Kajian Aktinomiset Sebagai Agens Hayati untuk Pengendalian Sclerotium rolfsii dan Pembiakannya pada Media Limbah Organik Padat

KAJIAN AKTINOMISET SEBAGAI AGENS HAYATI UNTUK
PENGENDALIAN Sclerotium rolfsii DAN PEMBIAKANNYA
PADA MEDIA LIMBAH ORGANIK PADAT

NURUL WIDYANTI

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012

ABSTRAK
NURUL WIDYANTI. Kajian Aktinomiset Sebagai Agens Hayati untuk
Pengendalian Sclerotium rolfsii dan Pembiakannya pada Media Limbah Organik
Padat. Dibimbing oleh GIYANTO.
Pengendalian patogen secara hayati merupakan pengendalian dengan
memanfaatkan mikroorganisme yang bersifat antagonis. Mikroorganisme yang
dapat digunakan sebagai agens hayati salah satunya adalah aktinomiset. Aplikasi
aktinomiset dilapangan memiliki kendala dalam pembiakan secara massal karena
penggunaan media di Laboratorium membutuhkan biaya yang cukup mahal

sehingga dibutuhkan media alternatif yang murah dan mudah didapat. Tujuan
penelitian ini untuk mengetahui kemampuan isolat aktinomiset dalam menekan
pertumbuhan S. rolfsii serta melihat pertumbuhannya dalam media tumbuh
alternatif berbahan dasar limbah organik serbuk gergaji dan dedak. Aktinomiset
yang digunakan yakni APS 7, APS 9, APS 12, dan ATS 5. Biakan aktinomiset
diremajakan dari kultur pembiakan lalu diuji secara in vitro terhadap S. rolfsii.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari keempat isolat aktinomiset yang
digunakan hanya isolat APS 7 yang memiliki potensi sebagai agens pengendalian
hayati terhadap S. rolfsii dengan nilai penghambatan sebesar 91.73% pada
inkubasi minggu ketiga. Secara umum baik media serbuk gergaji maupun media
dedak keduanya memiliki potensi dijadikan media tumbuh aktinomiset APS 7.
Komposisi bahan pada media serbuk gergaji yang terdiri dari 45% serbuk gergaji,
44.3% ampas tahu, 2.7% kapur pertanian, 5% glukosa, 2.5% susu skim, dan 0.5%
tepung limbah udang mampu mendukung pertumbuhan aktinomiset dengan nilai
rata-rata populasi tertinggi sebesar 335106 cfu/g pada masa inkubasi minggu
kedelapan. Begitu pula pada media dedak dengan komposisi bahan yang terdiri
dari 45% dedak, 38.5% ampas tahu, 8.5% kapur pertanian, 5% glukosa, 2.5% susu
skim, dan 0.5% tepung limbah udang juga mampu mendukung pertumbuhan
aktinomiset dengan nilai rata-rata populasi sebesar 331106 cfu/g pada masa
inkubasi minggu kedelapan.

Kata kunci: Aktinomiset, agens hayati, Sclerotium rolfsii, limbah organik padat.

KAJIAN AKTINOMISET SEBAGAI AGENS HAYATI UNTUK
PENGENDALIAN Sclerotium rolfsii DAN PEMBIAKANNYA
PADA MEDIA LIMBAH ORGANIK PADAT

NURUL WIDYANTI
A34070028

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian
di Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama lengkap Nurul Widyanti, dilahirkan di Bekasi pada
tanggal 7 Oktober 1989. Penulis merupakan anak bungsu dari dua bersaudara
pasangan M. Abudin dan Elis Kurniasih. Penulis menyelesaikan pendidikan
sekolah menengah atas di SMA PGRI 1 Bekasi (2004-2007).
Pada tahun 2007 penulis melanjutkan pendidikannya di Institut Pertanian
Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB pada kurikulum berbasis
mayor-minor. Penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Proteksi
Tanaman, Fakultas Pertanian, IPB, dan mengikuti masa Tingkat Persiapan
Bersama selama 1 tahun. Pada tahun berikutnya penulis melanjutkan
pendidikannya dengan Mayor Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, dan Minor
Perlindungan Tanaman, Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan, IPB.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis telah menjadi asisten mata kuliah
Hama dan Penyakit Tanaman Tahunan, Entomologi Umum dan Biologi
Cendawan. Penulis juga aktif dalam beberapa organisasi yang berada di IPB
antara lain pada tahun 2007-2008 penulis aktif di Ikatan Keluarga Mahasiswa
Bekasi IPB (Kemsi-IPB). Pada tahun 2008-2009 penulis bergabung dalam
Himpunan Mahasiswa Proteksi Tanaman (HIMASITA) sebagai bendahara Divisi
Pengembangan Sumber Daya Manusia (PSDM). Penulis juga aktif dalam
beberapa club mitra HIMASITA yakni sebagai anggota di Organic Farming Club
dan Entomology Club. Pada tahun 2009-2010 penulis diamanahkan untuk menjadi

ketua Divisi Coorporate Sosial Responsibility (CSR) BEM Fakultas Pertanian
IPB. Penulis juga pernah bekerja sebagai pengajar pada lembaga Bimbingan
Belajar Halwan Hamdan dan mengajar privat di lembaga Bimbingan Belajar
Primasiswa.

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena berkat
rahmat, hidayah serta kasih sayang Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang
berjudul “Kajian Aktinomiset Sebagai Agens Hayati untuk Pengendalian
Sclerotium rolfsii dan Pembiakannya pada Media Limbah Organik Padat”.
Penelitian dan penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Pertanian di Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas
Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium
Bakteriologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman dari bulan Maret 2011
sampai Oktober 2011.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada:
1. Dr. Ir. Giyanto, M.Si. selaku dosen pembimbing yang telah memberikan
banyak ilmu, pengetahuan, saran, dan motivasi.
2. Dr. Ir. Ruly Anwar, M.Si. selaku dosen penguji tamu yang telah memberikan
saran dan motivasi.

3. Prof. Dr. Dadang, M.Sc. selaku dosen pembimbing akademik yang telah
memberikan saran dan arahan.
4. Kedua orang tua dan kakak (Eko Budi Aji dan Darmawati) yang selalu
memberikan dukungan dan motivasi.
5. Mushthofa Amd yang selalu sabar dan memberi motivasi setiap waktu.
6. Sahabat yang selalu ada dalam suka dan duka, Kurniatus Ziyadah S.P, Irma
Utami Siagian S.P, dan Rahmah Waty.
7. Teman-teman seperjuangan yang bekerja di Laboratorium Bakteriologi
Tumbuhan yakni Dr. Ir. Rustam M.Si., Ir. Haliatur M.Si, Adelia M.Si,
Prasetyo M.Si, Ratdiana M.Si, Tita Wijayanti M.Si, Nur izza S.P, Yana S.P,
Zenita Vinda S.P, Ida Parida S.P, Tatit dan Yayu.
8. Teman-teman Wisma Cantik yakni Emy, Ira, Rara, Laras, Oji, Arini, Ade,
Ayu, dan Riska
9. Rasa terima kasih penulis sampaikan juga kepada seluruh mahasiswa
Departemen Proteksi Tanaman, khususnya angkatan 44 atas semangat yang
selalu berkobar.
Penulis menyadari bahwa dalam skripsi ini masih terdapat banyak
kekurangan untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan.


