lokus permasalahan, ada sebuah pertimbangan disini ketika proposal kecil ini dibuat, adalah semangat untuk mengkaji kembali transisi demokrasi pada tingkat
lokal di Sumatera Barat, yang sebelumnya telah dihadapkan pada kondisi anomalie yang membingungkan. setelah reorganisasi pemerintahan desa kedalam
pemerintahan nagari melalui Perda No 9 tahun 2000 tentang Ketentuan Pokok Pemerintahan Nagari, elite- elite Minangkabau kembali perhatian pada adat dan
institusi yang merupakan bagian dari pemerintahan lokal, tetapi hanya sebatas pada semangat wawasan yang populis, nostalgia, dan berorenatasi pada masa
kejayaan pemerintahan nagari sebelum kemerdekaan. sayangnya, semangat nostalgia pemerintahan lokal di Sumatera Barat itu sendiri sangat bertolak
belakang dengan identitas Minangkabau. elite Minangkabau agak ambigu dalam memahami makna dari sebuah demokrasi lokal, sementara daerah lain di
Indonesia menunjukan perhatian yang kuat dalam identitas kedaerahan mereka, identitas minangkabau terasa ambivalen.
Bab 2. Perumusan Masalah.
Dengan demikian penelitian ini ingin membuktikan tantangan di atas seraya melibatkan diri dalam arena perdebatan dan kajian demokratisasi Indonesia
kontenporer untuk menjawab proses transisi demokrasi pada tingkatan lokal di Sumatera Barat, yang diselenggarakan oleh elite Minangkabau modern. Paling
tidak ada beberapa pertanyaan yang telah penulis rumuskan yaitu: 1. Bagaimana proses transisi demokrasi lokal yang terjadi dalam Nagari ?
2. Lembaga- lembaga lokal apa saja yang terkait dalam proses transisi tersebut?
Bab 3. Tinjauan Pustaka.
Tujuan pustaka ini akan diarahkan pada dua hal yaitu: me-review sejumlah perspektif pendekatan yang menjelaskan transisi dan perspektif alternatif yang
berbeda tentang konsep demokrasi: pada bagian pertama saya akan membongkar perspektif yang tidak memadai untuk menjelaskan proses transisi demokrasi di
Indonesia. pada bagian kedua, saya akan menampilkan perspektif yang berbeda yang lebih memadai untuk menjelaskan perubahan transisi demokrasi lokal.
3.1.Demokrasi Dan Demokratisasi
3
Fokus utama dalam proposal singkat ini adalah menjelaskan transisi yang dialami oleh pemerintahan lokal di Sumatera Barat nagari dalam memaknai
sebuah konsep demokrasi, jadi kerangka konseptual ini lebih diarahkan pada konsep demokratisasi yaitu proses perubahan pemerintahan lokal tentang
reorganisasi pemerintahan terendah dari nagari menjadi desa melalui UU No 5 tahun 1979 yang kemudian dirubah kembali menjadi nagari dengan semangat UU
No 221999 jo 322004 tentang pemerintahan daerah dan Perda No 9 tahun 2001 tentang ketentuan pokok pemerintahan nagari dari rezim yang non demokratis
pada masa orba ke masa transisi yang lebih demokratis. Kajian pada demokratisasi akan diberi bobot lebih besar, yaitu bermaksud ingin menjelaskan
seraya mengeksplorasi faktor- faktor penyebab transisi demokrasi di indonesia sehingga nantinya akan membantu saya untuk menganalisis transisi demokrasi
lokal dan transisi elite Minangkabau di Sumatera Barat.
