RESPONS BEBERAPA GENOTIPE SORGUM (Sorgum bicolor [L.] Moench) TERHADAP SISTEM TUMPANGSARI DENGAN UBI KAYU (Manihot esculenta Crantz)

(1)

ABSTRAK

RESPONS BEBERAPA GENOTIPE SORGUM (Sorgum bicolor [L.] Moench) TERHADAP SISTEM TUMPANGSARI DENGAN UBI KAYU

(Manihot esculenta Crantz)

Oleh

Anggita Rahmawati

Sorgum (Sorghum bicolor [L]. Moench) adalah tanaman serealia yang mempunyai potensi besar untuk dikembangkan di Indonesia, tetapi

pengembanganya secara monokultur mengalami kendala kompetisi penggunaan lahan. Sistem tumpangsari sorgum dan ubi kayu merupakan cara untuk

mengoptimalisasi penggunaan lahan. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengetahui pertumbuhan dan produksi tanaman sorgum yang ditanam secara tumpangsari dan monokultur dengan ubi kayu dan (2) mengetahui pengaruh genotipe pada pertumbuhan dan produksi tanaman sorgum yang ditumpangsarikan dengan ubi kayu. Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan BPTP Lampung di Desa Negara Ratu, Kecamatan Natar, Kabupaten Lampung Selatan. Penelitian dilaksanakan pada November 2012 sampai April 2013. Dalam penelitian ini adalah lima genotipe sorgum yang digunakan yaitu Batan S3, Batan S12, Keller, Wray dan Numbu. Varietas ubi kayu yang digunakan adalah varietas Kasetsat. Perlakuan disusun secara faktorial dengan rancangan petak terbagi dalam rancangan kelompok teracak sempurna (RKTS) dengan tiga kali ulangan. Data dianalisis dengan ANOVA dan perbedaan nilai tengah perlakuan dengan uji BNJ pada taraf 5%. Petak utama adalah pola pertanaman sorgum dan anak petak adalah 5 genotipe sorgum. Dengan demikian jumlah petak dalam percobaan


(2)

adalah 30 petak percobaan yaitu, 15 petak sistem pertanaman tumpangsari dan 15 petak pertanaman sistem monokultur.

Pertumbuhan dan hasil tanaman sorgum yang ditanam secara monokultur lebih baik dibandingkan dengan pertumbuhan dan hasil tanaman sorgum yang ditanama secara tumpangsari. Berdasarkan berat biji per malai perbedaan hasil tanaman sorgum pola tanam tumpangsari (30,74 g) dan monokultur (37,26 g) adalah 17,5%. Berdasarkan rata-rata bobot biji dan jumlah biji permalai, genotipe yang paling baik jika ditanam secara pola pertanaman tumpangsari dan monokultur secara berurutan, yaitu Numbu, Batan S3, Batan S12, Wray dan Keller dengan bobot biji per malai masing-masing genotipe yaitu 58,41 g, 36,04 g, 32,97 g, 21,04 g dan 21,53 g.


(3)

I. PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang dan Masalah

Peningkatan jumlah penduduk akan terus menuntut pemenuhan kebutuhan dasar terutama pangan dan energi dunia, termasuk Indonesia akan dihadapkan pada krisis untuk memenuhi kedua kebutuhan dasar tersebut akibat semakin terbatasnya sumber daya. Oleh karena itu, perlu terus mencari sumber pangan dan energi terbarukan yang berkelanjutan (Suwarto, 2012).

Usaha peningkatan produksi bahan pangan terus dilakukan untuk memenuhi

kebutuhan pangan terutama makanan pokok yang terus meningkat sejalan dengan laju pertambahan penduduk. Usaha ini tidak terbatas pada tanaman pangan utama (padi) melainkan juga penganekaraman (diversifikasi) dengan mengembangkan tanaman pangan alternatif seperti sorghum (Sorghum bicolor [L]. Moench) yang memiliki potensi cukup besar untuk dikembangkan di Indonesia. Biji sorghum dapat

digunakan sebagai bahan pangan yang banyak mengandung karbohidrat (Mudjishono dan Damardjati, 1987).

Sorgum (Sorghum bicolor [L]. Moench) termasuk tanaman serealia yang mempunyai potensi besar untuk dikembangkan di Indonesia karena mempunyai daerah adaptasi yang luas. Tanaman ini toleran terhadap kekeringan, dapat berproduksi pada lahan marginal, serta relatife terhadap gangguan hama dan


(4)

penyakit. Biji sorgum dapat dijadikan sebagai bahan pangan serta bahan baku industri pakan dan pangan (Sucipto, 2010).

Biji sorgum mengandung gizi yang setara dengan kandungan gizi yang terdapat pada biji jagung. Biji jagung memiliki energi metabolisme sebesar 3288 kkal/kg, protein kasar 8,8 %, lisin 0,21 % dan metionin 0,16 % . Kandungan zat makanan hijau setara dengan rumput gajah yaitu protein kasar 3,3 % dan serat kasar 32,2% (Hartadi et al., 1980).

Sorgum dapat beradaptasi dengan baik di daerah kering karena sistem perakaranya yang dalam dan memiliki lapisan lilin pada permukaan daunya. Tanaman sorgum juga mempunyai kemampuan regenerasi yang baik terhadap serangan hama dan deraan musim kemarau (Hartadi et al., 1980).

Areal pengembangan sorgum di Indonesia meliputi daerah beriklim kering atau musim hujan pendek. Daerah penghasil sorgum terbesar di Indonesia terdapat di Jawa Tengah, disusul oleh Jawa Timur,D.I. Yokyakarta, NTB, NTT. Namun demikian produktivitas sorgum di Indonesia masih rendah. Hal ini berkaitan dengan penggunaan genotipe yang memiliki produktivitas rendah, kurangnya pemupukan dan penanaman secara tumpangsari (Sirappa, 2003).

Optimalisasi produktifitas lahan menjadi prioritas dalam pengembangan budidaya pertanian. Salah satu bentuknya adalah dengan pola tumpangsari. Tujuan dari pola tanam tumpangsari adalah untuk memanfaatkan faktor produksi secara optimal diantaranya keterbatasan lahan, tenaga kerja, modal kerja, pemakaian pupuk dan pestisida lebih efisien, mengurangi erosi, konservasi lahan, stabilitas


(5)

3

biologi tanah dan mendapatkan produksi total yang lebih besar dibandingkan penanaman secara monokultur ( Prasetyo et al., 2009)

Pengembangan sorgum secara tumpangsari akan mengoptimalsisasi penggunaan lahan. Sebaliknya, pengembangan sorgum secara monokultur dapat meningkatkan kompetisi penggunaan lahan (Hamim et al., 2012). Pola pertanaman tumpangsari dapat digunakan pada tanaman yang memiliki jarak tanam yang lebar pada

tanaman utama yang ditumpangsarikan, sehingga tanaman sela dapat ditanam pada jarak antara tanaman utama tersebut.