Bogor, Januari 2012

Nurul Widyanti

DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR TABEL ..........................................................................................

vii

DAFTAR GAMBAR .....................................................................................

viii

DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................

ix

PENDAHULUAN .........................................................................................

Latar Belakang ..........................................................................................
Tujuan Penelitian .......................................................................................
Manfaat Penelitian .....................................................................................
TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................
Sclerotium rolfsii .......................................................................................
Pengendalian Hayati ..................................................................................
Aktinomiset ...............................................................................................
Limbah Organik ........................................................................................
Serbuk Gergaji ·······························································
Dedak ··········································································
Ampas Tahu ··································································
Tepung Limbah Udang ·····················································

1
1
3
3
4
4
5

5
6
6
7
8
9

BAHAN DAN METODE ..............................................................................
Tempat dan Waktu ....................................................................................
Bahan .........................................................................................................
Peremajaan Aktinomiset dari Kultur Penyimpanan .................................
Perbanyakan Sclerotium rolfsii dari Kultur Penyimpanan ........................
Uji in vitro Penghambatan Sclerotium rolfsii oleh Aktinomiset ...............
Pembiakan Populasi Aktinomiset pada Media Limbah Organik ..............
Persiapan Media Limbah Organik ......................................................
Pembuatan Media Limbah Oganik ········································
Pembiakan Aktinomiset ·····················································
Penghitungan Populasi Aktinomiset pada Media Limbah Organik ········
Analisis Data .............................................................................................


10
10
10
10
10
11
12
12
12
13
14
14

HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................................................
Isolat Aktinomiset .....................................................................................
Uji in vitro Penghambatan Sclerotium rolfsii oleh Aktinomiset ...............
Penghitungan Populasi Aktinomiset pada Media Limbah Organik ..........
KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................................
Kesimpulan ................................................................................................
Saran ..........................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................

15
15
16
18
22
22
22
23

LAMPIRAN ...................................................................................................

27

DAFTAR TABEL

Halaman
1


Komposisi bahan media serbuk gergaji ................................................

13

2

Komposisi bahan media dedak ..............................................................

13

3

Persentase penghambatan senyawa bioaktif APS 7, APS 9, APS 12,
dan ATS 5 terhadap Sclerotium rolfsii ..................................... ... .........

17

Rata-rata koloni aktinomiset APS 7 pada media serbuk gergaji dan
dedak .....................................................................................................

19

4

DAFTAR GAMBAR

Halaman
1
2

3

Koloni aktinomiset pada media agar WYE, APS 7 (A), APS 9
(B), APS 12 (C), dan ATS 5 (D) ...........................................................

15

Variasi aktivitas penghambatan pertumbuhan miselium S. rolfsii
oleh senyawa bioaktif aktinomiset APS 7 (A), APS 9 (B), APS
12 (C), ATS 5 (D), dan kontrol (E) .......................................................

17

Perkembangan populasi aktinomiset APS 7 pada media serbuk
gergaji dan dedak dengan masa inkubasi dari minggu ke nol
sampai minggu kedelapan .....................................................................

18

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
1
2
3
4
5
6
7

Hasil analisis ragam penghitungan populasi aktinomiset pada
media limbah organik minggu ke-0 ....................................................

28

Hasil analisis ragam penghitungan populasi aktinomiset pada
media limbah organik minggu ke-2 ....................................................

28

Hasil analisis ragam penghitungan populasi aktinomiset pada
media limbah organik minggu ke-4 ....................................................

28

Hasil analisis ragam penghitungan populasi aktinomiset pada
media limbah organik minggu ke-6 ....................................................

28

Hasil analisis ragam penghitungan populasi aktinomiset pada
media limbah organik minggu ke-8 ....................................................

29

Media tumbuh aktinomiset, pada media dedak (kiri) dan
serbuk gergaji (kanan) ........................................................................

29

Tempat inkubasi media serbuk gergaji dan dedak .............................

29

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Budi daya tanaman merupakan kegiatan yang kerap dilakukan untuk
memenuhi kebutuhan pangan dan pakan. Pada proses budi daya kadang kala
terdapat hambatan berupa serangan organisme pengganggu tanaman (OPT).
Sclerotium rolfsii merupakan salah satu jenis OPT yang memiliki kisaran inang
luas. Kurang lebih 500 spesies inang seperti kubis, bawang merah, kacang hijau,
kacang tanah, tomat, dan timun dapat diserang oleh patogen ini. Inang yang
terserang akan mengalami rebah kecambah, busuk pangkal batang dan busuk akar
sehingga proses fisiologi tanaman terganggu. Pada tanaman dewasa gejala yang
ditimbulkan berupa bercak kuning hingga kemerahan pada pangkal batang dan
menghasilkan sklerotium yang mampu bertahan hidup selama setahun di dalam
tanah (Agrios 2005). Sebagaimana pengendalian pada patogen tular tanah lainnya,
pengendalian S. rolfsii meliputi upaya memusnahkan inokulum cendawan seperti
pembuangan sisa tanaman, solarisasi, rotasi tanaman, dan penggunaan fungisida.
Pengendalian dengan rotasi tanaman memiliki kesulitan karena kisaran inang
yang luas. Penggunaan fungisida sintetis yang kurang bijaksana dapat
meningkatkan ketahanan patogen dan mengakibatkan peningkatan residu pada
produk hasil.
Untuk mengurangi penggunaan fungisida sintetis, maka diperlukan
alternatif pengendalian OPT yang ramah lingkungan. Kini telah banyak alternatif
pengendalian menggunakan fungisida berbahan dasar formulasi mikroorganisme.
Pemanfaatan mikroorganisme untuk mengendalikan patogen tumbuhan dikenal
dengan pengendalian secara hayati. Salah satu mikroorganisme yang berpotensi
dijadikan agens hayati adalah aktinomiset. Mikroba ini memegang peranan
penting dalam siklus nutrisi, fiksasi nitrogen, produksi metabolit sekunder, dan
memacu pertumbuhan tanaman. Perannya dalam memacu pertumbuhan tanaman
dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung yakni
menghasilkan fitohormon, melarutkan fosfat, dan meningkatkan kemampuan
menyerap nutrisi. Secara tidak langsung yakni dapat mengendalikan patogen
(kompetisi, parasitisme, produksi metabolit sekunder) dan menginduksi ketahanan