3.1.1. Demokrasi Minimalis Vs Demokrasi Maksimalis
Konsep demokrasi pada umumnya diterjemahkan secara mendasar sebagai pemerintahan kratos oleh rakyat demos. Tetapi definisi sederhana itu dalam
perkembangannya mengalami kemerosotan makna pejoratif . Setelah nazi dan fasisme menglamai kehancuran pasca peran dunia II, setiap rezim yang berkuasa –
termasuk totaliter sekalipun dibelahan dunia selalu mengklaim dirinya demokratis dan bertindak atas nama rakyat. Klaim itu diwujudkan lewat munculnya banyak
label demokrasi, seperti demokrasi kerakyatan, demokrasi ploretariat, demokrasi borjuis, demokrasi liberal, demokrasi terpimpin, demokrasi pancasila dan
sebagainya. Untuk menilai apakah suatu sistem politik itu demokratis atau non
demokratis , para ilmuan pada umumnya akan menjabarkan elemen- elemn kritis yang terkandung dalam frasa ”pemerintahan oleh rakyat”, selain dengan melihat
perwujudan elemen- elemen demokrasi pada level empirik, jika dikaji lebih dalam frasa ” pemerintahan oleh rakyat ” itu menimbulkan sejumlah pertanyaan kritis :
”siapa rakyat yang memerintah itu?” ”bagaimana rakyat memerintah?” seberapa besar rakyat dalam rakyat terlibat memerintah? . sejumlah pertanyaan ini
menyebabkan demokrasi tidak bermakna tunggal tetapi merupakan entitas
4
dimanis yang memperoleh pemaknaan interprestasi berbeda- beda dari para filsuf dan ilmuan politik
Dalam berbagai literatur ilmu politik konsep demokrasi dikaji dan dimaknai dengan dua pendekatan yang berbeda. Yang pertama kali muncul adalah
pendekatan klasik- normatif yang lebih banyak mebicarakan tentang ide- ide dan model- model demokrasi secara substantif. Pendekatan ini mengikuti garis
pemikiran klasik – dari zaman Yunani kuno, abad pertengahan sampai pada pemikiran sosialisme Karl Marx – yang memaknai demokrasi sebagai sumber
wewenang dan tujuan kerangka preskripsi secara normatif untuk sistem politik. Pendekatan klasik normatif mendefinikan demokrasi dengan term kehendak
rakyat sebagai sumber atau alat untuk mencapai tujuan kebaikan bersama.
5
Karena diilhami oleh banyak tradisi pemikiran, pendekatan klasik normatif memaknai dan mengukur demokrasi secara maksimalis dengan memasukan
unsur- unsur nonpolitik sosial, ekonomi dan budaya. Kebebasan sebagai esensi dalam demokrasi, tidak hanya diterjemahkan sebagai kebebasan politik berbicara,
memilih, berkumpul, berorganisasi tetapi juga kebebasan sosial ekonomi yakni bebas dari berkeadilan, kemiskinan, kemelaratan, kebodohan, keterbelakangan
dan sebagaimnya para pemikir tradisional pencerahan seperti Rousseau dan Jhon Struat Mill, hingga pemikiran radikal seperti Karl Marx sepakat bahwa
ketimpangan sosial ekonomi merupakan kendala bagi persamaan politik dan demokrasi. dengan kata lain suatu negara yahng diwarnai dengan ketimpangan
sosial ekonomi tidak bisa dikatakan demokratis meski kebebasan politiknya terjamin.
6
Disisi lain pendekatan klasik normatif sangat memperhatikan elemen konstitusi dan gagasan rule of law untuk mengatur prosedur kelembagaan, hak
dan kewajiban rakyat warga negara serta untuk membatasi penggunaan kekuasaan sehingga mereka tetap berkuasa atas kehendak rakyat. Akan tetapi
pendekatan klasik normatif mulai kehilangan pengaruh dihadapan ilmuan politik ketika studi demokratisasi berkembang sejak hakir dekade 1970-an. Pendekatan
5
Lihat Giovanni Sartori, the theory of democracy revisited Chatam , New York : Chatam House , 1987 bandingkan dengan carol Gould , Rethinking Democracy Cambridge, New York:
Cambridge university press 1988; Robert A. Dahl, democracy and its critics New haven : yale University Press, 1989 dan Robert A. Dahl, on democracy New haven : yale university press,
1998
6
Georg Soronsen, democracy and democratization Boulder, Co : Westview press, 1993, hal 7-8
5
ini hanya digunakan oleh para ilmuan yang membicarakan ide – ide, wacana dan model - model demokrasi.
Studi demokrasi mutakhir yang menjamur dalam satu-dua dekade terakhir justru menerapkan pendekatan empirik- minimalis ketimbang normatif –
maksimalis. Pendekatan empirik minimalis yang menjadi basis pemikiran studi demokrasi lokal di Sumatera Barat yang saya uraikan lebih mengacu pada
konstruksi teorinya Robert A. Dahl. Dahl menawarkan sebuah konsep demokrasi minimalis yang disebut sebagai ”poliarkhi”
7
. Di dalam poliarkhi ada sebuah derajat kontestasi publik yang tinggi liberalisasi maupun partisipasi
Inklusivitas. Untuk menjamin bekerja mekanisme poliarkhi, Dahl menyatakan bahwa rakyat harus diberi kesempatan untuk: 1 merumuskan pilihan perferensi
atau kepentingannya sendiri; 2 memberitahukan perferensinya itu pada sesama warga negara dan pemerintah lewat tindakan individual maupun kolektif; 3
mengusahakan agar kepentingannya itu pertimbangannya secara setara dalam proses pembuatan keputusan pemerintah, artinya tidak ada diskriminasi
berdasarkan isu atau asalnya
8
. tiga kesempatan itu dapat dicapai kata Dahl bila ditopang dengan delapan jaminan kelembagaan: 1 kekebasan membentuk dan
bergabung dalam organisasi; 2 kebebasan dalam menyampaikan pendapat; 3 hak memilih dalam pemilihan umum; 4 hak untuk menduduki jabatan publik;
5 hak para pemimpin untuk bersaing dan memperoleh dukungan dan suara rakyat; 6 tersedianya sumber- sumber informasi alternatif; 7 terselenggaranya
pemilihan umum yang bebas dan jujur; 8 adanya lembaga- lembaga yang menjamin agar kebijakan publik tergantung pada suara pemilihan umum, dan pada
cara- cara penyampaian perferensi yang lain
9
. Sementara Lary Diamond, Juan Linz dan Seymour Martin Lipset
menyederhanakan delapan kriteria Dahlian menjadi tiga kriteria untuk menndai sebuah sistem politik tersbeut lebih demokratis, yaitu: 1 kompetisi yang
sungguh- sungguh dan meluas di antara individu- individu dan kelompok- kelompok organisasi unutk merebut jabatan yang mempunyai kekuasaan efektif
pada jangka waktu teratur dan tidak menggunakan daya paksa; 2 partisipasi
7
Robert A. Dahl. Polyarchy: participation and Opposition. New Haven: Yale University Press. 1971 hal 2.
