, dan keseimbangan rantai makanan (Effendie 2002). Menurut Ball dan Rao (1984) in Effendie (2002), penyimpangan dari kondisi ideal disebabkan oleh faktor tingkah laku, perbedaan laju mortalitas, dan pertumbuhanya. Keseimbangan rasio kelamin dapat berubah menjelang pemijahan.

Perbandingan jumlah jenis kelamin dapat digunakan untuk menduga tingkat keberhasilan dalam pemijahan, yaitu dengan melihat proporsi kerang jantan dan kerang betina. Perbandingan jenis kelamin juga dapat mempelajari struktur populasi di dalam menduga kesimbangannya. Menurut Purwanto et al. (1986) in Novitriana (2004) menyatakan bahwa untuk mempertahankan populasi diharapkan memiliki perbandingan ikan jantan dan ikan betina berada dalam kondisi seimbang atau ikan betina lebih banyak. Rasio kelamin penting diketahui karena berpengaruh terhadap kestabilan suatu populasi.


(10)

2.3.2. Tingkat kematangan gonad (TKG)

Tingkat kematangan gonad adalah tahap-tahap tertentu perkembangan gonad sebelum dan sesudah memijah. Pengamatan tingkat kematangan gonad dilakukan dengan cara morfologi dan histologis. Dengan cara morfologi tidak akan sedetail cara histologi akan tetapi cara morfologi banyak dan mudah dilakukan dengan dasar mengamati morfologi gonad antara lain ukuran panjang gonad, bentuk gonad, berat gonad, dan perkembangan isi gonad (Effendie 2002). Syandri (1996) menyatakan bahwa selama perubahan yang terjadi di dalam ovarium dan testis, maka terjadi pula perubahan bobot dan volume gonad yang menjadi tolak ukur dalam penentuan tingkat kematangan gonad (TKG), sedangkan dengan cara histologi, anatomi perkembangan gonad dapat dilihat lebih jelas dan akurat perkembangan gonad dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor lingkungan dan hormon (Affandi dan Tang 2002).

Mubarak (1987) menyampaikan kembali penelitian mengenai reproduksi kerang darah A. granosa L. di Malaysia yang dilakukan oleh Pathansali (1966), bahwa gonad kerang tersebut mulai berkembang pada ukuran terkecil 15 sampai 16 mm. Perkembangan gonad mencapai maksimum pada bulan Juli atau Agustus. Kematangan gonad terjadi pada saat kerang darah mencapai ukuran panjang 18-20 mm dan berumur kurang dari satu tahun. Adapun pemijahan mulai terjadi pada ukuran 20 mm dan kerang darah memijah sepanjang tahun dengan puncaknya biasanya terjadi pada bulan Juni sampai Agustus ketika suhu air laut sekitar 27°C sampai 28°C (Broom 1985). Informasi mengenai tingkat kematangan gonad diperlukan untuk mengetahui perbandingan kerang yang matang gonad dengan kerang yang belum matang gonad dari stok kerang di perairan, selain itu dapat mengetahui waktu pemijahan, lama pemijahan dalam setahun, frekuensi pemijahan dan umur atau ukuran kerang pertama matang gonad.

Tingkat kematangan gonad dapat memberikan informasi atau keterangan apakah kerang akan memijah, baru memijah atau selasai memijah. Afiati (2007) menyebutkan bahwa kerang darah memijah sepanjang tahun secara bertahap (partial spawner). Di Penang, Thailand periode utama proses pemijahan kerang darah terjadi antara bulan Juli hingga Oktober, puncak pemijahan pada bulan Agustus atau


(11)

September (Broom 1985). Secara alamiah TKG akan berjalan menurut siklusnya sepanjang kondisi makanan dan faktor lingkungan tidak berubah (Handayani 2006).

Pendugaan ukuran pertama kali matang gonad merupakan salah satu cara untuk mengetahui perkembangan populasi dalam suatu perairan. Menurut penelitian yang telah dilakukan Broom (1985) diperoleh data bahwa kerang darah pertama matang gonad pada selang ukuran panjang cangkang 18-20 mm dan berumur kurang dari satu tahun. Berdasarkan penelitian Marliana (2010) menyatakan bahwa kerang darah jantan pertama matang goand pada ukuran panjang cangkang 18,5 mm dan kerang darah betina pertama kali matang gonad pada ukuran panjang cangkang 19,9 mm. Narasimham (1988) menambahkan bahwa kerang darah memijah sepanjang tahun dan bulan pemijahan berbeda pada setiap tahunnya. Siklus pemijahan dapat mencapai 2-4 kali dalam satu tahun. Faktor-faktor yang mempengaruhi saat pertama kali kerang matang gonad adalah faktor internal (perbedaan spesies, umur, ukuran, serta sifat-sifat fisiologis dari kerang tersebut dan faktor eksternal (makanan, suhu, arus, serta adanya individu yang berlainan jenis kelamin yang berbeda dan tempat memijah yang sama) (Atmadja 2007).

2.3.3. Indeks kematangan gonad (IKG)

Indeks Kematangan Gonad (IKG) adalah persentase perbandingan berat gonad dengan berat tubuh ikan (Effendie 2002 ). Menurut Niskolsky (1997) in Effendie (2002) menggunakan tanda utama untuk membedakan kematangan gonad berdasarkan berat gonad secara alamiah. Hal ini berhubungan dengan ukuran dan berat tubuh secara keseluruhan. Indeks kematangan gonad merupakan cara untuk mengetahui perubahan yang terjadi pada gonad pada setiap kematangan secara kuantitatif.

Perubahan IKG erat kaitnya dengan tahap perkembangan telur. Sejalan dengan pertumbuhan gonad, gonad akan semakin bertambah berat dan bertambah besar mencapai ukuran maksimum ketika ikan memijah (Atmadja 2007), kemudian menurun dengan cepat sampai selesai pemijahan. Adakalanya nilai IKG dihubungkan dengan TKG yang pengamatanya berdasarkan ciri-ciri morfologi kematangan gonad. Perbandingan itu akan tampak hubungan antara perkembangan


(12)

di dalam dan luar gonad. Menurut Marliana (2010) bahwa kerang jantan pertama kali matang gonad pada ukuran yang lebih kecil daripada kerang betina.

2.4. Aspek Eksploitasi dan Reproduksi

Di dalam suatu habitat populasi kerang yang tidak ditangkap, biomasa atau berat total kerang akan tumbuh mendekati daya dukung (carrying capacity). Populasi kerang akan lebih banyak jika kerang yang berumur lebih tua lebih besar dari pada kerang muda jika dibandingkan dengan keadaan populasi di habitat yang ada kegiatan penangkapan. Ketika terjadi penangkapan maka sebagian besar kerang dewasa dan berukuran besar tertangkap. Pengurangan kerang akibat penangkapan ini mengakibatkan turunnya biomasa dibawah daya dukung habitat dan meningkatkan kesempatan bertumbuh bagi kerang kecil (Murdiyanto 2004). Selanjutnya Widodo dan Suadi (2006) mengenalkan istilah rekruitment overfishing

yang berarti pengurangan melalui penangkapan terhadap suatu stok sedemikian rupa sehingga jumlah stok induk tidak cukup banyak untuk memproduksi telur-telur yang kemudian menghasilkan rekrut terhadap stok yang sama.

Salah satu ciri populasi kerang yang telah mengalami tekanan eksplotasi adalah perubahan komposisi ukuran menjadi lebih kecil. Hal ini dapat mempengaruhi secara signifikan terhadap hasil reproduksi. Eksploitasi dengan skala besar menyebabkan perubahan struktur populasi kerang. Nelayan cenderung menangkap kerang yang berukuran besar dari pada kerang yang berukuran kecil. Konsekuensinya, populasi didominasi oleh kerang dengan ukuran kecil dengan pertumbuhan yang lebih cepat dan kematangan gonad yang lebih awal.


(13)

3. METODE PENELITIAN

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di perairan Cirebon yang merupakan wilayah penangkapan kerang darah. Lokasi pengambilan contoh dilakukan pada dua lokasi yang berbeda, yaitu lokasi pertama di perairan Bondet kedua di perairan Mundu (Gambar 5). Penentuan lokasi pengamatan di tentukan berdasarkan asumsi perwakilan daerah penelitian yaitu perairan Bondet mewakili bagian utara dan perairan Mundu mewakili bagian selatan. Selain itu, kedua lokasi tersebut di pilih karena memiliki tingkat produksi kerang yang tinggi di perairan Cirebon. Penelitian dilakukan pada bulan April-Juni 2011 dengan interval waktu pengambilan contoh satu bulan. Analisis contoh dilakukan di Laboratorium Pusat Antar Universitas (PAU), Laboratorium Fisika dan Kimia Lingkungan, Bagian Produktivitas dan Lingkungan Perairan, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, dan Laboratorium Kesehatan Ikan, Depertemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Lokasi penelitian dapat dilihat pada gambar berikut.

Gambar 5. Peta lokasi penelitian kerang darah (A. granosa) di perairan Bondet dan Mundu ,Cirebon, Jawa Barat


(14)

3.2. Bahan dan Peralatan

Hewan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah kerang darah yang berasal dari dua perairan yang berbeda yaitu perairan Bondet dan Mundu yang terletak di perairan Cirebon. Sebagai informasi penunjang, selain data primer dilakukan pengumpulan data sekunder.

Bahan-bahan kimia yang digunakan di lapangan meliputi larutan Bouin,

alkohol 70-100% untuk pengawetan gonad dan bahan kimia yang digunakan di di laboratorium meliputi Xylol dan pewarna haematoksilin-eosin (larutan untuk analisis histologis) untuk pembuatan preparat histologis.