2
tanaman (Barreto et al. 2008). Berbagai pengujian aktinomiset telah banyak
dilakukan terhadap biji, bibit, dan media tanam untuk menekan perkembangan
patogen rebah kecambah dan patogen tular tanah lainnya (Lahdenpera 2000).
Beberapa isolat aktinomiset seperti Streptomyces sp. mampu menghambat
pertumbuhan patogen Ralstonia solanacearum pada tanaman pangan (Akhdiya &
Susilowati 2008), Xanthomonas oryzae pv. oryzae pada padi (Putra 2011), dan
Sclerotium rolfsii pada buncis (Reddy 2010).
Terlepas dari semua potensi yang dimiliki oleh aktinomiset, pembiakan
aktinomiset secara massal memiliki hambatan tersendiri. Media pembiakan
aktinomiset yang terdapat di Laboratorium harus diperoleh dengan harga yang
cukup mahal. Jika media tersebut digunakan untuk pembiakan aktinomiset secara
massal, maka akan membutuhkan biaya produksi yang tinggi. Oleh karena itu,
diperlukan media alternatif yang bernilai ekonomis. Media tumbuh yang berasal
dari alam dapat dijadikan alternatif pembiakan aktinomiset. Media tumbuh
alternatif agens hayati dalam bentuk formulasi dengan bahan dasar limbah organik
telah banyak diteliti dan diproduksi secara massal. Seperti penelitian yang telah
dilakukan oleh Rismawan (2011) dan Ratdiana (2007) dengan membuat formulasi
media berasal dari limbah organik cair dan limbah cair ternak untuk media
pembiakan Pseudomonas fluorescens. Beberapa perusahaan yang bergerak dalam
bidang pestisida kini telah banyak memproduksi biopestisida berbahan dasar
mikroba antagonis seperti Mycostop merupakan produk biokotrol berbahan dasar
Streptomyces griseoviridis dan Actino-iron berasal dari Streptomyces lydicus
(Lahdenpera 2006).
Nonomura & Ohara (1969) menjelaskan bahwa banyak aktinomiset hidup
sebagai saprofit dan aktif mendekomposisi bahan organik di dalam tanah. Jumlah
aktinomiset dalam tanah ditentukan oleh ketersediaan bahan organik segar dan pH
tanah. Berdasarkan ketersedian limbah organik berupa sisa serutan kayu dan
limbah penggilingan padi maka dibuatlah suatu gagasan untuk menjadikan limbah
organik tersebut sebagai media pembiakan aktinomiset.

3
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan mengkaji kemampuan isolat aktinomiset dalam
menekan pertumbuhan S. rolfsii serta melihat pertumbuhannya dalam media
alternatif berbahan dasar limbah organik serbuk gergaji dan dedak.

Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat melihat kemampuan aktinomiset dalam
menekan perkembangan patogen S. rolfsii dan menyediakan teknologi pembiakan
massal aktinomiset yang murah dan mudah didapat dengan memanfaatkan limbah
organik serbuk gergaji dan dedak.

TINJAUAN PUSTAKA

Sclerotium rolfsii
Sclerotium rolfsii merupakan patogen penyebab penyakit busuk pangkal
batang yang pada umumnya terdapat pada tanaman persemaian namun juga dapat
menyerang tanaman dewasa. Cendawan ini bersifat polifag sehingga kisaran
inangnya sangat luas antara 200-500 spesies. Beberapa tanaman yang kerap
diserang patogen ini adalah kedelai, kacang tanah, tembakau, cabai, dan terong
(Punja & Rahe 2011). Infeksi patogen ini menyebabkan kehilangan hasil hingga
32.3% (Fichtner 2006). Patogen pada umumnya berada pada daerah tropik
beriklim panas namun lembab dengan suhu sekitar 20-30 ⁰C. Pada daerah
subtropik cendawan ini dapat membentuk spora seksual berupa basidiospora
yakni Corticium rolfsii dan Pellicularia rolfsii (Ferreira & Boley 2000). Proses
pemencaran dan pertahanan diri dengan membentuk struktur yang dapat bertahan
hidup selama setahun di dalam tanah (disebut sklerotium). Sklerotium berbentuk
bulat (tidak beraturan) dengan ukuran diameter 0.5-2.0 µm dan pada umumnya
tampak berwarna putih namun berkembang cepat menjadi kecoklatan (Semangun
1993).
Gejala awal pada tanaman yang terserang S. rolfsii berupa nekrosis dan
kelayuan pada daun. Gejala berikutnya terlihat kumpulan hifa berwarna putih
pada jaringan yang terinfeksi dan dapat menimbulkan kebusukan pada pangkal
batang. Selain menyebabkan busuk pada pangkal batang, Wahyuni & Wiwiek
(1979) melaporkan bahwa patogen ini dapat menyebabkan busuk akar rimpang
kunyit di pembibitan.
Pengendalian patogen ini dapat dilakukan secara mekanik, fisik, kultur
teknis, kimiawi dan hayati. Sclerotium rolfsii pada umumnya sulit untuk
dilakukan pengendalian secara kultur teknis dan kimiawi karena memiliki kisaran
inang yang luas. Pada pengendalian secara hayati, beberapa mikroorganisme
seperti cendawan Trichoderma harzianum (Tindaon 2008), Pseudomonas
flourescens (Rismawan 2011), Bacillus subtilis, Gliocladium virens, Penicillium
spp. (Ferreira & Boley 2006), dan Streptomyces nigrifaciens (Reddy 2010) dapat
digunakan untuk mengendalikan patogen S. rolfsii.

5
Pengendalian Hayati
Pengendalian hayati adalah pengurangan jumlah inokulum atau kegiatan
patogen dalam menyebabkan suatu penyakit oleh satu atau lebih organisme
antagonis selain manusia baik secara aktif maupun manipulasi lingkungan dan
inang (Baker & Cook 1974). Pengendalian hayati bersifat ekologis dan
berkelanjutan. Ekologis berarti pengendalian hayati harus dilakukan melalui
pengelolaan ekosistem pertanian secara efisien dengan sedikit mungkin
mendatangkan efek samping negatif bagi lingkungan hidup. Berkelanjutan dapat
diartikan sebagai kemampuan agens hayati untuk bertahan dan menjaga agar
upaya pengendalian tidak merosot atau terus berlangsung (Basukriadi 2003).
Menurut Istikorini (2002), pengendalian hayati yang bersifat ekologis dan
berkelanjutan

mengacu

pada

bentuk

pertanian

dengan

mengoptimalkan

pemanfaatan sumber daya yang ada. Pemanfaatan mikroorganisme antagonis
dapat menjaga keseimbangan ekologi karena sumber daya tersebut dikembalikan
lagi ke alam sehingga kualitas lingkungan terutama tanah dapat dipertahankan.
Contoh mikroorganisme antagonis yang digunakan untuk pengendalian
hayati

yakni

Pseudomonas

fluorescens

untuk

mengendalikan

Ralstonia

solanacearum pada tanaman cabai (Ratdiana 2007). Trichoderma harzianum
mempunyai kemampuan menekan patogen penyebab busuk umbi dan hawar daun
pada tanaman kentang Phythopthora infestan (Purwantisari et al. 2008).
Gliocladium sp. mampu mengendalikan Rhizoctonia solani pada tanaman jagung
(Syatrawati 2005) dan menekan pertumbuhan jamur akar putih pada tanaman
karet (Silalahi & Suriadi 2008). Pemanfaatan Streptomyces spp. dapat menekan
serangan Fusarium oxysporum pada tanaman pisang (Sudarma 2010).
Pengendalian dengan menggunakan musuh alami merupakan langkah yang tepat
guna menunjang pertanian yang ramah lingkungan.
Aktinomiset
Aktinomiset merupakan bakteri Gram positif yang memiliki struktur
berupa filamen lembut seperti hifa atau miselia (Madigan et al. 2006). Pada
permukaan agar aktinomiset dapat dibedakan dengan mudah dari bakteri non
aktinomiset. Koloni bakteri non aktinomiset memilki struktur berlendir dan
tumbuh dengan cepat, sedangkan koloni aktinomiset muncul perlahan