8
Ibid. hal 2
9
Ibid.hal 2-3
6
politik yang melibatkan sebanyak mungkin warga negara dalam pemilihan pemimpin atau kebijakan lewat pemilihan umum, yang diselenggarakan secara
teratur dan adil sehingga tidak ada satupun kelompok sosial warga negara biasa tanpa kecuali; 3 tingkat kebebasan sipil dan politik, yaitu kekebasan berbicara,
kebebasan pers, kebebasan untuk membentuk dan bergabung dalam organisasi, yang cukup untuk menjamin integritas, kompetisi dan partisipasi politik.
10
Dengan melihat dua pendekatan yang berbeda di atas, saya cenderung untuk memilih pendekatan empirik- minimalis ketimbang normatif- maksimalis.
Tetapi saya tidak akan membuang ide dan model demokrasi yang terangkum dalam pendekatan normatif. Bagi saya ide dan model demokrasi sangat relevan
dibicarakan sebagai kerangka preskripsi untuk menjelaskan demokrasi lokal di Sumatera Barat di masa depan. Namun pendekatan empirik – minimalis akan
diberi bobot yang lebih besar dalam proposal singkat ini, karena saya hendak mengkaji proses empirik transisi menuju demokrasi pada politik lokal di
Sumatera Barat yang baru saja merevisi perda tentang pemerintahan lokalnya nagari menjadi perda Propinsi Sumatera Barat No 2 tahun 2007 tentang
pemerintahan nagari dengan memberdayakan sekaligus tiga pilar proses demokrasi lokal yaitu Badan Perwakilan Nagari dan Kerapatan Adat Nagari
KAN. Jika ditempatkan pada perspektif komparatif, delapan kriteria Dahl, dan
tiga kriteria Diamond dkk, akan saya gunakan untuk memetakan derajat proses perjalanan demokrasi lokal di Sumatera Barat mulai dari dari 1903 ketika nagari
dijadikan pertama kali sebagai pemerintahan terendah oleh belanda dengan mengeluarkan Decentralisatiwed staatsblaads no. 3291903 yang memberikan
peluang terbentuknya satuan pemerintahan yang mempunyai keuangan sendiri, Penyelenggaraan pemerintahan diserahkan pada “ Raad” atau dewan masyarakat-
masyarakat daerah - sampai pada tahun 2007. Derajat pemetaan tentang transisi demokrasi pada pemerintahan lokal di
Sumatera Barat tersebut saya bagi kedalam beberapa varian berdasarkan bentuk pola pemerintahannya dan lembaga- lembaga adat yang ada dalam nagari tersebut.
10
Lary Diamond, Juan Linz dan Seymour Martin Lipset eds. Democracy in Asia. Boulder, Colorado: Lynne Rienner, 1989, hal xvi atau Lary Diamond, Juan Linz dan Seymour Martin
Lipset eds. Political and developing Countries: Comparing Experience with Democracy. Boulder, Colorado: Lynne Rienner, 1990. Hal 6-7.
7
Demokrasi disini saya tempatkan sebagai variabel kontinu bukan dikotomis dengan nondemokrasi yang dipilah menjadi tiga yakni demokrasi penuh, semi
demokrasi dan nondemokrasi. Saya membuat sebuah asumsi awal apabila Suatu sistem politik dikatakan demokrasi bila memenuhi tiga kriteria yang ditetapkan
oleh Diamond dkk. Derajat dibawahnya adalah semidemokrasi atau disebut sebagai demokrasi yang terbatas restricted democracy, yang ditandai oleh: 1
tingkatan substansial kompetisi dan kebebasan politik tetapi kekuasaan efektif pemimpin- pemimpin yang terpilih sangat terbatas dan ada harapan dari perferensi
publik; 2 kekebasan sipil dan politik sangat terbatas dimana oreantasi dan kebebasan politik tidak bisa mengorganisir dan mengekspresikan kebebasan itu.