Keutungan dari pengembangan sistem tumpangsari adalah efisien penggunaan ruang dan waktu, mencegah dan mengurangi pengangguran musim,

meminimalisir pengolahan tanah, meragamkan gizi masyarakat, dan menekan serangan hama dan patogen. Kesalahan dalam menentukan jenis tanaman yang akan ditumpangsarikan dapar membuat yang sebenarnya menjadi kelebihan pola tanam tumpangsari menjadi kelemahan tumpang sari. Kompetisi antar tanaman yang terlalu tinggi membuat hasil untuk tiap tanaman menjadi sangat kecil yang berakibat pada nilai kesetaraan lahan yang kurang dari 1. Selain itu, dapat juga terjadi kesulitan pengendalian hama dan patogen karena tanaman yang

ditumpangsarikan memungkinkan hama dan patogen menjadi inang untuk keduanya (Master, 2013).

Ubi kayu di Indonesia merupakan makanan pokok ke tiga setelah padi-padian dan jagung. Sedangkan untuk konsumsi penduduk dunia, khususnya penduduk negara-negara tropis, tiap tahun diproduksi sekitar 300 juta ton ubi kayu. Produksi ubi kayu di Indonesia pada tahun 2011 sekitar 24 juta ton pada luas


(6)

panen 1.184.690 Hektar dengan produksi 202.96 kw/ha (Direktorat Jendral Perkebunan, 2012).

Hamim et al. (2012) dan Kamal (2011) melaporkan bahwa sorgum dapat ditanam secara tumpangsari dengan ubi kayu. Salah satu keunggulan sistem tumpangsari sorgum dan ubi kayu adalah produktifitas lahan per satuan lahan akan meningkat karena produksi tanaman pokok ubi kayu tetap dan mendapat tambahan produksi sorgum, sehingga diharapkan akan menghasilkan produksi ganda yang

mendukung sektor pangan, industri, peternakan yang pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan petani. Dengan demikian sistem pola pertanaman tumpangsari ubi kayu dan sorgum merupakan alternatif pengembangan sorgum pada wilayah yang didominasi pertanaman ubi kayu, khususnya daerah Lampung. Berdasarkan uraian diatas dalam penelitian ini dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:

1) Bagaimanakah pertumbuhan dan produksi tanaman sorgum yang ditumpangsarikan dengan ubi kayu dan pada sistem monokultur?

2) Apakah genotipe berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman sorgum terhadap sistem tumpangsari dengan ubi kayu?

1.2 Tujuan Penalitian

Berdasarkan latar belakang dan masalah yang telah dikemukakan, maka penelitian ini bertujuan untuk:

1) Mengetahui pertumbuhan dan produksi tanaman sorgum yang ditanam secara tumpangsari dan monokultur dengan ubi kayu.


(7)

5

2) Mengetahui pengaruh genotipe pada pertumbuhan dan produksi tanaman sorgum yang ditumpangsarikan dengan ubi kayu.

1.3Kerangka Pemikiran

Tanaman sorgum merupakan tanaman yang tumbuh dalam jangka pendek yaitu 3-4 bulan. Sorgum tergolong sebagai tanaman yang tahan akan kekeringan namun tetap sangat membutuhkan air. Intensitas cahaya dan suhu yang tinggi baik untuk pertumbuhan tanaman sorgum. Kecukupan faktor fotosintesis berpengaruh besar terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman sorgum. Sirappa (2003), sorgum

merupakan salah satu tanaman serealia yang cukup potensial untuk dikembangkan di Indonesia karena mempunyai daya adaptasi lingkungan yang cukup luas. Biji sorgum dapat diolah menjadi berbagai jenis makanan, sebagai bahan pakan ternak, dan sebagai bahan baku industri.

Pola tanam tumpangsari tanaman sorgum dan ubi kayu dapat menjadi salah satu cara meningkatkan produksi sorgum di Indonesia. Cara ini merupakan cara untuk mendapatkan hasil lebih dari suatu sistem pertanaman, karena pada saat tanaman ubi kayu belum menghasilkan dan belum menjadi tanaman naungan, tanaman sorgum dapat ditanam di sela-sela tanaman ubi kayu yang memiliki jarak yang cukup lebar, hal ini merupakan cara untuk mengefisiensikan penggunaan lahan dan pupuk. Namaun persaingan antara tanaman sering menjadi masalah utama dalam hal ini, oleh sebab itu pengaturan pada saat tanam dan perawatan tanaman harus sangat diperhatikan guna mendapatkan hasil tanaman yang baik.

Perebutan unsur hara yang terjadi pada sistem petanaman tumpangsari dapat juga mengakibatkan penurunan hasil pada tanaman budidayanya. Dalam sisitem


(8)

tumpangsari antara sorgum dan ubi kayu kemungkinan besar penurunan hasil dapat terjadi pada hasil produksi sorgum jika dilihat dari sifat tanaman ubi kayu yang haus akan unsur hara. Selain persaingan untuk mendapatkan unsur hara, persaingan untuk mendapatkan cahaya juga terjadi pada sistem pertanaman tumpangsari antara tanaman sorgum dan ubi kayu. Perkembangan kanopi

tanaman ubi kayu yang relatif lambat pada awal pertumbuhan tanaman, sedangkan pertumbuhan tanaman sorgum relatif lebih cepat dibandingkan dengan

pertumbuhan ubi kayu, sehingga memungkinkan tanaman sorgum untuk

mendapatkan cahaya cukup bila ditanam dalam waktu yang bersamaan dengan ubi kayu.

Tanaman ubi kayu dapat dibudidayakan secara monokultur dan tumpangsari. Budidaya tanaman secara tumpangsari dapat memaksimalkan efisiensi

penggunaan lahan (produktifitas) dan efisiensi pemanfaatan cahaya (Hamim et al. 2012). Kamal (2011) mengungkapkan bahwa pertumbuhan dan perkembangan kanopi ubi kayu yang relatif lambat pada fase awal pertumbuhanya menyebabkan ruang tumbuh antara tanaman ubi kayu dapat ditanami dengan tanaman palawija. Menurut Hamim et al. (2012) sistem tumpangsari sorgum dengan ubi kayu merupakan salah satu alternatif yang dapat kita lakukan pada lahan yang terbatas. Permasalahan utama pada sistem tumpangsari ini adalah persaingan unsur hara, air dan cahaya matahari. Tanaman yang ditanam dalam satu lahan yang

didalamnya terdapat gulma atau tanaman lain maka akan terjadi perebutan unsur hara, cahaya dan air. Persaingan yang sangat berpengaruh dalam sistem

tumpangsari adalah penyerapan cahaya matahari akibat naungan antara tanaman ubikayu dan tanaman sorgum. Kemampuan tanaman untuk berkompetisi dalam


(9)

7

mendapatkan cahaya, air dan unsur hara dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan genetik.

