Konstruksi Berita Ujian Nasional 2011 Pada Harian Kompas (Studi Analisis Framing Berita Ujian Nasional 2011 Tingkat SMA/MA/SMK pada Harian Kompas dengan Pendekatan Paradigma Konstruktivisme)

(1)

KONSTRUKSI BERITA UJIAN NASIONAL 2011

PADA HARIAN KOMPAS

(Studi Analisis Framing Berita Ujian Nasional 2011 Tingkat SMA/MA/SMK pada Harian Kompas dengan Pendekatan Paradigma Konstruktivisme)

Diajukan Oleh:

NAMA : ELISABET M SAMOSIR

NIM : 090922061

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

ABSTRAK

Penelitian ini berjudul Konstruksi Berita Ujian Nasional 2011 pada Harian Kompas (Studi Analisis Framing Berita Ujian Nasional 2011 pada Harian Kompas dengan Pendekatan Paradigma Konstruktivisme). Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana rekonstruksi berita Ujian Nasional dan mengetahui bagaimana pandangan dan posisi harian Kompas terkait pemberitaan Ujian Nasional 2011.

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dan pendekatan yang dipakai adalah paradigma kontruktivisme, yaitu paradigma yang bertujuan untuk menjelaskan bahwa pengetahuan kita adalah konstruksi (bentukan ) kita sendiri.

Subyek penelitian yang dipakai adalah berita tentang ujian nasional tahun 2011 tingkat SMA/MA/SMK pada harian Kompas yang terbit mulai tanggal 16 April sampai tanggal 18 Mei 2011, tidak termasuk opini dan berita lokal . Setelah berita dikumpulkan terdapat 11 berita yang memenuhi kriteria penelitian. Kemudian data-data yang telah terkumpul dikliping, ditabulasikan dan berikutnya dianalisis. Ada dua tahap analisis yang dilakukan, yaitu analisis tekstual kuantitatif dengan cara mentabulasikan berita berdasarkan jumlah, frekuensi, dan persentase dari setiap kategori paragraph, jenis berita, posisi berita,rubrik berita, atribut sosial narasumber, dan isu yang diangkat dalam berita. Kemudian analisis berikutnya adalah analisis framing yang bertujuan untuk melihat isu yang diangkat dan aspek apa yang ditonjolkan dalam berita ujian nasional tersebut.

Hasil penelitian ini menunjukkan adanya konstruksi dalam berita ujian nasional 2011 tingkat SMA/MA/SMK. Konstruksi tersebut dapat dilihat dari isu yang diangkat dan aspek yang ditonjolkan. Isu yang diangkat adalah pelaksanaan ujian nasional 2011 tingkat SMA/MA/SMK dan aspek yang ditonjolkan yaitu ujian nasional 2011 mengalami peningkatan kualitas yang signifikan, dilihat dari meningkatnya persentase kelulusan siswa tahun ini.


(3)

KATA PENGANTAR

Pujian, hormat dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memampukan penulis untuk menyelesaikan skripsi yang berjudul “KONSTRUKSI BERITA UJIAN NASIONAL 2011 PADA HARIAN KOMPAS (Studi Analisis Framing Berita Ujian Nasional 2011 Tingkat SMA/MA/SMK pada Harian Kompas dengan Pendekatan Paradigma Konstruktivisme)”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu persyaratan untuk menyelesaikan masa studi dan mencapaigelar kesarjanaan di Program Ekstensi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari dalam keterbatasannya, masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Untuk itu dengan besar hati penulis menerima masukan yang baik untuk perkembangan skripsi ini skripsi ini.

Dan pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada

1. Orangtua penulis W. Samosir/S. Panggabean dan seluruh keluarga besar (Abang, kakak, dan ipar) yang telah mendukung penulis dalam doa, perhatian dan kebutuhan-kebutuhan penulis, sehingga skripsi ini bisa diselesaikan dengan baik.

2. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si selaku Dekan FISIP Universitas Sumatera Utara. 3. Ibu Dra. Fatma wardy Lubis, M.A selaku Ketua Departemen Ilmu Komunikasi FISIP

Universitas Sumatera Utara, terima kasih atas bantuan Ibu kepada penulis dalam penulisan skripsi ini.

4. Bapak Syarifuddin Pohan, M.Si, Ph.D selaku Dosen Pembimbing, terima kasih banyak penulis ucapkan atas bantuan Bapak dalam setiap ilmu, pemikiran, dorongan dan waktu yang Bapak luangkan untuk membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

5. Seluruh dosen Ilmu Komunikasi FISIP USU, terimakasih telah membekali penulis dengan pengetahuan selama proses perkuliahan.


(4)

6. Harian Kompas sebagai sumber berita yang sangat berpengaruh besar dalam penulisan dan penyelesaian skripsi ini.

7. Sahabat penulis , Desi dan Echa terimakasih telah memotivasi dan mendukung penulis dalam menyelesaikan skripsi ini

8. Seluruh teman-teman ekstensi Ilmu Komunikasi angkatan 2009, terimakasih atas kebersamaan kita selama kuliah.

9. Rekan kerja penulis, khususnya kak Nurul Fatimah, terimakasih banyak untuk setiap izin dan pengertian yang diberikan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 10. Teman-teman KTB dan Persekutuan Siswa Kristen, terimakasih telah mendoakan dan

memotivasi penulis selama penyelesaian skripsi ini.

11. Dan semua pihak yang telah mendukung penulisan skripsi ini, terimakasih untuk segalanya.

Medan, 16 Agustus 2011 Penulis


(5)

DAFTAR ISI

ABSTRAK

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL

LAMPIRAN

BAB I. PENDAHULUAN 1

I.1 Latar Belakang Masalah 1

I.2 Perumusan Masalah 4

I.3 Pembatasan Masalah 5

I.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian 5

I.4.1 Tujuan Penelitian 5

I.4.2 Manfaat Penelitian 5

I.5 Kerangka Teori 6

I.5.1 Komunikasi dan Komunikasi Massa 6

I.5.2 Berita dan Jurnalistik 7

I.5.3 Paradigma Konstruktivisme 8

I.5.4 Ideologi Media 9

I.5.5 Hegemoni Media 9

I.5.6 Analisis Framing 10

I.6 Kerangka Konsep 11


(6)

BAB II. URAIAN TEORITIS 14

II.1Komunikasi dan Komunikasi Massa 14

II.2 Berita dan Jurnalistik 17

II.2.1 Berita 17

II.2.2 Jurnalistik 19

II.3 Paradigma Konstruktivisme 20

II.4 Ideologi Media 27

II.5 Hegemoni Media 28

II.6 Analisis Framing 30

BAB III. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN DAN METODOLOGI

PENELITIAN 37

III.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian 37

III.1.1 Sejarah Harian Kompas 38

III.1.2 Visi, Misi, dan Motto Harian Kompas 40 III.1.3 Nilai-nilai Dasar Harian Kompas 41

III.2 Metode Penelitian 41

III.3 Subjek Penelitian 43

III.4 Teknik Pengumpulan Data 43

III.5 Teknik Analisis Data 44

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 48

IV.1 Analisis Isi Tekstual 49

IV.2 Analisis Framing 62


(7)

IV.2.2 Rangkuman Frame Berita 83

BAB V. PENUTUP 87

V.1 Kesimpulan 87

V.2 Saran 88

V.3 Implikasi Penelitian 89

V.3.1 Implikasi Teoritikal 89

V.3.2 Implikasi Praktikal 89

DAFTAR PUSTAKA


(8)

DAFTAR TABEL

Tabel. 1 Perbandingan Ontologis, Epistemologis dan Metodologis 22

Tabel 2 Dimensi Framing Robert Entman 35

Tabel 3 15 Koran Teratas Tingkat Nasional 37

Tabel 4 Contoh Tabel Narasumber 44

Tabel 5 Contoh Tabel Jumlah Paragraf 45

Tabel 6 Contoh Tabel Jenis Berita 45

Tabel 7 Contoh Tabel Rubrik 45

Tabel 8 Contoh Tabel Isu yang Ditonjolkan 46

Tabel 9 Daftar Berita Ujian Nasional 49

Tabel 10 Profil Berdasarkan Halaman 50

Tabel 11 Profil Berdasarkan Jenis Berita 52

Tabel 12 Profil Berdasarkan Rubrik 53

Tabel 13 Profil Berdasarkan Jumlah Paragraf 53

Tabel 14 Profil Berdasarkan Narasumber 54

Tabel 15 Profil Berdasarkan Isu yang Diangkat 55

Tabel 16 Frekuensi Jumlah Paragraf 56

Tabel 17 Frekuensi Jenis Berita 57

Tabel 18 Frekuensi Posisi Berita 58

Tabel 19 Frekuensi Rubrik 58

Tabel 20 Frekuensi Narasumber 60

Tabel 21 Frekuensi Isu yang Ditonjolkan 61

Tabel 22 Daftar Berita yang Diteliti 62


(9)

ABSTRAK

Penelitian ini berjudul Konstruksi Berita Ujian Nasional 2011 pada Harian Kompas (Studi Analisis Framing Berita Ujian Nasional 2011 pada Harian Kompas dengan Pendekatan Paradigma Konstruktivisme). Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana rekonstruksi berita Ujian Nasional dan mengetahui bagaimana pandangan dan posisi harian Kompas terkait pemberitaan Ujian Nasional 2011.

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dan pendekatan yang dipakai adalah paradigma kontruktivisme, yaitu paradigma yang bertujuan untuk menjelaskan bahwa pengetahuan kita adalah konstruksi (bentukan ) kita sendiri.

Subyek penelitian yang dipakai adalah berita tentang ujian nasional tahun 2011 tingkat SMA/MA/SMK pada harian Kompas yang terbit mulai tanggal 16 April sampai tanggal 18 Mei 2011, tidak termasuk opini dan berita lokal . Setelah berita dikumpulkan terdapat 11 berita yang memenuhi kriteria penelitian. Kemudian data-data yang telah terkumpul dikliping, ditabulasikan dan berikutnya dianalisis. Ada dua tahap analisis yang dilakukan, yaitu analisis tekstual kuantitatif dengan cara mentabulasikan berita berdasarkan jumlah, frekuensi, dan persentase dari setiap kategori paragraph, jenis berita, posisi berita,rubrik berita, atribut sosial narasumber, dan isu yang diangkat dalam berita. Kemudian analisis berikutnya adalah analisis framing yang bertujuan untuk melihat isu yang diangkat dan aspek apa yang ditonjolkan dalam berita ujian nasional tersebut.

Hasil penelitian ini menunjukkan adanya konstruksi dalam berita ujian nasional 2011 tingkat SMA/MA/SMK. Konstruksi tersebut dapat dilihat dari isu yang diangkat dan aspek yang ditonjolkan. Isu yang diangkat adalah pelaksanaan ujian nasional 2011 tingkat SMA/MA/SMK dan aspek yang ditonjolkan yaitu ujian nasional 2011 mengalami peningkatan kualitas yang signifikan, dilihat dari meningkatnya persentase kelulusan siswa tahun ini.


(10)

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG MASALAH

Bidang yang sangat berpengaruh dalam pembangunan suatu bangsa adalah bidang pendidikan. Pendidikan mengintegrasi dalam segala bidang dan dengan pendidikan tercipta sumber daya manusia yang berkualitas. Pendidikan bukan hanya membentuk kognitif, tetapi pendidikan juga harus mengembangkan segala potensi yang dimiliki oleh peserta didik, seperti: pengenalan diri, keterampilan, akhlak mulia, kecerdasan, kekuatan spiritual dan lain-lain. Untuk mencapai tujuan yang mulia ini disusunlah kurikulum, yang merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, bahan dan metode pembelajaran. Dan untuk melihat tingkat keberhasilan pendidikan tersebut dilakukanlah evaluasi. Evaluasi yang berhasil adalah evaluasi yang mengunakan alat yang sesuai untuk mengukur setiap aspek tujuan.

Dalam sistem pendidikan Indonesia, khususnya untuk Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah Atas/sederajat, saat ini menggunakan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), Ujian Nasional merupakan evaluasi belajar pada akhir tahun ajaran yang diterapkan pada beberapa mata pelajaran.