Sementara derajat yang paling rendah adalah nondemokrasi yakni rezim yang tidak memberikan kesempatan berkompetisi dan berpartisipasi secara bebas.
11
Kemudian proses pemilahan dari varian demokrasi tersebut saya bagi lagi berdasarkan pada periodesasi perjalanan pemerintahan lokal yang ada di Sumatera
Barat mulai dari 1903-2007 sehingga nantinya bisa membingkai proses transisi demokrasi dan melacak komunitas elite minangkabau modern di Sumatera Barat.
Derajat dari demokrasi tersebut saya bagi jadi Dua yaitu mengambarkan proses terbentuknya komunitas elite politik minangkabau dan proses terbentuknya
transisi demokrasi dalam komunitas elite politik minangkabau seperti yang digambarkan dalam tabel dibawah ini;
Kerangka konseptualnya Dahl ingin saya pakai untuk melihat proses transisi tersebut, walaupun gelombang demokrasi tersebut baru muncul sekitar
1970-an hingga dekade 1990-an, tetapi saya yakin dari hasil temuan dilapangan nantinya ternyata gelombang demokrasi itu sudah ada pada pemerintahan lokal di
Sumatera Barat setelah nagari dijadikan sebagai lembaga formal pada tahun 1903 oleh pemerintahan Pelanda. Dan sengaja saya memulainya pada masa penjajahan
belanda karena proses Decentralisatiwed staatsblaads No. 3291903 yang memberikan peluang terbentuknya satuan pemerintahan lokal yang mempunyai
keuangan sendiri, Penyelenggaraan pemerintahan diserahkan pada “Raad” atau dewan masyarakat-masyarakat daerahnagari pertama kali dibentuk
12
. Dari proses
11
Ibid.hal 6
12
Roni Ekha Putera dan Tengku Rika Valentina. Modul sistem pemerintahan dan DinamikaPembangunan Nagari Nagari. Jurusan Ilmu Politik, FISIP, Universitas Andalas Padang
tahun 2006
8
transisi tersebut nantinya dapat membantu saya membingkai proses tumbuhnya komunitas baru elite Minangkabau modern yang ada dalam pemerintahan lokal di
Sumatera Barat
3.1.2. Menjelaskan Transisi Menuju Demokrasi Dengan Menggunakan Pendekatan Kotingensi Elite.
Dalam detour pada konsep demokratisasi yang didalamnya akan mencakup transisi, liberalisasi, instalasi dan konsolidasi demokrasi. demokratisasi
adalah jalan atau proses perubahan dari rezim nondemokratis menjadi rezim demokratis. Menurut samuel Huntington, demokrasi pada tingkatan sederhana
mencakup 1 berakhirnya sebuah rezim otoriter; 2 dibangunnya sebuah rezim demokrartis 3 konsolidasi rezim demokratis
13
. Dalam membingkai kerangka konseptual ini saya lebih mengikuti konsep teoritis demokratisasinya Dahl, yaitu
demokratisasi berarti proses perubahan rezim otoritarian hegemoni tertutup yang tidak memberikan kesempatan partisipasi dan liberalisasi menuju poliarkhi yang
memberikan derajat kesempatan partisipasi dan liberalisasi lebih tinggi Secara umum demokratisasi mencakup beberapa proses atau tahapan rumit
tetapi saling berkaitan, dari liberalisasi, transisi, instalasi dan konsolidasi. liberalisasi adalah proses pengefektifkan hak- hak politik yang melindungi
individu- individu dan kelompok sosial dati tindakan sewenang- wenang dan tidak sah dari negara atau pihak ketiga. Liberalisasi seperti dalam konseptualisasi Dahl
1971 mencakup konstelasi publik dan partisipasi dalam prosedur kelembagaan semacam pemilihan umum serta terbukanya kesempatan publik unutk
mengekspresikan kebebasan politinya kebebasan berbicara, berkumpul dan berorganisasi akan tetapi liberalisasi tidak sama dengan demokratisasi, meski ia
