Studi Embriogenesis Dan Organogenesis Serta Respon Beberapa Genotipe Ubi Kayu Terhadap Alcl3

STUDI EMBRIOGENESIS DAN ORGANOGENESIS SERTA
RESPON BEBERAPA GENOTIPE UBI KAYU
TERHADAP AlCl3

CANDRA CATUR NUGROHO

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Studi Embriogenesis dan
Organogenesis serta Respon beberapa Genotipe Ubi Kayu terhadap AlCl3 adalah
benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan
dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, Desember 2014

Candra Catur Nugroho
NIM A253110161

RINGKASAN
CANDRA CATUR NUGROHO. Studi Embriogenesis dan Organogenesis
serta Respon beberapa Genotipe Ubi Kayu terhadap AlCl3. Dibimbing oleh
NURUL KHUMAIDA dan SINTHO WAHYUNING ARDIE.
Ubi kayu (Manihot esculenta Crantz.) merupakan salah satu tanaman
penghasil karbohidrat yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber substitusi tepung
terigu. Pemanfaatan ubi kayu sebagai sumber substitusi tepung terigu perlu
dilakukan karena tingginya nilai impor tepung terigu dan produk gandum dari
tahun ke tahun. Produksi ubi kayu perlu ditingkatkan bukan hanya dalam rangka
pemanfaatan ubi kayu sebagai sumber pangan, tetapi juga sebagai sumber pakan
dan bio-energi. Akan tetapi, peningkatan produksi ubi kayu terkendala oleh
terbatasnya varietas unggul ubi kayu, sulitnya pemenuhan bibit ubi kayu bermutu
dalam jumlah besar dan seragam, serta perluasan areal tanam yang hanya dapat
dilakukan ke lahan marginal karena semakin berkurangnya lahan subur

(produktif) di Indonesia. Kultur in vitro merupakan teknologi yang dapat
diaplikasikan untuk perbanyakan cepat dan massal bibit ubi kayu bermutu serta
untuk mendukung program pemuliaan ubi kayu berdaya hasil tinggi dan toleran
cekaman abiotik, misalnya toksistas aluminium pada lahan bertanah masam.
Tujuan umum penelitian ini adalah memperoleh protokol perbanyakan tunas
beberapa genotipe ubi kayu secara in vitro melalui jalur embriogenesis somatik
dan organogenesis. Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk: 1) mempelajari
pengaruh berbagai jenis media dasar dan zat pengatur tumbuh dengan jenis
eksplan daun muda, tunas pucuk, dan petiol terhadap pembentukan kalus
embriogenik pada beberapa genotipe ubi kayu; 2) mendapatkan media induksi
kalus embriogenik optimum pada beberapa genotipe ubi kayu; 3) mendapatkan
nilai LC20 dan LC50 AlCl3 pada kalus ubi kayu; dan 4) mempelajari penggunaan
jenis media kultur dan posisi single node (pangkal, tengah, dan ujung) terhadap
pertumbuhan dan multiplikasi planlet ubi kayu genotipe Jame-jame, UJ 5, dan
Gajah secara in vitro. Penelitian ini terdiri atas lima percobaan, yaitu induksi kalus
embriogenik empat genotipe ubi kayu, optimasi induksi kalus embriogenik ubi
kayu genotipe Adira 4 dan Gajah, penentuan nilai LC20 dan LC50 AlCl3 pada kalus
empat genotipe ubi kayu, multiplikasi tunas ubi kayu genotipe Jame-jame, UJ 5,
dan Gajah secara in vitro, dan aklimatisasi bibit ubi kayu genotipe Jame-jame
hasil perbanyakan in vitro.

Percobaan induksi kalus embriogenik empat genotipe ubi kayu disusun
berdasarkan rancangan acak lengkap faktorial dua faktor. Faktor pertama
merupakan jenis eksplan yaitu daun muda, tunas pucuk, dan petiol. Faktor kedua
yaitu 8 jenis komposisi media induksi kalus embriogenik. Hasil percobaan
menunjukkan bahwa eksplan daun muda dan tunas pucuk yang dikulturkan dalam
media MS + 20 g L-1 sukrosa + 8 mg L-1 2.4-D (I5) dan MS + 20 g L-1 sukrosa +
10 mg L-1 NAA (I7) memberikan jumlah dan persentase eksplan membentuk
kalus tertinggi, waktu muncul kalus tercepat, pertumbuhan kalus tertinggi, dan
diameter kalus tertinggi.

Percobaan optimasi induksi kalus embriogenik ubi kayu genotipe Adira 4
dan Gajah disusun berdasarkan rancangan acak lengkap faktorial dua faktor.
Faktor pertama yaitu jenis eksplan (daun muda dan tunas pucuk). Faktor kedua
yaitu suhu ruang kultur (21-23 0C dan 25-27 0C). Hasil percobaan menunjukkan
bahwa pembentukan dan pertumbuhan kalus ubi kayu genotipe Adira 4 dan Gajah
lebih baik dilakukan pada suhu 25-27 ⁰C dibandingkan pada suhu 21-23 ⁰C
berdasarkan waktu muncul kalus, skor pertumbuhan dan diameter kalus.
Penggunaan jenis eksplan daun muda dan tunas pucuk tidak menunjukkan
perbedaan signifikan terhadap induksi pembentukan dan pertumbuhan kalus.
Kalus yang terbentuk pada percobaan ini merupakan kalus non-embriogenik.

Seleksi in vitro terhadap cekaman aluminium dilakukan dengan
menggunakan agen seleksi AlCl3. Percobaan ini disusun berdasarkan rancangan
acak lengkap satu faktor yaitu konsentrasi AlCl3 (0, 100, 200, 400, 600, dan
800 mg L-1). Berdasarkan hasil seleksi in vitro diketahui bahwa genotipe Jamejame dan Gajah relatif peka terhadap toksisitas aluminium dibandingkan genotipe
Adira 4 dan UJ 5. Hal ini dapat dilihat dari kepekaan kalus genotipe Jame-jame
(LC20 = 19.39; LC50 = 236.37) dan Gajah (LC20 = 39.99; LC50 = 156.54) terhadap
pemberian AlCl3 dibandingkan kalus genotipe Adira 4 (LC20 = 831.88;
LC50 = 2897.10) dan UJ 5 (LC20 dan LC50 belum teridentifikasi hingga
konsentrasi maksimum AlCl3).
Percobaan multiplikasi tunas ubi kayu genotipe Jame-jame, UJ 5, dan Gajah
secara in vitro disusun berdasarkan rancangan kelompok lengkap teracak faktorial
dua faktor pada genotipe Jame-jame dan UJ 5 dan rancangan acak lengkap
faktorial dua faktor pada genotipe Gajah. Faktor pertama adalah komposisi media
kultur (MS0 dan MS + 3 mg L-1 BAP). Faktor kedua adalah posisi single node
(pangkal, tengah, dan ujung). Hasil percobaan menunjukkan bahwa planlet
memberikan respon pertumbuhan berupa tinggi planlet, jumlah daun, dan jumlah
buku terbaik jika menggunakan single node bagian tengah dan dikulturkan dalam
media MS0, sedangkan untuk pertumbuhan jumlah tunas terbaik jika
menggunakan single node bagian tengah dan dikulturkan dalam media MS +
3 mg L-1 BAP. Berdasarkan analisis uji-t pada parameter tinggi planlet, jumlah

buku, dan jumlah tunas, genotipe lokal (Jame-jame dan Gajah) menunjukkan
respon pertumbuhan lebih baik dibandingkan varietas nasional (UJ 5). Percobaan
aklimatisasi bibit ubi kayu genotipe Jame-jame disusun berdasarkan rancangan
acak lengkap satu faktor yaitu periode kultur sebelum aklimatisasi (12, 24, 36, dan
48 minggu sebelum kultur [MSK]). Hasil percobaan menunjukkan bahwa bibit
dari periode 12 dan 24 MSK memiliki persentase kehidupan aklimatisasi (80%)
lebih tinggi dibandingkan dengan bibit dari periode 36 (50%) dan 48 (40%) MSK.
Kata kunci: AlCl3, 2.4-D, embriogenesis somatik, multiplikasi tunas, NAA,
periode kultur, toksisitas aluminium, ubi kayu

