Konstruksi berita 100 hari sby-boediono (studi analisis framing tentang berita 100 hari sby-boediono pada harian Kompas

(1)

KONSTRUKSI BERITA 100 HARI SBY-BOEDIONO

(Studi Analisis Framing tentang Berita 100 Hari SBY-Boediono Pada Harian

Kompas)

SKRIPSI

Diajukan Guna Memenuhi Persyaratan Menyelesaikan Pendidikan Strata I (S1) di Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik

Disusun Oleh:

ANDI SUNARJO SIMATUPANG 060904046

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

LEMBAR PERSETUJUAN Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan oleh: Nama : Andi Sunarjo Simatupang NIM : 060904046

Departemen : Ilmu Komunikasi

Judul : Konstruksi Berita 100 Hari SBY-Boediono

(Studi Analisis Framing tentang Berita 100 Hari SBY-Boediono Pada Harian Kompas)

Medan, Maret 2010 Dosen Pembimbing Ketua Departemen

Drs. Syafruddin Pohan, M.Si Drs. Amir Purba, M.A 195812051989031002 195102191987011001

A.n. Dekan FISIP USU


(3)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan Panitia Penguji Skripsi Pada Hari :

Tanggal : Pukul :

Tim Penguji:

1. Ketua :

2. Anggota 1 :


(4)

ABSTARAKSI

Konstruksi berita di media massa baik di media televisi, cetak, dan internet tidak lepas dari subyektifitas penulis atau bahkan media itu sendiri. Di dalam penelitian ini, akan membantu dalam memahami bagaimana sebenarnya realitas yang dibentuk oleh media. Penelitian ini tidak terlepas dari penelitian yang sejenis sebelumnya, dimana penelitian analisis teks media yang ada telah memberikan masukan dalam terlaksananya penlitian ini. Dalam pelaksanaan penelitian ini terdapat kekurangan yang sangat mempengaruhi baik dari sisi literatur dan pemahaman penulis mengenai penelitian ini. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konstruksi berita tentang pemberitaan 100 hari SBY-Boediono dalam harian Kompas. Isu 100 hari SBY-Boediono menjadi penting karena momen yang sama baru terjadi setelah pemerintahan yang baru terbentuk. Keberhasilan pemerintah selama 100 hari pertama menjadi tolak ukur masyarakat selama lima tahun kedepan. Oleh karena itu, berbagai kepentingan mulai mewarnai berbagai berita tentang seratus hari ini. Dalam penelitian ini, metode yang dipakai adalaha analisis framing versi Robert Entman. melalui metode ini akan terlihat selektivitas isu, serta penonjolan aspek-aspek tertentu terkait isu yang diangkat. Sealain itu, akan tampak jelas define problem, diagnose causes, make moral judgement, serta treatment recommendation. Melalui penelitian ini diketahui posisi harian Kompas dalam memandang isu 100 hari pemerintahan SBY-Boediono. Kompas memandang adanya ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintah. Berbagai kelemahan pemerintah dalam berbagai kasus yang berkembang menjadi pemicunya. Kritik yang diberikan terhadap pemerintah diharapkan menjadi masukan agar pemerintah berkerja lebih serius kedepannya.


(5)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kepada Tuhan Yesus Kristus karena berkat kasih karunia-Nya yang senantiasa diberikan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini bertujuan untuk memenuhi salah satu persyaratan guna menyelesaikan dan memperoleh gelar kesarjanaan (S1) pada Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempataan ini penulis juga ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada keluarga besar penulis. Kepada kedua orang tua penulis, Albiner Simatupang dan Bunga Purba, juga kepada kakak penulis Roma L. Simatupang, SE, dan adik-adik penulis Dina M. Simatupang, Lisnawaty Simatupang, Sudianto Simatupang, Yeni M. Simatupang yang telah memberikan kasih sayang dan dukungan kepada penulis hingga saat ini.

Penulis juga ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya atas segala bantuan, dukungan serta bimbingan dari berbagai pihak yang diberikan kepada penulis, karena tanpa semuanya itu penulis tidak akan sampai pada penyelesaian skripsi ini. Adapun rasa terima kasih tersebut penulis tujukan kepada :

1. Bapak Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Drs. Amir Purba, MA, selaku Ketua Departemen Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.


(6)

3. Bapak Drs. Syafruddin Pohan, M.Si, selaku dosen pembimbing penulis, yang sangat banyak membantu penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Mulai dari meluangkan waktu, memberikan saran dan kritik berharga dan tentunya berkenan untuk berdiskusi dengan penulis

4. Ibu Dra. Fatma Wardy Lubis, MA, selaku dosen wali yang telah membimbing penulis selama menjalani masa studi sebaga mahasiswa FISIP USU.

5. Seluruh Staf Dosen dan Adiministrasi Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU, yang telah memberikan pendidikan pelajaran, bimbingan serta bantuan lainnya pada penulis dari semester awal hingga menamatkan perkuliahan.

6. Nelvita Sari, yang telah memberikan waktu, pikiran serta dukungan yang sebesar-besarnya kepada penulis sampai skripsi ini dapat selesai.

7. Teman-teman penulis di Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia cabang Medan khusunya Komisariat FISIP USU: Tiwie, Yusniar, Maykel, Lerry, Citra, Forman, bang Kiel, bang Melki, bang Frans, bang Nando, dan yang lain yang tidak dapat disebut satu persatu yang turut memberikan dukungan kepada penulis.

8. Teman-teman penulis seangkatan, terkhusus kepada Erin, Pangeran, Ester, Mey, Edo, dan Kris yang telah bersama-sama dengan penulis dari semester awal hinga akhir masa studi.

9. Teman-teman penulis di Ikatan Mahasiswa Dairi (IMADA): Toman, Dinar, Veriko, dan teman-teman yang lainnya.


(7)

10.Teman-teman mahasiswa Departemen Ilmu Komunikasi stambuk 2006: Ima, Cristina, Efron, Pina, Hendra, dan yang lain yang tidak dapat disebutkan.

Akhir kata, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu. Penulis juga menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, masih terdapat kekurangan Oleh karena itu diharapkan kritik dan saran yang membangun untuk kedepannya bagi penulis. Sekian, semoga Tuhan memberikan berkat dan karunianya senantiasa kepada kita semua.

Medan, Maret 2010 Penulis,


(8)

DAFTAR ISI

ABSTRAKSI ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

I.1. Latar Belakang Masalah ... 1

I.2. Perumusan Masalah ... 6

I.3. Pembatasan Masalah ... 6

I.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6

I.4.1. Tujuan Penelitian ... 6

I.4.2. Manfaat Penelitian ... 7

I.5. Kerangka Teori ... 7

I.5.1. Komunikasi dan Komunikasi Massa ... 8

I.5.2. Berita, Pers dan Jusnalistik ... 10

I.5.3. Paradigma Konstruktivisme ... 12

I.5.4. Ideologi Media ... 14

I.5.5. Hegemoni Media ... 14

I.5.6. Analisis Framing ... 15

I.6. Kerangka Konsep ... 17


(9)

BAB II. URAIAN TEORITIS ... 20

II.1. Komunikasi dan Komunikasi Massa ... 20

II.2. Berita, Pers dan Jusnalistik ... 24

II.2.1.Berita ... 24

II.2.2.Pers ... 28

II.2.3.Jurnalistik ... 29

II.3. Paradigma Konstruktivisme ... 31

II.4. Ideologi Media ... 40

II.5. Hegemoni Media ... 42

II.6. Analisis Framing ... 44

II.6.1.Analisis Framing Robert Entman ... 47

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ... 50

III.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 50

III.1.1. Sejarah Harian Kompas ... 50

III.1.2. Visi, Misi, dan Motto Harian Kompas ... 54

III.1.3. Nilai-Nilai Dasar Harian Kompas ... 55

III.1.4. Lain-lain ... 55

III.2. Metode Penelitian ... 56

III.3. Subjek Penelitian ... 59

III.4. Teknik Pengumpulan Data ... 59

III.5. Teknik Analisis Data ... 60

BAB IV. ANALISIS DAN PEMBAHASAN DATA ... 64

IV.1.Analisis Data ... 64


(10)

IV.1.2. Analisis Framing ... 79

IV.1.2.1. Frame Berita ... 81

IV.1.2.2. Rangkuman Frame Berita ... 98

BAB V. PENUTUP ... 104

V.1. Kesimpulan ... 104

V.2. Saran ... 106

V.3. Implikasi Peneltian ... 107

V.3.1. Implikasi Teoritikal ... 107

V.3.2. Implikasi Praktikal ... 107

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(11)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 : Perbandingan Ontologi, Epistemologi, Metodologi Tabel 2 : Dimensi Framing Robert Entman