muncul dalam proses transisi, liberalisasi tidak mesti diikuti dengan instlasi demokrasi yang penuh fully democracy. Tanpa jaminan bagi kekebasan individu
dan kelompok yang inheren dalam liberalisasi, demokratisasi mungkin diturunkan derajatnya menjadi sekedar formalisme dalam sistem semi demokrasidemokrasi
terbatas restricted democracy. Disisi lain tanpa pertanggungjawaban terhadap rakyat dan minoritas pemilih yang telah terlembaga dibawah demokrasi
13
Samuel Huntington 1991 .Op.Cit. hal. 44
9
liberalisasi akan mudah dimanipulasi dan bahkan dibatalkan demi kepentingan mereka yang duduk di pemerintahan
14
Tahapan dari liberalisasi adalah transisi, transisi disini didefinisikan sebagai titik awal atau interval selang waktu proses perjalanan pemerintahan
lokal di Sumatera Barat nagari diantara berbagai periode kekuasaan pemerintahan mulai dari masa penjajahan Belanda, Jepang, Orde Lama, Orde
Baru Dan masuk pada rezim yang lebih demokratis yaitu pada masa reformasi. Dalam artian lain transisi yang saya lihat disini adalah pengesahan instalasi
lembaga- lembaga politik pada pemerintahan lokal di Sumatera Barat dan aturan politik baru di bawah payung demokrasi. Tetapi seperti halnya liberalisasi, transisi
tidak mesti berakhir dengan sebuah instalasi kerangka demokrasi seperti konsep Dahl yang saya pakai, sebaliknya bisa saja nanti dari hasil temuan dilapangan,
bisa saja tercipta rezim otoritarian baru dalam menjelaskan dinamika pemerintahan lokal nagari yang ada di Sumatera Barat, atau bisa saja sifat dari
demokrasi tersebut lebih ke semi demokrasi. Walaupun Gelombang demokratisasi sejak akhir dekade 1970-an hingga
1990-an dan merupakan objek yang paling menarik bagi para ilmuan politik, akan tetapi saya perlu melontarkan beberapa kritik awal bahwa sebahagian besar studi
demokratisasi seperti dalam karyanya Huntington, Juan Linz, Seymour Martin Lipset, O’Donnel dan sebagainya sangat diilhami oleh ’semangat’ Eropa Selatan
dan Amerika Latin dan tidak semuanya cocok dijadikan sebagai rujukan bagi studi demokrasi di wilayah pemerintahan lokal di Indonesia. Sejumlah kajian
demokratisasi umumnya masih terombang- ambing antara kajian ideografis melalui metode deskriptif- historis yang mendalam mengenai kejadian dan aktor
dan renungan abstrak dan normatif tentang prinsip- prinsip demokrasi yang didukung oleh sedikit bukti yang sistematis. Kajian ideografis ini memang
memberikan sumbangan yang berharga karena akan menjelaskan apa yang disebut oleh Dahl ’profil negeri’ dengan meliputi beberapa unsur pluralisme subkultur,
tatanana sosial dan ekonomi. Akan tetapi kelemahan yang mendasar dari kajian ideografis ini adalah ketidakmampuan menarik suatu generalisasi nomotetik
yang punya kekuatan eksplanasi dan prediksi secara memadai dan komparatif.
14
Robbert Dahl 1971 Op. cit
10
Dengan kritik di atas proposal singkat ini hendak melakukan kajian mutakhir untuk menjembatani gap antara kajian ideografis, nomotetik dan
spekulasi yang abstrak. Proposal singkat ini barangkali berada di tengah- tengah antara kajian ideografis deskripsi mendalam dan nomotetik teoritis, disini saya
lebih memfokuskan prosedur- prosedur lembaga politik pemerintahan lokal Pemerintahan nagari, BPN dan KAN dan aktor- aktor politik yang nantinya akan
menciptakan sebuah komunitas elite minangkabau, dengan menawarkan generalisasi berlevel menengah sehingga bisa menghasilkan sebuah penelitian
transisi demokrasi pada pemerintahan lokal di Sumatera Barat menjadi lebih komparatif .