6
menunjukkan konsistensi berdebu dan melekat erat pada permukaan agar (Rao
1994 dalam Puryantiningsih 2009). Beberapa aktinomiset mampu menghasilkan
beragam senyawa yang dapat berfungsi sebagai antimikroba dan memacu
pertumbuhan pada tanaman. Berbagai senyawa antimikrob yang dihasilkan oleh
aktiomiset, khususnya Streptomyces spp. berupa tetrasiklin, streptomisin,
eritromisin, kloramfenikol, ivermektin, dan rifampisin (Todar 2008).
Aktinomiset juga mampu mensintesis banyak senyawa bioaktif berupa
antibiotik, pestisida, antiseptik, selulase, dan xylanase (Oskay et al. 2004).
Kemampuan aktinomiset menghasilkan antibiotik dan antimikrob

dapat

dibuktikan dengan adanya penelitian yang dilaporkan oleh Crawford (1993) yang
menyatakan bahwa aktinomiset yang berasal dari rizosfer dan non rizosfer dapat
bersifat antagonis pada tanaman selada yang terserang oleh patogen akar
Pythium ultimo. Penelitian lain dapat membuktikan bahwa isolat aktinomiset
seperti Streptomyces sp. mampu menghambat pertumbuhan patogen Bacillus sp.
dan Pyricularia oryzae pada tanaman padi (Prabavathy et al. 2006) serta
menghambat perkecambahan uredospora Phakopsora Pachirizi pada tanaman
kedelai (Kurniawan 2003).
Selain dapat menghasilkan senyawa aktif, aktinomiset juga dapat berperan
sebagai pemicu pertumbuhan tanaman seperti penelitian yang telah dilakukan oleh
Patil et al. (2011) bahwa aktinomiset mampu memicu pertumbuhan tanaman
tomat dan menginduksi senyawa fenolat untuk menambah daya tahan terhadap
serangan Rhizoctonia solani. Khamna et al. (2010) melaporkan Streptomyces
viridis mampu meningkatkan perkecambahan dan panjang akar tanaman jagung
serta memperbanyak polong pada tanaman kacang melalui dihasilkannya IAA.
Limbah Organik
Serbuk Gergaji
Di Indonesia ada tiga jenis industri kayu yang secara dominan
menggunakan kayu dalam jumlah relatif besar antara lain industri kayu lapis,
kertas, dan penggergajian kayu. Limbah industri dari kayu lapis dan kertas telah
dimanfaatkan kembali dalam proses pengolahannya sebagai bahan bakar. Namun
Limbah industri penggergajian kayu belum dimanfaatkan secara optimal (Priyono

7
2008). Limbah ini terdiri dari kulit kayu, potongan kayu dan serbuk hasil
gergajian. Limbah berupa potongan kayu telah dimanfaatkan sebagai inti papan
blok dan bahan baku papan partikel. Sedangkan limbah berupa serbuk kayu
pemanfaatannya hanya digunakan sebagai bahan bakar tungku (dibakar begitu
saja) tanpa penggunaan yang berarti atau dibiarkan menumpuk sehingga dapat
menyebabkan pencemaran (Febrianto 1999).
Untuk mengurangi tingkat pencemaran, maka pemanfaatan serbuk gergaji
harus dilakukan lebih optimal agar mempunyai nilai ekonomi. Kandungan nutrisi
dan mineral yang terdapat di dalam 100 g serbuk gergaji yakni 35,3 g serat kasar,
31 g selulosa, 30,9 g lignin, 0.9 g protein kasar, dan 1.9 g lemak kasar (Suriawiria
& Unus 2006). Beberapa pemanfaatan serbuk gergaji yang telah dilakukan berupa
penggunaan serpihan dan potongan kayu untuk dijadikan arang (Amin 2000) dan
media tanam jamur tiram (Sariyono 2008).
Masih banyak limbah serbuk gergaji yang belum dimanfaatkan secara
maksimal. Oleh karena itu, pencarian alternatif untuk membuat limbah serbuk
gergaji kayu lebih bermanfaat masih dilakukan. Salah satunya digunakan untuk
media pembiakan massal aktinomiset. Aktinomiset seperti bakteri pada umumnya,
membutuhkan sumber karbon (C), nitrogen (N), dan fosfat (P) untuk menunjang
pertumbuhannya (Pelczar & Chan 2007). Zat-zat (karbohidrat dan lignin) yang
terkandung di dalam serbuk gergaji dibutuhkan oleh aktinomiset untuk tumbuh.
Aktinomiset memiliki kemampuan mendegradasi bahan organik seperti selolusa
dan lignin (Xu et al. 1996).
Dedak
Indonesia

merupakan

negara

dengan

mayoritas

penduduknya

mengonsumsi nasi sebagai makanan pokok. Dalam tahap pascapanen tanaman
padi menjadi beras, pada proses penggilingannya menghasilkan produk samping
antara lain menir, beras pecah, sekam, dan dedak. Menir dan beras pecah dapat
digiling menjadi tepung sebagai bahan berbagai kue dan makanan lainnya. Sekam
dapat dimanfaatkan untuk bahan bakar serta kompos. Sementara dedak padi saat
ini hanya dimanfaatkan sebagai pakan ternak dan belum banyak digunakan
sebagai sumber pangan manusia (Made & Andi 2010). Dedak terdiri dari lapisan
sebelah luar butiran beras dan sejumlah lembaga beras (Mc Cascill & Zhang

8
1999). Penggilingan satu ton gabah menghasilkan dedak sebanyak 60-80 kg
(Goffman et al. 2003).
Dedak mengandung asam lemak tak jenuh esensial dan bermacam-macam
vitamin (B1, B2, B3, B5, dan B6) serta mineral. Disamping zat gizi, dedak juga
mengandung komponen bioaktif seperti antioksidan (tokoferol, tokotrienol, dan
oryzanol) dan asam pangamik. Kandungan nutrisi yang terdapat di dalam 100 g
dedak adalah 70 g karbohidrat, 12 g lemak, dan 16 g protein serta terdapat 0.2 g
vitamin B15 (Blair 2008).
Berdasarkan kandungan nutrisi yang terdapat di dalam dedak, banyak
peternak menggunakan dedak sebagai pakan untuk unggas. Selain sebagai pakan
ternak, dedak berpotensi sebagai bahan pangan karena mengandung pati dan
minyak. Pada proses pembiakan aktinomiset dedak dapat dijadikan sebagai
sumber karbon (C), nitrogen (N), vitamin B1, dan B2.
Ampas Tahu
Tahu merupakan makanan tradisional sebagian besar masyarakat
di Indonesia. Bahan utama pembuatan tahu adalah kacang kedelai (Glycine max).
Industri tahu dalam proses pengolahannya menghasilkan limbah, baik limbah
padat maupun cair. Limbah padat yang lebih dikenal sebagai ampas tahu
merupakan limbah padatan yang memiliki jumlah protein bervariasi tergantung
pada proses pembuatannya.
Pembuatan tahu secara tradisional menghasilkan ampas tahu dengan
protein yang lebih tinggi dibandingkan dengan pengolahan secara modern
(Winarno & Fardiaz 1985). Kandungan nutrisi dan mineral yang terdapat di dalam
100 g ampas tahu yakni 17.4 g karbohidrat, 67.5 g protein, 10.6 g lemak, dan
4.499 g mineral (Sulistiani 2004).
Seiring banyaknya informasi tentang kandungan nutrisi ampas tahu, maka
bahan ini dapat digunakan sebagai salah satu alternatif bahan pembiakan
mikroorganisme. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Pudjiraharti et al. (2000)
bahwa ampas tahu digunakan sebagai substrat tumbuh Rhizopus sp. dan
digunakan sebagai formulasi probiotik (Mustika et al. 2008). Hal ini dikarenakan
komposisi asam amino dari ampas tahu cukup baik (Wahyu 1992). Berdasarkan