Tabel 3 : Perangkat Analisis Framing Robert Entman

Tabel 4 : Daftar Berita 100 hari SBY-Boediono 17 Januari s/d 7 Februari 2010 Tabel 5.1 : Contoh Tabel Jumlah Paragraf

Tabel 5.2 : Contoh Tabel Jenis Berita Tabel 5.3 : Contoh Tabel Posisi Berita Tabel 5.4 : Contoh Tabel Rubrik Tabel 5.5 : Contoh Tabel Narasumber

Tabel 5.6 : Contoh Tabel Isu-Isu yang menonjol Tabel 5.7 : Contoh Tabel Berita yang diteliti Tabel 5.8 : Contoh Tabel Frame isi pemberitaan

Tabel 6 : Daftar Berita 100 hari SBY-Boediono 17 Januari s/d 7 Februari Tabel 7.1 : Profil berita yang diteliti

Tabel 7.2 : Profil berita yang diteliti Tabel 8 : Jumlah Paragraf

Tabel 9 : Jenis Berita Tabel 10 : Posisi Berita Tabel 11 : Rubrik Tabel 12 : Narasumber Tabel 13 : Isu yang diangkat

Tabel 14 : Daftar berita yang diteliti


(12)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 : Visualisasi Konseptual Analisis Framing Robert Entman Gambar 2 : Fungsi Materi Teks


(13)

ABSTARAKSI

Konstruksi berita di media massa baik di media televisi, cetak, dan internet tidak lepas dari subyektifitas penulis atau bahkan media itu sendiri. Di dalam penelitian ini, akan membantu dalam memahami bagaimana sebenarnya realitas yang dibentuk oleh media. Penelitian ini tidak terlepas dari penelitian yang sejenis sebelumnya, dimana penelitian analisis teks media yang ada telah memberikan masukan dalam terlaksananya penlitian ini. Dalam pelaksanaan penelitian ini terdapat kekurangan yang sangat mempengaruhi baik dari sisi literatur dan pemahaman penulis mengenai penelitian ini. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konstruksi berita tentang pemberitaan 100 hari SBY-Boediono dalam harian Kompas. Isu 100 hari SBY-Boediono menjadi penting karena momen yang sama baru terjadi setelah pemerintahan yang baru terbentuk. Keberhasilan pemerintah selama 100 hari pertama menjadi tolak ukur masyarakat selama lima tahun kedepan. Oleh karena itu, berbagai kepentingan mulai mewarnai berbagai berita tentang seratus hari ini. Dalam penelitian ini, metode yang dipakai adalaha analisis framing versi Robert Entman. melalui metode ini akan terlihat selektivitas isu, serta penonjolan aspek-aspek tertentu terkait isu yang diangkat. Sealain itu, akan tampak jelas define problem, diagnose causes, make moral judgement, serta treatment recommendation. Melalui penelitian ini diketahui posisi harian Kompas dalam memandang isu 100 hari pemerintahan SBY-Boediono. Kompas memandang adanya ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintah. Berbagai kelemahan pemerintah dalam berbagai kasus yang berkembang menjadi pemicunya. Kritik yang diberikan terhadap pemerintah diharapkan menjadi masukan agar pemerintah berkerja lebih serius kedepannya.


(14)

BAB I PENDAHULUAN

I.1 LATAR BELAKANG MASALAH

Tahun 2009 menjadi masa dimana Bangsa Indonesia kembali mencetak sejarah dengan melaksanakan agenda lima tahunan. Bangsa Indonesia memasuki babak baru setelah Pemilihan Presiden (Pilpres) 2009 menghasilkan Presiden dan Wakil Presiden yang baru. Dimulai dari pemilihan anggota legislatif pada bulan April, dan pada bulan Juli untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden. Tahapan demi tahapan dilalui dalam proses demokrasi ini. Untuk kedua kalinya Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY biasa disapa terpilih sebagai Presiden, dan didampingi Wakil Presiden yang baru Boediono. Pasangan baru ini diharapkan membawa bangsa Indonesia kearah yang lebih baik, dimana stabilitas nasional terjaga baik di bidang sosial, ekonomi, politik, dan keamanan.

Dalam rangka melaksanakan tugas-tugas kenegaraannya, Presiden memilih menteri-menteri yang akan membantunya (tercantum dalam UUD Negara Republik Indonesia 1945) dalam melaksanakan tugas-tugas pemerintahan. Jika pada periode sebelumnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono didampingi Wakil Presiden Jusuf Kalla untuk memimpin Kabinet Indonesia Bersatu jilid I, kini bersama Wakil Presiden Boediono beliau memimpin Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) Jilid II. Tahapan ini menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat setelah para Menteri diumumkan Presiden pada tanggal 20 Oktober


(15)

komposisi menteri sampai latar belakang menteri yang terpilih. Pemilihan menteri ini tentunya dengan harapan dapat membantu Presiden baik dalam perencanaan program kerja dan pelaksanaannya kelak demi mencapai cita-cita bersama.

Masa lima tahun pemerintahan akan dinilai keberhasilannya melalui program kerja yang dijalankan. Presiden dibantu Wakil Presiden beserta para menteri dalam merancang program kerja lima tahun dan program kerja 100 hari pertama. Program kerja lima tahun merupakan program kerja jangka panjang yang menjadi agenda selama Presiden menjabat dalam satu periode pemerintahaan, sedangkan program kerja 100 hari disusun dalam rangka transisi pemerintahan dari permeintahan lama ke pemerintahan yang baru. Pada rentan waktu 100 hari, jajaran pemerintahan yang baru diharapkan dapat membawa perubahan yang cukup berarti. Jika pemerintah mampu membuat perubahan, ini menjadi indikator keberhasilan pemerintahan SBY-Boediono untuk sementara dan sebaliknya.

Program kerja 100 hari pertama ini menjadi sangat penting karena setiap pihak merasa perlu mengetahui program-program atau kebijakan pemerintah yang menjadi prioritas utama. Pihak-pihak lain seperti swasta merasa perlu untuk mensinergiskan antara program dibidang ekonomi dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam bidang ekonomi. Begitu juga dengan bidang lainnya seperti sosial dan politik. Beberapa instansi salah satunya Kamar Dagang Indonesia (KADIN) bahkan mendesak pemerintah untuk mengumumkan rancangan program 100 hari kepada publik. Program 100 hari meliputi 45 program aksi dimana 15 diantaranya menjadi program wajib untuk diimplementasikan dalam 100 hari kerja. Pemerintah dalam pernyataannya kepada public mengatakan bahwa dalam 100 hari ini program-program yang dijalankan


(16)

berupa pengurusan administrasi, pembuatan rancangan kerja atau blueprint pada setiap kementrian yang semuanya mengacu pada program jangka panjang pemerintah.

Perkembangan rancangan program kerja 100 hari yang disusun dan dilaksanakan oleh pemerintah menarik perhatian media dan menjadi berita utama. Media sebagai lembaga yang mengawasi kinerja pemerintah juga merasa perlu untuk mengetahui apa-apa saja kebijakan yang diambil selama lima tahun kedepan dan terkhusus 100 hari pertama masa pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu II.

Agenda media yang sedang terfokus pada kasus Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) pada bulan November seakan meredupkan pemberitaan mengenai program-program kerja Pemerintah 100 hari pertama. Pemberitaan mengenai kasus tersebut bahkan sudah mengarah kearah yang lebih luas, berawal dari kasus hukum dan sampai ke masalah politik. Keruhnya persoalan membuat Presiden mengambil langkah membentuk Tim Pencari Fakta (TPF) yang bertugas untuk mencari fakta-fakta kunci dalam penyelesaian permasalahan ini. Pemberitaan mengenai kasus KPK dan POLRI disusun seakan berbeda dengan pemberitaan 100 hari kinerja pemerintah. Pada kenyataannya, hal tersebut merupakan bagian dari program pemerintah dalam 100 hari pertama. Dalam rangka percepatan pemberantasan korupsi, presiden membentuk TPF sebagai kebijakan awal. Keberhasilan Tim Pencari Fakta nantinya untuk mengungkapkan akar permasalahan menjadi nilai tersendiri dalam keberhasilan pemerintah dalam hal penegakan hukum dalam 100


(17)

Mengenai pemberitaan 100 hari KIB II, salah satu stasiun televisi swasta bahkan telah merancang sebuah acara khusus membahas perkembangan yang terjadi selama seratus hari pemerintahan yang baru. Selain media tersebut, beberapa media cetak, baik media cetak nasional maupun lokal juga sudah mulai mengangkat persoalan ini dalam pemberitaannya. Pemberiataan 100 hari menjadi khusus karena topik ini hanya ada sekali dalam lima tahun, atau tepatnya ketika pemerintahan yang baru terpilih. Semenjak era reformasi bergulir, media secara terus menerus melakukan fungsi pengawasan terhadap pemerintah dan salah satunya memberitakan kinerja pemerintah. Sudah menjadi sebuah tradisi bagi media untuk memberitakan pencapaian yang dilakukan pemerintah selama 100 hari pertama melaksanakan tugasnya.

