Perkawinan satu suku di Nagari Jawi-jawi Sumatera Barat ditinjau dari Hukum Islam

(1)

mencapai gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

YOSSI FEBRINA 107044103458

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSIYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SAYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A


(2)

(3)

(4)

i

KATA PENGANTAR

Segala puji, dan syukur diucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan taufik, hidayah dan rahmatnya dan shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah pada junjungan Nabi SAW, keluarga dan para sahabatnya serta orang-orang Islam yang selalu mengikuti hingga akhir zaman.

Selanjutnya, penulis menyadari bahwa skripsi ini dapat diselesaikan karena mendapat dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu sebagai ungkapan rasa hormat yang dalam, penulis menyampaikan terimakasih kepada Bapak:

1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH. MM. selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dengan kewenangan yang dimiliki telah memberikan kepercayaan kepada penulis untuk menyusun skripsi ini.

2. Drs. H.A. Basiq Djalil, S.H., MA., selaku ketua Program Study dan Pembimbing Skripsi. Kemudian Hj. Rosdiana, MA, selaku sekretaris jurusan Ahwal Syakhsiyyah yang telah banyak memberikan motivasi dan dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

3. Seluruh dosen-dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, tidak lupa juga kepada staf perpustakaan, karyawan


(5)

ii

serta seluruh skeluarga yang sangat saya cintai dan sayangi. Terima kasih banyak atas bantuan kalian terutama dari segi keuangan, dan dukungan kalian yang tidak terlupakan. Terima kasih juga atas doa dan pengorbanan kalian yang tidak terhingga serta senantiasa memberi semangat tanpa jemu sehingga penulis menyelesaikan belajar disini dengan selamat dan sempurna. Semoga Allah SWT menempatkan kalian ditempat orang-orang yang sholeh dan mulia. Tidak ada yang dapat dipersembahkan sebagai balasan, melainkan sebuah kejayaan.

5. Terkhusus kepada seorang yang berada di Negeri Kinanah (Mesir) yaitu H. Ahmad Arif yang telah membantu dan selalu memberikan semangat serta motivasi dalam proses penyelesaian skripsi ini. Kemudian kepada sahabat-sahabat saya: Efi Salinda yang membantu saya mencari bahan-bahan skripsi, Ade uswatul Jamiliyah, Sari Eka Lestari Putri, Nurul Hikmah, dan andini Hafizhotin Nida yang ikut serta dalam memberi semangat, dan teman-teman MAKN Koto Baru Padang Panjang, Jakarta, Mesir, Padang dan sekitarnya. Dan teman-teman angkatan 2007/2008 jurusan Akhwalu Syakhsiyyah, terima kasih atas kebersamaan kalian dalam menemani penulis selama kuliah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.


(6)

iii

Akhir kata semoga penulisan skripsi ini dapat memberikan masukan yang positif kepada para pembaca. Semoga bantuan yang diberikan kepada penulis akan mendapat imbalan dari Allah SWT. Penulis amat menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini banyak kekurangan, kekhilafan, dan kesalahan. Maka kritik dan saran yang bersifat konstruktif sangat diharapkan dalam rangka perbaikan, dan kesempurnaan tulisan ini.

Kepada Allah SWT penulis memohon dan mendoakan semoga jasa baik yang telah kalian sumbangkan menjadi ladang amal sholeh dan mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT. Amin

Ciputat, 25 April 2011

Penulis


(7)

iv

salah satu persyaratan memperoleh gelar Srata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah.

3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 25 April 2011

Penulis


(8)

v

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………...i

LEMBAR PERNYATAAN………...iv

BAB 1: PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah... 1

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah... 8

C. Tujuan dan manfaat penelitian... 9

D. Metode penelitian...10

E. Sistematika penulisan... 12

BAB ll: PERKAWINAN DALAM ISLAM A. Pengertian Perkawinan...13

B. Dasar Hukum Perkawinan...17

C. Rukun dan Syarat Perkawinan...19

D. Tujuan Perkawinan...25

E. Larangan-larangan Perkawinan... 26

BAB lll: POTRET NAGARI JAWI-JAWI SUMATERA BARAT A. Sejarah singkat wilayah...33

B. Geografis dan Luas wilayah...37

C. Agama dan pendidikan masyarakat... .39


(9)

vi

B. Latar belakang larangan Perkawinan Satu Suku...48 C. Sanksi adat Perkawinan Satu Suku...50 D. Analisa hukum Islam terhadap Perkawinan Satu Suku...52

BAB V: PENUTUP

A. Kesimpulan...57 B. Saran... .58

DAFTAR PUSTAKA……… 59

LAMPIRAN-LAMPIRAN:

1. Wawancara...64 2. Surat Observasi...70 3. Surat dari Kelurahan...71


(10)

1

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Perkawinan merupakan Sunnatullah yang berlaku pada semua makhluknya, baik pada manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan. Perkawinan adalah suatu cara yang dipilih oleh Allah SWT sebagai jalan bagi makhluknya untuk dapat berkembangbiak dan melestarikan hidupnya. Allah tidak menjadikan manusia seperti makhluk lainnya yang hidup bebas mengikuti nalurinya dan berhubungan secara anarkhi tanpa aturan.Demi menjaga kehormatan dan martabat kemuliaan manusia, Allah mengadakan hukum sesuai dengan martabatnya, sehingga hubungan antara laki-laki dan perempuan diatur secara terhormat dan berdasarkan rasa saling meridhai, dengan upacara ijab kabul sebagai lambang adanya rasa ridha meridhai, dan dihadiri dengan para saksi yang menyaksikan bahwa pasangan laki-laki dan perempuan itu telah saling terikat.1

Selain itu juga pernikahan merupakan salah satu kebutuhan jasmani dan rohani yang sudah menjadi sunnatulah, bahwa dua manusia dengan jenis kelamin berlainan, seorang perempuan dan seorang laki-laki dengan saling mengenal satu sama lain untuk hidup bersama. Pernikahan disyariatkan supaya manusia mempunyai keturunan dan keluarga yang sah menuju kehidupan

1


(11)

bahagia dunia akhirat dan ridha ilahi. Perkawinan merupakan kebutuhan alami manusia. Tingkat kebutuhan dan kemampuan masing-masing individu untuk menegakkan kehidupan berkeluarga berbeda-beda, baik dalam hal kebutuhan biologis (gairah seks) maupun biaya dan bekal yang berupa materi.2Perkawinan merupakan kebutuhan alami manusia. Tingkat kebutuhan dan kemampuan masing-masing individu untuk menegakkan kehidupan berkeluarga berbeda-beda, baik dalam hal kebutuhan biologis (gairah seks) maupun biaya dan bekal yang berupa materi. Dari tingkat kebutuhan yang bermacam-macam ini, para ulama mengklasifikasikan hukum perkawinan dengan beberapa kategori. Ulama mazhab asy-Syafi„i mengatakan bahwa hukum asal menikah adalah boleh mubah.3

Sedangkan menurut kelompok mazhab Hanafi, Malikidan Hanbali, hukum melaksanakan perkawinan adalah sunat. Sedangkan menurut Zahiri, hukum asal perkawinan adalah wajib bagi orang muslim satu kali seumur hidup.4

Dasar perkawinan menurut KHI pasal 1, perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan

2

As-Sayyid Sabiq, Fiqh As-Sunnah cet ke 2 , (Beirut: Muassasah Risalah, 2005), h, 12.

3

Pendapat ini dapat dilihat di „Abd ar-Rahman Al-Jaziri, Kitab al-Fiqh „ala al-Mazahib al-

‟Arba„ah, IV : h. 8.

4


(12)

tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.5

Rasulullah SAW sendiri menerangkan, bahwa pada kenyatannya nikah itu tidak hanya sekedar akad. Akan tetapi, lebih dari itu, setelah pelaksanaan akad si pengantin harus merasakan nikmatnya akad tersebut. Sebagaimana dimungkinkan terjadinya proses perceraian setelah dinyatakannya akad tersebut.6

Pada dasarnya golongan fuqaha yakni jumhur ulama berpendapat bahwa nikah itu hukumnya sunnah, sedangkan golongan Zahiri mengatakan menikah itu wajib. Para ulama Maliki Mutatakhirin berpendapat bahwa menikah itu wajib bagi sebagian orang dan sunnah bagi sebagian lainnya dan mubah bagi golongan lainnya. Hal ini ditinjau berdasarkan kekhawatiran dan kesusahan atau kesulitan dirinya.7

Dari begitu banyaknya suruhan Allah dan Nabi untuk melaksanakan perkawinan itu maka perkawinan itu adalah perbuatan yang disukai oleh Allah

5

Kompilasi Hukum Islam, (Bandung:Citra Umbara, 2007).h, 2. 6

Syaikh Kamil Muhammad „Uwaidah, Fiqih Wanita, (Jakarta:Pustaka Al-Kautsar, 1998), h .376.

7

Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqh Munakahat 1, (Bandung:CV Pustaka Setia, 1999), h. 31.


(13)

dan nabi untuk dilakukan. Atas dasar ini hukum perkawinan itu menurut asalnya adalah sunnah menurut pandangan jumhur ulama. Namun karena ada tujuan yang mulia yang hendak dicapai dari perkawinan itu melakukannya juga berbeda pula kondisinya.

Adapun pengertian yang dikemukakan dalam Undang-undang

Perkawinan (UU no. 1 tahun 1974), adalah:

Perkawinan adalah ikatan lahir bathin a\ntara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.8

Bunyi pasal 1 Undang-undang Perkawinan ini dengan jelas menyebutkan tujuan perkawinan yaitu membentuk keluarga bahagia dan kekal yang didasarkan pada ajaran agama. Tujuan yang diungkap pasal ini masih bersifat umum yang perinciannya dikandung pasal-pasal lain berikut penjelasan Undang-undang tersebut dan peraturan pelaksanaannya.

Dalam penjelasan ini disebutkan bahwa membentuk keluarga yang bahagia itu erat hubungannya dengan keturunan, yang juga merupakan tujuan perkawinan, di mana pemeliharaan dan pendidikan menjadi hak dan kewajiban orang tua.

Rothenberg dan Blumenkrantz mengarakan “Marriage, as it is commonly secucced, refers to a contractual relationship between two persons,one male and

8


(14)

one female, a rising out of the mutual promises that are recoqnized bay law”.9 Maksudnya ialah bahwa perkawinan sebagaimana pada umumnya merujuk kepada hubungan perjanjian yang nyata antara dua orang yaitu seorang laki-laki (ayah) dan seorang perempuan yang saling berjanji yang disahkan oleh hukum.

Menurut Muhammad Jalaluddin Al Qasyimi dalam Kitab Mau „Izatul Mukminim menyebutkan bahwa adapun manfaat dari suatu perkawinan itu ada lima yaitu : pertama, untuk melangsungkan keturunan, kedua untuk penyaluran hawa nafsu, ketiga untuk mengatur

kehidupan rumah tangga, keempat untuk memperkuat/memperluar kekeluargaan dan kelima mengendalikan diri.10

Tujuan nikah pada umumnya bergantung pada masing-masing individu yang akan melakukannya, karena lebih bersifat subyektif. Namun demikian, ada juga tujuan umum yang memang diinginkan oleh semua orang yang akan melakukan pernikahan, yaitu untuk memperoleh kebahagiaan dan kesejahteraan lahir batin menuju kebahagiaan dan kesejahteraan akhirat.