Selain kritik diatas, jauh yang dapat saya lihat terdapat perspektif utama yang menjelaskan proses transisi menuju demokrasi pada politik lokal di
Indonesia yaitu terletak pendekatan kontigensi elite. Pendekatan kontigensi yang sepenuhnya berpusat pada strategi dan
pilihan- pilihan kontigen akor atau elite politik. Pendekatan ini sebenarnya diprakasai oleh para pengkaji demokratisasi yang sebelumnya menggunakan
pendekatan negara. Seperti guillermo O’ Donnel , Phillippe Schmitter, Alferd Stepan, Adam Przeworski dan sebagainya. Sebegitu jauh mereka meninggalkan
Negara dan variabel- variabel sosiokultural, dan memusatkan perhatian pada kinerja atau prosedur pada lembaga- lembaga politik serta pada tindakan staretgi
atau taktik para aktor elite politik dalam proses menuju transisi demokrasi. Masih banyak karya lain yang terfokus pada peran aktor elite politik dalam
proses transisi menuju demokrasi, karya huntington 1991 misalnya mengulas bhwa keberhasilan demokratisasi sangat bergantung pada kemampuan elite
”pembaharu liberal ” dalam pemerintah untuk mengakali pola- pola yang mapan. Dalam konteks indonesia, Harold Crouch adalah analisis yang
menggunakan pendekatan kontigensi untuk mengkaji prospek demokrasi. dengan menolak- lemen- elemen sosio – ekonomi, struktur kelas, budaya, tekanan
eksternal dan kekuatan oposisi, crouch menempatkan variabel konflik elite yang tampaknya merupakan pendorong kuat bagi proses transisi demiokrasi di
indonesia. Menurut Crouch selama elite tetap terbagi dan persaingan mereka melibatkan mobilisasi dukungan nonelite, ada kemungkinan sistem akan menjadi
11
lebih terbuka dan liberal. Fenomena ini akan semakin terlihat dengan jelas bahwa konflik elite membawa efek liberalisasi terbatas, seperti dalam bentuk
keterbukaan politik semakin dinamis. semakin lama situasi ini berlangsung reformasi akan semakin menjadi melembaga dan elite akan semakin terbiasa
dengan kompetisi politik.
15
Proposal singkat ini menempatkan ”tindakan elite ” sebagai variabel terdepan yang sangat menentukan transisi, sebab transisi menuju demokrasi tidak
hanya berkaitan dengan ”apa yang mendorong” tetapi juga ” siapa yang mengawali”.
Dalam perspektif elitis terdapat dua macam pendekatan teoritis yang berlainan dalam menerangkan keberadaan kelompok elite. Teori pertama
kelompok elite dianggap lahir dari proses alami. Mereka adalah orang- orang yang terpilih yang memang dikaruniai dengan kepandaian dalam memecahkan
persoalan hidup. Dengan demikian kelompok ini lahir bukan karena mereka menempati posisi strategis dalam masyarakat, tetapi karena memiliki kapasitas
personal yang lebih potensial unutk menempatkan posisi itu
16
. Dalam pendekatan teoritis yang kedua kelompok elite dikonsepsikan sebagai orang- orang yang
terpilih menempati fungsi- fungsi penting dalam organisasi sosial, mereka diberi wewenang dan dipercaya untuk menjaga dan mengontrol ekonomi politik.
17
Untuk melihat proses terbentuknya komunitas elite baru Minangkabau dalam masa transisi demokrasi, dua pendekatan teoritis diatas saya bagi menjadi
dua periodesasi masa transisi demokrasi lokal, untuk teorisasi elite yang pertama saya pakai untuk menganalisa komunitas elite politik minangkabau di mulai dari
sebelum indonesia merdeka, karena sifat dari pembentukan elitenya lebih didasarkan pada pemilihan yang alami dimana jabatan tersebut diserahkan
langsung sesuai dengan kapasitas yang dia miliki. Sedangkan teorisasi elite yang kedua saya pakai untuk menganalisa terbentuknya komunitas baru elite politik
setelah indonesia merdeka, dimana sirkulasi elitenya sudah didasarkan pada kompetisi.
15
Harold Crouch , “ Democratic prospect in Indonesia”, dalam David Bourchier dan Jhon Legge, eds, democracy in Indonesia 1950s Clayton : Centre of Southeast Asian Studies, Monash
University, 1994, hal 115-126.
16
Prof. Sunyoto Usman. Elite dan Masyarakat bahan kuliah Sosiologi politik S2 ilmu politik hal 1-2
17
Ibid hal 2
12
Saya mencoba membuat pemetaan dari dua pandangan teoritik diatas dimana proses terbentuknya elite tersebut sebenarnya dipengaruhi oleh tiga model
distribusi dari kekuasan tersebut
18
yaitu model elite yang memerintah, model pluralis dan model populis. Model pertama melukiskan kekuasaan yahng dimiliki
oleh sekelompok kecil orang elite, model pluralis mengambarkan kekuasaan yang dimiliki oleh kelompok sosial masyarakat, dan model populis melukiskan
kekuasaan dipegang oleh setiap individu warga negara secara kolektif. Kemudian saya mencoba membingkai relasi antara demokrasi lokal di
Sumatera Barat dengan tumbuhnya komunitas elite baru tersebut dengan memakai model Model voluntaris yang menempatkan rational choice sebagai instrumen
untuk mendekati kekuasaan serta merujuk pemikiran Robert Dahl dalam melihat kekuasaan. Dimana, Dahl membingkai kekuasaan sebagai sebuah kapasitas untuk
mempengaruhi orang lain untuk melakukan apa yang diinginkannya Model voluntaris juga dipengaruhi dengan dengan analogi Newtonian yang
menempatkan kekuasaan sebagai stimulus dari sebuah tindakan. Menurut Dahl
19
supaya pemerintah bisa tanggap terhadap rakyat atau supaya pemerintah bisa berperilaku demokratis, maka rakyat harus diberikan kesempatan untuk: 1
merumuskan preferensi atau kepentingannya sendiri. 2memberitahukan preferensi tersebut kepada sesama warga negara dan kepada pemerintah melalui
tindakan individual atau kolektif. 3 mengusakan agar kepentingan itu di pertimbangkan secara setara dalam proses pembuatan keputusan
pemerintah, artinya tidak diskriminasi berdasarkan isi dan asal usulnya.