SUMMARY
CANDRA CATUR NUGROHO. Embryogenesis and Organogenesis Study,
and Response of Cassava Genotypes on AlCl3. Supervised by NURUL
KHUMAIDA and SINTHO WAHYUNING ARDIE.
Cassava (Manihot esculenta Crantz.) is one of carbohydrate producing crops
that is important for food, feed and bio-fuel. Since the import value of wheat
based product is increasing year by year in Indonesia, cassava is potentially used
to partially substitute the use of wheat as carbohydrate source. The cassava
development in Indonesia is constrained by the limited of superior varieties, the
difficulty in providing a large number and continuous supply of high quality

seedlings, and the limited productive area for cassava planting area expansion. In
vitro propagation is an advance technology that can be used for the rapid and mass
propagation of cassava seedlings, as well as to assist the cassava breeding
program for high yielding and abiotic stress tolerance traits. The general objective
of this research was to obtain the in vitro shoots multiplication protocol on
cassava genotypes through somatic embryogenesis and organogenesis.
Specifically, the objectives of this study were to: 1) study the effect type of basal
mediums and growth regulators with the type of explants (immature leaves, shoot
tips, and petioles) on embryogenic callus formation of cassava genotypes;
2) obtain the optimum embryogenic callus induction medium on cassava
genotypes; 3) obtain the LC20 and LC50 of AlCl3 on cassava callus for in vitro
selection; 4) study the effect of culture medium composition and single node
position (basal, middle, and top section of the stem) on growth and shoot
multiplication of cassava Jame-jame, UJ 5, and Gajah genotypes in vitro. The
research consisted of five experiments, including the induction of embryogenic
callus of four cassava genotypes, optimization of embryogenic callus induction of
cassava Adira 4 and Gajah genotypes, determination of LC20 and LC50 of AlCl3 on
callus of four cassava genotypes, in vitro shoot multiplication of cassava Jamejame, UJ 5, and Gajah genotypes, and acclimatization of cassava seedlings of
Jame-jame genotype.
The experiment of embryogenic callus induction of four cassava genotypes

was arranged in the completely randomized design with two factors. The first
factor was type of explants (immature leaves, shoot tips, and petioles). The second
factor was embryogenic callus induction medium consisted of 8 medium
compositions. The results showed that immature leaves and shoot tips cultured on
the MS + 20 g L-1 sucrose + 8 mg L-1 2.4-D medium and MS + 20 g L-1 sucrose +
10 mg L-1 NAA medium resulted in the highest number and percentage of
explants forming callus, fastest initiation of callus, highest callus growth, and
highest diameter of callus for UJ 5, Jame-jame, Gajah, and Adira 4 genotypes.
The experiment of embryogenic callus induction optimization of cassava
Adira 4 and Gajah genotypes was arranged in the completely randomized design
with two factors. The first factor was type of explants (immature leaves and shoot
tips). The second factor was the temperature of culture room (21-23 0C and
25-27 0C). The result showed that callus formation and growth of cassava Adira 4
and Gajah genotypes were better when cultured at temperature of 25-27 ⁰C than at
21-23 ⁰C based on the time of callus initiation, callus growth score, and callus

diameter. The use of immature leaves and shoot tips explant showed no significant
effect in the induction and growth of callus formation. Callus formed in this
experiment was non-embryogenic callus.
The experiment of LC20 and LC50 of AlCl3 determination was arranged in

the completely randomized design with the concentration of AlCl3 (0, 100, 200,
400, 600 and 800 mg L-1) as treatment. Results of in vitro selection showed that
Jame-jame and Gajah genotypes relatively sensitive to aluminum toxicity than
Adira 4 and UJ 5 genotypes. It can be seen from the sensitivity of Jame-jame
(LC20 = 19.39; LC50 = 236.37) and Gajah (LC20 = 39.99; LC50 = 156.54)
genotypes callus’s to AlCl3 compared to Adira 4 (LC20 = 831.88; LC50 = 2897.10)
and UJ 5 (LC20 and LC50 was not identified since the curve was still linear until
the maximum AlCl3 concentration) genotypes callus’s.
The experiment of in vitro shoot multiplication of cassava was arranged in
the randomized complete block design for Jame-jame and UJ 5 genotypes, while it
was arranged in the completely randomized design for Gajah genotype with two
factors. The first factor was culture medium (MS0 and MS + 3 mg L-1 BAP) and
the second factor was single node positions used as explant (basal, middle, and
top section of the stem). The results showed that based on height of planlet,
number of leaves, and the number of nodes, single node at middle position was
the best explants when cultured on MS0 medium, while based on the number of
shoots, the single node at middle position was best cultured on MS + 3 mg L-1
BAP medium. Based on t-test analysis on height of planlet, number of nodes, and
number of shoots variables, local genotypes (Jame-jame and Gajah) showed better
performance than national variety (UJ 5). The experiment of acclimatization of

cassava seedlings Jame-jame genotype was arranged in the completely
randomized design with culture period prior to acclimatization as treatment. The
results showed that seedlings from period of 12 and 24 weeks after culture showed
higher survival rates (80%) than seedlings from period of 36 (50%) and 48 (40%)
weeks after culture.
Keywords: AlCl3, aluminum toxicity, cassava, culture period, 2.4-D, NAA, shoot
multiplication, somatic embryogenesis

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

STUDI EMBRIOGENESIS DAN ORGANOGENESIS SERTA
RESPON BEBERAPA GENOTIPE UBI KAYU

TERHADAP AlCl3

CANDRA CATUR NUGROHO

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Agus Purwito, MScAgr

Judul Tesis : Studi Embriogenesis dan Organogenesis serta Respon beberapa
Genotipe Ubi Kayu terhadap AlCl3
Nama

: Candra Catur Nugroho
NIM
: A253110161

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Dr Ir Nurul Khumaida, MSi
Ketua

Dr Sintho Wahyuning Ardie, SP MSi
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Yudiwanti Wahyu EK, MS

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 24 Oktober 2014

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Tesis yang berjudul
”Studi Embriogenesis dan Organogenesis serta Respon beberapa Genotipe
Ubi Kayu terhadap AlCl3” disusun sebagai salah satu syarat kelulusan untuk
memperoleh gelar Magister Sains pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian
Bogor.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Nurul Khumaida, MSi dan
Dr Sintho Wahyuning Ardie, SP MSi selaku komisi pembimbing. Ucapan terima
kasih juga penulis sampaikan kepada dosen penguji Dr Ir Agus Purwito, MScAgr
dan kepada Ketua Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman Dr Ir
Yudiwanti Wahyu EK, MS. Di samping itu, ucapan terima kasih penulis
sampaikan kepada Bapak Isman Saladin selaku Ketua Masyarakat Singkong
Indonesia wilayah Kalimantan Timur dan Dr Ir Dorly, MSi selaku staf pengajar
Departemen Biologi-IPB yang telah membantu dalam penelitian. Terima kasih
kepada yang tercinta kedua orang tua Bapak Tarmudji dan Ibu Sumartun serta
seluruh keluarga atas doa, restu, dan motivasi selama penulis menempuh
pendidikan pascasarjana di IPB. Kemudian ucapan terima kasih juga penulis
sampaikan kepada seluruh teman-teman di Laboratorium Kultur Jaringan III,
teman-teman S2 dan S3 PBT angkatan 2011 atas kebersamaan, doa, dukungan,
dan motivasinya selama ini.
Penulis berharap semoga tesis ini dapat menambah wawasan ilmu
pengetahuan dan berguna bagi yang memerlukannya.