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah perangkat perahu untuk mobilitas pengambilan contoh, alat penangkap kerang (garuk) untuk menangkap kerang, coolbox untuk menyimpan contoh, jangka sorong dengan ketelitian 0,01 mm untuk mengukur proyeksi profil, timbangan O-Haus ketelitian 0,0001 gram untuk mengukur bobot tubuh dan untuk mengukur bobot gonad, perangkat alat bedah, botol contoh, kertas label, cawan petri, wadah contoh, kamera digital, kompas bidik, GPS, mikroskop untuk pemotretan preparat histologis, dan perangkat pengukuran kualitas air seperti thermometer, refraktometer, pH meter, dan Secchi disk (Lampiran 11).

3.3. Metode Kerja

3.3.1. Prosedur kerja di lapangan

Penentuan lokasi stasiun pengamatan diasumsikan berdasarkan perwakilan daerah penelitian yaitu perairan Bondet mewakili bagian utara perairan Cirebon dan perairan Mundu mewakili bagian selatan perairan Cirebon. Selain itu, kedua lokasi tersebut di pilih karena memiliki tingkat produksi kerang yang tinggi di perairan Cirebon. Pengambilan contoh berupa kerang darah pada setiap lokasi penelitian dibagi menjadi 3 stasiun dan di setiap stasiun dilakukan sebanyak 3 kali ulangan dengan selang waktu satu kali per bulan dari bulan April 2011 hingga Juni 2011. Titik sampling di setiap stasiun penelitian ditentukan secara acak (random sampling) dan keberadaan kerang darah di perairan tersebut. Contoh kerang merupakan hasil tangkapan nelayan yang stasiun pengambilan contoh berdasarkan dengan lokasi penelitian.


(15)

Pengambilan contoh kerang darah (A. granosa) dengan menggunakan garuk. Garuk dioprasikan dengan cara menurunkan garuk tersebut ke dasar perairan, kemudian ditarik oleh kapal. Setiap kali jarak tertentu selama 30 menit garuk diangkat ke atas kapal untuk diambil hasilnya. Contoh kerang darah yang telah diambil dimasukan ke dalam coolbox yang berisi es. Selanjutnya diambil lagi secara acak sebanyak 6-12 ekor untuk diambil gonadnya dengan cara membeda tubuh kerang dari bagian kaki sampai ke perut, dengan menggunakan alat bedah. Selanjutnya gonad dipisahkan dan dimasukan ke dalam botol contoh yang telah diberi label kemudian diawetkan dengan larutan Bouin. Selain itu dilakukan pengukuran kualitas air untuk mengetahui kondisi perairan tersebut yang meliputi suhu, salinitas, pH, kecerahan, kecepatan arus dan kedalaman dilakukan pada saat pengamatan dan pengambilan data sekunder yang meliputi data statistik perikanan.

3.3.2. Prosedur kerja di laboratorium

3.3.2.1. Pengukuran panjang-berat dan pengamatan TKG

Kerang contoh yang telah di bawah ke laboratorium diukur morfometrik yang meliputi panjang cangkang (cm), lebar cangkang (cm), tinggi umbo (cm), tebal (cm), (Gambar 6) menggunakan jangka sorong dengan ketelitian 0,01 mm, berat total (g), berat daging (g), berat gonad (g), menggunkan timbangan O-haus dengan ketelitian 0,0001 gram, dan jenis kelamin kerang. Penentuan jenis kelamin dilakukan dengan pembedahan kemudian dilihat secara secara visual dari warna gonad, individu jantan diketahui dari gonad yang berwarna putih susu hingga putih krem, sedangkan yang betina gonadnya berwarna oranye hingga kemerahan,

Penentuan jenis kelamin dilakukan secara visual sedangkan penentuan TKG dilakukan berdasarkan ciri-ciri morfologi dan histologis. Histologis gonad berguna untuk mempelajari sel-sel gonad dengan lebih mendalam mengenai struktur, tekstur, dan fungsi dari bagian gonad yang diamati serta untuk mengamati perkembangan gonad kerang darah. Melalui histologis diharapkan akan dapat diketahui secara mendalam mengenai perkembangan yang terjadi di dalam sel gonad (Banks 1986 in

Suryaningrum 2001). Gonad ditimbang dengan menggunakan timbangan O-Haus

dengan ketelitian 0,0001 gram. Setelah itu Indeks kematangan gonad (IKG/GSI) dapat ditentukan.


(16)

Selanjutnya data yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel untuk digunakan dalam analisis rasio kelamin dan analisis tingkat kematangan gonad. Data panjang cangkang hasil pengukuran selanjutnya dikelompokkan berdasarkan kelas ukuran panjang setiap kelas ukuran panjang dibedakan untuk masing-masing jenis kelamin.

Gambar 6. Pengukuran proyeksi profil (Wahyono 1993)

3.3.2.2. Pembuatan preparat histologis gonad

Adapun pembuatan preparat histologis gonad kerang darah (A. granosa) dilakukan dengan prosedur sebagai berikut:

a. Contoh gonad dipotong 5-10 mm

b. Fiksasi dalam larutan Bouin selama 24 jam

c. Pengeringan (dehidrasi) dengan menggunakan alkohol secara bertingkat, yaitu 70 %, 80 %, 95 %, 100 %

d. Penjernihan (clearing) pada larutan Xylol, Xylol II, Xylol III e. Infiltrasi dengan parafin pada suhu 65-75°C

f. Penanaman (embedding) dan pembuatan blok parafin g. Penyayatan (mikrotomi) dengan ukuran 4-6 µm

h. Pewarnaan preparat jaringan gonad dengan menggunakan pewarna

haematoksilin-eosin

i. Pelekatan pada gelas objek

Proses pembuatan preparat histologis secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 9.


(17)

Klasifikasi tingkat kematangan gonad secara histologis dilakukan dengan membandingkan preparat histologis gonad kerang darah baik gonad jantan maupun betina hasil pengamatan dengan karakteristik kematangan gonad kerang darah yang dilakukan oleh Shain et al. (2006) dan Chipperfield (1953) in Setyobudiandi (2004) terhadap gonad kerang hijau (Pernaviridis), seperti disajikan pada Lampiran 10.

3.4. Pengumpulan Data Sekunder

Data sekunder meliputi data hasil tangkap kerang darah yang tertangkap, alat tangkap dan produksi diperairan Cirebon selama lima tahun terakhir. Data diperoleh dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Cirebon yang berhubungan langsung dengan kegiatan penangkapan kerang darah.

3.5. Analisis Data

3.5.1. Sebaran frekuensi panjang

Sebaran frekuensi panjang dilakukan langkah-langkah sebagai berikut (Walpole 1992) :

1. menentukan wilayah kelas (WK) = max – min , max = data terbesar; min = data terkecil.

2. menentukan jumlah kelas (JK) = 1 + 3,32 log N; N = jumlah contoh 3. menghitung lebar kelas ( L) = WK/JK

4. memilih ujung kelas interval pertama

5. menentukan frekuensi panjang untuk masing-masing selang kelas

3.5.2. Tingkat eksploitasi sumberdaya kerang darah

Variabel yang terkait dalam menentukan tingkat eksploitasi Sumberdaya kerang darah di kawasan perairan Cirebon adalah variabel laju kematian yang terdiri laju kematian alamiah (M), laju kematian penangkapan (F) dan laju kematian total (Z), kemudian variabel tingkat eksploitasi (E) dan parameter pertumbuhan.

Laju mortalitas alami (M) ditentukan dengan hubungan empiris antara M dengan parameter pertumbuhan (L∞ dan K) dan suhu lingkungan. L adalah panjang maksimum teoritis (panjang asimsotik) pada persamaan pertumbuhan Von


(18)

Bertalanffy, K adalah koefisien pertumbuhan. Parameter pertumbuhan didapatkan dari hasil perhitungan dengan non parametrik Scoring of Van Bertalanffy Growth Function melalui bantuan software ELEFAN yang terintegrasi dalam program FISAT II. Laju mortalitas alami (M) diduga dengan menggunakan rumus empiris Pauly (1980) in Sparre & Venema (1999), dinyatakan dengan persamaan sebagai berikut:

Ln M = - 0,0152-0,279*Ln L∞ + 0,6543*Ln K + 0,463*Ln T

M 0,8e- 0,0 52-0,279*Ln L∞ + 0,6543*Ln K + 0,463*Ln T

dimana T adalah suhu rata-rata perairan (°C) tempat kerang darah hidup (habitat).

Penerapan persamaan tersebut terhadap suatu grup ikan tropis mungkin akan memberikan nilai dugaan yang bias, dimana nilai dugaan M yang diperoleh pada umumnya lebih tinggi (over estimated), sehingga nilai dugaan M yang diperoleh haruslah dikoreksi dengan mengalikannya dengan 0,8 ( Pauly 1982).

Laju mortalitas total (Z) diduga dengan kurva tangkapan yang dilinearkan berdasarkan data komposisi panjang (Sparre & Venema 1999) (Lampiran 3) dengan langkah-langkah sebagai berikut:

Langkah 1 : mengkonversikan data panjang cangkang ke data umur dengan mengunakan inverse persamaan Von Bertalanffy

Langkah 2 : menghitung waktu yang diperlukan oleh rata-rata kerang untuk tumbuh dari panjang L1 ke L2 (t)

t t L2 -t L K* ln L∞-LL∞-L

2

Langkah 3 : menghitung (t+t/2)


(19)

Langkah 4 : menurunkan kurva hasil tangkapan (C) yang dilinearkan yang dikonversikan ke panjang

ln t (LC(L ,L,L2)

2) c- *t L +L2

2

Persamaan di atas adalah bentuk persamaan linear y = a+bx dengan kemiringan (b) =-Z.