Faktor genetik merupakan salah satu penentu pada pertumbuhan dan hasil

produksi sorgum. Gen dalam setiap benih sorgum yang berbeda genotipenya akan memiliki perbedaan satu sama lain. Adanya perbedaan panjang periode dan fase pertumbuhan tersebut dapat mempengaruhi pertumbuhan dan hasil sorgum dengan perlakuan yang sama.

Pada penelitian Setiawan (2007) menunjukan bahwa perbedaan genotipe secara nyata memperlihatkan perbedaan hasil produksi tanaman. Adanya perbedaan panjang periode dan fase pertumbuhan pada setiap genotipe digunakan untuk menentukan genotipe yang mampu menghasilkan produksi yang berkualitas dan berkuantitas tinggi.

Menurut penelitian yang dilakukan Septiani (2009) genotipe mengacu kepada gen yang mengendalikan sifat suatu tanaman. Pertumbuhan dan perkembangan tanaman sangat tergantung kepada sifat genetik tanaman, tetapi sifat genetik suatu genotip tanaman masih dapat berubah akibat pengaruh lingkungan. Lingkungan adalah suatu faktor luar yang mepengaruhi kinerja gen termasuk didalamnya adalah kesuburan tanah, kandungan hara tanah, pH tanah, suhu, cahaya dan air. Faktor lingkungan juga menjadi faktor yang penting dalam pertumbuhan tanaman sorgum. Air, intensitas cahaya, iklim dan unsur hara merupakan faktor

lingkungan yang amat penting bagi sorgum. Walaupun tanaman sorgum


(10)

tanaman sorgum memerlukan air yang cukup. Curah hujan yang merata sangat membantu tanaman sorgum untuk tumbuh baik pada sat fase vegetatif. Cahaya sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman sorgum karena sorgum merupakan tanaman C4 yang membutuhkan cahaya lebih banyak dari tanaman biasanya dan iklim yang panas.

Menurut Siswanto (1990), sistem tumpangsari akan mempertinggi produksi pertanian dan meningkatkan kesuburan tanah. Selanjutnya manfaat yang akan diperoleh adalah produksi tanaman meningkat, serta meningkatnya nilai/limbah dari tanaman pangan berupa jerami. Selain itu berdasarkan penelitian Singgih et al. (1989), tumpangsari antara tanaman legumenosa dan non legumeosa akan meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk dan tingkat efisiensi tersebut tergantung pada jarak tanam per populasi dan cara pemberian pupuk. 1.4 Hipotesis

Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah dikemukakan dapat diambil hipotesis sebagai berikut:

1. Pertumbuhan dan hasil pada tanaman sorgum pada sistem pola pertanaman tumpangsari dengan ubi kayu berbeda dengan sistem pola pertanaman monokultur.

2. Pertumbuhan dan hasil tanaman sorgum yang ditumpangsarikan dengan ubi kayu dipengaruhi oleh genotipe tanaman sorgum.


(11)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengenalan Tanaman Sorgum (Sorghum bicolor [L] Moench)

Tanaman Sorgum (Sorghum bicolor [L.] Moench) termasuk dalam divisi Spermatopytha, kelas Monokotiledonae, ordo Poales, dan famili Graminae. Sorgum memiliki akar tunggal yang terbentuk oleh kecambah biji, kemudian dari pangkal batang akan tumbuh tunas akar serabut. Kedalaman akar minimum mencapai 30 cm (Sorghum bicolor, 2008).

Sorgum (Sorghum bicolor L.) adalah tanaman serealia yang potensial untuk dibudidayakan dan dikembangkan, khususnya pada daerah-daerah marginal dan kering di Indonesia. Keunggulan sorgum terletak pada daya adaptasi agroekologi yang luas, tahan terhadap kekeringan, produksi tinggi, perlu input lebih sedikit serta lebih tahan terhadap hama dan penyakit dibading tanaman pangan lain. Selain itu, tanaman sorgum memiliki kandungan nutrisi yang tinggi, sehingga sangat baik digunakan sebagai sumber bahan pangan maupun pakan ternak alternatif. Tanaman sorgum telah lama dan banyak dikenal oleh petani Indonesia khususnya di daerah Jawa, NTB dan NTT. Di Jawa sorgum dikenal dengan nama Cantel, dan biasanya petani menanamnya secara tumpang sari dengan tanaman pangan lainnya. Produksi sorgum Indonesia masih sangat rendah, bahkan secara umum produk sorgum belum tersedia di pasar-pasar.


(12)

Tanaman sorgum merupakan tanaman berkeping satu. Kemampunya menyerap air tanah cukup intensif karena memiliki akar serabut yang banyak. Morfologi sorgum terdiri dari komponen tinggi tanaman, umur berbunga dan masak, malai, biji dan daun. Tinggi tanaman sorgum bervariasi dari 40 sampai 600 cm. Bunga sorgum yang berbentuk malai terdapat pada ujung batang dan memiliki tangkai yang panjang. Umumnya bunga akan tumbuh sekitar 60-70 hari setelah masa tanam. Malai buah sorgum ada yang berbentuk padat, setengah padat, terbuka, atau rembyak. Bagian dari malai yang dijadikan bahan baku sapu adalah cabang malai. Malai yang berisi biji umumnya masak setelah tanaman berumur 90-120 hari. Daun pada tanaman sorgum dilapisi oleh sejenis lilin yang cukup tebal dan berwarna putih yang berfungsi untuk menahan atau mengurangi penguapan air dari dalam tubuh tanaman, sehingga tanaman ini resisten terhadap cekaman kekeringan (Rismunandar, 1986).

2.2 Budidaya Tanaman Sorgum (Sorghum bicolor [L] Moench)

Tanaman sorgum sebenarnya sudah lama dikenal dan sudah banyak ditanam petani di Indonesia dan tanaman ini kurang berkembang dengan baik karena beberapa faktor. Pengembangan jenis tanaman pangan ini akan dapat berhasil apabila dikelola dengan baik.

2.2.1 Penyiapan lahan dan pengolahan tanah

1. Lahan dibersihkan dari sisa-sisa tanaman sebelumnya, kemudian dicangkul atau dibajak 2 kali setelah itu digaru dan diratakan.