9
kandungan nutrisi dan mineral yang terdapat pada ampas tahu maka bahan ini
dapat dijadikan bahan tambahan dalam pembuatan media tumbuh aktinomiset.
Tepung Limbah Udang
Indonesia termasuk salah satu negara pengekspor udang terbesar di dunia.
Data BPS (2009) menunjukkan produksi udang Indonesia sebesar 294.000 ton
pada tahun 2008 dan produksi ini meningkat sebesar 25% per tahun. Apabila
udang segar ini diolah menjadi udang beku, maka sebesar 35%-70% dari bobot
utuh akan menjadi limbah udang (Mahata 2007). Limbah udang di Indonesia
umumnya terdiri atas bagian kepala, ekor, dan cangkang udang serta udang yang
rusak (Mirzah 1997).
Kandungan nutrisi dan mineral yang terdapat di dalam limbah udang
berupa 54.78% bahan kering, 27.62% protein kasar, 11.29% serat kasar, 5.88%
kalsium, dan 0.43% lemak (Mirzah 2006). Kandungan kitin limbah udang
mencapai 30% dari bahan kering limbah udang (Purwaningsih 2000). Limbah
udang dapat dijadikan bahan tambahan sumber kitin dalam proses pembiakan
aktinomiset pada media limbah organik.

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu
Penelitian

dilaksanakan

di

Laboratorium

Bakteriologi

Tumbuhan,

Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB)
mulai Maret 2011 sampai Oktober 2011.
Bahan
Bahan yang digunakan adalah serbuk gergaji, dedak, ampas tahu, tepung
limbah udang, kapur pertanian, susu skim, glukosa, media agar WYE
(Water-yeast extract), media PDA (Potato Dextrose Agar), isolat aktinomiset
APS 7, APS 9, APS 12, ATS 5, dan biakaan cendawan Sclerotium rolfsii.
Peremajaan Aktinomiset dari Kultur Penyimpanan
Isolat murni aktinomiset didapatkan dari Laboratorium Bakteriologi
Tumbuhan Proteksi Tanaman. Isolat aktinomiset APS 7, APS 9, dan APS 12
berasal dari tanah bagian top soil sekitar perakaran sawit (Putra 2011) sedangkan
aktinomiset ATS 5 berasal dari tanah persawahan (Himmah 2012). Perbanyakan
isolat murni dilakukan dengan menumbuhkan inokulum pada media agar WYE
(0.25 g yeast extract, 0.5 g K2HPO4, 18 g agar, dan 1 L aquades) (Crawford et al.
1993) dan diinkubasi pada suhu ruang 28 ⁰C selama 7-14 hari. Pertumbuhan isolat
berhasil jika terdapat koloni aktinomiset yang tumbuh dan mengeluarkan spora
seperti berdebu (merupakan eksospora yang terbentuk), mengandung pigmen
tertentu, dan berbau khas tanah.
Perbanyakan Sclerotium rolfsii dari Kultur Penyimpanan
Isolat S. rolfsii disiapkan dengan menumbuhkan bulatan miselium
cendawan (diameter 0.5 cm) pada media PDA (20 g dextrose, 200 g ekstrak
kentang, 15 g agar, dan 1 L aquades) lalu diinkubasi selama 7 hari pada suhu
ruang 28 ⁰C. Isolat siap digunakan jika ada pertumbuhan miselium tipis, berwarna
putih, dan teratur yang tumbuh memenuhi isi cawan. Pada umur tua miselium ini
akan berubah menjadi butiran bulat (tidak beraturan) dengan permukaan yang
licin. Mulanya berwarna putih kemudian menjadi kecoklatan dinamakan

11
sklerotium, ini digunakan sebagai struktur bertahan pada kondisi lingkungan yang
tidak mendukung.
Uji in vitro Penghambatan Sclerotium rolfsii oleh Aktinomiset
Pengujian antagonis aktinomiset menggunakan metode peracunan media
tumbuh S. rolfsii. Media yang digunakan adalah PDA yang telah disterilisasi pada
suhu 121 ⁰C selama 15 menit. Masing-masing aktinomiset berumur 14 hari
sebanyak satu ose diinokulasikan ke dalam 15 ml media cair WYE ( 0.25 g yeast

extract, 0.5 g K2HPO4, dan 1 L aquades) (Crawford et al. 1993) dan diinkubasi
pada inkubator bergoyang dengan kecepatan 100 rpm selama 7, 14, 21 dan 28
hari. WYE cair yang mengandung biakan aktinomiset, masing-masing sebanyak
1 ml dimasukkan ke dalam tabung ependorff lalu sentrifugasi dengan kecepatan
12.000 rpm selama 10 menit hingga didapatkan supernatan yang mengandung
senyawa bioaktif aktinomiset.
Supernatan dimasukkan ke dalam erlenmayer steril 200 ml dan dipanaskan
pada inkubator pemanas dengan suhu 65 ⁰C selama 30 menit. Selanjutnya
didiamkan pada suhu ruang selama 60 menit lalu dipanaskan kembali selama 30

menit dengan suhu yang sama, hal ini bertujuan untuk mematikan sel vegetatif
aktinomiset. Cairan yang mengandung senyawa bioaktif dicampurkan ke dalam
media PDA yang telah dicairkan (suhu 50 ⁰C). Media PDA yang telah tercampur
oleh senyawa bioaktif aktinomiset kemudian dimasukkan ke dalam cawan petri

(diameter 9 cm). Setelah itu, pada pusat cawan petri diinokulasikan bulatan koloni
S. rolfsii (diameter 0.5 cm) berumur 7 hari pada masing-masing perlakuan. Media
biakan lalu diinkubasi selama 3 hari pada suhu ruang 28 ⁰C. Percobaan dilakukan
sebanyak dua kali ulangan.

Pengamatan dilakukan terhadap pertumbuhan miselium pada setiap
perlakuan. Persen penghambatan pertumbuhan S. rolfsii dihitung dengan
persamaan:
Daya hambat (%) =
Keterangan:

Dk −Dp
Dk

 100%

DK

= diameter koloni S. rolfsii pada kontrol

DP

= diameter koloni S. rolfsii pada perlakuan.