Bogor, Desember 2014

Candra Catur Nugroho

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan
Hipotesis
Ruang Lingkup Penelitian
2 TINJAUAN PUSTAKA
Botani dan Deskripsi Tanaman Ubi Kayu (Mannihot esculenta
Crantz.)
Kultur Jaringan Tanaman
Organogenesis dan Embriogenesis Somatik Ubi Kayu
Seleksi In Vitro terhadap Toksisitas Aluminium
3 INDUKSI KALUS EMBRIOGENIK BEBERAPA GENOTIPE UBI
KAYU
Abstrak
Abstract
Pendahuluan
Bahan dan Metode
Hasil dan Pembahasan
Simpulan
4 PENENTUAN NILAI LC20 DAN LC50 AlCl3 PADA KALUS EMPAT
GENOTIPE UBI KAYU
Abstrak
Abstract
Pendahuluan
Bahan dan Metode
Hasil dan Pembahasan
Simpulan
5 MULTIPLIKASI TUNAS UBI KAYU GENOTIPE JAME-JAME, UJ 5,
DAN GAJAH SECARA IN VITRO
Abstrak
Abstract
Pendahuluan
Bahan dan Metode
Hasil dan Pembahasan
Simpulan
6 AKLIMATISASI BIBIT UBI KAYU GENOTIPE JAME-JAME HASIL
PERBANYAKAN IN VITRO
Abstrak
Abstract
Pendahuluan
Bahan dan Metode
Hasil dan Pembahasan

vii
viii
ix
1
1
3
3
3
7
7
8
10
12
14
14
14
15
16
19
32
33
33
33
34
34
35
40
41
41
41
42
42
44
52
53
53
53
54
54
55

vi

Simpulan
7 PEMBAHASAN UMUM
8 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

58
59
61
61
61
61
69
80

DAFTAR TABEL
1.
2.
3.
4.

Data luas panen, produktivitas dan produksi ubi kayu nasional
Deskripsi ubi kayu varietas Adira 4 dan UJ 5
Komposisi media induksi kalus embriogenik ubi kayu
Persentase eksplan membentuk kalus pada ubi kayu genotipe UJ 5,
Jame-jame, Gajah, dan Adira 4 saat 4 MSK
5. Uji kontras ortogonal terhadap persentase pembentukan kalus ubi
kayu
6. Waktu terbentuknya kalus (hari) pada empat genotipe ubi kayu
7. Uji kontras ortogonal terhadap waktu terbentuknya kalus (HSK) ubi
kayu
8. Skor pertumbuhan kalus ubi kayu genotipe UJ 5, Jame-jame, Gajah,
dan Adira 4 pada 4 MSK
9. Diameter kalus (mm) ubi kayu genotipe UJ 5, Jame-jame, Gajah, dan
Adira 4 pada 4 MSK
10. Uji kontras ortogonal terhadap diameter kalus ubi kayu pada 4 MSK
11. Persentase eksplan membentuk embrio somatik fase globular pada
ubi kayu genotipe UJ 5, Jame-jame, Gajah, dan Adira 4
12. Uji kontras ortogonal terhadap persentase eksplan membentuk embrio
somatik
13. Skor pertumbuhan kalus ubi kayu genotipe Adira 4 dan Gajah saat
4 MSK
14. Diameter kalus (mm) genotipe Adira 4 saat 4 MSK
15. Diameter kalus (mm) genotipe Gajah saat 4 MSK pada media I7
16. Diameter kalus (mm) ubi kayu genotipe Jame-jame, UJ 5, Adira 4,
dan Gajah
17. Skor kematian kalus ubi kayu genotipe Jame-jame, UJ 5, Adira 4, dan
Gajah
18. Nilai LC20 dan LC50 AlCl3 pada kalus ubi kayu genotipe Jame-jame,
UJ 5, Adira 4, dan Gajah
19. Waktu munculnya tunas (hari) pada beberapa genotipe ubi kayu
20. Jumlah daun planlet ubi kayu genotipe UJ 5 dan Jame-jame
21. Jumlah daun planlet ubi kayu genotipe Gajah
22. Tinggi planlet (cm) ubi kayu genotipe Jame-jame dan Gajah
23. Jumlah tunas planlet ubi kayu genotipe Jame-jame dan Gajah
24. Jumlah buku planlet ubi kayu genotipe Gajah
25. Hasil analisis uji-t tinggi planlet, jumlah buku, dan jumlah tunas
genotipe lokal terhadap varietas nasional
26. Korelasi antar peubah gabungan tiga genotipe
27. Uji kontras ortogonal antar media kultur

2
8
17
20
21
22
23
24
25
26
27
28
30
30
31
37
38
39
45
46
46
47
48
49
51
51
52

DAFTAR GAMBAR
1. Kerangka berpikir perbanyakan bibit ubi kayu
2. Diagram alir pelaksanaan penelitian studi embriogenesis dan
organogenesis ubi kayu.
3. Tahapan pembentukan embrio somatik pada tanaman ubi kayu: (a) Tunas
apikal pada media induksi; (b) embrio somatik primer pada fase globular
setelah dikulturkan 10 hari di media induksi; (c) fase torpedo dan
kotiledon setelah dikulturkan 21 hari di media induksi; (d) kotiledon
hijau pada embrio somatik primer; (e) induksi embrio somatik sekunder
setelah 10 hari inkubasi dari kotiledon somatik pada media induksi;
(f) fase torpedo dan kotiledon pada embrio somatik sekunder setelah
dikulturkan 21 hari di media induksi
4. Eksplan yang digunakan: (D) daun muda, (P) petiol, dan (T) tunas pucuk
dengan ukuran ± 4-5 mm
5. Skor pertumbuhan kalus: (a) Skor 1, (b) Skor 2, (c) Skor 3, (d) Skor 4,
dan (e) Skor 5 pada eksplan daun muda genotipe Jame-jame
6. Kondisi rak kultur: (a) penambahan 2 buah lampu pijar pada perlakuan
suhu 25-27 0C dan (b) inkubasi di rak tertutup tanpa cahaya
7. Struktur kalus ubi kayu genotipe Adira 4 dari eksplan (a) daun muda, (b)
tunas pucuk, dan (c) petiol saat 4 MSK
8. Kalus embriogenik ubi kayu genotipe Adira 4 saat 4 MSK.
9. Waktu muncul kalus ubi kayu genotiope Adira 4
10. Waktu muncul kalus ubi kayu genotipe Gajah
11. Kalus ubi kayu genotipe Adira 4 (a-d) dan Gajah (e-h): (a dan e) daun
muda pada suhu 21-23 ⁰C, (b dan f) tunas pucuk pada suhu
21-23 ⁰C, (c dan g) daun muda pada suhu 25-27 ⁰C, (d dan h) tunas
pucuk pada suhu 25-27 ⁰C
12. Skor perubahan warna kalus ubi kayu
13. Kalus hasil seleksi in vitro menggunakan AlCl3 pada genotipe
Adira 4 (a-c) dan Jame-jame (d-f) di media: (a dan d) MS + 0 mg L-1
AlCl3, (b dan e) MS + 400 mg L-1 AlCl3, (c dan f) MS + 800 mg L-1
AlCl3 saat 12 MSK
14. Kurva respon LC20 dan LC50 terhadap perlakuan konsentrasi AlCl3
pada kalus ubi kayu genotipe: (a) Jame-jame, (b) Adira 4, dan (c) Gajah
15. Eksplan buku tunggal (single node) ubi kayu genotipe Jame-jame
16. Posisi buku tunggal (single node) ubi kayu genotipe Jame-jame
17. Pengamatan terhadap pertumbuhan planlet ubi kayu: (a) tunas baru
terbentuk, (b) tinggi tanaman, dan (c) jumlah buku total
18. Keragaaan planlet ubi kayu genotipe Jame-jame: (a) single node
pangkal di media MS0, (b) single node tengah di media MS0, (c) single
node ujung di media MS0, (d) single node pangkal di media B3,
(e) single node tengah di media B3, dan (f) single node ujung di media
B3 saat 8 MSK
19. Irisan melintang buku planlet ubi kayu genotipe Jame-jame:
(a) pangkal, (b) tengah, dan (c) ujung