Namun UN hingga kini menjadi kontroversi di tengah-tengah masyarakat maupun pemerintah. Banyak polemik yang tak kunjung terjawab. Beberapa diantaranya seperti makelar jawaban, jual beli soal maupun kunci jawaban, pencurian soal, unjuk rasa, kasus bunuh diri, frustrasi dan dampak psikologis terkait siswa-siswi yang tidak lulus. Di satu sisi, UN merupakan sebuah cita-cita mulia untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Dimana pemerintah menginginkan pendidikan di Indonesia bisa bersaing dengan negara lain. Di sisi lain pemerintah belum memiliki kemampuan untuk meningkatakan standarisasi dan kualitas pendidikan kita, baik kualitas pengajar, standarisasi kurikulum dan standarisasi sarana prasarana yang ada. Sehingga sistem pendidikan kita mengalami ketimpangan.


(11)

sekolah-sekolah di daerah yang tidak difasilitasi oleh pemerintah, baik dari segi sarana prasarana, jumlah dan kwalitas tenaga pengajar. Di daerah masih ada sekolah yang hanya memiliki dua atau tiga orang guru, untuk mengajar siswa SMA dari kelas X sampai kelas XII. Masih banyak sekolah yang gedung dan alat mobilernya tidak memadai untuk mendukung proses belajar mengajar. Sementara di kota-kota besar, gedung-gedung sekolah berdiri megah dengan tenaga pengajar yang berkualitas dan dilengkapi oleh fasilitas yang mendukung pendidikan. Bagaimana mungkin sekolah-sekolah tertinggal dapat disetarakan standar penilaiannya dengan sekolah-sekolah bonafit yang ada di perkotaan, dimana semua fasilitas pendidikan serba memadai.

Ujian nasional yang berlangsung hanya dalam beberapa hari dan hanya menguji beberapa mata pelajaran dijadikan patokan untuk mengukur keberhasilan siswa/siswi juga dianggap kurang tepat. Karena pada saat pengumuman, tidak sedikit ditemui siswa yang selama tiga tahun menjalani pembelajaran memiliki prestasi yang baik dinyatakan tidak lulus. Dengan menjadikan UN patokan tunggal dalam evaluasi hasil belajar, seolah-olah meniadakan arti dari pendidikan selama tiga tahun sebelumnya dan mata pelajaran yang tidak masuk ujian nasional. Sistem ujian nasional memandang keberhasilan anak didik dilihat hanya dalam beberapa hari, tidak secara kontiniu selama proses belajar mengajar dilakukan.

Hal-hal diataslah yang memicu banyaknya penyalahgunaan ujian nasional. Pendidikan dipolitisasi sedemikian rupa demi kepentingan yang tidak memihak kepada seluruh masyarakat. Oleh karena itu, dalam pelaksanaannya tidak mengherankan apabila ditemukan banyak kejanggalan-kejanggalan. Seperti, pembagian kunci jawaban kepada siswa oleh tim sekolah ataupun “tim sukses”, kebocoran soal maupun kunci jawaban yang terorganisir oleh penyelenggara pendidikan dari berbagai tingkat, guru yang memperbaiki lembar ujian siswa, anjuran ataupun nasehat guru supaya kerjasama ketika ujian berlangsung, dan masih ada lagi trik-trik yang digencarkan dalam kecurangan UN. Demi “keberhasilan” segala cara pun dihalalkan, sehingga cita-cita mulia pendidikan tercoreng menjadi pembodohan.


(12)

Hal di atas merupakan racun mematikan bagi bangsa Indonesia secara sistemik mulai dari pemimpin nasional, pemimpin provinsi, daerah, guru bahkan sampai kepada siswa-siswi. Sistem ini akan merusak mental bangsa. Mengajarkan generasi penerus untuk meraih keberhasilan dengan kecurangan. Hal yang menyedihkan, menanggapi kondisi tersebut, Mendiknas menuturkan dengan enteng : “Menyelengarakan Ujian Nasional adalah sebuah tugas besar, jika terjadi beberapa kecurangan, saya rasa itu wajar, karena kami bukan

malaikat,”

un-wajar/

Memandang fakta-fakta yang ada di lapangan, sangat bijak bila sistem ujian nasional ini ditinjau ulang keberadaannya. Berbagai desakan dan tuntutan juga sudah disampaikan agar ujian nasional ditiadakan. Tetapi hal itu tidak membuat pemerintah bergeming. Ujian nasional 2011 tetap diadakan meskipun dengan beberapa ketentuan yang baru lagi. Tahun ini, paket soal UN dikemas dalam lima kode soal (A,B,C,D,E) dan memperhitungkan nilai sekolah sebanyak 40% sebagai penentu nilai kelulusan, dengan nilai kelulusan minimal adalah 5.5. Dari segi sistem sudah semakin baik, tetapi sistem yang setiap tahunnya mengalami perubahan, juga menjadi kelemahan karena ketidak adaan sistem baku ujian nasional. Mental peserta ujian sudah terlanjur terkontaminasi dan pada pelaksanaan ujian nasional 2011 ini pun, kecurangan tetap terjadi.

). Dinas Pendidikan dan sekolah bersandiwara demi nama baik dengan meraih tingkat kelulusan yang tinggi, bahkan mereka sangat bangga apabila mencapai persentase 100% walau dengan kecurangan.

Hampir seluruh media, khususnya media cetak menyoroti masalah ujian nasional ini. Pemberitaannya juga beragam-ragam, ada yang mengkritik dan mendukung menolak UN dan ada juga surat kabar yang menampilkan seolah-olah ujian nasional berjalan dengan baik dan benar. Kompas juga mengulas setiap berita tentang ujian nasional dengan detail dan mendasar. Inilah mengapa peneliti memilih harian Kompas sebagai objek penelitian tentang berita ujian nasional 2011.

Kompas merupakan salah satu surat kabar yang telah mengawal perjalanan negeri ini sejak tahun 1963. Kompas bermula sebagai media bulanan yang bernama


(13)

“Inti Sari”, dengan 128 halaman pada saat pertama kali terbit pada tanggal 7 agustus 1963. perkembangan berikutnya berubah nama menjadi “Bentara Rakyat” dan terakhir menjadi Kompas. Kompas edisi pertama dicetak pada tanggal 28 juni 1965 dengan motto “ Amanat Hati Nurani Rakyat”. Dan saat terbit pada 6 Oktober 1965, Kompas menembus angka 23.268 eksemplar, hingga pada akhir pemerintahan Soeharto tiras Kompas mencapai angka lebih dari 600 ribu eksemplar per hari. Pembaca koran ini mencapai 2.25 juta orang di seluruh Indonesia. Sejarah perjalan Kompas menjadi sebuah jaminan objektifitas dalam setiap pemberitaannya

Pada umumnya pemberitaan di media cetak maupun elektronik sedikit banyak selalu dipengaruhi oleh latar belakang, seperti ideologi dan pemilik media. Bahkan secara khusus cara pandang wartawan terhadap suatu isu mempengaruhi isi berita yang dibuatnya. Dan tidak menutup kemungkinan hal serupa juga terjadi dalam surat kabar harian Kompas terkait pengulasan berita tentang ujian nasional 2011. Kita tidak mengetahui secara jelas fakta-fakta apa yang mendasari pemikiran wartawan dan bagaimana suatu peristiwa tersebut dikonstruksi menjadi berita. Untuk mengetahui lebih mendalam konstruksi pemberitaan, peneliti menggunakan analisis framing. Framing bersama semiotik dan analisis wacana berada dalam rumpun studi analisis. Proses framing berkaitan dengan persoalan bagaimana sebuah realitas dikemas dan disajikan dalam persentase media.

Dari serangkaian penjelasan di atas, peneliti tertarik untuk meneliti konstruksi berita tentang ujian nasional 2011 pada harian Kompas.

1.2 PERUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka perumusan masalah sebagai berikut:

“Bagaimanakah konstruksi berita Ujian Nasional 2011 dalam harian Kompas?”


(14)

Untuk menghindari ruang lingkup yang terlalu luas, maka peneliti merasa perlu untuk melakukan pembatasan agar dalam penelitian lebih jelas dan lebih fokus. Adapun pembatasan masalah adalah sebagai berikut:

a. Penelitian ini bersifat kualitatif deskriptif, untuk mengetahui isi pemberitaan Ujian Nasional 2011.

b. Penelitian ini menggunakan analisis framing . Media yang diteliti adalah media cetak harian, dalam hal ini harian Kompas.

c. Penelitian ini dibatasi untuk meneliti konstruksi berita Ujian Nasional 2011 untuk tingkat SMA/MA/SMK.

d. Berita yang diteliti adalah pemberitaan mengenai Ujian Nasional 2011 yang terbit mulai tanggal 16 April sampai dengan tanggal 18 Mei 2011.

1.4 TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

1.4.1 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui konstruksi berita Ujian Nasional 2011 di Harian Kompas.

2. Untuk mengetahui pandangan dan posisi harian Kompas terkait pemberitaan Ujian Nasional 2011.

1.4.2 Manfaat Penelitian

1. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat memperluas dan memperkaya bacaan referensi, bahan penelitian serta sumber bacaan di lingkungan Universitas Sumatera Utara.

2. Secara teoritis, untuk menerapkan ilmu yang diterima penulis selama menjadi mahasiswa Ilmu Komunikasi FISIP USU, serta menambah wawasan peneliti mengenai studi konstruktivitas berita Ujian Nasional 2010 pada harian Kompas.


(15)

3. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pihak yang membutuhkan dan yang terkait di dalamnya agar dapat lebih meningkatkan kualitasnya.

1.5 KERANGKA TEORI

Dalam penelitian ilmiah, yang menjadi landasan dalam berpikir adalah teori. Teori berfungsi untuk menjelaskan, meramalkan, dan memberikan pandangan terhadap sebuah permasalahan. Teori merupakan himpunan konstruk (konsep), definisi dan preposisi yang mengemukakan pandangan sistematis tentang gejala dengan menjabarkan relasi di antara variable, untuk menjelaskan dan meramalkan gejala tersebut (Rakhmat,2004:6).

1.5.1 Komunikasidan Komunikasi Massa

Harold Laswell menerangkan cara terbaik untuk menggambarkan komunikasi adalah dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut: Who Says What In Which Channel To Whom With What Effect? Yang berarti “ Siapa Mengatakan Apa dengan Saluran Apa Kepada Siapa Dengan Pengaruh Bagaimana?” (Mulyana,2005:62).

Komunikasi massa merupakan salah satu jenis dari komunikasi. Komunikasi massa itu sendiri diadopsi dari istilah bahasa Inggris, mass communication, kependekan dari mass media communication (komunikasi media massa). Artinya komunikasi yang menggunakan media massa atau komunikasi yang “mass mediated”.

Kata massa dalam komunikasi massa dapat diartikan lebih dari sekedar “orang banyak”. Massa kita artikan sebagai “meliputi semua orang yang menjadi sasaran alat-alat komunikasi massa atau orang-orang pada ujung lain dari saluran. Massa mengandung pengertian orang banyak, tetapi mereka tidak harus berada di suatu lokasi tertentu yang sama. Mereka dapat tersebar di berbagai lokasi dalam waktu yang sama dan menerima pesan-pesan komunikasi yang sama. (Wiryanto,2005,3).

Khalayak media bukan partisipan komunikasi, melainkan objek dari komunikasi yang termediasi dan terstruktur dari satu arah. Konteks produksi pesan


(16)

berbeda dengan konteks penerimanya. Secara signifikan tidak ditemukan resiproksitas, kesetaraan, dan saling pemahaman. Dalam komunikasi massa, individu dan komunitas lebur dalam totalitas massa. Dengan konteks ini, komunikasi massa modern mencerminkan problem-problem masyarakat massa (Sudibyo,2009:194).

Beberapa ciri-ciri komunikasi massa yang membedakannya dengan komunikasi lain adalah sebagai berikut:

1. Komunikasi massa berlangsung satu arah

2. Komunikator pada komunikasi massa terlembaga

3. Pesan pada komunikasi massa bersifat umum

4. Media komunikasi massa menimbulakan keserempakan

5. Komunikan komunikasi massa bersifat heterogen.

1.5.2 Jurnalistik dan Berita

Jurnalistik adalah istilah yang berasal dari bahasa Belanda journalistiek, dan dalam bahasa Inggris journalistic atau journalism, yang bersumber pada perkataan journal sebagai terjemahan dari bahasa Latin diurnal, yang berarti “harian” atau “setiap hari”. Secara gamblang, jurnalistik didefenisikan sebagai keterampilan atau kegiatan mengolah bahan berita mulai dari peliputan sampai kepada penyusunan yang layak disebarluaskan kepada masyarakat.