Hampir seluruh media, tekhusus media cetak yang ada di Indonesia menyoroti masalah program 100 hari kerja dalam isi beritanya. Salah satu media cetak yang konsisten dalam pemberitaanya adalah surat kabar harian Kompas. Pada awal kemunculan Presiden SBY dengan Kabinet Indonesia Bersatu lima tahun lalu, Kompas juga mengulas pemberitaan 100 hari pertama presiden bekerja. Inilah mengapa peneliti memilih surat kabar harian Kompas sebagai objek penelitian mengenai pemberitaan 100 hari pertama kinerja Kabinet Indonesia Bersatu II. Kompas merupakan salah satu surat kabar yang telah mengawal perjalanan negeri ini sejak tahun 1963. Kompas bermula sebagai media bulanan bernama Inti Sari, dengan jumlah 128 halaman saat pertama kali terbit tanggal 7 Agustus 1963. Perkembangan selanjutnya berubah nama menjadi ‘Bentara Rakyat’ dan terakhir menjadi Kompas. Kompas edisi pertama dicetak pada tanggal 28 Juni 1965 dengan motto “Amanat Hati Nurani Rakyat”. Dan saat


(18)

terbit pada 6 Oktober 1965, tiras Kompas menenbus angka 23.268 eksemplar, hingga pada akhir pemerintahan Soeharto tiras Kompas mencapai angka lebih dari 600 ribu eksemplar per hari. Pada tahun 2004, tiras hariannya mencapai 530.000 eksemplar, khusus untuk edisi Minggunya malah mencapai 610.000 eksemplar. Pembaca koran ini mencapai 2,25 juta orang di seluruh Indonesia (http://id.wikipedia.org/wiki/KOMPAS). Sejarah perjalanan Kompas tersebut menjadi sebuah jaminan objektifitas dalam setiap pemberitaannya.

Pada umumnya isi pemberitaan di surat kabar di pengaruhi oleh latar belakang, seperti ideologi, dan pemilik media. Bahkan secara khusus, cara pandang wartawan terhadap suatu isu mempengaruhi isi berita yang dibuatnya. Hal ini pastinya terjadi pada setiap media, dan tidak menutup kemungkinan terjadi dalam permberitaan di harian Kompas terkait pemberitaan 100 hari kerja permerintahan yang baru. Kita tidak mengetahui fakta-fakta apa yang menjadi pilihan dan bagaimana fakta tersebut dikonstruksi menjadi sebuah berita. Untuk mengetahui lebih mendalam konstruksi pemberitaan, peneliti menggunakan analisis Framing. Framing bersama semiotik dan analisis wacana berada dalam rumpun analisis isi. Proses framing berkaitan dengan persoalan bagaimana sebuah realitas dikemas dan disajikan dalam presentasi media.

Dari serangkaian penjelasan diatas, peneliti tertarik untuk meneliti konstruksi berita 100 hari SBY-Boediono pada harian Kompas.


(19)

I.2 PERUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka perumusan masalah sebagai berikut :

“Bagaimanakah konstruksi berita 100 hari SBY-Boediono dalam harian Kompas?”

I.3 PEMBATASAN MASALAH

Untuk menghindari ruang lingkup yang terlalu luas, maka peneliti merasa perlu untuk melakukan pembatasan agar dalam penelitian lebih jelas dan lebih fokus. Adapun pembatasan masalah adalah sebagai berikut :

a. Penelitian ini bersifat kulitatif deskriptif, untuk mengetahui isi pemberitaan 100 hari kerja pemerintahan SBY-Boediono.

b. Penelitian ini menggunakan analisis framing dengan pendekatan Robert Entman. Media yang diteliti adalah media cetak harian, dalam hal ini adalah harian Kompas.

c. Berita yang diteliti adalah pemberitaan mengenai 100 hari pemerintahan SBY-Boediono mulai tanggal 17 Januari sampai dengan 7 Februari 2010.

I.4 TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN I.4.1 Tujuan Penelitian:

Adapun tujuan penelitian ini adalah:

1.Untuk mengetahui konstruksi berita 100 hari pemerintahan SBY-Boediono pada harian Kompas.


(20)

2.Untuk mengetahui pandangan dan posisi harian Kompas terkait pemberitaan 100 hari pemerintahan SBY-Boediono.

I.4.2 Manfaat Penelitian:

Manfaat dilakukannya penelitain sebagai berikut:

1. Secara teoritis, penelitian berguna untuk memperkaya khasanah penelitian yang menggunakan teori komunikasi dan memperluas cakrawala penelitian tentang pemberitaan di media cetak.

2. Secara akademis, penelitian ini diharapkan mampu memperluas dan memperkaya penelitian khususnya dalam bidang Ilmu Komunikasi. 3. Secara praktis, penelitian ini dapat memberikan masukan pemikiran

kepada pihak-pihak yang membutuhkan.

I.5 KERANGKA TEORI

Dalam penelitian ilmiah, yang menjadi landasan dalam berpikir adalah teori. Teori berfungsi untuk menjelaskan, meramalkan, dan memberikan pandangan terhadap sebuah permasalahan. Teori merupakan himpunan konstruk (konsep), defenisi dan preposisi yang mengemukakan pandangan sistematis tentang gejala dengan menjabarkan relasi di antara variable, untuk menjelaskan dan meramalkan gejala tersebut (Rakhmat, 2004:6).


(21)

I.5.1 Komunikasi dan Komunikasi Massa

Komunikasi bukan hanya hal yang paling wajar dalam pola tindakan manusia, tetapi juga paling rumit (Purba dkk,2006:29). Ungkapan diatas tidak dapat dipungkiri, karena komunikasi merupakan hal yang dilakukan sejak manusia lahir ke bumi. Komunikasi dapat diartikan sebagai bentuk interaksi manusia yang saling memperngaruhi antara yang satu dengan yang lain sengaja atau tidak sengaja, dan tidak terbatas pada komunikasi verbal saja (Cangara,2002:20).

Sama halnya dengan sosiologi, dalam merumuskan suatu defenisi yang sekaligus dapat mengemukakan keseluruhan pengertian, sifat dan hakikat dalam beberapa kalimat ditemukan kesulitan. Oleh karenanya, suatu defenisi hanya dapat dipakai sebagai suatu pegangan yang sifatnya sementara saja. Dalam perkembangannya, banyak ahli komunikasi mendefenisikan komunikasi secara berbeda-beda. Sejak awal abad 20 tepatnya 1930-1960, defenisi-defenisi mengenai komunikasi telah banyak diungkap, ketika itu para ahli di Amerika Serikat mulai merasakan kebutuhan akan “Science Of Communication”, dan diantaranya adalah Carl I. Hovland. Menurutnya, Ilmu Komunikasi adalah suatu usaha yang sistematis untuk merumuskan secara tegas azas-azas dan atas dasar azas-azas tersebut disampaikan informasi serta dibentuk pendapat dan sikap (a systematic attempt to formulate in rigorous fashion the principles by which information is transmitted and opinions and attitudes are formed) (Purba dkk, 2006:29). JikaCarl I. Hovland mendefenisikan komunikasi sebagai usaha yang sistematis, maka Harold Laswell menerangkan cara terbaik untuk menggambarkan komunikasi adalah dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut: Who Says


(22)

What In Which Channel To Whom With What Effect? Yang berarti “Siapa Mengatakan Apa dengan Saluran Apa Kepada Siapa Dengan Pengaruh Bagaimana?”(Mulyana,2005:62).

Sejalan dengan perkembangan media komunikasi, maka berkembang pula ilmu komunikasi massa. Komunikasi massa merupakan studi ilmiah tentang media massa beserta pesan yang dihasilkan, pembaca/ pendengar/ penonton yang akan coba diraihnya dan efeknya terhadap mereka. Pada dasarnya komunikasi massa adalah komunikasi melalui media massa (media cetak dan elktronik). Sebab, awal perkembangannya, komunikasi massa berasal dari pengembagan kata media mass communication (media komunikasi massa). Definisi komunikasi massa yang paling sederhana dikemukakan oleh Bittner ia mendefenisikan komunikasi massa adalah pesan yang dikomunikasikan melalui media massa pada sejumlah besar orang(mass communication is messages communicated through a mass medium to a large number of people. Definisi komunikasi massa yang lebih rinci dikemukakan oleh ahli komunikasi yang lain, yaitu Gebner. Menurut Gerbner (1967) “Mass communication is the tehnologically and institutionally based production and distribution of the most broadly shared continous flow of messages in industrial societes”. Komunikasi massa adalah produksi dan distribusi yang berlandaskan teknologi lembaga dari arus pesan yang kontinyu serta paling luas dimiliki masyarakat.