Menurut Gulland (1982) ada beberapa metode yang digunakan untuk menentukan nilai laju mortalitas penangkapan (F). Tetapi biasanya apabila nilai Z dan M sudah diketahui, maka nilai F dapat ditentukan berdasarkan persamaan sebagai betikut:

F = Z – M

Informasi yang diperoleh dari nilai M dan F ini dapat digunakan untuk menentukan laju eksploitasi (E) sumberdaya spesies ikan yang bersangkutan. Persamaan yang dipakai adalah sebagai berkut:

E F+MF F

Laju eksploitasi (E) akan mencapai optimum jika nilai mortalitas penangkapan (F) sama dengan nilai mortalitas alami (M). Jika nilai E = 0,5 maka laju eksploitasinya optimum dan jika nilai E < 0,5 atau E > 0,5 maka berarti laju eksploitasi belum mencapai titik optimum atau melewati batas optimum ( Gulland 1971 in Pauly 1982).

3.5.3. Aspek reproduksi kerang darah 3.5.3.1. Rasio kelamin

Rasio kelamin dihitung dengan cara membandingkan jumlah kerang jantan dan kerang betina dengan rumus :

Rasio kelamin =


(20)

Keterangan :

J : jumlah kerang jantan(individu)

B : jumlah kerang betina (individu)

k : kelompok stasiun pengamatan untuk kerang darah jantan dan betina yang ditemukan

Selanjutnya untuk menentukan seimbang atau tidaknya rasio kelamin jatan dan kelamin betina dilakukan uji Chi-square, yaitu sebagai berikut :

Dengan rumus perhitungan :

n

-

Keterangan :

X2hitung : Chi-square hitung

Oi : frekuensi ke-i

ei : frekuensi harapan ke-1

k : kelompok stasiun pengamatan untuk kerang darah jantan dan betina yang ditemukan

Dengan hipotesis sebagai berikut:

H0 : J = B H1 : ≠

Nilai X2 tabel diperoleh dari tabel nilai kritik sebaran Chi-square. Penarikan keputusan dilakukan dengan membandingkan X2 hitung dengan X2 tabel pada selang kepercayaan 95%. Jika nilai X2 hitung lebih dari X2 tabel maka keputusananya

adalah menolak hipotesis nol (antara jumlah jantan dan betina tidak sama atau ≠ )

dan jika X2 hitung kurang dari X2 tabel, maka keputusannya adalah menerima hipotesis nol (antara jumlah jantan dan betina kondisi seimbang 1:1).

3.5.3.2. Tingkat kematangan gonad (TKG)

Tingkat kematangan gonad (TKG) ditentukan dengan acuan tingkat kematangan gonad secara morfologi dan secara histologi. Penentuan Tingkat kematangan gonad (TKG) dilakukan terhadap semua kerang contoh yang diambil. sementara untuk menduga ukuran pertama kali ikan matang gonad berdasarkan


(21)

selang kelas dimana terdapat kerang yang memiliki tingkat kematangan gonad yakni gonad TKG IV.

Metode yang digunakan untuk menduga ukuran rata-rata kerang darah pertama kali matang gonad adalah Spearmen-Karber (Udupa 1986 in Solihatin 2007) yaitu sebagai berikut:

m = xk + [(x/2) – x∑ p ]

M an lo m ± ,96√x2*∑ [ p *q / ni-1 )])

Keterangan :

m : log panjang kerang pada matang gonad pertama

Xk : log nilai tengah kelas panjang yang terakhir kerang telah matang gonad

x : log pertambahan panjang pada nilai tengah

pi : proporsi kerang matang gonad pada selang kelas panjang ke-i dengan jumlah kerang pada selang kelas panjang ke-i

ni : jumlah kerang pada selang kelas panjang ke-i

qi : 1-pi

M : panjang kerang pertama kali matang gonad sebesar antilog m

3.5.3.3. Indeks kematangan gonad (IKG)

Bagian dari reproduksi suatu organisme sebelum pemijahan terjadi adalah perkembangan gonad yang semakin matang. Effendie (2002), di dalam proses reproduksi sebagian besar total metabolisme menuju perkembangan gonad. Perubahan-perubahan kondisi gonad ini dapat dinyatakan dalam suatu indeks yaitu IKG yaitu sebagi berikut :

% 100

 

Bt Bg IKG

Keterangan :

IKG : Indeks Kematangan Gonad

Bg : berat gonad (gram)


(22)

4.

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Kondisi Umum Lokasi Penelitian 4.1.1. Perairan Bondet

Perairan Bondet merupakan wilayah penangkapan kerang darah bagi nelayan-nelayan desa Bondet dan sekitarnya. Beberapa sungai yang bermuara di perairan ini diantaranya, sungai Bondet, sungai Celancang, sungai Pekik, sungai Tangkil, sungai Karang Sembung, dan sungai Condong. Lingkungan sekitar perairan Bondet ditumbuhi pepohonan bakau dan penggunan lahan yaitu persawahan dan pemukiman. Nelayan yang terdapat di perairan Bondet merupakan nelayan tradisional yang menggunakan kapal 3-5 GT.

Karakteristik habitat kerang darah pada lokasi penelitian berupa lumpur yang relatif halus, berwarna abu-abu dengan sedikit bau (bau lumpur) dan dapat diduga bahwa lumpur dasar perairan Bondet mengandung detritus relatif tinggi. Parameter fisika air yang diamati adalah suhu dan arus. Suhu perairan sangat penting bagi kehidupan biota perairan, karena untuk kelangsungan hidup, pertumbuhan yang optimal dan sangat berpengaruh, baik pada aktivitas metabolisme maupun perkembangbiakan dari organisme perairan (Hutabarat & Evans 1984), dimana suhu merupakan pemicu dimulainya proses gametogenesis. Besarnya suhu perairan Bondet berfluktuatif secara musiman. Rata-rata suhu pada saat penelitian berkisar antara 28-30°C. Kisaran suhu ini cocok untuk kehidupan kerang darah di perairan Bondet dengan melihat keberadaan kerang darah di perairan tersebut. Berdasarkan Broom (1985) suhu yang sesuai untuk setiap spesies pada kerang darah berbeda-beda tergantung pada kondisi geografisnya. Hal ini didasarkan pada kemampuan kerang darah untuk beradaptasi terhadap lingkungan. Misalnya, kerang darah di Malaysia umumnya dapat hidup dengan suhu permukaan air rata-rata 29-320C, sedangkan di Phuket, Thailand suhu air yang sesuai adalah 25-32,80C (Boonruang & Janekarn 1983 in Broom 1985).

Rata-rata kecepatan arus di perairan Bondet selama penelitian berkisar 8,82-12,52 cm/detik. Arus tersebut termasuk arus yang sangat lemah hingga sedang. Pergerakan air yang lemah di daerah berlumpur menyebabkan partikel halus mengendap dan detritus melimpah, sehingga merupakan media yang baik bagi


(23)

pemakan detritus, seperti halnya pada kerang darah (Mann 2000). Wood (1987) mengklasifikasikan kecepatan arus yang kurang dari 10 cm/detik termasuk arus yang sangat lemah, dengan organisme bentik dapat menetap, tumbuh dan bergerak bebas, sedangkan kecepatan arus 10-100 cm/detik termasuk arus sedang, sehingga menguntungkan bagi organisme dasar, dimana terjadi pembaruan bahan organik dan anorganik. Pada saat pengamatan, gelombang yang terjadi cukup besar dan muka air laut tinggi akibat pasang.

Parameter kimia perairan yang diamati adalah salinitas dan pH. Selama pengamatan rata-rata kadar salinitas di perairan Bondet berkisar antara 24‰-30‰.

Salinitas minimum 24‰ terjadi pada bulan April dan salinitas maksimum 30‰

terjadi Juni. Menurut Pathanasali (1963) in Broom (1985) bahwa kerang darah

hanya mampu hidup di daerah dengan salinitas lebih dari 25‰, namun pada stadia

muda secara normal dapat melakukan aktivitas mencari makanan dengan salinitas yang lebih rendah sampai 8‰ dan kerang darah termasuk organisme yang toleran

terhadap salinitas tinggi dan rendah. Salinitas tertinggi mencapai 29‰, namun pada salinitas yang sangat rendah, yaitu 9,4‰ kerang tidak dapat tumbuh bahkan

mengalami kematian.

Nilai pH adalah 7-7,5. Nilai pH ini berpengaruh terhadap proses metabolisme dalam tubuh kerang darah. Jika proses metabolisme dapat berjalan dengan baik, maka kerang darah dapat tumbuh dan berkembang biak melalui energi yang dihasilkan dari proses metabolisme. Kedua parameter kimia air yang diamati juga dapat mempengaruhi kehidupan kerang darah diperairan.

Alat tangkap kerang darah yang digunakan oleh nelayan di desa Bondet adalah garuk. Alat tangkap garuk banyak digunakan nelayan Cirebon. Pada prinsipnya alat garuk cara pengoprasiannya mirip seperti trawll. Daerah penangkapan kerang yang dilakukan oleh nelayan adalah di sekitar perairan Bondet. Kerang darah hampir setiap hari didaratkan TPI condong, Desa Bondet. Hal ini permintaan akan kerang darah cukup tinggi. Kerang dijual dalam bentuk hidup dan daging. Harga kerang yang dijual berkisar antara Rp 5,000-Rp 8,000 per kg dan harga daging berkisar antara Rp 17,000-Rp 20,000 per kg. Daerah pemasaranya khusus wilayah sekitar Cirebon. Harga kerang darah lebih mahal dibandingkan dengan jenis kerang lainnya (Nurita, komunikasi pribadi 12 April 2011).