Pernikahan juga berfungsi untuk mengatur hubungan antara laki-laki dengan perempuan berdasarkan pada asas saling menolong dalam wilayah kasih sayang dan cinta serta penghormatan.Wanita muslimah berkewajiban

9

Rothenberg dan Blumenkrantz, Personal Law, Oenanta, State University of New York, h.324.

10


(15)

untuk mengerjakan tugas dalam berumah tangganya seperti mengatur rumah, mendidik anak dan menciptakan suasana menyenangkan, supaya suami dapat mengerjakan kewajibannya dengan baik untuk kepentingan duniawi maupun ukhrawi.11

Dengan akad nikah suami mempunyai hak untuk memilih milik itu hanya bersifat milk intifada (hak milik untuk menggunakan) bukan milk al-muqarabah (hak milik yang bisa dipindah tangankan seperti kepemilikan benda) dan bukan pula milk al-manfa’ah (kepemilikan manfaat yang bisa dipindahkan).12

Berhubungan antara adat dan agama Islam di Minangkabau membawa konsekuensi sendiri.Baik ketentuan adat, maupun ketentuan agama dalam mengatur hidup dan kehidupan masyarakat Minangkabau, tidak dapat di abaikan khususnya dalam bidang perkawinan.Kedua aturan itu harus dipelajari dan dilaksananakan secara serasi, seiring dan sejalan.

Adat Minangkabau adalah peraturan dan undang-undang atau hukum adat yang berlaku dalam kehidupan sosial masyarakat Minangkabau, terutama yang bertempat tinggal di Ranah Minang atau Sumatera Barat. Dalam batas tertentu,

11

Syaikh Kamil Muhammad „Uwaidah, Fiqih Wanita, (Jakarta:Pustaka Al-Kautsar, 1998), h . 378-379.

12


(16)

Adat Minangkabau juga dipakai dan berlaku bagi masyarakat Minang yang berada di perantauan di luar wilayah Minangkabau.

Adat adalah landasan bagi kekuasaan para Raja dan Penghulu, dan dipakai dalam menjalankan pemerintahan sehari-hari. Semua peraturan hukum dan perundang-undangan disebut Adat, dan landasannya adalah tradisi yang diwarisi secara turun-temurun serta syariat Islam yang sudah dianut oleh masyarakat Minangkabau.

Seorang Raja atau Penghulu memegang kekuasaan karena keturunan, dan kekuasaan itu menjadi sah karena didukung oleh para ulama yang memegang otoritas agama dalam masyarakat. Dari ide ini muncul adagium Adat basandi syarak; Syarak basandi Kitabullah.13

Di Minangkabau dikenal dengan Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah, dalam arti semua hukum adat mengacu kehukum agama (Islam). Semua aturan adat akan diselaraskan dengan ketentuan Allah sebagai pedoman utama dalam menjalankan adat. Berbicara masalah perkawinan di Minangkabau menerapkan aturan-aturan tentang perkawinan salah satunya perkawinan satu suku yang di anggap tabu (menurut hukum adat) di Ranah Minang. Tapi kalau

13

http://id.wikipedia.org/wiki/Adat_Minangkabau, Adat Minangkabau, diakses pada tanggal 1 maret 2011.


(17)

kita mengacu ketentuan Allah, tidak semua yang tergolongsatu suku (yang dilarang adat) juga dilarang agama.Bagaimana dengan bagian satu suku yang diperbolehkan oleh Allah?14

Dalam hal ini apakah “adat melakukan pembangkangan terhadap syarak, atau orang minang yang tidak mengerti azas hukumadatnya?” apapun

jawabannya, yang pasti orang Minangkabau mempunyai dasar agama yang lebih baik, karena azas hukum adat minang mengacu ke agama, sehingga terbentuklah pribadi-pribadi “buya” dalam setiap diri masyarakat minang (dulu). Lalu kenapa masih ada yang menjalankan hukum yang bertentangan dengan hukum Allah.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan masalah

Dalam penulisan skripsi ini agar dapat dicermati secara seksama dan diharapkan nantinya dapat memberikan kontribusi pemahaman yang mendalam penulis lebih menitik beratkan analisa masalah terhadap norma-norma atau aturan-aturan hukum adat Minagkabau, yaitu larangan melangsungkan perkawinan bagi mereka yang satu suku.Karena larangan dan segala permasalahan yang berkaitan dengan perkawinan menurut hukum Islam itu luas, maka penulis memberi batasan penyusunan skripsi ini adalah pada hal-hal

14


(18)

yang hanya berkaitan dengan larangan perkawinan satu suku dilihat dari segi hukum Islam.

2. Rumusan masalah

Menurut Al-Quran, hadist, Fiqh, dan Peraturan Perundang-undangan tidak dilarang kawin satu suku. Kenyataannya di lapangan di Nagari Jawi-jawi Sumatera Barat perkawinan sesuku itu di larang. Dan bagi yang melanggarnya maka akan di hukum sesuai dengan aturan adat Minangkabau.

Rumusan tersebut penulis rinci dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut: 1. Apa alasan yang mendasari larangan perkawinan satu suku dalam

masyarakat adat Minangkabau?

2. Dalam bentuk apa saja sanksi adat terhadap pelanggaran ketentuan perkawinan satu suku di Minangkabau?

3. Pandangan hukum Islam terhadap pelanggaran perkawinan satu suku dalam masyarakat adat Minangkabau?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

a. Untuk mengetahui faktor penyebab larangan perkawinan satu suku b. Untuk mengetahui sanksi adat terhadap pelanggaran ketentuan

perkawinan satu suku

c. Untuk mengetahui bagaimana Pandangan hukum Islam tentang larangan perkawinan satu suku dalam masyarakat adat Minangkabau.


(19)

2. Manfaat penelitian

a. Memberikan pengetahuan kepada seluruh masyarakat Islam khususnya masyarakat Minangkabau tentang pandangan hukum Islam terhadap larangan perkawinan satu suku.

b. Diharapkan sebagai konstribusi pengetahuan dan pemikiran kepada masyarakat umum dalam melakukan praktek kawin satu suku.

D. Metode Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakanmetode penelitian lapangan dan penelitian kepustakaan, langkah-langkah yang penulis gunakan adalah sebagai berikut:

1) Pengumpulan data

a. Data primer yaitu: data-data yang diperoleh dari hasil pengamatan penulis terhadap perkawinan satu suku dengan menggunakan penelitian lapangan (Fiel Reseach) yaitu dengan jalan mengadakan riset lapangan (observasi) yang bertujuan menghimpun data tersebut penulis juga menggunakan alat data dengan pedoman wawancara langsung dengan pihak terkait yang berhubungan dengan skripsi. b. Data sekunder adalah data yang diambil dari bahan-bahan pustaka


(20)

dari buku-buku hukum, majalah, artikel, internet yang berhubungan dengan masalah penelitian ini.15

1) Pengolahan data

Pada tahap ini, semua data yang telah terhimpun dianalisa secara kualitatif, dengan menggunakan metode penalaran deduktif dan induktif. Dan dengan mengkorelasikan antara data yang satu dengan data yang lain untuk melihat titik temu dan hubungannya, sehingga tersusun menjadi laporan dalam bentuk skripsi.16

2) Tahap akhir

Untuk mencapai hasil diatas, maka kajian dalam skripsi ini menggunakan deskriptif analisis dengan cara dua pendekatan yaitu pendekatan yuridis (syariah dan fikih), dan pendekatan histori (sejarah kebudayaan). Dengan cara ini dapat mempermudah penulis untuk mendeskripsikan argument brdasarkan premis-premis rangkaian logika. Kemudian merumuskan hasil penelitian dalam bentuk kesimpulan hukum kajian dengan metode sebagaimana yang telah diuraikan.

15

Muhammad Nazir, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998), cet. Ke-3, h. 63, lihat Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: P.T. Garamedia Pustaka Utama, 1991), h. 110-112, lihat juga Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum,(Jakarta: Pustaka Pelajar, 1992), h. 51.

16

Ipah Farihah, Buku Panduan Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006), h. 50-51.


(21)

Adapun sebagai pedoman penulisan dalam skripsi ini, penulis berpedoman pada buku pedoman penulisan skripsi fakultas Syariah dan Hukum Syarif Hidayatullah Jakarta, yang diterbitkan oleh UIN Jakarta Press.

E. Sistematika Penulisan

Pertama membahas tentang pendahuluan, yang berisi tentang latar

belakang masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, dan metode penelitian.

Kedua membahas tentang masalah pengertian perkawinan dalam hukum Islam, yaitu mulai dari pengertian, dasar hukum perkawinan, rukun dan syarat perkawinan, mahar, dan larangan-larangan perkawinan.

Ketiga membahas kondisi objektif Nagari Jawi-jawit, yang berisikan, tinjauan umum dan sejarah singkat, Geografis dan Demokratis, Agama, Pendidikan, Sosial Budaya dan adat istiadat.

Keempat membahas tentang perkawinan satu suku dalam masyarakat adat Nagari Jawi-jawi Sumatera Barat, yang berisikan mengenai pengertian perkawinan satu suku, latar belakang adanya larangan perkawinan satu suku, sanksi adat terhadap larangan perkawinan satu suku, dan analisa hukum Islam terhadap perkawinan satu suku.

Kelima berisi membahas Penutup yang berisikan tentang Kesimpulan dan Saran.


(22)

BAB II

PERKAWINAN MENURUT HUKUM ISLAM A. Pengertian Perkawinan

Dalam bahasa Indonesia, perkawinan berasal dari kata “kawin” yang

menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis; artinya melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh.17

Perkawinan disebut juga dengan “pernikahan”, berasal dari kata nikah

menurut bahasa artinya mengumpulkan, saling memasukkan, dan digunakan untuk arti bersetubuh (wath‟i).18

Selain itu ada juga yang mengartikan dengan pencampuran. Alfara’

mengatakan: “An-Nukh” adalah sebutan untuk kemaluan. Sedangkan Al-Azhari mengatakan: Akar kata dalam ungkapan bahasa Arab berarti hubungan badan.19

Menurut istilah hukum islam, terdapat beberapa definsi, diantaranya adalah:

Perkawinan menurut syara‟ yaitu akad yang ditetapkan syara‟ untuk

membolehkan bersenag-senang antara laki-laki dengan perempuan dan

17

Dep. Dikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: balai Pustaka, 1994), cet.ke-3. Edisi kedua, h. 456.

18

Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Muanakahat, (Jakarta: Kencana, 2008), cet, ke-3. Edisi Pertama, h, 7.

19

. Syaikh Kamil Muhammad „Uwaidah, Fiqh Wanita, (Jakarta:Pustaka Al-Kautsar,1998), cet ke-1, h.375.


(23)

menghalalkan bersenang-senang antara laki laki dengan perempuan dan menghalalkan bersenang-senangnya perempuan dnagn laki-laki.