Berita adalah informasi baru atau informasi mengenai sesuatu yang sedang terjadi, disajikan lewat bentuk cetak, siaran internet, atau dari mulut ke mulut kepada orang ketiga atau orang banyak. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, berita diartikan sebagai cerita atau keterangan mengenai cerita atau peristiwa yang hangat. Sedangkan pemberitaan diartikan proses, cara, perbuatan memberitakan atau melaporkan. Ada juga ahli yang mendefenisikan berita sebagai susunan kejadian setiap hari, sehingga masyarakat menerimanya dalam bentuk yang tersusun dan


(17)

dikemas rapi menjadi cerita, pada hari yang sama di radio, atau televisi dan keesokan harinya di berbagai media. Tidak semua hal dapat dikatakan berita, sesuatu dapat dikatakan berita jika terdapat unsur-unsur berita di dalamnya, seperti aktual (baru), kedekatan, penting, akibat, pertentangan/konflik, seks, ketegangan, kemajuan-kemajuan, konsekuensi, emosi, humor, dan human interest.

1.5.3 Paradigma Konstruktivisme

Pengertian paradigma menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia diantaranya: 1. paradigma adalah daftar semua bentukan dari sebuah kata yang memperlihatkan konjugasi (penggabungan inti) dan deklinasi (perbedaan kategori) dari kata tersebut.; 2. paradigma adalah model dari teori ilmu pengetahuan; 3. paradigma adalah kerangka berfikir.

Menurut ilmu komunikasi definisi paradigma adalah pola yang meliputi sejumlah unsur, yang berkaitan secara fungsional untuk mencapai suatu tujuan tertentu.

Pemahaman terhadap paradigma dan perspektif yang kini menjadi acuan dalam teori komunikasi modern diilhami oleh tradisi proses informasi, dimana teori komunikasi itu berawal dari perspektif pemprosesan informasi sehingga menjadi paradigma.

Menurut Robert Fredrichs, definisi paradigma adalah pandangan yang mendasar dari suatu disiplin ilmu tentang apa yang menjadi subject matter yang semestinya dipelajari.

Konstruktivisme mengatakan bahwa kita tidak akan pernah mengerti realitas yang sesungguhnya secara ontologis. Yang kita mengerti adalah struktur konstruksi dari suatu objek. Konstruktivisme tidak bertujuan mengerti realitas, tetapi hendak melihat bagaimana kita menjadi tau akan sesuatu (Ardianto,,2007:80).

Pandangan konstruktivisme menolak pandangan positivisme yang memisahkan subjek dan objek komunikasi. Dalam pandangan konstruktivisme, bahasa tidak lagi hanya dilihat sebagai alat untuk memahami realitas objektif belaka


(18)

dan dipisahkan dari subjek sebagai penyampai pesan. Positivisme meyakini bahwa pengetahuan harus merupakan representasi dari kenyataan dunia yang terlepas dari pengamat (objektivisme). Konstruktivitas adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita adalah konstruksi (bentukan) kita sendiri (Ardiyanto,2007:154).

1.5.4 Ideologi Media

Kata ideology berasal dari bahasa Greek, terdiri dari kata idea dan logia. Idea berasal dari kata idein yang berarti melihat. Idea berarti sesuatu yang ada dalam pikiran sebagai hasil perumusan sesuatu pemikiran atau rencana. Sedangkan logis berasal dari kata logos yang berarti world. Kata ini berasal dari kata legein yang berarti to speak (berbicara). Selanjutnya kata logia berarti science (pengetahuan) atau teori (Sobur,2004:64).

Ideologi dapat diartikan sebagai kerangka berpikir atau kerangka referensi tertentu yang dipakai oleh individu untuk melihat realitas dan bagaimana mereka menghadapinya. Ideologi ini abstrak dan berhubungan dengan konsepsi atau posisi seseorang dalam menafsirkan realitas (Sudibyo,2001:12).

Media berperan mendefenisikan bagaimana realitas itu dijelaskan dengan cara tertentu kepada khalayak. Pendefenisian tersebut bukan hanya peristiwa, melainkan juga aktor-aktor sosial. Dari berbagai fungsi media dalam mendefenisikan realitas, fungsi utama ideologi adalah media sebagai mekanisme integrasi sosial, yaitu menjaga nilai-nilai kelompok dan mengontrol bagaimana nilai-nilai kelompok itu di jalankan. Berita dibentuk dari ideologi dominan dalam suatu wilayah. Ideologi juga bisa bermakna pemaknaan atau penandaan.

1.5.5 Hegemoni Media

Teori Althusser tentang ideology menekankan bagaimana kekuasaan kelompok dominan dalam mengontrol kelompok lain. Mengenai cara atau penyebaran ideologi dilakukan, teori Gramcsi tentang hegemoni sangat baik. Antonio Gramsci membangun suatu teori yang menekankan cara penyebaran ideologi tersebut.


(19)

Teori hegemoni Gramsci menekankan bahwa dalam lapangan sosial ada pertarungan yang memperebutkan penerimaan publik. Karena pengalaman sosial kelompok subordinat (apakah oleh kelas, gender, ras, umur, dan sebagainya) berbeda dengan ideologi kelompok dominan. Oleh karena itu, perlu usaha bagi kelompok dominan untuk menyebarkan ideologi dan kebenarannya agar diterima, tanpa perlawanan. Salah satu strategi kunci dalam hegemoni adalah nalar awam (common sense) (Eriyanto,2001:107).

Kelebihan hegemoni adalah bagaimana ia menciptakan cara berpikir atau wacana yang dominan, yang terkadang kebenarnya bersifat sepihak. Ada suatu nilai atau konsensus yang dianggap memang benar, sehingga ketika ada cara pandang atau wacana lain dianggap tidak benar. Media disini secara tidak sengaja dapat menjadi alat bagaimana nilai-nilai atau wacana yang dipandang dominan itu disebarkan dan meresap dalam benak khalayak sehingga menjadi konsensus bersama.

1.5.6 Analisis Framing

Kata framing berasal dari bahasa Inggris yakni dari kata frame. Gagasan ini pertama kali dilontarkan Beterson pada tahun 1955. Mulanya frame dimaknai sebagai struktur konseptual atau perangkat kepercayaan yang mengorganisir pandangan politik, kebijakan, dan wacana. Dalam perspektif komunikasi, analisis framing dipergunakan untuk menbedah cara-cara atau ideologi media saat mengkonstruksi fakta.

Analisis framing adalah salah satu bentuk analisis teks yang berada dalam kategori penelitian konstruksionis. Paradigma ini memandang realitas kehidupan sosial bukanlah realitas yang natural, tetapi hasil dari konstruksi (Eriyanto,2005:37). Framing adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana perspekif atau cara pandang yang digunakan wartawan ketika menyeleksi isu dan menulis berita. Framing juga merupakan pendekatan untuk melihat bagaimana realitas itu dibentuk dan dikonstruksi oleh media (Eriyanto,2005:66).


(20)

Entman melihat framing dalam dua dimensi besar: seleksi isi dan penekanan aspek-aspek realitas. Kedua faktor ini dapat lebih mempertajam framing berita melalui proses seleksi isu yang layak ditampilkan dan penekanan isi beritanya. Ia juga menambahakan bahwa frame berimplikasi penting bagi komunikasi politik. Menurutnya, frame menuntut perhatian terhadap beberapa aspek dari realitas dengan mengabaikan elemen lainnya memungkinkan khalayak memiliki reaksi berbeda.

Pendekatan Entman inilah yang digunakan dalam penelitian ini. Dua dimensi yang telah dituliskan di atas, selanjutnya di konsepsi oleh Etnman menjadi perangkat frame yang selalu ada dalam sebuah berita. Perangkat framing yang dimaksud meliputi pendefenisian masalah (Define Problem), memperkirakan masalah atau sumber masalah (Diagnose Causes), membuat keputusan moral (Make Moral Judgement), menekankan penyelesaian (Treatment Recommendatioan). Empat perangkat framing ini merupakan “pisau analisis” framing yang digunakan untuk mengolah dan menganalisa frame pemberitaan sebuah media.

1.6. KERANGKA KONSEP

Kerangka konsep dalam penelitian ini memakai analisis framing Robert Entman. Fokus perhatian Entman tertuju pada dua dimensi besar yaitu seleksi isu dan penekanan atau penonjolan aspek-aspek tertentu dari realitas isu.

Kemudian Entman mengkonsepsi dua dimensi besar tersebut ke dalam perangkat framing. Perangkat framing yang dimaksud adalah:

1. Pendefenisian masalah (define problem), yaitu bagaimana suatu peristiwa dilihat? Atau sebagai masalah apa?

2. Memperkirakan masalah (diagnose causes), yaitu melihat peristiwa disebabkan apa? Apa yang dianggap sebagai penyebab dari suatu masalah?

3. Membuat keputusan moral (make moral judgement), yaitu nilai moral apa yang disajikan untuk menjelaskan masalah? Nilai moral apa yang dipakai untuk melegitimasi suatu tindakan?


(21)

4. Menekankan penyelesaian (Treatment recommendation), yaitu penyelesaian apa yang ditawarkan untuk mengatasi masalah tersebut? Jalan apa yang ditawarkan dan harus ditempuh untuk mengatasi masalah.

Visualisasi Konseptual Analisis Framing Robert Entman

(Sumber : Majalah Kajian Media Dictum Vol.1, No. 2 September 2007, dalam skripsi Andi Sunarjo Simatupang. 2010. Konstruksi Berita 100 Hari SBY-Boediono, FISIP USU MEDAN)

1.7 TEKNIK ANALISIS DATA

Analisis data adalah proses penyederhanaan data ke dalam bentuk yang lebih mudah dibaca atau dipresentasikan (Singarimbun,1995:263). Dilihat dari kemungkinan banyaknya jumlah artikel berita harian Kompas, maka peneliti akan menyederhanakan dalam bentuk analisis dua tahap. Tahap tersebut adalah:

a. Dengan metode analisis isi tekstual secara konvensional kuantitatif untuk mengetahui isu-isu yang dianggap menonjol yang membantu dalam pemilihan berita yang akan dikonstruksi. Dalam penelitian ini kategorisasi yang digunakan

BERITA

Moral Judgement/ Evaluation Membuat Keputusan Moral Problem Identification

Pendefinisian Masalah

Diagnoses Causes Memperkirakan Sumber Masalah

Treatment Recommendation Rekomendasi Penyelesaian FRAMING

• Seleksi isu


(22)

peneliti adalah berdasarkan jumlah paragraph, jenis berita, posisi berita, rubrik berita, nama dan atribut sosial narasumber dan isu yang menonjol dalam berita. Kemudian kategorisasi tersebut akan ditabulasikan berdasarkan jumlah, frekuensi dan persentase.

b. Analisis kualitatif dalam konstruksi berita yang dipilih oleh peneliti untuk diteliti. Berita yang akan diteliti kemudian ditabulasikan berdasarkan berita yang diteliti dan frame isi pemberitaan, yaitu pendefenisian masalah, memperkirakan masalah atau sumber, membuat keputusan moral, dan menekankan penyelesaian.

BAB II


(23)

BAB II

URAIAN TEORITIS

II.1. Komunikasi dan Komunikasi Massa

Kehidupan manusia di dunia tidak dapat dilepaskan dari aktivitas komunikasi karena komunikasi merupakan bagian integral dari sistem dan tatanan kehidupan sosial manusia dan masyarakat. Aktivitas komunikasi dapat dilihat pada setiap aspek kehidupan sehari-hari manusia yaitu sejak dari bangun tidur sampai manusia beranjak tidur pada malam hari. Bisa dipastikan sebagian besar dari kegiatan kehidupan kita mengunakan komunikasi baik komunikasi verbal maupun nonverbal.

Kata “komunikasi” berasal dari bahasa Latin, “comunis”, yang berarti membuat kebersamaan atau membangun kebersamaan antara dua orang atau lebih. Akar katanya “communis” adalah “communico” yang artinya berbagi. Dalam literatur lain disebutkan komunikasi juga berasal dari kata “communication” atau “communicare” yang berarti " membuat sama" (to make common). Istilah “communis” adalah istilah yang paling sering di sebut sebagai asal usul kata komunikasi, yang merupakan akar dari kata kata Latin yang mirip Komuniksi menyarankan bahwa suatu pikiran, suatu makna, atau suatu pesan di anut

secara sama.

Pengertian komunikasi sudah didefinisikan oleh banyak orang, jumlahnya sebanyak orang yang mendifinisikannya. Menurut Harold Lasswell komunikasi pada dasarnya merupakan suatu proses yang menjelaskan siapa? mengatakan apa? dengan saluran apa? kepada siapa? dengan akibat atau hasil apa? (who? says what? in which channel? to whom? with what effect?). Menurut Onong Uchjana Effendi, komunikasi adalah proses penyampaian


(24)

pesan oleh seseorang kepada orang lain untuk memberitahu, mengubah sikap, pendapat, atau perilaku, baik secara lisan (langsung) ataupun tidak langsung (melalui media). Wilbur Schramm menyatakan komunikasi sebagai suatu proses berbagi (sharing process).