2. Dibuat saluran drainase disekeliling atau ditengah lahan untuk menghindari terjadinya genangan air. Untuk lahan yang hanya mengandalkan residu air


(13)

11

tanah, cukup pengolahan dilakukan secara ringan dengan mencangkul tipis permukaan tanah yang bertujuan untuk mematikan gulma. Cara ini ternyata sangat efektif untuk manghambat penguapan air tanah sampai tanaman panen. Pengolahan tanah ini bertujuan antara lain untuk memperbaiki struktur tanah, memperbesar persediaan air, mempercepat pelapukan, meratakan tanah dan memberantas gulma.

2.2.2 Pemilihan Varietas

Varietas unggul yang dianjurkan untuk ditanam harus memeperhatikan kegunaan dan lingkungan tumbuhnya. Untuk keperluan konsumsi pangan manusia (pangan) varietas yang dianjurkan antara lain UPCA SI, Keris, Badik dan Hegari Genjah. Karena varietas ini mempunyai keunggulan berumur genjah, tinggi batang sedang, berbiji putih dengan rasa sebagai nasi cukup enak. Varetas Numbu dan Kawali yang dilepas tahun 2001 juga mempunyai rasa olah sebagai nasi cukup enak, namun umurnya relatif lebih panjang. Sedangkan untuk pakan ternak dipilih varietas sorgum yang tahan hama penyalit, tahan rebah, tahan disimpan dan dapat diratun. Pada lingkungan yang ketersediaan airnya terbatas dan masa tanam yang singkat dipilih varietas-varietas umur genjah seperti Keris, Badik, Lokal Muneng dan Hegari Genjah. Ditinjau dari segi hasil, varietas umur genjah memang hasilnya jauh lebih rendah daripada varietas umur sedang atau dalam, tetapi keistimewaannya dapat segera dipanen, menyelamatkan dari resiko kegagalan hasil akibat kekeringan.


(14)

2.2.3 Penanaman

Sorgum dapat ditanam pada sembarang musim asalkan pada saat tanaman muda tidak tergenang atau kekeringan. Namun, waktu tanam yang baik adalah pada akhir musim hujan atau awal musim kemarau. Kebutuhan benih untuk bertanam sorgum berkisar 10 kg/ha dengan jarak tanam 70 cm x 20 cm atau 60 cm x 20 cm tergantung tingkat kesuburan tanah. Menanam sorgum dapat dilakukan dengan cara ditugal seperti halnya menanam jagung, bila jaraknya tidak terlalu rapat. Lubang tanam diisi sekitar 3-5 benih, kemudian ditutup dengan tanah ringan. Pada saat tanam, dibuat juga lubang pupuk dengan tugal sejauh 15 cm dari lubang tanam.

2.2.4 Pemupukan

Sebaiknya pemupukan diberikan secara lengkap (NPK) agar produksi yang dihasilkan cukup tinggi. Dosis pemupukan yang diberikan berbeda-beda

tergantung pada tingkat kesuburan tanah dan varietas yang ditanam, tetapi secara umum dosis yang dianjurkan adalah 200 kg urea, 100 kg TSP atau SP36 dan 50 kg KCL. Pemberian pupuk urea diberikan dua kali, yaitu 1/3 bagian diberikan pada waktu tanam sebagai pupuk dasar bersama-sama pemberian pupuk

TSP/SP36 dan KCL. Sisanya (2/3 bagian) diberikan setelah umur satu bulan setelah tanam. Pemupukan dasar dilakukan saat tanam dengan cara ditugal sejauh 7 cm dari lubang tanam,sedang KCL dalam lubang di sisi yang lain. Pemupukan kedua juga ditugal sejauh ± 15 cm dari barisan, kemudian ditutup dengan tanah. Lubang tugal baik untuk pupuk dasar maupun susulan sedalam ± 10 cm.


(15)

13

2.2.5 Pemeliharaan

1. Pengairan

Walaupun tanaman tahan terhadap kekeringan, namun pada fase awal pertumbuhan membutuhkan air yang cukup.

2. Penjarangan Tanaman

Tanaman berumur 2-3 minggu setelah tanam dilakukan penjarangan agar diperoleh tanaman sorgum yang tumbuh subur dan berproduksi tinggi. Caranya, dengan mencabut rumpun tanaman yang kurang baik dan hanya disisakan 2 rumpun tanaman untuk dipelihara hingga panen.

3. Penyiangan

Penyiangan dilakukan dengan mencabut tumbuhan pengganggu (gulma). 4. Pembubunan

Pembubunan dilakukan dengan cara menggemburkan tanah disekitar tanaman sorgum, kemudian menimbunkan tanah tersebut pada pangkal yang bertujuan untuk mengokohkan batang tanaman agar tidak mudah rebah dan merangsang terbentuknya akar-akar baru pada pangkal batang.

5. Hama Penyakit dan Cara Pengendaliannya

a. Colletortichum gramini colum (Ces.) G.W. Wild (Penyakit Bercak Daun) b. Helmithosporium turcicum Pass (Penyakit Blight)

c. Puccinia purpurea Cooke

d. Atherigona varia Soccata (Rond.) (Lalat Bibit Sorgum). e. Prodenia Litura F. (Ulat daun).;


(16)

2.2.6 Panen

Tanaman sorgum sudah dapat dipanen pada umur 3-4 bulan tergantung varietas. Penentuan saat panen sorgum dapat dilakukan dengan berpedoman pada umur setelah biji terbentuk atau dengan melihat ciri-ciri visual biji. Pemanenan juga dapat dilakukan setelah melihat adanya ciri-ciri seperti daun-daun berwarna kuning dan mengering, biji-biji bernas dan keras serta berkadar tepung maksimal. 2.3 Kegunaan Tanaman Sorgum (Sorghum bicolor [L] Moench)

Di banyak negara biji sorgum digunakan sebagai bahan pangan, pakan ternak dan bahan baku industri. Sebagai bahan pangan dunia, sorgum berada pada urutan ke-5 setelah gandum, padi, jagung dan barley (FAO dan ICRISAT, 1996). Di negara maju biji sorgum digunakan sebagai pakan ternak unggas sedang batang dan daunnya untuk ternak ruminansia. Biji sorgum juga merupakan bahan baku industri seperti industri etanol, bir, wine, sirup, lem, cat dan modifikasi pati (modified starch). Terkait dengan energi, di beberapa negara seperti Amerika, India dan Cina, sorgum telah digunakan sebagai bahan baku pembuatan bahan bakar etanol (bioetanol). Secara tradisional, bioetanol telah lebih lama diproduksi dari molases hasil limbah pengolahan gula tebu (sugarcane).