Abu Yahya Zakariya Al-Anshary mendefinisikan:

Nikah menurut istilah syara‟ ialah akad yang mengandung ketentuan

hukum kebolehan hubungan seksual denagn lafadz nikah atau denagn kata-kata yang semakna denagnnya. Pengertian-pengertian di atas tampaknya dibuat hanya melihat dari satu segi saja, yaitu kebolehan hukum dalam hubungan antara seorang laki-laki dan seorang wanita yang semula dilarang menjadi kebolehan. Padahal setiap perbuatan hukum itu mempunyai tujuan dan akibat ataupun pengaruhnya. Hal-hal inilah yang menjadikan perhatian manusia pada umumnya dalam kehidupannya sehari-hari, sperti terjadinya perceraian, kurang adanya keseimbangan antara suami istri, sehingga memerlukan penegasan arti perkawinan, bukan saja dari segi kebolehan hubungan seksual tetapi juga dari segi tujuan dan akibat hukumnya.

Mahmud Abu Ishrah memberikan definisi yang lebih luas, yaitu: akad yang memberikan faedah hukum kebolehan mengadakan hubungan keluarga (suami istri) antara pria dan wanita dan mengadakan tolong-menolong dan memberi batas ha bagi pemiliknya serta pemenuhan kewajiban bagi masing-masing.20

Adapun pengertian yang dikemukakan dalam Undang-undang:

20


(24)

Perkawinan menurut Undang Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Dalam Hukum Perdata Barat tidak ditemukan defenisi dari perkawinan, istilah perkawinan (huwelijk) digunakan dalam dua arti yaitu:

1. Sebagai suatu perbuatan, yaitu perbuatan melangsungkan perkawinan (pasal 104 Kitab Undang Undang Hukum Perdata). Dengan demikian perkawinan adalah suatu perbuatan hukum yang dilakukan pada suatu saat tertentu.

2. Sebagai suatu keadaan hukum yaitu keadaan bahwa seorang pria dan seorang wanita terikat oleh suatu hubungan perkawinan.21

Perkawinan (UU no. 1 tahun 1974), adalah:

Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.22

Bunyi pasal 1 Undang-undang Perkawinan ini dengan jelas menyebutkan tujuan perkawinan yaitu membentuk keluarga bahagia dan kekal yang didasarkan pada ajaran agama. Tujuan yang diungkap pasal ini masih bersifat umum yang perinciannya dikandung pasal-pasal lain berikut penjelasan

21

Titik Triwulan Tutik dan Trianto, Poligami Perspektif Perikatan Nikah, (Jakarta:Prestasi Pustaka Publisher, 2007) , h. 32

22


(25)

Undang-undang tersebut dan peraturan pelaksanaannya. Dalam penjelasan ini disebutkan bahwa membentuk keluarga yang bahagia itu erat hubungannya dengan keturunan, yang juga merupakan tujuan perkawinan, di mana pemeliharaan dan pendidikan menjadi hak dan kewajiban orang tua.

Tujuan nikah pada umumnya bergantung pada masing-masing individu yang akan melakukannya, karena lebih bersifat subyektif. Namun demikian, ada juga tujuan umum yang memang diinginkan oleh semua orang yang akan melakukan pernikahan, yaitu untuk memperoleh kebahagiaan dan kesejahteraan lahir batin menuju kebahagiaan dan kesejahteraan akhirat.

Pernikahan juga berfungsi untuk mengatur hubungan antara laki-laki dengan perempuan berdasarkan pada asas saling menolong dalam wilayah kasih sayang dan cinta serta penghormatan.Wanita muslimah berkewajiban untuk mengerjakan tugas dalam berumah tangganya seperti mengatur rumah, mendidik anak dan menciptakan suasana menyenangkan, supaya suami dapat mengerjakan kewajibannya dengan baik untuk kepentingan duniawi maupun ukhrawi.23

Dengan akad nikah suami mempunyai hak untuk memilih milik itu hanya bersifat milk intifada (hak milik untuk menggunakan) bukan milk al-muqarabah (hak milik yang bisa dipindah tangankan seperti kepemilikan

23

Syaikh Kamil Muhammad „Uwaidah, Fiqih Wanita, (Jakarta:Pustaka Al-Kautsar, 1998), h . 378-379.


(26)

benda) dan bukan pula milk al-manfa’ah (kepemilikan manfaat yang bisa dipindahkan).24

B. Dasar dan Hukum Perkawinan

Perkawinan yang dinyatakan sebagai ketetapan Ilahi (baca:Sunnatullah) merupakan kebutuhan bagi setiap naluri manusia dan dianggap sebagai ikatan yang sangat kokoh. Allah swt dan Rasul-Nya saw telah menjelaskan isyarat perintah melalui kalam-Nya dan sabda Rasul-Nya, di antaranya yaitu: Perkawinan yang dinyatakan sebagai ketetapan Ilahi (baca:Sunnatullah) merupakan kebutuhan bagi setiap naluri manusia dan dianggap sebagai ikatan yang sangat kokoh. Allah swt dan Rasul-Nya saw telah menjelaskan isyarat perintah melalui kalam-Nya dan sabda Rasul-Nya, di antaranya yaitu: 25

Surat An-Nisa ayat: 3

















































Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau

24

Abdul Basit Mutawally, Muhadarah fi al-Fiqh al-Muqaran, (Mesir, t.t), h. 120.

25

Imam Taqiyuddin Abi Bakar Muhammad bin abdul Mu'min. t.t Kifayatul Akhyar fi Halli Ghayaatul Ikhtishar Syarah Matana Abi Syuja‟ .( Beirut: Dar al Minhaj), h. 669.


(27)

empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil,26)

Maka (kawinilah) seorang saja27), atau budak-budak yang kamu

miliki.

Firman allah yang lainnya: Surat An-Nur ayat: 32

       

Artinya: “Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu28), dan

orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu

yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan.”

Sabda Rasulullah Saw:

Artinya: Wahai generasi muda, barang siapa diantara kalian telah mampu serta berkeinginan untuk menikah, maka hendaklah ia menikah. Karena sesungguhnya pernikahan itu dapat menundukkan pandangan mata dan memelihara kemaluan. (Muttafaqun „Alaih).

Hukum perkawinan

Hukum Perkawinan ada 5:

26

Berlaku adil adalah perlakuan yang adil di dalam melayani istri seperti terhadap pakaian, tempat tinggal, giliran an lain sebagainya yang bersifat lahiriyyah.

27

Islam membolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu. Sebelum turun ayat tentang poligami ini, sudah ada dan pernah dijalankan oleh para Nabi sebelum Rasulullah SAW. Ayat ini membatasi poligami sampai empat orang wanita saja.

28

Maksudnya, hendaklah laki-laki yang belum menikah atau wanita-wanita yang tidak bersuami dibantu, agar menreka dapat segera menikah.

29


(28)

1. Wajib, bagi orang yang telah mempunyai kemauan dan kemampuan untuk kawin dan dikhawatirkan akan tergelincir pada perbuatan zina seandainya tidak kawin maka hukum melakukan perkawinan bagi orang tersebut adalah wajib.

2. Sunnat, bagi orang yang telah mempunyai kemauan dan kemampuan untuk melangsungkan perkawinan, tetapi kalau tidak kawin tidak dikhawatirkan akan berbuat zina, maka hukum melakukan perkawinan bagi orang tersebut adalah sunnat.

3. Haram, bagi orang yang mem[unyai keinginan dan tidak mempunyai kemampuan serta tanggung jawab untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban daalm rumah tangga sehingga apabila melangsungkan perkawinan bagi orang tersebut adalah haram.

4. Makruh, bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukan perkawinan juga cukup mempunyai kemampuan untuk menahan diri sehingga tidak memungkinkan dirinya tergelincir berbuat zina sekiranya tidak kawin.

5. Mubah, bagi orang yang mempunyain kemampuan untuk melakukan perkawinan bila seseorangkawin dengan30

C. Rukun dan Syarat Perkawinan

Jumhur ulama sepakat bahwa rukun perkawinan itu terdiri atas:

30


(29)

a. Adanya calon suami dan istri yang akan melakukan perkawinan. b. Adanya wali dari pihak calon pengantin wanita.

c. Adanya dua orang saksi.

d. Sighat akad nikah, yaitu ijab qabul yang di ucapkan oleh wali atau akilnya dar pihak wanita, dan dijawab oleh calon pengantin laki-laki.31

Tentang jumlah rukun nikah, para ulama berbeda pendapat:

Imam Malik mengatakan bahwa rukun nikah itu ada lima macam, yaitu:

 Wali dari pihak perempuan

 Mahar (maskawin)

 Calon pengantin lakil-laki

 Calon pengantin perempuan

 Sighat akad nikah

Imam Malik berkata bahwa rukun nikah itu ada lima macam, yaitu:

 Calon pengantin laki-laki

 Calon pengantin perempuan

 Wali

 Dua orang saksi

 Sighat akad nikah32

31

Abd. Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, h.46-48

32


(30)

Menurut ulama Hanafiyah, rukun nikah itu hanya ijab dan qabul saja (yaitu akad yang dilakukan oelh pihak wali perempuan dan calon pengantin laki-laki). Sedangkan menurut golongan yang lain rukun nikahb itu ada empat macam, yaitu:

 Sighat (ijab qabul)

 Calon pengantin perempuan

 Calon pengantin laki-laki

 Wali dari pihak calon pengantin perempuan33

Pendapat yang mengatakan bahwa rukun nikah itu ada empat, karena calon pengantin laki-laki dan calon pengantin permpuan digabung menjadi satu rukun. Rukunnya adalah:

a. Dua orang yang saling melakukan akad perkawinan yakini mempelai laki-laki dan mempelai perempuan.

b. Adanya wali

c. Adanya dua orang saksi

d. Dilakukan dengan sighat tertentu34

Syarat Sahnya Perkawinan

33

Abd. Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, h. 48.

34


(31)

Syarat-syarat perkawinan merupakan dasar bagi sahnya perkawinan. Apabila syarat syaratnya terpenuhi, maka perkawinan itu sah dan menimbulkan adanya segalahak dan perkawinan sebagai suami istri.

Secara garis besar syarat-syarat sahnya perkawinan itu ada dua:

1. Calon mempelai perempuannya harus dikawin oleh laki-laki yang ingin menjadikannya istri

2. Akad nikahnya dihadiri para saksi35

Syarat-syarat kedua mempelai

Syariat Islam mentukan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh calon suami berdasarkan ijtihad para ulama, yaitu:

a. Syarat-syarat pengantin pria. 1). Calon suami beragama Islam

2). Terang (jelas) bahwa calon suami itu betul laki-laki 3). Orangnya diketahui dan tertentu

4). Calon mempelai laki-laki itu jelas halal kawin denagn calon istri 5). Calon mempelai laki-laki tahu/kenal pada calon istri serta tahu betul

calon istrinya halal baginya.

6). Calon suami rela (tidak dipaksa) untuk melakukan perkawinan itu. 7). Tidak sedang melakukan ihram.

8). Tidak mempunyai istri yang haram dimadu dengan calon istri.

35


(32)

9). Tidak sedang mempunyai istri empat.36 b. Syarat-syarat calon pengantin perempuan:

1). Beragama Islam atau ahli Kitab.

2). Terang bahwa ia wanita, bukan Khunsa (banci). 3). Wanita itu tentu orangnya.

4). Halal bagi calon suami.