(24)

4.1.2. Perairan Mundu

Perairan Mundu merupakan wilayah penangkapan kerang darah yang banyak dilakukan oleh masyarakat Cirebon dan juga sebagai kegiatan perikanan. Perairan Mundu bermuara beberapa sungai yaitu sungai Banjiran, sungai Kalijaga, sungai Krian, sungai Pengarengan, dan sungai Bandengan. Lingkungan sekitar perairan Mundu ditumbuhi pepohonan bakau dan penggunanan lahan yaitu persawahan, pemukiman, dan perindustrian. Sehinga dengan kondisi tersebut dapat diduga bahwa diperairan Mundu sedikit lebih tercemar dibandingkan di perairan Bondet. Dengan demikian habitat kerang darah di perairan Mundu kurang baik di bandingkan dengan di perairan Bondet.

Nelayan yang terdapat di perairan Mundu merupakan nelayan tradisional yang menggunakan kapal 3-6 GT. Hasil tangkapan di perairan Mundu yaitu ikan, kerang-kerangan, rajungan, kepiting baku, udang, cumi-cumi, namun hasil tangkapan utama di perairan mundu adalah jenis kerang-kerangan.

Karakteristik habitat kerang darah pada lokasi penelitian berupa lumpur dasar yang relatif halus, pasirnya relatif sedikit, berwarna abu-abu- kehitaman dengan sedikit bau busuk (bau lumpur). parameter makroskopis tersebut dapat diduga bahwa lumpur dasar perairan Mundu mengandung detritus lebih sedikit dibandingkan dengan lumpur dasar perairan Bondet. Adapun karakeristik fisika-kimia perairan Mundu. Parameter fisika air yang diamati yaitu suhu dan arus. Suhu di perairan Mundu pesisir selama penelitian berkisar antara 29-30 °C. Jika dibandingkan selama waktu pengamatan, suhu perairan pada bulan April lebih tinggi dibandingkan bulan Mei dan Juni.

Selain suhu, parameter fisika air yang diamati adalah arus. Rata-rata kecepatan arus di peraiaran Mundu selama penelitian berkisar antara 11,11-14,28 cm/detik. Kecepatan arus tersebut termasuk arus sedang, sehingga menguntungkan bagi organisme dasar, dimana terjadi pembaruan bahan organik dan anorganik. Pergerakan air yang cepat dapat merangsang organisme air untuk memijah. Saat air bergerak cepat, kerang darah betina dan jantan terangsang untuk melepaskan sel telur dan sperma keperairan, yang kemudian mengalami pembuahan (fertilisasi).

Parameter kimia air yang diamati yaitu salinitas dan pH. Selama pengamatan


(25)

(1963) in Broom (1985) bahwa kerang darah hanya mampu hidup di daerah dengan

salinitas lebih dari 25‰, namun pada stadia muda secara normal dapat melakukan

aktivitas mencari makanan dengan salinitas yang lebih rendah sampai 8‰ Kerang darah termasuk organisme yang toleran terhadap salinitas tinggi dan rendah.

Salinitas tinggi sampai 29‰, namun pada salinitas yang rendah mencapai 9,4‰,

kerang darah tidak dapat tumbuh bahkan mengalami kematian.

Nilai pH selama pengamatan adalah berkisar 6,5-7,5. Nilai pH yang baik memungkinkan organisme untuk hidup dan tumbuh, serta kehidupan biologis yang berjalan dengan dengan baik. Sebagian organisme akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai pH yaitu 7-8,5 (Effendi 2002). Besarnya nilai pH di perairan Mundu sangat cocok untuk kehidupan kerang darah. Kondisi perairan di kedua daerah penelitian tersebut masih berada dalam kisaran yang mendukung kehidupan biota ikan (Smith dan Chanley 1975).

Kerang darah di perairan Mundu biasanya ditangkap dengan mengunakan alat tangkap garuk, tetapi masih ada sebagian nelayan yang menangkap kerang darah langsung menggunakan tangan. Kerang darah setiap harinya di daratkan di TPI Mundu. Daerah penangkapan kerang darah dilakukan di sekitar perairan Mundu. Daerah pemasarannya meliputi Jakarta, Semarang dan wilayah sekitar. Kerang darah dijual dalam bentuk hidup dan daging. Harga kerang yang dijual berkisar antara Rp 5,000-Rp 8,000 per kg dan harga daging berkisar antara Rp 15,000-Rp 17,000 per kg (Titin, komunikasi pribadi 13 April 2011).

4.2. Sebaran Kelompok Ukuran Hasil Tangkapan

Jumlah kerang darah yang tertangkap selama penelitian sejak bulan April hingga bulan Juni 2011 berjumlah 246 ekor yang terdiri dari 178 ekor di perairan Bondet dan 68 ekor di perairan Mundu dengan kisaran panjang cangkang 21,30-46,60 mm. Hasil tangkapan selama tiga bulan di masing-masing lokasi yaitu di perairan Bondet pada bulan April sebanyak 46 ekor, Mei sebanyak 120 ekor, dan Juni sebanyak 12 ekor, sedangkan pada perairan Mundu pada bulan April sebanyak 59 ekor, bulan Mei tidak ada tangkapan, dan bulan Juni sebanyak 9 ekor. Distribusi ukuran panjang cangkang berdasarkan lokasi penelitian disajikan pada Gambar 7.


(26)

Perairan Bondet Perairan Mundu

Gambar 7. Distribusi ukuran panjang cangkang kerang darah (A. granosa) di setiap lokasi pengamatan 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 Ju m lah in d ivi d u Mei

24 Mei 2011 N= 120 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 Ju m lah in d ivi d u April

12 April 2011 N=46 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 Ju m lah in d ivi d u

Selang kelas panjang (mm) Juni

13 Juni 2011 N= 12 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 Ju m lah in d ivi d u

Selang kelas panjang (mm) Juni 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 Ju m lah in d ivi d u April

13 April 2011 N= 59


(27)

Berdasarkan Gambar 7 dapat dilihat sebaran ukuran panjang cangkang kerang darah terletak pada selang kelas 21,30-24,12 mm sampai 43,94-46,76 mm. Ukuran panjang cangkang kerang darah yang paling kecil adalah contoh yang berasal dari Mundu yaitu 21,30 mm berada pada selang kelas panjang cangkang 21,30-24,12 mm, sedangkan ukuran panjang cangkang yang paling besar ditemukan pada contoh yang berasal dari perairan Bondet yaitu 46,60 mm berada pada selang kelas panjang cangkang 43,94-46,76 mm. Berdasarkan selang kelas kisaran selang panjang cangkang kerang darah yang dominan tertangkap pada lokasi perairan Bondet berbeda tiap bulannya. Pada bulan April, frekuensi tertinggi pada selang kelas 35,45-38,27 sebesar 22 ekor, Bulan Mei, frekuensi tertinggi pada selang kelas 29,79-32,61 sebesar 42 ekor, dan bulan Juni, frekuensi tertinggi pada selang kelas 32,62-35,44 sebesar 4 ekor, sedangkan di perairan Mundu pada pengamatan bulan April, frekuensi teringgi pada selang kelas 32,62-35,44 sebesar 30 ekor, dan bulan Juni frekuensi tertinggi selang kelas 29,79-32,61 sebesar 4 ekor.

Pada perairan Mundu ditemukan kerang darah dengan ukuran panjang cangkang yang lebih kecil. Faktor yang menyebabkan ukuran kerang darah yang tertangkap semakin kecil adalah karena tekanan penangkapan yang tinggi terhadap sumberdaya kerang darah di perairan Mundu. Perbedaan ukuran panjang cangkang kerang darah disebabkan oleh beberapa faktor seperti perbedaan waktu dan lokasi pengambilan contoh, keterwakilan contoh kerang darah yang diambil, dan kemungkinan terjadinya aktifitas penangkapan yang tinggi terhadap sumberdaya kerang darah, juga disebabkan oleh beberapa kemungkinan separti pengaruh kondisi perairan. Semakin tinggi tingkat eksploitasi maka ukuran kerang darah akan didominasikan oleh kerang yang berukuran kecil karena kerang darah berukuran besar telah hilang, sehingga mempengharuhi kelimpahan dan struktur populasi kerang darah di perairan tersebut.

Hasil tangkapan kerang darah di perairan Bondet lebih banyak daripada perairan Mundu. Hal ini disebabkan pada bulan Mei di perairan Mundu tidak ada tangkapan, ini dikarenakan di perairan Mundu terjadi ombak atau gelombang besar yang menghambat nelayan untuk menangkap kerang darah, tingkat operasi penangkapan dan keberadaan kerang darah di perairan Mundu, sehingga tidak ada kerang darah yang tertangkap. Adanya perbedaan jumlah hasil tangkapan kerang


(28)

darah diduga karena adanya perbedaan lokasi pengambilan contoh baik secara horizonal maupun vertikal (perbedaan kedalaman) dan kemungkinan tekanan penangkapan yang tinggi terhadap kerang darah itu sendiri. Tekanan penangkapan yang semakin tinggi dapat menyebabkan kelimpahan kerang darah kerang darah di perairan tersebut akan semakin sedikit dan bisa terjadi kepunahan. Hal itu yang menyebabkan pertumbuhan kerang berbeda di setiap tempat dan waktu. Tingkat keberhasilan penangkapan juga dapat mempengaruhi hasil tangkapan. Pengaruh eksploitasi yang berlebihan (over-exploitation) akan menyebabkan penurunan ukuran rata-rata kerang darah yang tertangkap.