5
6

12
16
17
18
23
27
29
29

31
35

36
39
43
43
44

47
50

ix
20. Keragaaan planlet ubi kayu genotipe Jame-jame: (a) single node
pangkal di media MS0, (b) single node tengah di media MS0, dan (c)
single node ujung di media MS0
21. Skema periode kultur planlet ubi kayu sebelum diaklimatisasi
22. Persentase tanaman hidup ubi kayu genotipe Jame-jame saat 8 MSA
23. Morfologi tanaman ubi kayu genotipe Jame-jame: (a) tanaman hasil
aklimatisasi saat 8 MSA, (b) helai daun umur 10 hari dari tanaman hasil
aklimatisasi, (c) helai daun umur 10 hari dari tanaman di lapangan, (d)
karakteristik stomata daun hasil aklimatisasi, dan (e) karakteristik
stomata daun di lapangan
24. Tinggi tanaman ubi kayu genotipe Jame-jame hasil aklimatisasi
25. Jumlah daun total tanaman ubi kayu genotipe Jame-jame hasil
aklimatisasi

50
55
56

56
57
57

DAFTAR LAMPIRAN
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.

Deskripsi ubi kayu genotipe Jame-jame
Deskripsi ubi kayu genotipe Gajah
Penelitian organogenesis ubi kayu di Indonesia dan di mancanegara
Penelitian embriogenesis somatik ubi kayu di Indonesia dan di
mancanegara
Komposisi media Murashige-Skoog (MS)
Komposisi media Gresshoff and Doy (GD)
Komposisi media MS modifikasi
Tinggi planlet (cm) ubi kayu genotipe UJ 5
Jumlah tunas ubi kayu genotipe UJ 5
Jumlah buku ubi kayu genotipe UJ 5 dan Jame-jame

70
71
72
74
76
77
78
79
79
79

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sampai saat ini Indonesia masih mengimpor tepung terigu dan produk
gandum untuk memenuhi kebutuhan tepung terigu di dalam negeri dengan nilai
impor yang menempati urutan pertama untuk produk pertanian dan pangan. Nilai
impor terigu dan produk gandum pada tahun 2006 sampai dengan 2009, berturutturut mencapai 816.12 juta US$, 1 181.3 juta US$, 1 975.5 juta US$, dan
1 316.1 juta US$. Bahkan devisa negara yang dikeluarkan untuk mengimpor
tepung terigu dan produk gandum pada tahun 2010 mencapai 1 424.3 juta US$
(FAO 2011). Nilai impor tepung terigu dan produk gandum yang sangat besar ini
diantaranya disebabkan oleh a) perubahan pola konsumsi masyarakat yang lebih
menyukai pangan olahan berbahan baku terigu, b) ketersediaan teknologi pangan
berbahan baku terigu,c) keterbatasan/kendala budidaya tanaman gandum di
wilayah tropika dan belum tersedianya varietas yang adaptif, dan d) sumber
pangan lokal pengganti (substitusi) tepung gandum belum digali dengan
maksimal, serta e) arah dan kebijakan diversifikasi pangan seyogyanya lebih pada
pemanfaatan bahan pangan lokal.
Indonesia terkenal sebagai negara yang memiliki keanekaragaman hayati
sangat besar, yang memberikan peluang besar untuk menggali potensi sumber
daya pangan lokal dan memanfaatkannya sebagai bahan baku substitusi tepung
terigu. Kelompok tanaman umbi-umbian memiliki potensi besar untuk
dikembangkan sebagai sumber karbohidrat, seperti ubi kayu, ubi jalar, talastalasan, iles-iles, gadung, garut, dan ganyong. Melimpahnya ketersedian bahan
baku sumber pangan di Indonesia merupakan kekuatan dalam mempertahankan
ketahanan pangan dalam negeri. Akan tetapi, menurut Suryana (2009) pola
konsumsi pangan penduduk Indonesia telah bergeser menjadi pola beras – terigu.
Akibatnya proses penggalian dan pemanfaatan potensi pangan lokal khususnya
sumber pangan karbohidrat lain menjadi berkurang.
Ubi kayu (Manihot esculenta Crantz.) memiliki prospek pemanfaatan dan
pengembangan yang besar. Ubi kayu banyak dimanfaatkan sebagai bahan
makanan, selain itu ubi kayu juga dimanfaatkan sebagai bahan baku industri
terutama industri pellet atau pakan ternak dan industri pengolahan tepung. Ubi
kayu juga dapat dimanfaatkan untuk dijadikan bahan baku pembuatan bioetanol
(Purwanti 2008).
Luas panen, produktivitas, dan produksi ubi kayu nasional cenderung
mengalami peningkatan (Tabel 1). Peningkatan produksi ubi kayu nasional
disebabkan oleh adanya isu diversifikasi pangan, pemanfaatan sebagai bahan baku
pembuatan bioetanol, pakan ternak, dan industri tepung. Hal ini menuntut adanya
persediaan bahan tanam (bibit) ubi kayu bermutu dalam jumlah banyak dan jelas
varietasnya, serta dihasilkan dalam waktu yang relatif cepat. Salah satu alternatif
yang dapat diterapkan adalah dengan teknik kultur jaringan (in vitro).