Dalam hal ini kita perlu membedakan massa dalam arti umum dengan massa dalam arti komunikasi massa. Massa dalam arti komunikasi massa lebih menunjuk pada penerima pesan yang berkaitan dengan media masa. Pengertian ini


(23)

mengemukakan defenisinya dalam dua item. Pertama, komunikasi massa adalah komunikasi yang ditujukan kepada massa/ khalayak. Ini tidak berarti bahwa khalayak meliputi seluruh penduduk atau semua orang yang menonton televisi, tetapi ini berarti kahalayak yang besar itu pada umumnya agak sukar untuk didefenisikan. Kedua, komunikasi massa adalah komunikasi yang disalurkan oleh pemancar-pemancar yang audio atau visual. Komunikasi massa barangkali akan lebih mudah dan lebih logis bila didefenisikan menurut bentuknya: televisi, radio, surat kabar, majalah, film, buku dan pita. (Effendy, 1990:21). Komunikasi massa mempunyai cirri-ciri khusus yang disebabkan oleh sifat komponenya. Cirri-cirinya adalah sebagai berikut :

1. Komunikasi massa berlangsung satu arah

2. Komunikator pada komunikasi massa melembaga 3. Pesan pada komunikasi massa bersifat umum

4. Media komunikasi massa menimbulkan keserempakan 5. Komunikan komunikasi massa bersifgat heterogen

I.5.2 Berita, Pers dan Jusnalistik

Berita adalah informasi baru atau informasi mengenai sesuatu yang sedang terjadi, disajikan lewat bentuk cetak, siaran, internet, atau dari mulut ke mulut kepada orang ketiga atau orang banyak. Dalam kamus besar bahasa Indonesia berita diartikan sebagai cerita atau keterangan mengenai kejadian atau peristiwa yang hangat. Sedangkan pemberitaan diartikan proses, cara, perbuatan memberitakan atau melaporkan. Henshall dan Ingram (2000) mendefenisikan berita adalah susunan kejadian setiap hari, sehingga masyarakat menerimanya


(24)

dalam bentuk yang tersusun dan dikemas rapi menjadi cerita, pada hari yang sama di radio atau di televisi dan keesokan harinya di berbagai media. Tidak semua hal dapat dikatakan berita. Sesuatu dapat dikatakan berita jika terdapat unsur-unsur berita didalamnya. Aktual (baru), kedekatan, penting, akibat, pertentangan/ konflik, seks, ketegangan, kemajuan-kemajuan, konsekuensi, emosi, humor, dan human interest merupakan beberapa unsur berita.

Istilah “pers” berasal dari bahasa Belanda, yang dalam bahasa Inggris berarti press. Secara harfiah pers berarti cetak ataupun penyiaran secara tercetak atau publikasi secara dicetak. Dalam perkembagannya pers mempunyai dua pengertian, yakni pers dalam pengertian luas dan pers dalam pengertian sempit. Pers dalam pengertian luas meliputi segala penerbitan, bahkan termasuk media massa elektronik, radio siaran, dan televisi siaran, sedangkan pers dalam arti sempit hanya terbatas pada media massa cetak, yakni surat kabar, majalah, dan buletin kantor berita. Pers dalam hal ini sebagai penulis berita pada awalnya mengedepankan prinsip objektivitas dalam penulisan beritanya. Yaitu bagaimana wartawan memandang dan menulis berita seperti apa yang dilihat, bukan yang diinginkan. Tetapi pandangan ini bergeser ke arah prinsip interpretasi. Sebab objektivitas dapat melahirkan kedangkalan tentang berita itu sendiri. Sementara pembaca menginginkan kedalaman agar mereka mampu mengetahui dan memahami kejadian yang ada dalam setiap peristiwa. Dalam pelakasanaannya, pers tidak hanya mengelola berita, tetapi juga aspek-aspek lain untuk isi surat kabar atau majalah. Karena itu funggsinya bukan lagi menyiarkan informasi, tetapi juga mendidik, menghibur, dan mempengaruhi agar khalayak melakukan


(25)

Jurnalistik adalah istilah yang berasal dari bahasa Belanda journalistiek, dan dalam bahasa Inggris journalistic atau journalism, yang bersumber pada perkataaan journal sebagai terjemahan dari bahasa Latin diurnal, yang berarti “harian” atau “setiap hari”. Secara gamblang, jurnalistik didefenisikan sebagai keterampilan atau kegiatan mengolah bahan berita mulai dari peliputan sampai kepada penyusunan yang layak disebarluaskan kepada masyarakat.

I.5.3 Paradigma Konstruktivisme

Konstruktivisme mengatakan bahwa kita tidak akan pernah dapat mengerti realitas yang sesungguhnya secara ontologis. Yang kita mengerti adalah struktur konstruksi kita akan suatu objek. Konstruktivisme tidak bertujuan mengerti realitas, tetapi hendak melihat bagaimana kita menjadi tahu akan sesuatu. Boleh juga dikatakan bahwa “realitas” bagi konstruktivisme tidak pernah ada secara terpisah dari pengamat. Yang diketahui bukan suatu realitas “di sanan” yang berdiri sendiri, melainkan kenyataan sejauh dipahami oleh yang menangkapnya. Menurut Shapiro, ada banyak bentuk kenyataan dan masing-masing terbentuk pada kerangka dan interaksi pengamat dengan objek yang diamati.(Ardianto,2007:80)

Pandangan konstruktivisme menolak pandangan positivism yang memisahkan subjek dan objek komunikasi. Dalam pandangan konstruktivisme, bahasa tidak lagi hanya dilihat sebagai alat untuk memahami realitas objektif belaka dan dipisahkan dari subyek sebagai penyampai pesan. Positivism meyakini bahwa pengetahuan harus merupakan representasi (gambaran atau ungkapan) dari kenyataan dunia yang terlepas dari pengamat (objektivisme). Pengetahuan


(26)

dianggap sebagai kumpulan fakta. Konstruktivisme menegaskan bahwa pengetahuan tidak lepas dari subjek yang sedang belajar mengerti. Konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita adalah konstruksi (bentukan) kita sendiri (Ardianto,2007:154). Pada proses komunikasi, pesan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari otak seseorang ke kepala orang lain. Penerima pesan sendirilah yang harus mengartikan apa yang telah diajarkan dengan menyesuaikan terhadap pengalaman mereka.

Dalam kaitannya dengan ilmu komunikasi, teori konstruktivis atau konstruktivisme adalah pendekatan secara teoritis untuk komunikasi yang dikembangkan tahun 1970-an oleh Jesse Delia dan rekan-rekan sejawatnya. Dalam buku Adrianto, Robyn Penmann merangkum kaitan konstruktivisme dalam hubungannya dengan ilmu komunikasi. Pertama, tindakan komunikatif sifatnya sukarela. Pembuat komunikasi adalah subjek yang memiliki pilihan bebas, walaupun lingkungan sosial membatasi apa yang dapat dan telah dijakukan. Kedua, pengetahuan adalah sebuah produk sosial. Pengetahuan bukan sesuatu yang objektif sebagaimana diyakini positivism, melainkan diturunkan dari interaksi dalam kelompok sosial. Ketiga, pengetahuan bersifat konstekstual, maksudnya pengetahuan merupakan produk yang dipengaruhi ruang waktu dan akan dapat berubah sesuai dengan pergeseran waktu. Keempat, teori-teori menciptakan dunia. Teori bukanlah alat, melainkan suatu cara pandang yang ikut mempengaruhi pada cara pandang kita terhadap realitas atau dalam batas tertentu teori menciptakan dunia. Kelima, pengetahuan besifat sarat nilai.


(27)

I.5.4. Ideologi Media

Secara etimologis, ideologi berasal dari bahasa Greek, terdiri dari kata idea dan logia. Idea berasal dari kata idein yang berarti melihat. Idea dalam Webster’s News Colligiate Dictionary berarti sesuatu yang ada di dalam pikiran sebagai hasil perumusan sesuatu pemikiran atau rencana. Sedangkan logis berasal dari kata logos yang berarti world. Kata ini berasal dari kata legein yang berarti to speak (berbicara). Selanjutnya kata logia berarti sciense (pengetahuan) atau teori (Sobur,2004:64).

Dalam konsepsi Marx, ideologi adalah sebentuk kesadaran palsu. Kesaradaran seseorang, siapa mereka, dan bagaimana mereka menghubungkan dirinya dengan masyarakat dibentuk dan diproduksi oleh masyarakat, tidak oleh biologi yang alamiah. Kesadaran kita tentang realitas sosial ditentukan oleh masyarakat, tidak oleh psikologi individu.