5). Wanita itu tidak dalam ikatan perkawinan da tidak dalam iddah. 6). Tidak dipaksa/ikhtiar

7). Tidak dalam keadan ihram haji/umrah37

Syarat-syarat saksi

Saksi yang menghadiri akad nikah haruslah dua orang laki-laki, muslim, baligh, berakal, melihat dan mendengar serta mengerti (paham) akan maksyd akad nikah. Menurut golongan Hanafi dan Hambali, boleh juga saksi saksi itu satu orang lelaki dan dua orang perempuan. Dan menurut Hanafi, boleh dua orang buta atau dua orang fasik (tidak adil). Orang tuli, orang tidur dan orang mabuk tidak boleh menjadi saksi.38

Ada yang berpendapat bahwa syarat-syarat saksi itu adalah sebagai berikut:

 Berakal, bukan orang gila

 Baligh, bukan anak-anak

36

Abd. Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, h.50.

37

Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, h. 45-50.

38


(33)

 Merdeka, bukan budak

 Islam

 Kedua orang saksi itu mendengar39

Hikmah perkawinan menurut Ali Ahmad al-Jurjawi:

1. Dengan pernikahan maka banyaklah keturunan.

2. Keadaan hidup manusia tidak akan tentram jika keadaan rumah tangganya teratur.

3. Laki-laki dan perempuan dalah dua sekutu yang berfungsi memakmurkan dunia masing-masing dengan cirri khasnya berbuat dengan berbagai macam pekerjaan.

4. Sesuai dengan tabiatnya manusia cenderung mengasihi orang yang dikasihi.

5. Manusia di ciptakan dengan memiliki rasa ghirah (kecemburuan) untuk menjaga kehormatan dan kemuliaannya.

6. Perkawinan akan memelihara keturunan serta menjaganya.

7. Berbuat baik yang banyak lebih baik dari pada berbuat baik sedikit.

8. Manusia itu jika telah mati terputuslah seluruh amal perbuatannya yang mendatangkan rahmat dan pahala kepadanya.40

Menurut Sayyid Sabiq hikmah perkawinan adalah:

39

Abd. Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, h.52

40

Ali Ahmad Al-Jurjawi, Hikmah Al- Tasyri wa Wafalsafatuh (Falsafah dan Hukmah Hukum Islam), Penerjemah: Hadi Mulyo dan Sobahus Suhur, (Semarang: CV. Asy-Syifa, 1992), h. 256-258.


(34)

1. Sesungguhnya naluri seks merupakan naluri yang paling kuat.

2. Kawin merupakan jalan terbaik untuk menciptakan anak-anak menjadi mulia.

3. Naluri kebapakan dan keibuan akan tumbuh salin melengkapi dalam suasana hidup dengan anak-anak dan akan tummbuh pula perasaan-perasaan ramah.

4. Menyadari tanggung jawab beristri dan menanggung anak-anak akan menimbulkan sikap rajin dan sungguh-sungguh dalam memperkuat bakat dan pembawaan seseorang.

5. Dengan perkawinan, diantaranya dapat membuahkan tali kekeluargaan, memperteguh kelanggengan rasa cinta antara keluarga.

6. Adanya pebagian tugas, dimana yang satu mengurusi dan mengatur rumah tangga, sedangkan yang lain bekerja diluar sesuai dengan batas-batas tanggung jawab antara suami istri dalam menangani tugasnya.41

D. Tujuan perkawinan

Tujuan perkawinan menurut agama Islam adalah untuk memenuhi petunjuk agama dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis, sejahtera dan bahagia.

Harmonis dalam menjalankan hak dan kewajiban anggota keluarga. Sejahtera artinya terciptanya ketenangan lahir dan bathin disebabkan

41


(35)

terpenuhinya keperluan hidup lahir dan bathinnya, sehingga timbullah kebahagiaan, yakni kasih saying antar anggota keluarga.42

Tujuan perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam adalah untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan warahmah.43

Melihat dari tujuan di atas, dan memperhatikan uraian Imam Al-Ghazali dalam Ihyanya tentang faedah melangsungkan perkawinan, maka tujuan perkawinan dapat dikembangkan menjadi lima bagian:

1. Mendapatkan dan melangsungkan keturunan.

2. Memenuhi hajat manusia untuk menyalurkan syahwatnya dan menumpahkan kasih sayangnya.

3. Memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan kerusakan. 4. Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima hak serta

kewajiban, juga bersungguh-sungguh untuk memperoleh harta kekayaan yang halal.

5. Membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang tenteram atas dasar cinta dan kasih saying.44

E. Larangan-larangan Perkawinan 1. Nikah Mut'ah

42

Abdul Rahman Ghozali, Fihk Munakahat, h. 22.

43

Kompilasi Hukum Islam (Bandung: Citra Umbara, 2007), 228

44


(36)

Yaitu suatu pernikahan yang dilaksanakan untuk jangka waktu tertentu, jika waktu yang ditentukan sudah habis maka siwanita atau istri dinyatakan terlepas dari ikatan pernikahannya dan dia berhak menerima mut'ah dari suaminya.45

Menurut Asrorun Ni'am Sholeh nikah mut'ah ialah nikah yg diniatkan untuk bersenang-senang, yang diniatkan dan hanya untuk jangka waktu tertentu saja, misalnya jangka waktu seminggu, sebulan, setahun, dan seterusnya.

Nikah mut'ah pada mulanya dibolehkan oleh Rasulullah Saw, yaitu pada saat sedang meninggalkan istrinya dimedan perang.

Dengan pertimbangan jangan sampai para sahabat jatuh pada perubuatan mesum (zina), maka pada waktu itu Rasulullah membolehkan nikah mut'ah karena di anggap darurat sementara saja.46

Para sahabat mutlak mengharamkan nikah jenis ini dan perbedaan ada pada diri sahabat ibnu Abbas yang membolehkan pernikahan ini dengan alasan dalam kondisi darurat. Akan tetapi Ibnu Abbas kemudian mencabut fatwanya karena telah digampangkan oleh orang-orang yang mengikuti fatwanya.47

Sebagaimana sabda Nabi:

45

Muhammad Zuhaili, Almu‟tamad fi fiqhi as syafi‟I (ahwalus syakhsiyah) jilid 4 cet ke-2 ,(Damasqus: Darul Qalam, 2010), h. 56.

46

Asrorun Ni'am Sholeh, Fatwa-fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, (Jakarta: Elsas, 2008), h. 34.

47


(37)

Artinya : Dari Rabi' bin Sabrah dari ayahnya ra, bahwa Rasulullah Saw bersabda: sesungguhnya aku pernah mengizinkan kalian untuk

menikahi perempuan secara mut'ah. Sekarang Allah Swt

mengharamkan hal itu sampai hari kiamat . kemudian siapa siapa yang mempunyai istri hasil nikah mut'ah hendaklah ia malepaskannya dan janganlah kalian mengambil sesuatu yang telah kalian berikan kepada mereka (HR. Muslim, Abu Dawud, ibnu Majah Ahmad dan Ibnu Hibban).

Beberapa golongan Syi‟ah membenarkan tentang adanya perkawinan mut'ah ini.

Golongan syi'ah imamiyah membolehkan kawin mut'ah dengan syarat-syarat; kalimat yang digunakan untuk perkawinan itu adalah zawwajtuka.49

2. Nikah Shighar

Yaitu suatu pernikahan yang dilakukan dengan cara tukar menukar anak perempuannya untuk dijadikan istrinya masing-masing tanpa mas kawin, seperti seorang laki-laki berkata kepada laki-laki lain :

48

Imam Muhyiddin Annawawi, Shahih Muslim,h.177 49


(38)

"Nikahkanlah aku dengan anakmu dan nanti aku nikahkan kamu dengan anakku" .50

Nikah shigar adalah pernikahan dalam adat Jahiliyyah. Jadi pernikahan ini di larang oleh Islam, dan apabila terjadi pernikahan seperti itu maka pernikahannya batal.51 Rasulullah Saw bersabda:

Artinya: Dari Ibnu Umar ra., ia berkata: Rasulullah Saw telah melarang nikah shighar, yaitu seseorang mengawinkan anak perempuannya kepada seorang laki-laki dengan syarat laki-laki itu harus mengawinkan anak perempuannya kepada laki-laki pertama masing-masing tidak membayar mahar (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Ada beberapa pendapat tentang sebab dilarangnya perkawinan jenis ini yakni:53 a. Sifat perkawinan ini menggantung.

b. Kemaluan dijadikan milik bersama dan perempuan juga tidak mendapat mas kawin

3. Nikah Muhallil

50

Muhammad Zuhaili, Almu‟tamad fi fiqhi as syafi‟I (ahwalus syakhsiyah), h. 57.

51

Asrorun Ni'am Sholeh,Fatwa-fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, h. 35-36

52

Imam Hafidz Abi abdillah Muhammad Ibn Ismail Al-Bukhari, Shahih Bukhari, (Riadh: Baitul Afkar Addauliyah, 1998), h. 596.

53


(39)

Muhallil artinya menghalalkan atau membolehkan.54 Yaitu suatu pernikahan antara laki-laki dan wanita yang telah dithalak tiga oleh suaminya dengan tujuan untuk menghalalkan kembali pernikahan antara wanita dengan bekas suaminya setelah dia dithalak oleh suaminya yang kedua.

Dikatakan sebagai muhallil karena ia dianggap menghalalkan lagi bekas suami yang dahulu agar bisa menikahi bekas istrinya yang sudah ditalak bain. Sedangkan suami terdahulu yang kemudian melakukan pernikahan kepada bekas istrinya yang telah ditalak tiga itu dinamakan al muhallal lahu ( orang yang yang dihalalkan untuknya).

Sedangkan seorang lelaki yang pekerjaanya sebagai muhallil sehingga ia terkenal karena itu, pekerjaannya itu haram. Demikian pula orang yang menjadi muhallil dengan menerima upah, walaupun sekali saja menjadi muhallil haram juga, bahkan juga dikutuk oleh Allah SWT dan Rasulnya.55Sebagaimana sabda Nabi saw:

Artinya : Uqbah bin Amir berkata: Telah bersabda Rasulullah Saw: " maukah aku beritahukan kepadamu tentang kambing jantan yang di pinjam?"

54

Asrorun Ni'am Sholeh,Fatwa-fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, h. 36.

55

Muhammad Zuhaili, Almu‟tamad fi Fiqhi Asy Syafi‟IAkhwalus Syakhsiyah, h. 56.

56

Abi 'Abdillah Muhammad ibn Yazid ibn Majjah Qazwini, Sunan ibnu Majjah, (Libanon: Bait Al-Afkar ad-Daulah, 2004), h. 210.


(40)

Para sahabat menjawab: "Mau, hai Rasulullah. " Nabi bersabda: "yaitu Muhallil. Allah melaknat muhallil dan muhallal lah (HR. Ibnu Majah)

Menurut Imam Syafi'i pernikahan muhalli ini sama saja dengan mut'ah, sebab perkawinan muhallil disyaratkan sebagaimana pernikahan mut'ah disyaratkan. Seolah wali si perempuan itu berkata kepada calon suami itu:

kukawinkankan dan kunikahkan engkau dengan……dengan syarat setelah

engkau melakukan hubungan seksual dengan perempuan itu lalu engkau mencerainya, atau tidak ada lagi perkawinan antaramu dengan perempuan itu. Berarti terdapat pembatasan waktu dalam perkawinan karena perkawinan itu tidak sah. 57

Sedangkan menurut Imam Hanafi: Seorang lelaki yang menikahi seorang perempuan yang sudah cerai tiga kali, dengan maksud agar perempuan tersebut dapat dinikahi oleh bekas suaminya, ia akan mendapat pahala apabila tujuannya adalah mendamaikan bekas suami istri tersebut,tetapi pernikahn tersebut akan menjadi makruh kalau tujuanya hanyalah untuk memenuhi nafsu syahwat saja. Tetapi hukum pernikahan itu sah.58

Menurut Madzhab Maliki pernikahan muhallil yang dimaksud menghalalkan perempuan yang sudah ditalak tiga kali itu bisa dikawin oleh

57

Muhammad Zuhaili, Almu‟tamad fi Fiqhi Asy Syafi‟IAkhwalus Syakhsiyah, h. 56.