12
Aktinomiset yang memiliki keefektifan tertinggi dalam menekan pertumbuhan
S. rolfsii digunakan sebagai pengujian pembiakan pada media limbah organik.
Isolat yang terseleksi kemudian dilakukan perbanyakan.
Pembiakan Aktinomiset pada Media Limbah Organik
Persiapan Media Limbah Organik
Bahan yang digunakan sebagai komposisi utama terdiri dari serbuk gergaji
dan dedak. Serbuk gergaji berasal dari limbahvpabrik penggergajian yang
merupakan jenis kayu kihiyang (Albizzia procerra) sedangkan dedak didapatkan
dari toko pertanian. Serbuk gergaji dan dedak disaring guna mendapatkan bagian
yang lebih halus dan dijemur agar terhindar dari serangan mikroorganisme
gudang. Bahan tambahan untuk menunjang nutrisi terdiri dari ampas tahu, tepung
limbah udang, kapur pertanian, glukosa, dan susu skim. Ampas tahu diperoleh
dari pabrik pengolahan tahu yang terletak di daerah Cibanteng, Bogor. Ampas
tahu diperas dengan saringan kain dan dijemur hingga kering kemudian
dihaluskan menggunakan blender hingga menjadi tepung. Sedangkan tepung
limbah udang berasal dari limbah udang yang terdiri dari kepala, ekor dan
cangkang udang yang dijemur dan dikeringkan dengan oven lalu dihaluskan
hingga menjadi tepung.
Pembuatan Media Limbah Oganik
Bahan-bahan pembuatan media limbah organik dicampurkan hingga
kondisi homogen dengan penambahan air sebanyak 30 ml untuk media serbuk
gergaji dan 50 ml untuk media dedak. Indikator penambahan air yang cukup yakni
jika media digenggam tidak hancur (menggumpal) dan tidak sampai meneteskan
air. Setelah tercampurnya semua bahan media limbah organik, maka dilakukan
penyesuaian tingkat keasaman pada media dengan derajat keasaman 6.5-8.0.
Kondisi ini merupakan pH optimum untuk syarat hidup aktinomiset. Kemudian
bahan yang telah tercampur dimasukkan ke dalam plastik polipropilen 1 kg tahan
panas sebanyak 200 g. Setelah itu ujung plastik diberi cincin pipa (diameter 4 cm)
kemudian lubang cincin disumbat menggunakan kapas dan ditutup dengan kertas
putih (13 cm x 9 cm) guna meminimalkan terjadinya kontaminasi. Komposisi tiap
bahan yang diperlukan untuk membuat 200 g media aktinomiset sebagai berikut:

13
Tabel 1 Komposisi bahan media serbuk gergaji
Bahan
Serbuk gergaji

Komposisi bahan (g)
90.0

Komposisi bahan (%)
45.0

Ampas tahu

88.6

44.3

Kapur pertanian

5.4

2.7

Glukosa

10.0

5.0

Susu skim

5.0

2.5

Tepung limbah udang

1.0

0.5

Tabel 2 Komposisi bahan media dedak
Bahan
Dedak

Komposisi bahan (g)
90.0

Komposisi bahan (%)
45.0

Ampas tahu

77.0

38.5

Kapur pertanian

17.0

8.5

Glukosa

10.0

5.0

Susu skim

5.0

2.5

Tepung limbah udang

1.0

0.5

Media tumbuh serbuk gergaji dan dedak kemudian disterilisasi pada suhu
120 ⁰C selama 15 menit untuk mengindari terjadinya kontaminasi. Media tumbuh

disimpan pada suhu 28 ⁰C selama 24 jam sebelum diinokulasikan dengan biakan
aktinomiset.

Pembiakan Aktinomiset
Pembiakan dilakukan dengan mencampurkan 10 ml air steril ke dalam
biakan aktinomiset (berumur 14 hari) kemudian spora dipanen menggunakan
spatula steril hingga tersuspensi. Suspensi spora yang telah tercampur diambil
sebanyak 1.25 ml (satu gram media terdapat koloni aktinomiset dengan kerapatan
1103 cfu/ml) lalu dilarutkan ke dalam 8.75 ml air steril hingga total menjadi 10
ml. Suspensi sebanyak 10 ml dimasukkan ke dalam 200 g media limbah organik
kemudian suspensi dihomogenkan bersamaan dengan media. Semua proses
inokulasi aktinomiset ke dalam media dilakukan secara aseptik. Media diinkubasi
selama 0, 2, 4, 6, dan 8 minggu pada suhu ruang 28 ⁰C. Pengulangan dilakukan
sebanyak lima kali.

14
Penghitungan Populasi Aktinomiset pada Media Limbah Organik
Penghitungan populasi aktinomiset dilakukan dengan metode pengenceran
berkala (100, 10-1, 10-2, 10-3, 10-4, dan 10-5) pada media tumbuh yang telah
diinkubasi selama 0, 2, 4, 6, dan 8 minggu. Metode pengenceran dilakukan
dengan memasukkan 1 g media limbah organik ke dalam tabung reaksi berisi 10
ml air steril sebagai pengenceran 100, Kemudian diambil sebanyak 1 ml larutan
dari tabung pengenceran 100 dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi berisi 9 ml
air steril sebagai pengenceran 10-1 lalu pengenceran dilakukan pada tabung
berikutnya. Setiap pengenceran 10-3, 10-4, dan 10-5 diambil masing-masing
sebanyak 0.1 ml untuk disebar secara merata pada media agar WYE
menggunakan glass bead. Setelah itu diinkubasi selama 3-7 hari untuk
menghitung populasi koloni aktinomiset. Indikator adanya koloni aktinomiset
yakni terdapat koloni tunggal berukuran 1-10 mm yang memiliki filamen berdebu
seperti miselium dan berbau khas tanah. Data diambil berdasarkan penghitungan
koloni yang terdapat pada media agar WYE, koloni dihitung menggunakan
metode plate count berlatarbelakang hitam dengan kisaran 30-300 koloni/cawan
menggunakan alat Handy Tally Counter (Hadioetomo 1990). Populasi aktinomiset
APS 7 pada media limbah organik dihitung dengan persamaan:
Populasi bakteri =

X V
p r g

Keterangan:
X = rataan koloni aktinomiset dengan faktor pengenceran ke- (cfu/ml)
V = volume pengenceran media (ml)
p = faktor pengenceran ker = volume suspensi yang disebar pada cawan (ml)
g = bobot media yang digunakan (g).
Analisis Data
Data pengamatan uji in vitro penghambatan S. rolfsii oleh aktinomiset
ditabulasi menggunakan program Microsoft Excel 2007 dan data penghitungan
kepadatan populasi aktinomiset diolah menggunakan program Statistical Analysis
System (SAS) 9.1.3 untuk Windows. Pengaruh yang berbeda nyata akan dilakukan
uji lanjut selang berganda Duncan pada taraf nyata () = 5%.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Isolat Aktinomiset
Pada permukaan agar aktinomiset dapat dibedakan dengan mudah dari
bakteri non aktinomiset (Rao 1994 dalam Puryantiningsih 2009). Aktinomiset
merupakan bakteri Gram positif yang memiliki struktur berupa filamen lembut
seperti hifa atau miselia (Madigan et al. 2006).
A

B

C

D

Gambar 1 Koloni aktinomiset pada media agar WYE, APS 7 memiliki koloni
dengan bentuk sirkular tak penuh dan berwarna coklat kekuningan
dengan hifa aerial yang menutupi permukaan koloni (A), APS 9
memiliki koloni dengan bentuk sirkular penuh dan berwarna putih
dengan hifa aerial yang tidak menutupi permukaan koloni (B), APS
12 memiliki koloni dengan hifa aerial menyebar teratur ke segala arah
dan berwarna coklat (C), ATS 5 memiliki koloni dengan bentuk pipih
memanjang dan berwarna abu-abu dengan hifa aerial yang menutupi
permukaan koloni (D).