Ideologi dapat diartikan sebagai kerangka berpikir atau kerangka referensi tertentu yang dipakai oleh individu untuk melihat realitas dan bagaimana mereka menghadapinya. Ideologi ini abstrak dan berhubungan dengan konsepsi atau posisi seseorang dalam menafsirkan realitas (Sudibyo,2001:12)

I.5.5. Hegemoni Media

Teori Althusser tentang ideologi menekankan bagaimana kekuasaan kelompok dominan dalam mengontrol kelompok lain. Mengenai cara atau penyebaran ideologi dilakukan, teori Garamsci tentang hegemoni layak dikedepankan. Antonio Gramsci membangun suatu teori yang menekankan cara penyebaran ideologi tersebut.


(28)

Teori Hegemoni Gramsci menekankan bahwa dalam lapangan sosial ada pertarungan yang memperebutkan penerimaan public. Karena pengalaman sosial kelompok subordinat (apakah oleh kelas, gender, ras, umur, dan sebagainya) berbeda dengan ideologi kelompok dominan. Oleh karena itu, perlu usaha bagi kelompok dominan untuk menyebarkan ideologi dan kebenarannya tersebut agar diterima, tanpa perlawanan. Salah satu strategi kunci dalam hegemoni adalah nalar awam (common sense). (Eriyanto,2001:107)

Hegemoni bekerja melalui konsensus ketimbang upaya penindasan satu kelompok terhadap kelompok lain. Kelebihan hegemoni adalah bagaimana ia menciptakan cara berpikir atau wacana tertentu yang dominan, yang dianggap benar, sementara wacana yang lain dianggap salah. Ada suatu nilai atau konsensus yang dianggap memang benar, sehingga ketika ada cara pandang atau wacana lain dianggap tidak benar. Media di sini secara tidak sengaja dapat menjadi alat bagaimana nilai-nilai atau wacana yang dipandang dominan itu disebarkan dan meresap dalam benak khalayak sehingga menjadi konsensus bersama.

I.5.6. Analisis Framing

Secara epistemologi, kata framing berasal dai bahasa Inggris yakni dari kata frame. Gagasan ini pertama kali dilontarkan Beterson pada tahun 1955. Mulanya frame dimaknai sebagai sturktur konseptual atau perangkat kepercayaan yang mengorganisir pandangan politik, kebicakan, dan wacana. Dalam perspektif komunikasi, analisis framing dipakai untuk membedah cara-cara atau ideology media saat mengkonstruksi fakta.


(29)

Analisis framing adalah salah satu metode analisis teks yang berada dalam kategori penelittian konstruksionis. Paradigma ini memandang realitas kehidupan sosial bukanlah realitas yang natural, tetapi hasil dari konstruksi (Eriyanto 2005:37). Mengenai defenisi framing, beberapa ahli memberikan penekanan dan pengertian yang berbeda. Meskipun berbeda, ada titik singgung utama dari defenisi framing tersebut. Framing adalah pendekatan untuk melihat bagaimana realitas itu dibentuk dan dikonstruksi oleh media. Framing juga merupakan pendekatan untuk mengetahui bagaimana persperktif atau cara pandang yang digunakan oleh wartawan ketika menseleksi isu dan menulis berita. Bahkan menurut Gitlin, frame adalah bagian yang pasti hadir dalam praktik jurnalistik. (Eriayanto,2005:66)

Ada dua aspek dalam framing. Pertama, memilih fakta/realitas. Proses memilih fakta ini didasarkan pada asumsi, wartawan tidak mungkin melihat peristiwa tanpa perspektif. Dalam memilih fakta ini selalu terkandung dua kemungkinan: apa yang dipilih (included) dan apa yang dibuang (excluded). Kedua, menuliskan fakta. Proses ini berhubungan dengan bagaimana fakta yang dipilih itu disajikan kepada khalayak.

Entman melihat framing dalam dua dimensi besar: seleksi isu dan penekanan atau penonjolan aspek-aspek realitas. Kedua factor ini dapat lebih mempertajam framing berita melalui proses seleksi isu yang layak ditampilkan dan penekanan isi beritanya. Ia juga menambahakan bahwa framberimplikasi penting bagi komunikasi politik. Menurutnya, frame muntut perhatian terhadap beberapa aspek dari realitas dengan mengabaikan elemen-elemen lainnya yang memungkinkan khalayak memiliki reaksi berbeda.


(30)

Pendekatan Entman inilah yang digunakan dalam penulisan ini. Dua dimensi yang telah dijelaskan diatas, selanjutnya dikonsepsi oleh Entman menjadi perangkat framing yang selalu ada dalm sebuah berita. Perangkat framing yang dimaksud meliputi pendefenisian problem (Define Problems), memperkirakan masalah atau sumber masalah (Diagnose Causes), membuat keputusan moral (Make Moral Judgement), menekankan penyelesaian (Treatment Recommendation). Empat perangkat framing ini merupakan “pisau analisis” framing yang digunakan untuk mengolah dan menganalisa frame sebuah pemberitaan media.

I.6 KERANGKA KONSEP

Kerangka konsep dalam penelitian ini memakai analisis framing Robert Entman. Fokus perhatian Entman tetuju pada dua dimensi besar yaitu seleksi isu dan penekanan atau penonjolan aspek-aspek tertentu dari realitas atau isu.

Kemudian Entman mengkonsepsi dua dimensi besar tersebut kedalam perangkat framing. Perangkat framing yang dimaksud adalah:

a. Pendefenisian masalah (define problems), yaitu bagaimana suatu peristiwa/isu dilihat? Sebagai apa? Atau sebagai masalah apa?

b. Memperkirakan masalah atau sumber masalah (diagnose causes), yaitu peristiwa dilihat disebabkan oleh apa? Apa yang dianggap sebagai penyebab dari suatu masalah? Siapa (aktor) yang dianggap sebagai penyebab masalah?


(31)

c. Membuat keputusan moral (make moral judgement), yaitu nilai moral apa yang disajikan untuk menjelaskan masalah? Nilai moral apa yang dipakai untuk melegitimasi atau mendelegitimasi suatu tindakan?

d. Menekankan penyelesaian (treatment recomendation), yaitu penyelesaian apa yang ditawarkan untuk mengatasi masalah/isu? Jalan apa yang ditawarkan dan harus ditempuh untuk mengatasi masalah?

Gambar 1. Visualisasi Konseptual Analisis Framing Robert Entman

(Sumber : Majalah Kajian Media Dictum Vol.1, No.2 September 2007)

I.7 OPERASIONAL KONSEP

a. Pendefenisian masalah (define problems) adalah elemen yang pertama kali dapat kita lihat mengenai framing. Elemen ini merupakan master frame/ bingkai yang paling utama. Ia menekankan bagaimana peristiwa dipahami oleh wartawan. Ketika ada masalah atau peristiwa, bagaimana peristiwa atau

FRAMING 

Seleksi isu

Penonjolan aspek tertentu dari isu

BERITA 

Diagnoses Causes Memperkirakan Sumber Masalah Problem Identification

Pendefenisian masalah

Moral Judgement/ Evaluation Membuat Keputusan Moral

Treatment recommendation Rekomendasi Penyelesaian


(32)

isu tersebut dipahami. Peristiwa yang sama dapat dipahami secara berbeda. Dan bingkai yang berbeda ini akan menyebabkan realitas bentukan yang berbeda.

b. Memperkirakan masalah atau sumber masalah (diagnose causes), merupakan elemen framing untuk membingkai siapa yang dianggap sebagai aktor dari suatu peristiwa. Penyebab di sini bisa berarti apa (what), tetapi bisa juga berarti siapa (who). Bagaiaman peristiwa dipahami, tentu saja menekankan apa dan siapa yang dianggap sebagai sumber masalah.

c. Membuat keputusan moral (make moral judgement) adalah elemen framing yang dipakai untuk membenarkan/member argumentasi pada pendefenisian masalah yang sudah dibuat. Ketika masalah sudah didefenisikan, peneyebab masalah sudah ditentukan, dibutuhkan sebuah argumentasi yang kuat untuk mendukung gagasan tersebut.

d. Menekankan penyelesaian (treatment recomendation). Elemen ini dipakai unuk menilai apa yang dikehendaki oleh wartawan. Jalan apa yang dipilih untuk menyelesaikan masalah.