Dance dan Larson (Vardiansyah, 2004 : 9) setidaknya telah mengumpulkan 126 definisi komunikasi yang berlainan Dari banyak pengertian tersebut jika dianalisis pada prinsipnya dapat disimpulkan bahwa komunikasi mengacu pada tindakan, oleh satu orang atau lebih, yang mengirim dan menerima pesan yang terdistorsi oleh gangguan (noise), terjadi dalam suatu konteks tertentu, mempunyai pengaruh tertentu, dan ada kesempatan untuk melakukan umpan balik.

Ilmu komunikasi dari waktu ke waktu mengalami perkembangan yang semakin pesat. Pada awalnya komunikasi memang sekadar alat antar manusia, agar manusia saling berhubungan dan mengerti. Awalnya komunikasi tidak mendapat perhatian lebih, sampai pada abad ke-5 SM, di Yunani berkembang ilmu retorika yang berarti seni berpidato dan berargumentasi yang bersifat menggugah atau seni menggunakan bahasa secara lancar untuk mempengaruhi atau mengajak. Sejak abad ini komunikasi khususnya dalam hal retorika mendapat perhatian besar dari para filsuf-filsuf besar pada waktu itu, inilah yang menjadi bibit dari komunikasi massa (Ardianto.2007;20).

Komunikasi massa itu sendiri diadopsi dari istilah bahasa Inggris, mass communication. Artinya komunikasi yang menggunakan media massa. Kata massa dalam komunikasi massa dapat diartikan lebih dari sekedar orang banyak. Massa kita artikan sebagai meliputi semua orang yang menjadi sasaran alat-alat komunikasi massa atau orang-orang pada ujung lain dari saluran. Massa mengandung pengertian orang-orang banyak, tetapi mereka tidak harus berada di suatu lokasi tertentu yang sama. Mereka dapat tersebar di berbagai lokasi dalam waktu yang sama dan menerima pesan-pesan komunikasi yang sama (Wiryanto,2005,3).


(25)

Khalayak media bukan partisipan komunikasi, melainkan objek dari komunikasi yang termediasi dan terstruktur dari satu arah. Konteks produksi pesan berbeda dengan konteks penerimanya. Secara signifikan tidak ditemukan resiproksitas, kesetaraan, dan saling pemahaman. Dalam komunikasi massa, individu dan komunitas melebur dalam totalitas massa. Dengan konteks ini, komunikasi massa modern mencerminkan problem-problem masyarakat massa (Sudibyo,2009:194).

Beberapa ciri-ciri komunikasi massa yang membedakannya dengan komunikasi lain adalah sebagai berikut:

1. Komunikasi massa berlangsung satu arah. Dalam media cetak seperti koran, komunikasi hanya berjalan satu arah. Komunikan tidak bisa memberikan respon kepada komunikator media yang bersangkutan.

2. Komunikator pada komunikasi massa terlembaga. Komunikator dalam media massa bukan satu orang, tetapi kumpulan orang-orang yang digerakkan oleh satu system manajemen dalam mencapai tujuan tertentu.

3. Pesan pada komunikasi massa bersifat umum. Pesan pada komunikasi massa itu tidak ditujukan pada satu orang atau satu kelompok tertentu, tetapi kepada seluruh lapisan masyarakat.

4. Media komunikasi massa menimbulkan keserempakan. Media massa dapat menyampaikan pesan kepada komunikan secara serempak walau berada pada tempat yang berbeda.

5. Komunikan komunikasi massa bersifat heterogen. Media massa bersifat anonim dan heterogen, maksudnya komunikan merupakan orang-orang yang tidak saling mengenal dan beraneka ragam, baik itu status, daerah, prinsip dan lain-lain.


(26)

Komunikasi massa memiliki beberapa fungsi, sebagai berikut:

a. Menginformasikan (to inform). Maksudnya media massa merupakan tempat untuk menginformasikan peristiwa-peristiwa atau hal-hal penting yang perlu diketahui oleh khalayak.

b. Mendidik (to educate). Tulisan di media massa dapat mengalihkan ilmu pengetahuan sehingga mendorong perkembangan intelektual, membentuk watak dan dapat meningkatkan keterampilan serta kemampuan yang dibutuhkan para pembacanya.

c. Menghibur (to intertait). Media massa merupakan tempat yang dapat memberikan hiburan atau rasa senang kepada pembacanya atau khalayaknya.

d. Mempengaruhi (to influence). Maksudnya bahwa media massa dapat mempengaruhi pembacanya. Baik pengaruh yang bersifat pengetahuan (cognitive), perasaan (afektive), maupun tingkah laku (conative).

e. Kontrol sosial (wacth dog), maksudnya bahwa dengan adanya media massa kita dapat mengontrol jalannya pemerintahan.

II.2 Jurnalistik dan Berita II.2.1. Jurnalistik

Istilah jurnalistik berasal dari bahasa Belanda journalistiek. Seperti halnya dengan istilah bahasa Inggris journalism yang bersumber dari kata journal, yang merupakan terjemahan dari bahasa Latin diurnal yang berarti “harian” atau “setiap hari”.

Dari berbagai literatur dapat dikaji defenisi jurnalistik adalah kegiatan menyiapkan, mencari,mengumpulkan,mengolah, menyajikan dan menyebarkan berita, melalui media berkala kepada khalayak seluas-luasnya dengan secepat-cepatnya”(Haris S.2005). Peristiwa apa saja, apakah itu peristiwa factual atau pendapat seseorang, jika diperkirakan dapat


(27)

menarik perhatian khalayak, merupakan bahan dasar jurnalistik yang kemudian bisa diolah menjadi berita untuk disebarluaskan kepada masyarakat (Effendy,2005:151).

F. Fraiser Bon membagi fungsi jurnalistik ke dalam empat bagian, yaitu To Inform, To Interpret, To Guide, dan To Entertain. Sedangkan Assegaft membaginya menjadi memberi informasi, memberi hiburan, melaksanakan kontrol sosial, pers (the fourth estate) (Haris, 2005).

Berdasarkan bentuk dan pengelolaanya, jurnalistik dapat dibagi ke menjadi (Sumandria, 2006):

1. Jurnalistik media cetak

Jurnalistik media cetak dipengaruhi oleh dua faktor, yakni faktor verbal dan visual. Verbal, menekankan pada kemampuan kita memilih dan menyusun kata dalam rangkaian kata dan kalimat yang efektif dan komunikatif. Visual, menunjuk kepad kemampuan kita dalam menata, menempatkan, mendesain tata letak dan hal-hal yang menyangkut segi tampilan.

2. Jurnalistik media elektronik auditif

Jurnalistik media elektronik auditif atau jurnalistik radio siaran, lebi anyak dipengaruhi dimensi verbal, tehnologikal dan fisikal. Verbal berhubungan dengan kemempuan menyusun kata, tehnologikal berhubungan dengan tehnologi yang


(28)

memungkinkan daya pancar radio dapat ditangkap dengan baik. Fisikal erat kaitannya dengan kesehatan fisik dan kemampuan pendengaran khalayak.

3. Jurnalistik media elektronik audiovisual

Merupakan gabungan dari verbal, visual, tehnologikal, dan dimensi dramatikal. Dramatikal berarti berkaitan nilai dan aspek dramatic yang dihasilkan oleh rangkain gambar secara simultan.

II.2.2 Berita

Salah satu produk jurnalistik adalah berita. Berita menurut Doug Newsom & James A. Wollert dapat didefenisikan sebagai apa saja yang ingin dan perlu diketahui orang atau lebih luas lagi masyarakat. Dan menurut Michael V. Charnley berita adalah laporan tercepat mengenai fakta dan opini yang menarik dan penting, atau keduanya bagi sejumlah besar penduduk (Sumandria,2006). Berita dapat disajikan dalam bentuk cetak, siaran, internet, atau dari mulut ke mulut. Berita merupakan laporan tentang fakta atau ide yang termassa, yang dipilih oleh redaksi suatu media untuk disiarkan atau dicetak, yang dapat menarik perhatian pembaca atau penonton, baik itu karena pentingnya berita tersebut atau bisa juga karena beritanya luar biasa. Ada beberapa konsep berita yang dapat dikembangkan yaitu, berita dapat sebagai laporan tercepat, rekaman fakta-fakta objektif, interpretasi, sensasi, minat insan, ramalan dan sebagai gambar (Effendi,2005:131).

Pasal 5 Kode Etik Jurnalistik wartawan Indonesia berisi “Wartawan Indonesia (WI) menyajikan berita secara berimbang & adil, mengutamakan kecermatan & ketepatan, serta


(29)

tidak mencampurkan fakta dan opini sendiri”. Oleh karena itu berita tersaji harus akurat, lengkap, adil dan berimbang, objektif, ringkas dan jelas, hangat.

Ada beberapa nilai yang menentukan suatu peristiwa layak dijadikan sebagai berita atau tidak, yaitu: keluarbiasaan (unusualness), kebaruan (newness), akibat ( impact), aktual ( timeliness), kedekatan (proximity), informasi (information), konflik (conflict), orang penting (public figure ), kejutan (surprising), ketertarikan manusiawi (human interest), seks ( sex ) . Berita tidak mutlak harus memenuhi unsur-unsur tersebut, tetapi semakin banyak unsur tersebut melekat pada suatu peristiwa, semakin tinggilah nilai layak peristiwa tersebut menjadi sebuah berita.

II.3 Paradigma Konstruktivisme

Pengertian paradigma menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia diantaranya: 1. paradigma adalah daftar semua bentukan dari sebuah kata yang memperlihatkan konjugasi (penggabungan inti) dan deklinasi (perbedaan kategori) dari kata tersebut.; 2. paradigma adalah model dari teori ilmu pengetahuan; 3. paradigma adalah kerangka berfikir.

Menurut kamus komunikasi (1989) definisi paradigma adalah pola yang meliputi sejumlah unsur, yang berkaitan secara fungsional untuk mencapai suatu tujuan tertentu.

Paradigma adalah sudut pandang dan cara pandang untuk mengamati sesuatu. Cara kita memandang atau pendekatan yang kita gunakan mengamati kenyataan akan menentukan pengetahuan yang kita peroleh. Paradigma yang digunakan dalam menghampiri suatu peristiwa komunikasi akan menghasilkan perbedaan yang besar dalam jawaban dan makna yang dideduksi. Pemahaman tentang uang dari perspektif ekonomi, berbeda dengan pemahaman tentang uang dari perspektif sosial. Jadi penggunaan paradigma mewajibkan peneliti untuk toleran terhadap paradigma lainnya. Paradigma selalu mendahului observasi kita. Suatu peristiwa bisa saja diamati dengan pikiran yang terbuka dan netral, tetapi tetap


(30)

harus mengobservasi hal tersebut, dan hal tersebut bisa dilakukan dengan cara-cara tersendiri. Nilai paradigma tidak terletak pada nilai kebenarannya atau seberapa baik ia mencerminkan realitas yang ada, karena paradigma tergantung tujuan yang hendak diteliti. Yang menjadi intinya adalah upaya mencari paradigma yang dapat memberikan kepada kita konseptualisasi realitas yang paling bermanfaat bagi pencapaian tujuan kita. Memilih suatu paradigma berarti memilih suatu paradigma dengan keuntungan dan kelemahannya yang terkandung di dalamnya tanpa mengingkari nilai dan mempermasalahkan validitas paradigma lain (Ardianto.2007: 75-78).

Guba dan Lincoln (1994) mengajukan tipologi yang mencakup empat paradigma: 1. positivism, postpositivism,

2. critical theories, dan 3. contructivism

Masing-masing dengan implikasi metodologi tersendiri. (http//manajemenkomunikasi. blogspot.com/2010/10/12/pengertian-dan-fungsi-teori-dalam.html).

Tetapi sejumlah ilmuwan sosial lain melihat positivism dan postpositivism bisa disatukan sebagai classical paradigm karena dalam prakteknya implikasi metodologi keduanya tidak jauh berbeda. Karena itu, untuk mempermudah kepentingan bahasan tentang implikasi metodologi dari sebuah paradigma, maka teori-teori dan penelitian ilmiah komunikasi cukup dikelompokkan ke dalam 3 paradigma, yaitu:

1. Classical paradigm (mencakup positivism dan postpositivism). 2. Critical Paradigm, dan

3. Constructivism Paradigm.

Tabel 1 berikut menyajikan perbandingan atau perbedaan dari ruang lingkup paradigma tersebut dipandang dari sisi ontologism, epistemology dan metodologis.