4.3. Tingkat Eksploitasi Sumberdaya Kerang Darah

Pada suatu stok yang telah dieksploitasi perlu untuk membedakan mortalitas akibat penangkapan dan mortalitas alami. Menurut King (1995) laju mortalitas total (Z) adalah penjumlahan laju mortalitas penangkapan (F) dan laju mortalitas alami (M) sehingga ketiga jenis mortalitas tersebut perlu dianalisis. Pendugaan konstanta laju mortalitas total (Z) kerang darah dilakukan dengan kurva hasil tangkapan yang dilinierkan berbasis data panjang cangkang. Untuk menduga laju mortalitas alami dengan menggunakan rumus empiris pauly (Sparre & Venema 1999) dengan suhu rata-rata permukaan perairan Bondet dan Mundu masing-masing sebesar 29°Cdan 29,5°C. Adapun hasil analisis parameter pertumbuhan dan parameter moralitas disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil analisis parameter pertumbuhan dan mortalitas kerang darah dengan menggunakan program FISAT II disetiap lokasi pengamatan

Lokasi

Parameter Pertumbuhan Parameter Mortalitas

L∞ K M F Z E

Bondet 47,70 0,51 0,7154 1,2705 1,9859 0,6398

Mundu 49,05 2,30 1,9169 7,7776 9,5945 0,8023

Keterangan : L∞ = panjang yang tidak dapat dicapai ikan (mm); K = koefisien pertumbuhan (per tahun); M = laju mortalitas alami (pertahun); Z = laju mortalitas total (per tahun); F = laju mortalitas penangkapan (per tahun); E= laju eksploitasi


(29)

Dari hasil analisis parameter pertumbuhan di perairan Mundu, diperoleh nilai nilai L∞ lebih besar dari perairan Bondet. Perbedaan nilai yang diperoleh disebabkan oleh dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yang dapat dipengaruhi oleh keturunan (faktor genetik), parasit dan penyakit sedangkan faktor eksternal yang dapat dipengaruhi adalah suhu dan ketersedian makanan (Effendi 2002).

Laju mortalitas total (Z) kerang darah di perairan Bondet , diduga sebesar 1,9859 per tahun, sedangkan laju mortalitas total (Z) kerang darah di perairan Mundu sebesar 9,5945 per tahun. Nilai Z tergantung dari laju mortalitas alami (M) dan laju mortalitas penangkapan (F). Fluktuasi laju mortalitas alami (M) sumberdaya perairan sulit ditentukan, sehingga diasumsikan variasi nilai Z dari tahun ke tahun hanya tergantung dari variasi nilai F. Nilai laju mortalitas (M) di perairan Bondet diduga sebesar 0,7154 per tahun, sedangkan di perairan Mundu laju mortalitas alami (M) sebesar 1,9169 per tahun. Laju mortalitas alami (M) dipengaruhi oleh faktor lingkungan, seperti kondisi perairan, predator, penyakit, persaingan makanan dan mati karena tua. Spesies yang sama dapat memiliki laju mortalitas alami yang berbeda pada lokasi atau habitat yang berbeda (Sparre et. al

1989). Dari persamaan Z = F+M, dengan menggunakan masukan nilai Z dan M yang sudah dikoreksi, maka diperoleh laju mortalitas penangkapan (F). Laju mortalitas penangkapan di perairan Bondet diduga sebesar 1,2705 per tahun dan di perairan Mundu sebesar 7,7776 per tahun (Lampiran 3). Berdasarkan nilai tersebut dapat dilihat bahwa di dua lokasi tersebut ditemukan laju mortalitas penangkapan (F) lebih besar dari laju mortalitas alami (M). Hal ini menunjukan bahwa faktor kematian kerang darah lebih besar disebabkan oleh aktifitas penangkapan yang terus menerus akibat dari konsumsi terhadap kerang darah meningkat. Semakin tinggi upaya penangkapan, maka nilai laju mortalitas penangkapan akan semakin tinggi.

Nilai-nilai laju mortalitas yang diperoleh tersebut digunakan untuk menduga laju eksploitasi sumberdaya kerang darah. Laju eksploitasi kerang darah di perairan Bondet sebesar 63,98%, sedangkan laju eksploitasi kerang darah di perairan Mundu sebesar 80,23% (Lampiran 3). Berdasarkan hasil analisis tersebut menunjukan bahwa pada perairan Bondet dan Mundu laju eksploitasinya telah melebihi batas optimum yang dikemukan oleh Gulland (1971) in Pauly (1984) yaitu lebih dari 0,50


(30)

yang berarti lebih dari 50% dari potensi lestarinya. Jika di bandingkan dengan kedua lokasi tersebut laju eksploitasi diperairan Mundu lebih besar dari pada Bondet. Hal ini diduga bahwa laju penangkapan di perairan Bondet disebabkan oleh peningkatan waktu penangkapan (effort) yang dilakukan nelayan setiap harinya belum berlangsung secara intensif jika dibandingkan dengan perairan Mundu yang berlangsung intensif dan berlangsung lama. Hasil ini menyatakan bahwa eksploitasi dengan skala besar menyebabkan populasi didominasi oleh kerang dengan ukuran panjang cangkang lebih kecil dengan pertumbuhan yang lebih cepat dan mempengaruhi hasil tangkapan yang semakin menurun. Nilai ini juga menguatkan indikasi adanya tekanan penangkapan yang tinggi terhadap stok kerang darah diperairan Bondet dan Mundu. Nilai mortalitas penangkapan dipengaruhi oleh tingkat eksploitasi semakin tinggi di suatu daerah maka mortalitas penangkapannya semakin besar.

Tingkat laju mortalitas penangkapan dan menurunnya laju mortalitas alami juga dapat menunjukan dugaan terjadinya kondisi growth overfishing yaitu sedikitnya jumlah kerang tua karena kerang muda tidak sempat tumbuh akibat tertangkap sehingga tekanan penangkapan terhadap stok tersebut seharusnya dikurangi hingga mencapai kondisi optimum yaitu laju mortalitas penangkapan sama dengan laju mortalitas alami.

4.4. Aspek Reproduksi 4.4.1. Rasio kelamin

Sampai saat ini belum ada informasi tentang penentuan jenis kelamin kerang jantan maupun betina melalui ciri morfologi maupun melalui ciri seksual sekunder. penentuan jenis kelamin yang selama ini dilakukan melalui pembedahan. Cara penentuan jenis kelamin dengan pembedahan akan membahayakan hewan tersebut, bahkan sering mendatangkan kematian. Hasil pengamatan terhadap kerang darah (A. granosa) menunjukan bahwa kerang darah bersifat dioeseus dimana kelamin jantan dan betina terpisah.

Perbandingan jumlah jantan dan betina disebut rasio kelamin. Selama tiga bulan pengamatan di perairan Bondet diperoleh kerang darah sejumlah 178 ekor kerang darah yang terdiri dari 92 ekor jantan dan 86 ekor betina, sedangkan di


(31)

perairan Mundu diperoleh 68 ekor kerang darah yang terdiri dari 32 ekor jantan dan 36 ekor betina. Selama pengamatan di perairan Bondet, jumlah tangkapan kerang darah jantan lebih banyak dibandingkan kerang darah betina, sedangkan di perairan Mundu jumlah tangkapan kerang darah jantan lebih sedikit dibandingkan kerang darah betina. Rasio kelamin kerang darah (A. granosa) selama penelitian disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Rasio kelamin berdasarkan waktu pengamatan

Lokasi

Bulan

Jumlah kerang darah (ekor) Rasio Kelamin Jantan Betina Total

Bondet

April 22 24 46 0,92 : 1

Mei 65 55 120 1,18 : 1

Juni 5 7 12 0,71 : 1

Mundu

April 30 29 59 1,03 : 1

Mei Tidak

ditemukan

Tidak ditemukan

Tidak

ditemukan −

Juni 2 7 9 0,29 : 1

Berdasarkan Tabel 2 diketahui bahwa rasio kelamin antara jantan dan betina di perairan Bondet pada pengamatan bulan April sebesar 0,92:1 pada pengamatan bulan Mei sebesar 1,18:1 dan pada pengamatan bulan Juni sebesar 0,71:1. Sementara diperairan Mundu rasio kelamin jantan dan betina pada pengamatan bulan April sebesar 1,03:1 dan pada pengamatan bulan Juni sebesar 0,29:1. Jika dilihat berdasarkan pengamatan rasio kelamin tidak terlalu jauh perbedaannya antara kelamin jantan dan betina, namun pada pengamatan pada bulan Juni di perairan Mundu terjadi perbedaan signifikan antara kerang darah jantan dan betina. Penyimpangan rasio kelamin kerang darah (A. granosa) jantan dan betina diduga karena upaya penangkapan yang tidak seimbang terhadap jenis kelamin dan pola tingkah laku bergerombol antara kerang darah jantan dan betina. Berdasarkan uji

Chi-square terhadap kerang darah kelamin jantan dan betina berdasarkan waktu pengamatan menunjukan rasio kelamin kerang darah di kedua lokasi baik diperairan Bondet maupun Mundu berada dalam kondisi seimbang (X2hit < X2tab (df-1)) pada taraf


(32)

95% (Lampiran 4). Rasio kelamin kerang darah (A. granosa) selama jantan dan betina berdasarkan lokasi pengamatan disajikan pada Gambar 8.