(33)

BAB II

URAIAN TEORITIS

II.1 Komunikasi dan Komunikasi Massa

Komunikasi bukan hanya hal yang paling wajar dalam pola tindakan manusia, tetapi juga paling rumit. Bagaimana tidak, komunikasi sudah berlangsung semenjak manusia lahir, dilakukan secara wajar dan leluasa seperti halnya bernafas, namun ketika harus membujuk, membuat tulisan, mengemukakan pikiran dan menginginkan orang lain bertindak sesuai dengan harapan kita, barulah disadari bahwa komunikasi adalah sesuatu yang sulit dan berbelit-belit (Purba dkk,2006:29). Ungkapan diatas tidak dapat dipungkiri, karena komunikasi merupakan hal yang dilakukan sejak manusia lahir ke bumi. Komunikasi dapat diartikan sebagai bentuk interaksi manusia yang saling memperngaruhi antara yang satu dengan yang lain sengaja atau tidak sengaja, dan tidak terbatas pada komunikasi verbal saja (Cangara,2002:20).

Dalam mendefenisikan komunikasi dapat ditinjau dari dua sudut pandang, yaitu komunikasi dalam pengertian secara umumdan pengertian secara paradigmatik. Pengertian secara umum komunikasi adalah proses penyampaian suatu pernyataan yang dilakukan oleh seseorang kepada orang lain sebagai konsekuensi dari hubungan sosial. Sedangkan dalam pengertian paradigmatic, komunikasi mengandung tujuan tertentu, ada yang dilakukan secara lisan, secara tatap muka, atau melalui media, baik media massa seperti surat kabar, radio, televisi, atau film dan sebagainya. Komunikasi dalam pengertian paradigmatis


(34)

bersifat intensional, mengandung tujuan; karena itu harus dilakukan dengan perencanaan. (Effendi,1992:6)

Sejalan dengan perkembangan media komunikasi, maka berkembang pula ilmu komunikasi massa. Komunikasi massa merupakan studi ilmiah tentang media massa beserta pesan yang dihasilkan, pembaca/ pendengar/ penonton yang akan coba diraihnya dan efeknya terhadap mereka. Pada dasarnya komunikasi massa adalah komunikasi melalui media massa (media cetak dan elektronik). Sebab pada awal perkembangannya, komunikasi massa berasal dari pengembagan kata media mass communication (media komunikasi massa). Definisi komunikasi massa yang paling sederhana dikemukakan oleh Bittner. Ia mendefenisikan komunikasi massa adalah pesan yang dikomunikasikan melalui media massa pada sejumlah besar orang(mass communication is messages communicated through a mass medium to a large number of people. Definisi komunikasi massa yang lebih rinci dikemukakan oleh ahli komunikasi yang lain, yaitu Gebner. Menurut Gerbner (1967) “Mass communication is the tehnologically and institutionally based production and distribution of the most broadly shared continous flow of messages in industrial societes”. Komunikasi massa adalah produksi dan distribusi yang berlandaskan teknologi lembaga dari arus pesan yang kontinyu serta paling luas dimiliki masyarakat.

Dalam hal ini kita perlu membedakan massa dalam arti umum dengan massa dalam arti komunikasi massa. Kata massa dalam komunikasi massa dapat diartikan bukan sekadar “orang banyak” di suatu lokasi yang sama. Massa kita artikan sebagai “meliputi semua orang yang menjadi sasaran alat-alat komunikasi


(35)

komunikasi massa lebih menunjuk pada penerima pesan yang berkaitan dengan media masa. Pengertian ini juga ditegaskan oleh ahli komunikasi lainnya, Joseph A. Devito. Ia mengemukakan defenisinya dalam dua item. Pertama, komunikasi massa adalah komunikasi yang ditujukan kepada massa/ khalayak. Ini tidak berarti bahwa khalayak meliputi seluruh penduduk atau semua orang yang menonton televisi, tetapi ini berarti kahalayak yang besar itu pada umumnya agak sukar untuk didefenisikan. Kedua, komunikasi massa adalah komunikasi yang disalurkan oleh pemancar-pemancar yang audio atau visual. Komunikasi massa barangkali akan lebih mudah dan lebih logis bila didefenisikan menurut bentuknya: televisi, radio, surat kabar, majalah, film, buku dan pita. (Effendy, 1990:21).

Komunikasi massa dengan media massa merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan, karena berbicara komunikasi massa berarti berbicara media massa. Komunikasi massa mempunyai ciri-ciri khusus yang disebabkan oleh sifat komponenya. Ciri-cirinya adalah sebagai berikut :

6. Komunikasi massa berlangsung satu arah. Dalam media cetak seperti koran, komunikasi hanya berjalan satu arah. Kita tidak bisa memberikan respon pada komunikatornya (media massa yang bersangkutan).

7. Komunikator pada komunikasi massa melembaga. Komunikator dalam media massa bukan satu orang, tetapi kumpulan orang-orang yang digerakkan oleh suatu sistem manajemen, dalam mencapai suatu tujuan tertentu.


(36)

8. Pesan pada komunikasi massa bersifat umum. Pesan-pesan dalam komunikasi massa itu tidak ditujukan kepada satu orang atau satu kelompok masyarakat tertentu tetapi pada khalayak plural.

9. Media komunikasi massa menimbulkan keserempakan. Media massa dapat menyampaikan pesan (message) kepada khalayak secara serempak.

10.Komunikan komunikasi massa bersifat heterogen. Media massa bersifat anonym dan heterogen maksudnya bahwa orang-orang yang terkait dalam media massa tidak saling kenal, dan orang-orang yang menaruh perhatian pada media massa bersifat beraneka ragam (heterogen).

Secara umum, fungsi dari media massa adalah sebagai berikut (Sudarman,2008:7):

a.Menginformasikan (to inform). Maksudnya media massa merupakan tempat untuk menginformasikan peristiwa-peristiwa atau hal-hal penting yang perlu diketahui oleh khalayak.

b.Mendidik (to educate). Tulisan di media massa dapat mengalihkan ilmu pengetahuan sehingga mendorong perkembangan intelektual, membentuk watak dan dapat meningkatkan keterampilan serta kemampuan yang dibutuhkan para pembacanya.

c.Menghibur (to intertait). Media massa merupakan tempat yang dapat memberikan hiburan atau rasa senang kepada pembacanya atau


(37)

d.Mempengaruhi (to influence). Maksudnya bahwa media massa dapat mempengaruhi pembacanya. Baik pengaruh yang bersifat pengetahuan (cognitive), perasaan (afektive), maupun tingkah laku (conative).

e.Memberikan respons sosial (to social responsibility), maksudnya bahwa dengan adanya media massa kita dapat menanggapi tentang fenomena dan situasi sosial atau keadaan sosial yang terjadi.

f. Penghubung (to linkage), maksudnya bahwa media massa dapat menghubungkan unsure-unsur yang ada dalam masyarakat yang tidak bisa dilakukan secara perseorangan baik secara langsung maupun tidak langsung.

II.2 Berita, Pers dan Jusnalistik II.2.1 Berita

Berita adalah informasi baru atau informasi mengenai sesuatu yang sedang terjadi, disajikan lewat bentuk cetak, siaran, internet, atau dari mulut ke mulut kepada orang ketiga atau orang banyak. Berita merupakan laporan tentang fakta atau ide yang termassa, yang dipilih oleh staf redaksi suatu media untuk disiarkan atau dicetak, yang dapat menarik perhatian pembaca atau pendengar, entah karena ia luar biasa atau entah karena pentingnya, atau pula karena ia mencakup segi-segi human interest seperti humor, emosi, dan ketegangan. Namun ada beberapa konsep berita yang dapat dikembangkan yaitu, berita itu dapat sebagai laporan


(38)

tercepat, rekaman fakta-fakta objektif, interpretasi, sensai, minat insani, ramalan dan sebagai gambar (Effendi, 1993:131-134)

Dalam kamus besar bahasa Indonesia berita diartikan sebagai cerita atau keterangan mengenai kejadian atau peristiwa yang hangat. Sedangkan pemberitaan diartikan proses, cara, perbuatan memberitakan atau melaporkan. Henshall dan Ingram (2000) mendefenisikan berita adalah susunan kejadian setiap hari, sehingga masyarakat menerimanya dalam bentuk yang tersusun dan dikemas rapi menjadi cerita, pada hari yang sama di radio atau di televisi dan keesokan harinya di berbagai media. Tidak semua hal dapat dikatakan berita. Sesuatu dapat dikatakan berita jika terdapat unsur-unsur berita didalamnya. Aktual (baru), kedekatan, penting, akibat, pertentangan/ konflik, seks, ketegangan, kemajuan-kemajuan, konsekuensi, emosi, humor, dan human interest merupakan beberapa unsur berita.

Berita terdiri dari berbagai jenis. Sumadiria dalam bukunya Jurnalistik Indonesia menuliskan beberapa jenis berita, yaitu:

1.Straight news (berita langsung) yaitu laporan langsung mengenai suatu berita.