58


(41)

bekas suaminya yang menceraikan tiga kali itu hukumnya fasid, batil dan wajib menceraikan antara keduannya. Demikian pula apabila pernikahan itu disyaratkan untuk menghalalkan perempuan bekas suaminya, baik syarat itu dikemukakan sebelum akad atau ketika dalam akad pernikahan tersebut batal.59

Sedangkan menurut Imam Hambali: pernikahan muhallil adalah batal dan haram hukumnya yaitu ketika seorang wali menikahkan perempuan kepada seorang laki-laki dengan mengatakan: aku kawinkan anakku ….. sampai engkau lakukan hubungan seksual dengannya atau dengan syarat bila anakku itu telah engkau halalkan, tidak ada lagi ikatan perkawinan antara kamu dengan anakku itu atau engkau harus menceraikannya apabila terjadi hubungan seksual antara kamu dengan dia.60

4. Nikah Badal

Suatu pernikahan dengan tukar menukar istri misalnya seorang yang telah beristri menukarkan istrinya dengan istri orang lain dengan menambah sesuatu sesuai dengan kesepakatan dengan kedua belah pihak.61

5.Nikah Istibdlo'

59

Muhammad Zuhaili, Almu‟tamad fi Fiqhi Asy Syafi‟IAkhwalus Syakhsiyah, h. 57.

60

Muhammad Zuhaili, Almu‟tamad fi Fiqhi Asy Syafi‟IAkhwalus Syakhsiyah, h. 57-58.

61 http://www.scribd.pernikahan yang di larang dalam islam.com, Diambil dari Pernikahan yang di larang dalam islam.com, Pernikahan yang di larang, diakses pada tanggal 1 maret 2011.


(42)

Yakni suatu pernikahan dengan sifat sementara yang dilakukan oleh seorang wanita yang sudah bersuami dan laki-laki lain dengan tujuan untuk mendapatkan benih keturunan dari laki-laki tersebut, setelah diketahui jelas kehamilannya dari laki-laki lain tersebut maka diambil oleh suami yang pertama lagi.62

6. Nikah Righath

Yaitu suatu pernikahan yang dilakukan beberapa laki – laki secara bergantian menyetubuhi seorang wanita, setelah wanita tersebut hamil dan melahirkan maka wanita tersebut menunjuk satu diantara laki-laki yang turut menyetubuhinya untuk berlaku sebagai bapak dari anak yang dilahirkan kemudian antara keduannya berlaku kehidupan pernikahan sebagai suami istri.63

7. Nikah Baghaya.

Artinya pernikahan yang ditandai dengan adanya hubungan seksual antara beberapa wanita tuna susila dengan beberapa laki-laki tuna susila, setelah terjadi kehamilan diantara wanita tersebut maka dipanggilah seorang dokter untuk menentukan satu diantara laki-laki tersebut sebagai bapaknya

62

http://www.scribd.pernikahan yang di larang dalam islam.com, Diambil dari Pernikahan yang di larang dalam islam.com, Pernikahan yang di larang, diakses pada tanggal 1 maret 2011.

63

http://www.scribd.pernikahan yang di larang dalam islam.com, Diambil dari Pernikahan yang di larang dalam islam.com, Pernikahan yang di larang, diakses pada tanggal 1 maret 2011.


(43)

berdasarkan tingkat kemiripan antara anak dengan laki-laki yang menghamili ibu dari anak yang lahir.64

BAB III

POTRET NAGARI JAWI-JAWI SUMATERA BARAT 1. Sejarah singkat wilayah

a. Asal usul Nagari Jawi-jawi

Menurut pepatah adat istiadat sejarah Minangkabau mengatakan: Biriek-biriek turun kasasak

Dari sasak kalalapan Dari niniek turun kamamak Dari mamak turun kakamanakan65

Waris nan ditarimo Pusako Nan Dijawek, adalah awal asal usulnya nagari Jawi-jawi Guguak adalah dari kata Jawi (sapi) yang di ulang. Menurut keterangan yang diperoleh kira-kira pada tahun 1813 ada seekor Jawi Jantan (sapi betina untuk bapak jawi) tempat Jawi tersebut bernama Kurungan Di Tabu dalam daerah kota madya Solok Sekarang.66

Pada suatu hari sengaja Jawi itu di lepaskan oleh pemerintah Belanda dengan tujuan Jawi yang didusun-dusun dapat berkembang biak dan lebih besar dari biasa, maka sampailah Jawi ini kenagari Jawi-jawi melalui Nagari Selayo.

64

http://www.scribd.pernikahan yang di larang dalam islam.com, Diambil dari Pernikahan yang di larang dalam islam.com, Pernikahan yang di larang, diakses pada tanggal 1 maret 2011.

65

Kantor Wali Nagari Jawi-jawi, Dokumentasi Nagari, 2 april 2011.

66


(44)

Gantung Ciri dengan menyusuri Pinggir Sungai Batang sumani. Jawi yang jantan ini karena besarnya luar biasa dari Jawi yang dipunyai masyarakat pada waktu itu yang dinamai dengan Jawi Orok. 67

Tempat Jawi Orok ini dinamai dengan Kandang karena ditempat itu Jawi tersebut direndam letaknya di Kepala Nagari Jawi-jawi tersebut karena haus pergi meminum air (Manasok) disebuah sungai tampaklah oleh beberapa orang dari bawah pohon Kubang, tempat ini sampai sekarang disebut kubang Paninjauan letaknya dalam Nagari Koto Gaek.68

Orang yang menampak itu menunut ke arah Jawi manasok tersebut dengan kata Jawi-Jawi maka sungai itu langsung dinamai dengan Batang Jawi-jawi. Semenjak itulah nagari ini dinamakan dengan Jawi-jawi dan sebelum itu Jawi-jawi ini bernama Kurai (semasih menjadi koto).69

b. Jumlah suku

Sebelum menjadi nagari atau masih koto suku yang ada Cuma 2 yaitu suku Melayu dan Caniago, kemudian untuk memenuhi syarat menjadi Nagari yaitu Nagari nan 4 suku, suku nan babuah paruik, sekaligus untuk memudahkan Perkawinan, maka di pecahlahsuku caniago menjadi tiga bagian yaitu:

Supanjang dan sinapa dari pemecahan Suku Caniago ini terjadilah 4 suku

67

Kantor Wali Nagari Jawi-jawi, Dokumentasi Nagari, 2 april 2011.

68

Kantor Wali Nagari Jawi-jawi, Dokumentasi Nagari, 2 april 2011.

69


(45)

dinagari Jawi-jawi yang di pimpin oleh Ninik Mamak nan Ampek Jinih di masing-masing suku yang dibantu oleh suku nan Babuah Paruik.70

DAFTAR GELAR NINIK MAMAK NAN AMPEK JINIH SEBAGAI PIMPINAN SUKU DI NAGARI JAWI-JAWI:

1. Suku Melayu

Gelar Penghulunya : Dt. Rj Nan Putih

Gelar Malinya : Dt. Marajo

Gelar Mantinya : Malin Suleman

Gelar Dubalangnya : Dt. Rajo diulu

2. Suku Caniago

Gelar Penghulunya : Dt. Sati

Gelar Malinya : Malin Batuah

Gelar Mantinya : Dt. Rj. Gamuyang

Gelar Dubalangnya : Pasak Nagari

3. Suku Supanjang

Gelar Penghulunya : Dt. Rj. Alam

Gelar Malinya : Malin Mangkuto

Gelar Mantinya : Dt. Rj. Managangan

Gelar Dubalangnya : Nago Basa

4. Suku Sinapa

Gelar Penghulunya : Dt. Sampono Kayo

70


(46)

Gelar Malinya : Malin Marajo

Gelar Mantinya : Dt. Rajo nan Gadang

Gelar Dubalangnya : Dt Matuh

2. Geografis dan Luas wilayah

Nagari jawi-jawi merupakan sebuah desa yang terletak di kecamatan Gunung Talang kabupaten Solok Sumatera Barat.

Mengenai demografis Nagari Jawi-Jawi, bahwa Kelurahan ini memiliki luas wilayah 24.00 Ha. Menganai batas-batas wilayah, jika disesuaikan dengan arah mata angin bahwa Kelurahan Jawi-jawi benrbatasan dengan:71

 Sebelah Utara : Nagari Cupak/Gantung Ciri

 Sebelah Selatan : Nagari Koto Gadang Guguk

 Sebelah Barat : Nagari Hutan Rimba Padang

 Sebelah Timur : Nagari Talang

Jumlah penduduk berdasarkan data yang peneliti ambil dari kantor Wali Nagari Jawi-Jawi adalah sebagai berikut:72

Table 1

Jumlah penduduk Nagari Jawi-jawi

71

Kantor Wali Nagari Jawi-jawi, Dokumentasi Nagari, 2 April 2011.

72


(47)

No. Kependudukan Jumlah

1. Laki-laki 1510

2. Perempuan 1570

Jumlah 3080

Sumber: Dari Kantor Wali Nagari Jawi-jawi

Berdasarkan hasil penelitian penulis dengan kepala nagari perekonomian penduduk nagarai jawi-jawi berada dalam tingakatan menengah kebawah, sehingga banyak masyarakatnya yang mengalami putus sekolah, mayoritas pekerjaan penduduk adalah sebagai petani, buruh tani, pedagang, peternak, dan tukang kayu. Kondisi yang seperti ini berpengaruh pada perkembangan sosial budaya. 73

3. Agama dan Pendidikan Masyarakat

Secara faktual kehidupan agama dikecamatan di Nagari Jawi-jawi berjalan dengan lancar. Hal ini dapat di perhatikan dalam realita kehidupan masyarakat yang aman, damai, dan sejahtera. Dalam masalah agama didaerah ini adalah mayoritas beragama Islam, sedangkan yang agam lain tidak ada.

Masyarakat Jawi-jawi termasuk penganut agama yang taat, hal ini dapat dilihat bahwa hamper setiap kampong atau nagari mempunyai masjid dan mushalla yang dijadikan sebagi tempat ibadah dan upacara keagamaan lainnya.

73


(48)

Masjid dan mushola juga berfungsi sebagai tempat pertemuan dan musyawarah membicarakan perbaikan kampong setempat. jumlah masjid dan mushalla di nagari jawi-jawi dapat dilihat pada table berikut:74

Tabel 2

Jumlah Masjid dan Mushalla di Nagari Jawi-jawi

No. Tempat Ibadah Jumlah

1. Masjid 4

2. Mushola 10

Sumber: Dari Kantor Wali Nagari Jawi-jawi

Pendidikan mempunyai peran yang sangat penting bagi Bangsa dan merupakan sarana untuk meningkatkan kecerdasan dan keterampilan manusia. Untuk mempersiapkan sumber daya manusia yang berkualitas, maka pendidikan merupakan factor yang sangat penting untuk ditingkatkan, baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat secara keseluruhan. Sarana pendidikan yang tersedia di daerah ini adalah dapat dilihat dari table di bawah ini:75

Table 2

Jumlah sarana pendidikan di Nagari Jawi-jawi

No. Sekolah Jumlah

1. PAUD 4

2. TK 1

74

Kantor Wali Nagari Jawi-jawi, Dokumentasi Nagari, 2 april 2011.