Ada keyakinan saya untuk melihat cara pandang desentralisasi dan demokrasi lokal untuk memaknai dan membingkai sebuah komunitas baru elite
politik minangkabau, karena desentralisasi dan transisi demokrasi lokal yang saya kemukakan di sini mempunyai misi: 1 nagari dapat dipahami dengan kerangka
pemerintahan sendiri yang berbasis self-governing community. Konsep ini menggambarkan bahwa nagari adalah sebuah republik kecil, sebuah formasi
pemerintahan otonom yang melekat pada nagari sejak lama. Nagari adalah suatu
kesatuan geneologis dan teritorial yang menjadi dasar terbentuknya berbagai
18
Ramlan Surbakti. Memahami ilmu politik. Garamedia Widiasarana Indonesia,Jakarta. 1992. hal 74-75
19
Robert Dahl. Polyarchy: participation and opposition. New Haven: yale .1973 dalam Dr. Mohtar Mas’oed. Negara capital dan demokrasi.Pustaka pelajar. Yogyakarta. 2003. hal 19
13
sistem dalam kehidupan bermasyarakat meliputi sistem pemerintahan, ekonomi, sosbudaya. Artinya nagari mempunyai otonomi kemandirian dalam membangun
organisasi kekuasaan dan pemerintahan sendiri, keleluasaan mengambil keputusan lokal, mengelola pemerintahan sehari-hari secara mandiri, mengelola sumberdaya
lokal sendiri, mengelola interaksi sosial, mempunyai pola pengelolaan konflik dan sistem peradilan sendiri. Self-governing community, pada prinsipnya, telah lama
hidup sebelum nagari diintegrasikan ke dalam negara, yang dikerangkai dengan aturan hukum adat. Mengikuti hukum nasional, self-governing community
berarti sebagai bentuk kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai hak dan kewenangan sesuai dengan asal-usulnya. 2 ketika nagari sudah masuk ke dalam
formasi besar negara-bangsa, maka konsep subsidiarity sangat penting untuk memaknai ulang keberadaan nagari 1903-2007. Nagari sekarang berbeda dengan
nagari dulu. Nagari dulu sangat otonom, mempunyai self-governing community bagaikan republik kecil yang terbebas dari kekuasaan pusat. Nagari sekarang tidak
sepenuhnya otonom dari struktur negara. Struktur negara yang hirarkhis dari pemerintah nasional, Propinsi Sumatera Barat dan Kabupaten telah melakukan
desentralisasi kekuasaan, kewenangan dan sumberdaya pada nagari
20
. Dengan kalimat lain, otonomi nagari sekarang adalah “pemberian” negara. Karena itu,
untuk membangkitkan revitalisasi semangat “republik kecil”, konsep subsidiarity adalah jawabannya. Sebagai sebuah prinsip politik, subsidiarity
bukan sekadar berbicara tentang pembagian kewenangan ke unit pemerintahan yang lebih rendah, melainkan berbicara tentang pengambilan keputusan dan
penggunaan kewenangan secara mandiri oleh unit pemerintahan atau komunitas yang paling rendah. Lokalisasi keputusan dan kewenangan pada pemerintahan
terendah ini membutuhkan jaminan legal dan fasilitasi dari struktur pemerintahan yang lebih tinggi. Kalau subsidiarity berjalan, maka nagari – dalam beberapa hal
-- tidak perlu lagi “mohon petunjuk” atau “menunggu Perda” dari Kabupaten. 3 demokrasi ala Minangkabau bisa dipahami secara lebih tepat dengan
menggunakan demokrasi komunitarian komunitas atau dalam nama lain ketika saya akan menganalisa proses transisi demokrasi dimulai dari tahun 1903-200.
20
Ada pelimpahan sebahagian urusan dan kewenangan pemerintah kabupaten ke pemerintah Nagari, contoh Kabupaten Solok melimpahkan 106 urusan dan kewenangan kepada pemerintah
nagari sesuai dengan SK Bupati No 16 tahun 2001.
14
Demokrasi komunitarian tidak sekadar berbicara tentang aturan main dan prosedur pengelolaan kekuasaan misalnya aturan tentang Trias Politica,
masyarakat sipil civil society dan pluralisme terbuka, toleran, inklusif, nondiskriminatif, dll.