2.Depth news (berita mendalam) yaitu berita yang merupakan pengembangan atau kelanjutan dari adanya sebuah berita yang masih belum selesai pengungkapanya secara mendalam, tajam, lengkap dan aktual.


(39)

3.Comprehensive news (berita komprehensif) yaitu laporan tentang fakta yang berisfat menyeluruh ditinjau dari berbagai aspek (kritik terhadap straight news).

4.Interpretative report yaitu lebih dari sekedar straight dan depth news, dan merupakan gabungan antara fakta dan interpretasi. Dalam penulisannya boleh dimasukkan uraian, komentar dan sebagainya yang ada kaitannya dengan peristiwa yang dilihat.

5.Feature story (karangan khas) yaitu tulisan khas yang sengaja disajikan untuk menarik perhatian pembaca dengan penulisan yang lebih ringan.

6.Investigative reporting (laporan investigasi), yaitu berita ataulaporan yang biasanya memusatkan pada masalah yang kontroversi. Dalam hal ini wartawan melakukan penyelidikan untuk memperoleh fakta yang tersembunyi demi mengungkapkan kebenaran.

Secara umum, suatu kejadian dipandang memiliki news value apabila mengandung satu atau beberapa unsur berikut ini:

Significance (penting), peristiwa itu berkemungkinan mempengaruhi kehidupan orang banyak, atau yang memiliki akibat terhadap kehidupan pembaca.

Magnitude (besar), kejadian itu menyangkut angka-angka yang berarti bagi kehidupan orang banyak, atau kejadian itu bersifat kolosal.

Timeliness (waktu), aktual, hangat, atau termasa; menyangkut hal-hal yang baru terjadi.


(40)

Proximity (dekat), kejadian yang memiliki kedekatan dengan pembaca, baik secara geografis maupun emosional/psikologis.

Prominence (tenar), menyangkut hal atau orang yang terkenal atau sangat dikenal oleh pembaca.

Human interest (manusiawi), menyangkut hal-hal yang bisa menyentuh perasaan pembaca.

Munculnya berita dalam sebuah media bukanlah hal tanpa sebab. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi mengapa kemudian suatu media menampilkan suatu berita pada medianya (Sudibyo,2001) yaitu:

a)Faktor Individual, dalam hal ini berkaitan dengan latar belakang professional dari pengelola media yang kemudian mempengaruhi isi berita yang ditampilkan. Misalnya jenis kelamin, agama, umur, latar belakang pendidikan bahkan juga orientasi pada partai politik.

b)Rutinitas Media (Media Routine). Hal ini berhubungan dengan ukuran tersendiri tentang apa yang disebut berita, ciri-ciri berita yang baik dan layak untuk dimuat yang dimiliki oleh setiap media. Ukuran tersebut adalah rutinitas yang berlangsing setiap hari dan menjadi prosedur standar bagi pengelola media yang berada di dalamnya, dan pada akhirnya mempengaruhi wuhud akhir dari sebuah berita.

c)Level Organisasi. Hal ini berhubungan dengan struktur organisasi media yang bersangkutan yang dapat mempengaruhi pemberitaan. Pengelola


(41)

organisasi media, selain itu terdapat juga iklan, pemasaran, sirkulasi dan lainnya yang juga memiliki kepentingan sendiri-sendiri dan berpengaruh terhadap terbentuknya sebuah berita.

d)Level Ekstramedia. Hal ini berhubungan dengan faktor lingkungan di luar media. Walaupun berada di luar organisasi media namun sedikit banyak sangat mempengaruhi isi berita. Faktor-faktor yang dimaksud antara lain adalah seperti sumber berita, sumber penghasilan media, pemerintah dan lingkungan bisnis, dan juga pada tingkatan level ideologi.

II.2.2. Pers

Istilah “pers” berasal dari bahasa Belanda, yang dalam bahasa Inggris berarti press. Secara harfiah pers berarti cetak ataupun penyiaran secara tercetak atau publikasi secara dicetak. Dalam perkembagannya pers mempunyai dua pengertian, yakni pers dalam pengertian luas dan pers dalam pengertian sempit. Pers dalam pengertian luas meliputi segala penerbitan, bahkan termasuk media massa elektronik, radio siaran, dan televisi siaran, sedangkan pers dalam arti sempit hanya terbatas pada media massa cetak, yakni surat kabar, majalah, dan buletin kantor berita.

Pers merupakan lembaga sosial (social institution) atau lembaga kemasyarakatan yang merupakan subsistem dari sistem pemerintahan di Negara mana ia beroperasi, bersama-sama dengan subsistem lainnya. Sebagai bagian dari sistem yang berlaku, keberadaan pers juga diatur dalam undang-undang yaitu Undang-Undang No.40 Tahun 1999 tentang Pers. Menurut Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 Pasal 1 Ayat 1 menyebutkan:


(42)

Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.

Pada Pasal 1 Ayat 2 dijelaskan:

Perusahaan pers adalah badan hukum Indonesia yang menyelenggarakan usaha pers meliputi perusahaan media cetak, media elektronik, dan kantor berita, serta perusahaan media lainnya yang secara khusus menyelenggarakan, menyiarkan, atau menyalurkan informasi.

Pers dalam hal ini sebagai penulis berita pada awalnya mengedepankan prinsip objektivitas dalam penulisan beritanya. Yaitu bagaimana wartawan memandang dan menulis berita seperti apa yang dilihat, bukan yang diinginkan. Tetapi pandangan ini bergeser ke arah prinsip interpretasi. Sebab objektivitas dapat melahirkan kedangkalan tentang berita itu sendiri. Sementara pembaca menginginkan kedalaman agar mereka mampu mengetahui dan memahami kejadian yang ada dalam setiap peristiwa. Dalam pelakasanaannya, pers tidak hanya mengelola berita, tetapi juga aspek-aspek lain untuk isi surat kabar atau majalah. Karena itu funggsinya bukan lagi menyiarkan informasi, tetapi juga mendidik, menghibur, dan mempengaruhi agar khalayak melakukan kegiatan tertentu.

II.2.3. Jurnalistik

Jurnalistik adalah istilah yang berasal dari bahasa Belanda journalistiek, dan dalam bahasa Inggris journalistic atau journalism, yang bersumber pada perkataaan journal sebagai terjemahan dari bahasa Latin diurnal, yang berarti


(43)

keterampilan atau kegiatan mengolah bahan berita mulai dari peliputan sampai kepada penyusunan yang layak disebarluaskan kepada masyarakat.

F.Fraser Bond dalam An Indtroduction to Journalism menulis: jurnalistik adalah segala bentuk yang membuat berita dan ulasan mengenai berita sampai pada kelompok pemerhati. Adinegoro menegaskan, jurnalistik adalah semacam kepandaian mengarang yang pokoknya member pekabaran pada masyarakat dengan selekas-lekasnya agar tersiar seluas-luanya.(Sumadiria,2006:3).

Dilihat dari segi bentuk dan pengelolaanya, jurnalistik dibagi kedalam tiga bagian dasar .(Sumadiria,2006):

a)Jurnalistik media cetak

Jurnalistik media cetak dipengaruhi oleh dua faktor, yakni faktor verbal dan visual. Verbal, sangat menekankan pada kemampuan kita memilih dan menyusun kata dalam rangakaian kalimat dan paragraf yang efektif dan komunikatif. Visual, menunjuk pada kemampuan kita dalam menata, menempatkan, mendesain tata letak atau hal-hal yang menyangkut segi perwajahan.

b)Jurnalistik media elektronik auditif

Jurnalistik media elektronik auditif atau jurnalistik radio siaran, lebih banyak dipengaruhi dimensi verbal, teknologikal, dan fisikal. Verbal, berhubungan dengan kemampuan menyusun kata, kalimat,dan paragraph. Teknologikal berkaitandengan teknologi yang memungkinkan daya pancar


(44)

radio dapat ditangkap denga jelas dan jernih. Fisikal erat kaitanya dengan tingkat kesehatan fisik dan kemampuan pendengaran khalayak.

c)Jurnalistik media elektronik audiovisual

Jurnalistik ini merupakan gabungan dari segi verbal, visual, teknologikal, dan dimensi dramatikal. Dramatikal berarti bersinggungan dengan aspek serta nilai dramatic yang dihasilkan oleh rangkaian gambar yang dihasilkan oleh rangkaian gambar yang dihasilkan secara simultan. Aspek dramatic televisi inilah yang tidak dipunyai media massa radio dan surat kabar.