75


(49)

3. SD 3

Sumber: Dari Kantor Wali Nagari Jawi-jawi

Table 3

Jumlah pendidikan masyarakat Jawi-jawi

No. Tingkat Pendidikan Jumlah

1. Tidak Tamat SD 388

2. Tamat SD 1415

3. SLTP 534

4. SLTA 661

5. Diploma/Sarjana 82

Sumber: Dari Kantor Wali Nagari Jawi-jawi

4. Sosial Budaya dan Adat Istiadat a. Sosial Budaya

Semenjak agama Islam diterima di Minangkabau khusunya di kelurahan Nagari Jawi-jawi, banyak hal-hal yang berdasarkan ajaran Islam dilakasanakan. Surau yang semula tempat berkumpul dan tempat bermalam anak-anak muda suku, berubah menjadi tempat pengajian. Dalam pergulan hidup sehari-hari, aktivitas kehidupan masyarakat dipraktekkan sesuai dengan tata nilai dan norma yang berlaku, baik norma adat maupun norma agama. Walaupun diketahui, bahwa masyarakat Nagari Jawi-jawi merupakan masyarakat yang


(50)

mayoritas Bergama Islam, namun kedua norma tersebut tertap dijalani secara bersamaan.76

b. Adat Istiadat

Adat istiadat masyarakat Jawi-jawi juga terkat dengan aturan-aturan adat merek yang mewarisi dari nenek moyang dahulu. Adat atau hokum adat yang mereka warisi dari nenek moyang dahulu. Adat atau hokum merupakan suatu hokum atau horman yang tidak terkodivikasi (tidak tertulis), disampaikan secara lisan, turun temurun dan tetap di akui serta ditaati oleh masyarakat.77

Dalam hal penyelesaian persoalan dan perkara yang terjadi tersebut, prinsip musyawarah untuk mufakat tetap didepankan, merek tidak dibenarkan seenaknya saja mengambil tindakan atau keputusan suatu permasalahan antara satu suku dengan suku lainnya, tanpa mengedapankan aza musyawarah. Sehingga, dalam masyarakat adat Nagari Jawi-jawi jarang ditemukan terkadinya perkelahian atau pertengkaran.78

76

Kantor Wali Nagari Jawi-jawi, Dokumentasi Nagari, 2 April 2011.

77

Kantor Wali Nagari Jawi-jawi, Dokumentasi Nagari, 2 April 2011.

78


(51)

BAB IV

PERKAWINAN SATU SUKU A. Pengertian Perkawinan Satu Suku

Kata suku berasal dari bahasa Sanskerta, artinya "kaki", satu kaki berarti seperempat dari satu kesatuan. Pada mulanya negeri mempunyai empat suku "nagari nan ampek suku". Nama-nama suku yang pertama ialah Bodi, Caniago, Koto, Piliang.79 Satu suku artinya semua keturunan dari niniak kebawah yang dihitung menurut garis ibu. Semua keturunan niniak ini disebut "sepesusuan" atau "sasuku". Kelompok sepesukuan ini di keplai oleh seorang penghulu suku.80

Dasar kehidupan orang Minang adalah hidup berkelompok, bukan individual. pembentukan kelompok sesuai dengan garis keturunan ibu, yang

79

http://www.cimbuak.com, Budaya Alam Minangkabau, diakses pada tanggal 11 Desember 2010.

80

Amir M.S, Adat Minangkabau Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang, (Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 2001), h. 62.


(52)

lazim di kenal dengan sistem kekerabatan matrilineal. Kelompok yang terkecil adalah "suku serumpun". Anggota kelompok suku serumpun ini disebut berdunsanak sehulu semuara. Artinya, berdunsanak (bersaudara karena satu keturunan dari sejak dulu kala sampai akhir zaman.81

Dalam kelompok suku serumpun ini berlaku ketentuan adat" suku nan indak bias di anjak, malu nan indak dapek di bagi (sehina semalu). Ketentuan adat Minang menetapkan bahwa orang Minang dilarang kawin dengan orang dari suku serumpun, sedangkan suku serumpun dimaksud adalah serumpun menurut garis keturunan matrilineal. Ketentuan itu disebut dengan istilah "eksogami matrilokal" atau "eksogami matrilineal.82

Mengenai adat istiadat, minangkabau adalah nama satu bangsa, nama satu kebudayaan sebagai hasil karya, cipta, karsaya, daya, dan upaya suku bangsa itu bernama Minangkabau. Bagi masyarakat minangkabau dinamakan "ADAT ISTIADAT MINANGKABAU" yang dianutnya semenjak berabad-abad yang lampau sebagai ciptaan nenek moyang mereka yakni dua tokoh legenderis Datuak Perpatih Nan Sabatang dan Datuak Katumanggungan.83

Berbicara tentang adat Minangkbau, menggali dan mempelajari dan berbicara tentang salah satu ke Bhinekaan dari kebudayaan nasional yang BERBHINNEKA TUNGGAL IKA, sesuai dengan maksud yang trkandung

81

Amir M.S, Adat Minangkabau Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang, h. 62.

82

Amir M.S, Adat Minangkabau Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang, h. 63.

83


(53)

dalam pasal 32 UUD 45, yang berbunyi: kebudayaan bangsa ialah kebudayaan yang timbul sebagai usah budi daya rakyat Indonesia seluruhnya. Kebudayaan di daerah-daerah diselruh Indonesia terhitung sebagai kebudaan bangsa.84

Adat Minangkabau sebagai salah satu bagian dari kebudayaan nasional diwarisi dari nenek moyang dahulunya bukanlah merupakan pengetahuan sosial lainnya didunia. Adat Minangkabau diterima secara turun temurun dari mulut kemulut, dimana seluruh kalimat-kalimat mengandung pengertian yang idak langsung.85

Adat Minangkabau sifatnya terbuka dan tertutup, terbuka untuk menerima bagi kepribadian dan kebudayaan bangsa yang tertutup bagi masuknya nlai-nilai asing yang bertentangan dengan nlai-nilai kepribadian bangsa.86

Prisnsip kekerabatan di Minangkabaua

Kelompok kekerabatan di Minangkabau ada tiga:

1. Paruik: kekerabatan yang terbentuk karena hubungan keturunan atau kesatuan geologis. Adapun suku dank am pung merupakan suku yang formal akibat pengembangan dan kesatuan geologis dari pihak ibu. Suku di pimpin oleh seorang penghulu suku, sedangkan kampuang (sub-sub suku) dimpimpin oleh seorang adiko atau datuak kampuang.

84

Amir M.S, Adat Minangkabau Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang, h. 64.

85

Amir M.S, Adat Minangkabau Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang, h. 64.

86


(54)

2. Urang sumando: adalah sebutan dari kerabat perempuan laki-laki yang mengawini perempuan itu. Kaum kerabat istri yang laki-laki dinamakan niniak mamak. Kaum kerabat perempuan dari pengantin laki-laki disebut Pasumandan.

3. Bako (induak bako): merupakan sebutan dari kaum kerabat ayahnya bagi seorang anak Minangkabau. Sebaliknya, si anak tadi oleh kaum kerabat ayahnya dinamakan Pisang.87

Adat Minangkabau ada empat perkara:

1. Adat nan sabana adat (adat yang sebenar adat)

Maksudnya adalah: segala apa-apa hikmah yang diterima Nabi Muhammad Saw. berdasarkan firman-firman Tuhan dalam kitab suciNYa.88 Menurut Dt . Bandaro Lubuk Sati adat nan sabana adat adalah suatu yang tidak dapat di pengaruhi tempat, waktu dan keadaan, ibarat batu sifatnya selalu keras, api yang selalu membakar walau di mana dan kapan waktunya.89

2. Adat nan di adatkan (adat yang di adatkan)

Maksudnya: adat yang diterima dari ninik Datuk Katumanggungan dan Datik Perpatih nan Sabatang adat yang diadatkan disusun berdasarkan Adat

87

Artikel, Sumatera Barat (Minangkabau)

88

Dirajo, Ibrahim Dt. Sanggoeno, Tambo Alam Minangkabau, (Bukitttinggi:Kristal Multimedia, 2009), h. 142

89

Sati, Dt Bandaro Lubuk, Kertaskerja adat Minangkabau, (Padang Panjang:t.p, 1980), h. 56.


(55)

yang sebenar adat yang didukung dengan kesepakatan para pemuka adat lainnya pada waktu itu.

Dengan demikian, pada zaman sekarang adat yang di adatkan itu arus diterima oleh seluruh generasi karena tidak mungkin diubah lagi, sebab para nenek moyang yang menyusun dan yang berhak mengubahnya tidak ada lagi.90 3. Adat nan taradat (adat yang teradat) adat dan adat yang di adatkan.

Adat yang teradat tersebut tidak bole bertentangan dengan adat yang sebenar bakan adat yang teradat arus memperkuat adat yang diatasnya. Adat yg teradat ini juga tidak boleh diubah. Kalau memang perlu diubah , maka ninik mamak/penghulu dalam nagari harus ber,usyawarah terlebih dahulu. Tidak boleh diputuskan sendiri sekalipun dia seorang pengulu yang dulunya ikut menyepakati adat itu. Kalau ada kesepakatan, baru adat yang teradat itu dapat diubah.

4. Adat istiadat

Yaitu suatu yang telah dilazimkan dalam suatu nagari sebagai tindak lanjut dari adat nan diadatkan telah mendarah daging telah diterima kebiasaan itu sebagaimana adanya seperti berbasa basi.91

Sistem Perkawinan di Minangkabau ada tiga bentuk yaitu pertama perkawinan dilarang ini memeberi arti bahwa perkawinan apa saja yang

90

Dirajo, Ibrahim Dt. Sanggoeno, Tambo Alam Minangkabau, h. 144

91


(56)

dilarang oleh agama, maka adat juga sepakat dan mengikuti apa yang menjadi larangan dalam adat.

Kedua pantangan hal ini dimaksudkan dengan perkawinan pantangan yang merupakan perkawinan yang setali darah menurut system matrilineal seperti perkawinan satu suku.

Ketiga sumbang yaitu perkawinan yang dilarang secara tegas oleh hukum adat, tetapi kurang baik menurut etika orang minang seperti mengawini dengan dua orang saudara (bukan saudara kandung/sedarah) atau kawin dengan orang yang bertetangga.92

B. Latar belakang larangan perkawinan satu suku

Menurut adat Nagari Jawi-jawi, faktor penyebab larangan perkawinan satu suku ada beberapa faktor penyebabnnya, menurut H. Rusli ketika penulis wawancarai, dilatar belakangi oleh beberapa faktor sebagai berikut:

1. Orang yang satu suku di anggap masih terikat tali persaudaraan dengan demikian perkawinan antara satu suku di anggap sebagai suatu yang tabu. 2. Karena faktor kultur yang turun temurun dari zaman dahulu sampai

sekarang, sehingga masyarakat apabila orang tua tua mereka melarang, maka hal itu mereka anggap haram atau tidak boleh dikerjakan khususnya perkawinan satu suku.93

92

Artikel, Adat dan upacara Perkawinan daerah Sumatera Barat, h. 22.