2.4 Nutrisi Tanaman Sorgum (Sorghum bicolor [L] Moench)

Sebagai bahan pangan dan pakan ternak alternatif sorgum memiliki kandungan nutrisi yang baik, bahkan kandungan proteinnya lebih tinggi daripada beras. Kandungan nutrisi sorgum dibanding sumber bahan pangan pokok lainya disajikan dalam Tabel 1.


(17)

15

Tabel 1. Kandungan nutrisi sorgum dalam 100 gram biji dibanding sumber pangan lain.

Unsur Nutrisi

Kandungan/100 g

Beras Sorgum Singkong Jagung Kedele

Kalori (cal) 360 332 146 361 286

Protein (g) 6,8 11,0 1,2 8,7 30,2

Lemak (g) 0,7 3,3 0,3 4,5 15,6

Karbohidrat (g) 78,9 73,0 34,7 72,4 30,1

Kalsium (mg) 6,0 28,0 33,0 9,0 196,0

Besi (mg) 0,8 4,4 0,7 4,6 6,9

Posfor (mg) 140 287 40 380 506

Vit. B1 (mg) 0,12 0,38 0,06 0,27 0,93

Sumber: DEPKES RI., Direktorat Gizi (1992). 2.5 Tumpangsari

Tumpangsari merupakan suatu usaha menanam beberapa jenis tanaman pada lahan dan waktu yang sama, yang diatur sedemikian rupa dalam barisan-barisan tanaman. Penanaman dengan cara ini bisa dilakukan pada dua atau lebih jenis tanaman yang relatif seumur, misalnya jagung dan kacang tanah atau bisa juga pada beberapa jenis tanaman yang umurnya berbeda-beda.

Untuk dapat melaksanakan pola tanam tumpangsari secara baik perlu diperhatikan beberapa faktor lingkungan yang mempunyai pengaruh di antaranya ketersediaan air, kesuburan tanah, sinar matahari dan hama penyakit. Penentuan jenis tanaman yang akan ditumpangsari dan saat penanaman sebaiknya disesuaikan dengan ketersediaan air yang ada selama pertumbuhan. Hal ini dimaksudkan agar diperoleh pertumbuhan dan produksi secara optimal.


(18)

Sebaran sinar matahari penting, hal ini bertujuan untuk menghindari persiangan antar tanaman yang ditumpangsarikan dalam hal mendapatkan sinar matahari, perlu diperhatikan tinggi dan luas antar tajuk tanaman yang ditumpangsarikan. Tinggi dan lebar tajuk antar tanaman yang ditumpangsarikan akan berpengaruh terhadap penerimaan cahaya matahari, lebih lanjut akan mempengaruhi hasil sintesa (glukosa) dan muara terakhir akan berpengaruh terhadap hasil secara keseluruhan. Antisipasi adanya hama penyakit tidak lain adalah untuk mengurangi resiko serangan hama maupun penyakit pada pola tanam

tumpangsari. Sebaiknya ditanam tanam-tanaman yang mempunyai hama maupun penyakit berbeda, atau tidak menjadi inang dari hama maupun penyakit tanaman lain yang ditumpangsarikan.

Sistem tanam tumpangsari mempunyai banyak keuntungan yang tidak dimiliki pada pola tanam monokultur. Beberapa keuntungan pada pola tumpangsari antara lain: 1) akan terjadi peningkatan efisiensi (tenaga kerja, pemanfaatan lahan

maupun penyerapan sinar matahari), 2) populasi tanaman dapat diatur sesuai yang dikehendaki, 3) dalam satu areal diperoleh produksi lebih dari satu komoditas, 4) tetap mempunyai peluang mendapatkan hasil manakala satu jenis tanaman yang diusahakan gagal dan 5) kombinasi beberapa jenis tanaman dapat menciptakan beberapa jenis tanaman dapat menciptakan stabilitas biologis sehingga dapat menekan serangan hama dan penyakit serta mempertahankan kelestarian sumber daya lahan dalam hal ini kesuburan tanah (Master, 2013).


(19)

III. BAHAN DAN METODE

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Badan Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Lampung di Desa Negara Ratu, Kecamatan Natar, Kabupaten Lampung Selatan. Penelitian dilaksanakan pada November 2012 sampai April 2013.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah lima genotipe sorgum yaitu Batan S3 (G1), Batan S12 (G2), Keller (G3), Wray (G4) dan Numbu (G5). Varietas ubi kayu yang digunakan adalah varietas Kasetsart. Pupuk yang digunakan dalam penelitian ini adalah Urea, SP-36 dan KCl, dengan dosis 200, 100 dan 100 kg/ha.

Alat yang digunakan dalam penelitian ini berupa alat pengolahan tanah dan perawatan tanaman, seperti: bajak, cangkul, sabit, tali tambang, tali rapia, ajir bambu, gunting, label sample, dan tugal, alat tulis, meteran, jangka sorong, plastik, timbangan digital, dan oven.


(20)

3.3 Metode penelitian

Perlakuan disusun secara faktorial dengan rancangan petak terbagi dalam rancangan kelompok teracak sempurna (RKTS) dengan tiga kali ulangan. Data dianalisis dengan ANOVA dan perbedaan nilai tengah perlakuan dengan uji BNJ pada taraf 5%. Petak utama adalah pola pertanaman sorgum yang terdiri atas pola tanam sistem tumpangsari dan sistem monokultur. Anak petak adalah 5 genotipe sorgum yang terdiri dari Batan S3 (G1), Batan S12 (G2), Keller (G3), Wray (G4) dan Numbu (G5). Dengan demikian jumlah petak dalam percobaan adalah 3 x 2 x 5 = 30 petak percobaan.

3.4 Pelaksanaan penelitian

3.4.1 Persiapan lahan dan pembuatan petakan

Lahan di olah dengan pembajakan rotari sebanyak dua kali dan garu sebanyak satu kali. Tanah yang telah diolah kemudian dibuat menjadi petak-petak lahan dengan ukuran petak percobaan 3,2m x 4 m dengan jarak antar petak 0,5 m dan jarak antar ulangan 0,5 m. Jadi jumlah petak percobaan dalam penelitian ini adalah 30 petak percobaan, dapat dilihat pada Gambar 1 (Lampiran).

3.4.2 Penanaman dan jarak tanam

Pada sistem tumpangsari sorgum dengan ubi kayu jarak tanaman yang digunakan adalah: 20 cm x 80 cm untuk tanaman sorgum dan jarak tanam ubi kayu 60 cm x 80 cm, dapat dilihat pada Gambar 2 dan Gambar 3 (Lampiran). Jumlah benih sorgum yang ditanam per lubang tanam sebanyak 5 - 10 benih, dan setelah tumbuh disisakan dua tanaman per lubang tanam. Penanaman sorgum dan ubi kayu dilakukan secara bersamaan.