16
Pertumbuhan aktinomiset pada media agar khususnya media agar WYE
menampakan karakter morfologi yang berbeda-beda pada tiap jenisnya
(Gambar 1). Pertumbuhan aktinomiset pada permukaan agar sangat lambat.
Mula-mula permukaan agar relatif licin kemudian membentuk tenunan hifa udara
yang menunjukan konsistensi berdebu. Koloni aktinomiset melekat erat pada
permukaan agar menghasilkan berbagai pigmen yang menimbulkan warna pada
miselium vegetatif, miselium udara dan substrat (Schaad et al. 2000). Hal ini
menunjukan bahwa aktinomiset menghasilkan eksospora berupa rantai spora
(disebut konidia), yang hanya dimiliki oleh genus aktinomiset dari semua
golongan bakteri. Isolat aktinomiset APS 7, APS 9, dan APS 12 merupakan isolat
yang berasal dari tanah bagian top soil sekitar perakaran sawit (Putra 2011)
sedangkan aktinomiset ATS 5 merupakan isolat yang berasal dari tanah
persawahan (Himmah 2012).
Uji in vitro Penghambatan Sclerotium rolfsii oleh Aktinomiset
Uji kemampuan aktinomiset menghambat pertumbuhan miselium S. rolfsii
dilakukan pada media PDA yang telah diberi larutan senyawa bioaktif
aktinomiset. Berbagai penelitian membuktikan bahwa aktinomiset mampu
menghambat pertumbuhan berbagai patogen. Isolat Streptomyces sp. dibuktikan
mampu

menekan

pertumbuhan

Pythium

ultimo

pada

tanaman

selada

(Crawford et al. 1993) dan Streptomyces nigrifaciens juga mampu menghambat
pertumbuhan S. rolfsii pada tanaman buncis (Reddy 2010).
Pengaruh senyawa bioaktif aktinomiset terhadap pertumbuhan miselium
cendawan S. rolfsii menunjukkan hasil yang bervariasi jika dibandingkan dengan
kontrol (Gambar 2). Kemampuan daya hambat isolat aktinomiset terhadap
pertumbuhan miselium cendawan S. rolfsii merupakan suatu akibat adanya
aktivitas antimikroba yang dimiliki oleh aktinomiset.
Aktinomiset merupakan mikroorganisme yang mampu mensintesis banyak
senyawa bioaktif berupa metabolit sekunder, antibiotik, pestisida, antiseptik,
selulase, dan xylanase (Oskay et al. 2004). Aktinomiset juga mampu
menghasilkan senyawa antimikrob seperti tertasiklin, streptomisin, eritromisin,
kloramfenikol, ivermektin, dan rifampisin (Todar 2008).

17
B

A

D

C

E

Gambar 2 Variasi aktivitas penghambatan pertumbuhan miselium S. rolfsii oleh
senyawa bioaktif aktinomiset APS 7 (A), APS 9 (B), APS 12 (C),
ATS 5 (D) dan kontrol (tidak diberi larutan senyawa bioaktif
aktinomiset) (E).
Tabel 3 Persentase penghambatan senyawa bioaktif APS 7, APS 9, APS 12 dan
ATS 5 terhadap Sclerotium rolfsii
Mg 1

Daya hambat (%)*
Mg 2
Mg 3

Kontrol

0.00

0.00

0.00

0.00

APS 7

46.42

74.02

91.73

79.87

APS 9

21.42

41.96

26.04

35.50

APS 12

17.50

38.98

23.88

69.50

ATS 5

1.75

18.97

64.06

56.12

Perlakuan

Mg 4

*Rata-rata dari dua ulangan yang diukur pada hari ke-3 setelah masa inkubasi.
Mg = minggu.

Dari keempat isolat aktinomiset yang digunakan untuk pengujian
antagonis terhadap cendawan hanya APS 7 yang memiliki daya hambat tertinggi
pada pertumbuhan S. rolfsii (Tabel 3). Daya hambat APS 7 pada minggu pertama
inkubasi sebesar 46.42% diikuti dengan nilai APS 9 dan APS 12 masing-masing
sebesar 21.42% dan 17.50% sedangkan penghambatan terendah berada pada isolat
ATS 5 sebesar 1.75%. Pada inkubasi minggu kedua nilai penghambatan tertinggi
berada pada isolat APS 7 sebesar 74.02% sama seperti kondisi minggu
sebelumnya isolat APS 9 memiliki nilai lebih tinggi dari pada isolat APS 12
sebesar 26.04% dan penghambatan terendah pada isolat ATS 5 sebesar 38.98%.

18
Semua isolat yang digunakan mengalami peningkatan kemampuan daya hambat
dari minggu sebelumnya.
Pada inkubasi minggu ketiga APS 7 memiliki nilai penghambatan
pertumbuhan miselium cendawan tertinggi sebesar 91.73%, kondisi sangat
berbeda dari minggu sebelumnya bahwa ATS 5 berada pada nilai tertinggi setelah
APS 7 sebesar 64.06%. Isolat APS 7 dan ATS 5 mengalami peningkatan nilai
daya hambat sedangkan isolat APS 9 dan APS 12 mengalami penurunan nilai
sebesar 26.04% dan 23.88% jika dibandingkan dengan minggu kedua.
Peningkatan daya hambat pada masa inkubasi minggu keempat hanya terjadi pada
isolat APS 12 dan APS 9 dengan nilai 69.50% dan 35.50%. Kondisi sebaliknya
pada isolat APS 7 dan ATS 5 terjadi penurunan nilai sebesar 79.87% dan 56.12%.
Walaupun kondisi demikian, isolat APS 7 tetap berada pada nilai tertinggi uji
penghambatan pertumbuhan miselium Sclerotium rolfsii. Meningkat dan
menurunnya persentase daya hambat setiap masa inkubasi, diduga karena
perbedaan isolat aktinomiset mempengaruhi jenis dan efikasi senyawa bioaktif
yang dihasilkan.
Penghitungan Populasi Aktinomiset pada Media Limbah Organik
Pembiakan aktinomiset APS 7 pada media tumbuh serbuk gergaji dan
dedak menunjukkan adanya kondisi yang fluktuatif pada jumlah populasi

Log populasi (cfu/gr media)

(Gambar 3).
9,00

serbuk gergaji

dedak

8,50
8,00
7,50
7,00
6,50
6,00
0

2

4

6

8

Waktu pengamatan (minggu setelah inokulasi)

Gambar 3 Perkembangan populasi aktinomiset APS 7 pada media serbuk gergaji
dan dedak dengan masa inkubasi dari minggu ke nol sampai minggu
kedelapan.