(31)

Tabel 1. Perbandingan Ontologis, Epistemologis dan Metodologis

Bidang Positivisme Post-Positivisme Kritis Konstruktivisme

Ontology

Asumsi tentang realitas

Realisme naïf; semesta adalah nyata dan dapat diketahui apa adanya.

Realisme kritis: semesta luar bersifat nyata akan tetapi tidak pernah seluruhnya diketahui secara sempurna, ada banyak kemungkinan yang dapat diketahui Realisme kritis: semesta hidup atau virtual yang dikonstruksi secara sosial, politik, budaya, ekonomi, etnik dan gender Relativisme, semesta yang diketahui itu spesifik,lokal yang dikonstruksi oleh paradigm tertentu atau perspektif tertentu. Epistemology Asumsi tentang hubungan antara yang diteliti dengan yang meneliti Bersifat dualis, objektivis Obyektivisme yang dimodifikasi, yaitu objektivitas sebagai buah dari keinginan untuk mengontrol, teori yang ersifat tentative dan probabilitas. Bersifat transaksional, dialogis, temuan-temuan ilmiah dimuati nilai dan kepentingan

Bersifat transaksional,

dialogis, teori konstruksi sebagai hasil investigasi dan proses sosial (khususnya ilmu pengetahuan sosial budaya) Metodologis Asumsi metodologis tentang bagaimana peneliti memperoleh pengetahuan Eksperimental manipulatif, pembuktian atas hipotesis, kuantitatif. Eksperimental yang dimodifikasi dan terbuka secara kritis pada keanekaragaman dan latar penelitian yang lebih alami. Dialogis, transformative guna mengatasi kesadaran palsu. Hermeneutik dan dialektis, ilmu hasil konstruksi atau interaksi peneliti terhadap objek yang diteliti.

Sumber: Ardianto, Elvinaro, 2007. Filsafat Ilmu Komunikasi. Bandung. PT.Rosda Karya.

Paradigma Konstruktivisme dalam ilmu sosial merupakan kritik terhadap paradigma positivis. Menurut paradigma konstruktivisme, realitas sosial yang diamati oleh seseorang tidak dapat digeneralisasikan pada semua orang yang biasa dilakukan oleh kaum positivis. Paradigma konstruktivisme yang ditelusuri dari pemikiran Weber, menilai perilaku manusia secara fundamental berbeda dengan perilaku alam, karena manusia bertindak sebagai agen yang mengkonstruksi dalam realitas sosial mereka, baik itu melalui pemberian makna ataupun pemahaman perilaku dikalangan mereka sendiri.


(32)

Kajian pokok dalam paradigma konstruktivisme menurut Weber, menerangkan bahwa substansi bentuk kehidupan di masyarakat tidak hanya dilihat dari penilaian objektif saja, melainkan dilihat dari tindakan perorangan yang timbul dari alasan-alasan subjektif. Weber juga melihat bahwa tiap individu akan memberikan pengaruh dalam masyarakatnya tetapi dengan beberapa catatan, dimana tindakan sosial yang dilakukan oleh individu tersebut harus berhubungan dengan rasionalitas dan tindakan sosial harus dipelajari melalui penafsiran serta pemahaman.

Bila ditelusuri ke belakang, konstruktivisme berasal dari teori Popper yang membedakan alam semesta ke dalam tiga pengertian, yaitu: (1) dunia fisik; (2) dunia kesadaran atau mental atau disposisi tingkah laku; (3) dunia dari isi objektif pemikiran manusia, khususnya pengetahuan ilmiah, puitis dan seni. Popper menyatakan objektivisme tidak dapat dicapai pada dunia fisik, melainkan melalui pemikiran manusia secara pribadi maupun kelompok. Pemikiran ini kemudian berkembang menjadi konstruktivisme yang tidak hanya menyajikan batasan baru mengenai keobjektifan, melainkan juga batasan baru mengenai kebenaran dan pengetahuan manusia.

Konstruktivisme menegaskan bahwa pengetahuan tidak lepas dari subjek yang sedang belajar mengerti. Kosntruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita adalah konstruki (bentukan) kita sendiri. Dalam konstruktivisme, pengetahuan bukanlah gambaran dunia kenyataan yang ada. Pengetahuan bukan titik pasti yang kaku, tetapi merupakan suatu proses menjadi mengerti. Para konstruktvis menganut paham bahwa pengetahuan itu ada dalam diri seseorang yang sedang terlibat dalam proses mengetahui. Keberadaan realitas tidak hadir begitu saja pada pikiran pengamat, realitas ada karena pada diri manusia terdapat skema, kategori, konsep, dan struktur pengetahuan yang berkaitan dengan objek yang diamati (Ardianto,2007:154).


(33)

1. Pengetahuan bukanlah merupakan gambaran dunia kenyataan belaka, tetapi merupakan konstruksi kenyataan melalui kegiatan subjek.

2. Subjek membentuk skema kognitif, kategori, konsep, dan struktur yang perlu untuk pengetahuan.

3. Pengetahuan dibentuk dalam struktur konsespsi seseorang. Struktur konsepsi membentuk pengetahuan apabila konsepsi itu digunakan ketika berhadapan dengan pengalaman-pengalaman seseorang.

Dalam konteks hubungan konstruktivisme dengan ilmu komunikasi Robyn Penmann merangkumkannya sebagai berikut:

1. Tindakan komunikatif sifatnya sukarela. Pembuat komunikasi adalah subjek yang memiliki pilhan bebas, walaupun lingkungan sosial membatasi apa yang dapat dan telah dilakukan. Jadi tindakan komunkatif dianggap sebagai tindakan sukarela, berdasarkan pilihan subjeknya.

2. Pengetahuan adalah sebuah produk sosial. Pengetahuan bukan sesuatu yang objektif sebagaimana diyakini positivisme, melainkan diturunkan dari interaksi dalam kelompok sosial. Pengetahuan itu dapat ditemukan dalam bahasa, dan melalui bahsa itulah konstruksi realitas terjadi.

3. Pengetahuan bersifat kontekstual, maksudnya pengetahuan merupakan produk yang dipengaruhi ruang dan waktu, juga akan mengalami perubahan seiring dengan pergeseran waktu.

4. Teori-teori menciptakan dunia. Teori bukanlah alat melainkan suatu cara pandang yang ikut mempengaruhi cara pandang kita terhadap realitas atau dalam batas tertentu teori menciptakan dunia. Dalam konteks ini dunia bukanlah “segala sesuatu yang ada” melainkan “segala sesuatu yang menjadi lingkungan hidup dan penghayatan hidup manusia”, jadi dapat dikatakan sebagai hasil pemahaman manusia atas kenyataan di luar dirinya.


(34)

5. Pengetahuan bersifat sarat nilai.

Menurut Bungin (2008:196), ada tiga hal penting dalam penyiapan materi konstruksi sosial, yaitu;

a. Keberpihakan media massa terhadap kapitalisme. Sebagaimana diketahui, kini hampir semua media, baik cetak maupun elektronik telah dimiliki oleh satu golongan kapitalis tertentu. Artinya, media massa digunakan oleh kekuatan-kekuatan kapital untuk menjadikan media massa sebagai alat peraup untung yang sebesar-besarnya, baik dari segi kuasa, modal dan uang. Semua elemen media massa termaksud orang-orang media massa berpikir untuk melayani kapitalisnya, pola pikir mereka adalah membuat media massa yang laku di masyarakat.

b. Keberpihakan semu kepada masyarakat. Bentuk dari keberpihakan ini adalah dalam bentuk empati, simpati dan berbagai bentuk partisipasi kepada masyarakat. Namun intinya adalah usaha penjualan berita dan meningkatnya rating yang sangat bermanfaat untuk menarik minat kaum kapitalis.

c. Keberpihakan kepada kepentingan umum. Bentuk keberpihakan kepada kepentingan umum dalam arti sesungguhnya pada dasarnya adalah visi setiap media massa. Namun akhir-akhir ini visi tersebut tak pernah menunjukkan jati dirinya, yang tinggal hanya slogan-slogan media tentang visi.

Secara esensial, pendekatan konstruktivis pada media, wartawan dan berita dapat dirangkum dalam 6 perspektif (Eriyanto, 2003), yaitu:

a. Fakta atau peristiwa adalah hasil konstruksi. Bagi kaum konstruktivis, realitas itu bersifat subjektif. Realitas itu ada karena diciptakan dan dihadirkan oleh konsep subjektif wartawan. Realitas itu bisa berbeda-beda, tegantung pada bagaimana wartawan memaknai suatu peristiwa. Pandangan utama dalam konstruktivisme adalah


(35)

fakta berupa kenyataan itu bukanlah sesuatu yang real, melainkan tergantung kapada pemikiran orang yang memaknai fakta tersebut.

b. Media adalah agen konstruksi. Dalam pandangan konstruktivis, meda bukan suatu saluran yang bebas. Media juga menjadi subjek atau agen yang turut mengkonstruksi realitas, melalui pandangannya, bias dan keberpihakannya. Maka berita yang diberitakan oleh media tidak hanya menggambarkan realitas, tidak hanya menunjukkan pendapat sumber berita, tetapi juga konstruksi dari media itu sendiri. c. Berita bukan refleksi dari realitas, hanya konstruksi atas realitas. Menurut pandangan

konstruktivis, berita merupakan hasil dari konstruksi sosial yang selalu melibatkan pandangan, ideologi dan nilai-nilai dari wartawan dan media. Bagaimana realitar itu dijadikan berita, tergantung pada bagaimana fakta itu dipahami dan dimaknai. Proses pemaknaan selalu melibatkan nilai-nilai tertentu, sehingga sangat besar kemungkinan berita merupakan cerminan dari realitas. Fakta yang sama bisa saja menghasilkan berita yang berbeda, tergantung dari sudut pandang yang berbeda.

d. Berita bersifat subjektif atas realitas. Berita subjektif lahir dari sisi lain wartawan. Karena wartawan sendiri melihat dengan persfektif dan berbagai pertimbangan subjektifnya. Penempatan sumber berita yang lebih ditonjolkan dari sumber lainnya, menempatkan wawancara seorang tokoh lebih besardengan tokoh lainnya, liputan yang hanya satu, tidak berimbang. Bagi kaum konstruktivis, hal itu bukanlah merupakan sebuah kekeliruan atau bias, tetapi dianggap memang itulah praktek yang dijalankan oleh wartawan.

e. Wartawan bukanlah pelapor, melainkan agen konstruksi realitas. Menurut pandangan kaum konstruktivis, wartawan tidak bisa menyembunyikan pilihan moral dan keberpihakannya., karena ia merupakan bagian yang instrinsik dalam pembentukan


(36)

berita. Dan berita bukan produk individual, melainkan juga bagian dari proses organisasi dan interaksi wartawan di dalam suatu media.

f. Etika, pilihan moral dan keberpihakan wartawn adlah bagian integral dalam produksi berita. Aspek etika, moral dan nilai-nilai tertentu tidak dapat dihilangkan dalam pemeritaan media. Wartawan bukan robot yang meliput apa adanya, apa yang dilihat tanpa interpretasi apapun. Etika dan moral dalam banyak hal dapat berarti keberpihakan pada satu kelompok atau nilai tertentu yang merupakan integral dan tidak terpisahkan dalam membentuk dan mengkostruksi realitas sosial.

II.4 Ideologi

Secara etimologis, ideologi berasal dari bahasa Greek, terdiri dari kata idea dan logia. Idea berasal dari kata idein yang berarti melihat. Idea dalam Webster’s News Colligiate Dictionary berarti sesuatu yang ada dalam pikiran sebagai hasil perumusan suatu pemikiran atau rencana. Sedangkan logis, berasal dri kata logos yang berarti world. Kata ini berasal dari kata legein yang berarti to speak (berbicara). Selanjutnya kata logia berarti science (pengetahuan) atau teori (Sobur,2004:64).

Ideologi dapat diartikan sebagai kerangka berpikir atau kerangka referensi tertentu yang dipakai oleh individu untuk melihat realitas dan bagaimana mereka menghadapinya. Ideologi ini abstrak dan berhubungan denga konsepsi atau posisi seseorang dalam menafsirkan realitas. Dalam konsespsi Marx, ideologi adalah bentuk kesadaran palsu. Kesadaran seseorang, siapa mereka, dan bagaimana mereka menghubungkan dirinya dengan masyarakat dibentuk dan diproduksi oleh masyarakat, tidak oleh ideologi yang alamiah. Kesadaran kita tentang realitas sosial ditentukan oleh masyarakat, tidak oleh psikologi individu.