(21)

19

3.4.3 Pemupukan

Pemupukan Urea, SP-36 dan KCl dengan dosis 200 kg/ha : 100 kg/ha : 100 kg/ha. Pemberian pupuk dilakukan sebanyak dua kali, pemupukan pertama ½ :1:1 bagian yang diberikan pada umur 2 minggu setelah tanam (mst) dan ½ bagian pupuk dari pupuk Urea di berikan pada saat tanaman berumur 4 minggu setelah tanam (mst). Pupuk diberikan dengan cara dilarik dengan jarak ± 10 cm dari lubang tanam sedalam 5 cm.

3.4.4 Pemeliharaan

Pemeliharaan tanaman mencakup penjarangan tanaman yaitu menyisakan 2 tanaman disetiap lubang tanam, penyiangan gulma, dan pengendalian hama penyakit tanaman baik pada tanaman sorgum maupun pada tanaman ubi kayu. 3.5 Variabel Pengamatan

Pengamatan dilakukan pada beberapa sample tanaman sorgum yang dipilih secara acak pada setiap petaknya, sedangkan pada tanaman ubi kayu tidak dilakukan pengamatan. Pengamatan tersebut meliputi:

1. Komponen pertumbuhan, meliputi: a. Tinggi Tanaman

Pengukuran dilakukan dengan cara mengukur tinggi tanaman sorgum dari permukaan tanah hingga ujung daun tertinggi dengan satuan cm. Pengukuran tinggi tanaman dilakukan 2 minggu sesudah tanam (mst) dengan interval waktu 2 minggu sekali.


(22)

b. Jumlah Daun

Jumlah daun diketahui dengan cara menghitung jumlah helai daun tanaman sorgum pada masing-masing sampel tanaman. Daun yang dihitung adalah daun yang telah membuka penuh dan berwarna hijau.

c. Diameter Batang

Diameter batang diketahui dengan cara mengukur panjang lingkar batang tengah tanaman sorgum dengan menggunakan jangka sorong dengan satuan cm.

d. Umur Berbunga

Umur tanaman berbunga diketahui setelah 50% dari seluruh populasi tanaman sorgum dari masing-masing genotipe telah berbunga.

e. Tingkat kehijauan daun

Tingkat kehijauan daun diukur dengan menggunakan alat yang bernama klorofil meter.

2. Komponen hasil, meliputi: a. Panjang Malai

Panjang malai diukur dengan cara mengukur panajang malai dari pangkal malai hingga ujung malai.

b. Bobot Kering Malai

Bobot kering malai ditentukan dengan cara menimbang malai yang telah dikeringkan didalam oven selama 24 jam pada suhu 70º C dan dipisahkan dari biji sorgumnya.


(23)

21

c. Jumlah Biji per Malai

Jumlah biji per malai diketahui dengan cara menghitung jumlah biji per malai setelah dipipil.

d. Bobot Kering Biji per Malai

Bobot biji per malai diketahui dengan cara menimbang seluruh biji sorgum per malai yang sudah dipipil dari malainya pada masing-masing tanaman sample setelah dikeringkan dalam oven selama 24 jam dengan suhu 70ºC. e. Bobot 100 Butir Biji

Bobot 100 butir biji diketahui dengan cara menimbang 100 butir biji tanaman sorgum yang sudah dipipil dan dikeringkan pada masing-masing tanaman sample.


(24)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah di uraikan maka dapat diambil kesimpulan bahwa:

1. Pertumbuhan dan hasil tanaman sorgum yang ditanam secara monokultur lebih baik dibandingkan dengan pertumbuhan dan hasil tanaman sorgum yang ditanam secara tumpangsari.

2. Genotipe berpengaruh terhadap hasil tanaman sorgum. Genotipe yang menunjukan hasil tertinggi pada sistem tumpangsari dengan ubi kayu dan sistem monokultur berdasarkan bobot biji per tanaman secara berurutan adalah Numbu, Batan S3, Batan S12, Wray dan Keller.

5.2 Saran

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, penulis memberikan saran sebagai berikut:

1. Penanaman tanaman sorgum sebaiknya ditanam pada dua musim yang berbeda, yaitu awal musim penghujan dan awal musim kemarau sebagai pembading pertumbuhan dan hasil tanaman sorgum yang ditanam pada dua musim yang berbeda.


(25)

40

2. Pada penelitian selanjutnya dianjurkan menggunakan genotipe sorgum yang memiliki sifat genetik unggul agar hasil produksi yang didapat lebih optimal.


(26)

PUSTAKA ACUAN

Budiman. 2005.

http://budiman.www.id/faktor-yang-mempengaruhi-pertumbuhan-dan perkembangan-pada-tumbuhan.html. Diakses tanggal 8 Juli 2013 BPTP Lampung, 2011. Teknik Budidaya Ubi Kayu. Bandar Lampung.

DEPKES RI., Direktorat Gizi. 1992. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Penerbit Bhratara. Jakarta. Hal 57.

Direktorat Jendral Perkebunan. 2012. Sorgum manis komoditi harapan di propinsi kawasan timur Indonesia. Risalah Prospek Tanaman Sorgum untuk Pengembangan Agroindustri, Maret 2011. Edisi Khusus Balai Penelitian Tanaman Kacang-Kacangan dan Umbi-Umbian. No.4-2012: hal 7-15.

FAO dan ICRISAT. 1996. Dunia Sorgum dan Fakta Ekonomi. Study by Basic Foodstuffs Service FAO dan ICRISAT. Hlm 67.

Hartadi, H, S., Reksohadiprojo, L., Soekanto, A. D., Tillman, L. C. Kearl, dan L. E. Haris. 1980. Komposisi Bahan Makanan Ternak untuk Indonesia. Yayasan Rockefeller, Yogyakarta.

Hamim, H., R. Larasati dan M. Kamal. 2012. Analisis komponen hasil sorgum yang ditanam tumpangsari dengan ubi kayu dan waktu tanam berbeda. Prosiding Simposium dan Seminar Bersama PERAGI-PERHORTI-PERIPI-HIGI Mendukung Kedaulatan Pangan dan Energi yang Berkelanjutan. p 91-94. Bogor, 1-2 Mei 2012.

Kamal, M. 2011. Kajian Sinergi Pemanfaatan Cahaya dan Nitrogen Dalam Produksi Tanaman Pangan. Pidato ilmiah dalam rangka pengukuhan guru besar dalam bidang ilmu tanaman Fakultas Pertanian Universitas Lampung di Bandar Lamapung tanggal 23 Februari 2011. Penerbit Universitas Lampung, Bandar Lampung . 68 hlm.

Master. 2013. Pola tanam tumpangsari. www.anakagronomy.com/2013/03/pola-tanam-tumpangsari.htm. Diakses tanggal 7 Juni 2013.