2

Tabel 1. Data luas panen, produktivitas dan produksi ubi kayu nasional
Tahun
Luas panen (ha)
Produktivitas (ton ha-1)
Produksi (ton)
2009
1 175 666
18.75
22 039 145
2010
1 183 047
20.22
23 918 118
2011
1 184 696
20.30
24 044 025
2012
1 129 688
21.40
24 177 372
2013
1 065 752
22.46
23 936 921
*
2014
1 149 208
22.99
26 421 770
Keterangan: * = data tahun 2014 merupakan angka ramalan I

Sumber: BPS (2014)
Teknik perbanyakan bibit ubi kayu secara in vitro perlu dilakukan karena
belum ada lembaga atau perusahaan penghasil stek (bibit) asal in vitro dalam
jumlah besar dan memiliki kejelasan varietas. Selain itu, adanya perluasan areal
tanam ubi kayu menuntut adanya penyediaan bibit unggul dan bermutu dalam
jumlah besar. Bibit unggul yang dihasilkan dari kultur jaringan umumnya bebas
dari patogen dan dapat dijadikan sebagai mother stock.
Penelitian perbanyakan dan perbaikan tanaman ubi kayu melalui teknik
kultur jaringan telah banyak dilakukan. Penelitian yang dilakukan mencakup
penelitian tentang pembentukan tunas baru (multiplikasi tunas) dan pembentukan
kalus embriogenik (Hankoua et al. 2006; Onuoch dan Onwubiku 2007; Feitosa et
al. 2007; Rossin dan Rey 2011; Wongtiem et al. 2011; Mapayi et al. 2013).
Penelitian perbaikan tanaman ubi kayu di Afrika dan negara Amerika Latin
difokuskan terhadap perbaikan genotipe atau varietas yang tahan terhadap hama
dan penyakit (Mushiyimana et al. 2011; Cacai et al. 2013a). Perbaikan sifat ubi
kayu yang telah dilakukan di Indonesia yaitu peningkatan kandungan nutrisi pada
umbi seperti jenis protein tertentu, komponen lain seperti fosfor dan rasio antara
amilosa dan amilopektin (Sudarmonowati et al. 2002).
Keragaman somaklonal dalam kultur in vitro dapat menghasilkan individuindividu baru sebagai dampak dari instabilitas somatik selama pengkulturan.
Keragaman dapat dipacu bila kultur in vitro diinduksi dengan mutagen fisik atau
kimiawi pada populasi sel yang embriogenik. Regenerasi sel embriogenik
membentuk tanaman melalui embriogenesis somatik memberikan peluang yang
tinggi untuk mendapatkan varian yang diinginkan karena propagul yang
dihasilkan sangat banyak jumlahnya (Ammirato 1987).
Variasi somaklonal yang diperoleh melalui embriogenesis somatik dapat
digunakan sebagai materi seleksi in vitro dengan menggunakan media seleksi
yang sesuai sehingga diperoleh somaklon dengan sifat yang diinginkan. Peran
seleksi in vitro dalam program pemuliaan tanaman adalah mempercepat waktu
seleksi (Jain 2001). Seleksi in vitro bisa diterapkan pada berbagai kondisi
cekaman abiotik misalnya cekaman terhadap aluminium. Seleksi ini biasanya
menggunakan agen seleksi AlCl3. AlCl3 digunakan untuk menyeleksi varian
somaklon ubi kayu yang ada, sehingga nantinya diharapkan diperoleh varian
putatif ubi kayu yang potensial dikembangkan di lahan bertanah masam dimana
toksisitas aluminium seringkali menjadi masalah utama.

3

Tujuan
Tujuan umum penelitian ini adalah mendapatkan protokol perbanyakan tunas
beberapa genotipe ubi kayu secara in vitro melalui jalur embriogenesis somatik
dan organogenesis. Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mempelajari pengaruh berbagai jenis media dasar dan zat pengatur tumbuh
dengan jenis eksplan daun muda, tunas pucuk, dan petiol terhadap
pembentukan kalus embriogenik pada beberapa genotipe ubi kayu.
2. Mendapatkan media induksi kalus embriogenik optimum pada beberapa
genotipe ubi kayu.
3. Mendapatkan nilai LC20 dan LC50 AlCl3 pada kalus yang diuji.
4. Mempelajari penggunaan jenis media kultur dan posisi single node
(pangkal, tengah, dan ujung) terhadap pertumbuhan dan multiplikasi planlet
ubi kayu genotipe Jame-jame, UJ 5, dan Gajah secara in vitro.
Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah:
1. Kalus embriogenik dapat diinduksi dari eksplan daun muda, tunas pucuk, dan
petiol beberapa genotipe ubi kayu.
2. Terdapat media induksi kalus embriogenik yang optimal pada masing-masing
genotipe ubi kayu.
3. Terdapat jenis media kultur yang optimum untuk pertumbuhan dan multiplikasi
planlet ubi kayu genotipe Jame-jame, UJ 5, dan Gajah secara in vitro.
4. Terdapat posisi single node yang optimum untuk pertumbuhan dan multiplikasi
planlet ubi kayu genotipe Jame-jame, UJ 5, dan Gajah secara in vitro.
5. Terdapat interaksi antara jenis media kultur dan posisi single node yang
optimum untuk pertumbuhan dan multiplikasi planlet ubi kayu genotipe Jamejame, UJ 5, dan Gajah secara in vitro.
Ruang Lingkup Penelitian
Ubi kayu merupakan salah satu tanaman penghasil karbohidrat yang dapat
dimanfaatkan sebagai sumber substitusi tepung terigu. Pemanfaatan ubi kayu
sebagai sumber substitusi tepung terigu dilakukan karena tingginya nilai impor
tepung terigu dan produk gandum dari tahun ke tahun. Kondisi seperti ini
menuntut dilakukannya program peningkatan produksi ubi kayu. Akan tetapi,
peningkatan produksi ubi kayu di lapangan mengalami beberapa kendala,
diantaranya adalah membutuhkan bibit (stek batang) unggul dan bermutu dalam
jumlah besar dan seragam serta perluasan areal tanam menggunakan lahan
marginal seperti lahan bertanah masam karena semakin berkurangnya lahan subur
(produktif) di Indonesia. Oleh sebab itu, diperlukan teknologi perbanyakan ubi
kayu secara in vitro. Perbanyakan bibit ubi kayu secara in vitro dapat dilakukan
melalui jalur embriogenesis somatik dan organogenesis yang hasil akhirnya
adalah tersedianya bibit yang bermutu, seragam, dan true to type dalam jumlah
besar dan dalam waktu cepat. Melalui jalur organogenesis, planlet yang dihasilkan
nantinya selain sebagai mother stock juga digunakan sebagai bahan tanam
(eksplan) untuk embriogenesis somatik. Peningkatan keragaman genetik yang