93


(57)

Adat Minangkabau lain dari yang lain, syarak basandi kitabullah, syarak mangato adat mamakai, mkasudnya adalah agama tidak bertentangan dengan adat.

Di Minangkabau punya kekeluargaan yang banyak dan sangkut paut yang tinggi sepertituturan kata adat bahwa diminangkabau itu:

Baradiek bakakak Bakamanakan bamamak

Babako jo babaki Ba andan bapasumandan

Bakarik jo babaik Baurang-urang sumando94

Maksudnya adalah bahwa di Minangkabau satu suku di anggap berkeluarga menurut adat bahwa satu suku tidak diperbolehkan melakukan akad nikah/kawin karena dianggap melanggar adat. Bak pepatah: Manjarajak dilua silang (berbuat diluar peraturan), mamahek dilua barih (melanggar dari yang telah disepakati).95

Sejalan dengan itu, H. Syamsijar Dt. Matuh menyebutkan, penyebab terjadinya perkawinan satu suku maka keduanya dibuang menurut sepanjang

94

Rusli, Ulama Kota Solok. Wawancara, anam suku, 13 Februari 2011

95


(58)

adat. Apabila terjadi perkawinan sesuku maka dia dan keluarganya tidak dihargai lagi oleh masyarakat menurut hukum masyarakat.96

Hal yang demikian telah disepakati oleh leluhur pendahulu bak pepatah adat:sapakek mamkonyo lalu, sakato makonyo manjadi. Karna di Minangkabau:

Biriek-biriek turun kasamak Dari samak kahalaman Dari niniek turun ka mamak Dari mamak turun kakamanakan97

Maksudnya adalah: karna di mianangkabau sako dan pusako turun ka kamanakan bukan ka anak.98

Kemudian Ridwan Husein mengatakan larar belakang dilarangnya perkawinan satu suku adalah karna sesuku itu di anggap masih bersaudara dan di anggap masih satu datuak/penghulu disebut dengan saparuik. Seedangkan mereka yang berasal dari luar Minangkabau yang kemudian bergabung menjadi anggota suku dalam istilah Minangkabau disebut dengan Malakok (proses pemasukan/pembauran pendatang baru ke dalam struktur pasukuan), dengan

96

Syamsijar Dt. Matuh, Dubalang suku Sinapa, wawancara, Nagari Jawi-jawi Guguak, 13 Februari 2011.

97

Syamsijar Dt. Matuh, Dubalang suku Sinapa, wawancara, Nagari Jawi-jawi Guguak, 13 Februari 2011.

98

Syamsijar Dt. Matuh, Dubalang suku Sinapa, wawancara, Nagari Jawi-jawi Guguak, 13 Februari 2011.


(59)

membayar semacam upeti adat dalam bentuk uang, barang, dan hewan (kerbau), tidak dilarang melakukan hubungan perkawinan dengan anggota sukunya yang baru disebabkan mereka bukan berasal dari sumber geologis (hubungan darah) yang sama.99

C. Sanksi adat perkawinan satu suku

Pada umumnya orang Minang adalah exosagami. Ini berarti bahwa orang yang sesuku didalam suatu nagari tidak boleh kawin. Dengan demikian orang yang bersuku koto tidak akan kawin dengan suku koto tapi harus kawin dengan suku lainnya misalnya Caniago.

Orang Minang yang beragama Islam juga mematuhi ajaran Islam tentang perkawinan. Karena itu perkawinan antara seorang lelaki dengan saudara laki-laki ayahnya yang perempuan tidak boleh terjadi karena menurut Islam orang tersebut bersaudara.100

Sanksi-saksi adat bagi pelanggar nikah sesuku adalah: minta maaf, kumuah basasah, dibuang sepanjang adat dan dibuang di nagari menurut sepanjang adat. Maksdunya dari sanksi-sanksi adat tersebut seperti dalam pasal 4 yakni:

99

Ridwan Husein, Mantan Kepsek Mts.Muhammadiyah Saning Bakar, Wawancara, Saning Bakar, 17 Februari 2011.

100

Ridwan Husein, Mantan Kepsek Mts.Muhammadiyah Saning Bakar, Wawancara, Saning Bakar, 17 Februari 2011.


(60)

1. Minta maaf artinya setelah terbukti tersangka melanggar ketentuan-ketentuan adat yang berlaku, maka dianya diberi sanksi menurut adat, harus minta maaf dan berjanji tidak akan melakukan untuk kedua kalinya (peringatan)

2. Ba abu bajantiak (berabu dijentik) artinya setelah diperikasa terbukti tersangka melanggar ketentuan-ketentuan adat yang berlaku maka harus melakukan

3. Dibuang sepanjang adat artinya setelah diusul dan diperiksa terbukti melanggar adat maka tersangka dibuang sepanjang adat. Dapat diterima kembali menurut adat, setelah si tersangka dapat memenuhi keputusan rapat ninik mamak nan 50 dikoto.

4. Dibuang dinagari menurut sepanjang adat, artinya setelah diusul dan diperiksa tersangka terbukti telah melakukan yang menyebabkan hilangnya nyawa seseorang atau cacatnya seseorang, hilang/rusaknya kehormatan seseorang, maka tersangka dibuang dinagari menurut sepanjang adat.101

Lelaki dan perempuan yang tidak mempunyai maksud tertentu, yang tidak menurut alur dan patut tidak boleh bertandang sampai larut malam, kecuali tamu dari jauh (dilaporkan kepada mamak/kepala rumah tangga yang bertanggung jawab), atau muda mudi berjalan berduaan diwaktu malam hari

101

Azmi Djamarin dan Yardi Gond, Perbuatan dan Sanksi Adat yang masih hidup dalam Hukum Adat Minangkabau, (Padang: 1982), h. 45-46.


(61)

tanpa didampingi oleh teman wanita atau orang yang ditunjuk untuk itu sekurang-kurangnya 2 orang.102

Bertolak dari penemuan ini terlihat bahwa dalam satu nagari masih mempertahankan ketentuan-ketentuan pidana adat yang masih melaksanakan sanksi tersebut.103

D. Analisa hukum Islam terhadap perkawinan satu suku

Sumber dasar adat Minangkabau adalah Alam Takambang jadi guru. Pepatah dan petitih maupun gurindam dan mamang, bidal yang merupakan pokok-pokok dalam ajaran adat seperti "kata mufakat" yang menjadi tempat bertolak belakang setiap usaha untuk mencapai suatu yang baik dalam terlaksananya aturan adat demi tercapainya kebahagiaan dalam masyarakat.104

Falsafah hidup orang Minangkabau adalah Adat Basandi Syarak, Syarak basandi Kitabullah. Artinya, hukum-hukum yang ditetapkan oleh syara' dan adat harus sejalan. Seandainya hukum Islam bertentangan dengan hukum adat, maka hukum agama harus didahulukan, artinya hukum agamalah yang akhirnya harus dijadikan titik tolak.

102

Azmi Djamarin dan Yardi Gond, Perbuatan dan Sanksi Adat yang masih hidup dalam Hukum Adat Minangkabau, h. 48.

103

Azmi Djamarin dan Yardi Gond, Perbuatan dan Sanksi Adat yang masih hidup dalam Hukum Adat Minangkabau, h. 48.

104

Idrus Hakim Dt. Rajo Penghulu, RangkaianMustika Adat Basandi Syarak di Minangkabau, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1994), h. 5.


(62)

Jadi, mengenai perkawinan satu suku di Minangkabau ternyata sama sekali adat dan agama tidak ada pertentangan, bahkan adat dan agama sejalan memberikan larangan terhadap perkawinan satu suku.

Orang Minang sangat memperhatikan asal usul keturunannya. Dalam pemilihan jodoh misalnya orang Minang akan selalu menanyakan nama suku seseorang, dimana kampuang halamannya, siapa mamaknya, apa gelar pusakanya, atau nama penghulunya.

Hal ini dianggap penting karena dihubungkan pula dengan martabat dirinya (sementara dalam islam, kemuliaan seseorang itu, atau martabat seseorang itu dinilai dari ketaqwaannya, inna akramakum indallahi atqaakum). Adanya ketentuan perkawinan adat Minang yang bersifat Eksogami, maka peranan asal usul ini terutama ketentuan tentang suku sangat penting. Dalam system perkawinan eksogami, perkawinan antara pria dan wanita dalam satu nagari hanya boleh dilakukan antara suku yang berbeda.

Perkawinan dalam suku yang serumpun dilarang atau tabu, karena dianggap perkawinan endogami yang tidak lazim di Minangkabau. Pelanggaran terhadap ketentuan ini, dapat dianggap perbuatan sumbang.Perbuatan sumbang akan dikenakan hukum adat, yakni dibuang sepanjang adat. Dikucilkan dari kehidupan masyarakat sehari-hari, bahkan bias diusir dari kampung halamannya.105

105

http://yisriakbar.blogspot.com/2010/03/hukum-adat-minag-kabau.html, di ambil dari Majlis Study Islam Dan kemahasiswaan (MSIK), diakses pada Tanggal 2 maret 2011.


(63)

Dari pendapat yang peneliti wawancarai di atas tentang latar belakang, maka penulis menyimpulkan alasan utama adat yang tidak membolehkan melangsungkan perkwinan satu suku adalah:

1. Karena yang satu suku di anggap masih terikat persaudaraan. Dengan demikian maka perkawinan satu suku itu adalah suatu hal yang tabu. 2. Akibat dari perkawinan satu suku itu bisa menyebabkan lemahnya

keturunan suami istri karena masih ada hubungan kekerabatan.

3. Alasan adat melarang perkawinan satu suku ini adalah karena faktor kultur yang turun temurun dari zaman dahulu sampai sekarang, sehingga masyarakat berpandangan, apabila ada orang tua-tua melarang, maka hal itu di anggap tabu dan tidak boleh dikerjakan.

Alasan yang digunakan oleh adat, pada dasarnya sama dengan yang dikemukakan oleh hukum Islam, antara lain:

Menurut atsar, salah satu rujukan mengajukan melangsungkan perkawinan dengan kerabat jauh adalah apa yang telah diriwayatkan oleh Ibrahim al-Harbi dalam kitab Gharibul Hadist bahwa Umar bin Khatab berkata kepada As-Sa'bi: kawinlah kamu dengan orang lain (bukan kerabat yang dekat) jangan kamu lemahkan keturunanmu.106

106


(64)

Maksud atsar ini adalah jangan kamu kawin kerabat dekat, karena jika melangsungkan perkawinan dengan kerabat dekat, keturunan akan menjadi lemah.