Mudjisihono, R. dan D.S.Damarjati. 1987. Prospek kegunaan Sorghum sebagai sumber pangan dan pakan ternak. Jurnal Litbang Pertanian. 6(1) : 1-4.


(27)

42

Prasetyo, E.I. Sukardjo dan H. Pujiwati. 2009. Produktivitas lahan dan NKL pada tumpang sari jarak pagar dengan tanaman pangan. Jurnal Akta Agrosia. 12 (1) : 51-55.

Rismunandar. 1989. Sorgum Tanaman Serba Guna. Sinar Baru. Bandung. Rosnawati, N. 2011. Pengaruh Intensitas Cahaya Matahari Terhadap

Pertumbuhan Tanaman Kedelai yang Ditumpangsarikan dengan Tanaman Jagung. Skripsi Mahasiswa. Fakultas Pertanian. Universitas Andalas. Padang.

Septiani, R. 2009. Evaluasi pertumbuhan dan hasil beberapa genotipe sorgum (Sorghum bicolor [L] Moench)ratoon 1. Skripsi Mahasiswa. Fakultas Pertanian. Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Setiawan. 2007. Uji adaptasi berbagai genotipe sorgum (Sorghum bicolor [L] Moench) di Bandar Lampung. Skripsi Mahasiswa. Fakultas Pertanian. Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Singgih, S.A., Muin, A. Alla dan A.K. Pairunan. 1989. Pemupukan nitrogen pada tumpangsari jagung dan kedelai. Agrikam. Bulletin Pertanian Penelitian Maros. Hlm 71-80.

Sirappa, M.P. 2003. Prospek pembangunan sorgum di Indonesia sebagai komoditas alternatif untuk pangan, pakan, dan industri. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta. 22 (4) ;133-140.

Siswanto. 1990. Sistem tumpangsari dalam usaha peningkatan produksi peternakan. Jurnal Swadaya Peternakan Indonesia. 2 (61) ; 40-41. Sorghum bicolor. 2008. www.Plants.usda.gov/java/profil?SymbolSOBI2.

Diakses tanggal 21 Oktober 2012. Bandar Lampung

Sucipto. 2010. Efektifitas cara pemupukan terhadap pertumbuhan dan hasil beberapa varietas sorghum manis. Jurnal Embryo. 7 (2).

Suwarto. 2012. Menjadikan ubi kayu sebagai sumber ketahanan pangan dan energi di Indonesia. Dalam Prosiding Simposium dan Seminar Bersama PERAGI-PERHORTI-PERIPI-HIGI Mendukung Kedaulatan Pangan dan Energi yang Berkelanjutan. p 91-94. Bogor, 1-2 Mei 2012.


(1)

Jumlah daun diketahui dengan cara menghitung jumlah helai daun tanaman sorgum pada masing-masing sampel tanaman. Daun yang dihitung adalah daun yang telah membuka penuh dan berwarna hijau.

c. Diameter Batang

Diameter batang diketahui dengan cara mengukur panjang lingkar batang tengah tanaman sorgum dengan menggunakan jangka sorong dengan satuan cm.

d. Umur Berbunga

Umur tanaman berbunga diketahui setelah 50% dari seluruh populasi tanaman sorgum dari masing-masing genotipe telah berbunga.

e. Tingkat kehijauan daun

Tingkat kehijauan daun diukur dengan menggunakan alat yang bernama klorofil meter.

2. Komponen hasil, meliputi: a. Panjang Malai

Panjang malai diukur dengan cara mengukur panajang malai dari pangkal malai hingga ujung malai.

b. Bobot Kering Malai

Bobot kering malai ditentukan dengan cara menimbang malai yang telah dikeringkan didalam oven selama 24 jam pada suhu 70º C dan dipisahkan dari biji sorgumnya.


(2)

21

c. Jumlah Biji per Malai

Jumlah biji per malai diketahui dengan cara menghitung jumlah biji per malai setelah dipipil.

d. Bobot Kering Biji per Malai

Bobot biji per malai diketahui dengan cara menimbang seluruh biji sorgum per malai yang sudah dipipil dari malainya pada masing-masing tanaman sample setelah dikeringkan dalam oven selama 24 jam dengan suhu 70ºC.

e. Bobot 100 Butir Biji

Bobot 100 butir biji diketahui dengan cara menimbang 100 butir biji tanaman sorgum yang sudah dipipil dan dikeringkan pada masing-masing tanaman sample.


(3)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah di uraikan maka dapat diambil kesimpulan bahwa:

1. Pertumbuhan dan hasil tanaman sorgum yang ditanam secara monokultur lebih baik dibandingkan dengan pertumbuhan dan hasil tanaman sorgum yang ditanam secara tumpangsari.

2. Genotipe berpengaruh terhadap hasil tanaman sorgum. Genotipe yang menunjukan hasil tertinggi pada sistem tumpangsari dengan ubi kayu dan sistem monokultur berdasarkan bobot biji per tanaman secara berurutan adalah Numbu, Batan S3, Batan S12, Wray dan Keller.

5.2 Saran

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, penulis memberikan saran sebagai berikut:

1. Penanaman tanaman sorgum sebaiknya ditanam pada dua musim yang berbeda, yaitu awal musim penghujan dan awal musim kemarau sebagai pembading pertumbuhan dan hasil tanaman sorgum yang ditanam pada dua musim yang berbeda.


(4)

40

2. Pada penelitian selanjutnya dianjurkan menggunakan genotipe sorgum yang memiliki sifat genetik unggul agar hasil produksi yang didapat lebih optimal.


(5)

PUSTAKA ACUAN

Budiman. 2005. http://budiman.www.id/faktor-yang-mempengaruhi-pertumbuhan-dan perkembangan-pada-tumbuhan.html. Diakses tanggal 8 Juli 2013

BPTP Lampung, 2011. Teknik Budidaya Ubi Kayu. Bandar Lampung.

DEPKES RI., Direktorat Gizi. 1992. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Penerbit Bhratara. Jakarta. Hal 57.

Direktorat Jendral Perkebunan. 2012. Sorgum manis komoditi harapan di propinsi kawasan timur Indonesia. Risalah Prospek Tanaman Sorgum untuk Pengembangan Agroindustri, Maret 2011. Edisi Khusus Balai Penelitian Tanaman Kacang-Kacangan dan Umbi-Umbian. No.4-2012: hal 7-15.

FAO dan ICRISAT. 1996. Dunia Sorgum dan Fakta Ekonomi. Study by Basic Foodstuffs Service FAO dan ICRISAT. Hlm 67.