4

diikuti oleh seleksi in vitro hasil akhirnya berupa varietas toleran terhadap lahan
bertanah masam. Kerangka berpikir perbanyakan bibit ubi kayu disajikan pada
Gambar 1.
Penelitian diawali dengan sterilisasi potongan tunas samping ubi kayu untuk
menghasilkan kultur asenik. Daun muda, tunas pucuk, dan petiol in vitro dijadikan
sebagai eksplan pada percobaan 1a yang akan dikulturkan pada delapan jenis
media induksi kalus embriogenik (KE). Selanjutnya, jenis eksplan dari genotipegenotipe yang memiliki respon baik pada media induksi akan dilanjutkan dengan
mengkulturkannya pada media proliferasi dan pendewasaan KE. Tahap
selanjutnya embrio somatik diregenerasikan menjadi planlet, kemudian dilakukan
proses aklimatisasi pada planlet yang terbentuk. Selama penelitian berlangsung,
proliferasi KE kurang berhasil karena sebagian besar KE yang dikulturkan mati
atau kembali lagi membentuk kalus non-embriogenik sehingga penelitian ini
hanya sampai pada tahapan induksi KE. Kegiatan optimasi induksi kalus
embriogenik dilakukan pada percobaan 1b. Optimasi dilakukan dengan
menggunakan media dan jenis eksplan terbaik yang responsif membentuk KE
berdasarkan hasil percobaan 1a. Penanaman eksplan dilakukan pada dua kondisi
suhu ruangan kultur yang berbeda (±21-23 0C dan ±25-27 0C).
Kegiatan penentuan lethal concentration 20 (LC20) dan LC50 dalam rangka
seleksi in vitro terhadap toksisitas aluminium dengan menggunakan agen seleksi
AlCl3 dilakukan pada percobaan 2. Bahan tanam yang digunakan adalah kalus
genotipe Jame-jame, Adira 4, UJ 5, dan Gajah. Media seleksi yang digunakan
adalah media MS + 3 mg L-1 BAP, dengan penambahan AlCl3 (0, 100, 200, 400,
600, dan 800 mg L-1 ) pada pH rendah (4.0).
Kegiatan multiplikasi tunas ubi kayu secara in vitro dilakukan pada
percobaan 3. Bahan tanam yang digunakan yaitu single node dengan berbagai
posisi (pangkal, tengah, dan ujung) pada genotipe Jame-jame, UJ 5, dan Gajah.
Eksplan single node dikulturkan dalam media MS0 dan MS + 3 mg L-1 BAP.
Aklimatisasi bibit ubi kayu hasil perbanyakan secara in vitro dilakukan pada
percobaan 4. Kegiatan aklimatisasi menggunakan planlet genotipe Jame-jame
yang ditanam dalam wadah yang berisi campuran kompos : arang sekam (1:1,
v/v). Diagram alir penelitian disajikan pada Gambar 2.

5

Peningkatan jumlah penduduk

peningkatan konsumsi karbohidrat

Nilai impor gandum meningkat

Solusi: mencari sumber karbohidrat lain




ubi kayu

Kendala dalam perbanyakan ubi kayu di lapangan:
Membutuhkan bibit (stek batang) unggul dan bermutu dalam jumlah
besar dan seragam.
Berkurangnya tanah subur (produktif) di Indonesia
memanfaatkan
lahan marginal misalnya lahan masam
perlu varian putatif ubi
kayu toleran lahan masam

Teknologi perbaikan tanaman
secara in vitro

Embriogenesis somatik

Varian somaklon

Seleksi in vitro dengan AlCl3

Regenerasi menjadi planlet

Varian putatif ubi kayu toleran
lahan masam

Teknologi perbanyakan bibit
secara in vitro
Organogenesis

Regenerasi menjadi planlet

Perbanyakan untuk menghasilkan
mother stock planlet

Aklimatisasi planlet

Produksi stek mikro generasi ke-1
hingga generasi ke-n (G1-Gn)

Gambar 1. Kerangka berpikir perbanyakan bibit ubi kayu

6

Gambar 2. Diagram alir pelaksanaan penelitian studi embriogenesis dan
organogenesis ubi kayu. Tanda
artinya tahapan kegiatan yang
dikerjakan berkelanjutan;
artinya tahapan kegiatan yang tidak
berhubungan secara langsung atau kegiatan yang tidak dikerjakan
dalam penelitian.

7

2 TINJAUAN PUSTAKA

Botani dan Deskripsi Tanaman Ubi Kayu (Mannihot esculenta Crantz.)
Ubi kayu merupakan tanaman yang mudah ditanam, dapat tumbuh di
berbagai lingkungan agroklimat tropis. Secara umum tanaman ini tidak menuntut
iklim yang spesifik untuk pertumbuhannya. Namun demikian ubi kayu akan
tumbuh baik pada curah hujan 750−1 000 mm tahun-1, suhu 25−28 ºC, dan pH
tanah 4.5−8 (LIPTAN BIP Irian Jaya 1995).
Ubi kayu termasuk dalam famili Euphorbiaceae yang mempunyai
7 200 spesies, beberapa di antaranya mempunyai nilai komersial, seperti karet
(Hevea brasiliensis), jarak (Ricinus comunis dan Jatropha curcas), umbi-umbian
(Manihot spp.), dan tanaman hias (Euphorbia spp.). Klasifikasi taksonomi
tanaman ubi kayu sebagai berikut (IPNI 2014):
Kelas
: Dicotyledoneae
Ordo
: Euphorbiales
Famili
: Euphorbiaceae
Genus
: Manihot
Spesies
: Manihot esculenta Crantz.
Ubi kayu (Manihot esculenta Crantz.) adalah tanaman daerah tropik yang
dapat tumbuh di berbagai kondisi tanah, bahkan pada tanah yang tidak subur
sekalipun (Priadi et al. 2004). Perbanyakan ubi kayu umumnya dilakukan secara
vegetatif sehingga vigor dan produktivitasnya dapat dipertahankan (Roca et al.
2000). Umbi ubi kayu mengandung sumber karbohidrat (termasuk pati) untuk
pangan dan pakan serta untuk bahan baku berbagai macam industri.
Varietas ubi kayu sudah tersebar luas dan dibudidayakan oleh masyarakat.
Varietas tersebut merupakan varietas lokal maupun varietas unggul nasional.
Varietas unggul ubi kayu yang saat ini banyak ditanam di kalangan masyarakat
diantaranya adalah Adira 1, Adira 2, Adira 4, Darul Hidayah, Malang 1, Malang
2, Malang 4, Malang 6, UJ-3, dan UJ 5 (Purwono dan Purnamawati 2007).
Deskripsi ubi kayu varietas Adira 4 dan UJ 5 disajikan pada Tabel 2. Selain itu,
terdapat genotipe-genotipe ubi kayu unggul lokal yang tersebar di wilayah
Indonesia. Jame-jame (Lampiran 1) dan Gajah (Lampiran 2) merupakan genotipe
ubi kayu unggul lokal yang masing-masing berasal dari daerah Halmahera,
Maluku Utara dan Kalimantan Timur.