Perairan Bondet Perairan Mundu

Gambar 8. Rasio Kelamin kerang darah (A. granosa) Jantan dan Betina berdasarkan lokasi pengamatan

Berdasarkan Gambar 8 dapat dilihat bahwa jika dibandingkan antara kedua lokasi penelitian, maka presentase kerang jantan di perairan Bondet lebih besar yaitu 52% dari jumlah total, sedangkan persentase kerang darah betina sebesar 48%. Semetara dari perairan Mundu persentase kerang jantan sebesar 47% lebih kecil dari persentase kerang betina yaitu sebesar 53% (Gambar 8). Hasil perhitungan menunjukan bahwa rasio kelamin antara kerang betina dan jantan untuk perairan Bondet adalah 1,07:1; sedangkan untuk kerang darah di perairan Mundu memiliki rasio kelamin 0,89:1. Berdasarkan uji Chi-square untuk total terhadap kerang darah secara keseluruhan contoh kerang darah yang diamati selama bulan April 2011 hingga Juni 2011 tersebut pada taraf 95% menunjukan rasio kelamin kerang dari kedua lokasi penelitian berada dalam kondisi seimbang (X2hit< X2tab (df-1))dari pola

1:1 atau rasio kelamin seimbang. Pernyatan tersebut juga pernah dinyatakan oleh Marliana (2010). Hal ini menunjukan bahwa tidak ada perbedaan rasio kelamin antar lokasi pengamatan. Kondisi ini berarti bahwa setiap induk kerang memiliki pasangan masing masing dan diprediksi akan menjamin keberhasilan fertilitasi pada saat pemijahan dengan syarat bahwa kondisi makanan dan lingkungan menunjang proses ini.

jantan 47% betina

53%

jantan 52% betina


(33)

Tekanan penangkapan pada saat operasi juga dapat mempengaruhi pada hasil tangkapan, terutama pada perbandingan jantan dan betina. Pada saat melakukan penangkapan kerang darah yang tertangkap sebagian besar berjenis kelamin jantan maka rasio kelamin lebih dari 1, selanjutnya jika hasil tangkapan dominan berjenis kelamin betina maka rasio kelamin kurang dari 1. Secara ideal perbandingan antara jantan dan betina adalah 1:1. Namun pada kenyataan di alam perbandingan antara jantan dan betina tidaklah mutlak. Hal ini disebabkan oleh pola tingkah laku, perbedaan laju mortalitas dan pertumbuhan, pola distribusi yang disebabkan oleh ketersedian makanan, kepadatan populasi, keseimbangan rantai makanan, kepadatan polulasi (Effendie 2002). Selain itu, adanya perbedaan jumlah penangkapan serta keberadaan kerang darah itu sendiri di perairan juga dapat berpengaruh pada hasil tangkapan dan komposisi hasil tangkapan kerang darah tersebut. Komposisi antara jantan dan betina dapat digunkan untuk menduga keberhasilan pemijahan dengan melihat kesimbangan jumlah antara jantan dan betina di suatu perairan.

4.4.2. Tingkat kematangan gonad (TKG)

Analisis terhadap tingkat perkembangan gonad kerang dapat dilakukan dengan dua cara yaitu secara morfologi dan histologis. Secara morfologi tingkat kematangan gonad ditentukan berdasarkan kuantitas luasan gonad yang menutupi dinding visceral mass (Guilbert 2007). Visceral mass adalah bagian utama tubuh yang terdiri atas organ seperti hati, ginjal, usus dan gonad. Jika luasan daerah gonad hampir menutupi visceral mass, maka individu tersebut memiliki tingkat kematangan gonad yang lebih tinggi dibandingkan dengan individu yang memiliki luasan daerah gonad yang sempit dan cara morfologi juga dapat dilakukan dengan dasar mengamati morfologi gonad antara lain ukuran panjang gonad, bentuk gonad, berat gonad, dan perkembangan isi gonad (Effendie 2002). Syandri (1996) menyatakan bahwa selama perubahan yang terjadi di dalam ovarium dan testis, maka terjadi pula perubahan bobot dan volume gonad yang menjadi tolak ukur dalam penentuan tingkat kematangan gonad (TKG). Jaringan gonad jantan yang matang kelamin berwarna putih kusam atau krem, sedangkan gonad betina yang matang kelamin berwarna orange kemerahan. Adapun tahap perkembangan


(34)

kematangan gonad kerang secara morfologi pada kerang jantan dan kerang betina, disajikan pada Gambar 9 dan 10.

TKG 1 TKG 2

TKG 3 TKG 4

Gambar 9. Tingkat kematangan gonad kerang darah Jantan

TKG 1 TKG 2

TKG 3 TKG 4

Gambar 10. Tingkat kematangan gonad kerang darah Betina

Gonad Gonad


(35)

Berdasarkan Gambar 9 dan 10 terdapat perbedaan tingkat kematangan gonad antara kerang jantan dan kerang betina. TKG IV memiliki luasan daerah gonad yang lebar, bahkan hampir menutupi dinding visceral mass, sedangkan berdasarkan ukuran gonad serta bentuk gonad lebih besar dan lebih jelas TKG IV dibandingkan dengan TKG III, TKG II, dan TKG I. Menurut Cruz (1987) in Guilbert (2007) kerang darah jantan memiliki warna gonad putih atau krem, sedangkan warna gonad betina adalah oranye atau kemerahan.

Analisis histologis digunakan untuk mengamati tingkat perkembangan secara mikroskopis bagian-bagian telur yang meliputi kuning telur, ukuran telur, posisi nukleus, dan membran telur. Perkembangan testis dan ovarium dapat dilihat berdasarkan gambar analisia histologi gonadnya (Lampiran 10). Penentuan tingkat kematangan gonad (TKG) pada kerang darah yang diteliti dilakukan berdasarkan analisis foto preparat histologi gonad dengan berpatokan berdasarkan kriteria menurut Shain et al. (2006) dan Chipperfield (1953) in Setyobudiandi (2004) terhadap gonad kerang hijau (Perna viridis) yang membagi tingkat kematangan goand kerang darah menjadi 4 tingkatan. Komposisi tingkat kematangan gonad pada kerang darah dapat dilihat berdasarkan perubahan warna dan bentuk yang kemudian diklasifikasikan ke dalam tingkat perkembangan gonad.

Tahap-tahap kematangan gonad diperlukan untuk mengetahui perbandingan kerang yang akan melakukan reproduksi dan tidak melakukan reproduksi. Berdasarkan tahap kematangan gonad juga akan diketahui bilamana organisme itu akan memijah, baru memijah atau sudah memijah (Effendie 2002), maka hasil pengamatan selama tiga bulan diperoleh beberapa tingkat kematangan gonad. Pengamatan tingkat kematangan gonad dapat dibedakan berdasarkan lokasi penelitian yang dilakukan. Adapun tahap perkembangan kematangan gonad kerang secara histologis pada kerang jantan dan kerang betina dilihat berdasarkan perkembangan gonad yang diambil setiap bulan di sajikan pada Gambar 11 dan 12.


(36)

a. Jantan

TKG I : Secara histologi gonad dimana pada fase ini terjadi tahap pembentukan folikel (Fo) dalam jaringan penghubung dan tahap pembawaan spermatogonium pada folikel

TKG II : Gonad termasuk stadium berkembang yang didominasi oleh oogonium dengan rongga lobolus yang masih kecil dan telah terisi oleh sel sperma

TKG III: Seluruh rongga lobolus terisi oleh spermatozoa dengan ekornya, jaringan semakin jelas, warna mantel krem kekuningan dan sperma masih immature

TKG IV : Pada stadia ini secara histologi disebut stadia memijah pada stadia ini menunjukan sebagian atau separuh rongga Lobolus telah mulai mengosong karena sel sperma telah dikeluarkan

Gambar 11a. Perkembangan gonad pada kerang darah Jantan berdasarkan metode Chipperfield (1991) in Setyobudiandi (2004) di Perairan Bondet ( perbesaran 10x10)

Fo

50 µm

Sp


(37)

b. Betina

TKG I : Secara histologi gonad dimana pada fase ini terjadi tahap pembentukan folikel (Fo) dalam jaringan penghubung dan tahap pembawaan spermatogonium pada folikel

TKG II : Gonad termasuk stadium berkembang yang didominasi oleh oogonium dengan rongga lamella yang masih kecil dan telah terisi oleh sel telur

TKG III : Seluruh rongga lamella terisi oleh sel telur yang bentuknya polygonal, jaringan semakin jelas, warna mantel orange kemerahan dan sel telur masih immature

TKG IV : Pada stadia ini secara histologi disebut stadia memijah pada stadia ini menunjukan sebagian atau separuh rongga Lamella telah mulai mengosong karean sel telur telah dikeluarkan

Gambar 11b. (lanjutan) Perkembangan gonad pada kerang darah Betina

berdasarkan metode Chipperfield (1991) in Setyobudiandi (2004) di Perairan Bondet ( perbesaran 10x10)

Fo

50 µm

50 µm Ov


(38)

a. Jantan

TKG I : Secara histologi gonad dimana pada fase ini terjadi tahap pembentukan folikel (Fo) dalam jaringan penghubung dan tahap pembawaan spermatogonium pada folikel

TKG II : Gonad termasuk stadium berkembang yang didominasi oleh oogonium dengan rongga lobolus yang masih kecil dan telah terisi oleh sel-sel gamet (spermatozoa)

TKG III : Seluruh rongga lobolus terisi oleh spermatozoa dengan ekornya, jaringan semakin jelas, warna mantel krem kekuningan dan sperma masih immature

TKG IV : Pada stadia ini secara histologi disebut stadia memijah pada stadia ini menunjukan sebagian atau separuh rongga Lobolus telah mulai mengosong karean gamet telah dikeluarkan

Gambar 12a. Perkembangan gonad pada kerang darah Jantan berdasarkan metode Chipperfield (1991) in Setyobidiandi (2004) di Perairan Mundu ( perbesaran 10x10)

Fo

50 µm

Sp


(39)

b. Betina

TKG 1 : Secara histologi gonad dimana pada fase ini terjadi tahap pembentukan folikel (Fo) dalam jaringan penghubung dan tahap pembawaan spermatogonium pada folikel

TKG II : Gonad termasuk stadium berkembang yang didominasi oleh oogonium dengan rongga lamella yang masih kecil dan telah terisi oleh sel-sel gamet (sel telur)

TKG III : Seluruh rongga lamella terisi oleh sel telur yang bentuknya polygonal, jaringan semakin jelas, warna mantel orange kemerahan dan sel telur masih immature

TKG IV : Pada stadia ini secara histologi disebut stadia memijah pada stadia ini menunjukan sebagian atau separuh rongga Lamella telah mulai mengosong karean gamet telah dikeluarkan

Gambar 12b. (lanjutan) Perkembangan gonad pada kerang darah Betina

berdasarkan metode Chipperfield (1991) in Setyobudiandi (2004) di Perairan Mundu ( perbesaran 10x10)

Berdasarkan Gambar 11 dan 12 diketahui adanya perkembangan gonad kerang darah jantan. Pada TKG I terjadi tahap pembentukan folikel (Fo) dalam jaringan penghubung dan tahap pembawaan spermatogonium pada folikel. Pada TKG II

Fo

50 µm

Ov


(40)

gonad lebih berkembang dimana terjadi pengurangan jaringan penghubung dan terdapat spermatosit primer. Pada TKG III spermatosit primer berkembang menjadi spermatosit sekunder yang berukuran lebih besar dibandingkan pada TKG II dan folikel mencapai ukuran maksimum, sedangkan pada TKG IV spermatosit sekunder berkembang menjadi spermatozoa (Sp) dari hasil pembelahan meiosis dan siap dikeluarkan untuk membuahi sel telur.