Hartadi, H, S., Reksohadiprojo, L., Soekanto, A. D., Tillman, L. C. Kearl, dan L. E. Haris. 1980. Komposisi Bahan Makanan Ternak untuk Indonesia. Yayasan Rockefeller, Yogyakarta.

Hamim, H., R. Larasati dan M. Kamal. 2012. Analisis komponen hasil sorgum yang ditanam tumpangsari dengan ubi kayu dan waktu tanam berbeda. Prosiding Simposium dan Seminar Bersama PERAGI-PERHORTI-PERIPI-HIGI Mendukung Kedaulatan Pangan dan Energi yang Berkelanjutan. p 91-94. Bogor, 1-2 Mei 2012.

Kamal, M. 2011. Kajian Sinergi Pemanfaatan Cahaya dan Nitrogen Dalam Produksi Tanaman Pangan. Pidato ilmiah dalam rangka pengukuhan guru besar dalam bidang ilmu tanaman Fakultas Pertanian Universitas Lampung di Bandar Lamapung tanggal 23 Februari 2011. Penerbit Universitas Lampung, Bandar Lampung . 68 hlm.

Master. 2013. Pola tanam tumpangsari. www.anakagronomy.com/2013/03/pola-tanam-tumpangsari.htm. Diakses tanggal 7 Juni 2013.

Mudjisihono, R. dan D.S.Damarjati. 1987. Prospek kegunaan Sorghum sebagai sumber pangan dan pakan ternak. Jurnal Litbang Pertanian. 6(1) : 1-4.


(6)

42

Prasetyo, E.I. Sukardjo dan H. Pujiwati. 2009. Produktivitas lahan dan NKL pada tumpang sari jarak pagar dengan tanaman pangan. Jurnal Akta Agrosia. 12 (1) : 51-55.

Rismunandar. 1989. Sorgum Tanaman Serba Guna. Sinar Baru. Bandung. Rosnawati, N. 2011. Pengaruh Intensitas Cahaya Matahari Terhadap

Pertumbuhan Tanaman Kedelai yang Ditumpangsarikan dengan Tanaman Jagung. Skripsi Mahasiswa. Fakultas Pertanian. Universitas Andalas. Padang.

Septiani, R. 2009. Evaluasi pertumbuhan dan hasil beberapa genotipe sorgum (Sorghum bicolor [L] Moench)ratoon 1. Skripsi Mahasiswa. Fakultas Pertanian. Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Setiawan. 2007. Uji adaptasi berbagai genotipe sorgum (Sorghum bicolor [L] Moench) di Bandar Lampung. Skripsi Mahasiswa. Fakultas Pertanian. Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Singgih, S.A., Muin, A. Alla dan A.K. Pairunan. 1989. Pemupukan nitrogen pada tumpangsari jagung dan kedelai. Agrikam. Bulletin Pertanian Penelitian Maros. Hlm 71-80.

Sirappa, M.P. 2003. Prospek pembangunan sorgum di Indonesia sebagai komoditas alternatif untuk pangan, pakan, dan industri. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta. 22 (4) ;133-140.

Siswanto. 1990. Sistem tumpangsari dalam usaha peningkatan produksi peternakan. Jurnal Swadaya Peternakan Indonesia. 2 (61) ; 40-41. Sorghum bicolor. 2008. www.Plants.usda.gov/java/profil?SymbolSOBI2.

Diakses tanggal 21 Oktober 2012. Bandar Lampung

Sucipto. 2010. Efektifitas cara pemupukan terhadap pertumbuhan dan hasil beberapa varietas sorghum manis. Jurnal Embryo. 7 (2).

Suwarto. 2012. Menjadikan ubi kayu sebagai sumber ketahanan pangan dan energi di Indonesia. Dalam Prosiding Simposium dan Seminar Bersama PERAGI-PERHORTI-PERIPI-HIGI Mendukung Kedaulatan Pangan dan Energi yang Berkelanjutan. p 91-94. Bogor, 1-2 Mei 2012.


Dokumen yang terkait

DISTRIBUSI BAHAN KERING BEBERAPA GENOTIPE SORGUM (Sorghum bicolor [L.] Moench) YANG DITUMPANGSARIKAN DENGAN UBIKAYU (Manihot esculenta Crantz.)

0 4 23

RESPONS PERTUMBUHAN DAN HASIL BEBERAPA VARIETAS TANAMAN SORGUM (Sorgum bicolor (L.) Moench) RATOON I TERHADAP APLIKASI BAHAN ORGANIK TANAMAN SORGUM PERTAMA

6 33 48

JUDUL INDONESIA: PENGARUH APLIKASI BAHAN ORGANIK TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL BEBERAPA VARIETAS SORGUM (Sorghum bicolor [L.] Moench)

0 10 47

PENGARUH APLIKASI BAHAN ORGANIK TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL BEBERAPA VARIETAS SORGUM (Sorghum bicolor [L.] Moench)

1 8 75

RESPONS BEBERAPA GENOTIPE SORGUM (Sorgum bicolor [L.] Moench) TERHADAP SISTEM TUMPANGSARI DENGAN UBI KAYU (Manihot esculenta Crantz)

8 37 27

PENGARUH BEBERAPA KONSENTRASI PACLOBUTRAZOL TERHADAP PEMBUNGAAN TANAMAN UBI KAYU (Manihot esculenta Crantz) DI PROKIMAL KABUPATEN LAMPUNG UTARA

0 2 12

PENGARUH TINGKAT KERAPATAN TANAMAN TERHADAP KERAGAAN DAUN, PERTUMBUHAN BIJI DAN DAYA KECAMBAH BENIH BEBERAPA VARIETAS SORGUM (Sorghum bicolor (L.) Moench) PADA SISTEM TUMPANGSARI DENGAN UBIKAYU (Manihot esculenta Crantz)

0 10 59

KAJIAN INTERSEPSI CAHAYA MATAHARI PADA TIGA VARIETAS SORGUM (Sorghum bicolor (L.) Moench) DENGAN KERAPATAN TANAMAN BERBEDA PADA SISTEM TUMPANGSARI DENGAN UBIKAYU (Manihot esculenta Crantz)

2 17 45

PENGARUH KERAPATAN TANAMAN SORGUM (Sorghum bicolor (L.) Moench) TERHADAP PRODUKSI BIOMASSA SORGUM, PERTUMBUHAN, DAN HASIL UBIKAYU (Manihot esculenta Crantz) PADA SISTEM TUMPANGSARI SORGUM DENGAN UBIKAYU

5 30 67

PENGARUH TINGKAT KERAPATAN TANAMAN TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL TANAMAN SORGUM (Sorghum bicolor (L.) Moench) PADA SISTEM TUMPANGSARI DENGAN UBIKAYU (Manihot esculenta Crantz)

0 8 65