(37)

Media berperan mendefenisikan bagaimana realitas seharusnya dipahami, bagaimana realitas itu dijelaskan dengan cara tertentu kepada khalayak. Pendefinisian tersebut bukan hanya peristiwa, melainkan juga aktor-aktor sosial. Diantara dari berbagai fungsi media dalam mendefenisikan realitas,fungsi utama dalam ideologi adalah media sebagai mekanisme integrasi sosial. Media disini berfungsi menjaga nilai-nilai kelompok, dan mengontrol bagaimana nilai-nilai kelompok itu dijalankan.

II.5 Hegemoni

Istilah hegemoni berasal dari bahasa Yunani hegeishtai (to lead). Antonio Gramsci (1971) membangun suatu teori yang menekankan bagaimana penerimaan kelompok yang didominasi terhadap kelompok dominan berlangsung dalam suatu proses yang damai, tanpa tindakan kekerasan, sehingga ide-ide yang didiktekan oleh kelompok dominan terhadap kelompok yang didominasi diterima sebagai sesuatu yang wajar. Nilai dan ideologi hegemoni ini diperjuangkan dan dipertahankan oleh pihak dominan, sehingga pihak yang didominasi tetap diam dan taat terhadap kepemimpinan kelompok penguasa. Media dapat menjadi sarana dimana satu kelompok mengukuhkan posisinya dan merendahkan kelompok lain.ini bukan berarti media adalah kekuatan jahat yang dengan senjaga merendahkan masyarakat bawah. Proses bagaimana wacana mengenai gambaran masyarakat bawah bisa buruk di media.

Dalam produksi berita, proses itu terjadi melalui cara yang halus, sehingga apa yang terjadi dan diberitakan oleh media tampak sebagai suatu kebenaran, logis, bernalar awan (common sense) dan semua orang berpikir itu bukanlah suatu hal yang patut dipertanyakan. Singkatnya, hegemoni dapat dikatakan sebagai reproduksi ketaatan, kesamaan pandangan, dengan cara yang lunak. Lewat media massalah hegemoni dilakukan. Media secara perlahan-lahan memperkenalkan, membentuk, dan menanamkan pandangan tertentu kepada khalayak.

Common sense yang berhubungan dengan praktik kerja jurnalistik, diantaranya adalah kecenderungan untuk menempatkan unsur dramatisasi dalam pemberitaan. Hal ini


(38)

berhubungan dengan kebiasaaan wartawan yang lebih mengedepankan apa yang menarik untuk diberitakan kepada publik. Jika idea atau gagasan dari kelompok dominan diterima sebagai sesuatu yang common sense, kemudian ideologi itu diterima baik melalui praktik kerja, maka hegemoni telah terjadi.

Hegemoni bergerak pada level makna bersama (common sense) dalam asumsi-asumsi yang dibuat mengenai kehidupan sosial dan pada wilayah yang diterima sebagai sesuatu yang “natural” atau “demikian adanya”. Common sense merupakan cara mendeskripsikan segala sesuatu yang “setiap orang tahu”, atau paling tidak “harus tahu”. Gramsci mengingatkan bahwa cara paling efektif dalam menguasai (ruling) adalah melalui pembentukan asumsi- asumsi common sense.

Asumsi common sense merupakan konstruksi sosial. Asumsi ini memberi implikasi pada pengertian tertentu mengenai dunia sosial. Asumsi common sense adalah ungkapan yang, misalnya, menyatakan bahwa “posisi moderat lebih baik daripada posisi ekstrim”, atau “perempuan lebih pantas menjadi pengasuh dibanding laki-laki”, dan contoh-contoh lain yang sejenis. Ketika orang mengadopsi asumsi common sense, mereka juga akan menerima seperangkat keyakinan tertentu atau ideologi mengenai hubungan sosial. Gramsci melihat hegemoni sebagai pertarungan yang terjadi setiap hari mengenai konsep-konsep akan realitas. Penguasa, yakni mereka yang memelihara kekuasaan dengan mendefinisikan asumsi-asumsi, bekerja memberikan stabilitas dan legitimasi dan menggabungkan kekuatan potensial oposan ke dalam basis kerangka kerja ideologi.

Hegemoni adalah proses pembentukan memori kolektif, yaitu pemikiran masyarakat akan suatu hal. Dari bentuk prosesnya sendiri, terdapat dua macam jenis hegemoni. Hegemoni jenis pertama adalah apa yang disebut dengan everyday resistance, di mana pihak yang berkuasa akan mencoba membendung laju pemikiran lain selain konsep yang mereka punya. Ini jelas terlihat pada masa pemerintahan Soeharto. Hal tersebut jugalah yang menjadikan sastra koran berusaha memperkuat sensornya. Bagaimanapun, media masih


(39)

merupakan alat paling jitu untuk menyampaikan satu pemikiran kepada masyarakat. Sedang hegemoni jenis kedua, adalah hegemoni pada sistem masyarakat yang terbuka (tanpa satu produsen), di mana pemikiran-pemikiran yang timbul dalam masyarakat mendapatkan ruang yang bebas untuk diapresiasikan, serta terbuka untuk menjadi bahan diskusi masyarakat umum.

II.6 Analisis Framing

Kata framing berasal dari bahasa Inggris yakni dari kata frame. Gagasan ini pertama kali dilontarkan Beterson pada tahun 1955. Mulanya frame dimaknai sebagai struktur konseptual atau perangkat kepercayaan yang mengorganisir pandangan politik, kebijakan, dan wacana. Kemudian dikembangkan lebih jauh oleh Goffman pada tahun 1974 yang mengandaikan frame sebagai kepingan-kepingan perilaku yang membimbing individu dalam membaca realitas. Dalam perspektif komunikasi, analisis framing dipergunakan untuk menbedah cara-cara atau ideologi media saat mengkonstruksi fakta (Sobur,2004:162).

Dalam perspektif komunikasi, analisis framing dipakai untuk membedah cara-cara ideologi media saat mengkonstruksi fakta. Analisi ini mencermati strategi seleksi , penonjolan dan pertautan fakta ke dalam berita agar lebih bermakna, lebih menarik, lebih berarti atau lebih diingat, untuk menggiring interpretasi khalayak sesuai perspektifnya. Dengan kata lain framing adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang digunakan oleh wartawan ketika menyeleksi isu dan menulis berita. Cara pandang atau perspektif itu pada akhirnya menentukan fakta apa yng diambil, bagian man yang ditonjolkan dan dihilangkan, serta hendak dibawa kemana berita tersebut.

Analisis framing adalah salah satu bentuk analisis teks yang berada dalam kategori penelitian konstruksionis. Paradigma ini memandang realitas kehidupan sosial bukanlah realitas yang natural, tetapi hasil dari konstruksi (Eriyanto,2005:37). Framing adalah


(40)

pendekatan untuk mengetahui bagaimana perspekif atau cara pandang yang digunakan wartawan ketika menyeleksi isu dan menulis berita. Framing juga merupakan pendekatan untuk melihat bagaimana realitas itu dibentuk dan dikonstruksi oleh media. Gamson dan Modigliani menyebut cara pandang itu sebagai kemasan yang mengandung konstruksi makna atas peristiwa yang akan diberitakan. Menurut mereka, frame adalah cara bercerita atau gugusan ide-ide terorganisir sedemikian rupa dan menghadirkan konstruksi makna peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan objek suatu wacana (Eriyanto,2005:66).

Ada hal penting dalam framing, ketika sesuatu diletakkan dalam frame, maka ada bagian yang terbuang dan ada bagian yang terlihat. Kita bisa menghadirkan analogi ketika kita memotret pemandangan, maka yang masuk dalam foto hanyalah bagian yang berada dalam frame, dan ada bagian lain yang terbuang. Analisis framing menanyakan mengapa berita X diberitakan? Mengapa berita lain tidak diberitakan? Mengapa suatu tempat dan pihak yang terlibat berbeda meskipun peristiwanya sama? Mengapa kenyataan didefenisikan dengan cara berbeda? Mengapa sisi atau angle tertentu yang ditonjolkan dan bukan yang lain? Mengapa fakta tertentu ditonjolkan danbukan yang lain? Mengapa menampilkan sumber berita X dan mengapa bukan sumber berita yang lain yang diwawancarai? (Kriyantono, 2008)

G.J Aditjondro mendefenisikan framing sebagai metode penyajian realitas dimana kebenaran tentang suatu kejadian tidak diingkari secara total, melainkan dibelokkan secara halus, dengan memberikan sorotan terhadap aspek-aspek tertentu saja. Dengan menggunakan istilah-istilah yang mempunyai konotasi tertentu, dengan bantuan foto, karikatur dan alat ilustrasi lainnya (Sudibyo,1999:165). Menurut Aditjondro, proses framing merupakan bagian tak terpisahkan dari proses penyuntingan yang melibatkan semua pekerja di bagian keredaksian media cetak. Reporter di lapangan menentukan siapa yang diwawancarai. Redaktur, dengan atau tanpa berkonsulatasi dengan redaktur pelaksana menentukan apakah


(41)

laporan reporter akan dimuat atau tidak, dan menentukan judul apa yang akan diberikan. Petugas tata muka, dengan atau tanpa berkonsultasi dengan para redaktur, menentukan apakah teks berita itu diberikan aksentuasi foto, karikatur, atau bahkan ilustrasi lain. Bahkan, kata Aditjondro, proses framing tidak hanya melibatkan para pekerja pers, tetapi juga pihak-phak yang bersengketa dalam kasus-kasus tertentu yang masing-masing berusaha menampilakn sisi-sisi informasi yang ingin ditonjolkannya (menyembunyikan sisi-sisi lain), sambil mengaksentuasikan kesahihan pandanganya dengan mengacu pada pengetahuan, ketidaktahuan, dan perasaan para pembaca. Proses framing menjadikan media massa menjadi arena dimana informasi tentang masalah tertentu diperebutkan dalam suatu perang simbolik antara berbagai pihak yang sama-sama menginginkan pandangnnya di dukung pembaca (Siahaan dalam Sobur,2004:165).

Salah satu yang menjadi prinsip analisis framing adalah bahwa wartawan bisa menerapkan standart kebenaran, matriks objektivitas, serta batasan-batasan tertentu dalam mengolah dan menyuguhkan berita. Dalam mengkonstruksi suatu realitas, wartawan juga cenderung menyertakan pengalaman serta pengetahuannya yang sudah mengkristal menjadi skema interpretasi. Dengan skema ini pula wartawan cenderung membatasi atau menyeleksi sumber berita, menafsirkan komentar-komentar sumber berita, serta member porsi yang berbeda terhadap tafsir dan perspektif yang muncul dalam wacana media (Sobur,2004:166).

Pada dasarnya pekerjaan media adalah mengkonstruksi realitas. Isi media adalah hasil peristiwa-peristiwa yang telah dikonstruksi para pekerja media. Pada biasanya ada tiga tindakan yang dilakukan pekerja media massa, khususnya oleh para komunikator massa (orang media yang bertanggung jawab atas editorial sebuah media), tatkala melakukan konstruksi realitas yang berujung pada pembentukan makna atau citra. Yang pertama, pilihan kata atau simbol. Sekalipun media hanya melakukan pegutipan langsung dari sumber berita, secara langsung atau tidak langsung media massa tetap terlibat dengan kata-kata ataupun


(42)

simbol yang digunakan sumber tersebut. Kedua, dalam melakukan pembingkaian (framing), minimal karena adanya tuntutan keterbatasan kolom atau halaman pada media cetak dan keterbatasan ruang dan waktu pada media elektronik. Jarang ada media yang meliput suatu peristiwa dari awal sampai akhir. Biasanya berita yang panjang, lebar, rumit akan disederhanakan melalui pembingkaian (framing) fakta-fakta berita yang penting sehingga layak terbit/tayang. Ketiga, menyediakan ruang dan waktu untuk sebuah berita. Jika media massa memberi tempat pada sebuah peristiwa, maka masyarakat akan memberi perhatian terhadap berita tersebut. Semakin besar tempat dan ruang yang diberikan oleh media, semakin besar pulalah perhatian yang didapat dari masyarakat.