Bab 4. Tujuan Penelitian.
Tujuan dari proposal singkat ini sebenarnya ingin mengkonseptualisasikan proses transisi demokrasi pada pemerintahan lokal di
Sumatera Barat yang dilakukan oleh elite baru politik minangkabau, dan mencoba menawarkan cara pandang yang lebih komprehensif tentang fenomena
sosial-politik masyarakat Minangkabau. Hal ini disebabkan karena dalam banyak literatur dan pemikiran para ahli tentang Minangkabau, saya berasumsi bahwa
dinamika transisi demokrasi di nagari dipengaruhi oleh demokrasi dari Barat. Keberadaan demokrasi barat inilah yang menyebabkan berbagai fenomena yang
berkembang dalam elite Minangkabau. Maka penelitian ini secara khusus diharapkan dapat menemukan model tentang bagaimana cara membaca proses
transisi demokrasi pada tingkat lokal pada nagari.
Bab 5. Metode Penelitian
Penelitian tentang transisi Demokratisasi lokal pada nagari di Sumatera Barat merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Jenis dan
sumber data berupa data primer melalui wawancara mendalam dengan aparatur di pemerintahan nagari Wali nagari, Badan Musyawarah Nagari, kerapatan Adat
nagari, tokoh-tokoh informal dalam nagari Ninik mamak, alim ulama, dan Bundo kanduang dan Biro Pemerintahan Nagari Propinsi Sumatera Barat,
Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau LKAAM, Pemerintah Kabupaten Solok bagian Pemerintahan Nagari Selain itu untuk membantu menjelaskan
masalah yang diteliti, penelitian ini juga mengunakan sumber tertulis data sekunder seperti sumber dari arsip, dokumen pribadi, dokumen resmi, majalah
ilmiah, dan seterusnya. Sedangkan unit analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah
individu, dimana lebih difokuskan pada tokoh masyarakat elite yang duduk di pemerintahan nagari dan elite yang berada diluar pemerintahan nagari serta
15
Stakeholder yang ada dalam pemerintahan. Untuk pengambilan informan dalam penelitian ini digunakan teknik purposive sampling dan snowball sampling. Oleh
karena penelitian ini ingin menemukenali proses transisi demokrasi lokal pada nagari di Sumatera Barat, maka penggunaan teknik ini dianggap sesuai dengan
tujuan penelitian. Informan penelitian dipilih secara sengaja purposive berdasarkan kedudukan mereka dalam nagari. Dengan demikian jumlah informan
pada akhirnya sangat ditentukan oleh kondisi lapangan. Untuk tokoh masyarakat nagari yang nantinya akan memberikan penjelasan tambahan tentang pelaksanaan
demokrasi lokal pada pemerintahan nagari di Sumatera Barat maka proses penarikan informan dilakukan dengan menggunakan teknik snowball dan berakhir
hingga pada titik jenuh tertentu dengan ditemukannya suatu pola yang berulang atas jawaban dari pertanyaan yang diajukan ke informan tersebut.
Adapun lokasi penelitiannya adalah dengan kriteria yaitu: Nagari yang terbentuk secara alami atau nagari yang sudah ada dulunya sejak zaman
penjajahan belanda dan kembali direorganisasikan melalui perda Propinsi Sumatera Barat No 92000 jo No 22007 tentang pemerintahan nagari dan
karakteristik masyarakat yang masih memegang teguh adat-istiadat sebagai identitas sosio kultur dalam kehidupannya, yaitu Nagari Jawi- Jawi.
Untuk menjaga keabsahan data maka dilakukan teknik triangulasi data agar validitas dan reliabilitas terhadap data yang diperoleh tercapai. Sedangkan
untuk data yang diperoleh dianalisis sesuai dengan prinsip metode kualitatf deskriptif yaitu dengan mendiskripsikan data yang diperoleh dengan menelaah
seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber. Disamping perolehan data dari pelaporan “on the spot”, data yang banyak tersebut juga harus direduksi dengan
jalan membuat abstraksi sebagai sebuah rangkuman yang inti. Di sini akan dicoba mendiskripsikan bagaimana proses transisi demokrasi lokal pada pemerintahan
nagari di Sumatera Barat dan akhirnya terbentuk varian yang berbeda pada tiap nagari melalui Analisis dilakukan berdasarkan pandangan-pandangan informan
emik yang sudah di validasi dengan menggunakan metode triangulasi. Kesimpulan dari analisis yang dilakukan terkait pada gabungan data yang didapat
dari informan emik dan interpretasi peneliti etic terhadap data lapangan tersebut.
16
Bab 6. Hasil dan Pembahasan Proses Transisi Demokrasi Lokal