Perkembangan gonad kerang darah betina pada TKG I terjadi perkembangan dinding folikel (Fo) dan oosit terbentuk dalam jumlah sedikit. Pada TKG II diameter folikel meningkat dan oosit mengisi folikel dengan jumlah relatif banyak. Pada TKG III folikel terisi oosit yang berkembang menjadi ootid dan diameter telur terlihat lebih besar, sedangkan pada TKG IV folikel mulai kehilangan struktur tipiknya, dimana ootid berkembang menjadi ovum (Ov).

Gambar 13. Perkembangan sel-sel kelamin kerang di dalam folikel gonad (Tranter 1957 in Tetelepta 1990)

Berdasarkan pengamatan perkembangan gonad baik kerang darah jantan maupun kerang darah betina menemukan bahwa hampir setiap tingkat perkembangan gonad pada saat pengamatan ditemukan TKG I, II, III, dan IV. Hal ini memperlihatkan bahwa proses pemijahan kerang darah berlangsung terus


(41)

menerus (sepanjang tahun) atau dapat menunjukan terjadinya pematangan gonad secara perlahan-lahan dan tidak serentak dari stadia belum matang (immature) ke stadia matang (mature). Hal ini juga semakin diperjelas selama penelitian ditemukan adanya perbedaan warna gonad dalam satu individu. Dimana warna yang tua dominan mempunyai perkembangan kematangan yang lebih cepat dibandingkan warna yang lebih muda.

Penentuan ukuran pertama matang gonad pada kerang darah merupakan faktor penting dalam pengelolaan perikanan. Ukuran pertama matang gonad dapat ditentukan berdasarkan tingkat kematangan gonad kerang darah pada setiap selang kelas panjang cangkang dan metode Spearman-Karber. Persentase tingkat kematangan gonad kerang darah berdasarkan lokasi penelitian disajikan pada Gambar 14 dan 15.

Gambar 14. Persentase tingkat kematangan gonad kerang darah pada setiap selang kelas panjang cangkang di perairan Bondet

0 20 40 60 80 100 T K G ( % ) Jantan

N = 92

0 20 40 60 80 100 T K G ( % )

Selang kelas panjang (mm) Betina

TKG IV TKG III TKG II TKG I


(42)

Gambar 15. Persentase tingkat kematangan gonad kerang darah pada setiap selang kelas panjang cangkang di perairan Mundu

Berdasarkan Gambar 14 dan 15 diperoleh informasi bahwa diperairan Bondet diperoleh hasil bahwa kerang darah jantan pertama kali matang gonad berdasarkan selang kelas panjang cangkang pada ukuran panjang cangkang (27,20 mm) atau berada pada selang 26,96-29,78 mm dan kerang darah betina pertama kali matang gonad pada ukuran panjang cangkang (30,50 mm) atau berada pada selang 29,76-32,61 mm. Hal ini menunjukan bahwa kerang darah jantan lebih cepat mengalami perkembangan gonad dibandingkan kerang darah betina. Hal ini sesuai dengan peryataan Afiati (2007) bahwa individu jantan dalam proses gametogenesis

0 20 40 60 80 100 P er se n tase T K G Jantan

N = 32

0 20 40 60 80 100 P er se n tase T K G

Selang kelas panjang (mm) Betina

TKG IV TKG III TKG II TKG I


(43)

membutuhkan waktu yang lebih cepat dibandingkan betina, Sedangkan pada perairan Mundu kerang jantan pertama kali matang gonad pada ukuran panjang cangkang (29,50 mm) atau berada pada selang 29,76-32,61 mm dan kerang darah betina pertama kali matang gonad pada ukuran panjang cangkang (22,30 mm) atau berada pada selang 21,30-24,12 mm. Hal ini diduga bahwa kerang darah betina lebih cepat mengalamai perkembangan gonad dibandingkan kerang darah jantan. Menurut penelitian yang telah dilakukan Broom (1985) diperoleh data bahwa kerang darah pertama kali matang gonad pada selang ukuran panjang cangkang 18-20 mm. Berbeda halnya pada spesies kerang darah lainnya, yaitu pada A. Antiquata ukuran pertama kali matang gonad pada kerang jantan adalah 31 mm dan pada kerang betina pada ukuran 35 mm (Mzhighani 2005).

Berdasarkan analisis dengan menggunakan metode Spearman-Karber (Udupa 1986 in Solihatin 2007), di perairan Bondet diduga kerang darah jantan dan betina yang pertama kali matang gonad (TKG IV) pada ukuran panjang cangkang masing-masing 34,74-37,67 mm dan 38,67-43,99 mm. Dengan demikain kerang darah jantan cenderung mengalami kematangan gonad lebih pendek dari pada kerang darah betina. Sedangkan pada perairan Mundu diduga kerang darah jantan dan betina pertama kali matang gonad pada ukuran panjang cangkang masing –masing 32,50-35,04 mm dan 29,69-34,12 mm (Lampiran 7 dan 8). Dengan demikian kerang darah betina cenderung mengalami kematangan gonad pada ukuran panjang cangkang lebih pendek daripada kerang darah jantan.

Perbedaan hasil ukuran pertama kali matang gonad yang diperoleh pada kerang darah jantan maupun betina berdasarkan hasil pengamatan dengan analisis statistik diduga karena perolehan hasil tangkapan yang tidak merata pada setiap ukuran panjang cangkang. Selain itu, kematangan gonad berhubungan dengan pertumbuhan dan faktor lingkungan terutama ketersediaan makanan baik kualitas maupun kuantitas (Toelihere 1985 in Affandi dan Tang 2000). Pengukuran panjang pertama kali matang gonad dan periode pemijahan adalah pengetahuan dasar untuk mempertahankan kelanjutan stok ( Sahin et al. 2006). Effendie (2002) menyatakan faktor yang mempengauhi pertama kali matang gonad ada dua yaitu faktor luar seperti suhu dan arus serta faktor dari dalam seperti umur, jenis kelamin, sifat-sifat fisologis seperti kemampuan beradaptasi dengan lingkungan serta ukuran. Jika


(44)

dibandingkan dengan kerang darah dari perairan Bondet dan perairan Mundu maka kerang darah dari perairan Mundu lebih cepat mencapai matang gonad dimana kerang darah betina dari peraiaran Mundu pada kelompok ukuran panjang cangkang lebih kecil yaitu 22,30 mm ditemukan dalam kondisi TKG IV yang berarti siap untuk memijah. Hal ini salah satunya diduga berkaitan dengan tingginya tingkat eksploitasi kerang darah di perairan Mundu.

Tahapan tingkat kematangan gonad (TKG) merupakan proses penting dalam reproduksi kerang, oleh karena itu sangat dibutukan pencatatan perubahan terhadap tahap-tahap kematangan gonad tersebut untuk mengetahui waktu pemijahan kerang di perairan. Penentuan waktu pemijahan dapat dilihat pada saat kapan persentase TKG IV (Gambar 16).

Gambar 16. Persentase tingkat kematangan gonad kerang darah Jantan dan Betina berdasarkan waktu dan lokasi pengamatan

0 20 40 60 80 100 P er se n tase T K G Bondet Jantan N= 92 0 20 40 60 80 100 P er se n tase T K G Mundu Jantan N= 32 0 20 40 60 80 100

April Mei Juni

P er se n tase T K G Waktu Pengamatan Bondet Betina TKG IV TKG III TKG II TKG I N= 86 0 20 40 60 80 100

April Mei Juni

P er se n tase T K G Waktu Pengamatan Mundu Betina TKG IV TKG III TKG II TKG I N= 36


(45)

Komposisi tingkat kematangan gonad pada kerang darah dapat dilihat berdasarkan perubahan warna dan bentuk yang kemudian diklasifikasikan ke dalam tingkatan perkembangan kematangan gonad. Gambar 16 menunjukan perubahan komposisi TKG tiap bulannya. TKG ini menunjukan fase-fase kematangan gonad kerang darah. Dengan memperhatikan komposisi TKG tersebut dapat dilihat waktu pemijahannya kerang darah. Musim pemijahan dapat ditentukan dengan melihat kecenderungan komposisi TKG III terbesar dari salah satu bulan diantara waktu pengamatan. Persetase komposisi TKG pada setiap saat dapat digunakan untuk menduga musim pemijahan (Effendie 2002). Selanjutnya menurut Effendie (2002) ikan yang mempunyai satu musim pemijahan akan ditandai dengan peningkatan persentase TKG III yang tinggi pada setiap akan mendekati musim pemijahan.

Berdasarkan Gamabar 15 komposisi kerang jantan di perairan Bondet TKG I dominan pada bulan April Juni (20%), TKG II pada bulan Mei (30,77%), TKG III pada bulan April (50%), dan TKG IV pada bulan Juni (40%). Sedangkan pada kerang darah betina TKG I dominan pada bulan April (20,83%), TKG II pada bulan Mei (43,64%), TKG III pada bulan Juni (57,14%), dan TKG IV pada bulan Juni (28,57). Di perairan Bondet terlihat bahwa tingkat kematangan gonad III dan IV pada kerang darah betina dan jantan ditemukan pada setiap bulan pada waktu pengamatan, namun tertinggi pada bulan Juni, sehingga dapat diduga puncak perkembangan gonadnya pada bulan Juni, yang kemudian akan menjadi proses pemijahan kerang darah.