Kemudian menurut Fuqaha, Menurut Said Al-Bakhri bin said Muhammad Syatho Addimyathi al-Misri dalam Hasyi'ah I'natul Thalibin menjleaskan bahwa: menikahi wanita kerabat yang jauh hubungan nasabnya dari laki-laki itu lebih aula dari kerabat dekat, karena perkawinan dengan kerabat dekat dapat menyebabkan keturunan lemah. Yang di maksud kerabat dekat itu adalah bintul 'ammi (anak perempuan dari anak laki-laki bapak), bintul khali (anak perempuan dari saudara laki-laki ibu), bintul 'ammati (anak perempuan dari saudara perempuan bapak), bintul khalati ( anak perempuan dari saudara ibu). Kemudiaan kerabat yang jauh itu maksudnya bintul ibni 'ammi anak perempuan dari anak saudara laki-laki bapak), bintul ini khali (anak perempuan dari anak saudara laki-laki ibu), bintu ibnil 'ammati anak perempuan dari anak saudara perempuan bapak), bintu ibnil khalati (anak perempuan dari anak saudara perempuan ibu).107

Sebagian fuqaha berpendapat bahwa sesungguhnya syahwat itu lemah diantara kerabat. Oleh karena itu, mereka memakruhkan kawin bintul 'ammi (anak perempua dari anak laki-laki bapak), bintul khali (anak perempuan dari anak saudara laki-laki ibu), bintu ibnil 'ammati anak perempuan dari anak

107

Sayyid Al-Bakhri bin said Muhammad Syatho Addimyathi al-Misri dalam Hasyi'ah I'natul Thalibin, (Singapura: Dar al-Thiba'ah al-Misriyah, t.t) juz 3, h. 270-271.


(65)

saudara perempuan bapak), bintu ibnil khalati (anak perempuan dari anak saudara perempuan ibu).108

Ketentuan tentang perkawinan dalam Islam telah dibahas secara rinci mulai dari pengertian wanita dan perkawinan yang diharamkan dalam Islam. Di dalam masyarakat , mereka mempunyai aturan dan adat istiadat sendiri yang berbeda dengan perkawinan masyarakat pada umumnya dan perbedaan itu cenderung menimbulkan pertentangan di kalangan ulama dan penghulu adat dalam hal kebolehan atau ketidak bolehan perkawinan ini. Ada 3 sistem perkawinan adat, Exogami, Endogami dan Eleutropogami. Masyarakat Minangkabau termasuk ke dalam Exogami yaitu seorang pria dilarang menikah dengan wanita yang semarga atau sesuku dengannya. Ia harus menikahi seorang wanita di luar marganya. Larangan perkawinan antara laki-laki dan perempuan yang sesuku tidaklah terdapat dalam Islam, Islam tidak pernah melarang kawin berdasarkan suku baik al-Quran maupun Hadis yang garis keturunan dari ibu sebagai faktor untuk tidak melangsungkan perkawinan. Karena masalah pelaksanaan dan segala persoalan yang berhubungan dengan perkawinan sesuku tidak diatur dalam Al-Quran maupun Hadist, maka penyelesainannya adalah

108


(66)

melihat maslahat dan mudhorat sebagai kategori adat yang ada dalam masyarakat Minangkabau.109

BAB V A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan pada bab sebelumnya, maka penulis memberikan kesimpulan yang berhubungan dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian skripsi ini. Adapun kesimpulannya adalah:

109

http://digilib.uin-suka.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=digilib-uinsuka--yushadenin-2248, diambil dari Perpustakaan Digital UIN Sunan Kalijaga, diakses pada tanggal 1 Maret 2011.


(67)

1. Di Minangkabau kawin satu suku itu di larang oleh adat dan di anggap masih terikat tali persaudaraan dengan demikian perkawinan antara satu suku di anggap sebagai suatu yang tabu.

2. Sanksi-saksi adat bagi pelanggar nikah sesuku adalah: minta maaf, kumuah basasah, dibuang sepanjang adat dan dibuang di nagari menurut sepanjang adat.

3. Falsafah hidup orang Minangkabau adalah Adat Basandi Syarak, Syarak basandi Kitabullah. Artinya, hukum-hukum yang ditetapkan oleh syara' dan adat harus sejalan.

Seandainya hukum Islam bertentangan dengan hukum adat, maka hukum agama harus didahulukan, artinya hukum agamalah yang akhirnya harus dijadikan titik tolak

Jadi, mengenai perkawinan satu suku di Minangkabau ternyata sama sekali adat dan agama tidak ada pertentangan, bahkan adat dan agama sejalan memberikan larangan terhadap perkawinan satu suku.

B. Saran

1. Walaupun dalam Al-Qu'an dan Hadist tidak terdapat larangan kawin satu suku, namun aturan adat layak di ikuti selama kandungan maslahatnya besar. Maka penulis sangat menekankan untuk tidak melakukan perkawinan satu suku, karena kita hidup bermasyarakat, dan mempunyai aturan-aturan adat yang telah di buat oleh nenek moyang terdahulu.


(68)

2. Diharapkan kepada lembaga-lembaga hukum Negara untuk membicarakan hal ini secara ketat dan serius, bisa lewat seminar, penyuluhan atau pemerintah membuat kurikulum tentang pembelajaran khusus tentang perkawinan di Minangkabau untuk di pelajari oleh anak-anak sekolah sehingga mereka bisa mengetahui bagaimana aturan adat Minangkabau yang harus di jalankan dan ditinggalkan.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Bukhari, Imam Hafidz Abi abdillah Muhammad Ibn Ismail. Shahih Bukhari, (Riadh: Baitul Afkar Addauliyah, 1998.

Al-Jazili, Abd ar-Rahman. Kitab al-Fiqh „ala al-Mazahib Al- ‟Arba„ah. jilid IV.

Al-Jurjawi, Ali Ahmad. Hikmah Al- Tasyri wa Wafalsafatuh (Falsafah dan Hukmah Hukum Islam). Penerjemah: Hadi Mulyo dan Sobahus Suhur. Semarang: CV. Asy-Syifa.


(69)

Al-Misri, Sayyid Al-Bakhri bin said Muhammad Syatho Addimyathi. Hasyi'ah I'natul Thalibin. Singapura: Dar al-Thiba'ah al-Misriyah juz 3.

Al-Qasyini, Muhammad Jalaluddin. Mau „Izatul Mukminim Terjemahan. Annawawi, Imam Muhyiddin. Shahih Muslim, Beirut: Darul Ma'rifah, 2007. Artikel, Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Sumatera Barat.

Artikel, Sumatera Barat (Minangkabau).

Artikel, The London Institute of Communication, Executive Marketing.

Ayyup, Syaihk Hasan. Fikh Keluarga Panduan Membangun Keluarga Sakinah sesuai Syariat, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2003.

Bandaro, Darwis Thaib glr. Dt. Sidi, Seluk Beluk Adat Minangkabau, N.V. Nusantara Bukittinggi -Djakarta

Drajat, Zakiah. Ilmu Fiqh jilid II, Yogyakarta: Dana Bhakti Waqaf, 2003.

Dep. Dikbud. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: balai Pustaka, 1994, cet.ke-3. Edisi kedua.

Farihah, Ipah. Buku Panduan Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006.

Ghazaly, Abd.Rahman. Fikh Munakahat. Jakarta: Kencana, 2003.

Gond, Azmi Djamarin dan Yardi. Perbuatan dan Sanksi Adat yang masih hidup dalam Hukum Adat Minangkabau, Padang: 1982.

Husein, Ridwan. Mantan Kepsek Mts. Muhammadiyah Saning Bakar, Wawancara, Saning Bakar, 17 Februari 2011

http://digilib.uin-suka.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=digilib-uinsuka--yushadenin-2248, diambil dari perpustakaan Digital UIN Sunan Kalijaga, pada tanggal 1 Maret 2011.

http://www.scribd.islam.com. pernikahan yang di larang dalam islam.com Diambil dari Pernikahan yang di larang, diakses pada tanggal 1 maret 2011.


(1)

WAWANCARA

Nama : H. Rusli

Jabatan : Ulama Besar Kota Solok

Tanggal : 13 Februari 2011

Pertanyaan : Apa alasan yang mendasari larangan perkawinan satu suku dalam masyarakat adat Minangkabau?


(2)

64

Jawaban : Satu suku di anggap berkeluarga menurut adat bahwa satu suku tidak diperbolehkan melakukan akad nikah/kawin karena dianggap melanggar adat. Bak pepatah: Manjarajak dilua silang (berbuat diluar peraturan), mamahek dilua barih (melanggar dari yang telah disepakati).

Pertanyaan : Dalam bentuk apa saja sanksi adat terhadap pelanggaran ketentua perkawinan satu suku di Minangkabau?

Jawaban : Saksinya adalah di usir dari kampung halaman dan dikucilkan oleh

masyarakat.

Pertanyaan : Pandangan hukum Islam terhadap pelanggaran perkawinan satu suku dalam masyarakat adat Minangkabau?

Jawaban : Adat Minangkabau adalah sejalan dengan agama, jadi peraturan yang di buat oleh adat tidak akan bertentangan dengan adat, peraturan apa yang di buat oleh agama maka adat juga akan melaksanankan aturan-aturan tersebut.


(3)

WAWANCARA Nama : Ridwan Husein

Jabatan : Mantan Kepala Sekolah Mts.Muhammadiyah Saning Bakar

Tanggal : 17 Februari 2011

Pertanyaan : Apa alasan yang mendasari larangan perkawinan satu suku dalam masyarakat adat Minangkabau?


(4)

66

Jawaban : Secara adat perkawinan satu suku memang tidak dibolehkan bagi mereka yang satu datuak/niniak amak guna untuk memelihara keturunan. Orang yang ssatu suku di Minangkabau sudah di anggap bersaudara. Jadi masih ada hubungan darah antara mereka yang satu suku maka mereka dilarang untuk melakukan pernikahan.

Pertanyaan : Dalam bentuk apa saja sanksi adat terhadap pelanggaran ketentuan perkawinan satu suku di Minangkabau?

Jawaban : Setelah terbukti tersangka melanggar ketentuan-ketentuan adat yang berlaku, maka dianya diberi sanksi menurut adat, harus minta maaf dan berjanji tidak akan melakukan untuk kedua kalinya (peringatan)

Pertanyaan : Pandangan hukum Islam terhadap pelanggaran perkawinan satu suku dalam masyarakat adat Minangkabau?

Jawaban : Memang dalam alqu'an tidak ditemukan satu ayat pun yang melarang kawin satu suku hanya ada atsar yang menyebutkan sayyidina umar menyebutkan kwin dengan setali darah mengakibatkan keturunan lemah. Dan hal ini terbukti.


(5)

WAWANCARA

Nama : H. Syamsijar

Jabatan : Dubalang suku Sinapa

Tanggal : 13 Februari 2011

Pertanyaan : Apa alasan yang mendasari larangan perkawinan satu suku dalam masyarakat adat Minangkabau?

Jawaban : Faktor yang melarang perkawinan satu suku adalah untuk menjaga kerharmonisan hubungan social. Karena apabila terjadi perceraian


(6)

68

diantara mereka maka akan menyebabkan rusaknya hubungan antara mereka.

Pertanyaan : Dalam bentuk apa saja sanksi adat terhadap pelanggaran ketentuan perkawinan satu suku di Minangkabau?

Jawaban : Sanksinya tergantung kesepakatan ninik mamak suku yang ada di kampung tersebut, dengan memepertimbangkan sanksi apa yang harus di jatuhkan kepada mereka yang melanggar adat, yaitu telah melanggar perkawinan satu suku.

Pertanyaan : Pandangan hukum Islam terhadap pelanggaran perkawinan satu suku

dalam masyarakat adat Minangkabau?

Jawaban : Tidak ada larangan dalam islam untuk melakukan perkawinan satu suku, dalam Islam kalau syarat dan rukunnya telah terpenuhi maka sah lah perkawinan tersebut.