8

Tabel 2. Deskripsi ubi kayu varietas Adira 4 dan UJ 5
Keterangan

Varietas

Adira 4
UJ 5
Tahun pelepasan
1993
2000
Tetua
persilangan bebas, induk betina
introduksi Thailand
BIC 528 (Muara)
Rataan hasil
35 ton ha-1
25-38 ton ha-1
Tinggi tanaman
1.5-2.0 m
> 2.5 m
Umur panen
10 bulan
9-10 bulan
Rasa umbi
agak pahit
pahit
Ketahanan
tahan terhadap Pseudomonas
agak tahan CBB
hama/penyakit
solanecearum dan Xanthomonas
(Cassava Bacterial
mannihotis
Blight)
Keterangan
kualitas rebus bagus tetapi agak
bentuk umbi
pahit
mencengkeram
Sumber: Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan (2011)
Kultur Jaringan Tanaman
Salah satu cara perbanyakan tanaman secara vegetatif adalah melalui kultur
jaringan. Kultur jaringan merupakan suatu teknik untuk mengisolasi bagian dari
tanaman seperti protoplas, sel, sekelompok sel, jaringan, dan organ serta
menumbuhkannya dalam kondisi aseptik sehingga bagian-bagian tersebut dapat
memperbanyak diri dan beregenerasi menjadi tanaman utuh kembali. Tujuan
pokok dari perbanyakan mikro ini adalah memproduksi tanaman dalam jumlah
besar dalam waktu yang singkat (Gunawan 1992; Wattimena et al. 2011). Kultur
jaringan tanaman bisa menghasilkan tanaman dalam jumlah besar dan relatif
seragam (Conger 1980). Penerapan teknik kultur jaringan tanaman telah
berkembang lebih luas lagi yakni untuk perbanyakan massal tanaman yang unik,
perakitan tanaman transgenik, sebagai sistem model dalam fisiologi sel tanaman,
penyelamatan tanaman langka, dan rekayasa metabolisme senyawa kimia tertentu
(Loyola-Vargas dan Vázquez-Flota 2006).
Prinsip dasar kultur jaringan adalah teori totipotensi. Totipotensi merupakan
potensi suatu sel untuk dapat tumbuh menjadi tanaman lengkap dan dewasa bila
ditempatkan dalam lingkungan yang sesuai, karena dalam tiap sel terkandung
rangkaian gen yang lengkap (Wetherell 1982). Keberhasilan dari teknik kultur
jaringan ini antara lain dipengaruhi oleh bagian organ tanaman yang diperlukan,
cara sterilisasi, komposisi media tumbuh yang dipakai dan keadaan lingkungan.
Eksplan adalah potongan dari jaringan atau organ suatu tanaman untuk
tujuan perbanyakan. Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan perbanyakan
dengan eksplan adalah genotipe eksplan, ukuran eksplan, jaringan asal eksplan
dan umur fisiologi eksplan (Conger 1980). Wetherell (1982) menambahkan
bahwa untuk keberhasilan perbanyakan secara in vitro sebaiknya tanaman yang
dijadikan sebagai sumber eksplan merupakan tanaman yang sehat dan tumbuh
kuat serta menggunakan jaringan yang muda dan ukuran eksplan yang cukup
besar.

9

Media tempat sel, organ, jaringan tersebut tumbuh sangat penting artinya
dalam kultur jaringan karena seluruh hara dan zat pengatur tumbuh (ZPT) yang
diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan diperoleh dari media. Menurut
Paul (1972) media merupakan faktor penting untuk mengkulturkan sel dan
jaringan. Selanjutnya Thomas dan Davey (1975) menambahkan bahwa
pertumbuhan dan morfologi suatu jaringan berhubungan dengan komposisi media
kultur, taraf konsentrasi hormon pertumbuhan, eksplan yang digunakan serta
spesies tanaman tersebut.
Media tanam mengandung komposisi hara esensial makro, mikro, sumber
energi, vitamin, asam amino, ZPT, bahan organik dan bahan tambahan lain.
Menurut Gunawan (1992), unsur hara makro terdiri atas nitrogen yang berfungsi
dalam sintesis asam amino, protein, asam nukleat, berbagai koenzim, dan sebagai
konstituen molekul klorofil. Fosfor merupakan komponen dari gula fosfat asam
nukleat, nukleotida, koenzim dan fosfolipid. Selain itu fosfor juga berpengaruh
pada petumbuhan akar dan pendewasaan tanaman. Kalium berperan sebagai
pengatur sistem koenzim yang selanjutnya menentukan sistem fotosintesis,
respirasi, metabolisme karbohidrat, dan translokasi. Kalsium berperan sebagai
bahan pengisi dinding sel dan juga mempengaruhi tingkat hormon tanaman yang
digunakan untuk mendetoksifikasi keracunan oleh unsur lain terutama hara mikro.
Magnesium merupakan inti dari klorofil yang memegang peranan penting dalam
fotosintesis dan sebagai aktivator enzim.
Media yang digunakan disesuaikan dengan jenis tanaman yang digunakan
serta tujuan akhir yang diharapkan dari eksplan yang ditumbuhkan secara in vitro
(Chawla 2002). Salah satu media yang sering digunakan adalah media MS
(Murashige and Skoog). Komposisi media MS dibuat untuk kultur kalus
tembakau, tetapi komposisi MS ini pada umumnya mendukung kultur jaringan
tanaman lain (Gunawan 1992).
Media lain yang banyak digunakan diantaranya adalah media KC
(Knudson C), VW (Vacin dan Went), Gamborg (B5), WPM (Wood Plant Media),
dan GD (Gresshoff and Doy). Media KC dan VW sangat baik digunakan untuk
perkecambahan biji anggrek (Chawla 2002). Media B5 umumnya digunakan
untuk menumbuhkan jaringan kedelai dan menumbuhkan sel bermacam-macam
varietas tanaman. Media WPM digunakan terutama untuk tanaman berkayu
(Wetter dan Constabel 1991). Media GD digunakan salah satunya untuk
menginduksi kalus embriogenik pada tanaman ubi kayu (Taylor et al. 2001).
Teknik perbanyakan secara kultur jaringan biasanya menggunakan zat
pengatur tumbuh (ZPT) untuk merangsang percepatan dan pertumbuhan eksplan.
Peranan ZPT sangat besar dalam perbanyakan secara kultur jaringan (Wattimena
1988). Menurut Abidin (1994), ZPT merupakan bahan organik (bukan hara) yang
dalam jumlah kecil dapat meningkatkan, menghambat, atau memodifikasi proses
biologi tanaman. Zat yang dihasilkan secara alami oleh tanaman disebut dengan
hormon tanaman atau fitohormon. Menurut Arteca (1996) dan Davies (2004),
hormon tanaman adalah sekelompok senyawa organik alami yang mempengaruhi
proses-proses fisiologi tanaman dalam konsentrasi rendah.
Zat pengatur tumbuh tanaman berperan penting dalam mengontrol proses
biologi dalam jaringan tanaman dan dapat menimbulkan tanggapan secara
biokimia, fisiologis, dan morfologi (Gaba 2005). Aktivitas zat pengatur tumbuh di