Entman melihat framing dalam dua dimensi besar: seleksi isi dan penekanan aspek-aspek realitas. Kedua faktor ini dapat lebih mempertajam framing berita melalui proses seleksi isu yang layak ditampilkan dan penekanan isi beritanya. Ia juga menambahakan bahwa frame berimplikasi penting bagi komunikasi politik. Menurutnya, frame menuntut perhatian terhadap beberapa aspek dari realitas dengan mengabaikan elemen lainnya memungkinkan khalayak memiliki reaksi berbeda.

Konsep framing dalam pandangan Entman, secara konsisten menawarkan sebuah cara untuk mengungkapkan the power of communication text. Analisis framing dapat menjelaskan dengan cara yang tepat pengaruh atas kesadaran manusia yang didesak oleh komunkasi informasi dari sebuah lokasi. Framing menurut Entman secara esensial meliputi penyeleksian dan penonjolan isu. Membuat frame adalah menyeleksi beberapa aspek dari suatu pemahaman atas realitas, dan membuatnya lebih menonjol didalam suatu teks yang dikomunikasikan sedemikian rupa sehingga mempromosikan sebuah defenisi permasalahan yang khusus, interpretasi kausal, evaluasi moral, dan atau merekomendasikn penanganannya (Sobur,2004:165).


(43)

Penonjolan yang dimaksud, merupakan proses membuat informasi menjadi lebih bermakna. Realitas yang disajikan secara menonjol atau mencolok sudah tentu mempunyai peluang besar untuk diperhatikan dan mempengaruhi khalayak dalam memahami realitas. Karena itu, framing dijalankan oleh media dengan menyeleksi isu tertentu dan mengabaikan isu lain; serta menonjolkan aspek isu tersebut dengan menggunakan berbagai strategi wacana. Seperti penempatan yang mencolok (menempatkan di headline, halaman depan atau bagian belakang), pengulangan, pemakaian grafis untuk mendukung dan memperkuat penonjolan, pemakaian label tertentu ketika menggambarkan orang atau peristiwa yang sedang diberitakan (Sobur,2004:164).

Table 2. Dimensi Framing Robert Entman

Seleksi Isu

Aspek ini berhubungan dengan pemilihan fakta. Dari realitas yang kompleks dan beragam; aspek mana yang diseleksi untuk ditampilakan? Dari proses ini selalu terkandung di dalamnya ada bagian fakta yang dimasukkan. Tidak semua aspek atau bagian dari isu yang ditampilkan, wartawan atau gatekeepers memilih aspek tertentu dari isu tersebut.

Penonjolan Aspek

Tertentu Dari Isu

Aspek ini berhubungan dengan penulisan fakta. Ketika aspek tertentu dari suatu peristiwa/isu telah dipilih, bagaimana aspek tersebut ditulis? Hal ini sangat berkaitan dengan pemakaian kata, kalimat, gambar dan citra tertentu untuk ditampilakan kepada khalayak.

Sumber: Eriyanto.2005.Analisis Framing konstruksi, Ideologi dan Politik Media. Yogyakarta:Lkis

Dua dimensi yang telah dijelaskan diatas, selanjutnya dikonsepsi oleh Entman menjadi perangkat Framing yang selalu ada dalam sebuah berita. Perangkat Framing yang dimaksud meliputi:


(44)

a. Pendefenisian masalah (define problems) adalah elemen yang pertama sekali dapat kita lihat mengenai framing. Elemen ini merupakan master frame/bingkai yang paling utama. Ia menekankan bagaimana peristiwa dipahami oleh wartawan. Ketika ada masalah atau peristiwa, bagaimana peristiwa atau isu itu dipahami. Peristiwa yang sama dapat dipahami dengan cara yang berbeda. Dan bingkai yang berbeda ini akan menyebabkan realitas bentukan yang berbeda.

b. Memperkirakan masalah atau sumber masalah (diagnose causes), merupakan elemen framing untuk membingkai siapa yang dianggap aktor dari suatu peristiwa. Penyebab disini bisa berarti apa (what), tetapi bisa juga berarti siapa (who). Bagaimana peristiwa dipahami, tentu saja menekankan apa dan siapa yang dianggap sebagai sumber masalah.

c. Membuat keputusan moral (make moral judgement) adalah elemen framing yang dipakai untuk membenarkan/memberi argumentasi pada pendefenisian maslah yang sudah dimuat. Ketika masalah sudah didefenisikan, penyebab masalah sudah ditentukan, dibutuhkan sebuah argumentasi yang kuat untuk mendukung masalah tersebut.

d. .Menekankan penyelesaian (treatment recomendation). Elemen ini dipakai untuk menilai apa yang dikendaki wartawan. Jalan apa yang dipilih untuk menyelesaikan masalah.


(45)

BAB III

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN DAN

METODOLOGI PENELITIAN

III.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Kantor pusat Kompas berada di Jakarta dan memiliki 7 kantor perwakilan, yakni Bandung, Solo, Yogyakarta, Semarang, Surabaya, Pontianak dan Medan. Selain kota-kota tersebut, di kota lain Kompas juga memiliki wartawan, namun mereka tidak memiliki kantor dan menyampaikan informasi dengan jaringan internet. Pada tahun 1982 Kompas pernah memiliki kantor perwakilan di luar negri, yakni di New York, tetapi saat ini sudah tidak aktif. Kompas mengadakan kerja sama dengan instansi swasta dalam dan luar negri, antara lain dengan yayasan Lembaga Konsumen dalam hal pengujian-pengujian dan beberapa Perguruan Tinggi Negeri/Swasta dalam bidang penelitian dan magang. Kompas juga banyak menjalin kerjasama dengan negara lain, seperti Malaysia, Amerika Serikat, Kanada, Australia, Jepang, Arab,dll. Kompas menjadi media cetak terbesar di Indonesia dengan jumlah oplah mencapai 507 ribu eksemplar perhari. Kini jumlah pembaca Kompas mencapai dua juta orang per hari.

Urutan 15 Koran Teratas Tingkat Nasional (Berdasarkan jumlah pembaca) Sumber : Nielsen Readership Study W4 2009

Nama Koran Jumlah Pembaca (000)

JAWA POS 1194

KOMPAS 1137

POS KOTA 939

TOP SKOR 729

WARTA KOTA 677

KEDAULATAN RAKYAT 505


(46)

BERITA KOTA 364

KORAN TEMPO 275

RADAR BOGOR 239

SUARA MERDEKA 228

PIKIRAN RAKYAT 224

SUMATERA EKSPRESS 215

LAMPU HIJAU 211

FAJAR 195

III.1.1 Sejarah Harian Kompas

Kompas sebagai suatu perusahaan media massa yang besar di Indonesia, pertama kali terbit pada tanggal 28 juni 1965. Kompas merupakan perusahaan yang paling lama daripada media lainnya. Harian yang bermotto “ Amanat Hati Nurani Rakyat” ini diawali dengan bangkrutnya PT. Kinta dengan majalah terbitan bulanan Intisari yang didirikan oleh (Alm.) Auwjong Peng Koen, atau lebih dikenal dengan nama Petrus Kanisius Ojong seorang pemimpin redaksi mingguan Star Weekly, beserta Jakob Oetama wartawan mingguan Penabur milik gereja Katolik.

Kemunculan harian Kompas pada waktu itu sangat tepat karena pada masa 1965 adalah masa politik Indonesia yang panas dimana terjadi perseteruan antara PKI dan pihak militer, terutama Angkatan Darat. Pada masa itu koran-koran nonkomunis berusaha dimatikan oleh pihak komunis, supaya dapat melancarkan propaganda mereka terhadap rakyat melalui surat kabar tanpa halangan. Melalui koran milik PKI yaitu, “Harian Rakyat” dan koran-koran PKI lainnya, PKI berusaha mendapatkan simpati rakyat dengan menyatakan aksi-aksi PKI seperti penyerobotan lahan sebagai aksi patriotik yang membela nasib rakyat. Hal ini mendorong Letjend. Ahmad Yani sebgai Menteri Panglima Angkatan Darat (1962-1965) menghubungi rekan sekabinetnya yaitu Drs. Frans Seda (1964-(1962-1965) yang juga gerah dengan aksi PKI, untuk mendirikan koran melawan partai komunis. Ide itu sejalan dengan


(47)

kebijakan partai Katolik yang pada waktu itu diwakili oleh Frans Seda. Lalu bersama dengan IJ. Kasimo, P.K Ojong dan Jakob Oetama diawalilah perintisan pembentukan koran tersebut.

Pada awalnya nama yang disiapkan adalah “Bentara Rakyat” , tetapi presiden Soekarno mengusulkan untuk memberi nama “Kompas”, artinya sebagai media pencari fakta dari segala penjuru.sedangkan nama “Bentara Rakyat” itu menjadi nama yayasan penerbt harian Kompas.

Pendiri utama Kompas adalah tokoh organisasi Katolik, sedangkan pengasuh sehari-hari dipegang oleh P.K Ojong dan Jacob Oetama dengan otonomi professional yang penuh. Proses minta izin usaha dan izin terbit tidaklah mudah, karena PKI berusaha menghalangi, karena menguasai aparatur di bagian perizinan pusat dan daerah. Berkat usaha dan imingan dari Mgr. Soegipratama dan dukungan dari pimpinan Angkatan Darat Letnan Jendral Ahmad Yani serta ketekunan, maka tahap demi tahap dapat dilewati. Pada tanggal 28 Juni 1965 terbitlah edisi pertama harian Kompas dengan tampilan sangat sederhana sebanyak 4.800 eksemplar dan meningkat menjadi 8.003 pada edisi berikutnya. Kehadiran Kompas akhirnya dirasakan PKI sebagai ancaman. Segera mereka bereaksi keras mengeluarkan hasutan kepada rakyat.

Dalam perjalanannya pada tahun 1972 barulah Kompas mampu memiliki percetakan sendiri, yaitu “Percetakan Gramedia”. Semula Kompas hanya terbit sebanyak 4 halaman, kemudian mengalami perkembangan menjadi 16 halaman dan terbit 7 kali dalam seminggu. Dengan adanya Undang-Undang Pokok Pers pada tahun 1982 dan ketentuan SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) yang mewajibkan penerbitan pers berbadan hukum, maka penerbit Kompas beralih ke PT. Kompas Media Nusantara sejak tahun1985. Sepanjang gerakan Kompas pernah dua kali dilarang terbit olaeh pemerintah, dan kedua larangan itu merupakan larangan massal. Pertama setelah terjadinya peristiwa Gerakan 30 September 1965, dilarang terbit pada tanggal 2 Oktober 1965 sampai 6 Oktober 1965. Kedua, setelah


(48)

terjadinya demokrasi mahasisswa pada tahun 1978, Kompas bersama beerapa harian daerah dilarang terbit.

Dalam sejarah perkembangan sirkulasinya, harian Kompas yang kemudian sudah menjadi harian nasional, meningkat cukup pesat. Hal itu dapat dilihat dari jumlah sirkulasi harian Kompas pada Juni 1965 yang erjumlah 7.739 eksemplar meningkat menjadi 526.611 eksemplar pada Juni 1990, yang tersebar luas di seluruh Indonesia.

III.1.2 Visi, Misi dan Motto Harian Kompas III.1.2.1 Visi Harian Kompas

Kompas memiliki visi yang ingin dicapai dalam kedudukannya sebgai media. Adapun visi Kompas , yaitu: “Menjadi institusi yang memberikan pencerahan bagi perkembangan masyarakat Indonesia yang demokratis dan bermartabat, serta menjunjung tinggi asa dan nilai kemanusiaan.

III.1.2.2 Misi Harian Kompas

Misi harian Kompas ialah: “Mengantipasi dan merespon dinamika masyarakat secar profesional, sekaligus memberi arah perubahan (trend setter) dengan menyediakan dan menyebarluaskan informasi yang terpercaya”.

III.1.2.3 Motto Harian Kompas

Harian Kompas mengemban motto “Amanat Hati Nurani Rakyat”. Motto ini merupakan hasil pilihan yang matang, timbul dari keprihatinan, penghayatan dari nasib hati nurani rakyat yang pada saat itu dimanipulasi oleh PKI.