Komposisi kerang darah jantan di perairan Mundu TKG I dominasi pada bulan Juni (50%), TKG II pada bulan April (16,67%), TKG III pada bulan April (53,33%), dan TKG IV pada bulan Juni (50%). Sedangkan pada kerang darah betina TKG I dominan pada bulan April (13,79%), TKG II pada bulan April (20,69%), TKG III pada bulan April (42,86%), dan TKG IV pada bulan Juni (42,86%). Dengan demikian pada perairan Mundu pada bulan April baik kerang jantan maupun betina didominasi oleh kerang TKG III dan IV. Hal ini menunjukan bahwa pada bulan April merupakan puncak perkembangan gonad, yang kemudian akan menjadi proses pemijahan kerang darah. Hal ini dapat menunjukan bahwa TKG kerang darah yang ditemukan setiap bulannya hampir mencakup semua TKG I - TKG IV. Hal ini memperlihatkan bahwa proses pemijahan kerang darah berlangsung terus menerus


(1)

Lampiran 10. (lanjutan)

Jantan

2.a 2.b

2.c 2.d

Keterangan :

2.a : pembentukan folikel dalam jaringan penghubung dan tahap pembawaan spermatogonium pada folikel (TKG I)

2.b : pengurangan jaringan penghubung dan terdapat spermatosit primer (TKG II) 2.c : spermatosit sekunder yang berukuran lebih besar (TKG III)


(2)

75

Lampiran 11. Alat dan bahan yang digunakan untuk penelitian

a. Alat yang digunakan Pengambilan Contoh

Perahu Alat tangkap garok

Parameter kualitas Air

Thermometer

Air Raksa Tongkat/ stik Secchi disk

Stopwatch

GPS Kertas

indikator pH Refraktometer


(3)

Lampiran 11. (lanjutan)

Analisis Reprodiksi

Coolbox Alat beda Kaliper ketelitian 0.001 mm

Timbangan digital Ketelitian 0.0001 gram

Mikroskop Kamera digital

b. Bahan yang di gunakan


(4)

77

Lampiran 12. Kegiatan selama penelitian kerang darah (Anadara granosa) diperairan Bondet dan Mundu


(5)

iii

Nurohman. C24070018. Laju Eksploitasi dan Keragaan Reproduksi Kerang Darah (Anadara granosa) di Perairan Bondet dan Mundu, Cirebon, Jawa Barat. Di bawah bimbingan Isdradjad Setyobudiandi dan Nurlisa A. Butet.

Kerang darah (Anadara granosa) merupakan bivalvia yang hidup di daerah intertidal dengan substrat pasir berlumpur sampai lumpur lunak. Kerang ini merupakan komoditi komersial yang menjadi sumber bahan perikanan. Permintaan yang terus meningkat, menyebabkan kerang ini menjadi salah satu target utama penangkapan di perairan Cirebon khususunya perairan Bondet dan Mundu. Akibat permintaan yang terus meningkat akan menyebabkan aktivitas penangkapan yang terus menerus sehingga populasi kerang darah mulai menurun yang ditunjukan dengan hasil tangkapan yang berukuran semakin kecil. Di samping itu daerah penangkapan semakin jauh dari pantai. Oleh karena itu diperlukan mengenai kajian laju eksploitasi dan keragaan reproduksi yang dapat digunakan sebagai dasar pengelolaan di lokasi tersebut.

Penelitian dilakukan di Perairan Cirebon yang merupakan wilayah penangkapan kerang darah. Lokasi pengambilan contoh dilakukan pada dua lokasi yang berbeda yaitu lokasi pertama di perairan Bondet kedua di perairan Mundu. Penentuan lokasi pengamatan diasumsikan berdasarkan perwakilan daerah penelitian yaitu perairan Bondet mewakili bagian utara perairan Cirebon dan perairan Mundu mewakili bagian selatan perairan Cirebon. Selain itu, kedua lokasi tersebut di pilih karena memiliki tingkat produksi kerang yang tinggi di perairan Cirebon. Penelitian dilakukan pada bulan April-Juni 2011 dengan interval waktu pengambilan contoh satu bulan. Data primer yang di peroleh meliputi panjang cangkang, lebar cangkang, tinggi umboe, tebal, berat total, berat daging, dan berat gonad. Sementara data sekunder meliputi data-data hasil tangkapan dan upaya penangkapan. Pengukuran dan pengamatan aspek reproduksi meliputi rasio kelamin, tingkat kematangan gonad, indeks kematangan gonad dilakukan di laboratorium. Aspek pertumbuhan dan laju eksploitasi dianalisis berdasarkan frekuensi panjang, pendugaan koefisien pertumbuhan (K) dan panjang asimtotik (L∞) menggunakan program ELEFAN I. Laju mortalitas alami (M) diduga dengan rumus empiris Pauly. Laju mortalitas total (Z) diduga dengan rumus Beverthon dan Holt berbasis data panjang cangkang, sedangkan laju mortalitas penangkapan diduga denagn rumus F = Z-M dan laju eksploitasi diduga dengan rumus E =F/Z. Tujan penelitian ini untuk menganalisis laju eksploitasi melalui pendekatan mortalitas alami serta analisis keragaan reproduksi yang meliputi rasio kelamin, tingkat kematangan gonad (TKG), indek kematangan gonad (IKG), perkembangan gonad, dan pengaruh laju eksploitasi terhadap keragaan reproduksi.

Jumlah kerang darah yang tertangkap selama penelitian sejak bulan April hingga bulan Juni 2011 berjumlah 246 ekor yang terdiri dari 178 ekor di perairan Bondet dan 68 ekor diperairan Mundu dengan kisaran panjang 21,30-46,76 mm. Berdasarkan selang kelas bahwa ukuran terkecil ditemukan di perairan Mundu yaitu 21,30 mm dan ukuran terbesar ditemukan di perairan Bondet yaitu 46,60 mm. Laju eksploitasi kerang darah diperairan Bondet sebesar 63,98% dari potensi lestarinya


(6)

iv

dan di perairan Mundu sebesar 82,86% dari potensi lestarinya, sehingga dua loksai tersebut diduga dalam kondisi tangkap lebih (overfishing) atau melebihi batas optimum, dimana Eoptimum>50%. Jika dibandingkan dengan kedua lokasi tersebut

laju eksploitasi diperairan Mundu lebih besar dari pada Bondet. Berdasarkan uji Chi-square rasio kelamin antara kerang darah jantan dan betina pada kedua lokasi penelitian berada dalam kondisi seimbang (X2hit< X2tab (df-1))dari pola(1:1) atau rasio kelamin seimbang. Jika dilihat berdasarkan pengamatan rasio kelamin tidak terlalu jauh perbedaannya antara kelamin jantan dan betina, namun pada pengamatan pada bulan Juni diperairan Mundu terjadi perbedaan yang sangat signifikan (0,29:1), sehingga kondisi ini berada dalam kondisi tidak seimbang. Proses pemijahan kerang darah berlangsung terus menerus sepanjang tahun atau dapat menunjukan terjadinnya pematangan gonad secara perlahan-lahan dan tidak serentak dari stadia belum matang ke stadia matang. Berdasarkan tingkat kematangan gonad dan indeks kematangan gonad, diduga waktu puncak pemijahan kerang darah baik jantan maupun betina di perairan Bondet terjadi pada bulan Juni, sedangkan pada perairan Mundu terjadi pada bulan April. Berdasarkan pengamatan ukuran pertama kali matang gonad pada perairan Bondet untuk kerang darah jantan dengan panjang cangkang sebesar 27,20 mm sedangkan kerang darah betina ukuran panjang cangkang (30,50 mm) dan pada perairan Mundu untuk kerang jantan ukuran panjang cangkang sebesar (29,50 mm), sedangkan pada kerang darah betina ukuran panjang cangkang (22,30 mm), hal ini menunjukan bahwa di perairan Mundu lebih cepat matang gonad. Berdasarkan jenis kelamin, pada perairan Bondet kerang darah jantan lebih awal matang gond dari pada kerang betina, sedangkan pada perairan Mundu kematangan gonad lebih awal ditemukan pada kerang darah betina. Berdasarkan nilai IKG kerang darah jantan maupun betina tertinggi di perairan Bondet daripada perairan Mundu. Nilai IKG di perairan Bondet kerang darah jantan tertinggi dibulan April dan Betina terjadi dibulan Juni, sedangkan pada perairan Mundu baik kerang darah jantan mapun betina tertinggi di bulan April.. Tingkat eksploitasi yang tinggi menyebabkan ukuran kerang menjadi kecil, komposisi kerang darah jantan dan betina tidak seimbang, kematangan gonad yang lebih awal, dan ukuran gonad yang kecil.

Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa stok kerang darah di dua lokasi tersebut mengalami tangkapan lebih (overfishing) sehingga upaya yang mungkin dilakukan adalah pembatasan jumlah tangkapan, pembatasan ukuran tangkap, dan penutupan musim penangkapan, sehingga tercapai pemanfaatan yang optimum dan berkelanjutan. Saran untuk penelitian selanjutnya adalah perluh penelitian lebih lanjut mengenai aspek reproduksi kerang darah lainnya seperti fekunditas dan diameter telur. Perlu dilakukan penelitian mengenai habitat dan kebiasaan makan. Sampel yang diambil sebaiknya mewakili setiap musim penangkapan sehingga informasi yang diperoleh dapat lebih menyeluruh.