19
Media yang telah diinokulasikan oleh suspensi aktinomiset dilakukan analisis
penghitungan koloni yang tumbuh dengan metode pengenceran berseri yang
disertai dengan teknik pencawanan. Penghitungan kepadatan populasi dimulai
pada inkubasi minggu ke nol hingga minggu kedelapan. Pengambilan data
dilakuakan setiap dua minggu sekali.
Tabel 4 Rata-rata koloni aktinomiset APS 7 pada media serbuk gergaji dan dedak
Rata-rata koloni aktinomiset (106 cfu/g media)* ± SD
Mg 0
Mg 2
Mg 4
Mg 6
Mg 8

Media
Serbuk gergaji

7.90a ± 5.28

71.50a ± 19,42

50.20a ± 15.05

148a ± 17.25

335a ± 128.93

Dedak

3.16a ± 1.49

34.75b ± 11.12

28.80a ± 15.72

143.5a ± 34.62

331a ± 206.22

*Angka selajur yang diikut oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Duncan
pada taraf nyata ()= 5%.
SD = standar deviasi.
Mg = minggu inkubasi.

Berdasarkan penghitungan yang telah dilakukkan (Tabel 2), diketahui
bahwa terdapat perbedaan jumlah populasi aktinomiset APS 7 pada setiap
minggunya. Pertumbuhan aktinomiset pada media serbuk gergaji dan dedak
memiliki nilai yang tidak berbeda nyata. Hal ini dapat dikatakan bahwa media
serbuk gergaji dan media dedak memiliki potensi yang sama dalam pembiakan
aktinomiset. Media serbuk gergaji memiliki nilai log populasi aktinomiset sebesar
6.81 (7.9106 cfu/g media) pada inkubasi minggu ke nol. Peningkatan populasi
terjadi dari minggu sebelumnya dengan nilai sebesar 7.84 (71.5106 cfu/g media).
Pada masa inkubasi minggu keempat, terjadi penurunan nilai log populasi sebesar
7.68 (50.2106 cfu/g media). Kondisi terus meningkat pada inkubasi minggu
keenam sebesar 8.16 (148106 cfu/g media) disusul dengan nilai 8.48 (335106
cfu/g media) pada inkubasi minggu kedelapan.
Keadaan yang sama terjadi pada media dedak dengan nilai log populasi
awal sebesar 6.44 (3.16106 cfu/g media) diikuti dengan terjadinya peningkatan
pada minggu kedua sebesar 7.52 (34.75106 cfu/g media). Penurunan populasi
terjadi pada inkubasi minggu keempat sebesar 7.40 (28.80106 cfu/g media)
kemudian disusul dengan nilai populasi yang terus meningkat pada minggu

20
keenam dan kedelapan dengan nilai 8.16 (143.5106 cfu/g media) dan 8.45
(331106 cfu/g media).
Meningkatnya jumlah populasi aktinomiset diduga karena adanya nutrisi
pada media kultur yang diperoleh dan digunakan untuk menunjang pertumbuhan
aktinomiset. Sedangkan berkurangnya jumlah aktinomiset diduga karena
pengurangan aktivitas yang disebabkan oleh adaptasi awal pemindahan bakteri ke
medium kultur baru (media limbah organik), berkurangnya sumber hara esensial
dan terbentuknya senyawa penghambat pertumbuhan.
Berdasarkan jumlah populasi dan rata-rata koloni aktinomiset pada
masing-masing media uji, menunjukkan bahwa aktinomiset mampu beradaptasi
dengan baik terhadap media alternatif yang terdiri dari beberapa komponen
limbah organik. Perpaduan antara limbah serbuk gergaji/dedak, ampas tahu,
tepung limbah udang serta penambahan bahan penunjang lainnya terbukti dapat
mendukung pertumbuhan aktinomiset. Bahan penunjang yang digunakan untuk
membuat media alternatif seperti glukosa, susu skim dan tepung limbah udang
memiliki komposisi jumlah bahan yang sama pada setiap media uji kecuali jumlah
ampas tahu dan kapur pertanian. Pada media serbuk gergaji terdapat 44.3% ampas
tahu dan 2.7% kapur sedangkan pada media dedak hanya terdapat 38.5% ampas
tahu dan 8.5% kapur.
Kandungan nutrisi dan mineral yang terdapat di dalam 100 g serbuk
gergaji yakni 35,3 g serat kasar, 31 g selulosa, 30,9 g lignin, 0.9 g protein kasar,
dan 1.9 g lemak kasar (Suriawiria & Unus 2006). Berdasarkan kandungan nutrisi
yang terdapat di dalam serbuk gergaji, media ini dapat dijadikan bahan utama
sumber karbon, fosfor, belerang, dan kalium yang telah tersedia dalam jaringan
kayu. Sesuai dengan karakteristik aktinomiset yang mampu mendegradasi
selulosa dan lignin di samping fungi, kapang, dan khamir (Xu et al. 1996), maka
serbuk gergaji dapat dijadikan media tumbuh karena kandungan selulosa dan
lignin yang tinggi.
Kandungan nutrisi dan mineral yang terdapat dalam 100 g ampas tahu
yakni 17.4 g karbohidrat, 67.5 g protein, 10.6 g lemak, dan 4.499 g mineral
(Sulistiani 2004). Sumber protein didapatkan dari ampas tahu dan komposisi asam
amino dari ampas tahu cukup baik (Sulistiani 2004). Adanya kandungan protein

21
yang cukup tinggi sehingga dapat dimanfaatkan untuk pertumbuhan aktinomiset,
karena bila kekurangan protein atau salah satu asam amino esensial akan
mengakibatkan penurunan pertumbuhan secara menyeluruh sesuai dengan derajat
kekurangannya.
Pembiakan aktinomiset pada media dedak didasarkan pada kandungan
nutrisi yang terdapat di dalamnya. Dalam 100 g dedak mengandung 70 g
karbohidrat, 12 g lemak, dan 16 g protein serta terdapat 200 mg vitamin B15
(Blair 2008). Media ini menyumbang banyak karbohidrat untuk pertumbuhan
aktinomiset dilihat dari jumlah kandungan karbohidrat dalam 100 g dedak.
Pemberian kapur pada media berfungsi untuk mengontrol pH, selain itu kapur
juga mengandung kalsium, kandungan kalsium dibutuhkan untuk pertumbuhan
aktinomiset. Jumlah kapur pada media dedak yang tinggi menandakan bahwa
media ini memiliki tingkat derajat keasaman yang tinggi pula. Aktinomiset dapat
tumbuh pada pH 6.5-8.0, hal ini menujukkan bahwa bakteri ini hanya dapat hidup
pada lingkungan yang memiliki pH netral sampai sedikit basa.
Penampakan media dedak setiap minggunya memiliki tingkat kebasahan
yang lebih tinggi dari pada media serbuk gergaji. Hal ini didasarkan pada
karakteristik dedak yang higroskopis, diperkuat dengan ditambahanya ampas tahu
pada media dedak menjadikkan media ini selalu dalam keadaaan basah atau tidak
kering. Aktinomiset relatif menyukai kondisi lingkungan yang kering atau sedikit
air (Hasegawa et al. 2005). Media serbuk gergaji memiliki kondisi yang selalu
kering, sesuai dengan komponen yang ter