III.1.2.4 Nilai-Nilai Dasar Harian Kompas

Harian Kompas menganut falsafah bahwa seluruh kegiatan dan keputusan yang akan diambil harus didasrkan pada nilai dasar. Nilai dasar tersebut akan memaksimalkan kepuasan pelanggan harian Kompas. Nilai-nilai harian Kompas tersebut adalah:


(49)

ci. Menghargai manusia dan nilai-nilai kemanusiaan sesuai dengan harkat dan martabatnya.

cii. Mengutamakan watak baik.

ciii. Profesionalisme.

civ. semangat kerja tim.

cv. Berorientasi pada kepuasan konsumen (pembaca, pengiklan, mitra kerja, dll).

cvi. Tanggung jawab sosial

III.2 Metode Penelitian

Dalam penelitian ini, metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian teks. Teks sebagai materi penelitian memiliki fungsi: teks sebgai objek penelitian yang meliputi sebagai representasi dari ciri kelompok yang diteliti dan dari situasi yang diteliti. Dalam penelitian ini konstruksi teks/berita sebagai objek penelitian dianalisis dengan menggunakan analisis framing Robert Entman (Titscher,2009:55).

Framing bersama semiotik dan analisis wacana berada dalm rumpun analisis isi. Sebagai kelanjutan analisi isi konvensional, analisis framing meninggalkan analisis isi konvensional karena ketidakmampuan analisis isi membaca urgensi pesan sebagai bagian terpenting dari analisis sosial.

Framing dapat dipandang sebagai penempatan atau pembingkaian informasi, fakta, realitas dalam konteks yang khas sehingga isu tertentu mendapatkan alokasi yang benar daripada isu yang lain. Perangkat framing menurut Entman adlaah sebagai berikut:

Perangkat Analisis Framing Robert Entman Defenisi Masalah

(Defining Problem)

Bagaimana suatu peristiwa dilihat? Sebagai apa?


(1)

BAB V

PENUTUP

V.1. KESIMPULAN

Berdasarkan rangkaian proses penelitian yang telah dilakukan, maka diperoleh beberapa kesimpulan yang sesuai dengan tujuan penelitian sebagai berikut:

1. Setelah dianalisis dengan analisis framing dengan pendekatan Robert Entman, dapat

dilihat dengan jelas bagaimana konstruksi berita ujian nasional 2011 tingkat SMA/MA/SMK. Isu yang diangkat adalah ujian nasional 2011. Dan aspek ditonjolkan adalah ujian nasional 2011 mengalami keberhasilan yang cukup signifikan yaitu meningkat dari 99.04 persen menjadi 99.22 pesen. Konstruksi berita ini dapat dilihat dari rubrik penempatan berita, 90 persen berita tersebut berada pada rubrik pendidikan & kebudayaan. Sehingga berita ujian nasional ini tidak kritis. Karena dipandang dari satu sisi saja dengan pilihan narasumber yang berasal dari satu latar belakang juga. Narasumber harian Kompas yang notabene daripihak pendidikan, menyebutkan bahwa kecurangan dalam UN juga sudah berkurang apabila dibandingkan dengan tahun lalu. Harian Kompas juga sangat minim dalam mengekspose kelemahan dari sistem ini, dan keunggulannya yang selalu diberitakan. Dengan fakta dan uraian yang dituturkan narasumber dalam harian Kompas, seolah ujian nasional tahun ini sudah mengalami keberhasilan dalam hal kuantitatif dan kualitatif. Padahal kuantitatif dan kualitatif tidak selamanya berbanding lurus.

2. Kompas memposisikan diri diluar pemerintah sebagai pihak yang mengkritisi dan memantau program pemerintah, dalam hal ini ujian nasional. Ideologi yang ditanamkan dalam pemberitaan


(2)

ini adalah peningkatan persentase kelulusan siswa dalam ujian nasional yang dianggap sebagikeberhasilan sistem baru yang ditetapkan pemerintah. Namun, terkait ini Kompas kurang proporsional dalam menampilkan berita, berdasarkan pemilihan narasumber, jenis penulisan berita, posisi berita dan isu-isu yang diangkat.

3. Isu ujian nasional tidak menjadi berita yang masuk dalam agenda penting harian Kompas. Terlihat dari tidak ada satu pun dari 11 berita yang ada tidak satu pun menjadi headline news. Tetapi 90 persen berada pada rubrik pendidikan dan kebudayaan dan satu

lainnya pada rubrik metropolitan. Dalam berita yang keseluruhannya dikemas dalam bentuk straight news menyebabkan berita tersebut tidak dibahas secara mendalam. Penulisan berita ujian nasional 2011 seolah hanya momentum saja. Tidak satu pun dari berita yang dibahas lebih dari 20 paragraf dan hanya 2 berita yang dibahas dalam 16-20 paragraf. Seharusnya tahun ini lebih dibahas lagi, karena sistem ujian yang baru diberlakukan tahun ini, merupakan alternative yang diputuskan pemerintah atas persoalan ujian nasional dari tahun sebelumnya.

V.2 SARAN

1. Keterbatasan peneliti baik dalam hal-hal teknis seperti kurangnya literatur sangat mempengaruhi penelitian. Oleh karena itu hendaknya kajian penelitian tentang media lebih ditingkatkan lagi sehingga memperluas pemahaman tentang penelitian konstruktivis.

2. Dari hasil penelitian yang sudah dilakukan terlihat bahwa ternyata media memiliki kepentingan tertentu. Tidak selamanya berita itu murni memberitakan fakta lapangan. Oleh sebab itu diperlukan pemahaman yang cukup untuk memahami faktor yang membentuk realitas tersebut sehingga pemahaman pembaca tidak digiring oleh berita-bertita yang disuguhkan oleh media. Dalam menanggapi setiap isu yang beredar, sebesar


(3)

apapun media memberitakannya seharusnya pola berfikir yang cermat perlu untuk terus dijaga. Karena dengan literasi media, dapat dibedakan apa yang sesuai fakta apa yang telah dipengaruhi.

3. Media hendaknya menjaga integritasnya dalam memberitakan berita, sehingga berita yang disampaikan menjadi informasi bahkan ilmu yang bermanfaat bagi masyarakat, bukan menjadi bumerang yang merusak pola pikir khalayak luas. Yang dierlukan oleh khalayak adalah kebenaran dari fakta-fakta yang ada, jangan menjadikan masyarakat menjadi sasaran untuk kuasa dan keuntungan.

V.3 IMPLIKASI PENELITIAN

V.3.1 Implikasi Teoritikal

Secara akademis, penelitian analisis framing ini dapat memberikan masukan atau pertimbangan terhadap pemberitaan di harian Kompas untuk memberitakan suatu berita secara proporsional dan berimbang. Tetap memperhatikan frame setiap berita yang diangkat sehingga harian Kompas mempunyai kontribusi yang tepat dalam menyampaikan informasi yang bermutu dan akurat bagi khalayak. Dengan mengamati berita dengan analisis framing, maka akan terlihat bagaimana posisi suatu berita dalam suatu surat kabar, dan bagaimana ideologi wartawan ketika meliput dan menuliskan berita tersebut.

V.3.2 Implikasi Praktikal

Secara praktis, penelitian analisis teks media khususnya framing akan mengubah pola pikir seseorang dalam melihat suatu realitas yang dibentuk oleh media. Apabila sebelumnya percaya sepenuhnya pada apa yang diberitakan media, perlahan-lahan akan berubah. Informasi yang dipaparkan oleh media tidak lagi dipandang sebagai fakta yang utuh, tetapi fakta yang telah terdistorsi oleh kepentingan lain, dan besar kemungkinan oleh media itu


(4)

sendiri, karena media bukanlah satu pihak yang netral. Ketidaknetralan media dapat dilihat dengan menggunakan analisis framing yang akan memunculkan isu yang diangkat dan aspek yang ditonjolkan. Oleh sebab itu dianggap penting untuk memperkenalkan dan mentransfer hasil dari penelitian konstruktivis dan sejenisnya kepada masyarakat, sehingga masyarakat dapat memahami apa yang disuguhkan media dengan pola pikir yang independen.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Ardianto, Elvinaro. 2007. Filsafat Ilmu Komuikasi. Bandung: Pt. Remaja Rosdakarya

Arikunto, Suharimi. 2007. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta

Baran, Stanley j. dan Dennis K. Davis. 2010. Teori Dasar, Komunikasi Pergolakan dan Masa

Depan Massa. Jakarta: Salemba Humanika

Bungin, Burhan. 2005 Metode penelitian Kualitatif. Jakarta : Kencana Bungin, Burhan. 2008. Konstruksi Sosial Media Massa. Jakarta: Kencana

Bungin, Burhan. 2008. Sosiologi Komunikasi: Teori, paradigm, dan Diskursus Tehnologi

Komunikasi di Masyarakat. Jakarta: Kencana

Efendy, Onong Uchjana.2005. Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktek. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya

Eriyanto. 2001. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LkiS ---.2005. Analisis Framing Konstruksi, Ideologi dan Politik Media. Yogjakarta: LkiS

Kriyantono, Rachmat, 2008. Tehnik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group

Lubis, Suwardi.1998. Metodologi Penelitian Komunikasi. Medan: USU Press

Mulyana, Dedi.2005. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung. Remaja Rosdakarya

Nanawi, Hadari.2002. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogjakarta: Gajah Madha Univercity Press

Nuruddin.2004 Komunikasi Massa.Malang: Penerbit Cespur


(6)

Rakhmat, Jalaluddin.2004 Metode Penelitian Komunikasi: Bandung: Pt Remaja Rosda Karya Simatupang, Andi Sunarjo.2010.Konstruksi Berita 100 hari SBY-Boediono. Medan:Skripsi FISIP USU Tanpa Penerbit.

Singarimbun, Masridan Sofian Efendy. 1995. Metode Penelitian Survei. Jakarta: Kencana Pustaka LP3ES Indonesia

Sobur, Alex. 2004. Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis

Semiotika dan Analisis Framing. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya

Sudibyo, Agus. 2009. Kebebasan Semu. Jakarta: Kompas

---. 2001. Politik Media dan Pertarungan wacana. Yogjakarta.LkiS Wiryanto. 2000. Teori Komunikasi Massa. Jakarta. PT. Grasindo

Wiryanto. 2000. Teori Komunikasi Massa. Jakarta: Pt Grasindo

Sumber lain:

diakses tanggal 19 April 2011

diakses tanggal 11 April 2011

http://www.scribd.com/doc/15252080/Paradigma-Konstruktivisme-Paradigma-Kritikal

(http//manajemenkomunikasi.blogspot.com/2010/10/12/pengertian-dan-fungsi-teori-dalam.html).


Dokumen yang terkait

Konstruksi berita 100 hari sby-boediono (studi analisis framing tentang berita 100 hari sby-boediono pada harian Kompas

0 18 138

Analisis Framing Pemberitaan Perjalanan Koalisi Gerindra Dengan Ppp Pada Pilpres 2014 Di Harian Kompas

0 23 143

Polemik Ujian Nasional dalam Harjo (Studi Analisis Framing Pemberitaan Surat Kabar Harian Jogja Mengenai Polemik Ujian Nasional SMA Periode April 2011).

0 8 16

KONSTRUKSI PEMIMPIN NASIONAL DALAM SURAT KABAR HARIAN KOMPAS (Analisis Framing Laporan Jajak Pendapat KOMPAS dengan Topik Kepemimpinan Nasional Periode 2009-2012).

0 3 14

SKRIPSI Polemik Ujian Nasional dalam Harjo (Studi Analisis Framing Pemberitaan Surat Kabar Harian Jogja Mengenai Polemik Ujian Nasional SMA Periode April 2011).

0 5 13

PENDAHULUAN Polemik Ujian Nasional dalam Harjo (Studi Analisis Framing Pemberitaan Surat Kabar Harian Jogja Mengenai Polemik Ujian Nasional SMA Periode April 2011).

0 2 31

PENUTUP Polemik Ujian Nasional dalam Harjo (Studi Analisis Framing Pemberitaan Surat Kabar Harian Jogja Mengenai Polemik Ujian Nasional SMA Periode April 2011).

0 3 29

KONSTRUKSI PEMIMPIN NASIONAL DALAM SURAT KABAR HARIAN KOMPAS KONSTRUKSI PEMIMPIN NASIONAL DALAM SURAT KABAR HARIAN KOMPAS (Analisis Framing Laporan Jajak Pendapat KOMPAS dengan Topik Kepemimpinan Nasional Periode 2009-2012).

0 2 16

PENDAHULUAN KONSTRUKSI PEMIMPIN NASIONAL DALAM SURAT KABAR HARIAN KOMPAS (Analisis Framing Laporan Jajak Pendapat KOMPAS dengan Topik Kepemimpinan Nasional Periode 2009-2012).

0 4 30

PENUTUP KONSTRUKSI PEMIMPIN NASIONAL DALAM SURAT KABAR HARIAN KOMPAS (Analisis Framing Laporan Jajak Pendapat KOMPAS dengan Topik Kepemimpinan Nasional Periode 2009-2012).

0 3 11