10

dalam pertumbuhan tanaman tergantung pada jenis, struktur kimia, konsentrasi,
genotipe tanaman serta fase fisiologi tanaman (Satyavathi et al. 2004).
Auksin merupakan salah satu ZPT yang sangat luas digunakan dalam kultur
jaringan tanaman. Auksin umumnya berperan dalam merangsang pemanjangan
sel, terutama di daerah meristem, pembelahan sel dan pembentukan akar adventif.
Auksin berpengaruh pula untuk menghambat pembentukan tunas adventif dan
tunas aksilar, namun kehadirannya dibutuhkan dalam meningkatkan
embriogenesis somatik pada kultur suspensi sel. Konsentrasi auksin yang rendah
meningkatkan pembentukan akar adventif, sedangkan konsentrasi auksin yang
tinggi merangsang pembentukan kalus, mencegah morfogenesis, mempercepat
dan memperbanyak jumlah embrio somatik yang terbentuk (Pierik 1997). Indole
Acetic Acid (IAA) adalah auksin alamiah pada tumbuhan, disintesis dari triptofan
di primordia daun, daun muda, dan biji yang sedang berkembang (Wattimena dan
Mattjik 1992). Auksin sintetik yang sering digunakan dalam kultur jaringan
tanaman adalah 2.4-D, NAA, IBA, 4-CPA, 2.4.5-T, Dicamba, dan Picloram
(Abidin 1994).
Peran auksin pada embriogenesis somatik antara lain untuk inisiasi
embriogenesis somatik, induksi kalus embriogenik, proliferasi kalus embriogenik
dan induksi embrio somatik (Utami et al. 2007). Berbagai hasil penelitian
menunjukkan bahwa 2.4-D merupakan auksin yang efektif untuk induksi kalus
embriogenik. Di samping auksin, sering pula diberikan sitokinin seperti benzyl
amino purine (BAP) atau kinetin secara bersamaan (Bhojwani dan Razdan 1996).
Organogenesis dan Embriogenesis Somatik Ubi Kayu
Perbanyakan tanaman melalui kultur jaringan dapat ditempuh melalui dua
jalur, yaitu organogenesis dan embriogenesis somatik. Organogenesis adalah
suatu proses membentuk dan menumbuhkan tunas dari jaringan meristematik
(Gunawan 1992; Pardal 2002). Menurut Wattimena (2006), regenerasi eksplan
menjadi organ dan planlet dapat diperoleh melalui jalur organogenesis langsung
dan organogenesis tidak langsung. Organogenesis langsung terjadi tanpa melalui
pembentukan kalus, sedangkan organogenesis tidak langsung diawali dengan
pembentukan kalus, lalu muncul organ pada kalus.
Hartmann et al. (1990) menyatakan bahwa organogenesis merupakan proses
yang menginduksi pembentukan jaringan dari sel atau kalus menjadi tunas, tunas
adventif atau akar hingga akhirnya menjadi tanaman lengkap yang sempurna.
Menurut Zhang dan Lemaux (2004), pada kultur in vitro organogenesis tunas
berasal dari differensiasi sel somatik bukan dari sel embrio. Organogenesis
tersebut dikendalikan oleh keberadaan gen pada eksplan yang berespon terhadap
pemberian zat pengatur tumbuh sehingga mempengaruhi pembelahan sel dan
proses diferensiasinya. Proses yang terjadi dalam organogenesis meliputi respon
sel somatik terhadap zat pengatur tumbuh, diikuti dengan inisiasi dan
perkembangan tunas baru dari sel yang respon (Zhang dan Lemaux 2004).
Organogenesis ubi kayu telah dipelajari pada beberapa genotipe dan dengan
menggunakan berbagai komposisi media dan eksplan (Lampiran 3). Berdasarkan
studi-studi tersebut, keberhasilan organogenesis ditentukan oleh genotipe, jenis
eksplan, dan komposisi media.

11

Embrio tumbuhan terbentuk melalui proses embriogenesis, baik sebagai
kelanjutan dari proses pembuahan (embrio zigotik) maupun melalui proses
induksi dari sel-sel somatik (embrio somatik). Terdapat beberapa tahap yang
dapat diamati secara visual pada saat perkembangan embrio, yaitu fase globular,
triangular, hati, dan torpedo. Tahap perkembangan selanjutnya setelah terbentuk
kotiledon adalah tahap maturasi dan germinasi (George et al. 2008).
Embriogenesis somatik adalah proses pembentukan embrio tanpa melalui
fusi gamet, tetapi berkembang dari sel somatik (William dan Maheswara 1986).
Sementara itu menurut Zulkarnain (2009), embriogenesis somatik adalah proses
perkembangan embrio lengkap dari sel-sel vegetatif atau sel-sel somatik yang
diperoleh dari berbagai sumber eksplan yang inisiasi dan diferensiasinya tidak
melibatkan proses seksual. Embrio somatik dapat dicirikan dari strukturnya yang
bipolar, yaitu mempunyai calon meristem akar dan meristem tunas. Sifat
perakaran yang dihasilkan akan sama dengan bibit asal biji. Mikropropagasi
melalui embriogenesis somatik banyak mendapat perhatian karena jumlah
propagula yang dihasilkan tidak terbatas dan dapat diperoleh dalam waktu lebih
singkat. Regenerasi tumbuhan melalui embriogenesis somatik lebih
menguntungkan dari organogenesis, karena tumbuhan yang diregenerasikan dari
embrio somatik dapat berkembang dari sel tunggal, sehingga mengurangi variasi
somaklonal (Endress 1997).
Tahapan dalam proses embriogenesis somatik adalah induksi kalus
embriogenik, pendewasaan, perkecambahan, dan hardening (tahap aklimatisasi)
(Purnamaningsih 2002). Pada tahap induksi kalus embriogenik, kultur umumnya
ditumbuhkan pada media yang mengandung auksin yang mempunyai daya
aktivitas kuat atau dengan konsentrasi tinggi dibandingkan keperluan auksin pada
pertumbuhan sel normal (Kiyosuke et al. 1993). Tahap pendewasaan adalah
tahap perkembangan dari struktur globular membentuk kotiledon dan primordial
akar. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa tahap pendewasaan adalah
tahap yang paling sulit. Pada tahap ini sering digunakan media tanpa auksin
(Pierik 1997), media dengan konsentrasi auksin rendah (Purnamaningsih 2002),
atau media dengan konsentrasi auksin dan sitokinin yang sangat rendah
(Ammirato 1987) karena dapat menginduksi pembentukan embrio bipolar yang
selanjutnya berkembang membentuk planlet. Tahapan pembentukan embrio
somatik dari tunas apikal tanaman ubi kayu telah dilaporkan oleh Feitosa et al.
(2007) (Gambar 3).
Embriogenesis somatik ubi kayu telah dipelajari pada beberapa genotipe dan
dengan menggunakan berbagai komposisi media dan eksplan (Lampiran 4).
Berdasarkan studi-studi tersebut, pembentukan embrio somatik dapat dipengaruhi
oleh genotipe, jaringan dan tahap perkembangan eksplan, dan kondisi kultur
seperti keseimbangan zat pengatur tumbuh endogen dan eksogen, kondisi osmotik
dan perubahan pH. Penggunaan eksplan yang bersifat meristematik umumnya
memberikan keberhasilan pembentukan embrio somatik yang lebih tinggi.
Eksplan yang digunakan dapat berupa daun muda, embrio zigotik muda dan
dewasa, kotiledon, mata tunas, epikotil maupun hipokotil (Namasivayam 2007).
Eksplan tunas pucuk dan daun muda digunakan sebagai bahan tanam untuk
menginduksi kalus embriogenik pada tanaman ubi kayu (Szabados et al. 1987).

12

Gambar 3. Tahapan pembentukan embrio somatik pada tanaman ubi kayu: (a)
Tunas apikal pada media induksi; (b) embrio somatik primer pada
fase globular setelah dikulturkan 10 hari di media induksi; (c) fase
torpedo dan kotiledon setelah dikulturkan 21 hari di media induksi;
(d) kotiledon hijau pada embrio somatik primer; (e) induksi embrio
somatik sekunder setelah 10 hari inkubasi dari kotiledon somatik pada
media induksi; (f) fase torpedo dan kotiledon pada embrio somatik
sekunder setelah dikulturkan 21 hari di media induksi (Feitosa et al.
2007).
Seleksi In Vitro terhadap Toksisitas Aluminium
Lahan marginal di Indonesia sebagian besar berupa tanah masam. Tanah
masam pada pH dibawah 4.2 memiliki unsur hara yang sedikit serta menyebabkan
keracunan aluminium (Al) bagi tanaman sehingga pertumbuhan tanaman menjadi
tidak subur (Sanchez 1992). Strategi pengembangan suatu varietas pada tanah
masam dilakukan dengan mengembangkan tanaman yang toleran atau mampu
menghindari pengaruh toksisitas Al.
Seleksi in vitro adalah teknik yang sangat berguna untuk menghasilkan
somaklon yang mempunyai karakteristik tertentu. Melalui seleksi in vitro,
intensitas seleksi yang lebih