II.3. Paradigma Konstruktivisme

Pemahaman atas komunikasi manusia, merupakan masalah paradigma yang dipakai untuk memahaminya. Cara pandang yang dipakai dalam memandang atau mengamati kenyataan akan menentukan pengetahuan yang kita peroleh. Konsekuensi dari penggunaan paradigma adalah kearifan untuk menyakan bahwa apa yang kita ketahui bukanlah kebenaran mutlak, melainkan pemahaman yang diciptakan oleh manusia. Konsekuensi lain adalah bahwa kita sebenarnya tidak menemukan realitas, melainkan menciptakan realitas. Cara pandang ini juga terjadi pada riset-riset penelitian.

Paradigma pada wilayah riset penelitian sebenarnya merupakan seperangkat konstruksi cara pandang dalam menetapkan nilai-nilai dan tujuan penelitian. Meskipun tidak bisa disetarakan dengan seperangkat teori semata, paradigma


(45)

apa yang seharusnya digunakan dalam sebuah penelitian. Paradigma bisa juga berarti sebuah ideologi berpikir dan sekaligus praktik sekelompok komunitas orang yang menganut suatu pandangan yang sama atas realitas, mereka memiliki seperangkat aturan dan kriteria yang sama untuk menilai aktivitas penelitian dan sekaligus menggunakan metode yang serupa (Narwaya, 2006: 108).

Cara pandang atau paradigma ini menurunkan sejumlah teori komunikasi. Usaha mengidentifikasikan teori-teori dan pendekatan-pendekatan ke sejumlah paradigma sejauh ini telah menghasilkan pengelompokan yang bervariasi seperti Kinloch (1977), contohnya, mengkategorikan sekurangnya ada enam paradigma atau perspektif teoritis (organic paradigm, conflict paradigm, social behaviorism, structure functionalism, modern conflict theory, dan social-psychological paradigm). Crotty (1994) mengetengahkan pengelompokan yang mencakup: positivism interpretivism, critical inquiry, feminism, dan postmodernism. Burrel dan Morgan, mengelompokkan teori-teori dan pendekatan-pendekatan dalam ilmu sosial ke empat paradigma: radical humanist paradigm, radical structuralist paradigm, interpretive paradigm, dan functionalist paradigm. Guba dan Lincoln (1994) mengajukan tipologi yang mencakup empat paradigma: positivism, postpositivism, critical theories dan constructivism. (Hidayat dalam Jurnal Penelitian Ilmu Komunikasi Thesis Volume III No. 3 September-Desember 2004: x).

Guba dan Lincoln (1994) mengemukakan bahwa setiap paradigma membawa implikasi metodologi masing-masing. Oleh karena itu, untuk mempermudah pembahasan tentang implikasi metodologi suatu paradigma, tulisan ini mendasarkan diri atas pengelompokan tiga paradigma, yakni (Hidayat,


(46)

dalam Jurnal Penelitian Ilmu Komunikasi Thesis Volume III No. 3 September-Desember 2004: x-xvi):

1.classical paradigm (yang mencakup positivism dan postpositivism), 2.critical paradigm, dan

3. constructivism paradigm

Terlepas dari variasi pemetaan, pada intinya setiap paradigma dapat dibedakan dari paradigma lainnya berdasarkan sejumlah hal mendasar. Perbandingan mengenai paradigma tersebut dapat dilihat berdasar ruang lingkup paradigma itu sendiri baik secara ontolgi, epistemology, dan metodologis.

Tabel 1. Perbandingan Ontologi, Epistemologi, Metodologi

Positivisme Post-Positvisme Kritis Konstruktivisme Ontologi Asumsi tentang “realitas” Realisme naïf: semesta adalah nyata dan dapat diketahui apa adanya. Realisme kritis: semesta luar bersifat nyata akan tetapi tidak pernah seluruhnya diketahui secara sempurna, ada banyak kemungkinan yang dapat diketahui. Realisme kritis: semesta hidup atau virtual yang dikonstruksi secara sosial, politik, budaya, ekonomi, etnik, dan gender. Relativisme. Semesta yang diketahuiitu spesifik, local yang dikonstruksi oleh paradigma tertentu, oleh kerangka konseptual tertentu atau perspektif tertentu. Epistemologi Asumsi tentang hubungan antara peneliti dan yang diteliti

Bersifat dualis, objektivis Objektivisme yang dimodifikasi, yaitu objektivitas

sebagai buah dari keinginan untuk mengontrol, teori yang bersifat Bersifat transaksional, dialogis, temuan-temuan ilmiah dimuati nilai dan Bersifat transaksional, dialogis, teori konstruksi sebagai hasil investigasi dan proses sosial (khususnya ilmu


(47)

Metodologis Asumsi metodologis tentang bagaimana peneliti memperoleh pengetahuan Eksperimental manipulatif, pembuktian atas hipotesis kuantitatif. Eksperimental yang dimodifikasi dan terbuka secara kritis pada keanekaragaman dan latar penelitian yang lebih alami. Dialogis, transformatif guna mengatasi kesadaran palsu. Hermeneutik dan dialektis, ilmu hasil kosntruksi atau interaksi peneliti terhadap objek yang diteliti.

Sumber : Ardianto, Elvinaro. 2007. Filsafat Ilmu Komunikasi. Bandung: PT.Remaja Rosdakarya

Konstruktivisme mengatakan bahwa kita tidak akan pernah dapat mengerti realitas yang sesungguhnya secara ontologis. Yang kita mengerti adalah struktur konstruksi kita akan suatu objek. Konstruktivisme tidak bertujuan mengerti realitas, tetapi hendak melihat bagaimana kita menjadi tahu akan sesuatu. Boleh juga dikatakan bahwa “realitas” bagi konstruktivisme tidak pernah ada secara terpisah dari pengamat. Yang diketahui bukan suatu realitas “di sana” yang berdiri sendiri, melainkan kenyataan sejauh dipahami oleh yang menangkapnya. Menurut Shapiro, ada banyak bentuk kenyataan dan masing-masing terbentuk pada kerangka dan interaksi pengamat dengan objek yang diamati.(Ardianto,2007:80)

Pandangan konstruktivisme menolak pandangan positivism yang memisahkan subjek dan objek komunikasi. Dalam pandangan konstruktivisme, bahasa tidak lagi hanya dilihat sebagai alat untuk memahami realitas objektif belaka dan dipisahkan dari subyek sebagai penyampai pesan. Positivism meyakini bahwa pengetahuan harus merupakan representasi (gambaran atau ungkapan) dari kenyataan dunia yang terlepas dari pengamat (objektivisme). Pengetahuan dianggap sebagai kumpulan fakta. Konstruktivisme menegaskan bahwa pengetahuan tidak lepas dari subjek yang sedang belajar mengerti.


(48)

Konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita adalah konstruksi (bentukan) kita sendiri (Ardianto,2007:154). Pada proses komunikasi, pesan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari otak seseorang ke kepala orang lain. Penerima pesan sendirilah yang harus mengartikan apa yang telah diajarkan dengan menyesuaikan terhadap pengalaman mereka.

Sejauh ini ada tiga macam konstruktivisme: pertama, kosntrukstivisme radikal; kedua, realism hipotetis; ketiga, konstruktivisme biasa (suparno,1997;25). Konstruktivisme radikal hanya dapat mengakui apa yang dibentuk oleh pikiran kita. Bentuk ini tidak selalu representasi dunia maya. Kaum konstruktivisme radikal mengesampingkan hubungan antara pengetahuan dan kenyataan sebagai suatu kriteria kebenaran. Pengetahuan bagi mereka tidak merefleksikan suatu realitas ontologism obyektif, namun sebuah realitas yang dibentuk oleh pengalaman seseorang.

Dalam kaitannya dengan ilmu komunikasi, teori konstruktivis atau konstruktivisme adalah pendekatan secara teoritis untuk komunikasi yang dikembangkan tahun 1970-an oleh Jesse Delia dan rekan-rekan sejawatnya. Dalam buku Adrianto, Robyn Penmann merangkum kaitan konstruktivisme dalam hubungannya dengan ilmu komunikasi :

1.Tindakan komunikatif sifatnya sukarela. Pembuat komunikasi adalah subjek yang memiliki pilihan bebas, walaupun lingkungan sosial membatasi apa yang dapat dan telah dilakukan. Jadi tindakan komunikatif dianggap sebagai tindakan sukarela, berdasarkan pilihan subjeknya.


(49)

2.Pengetahuan adalah sebuah produk sosial. Pengetahuan bukan sesuatu yang objektif sebagaimana diyakini positivisme, melainkan diturunkan dari interaksi dalam kelompok sosial. Pengetahuan itu dapat ditemukan dalam bahasa, melalui bahasa itulah konstruksi realitas tercipta.

3.Pengetahuan bersifat kontekstual, maksudnya pengetahuan merupakan produk yang dipengaruhi ruang waktu dan akan dapat berubah sesuai dengan pergeseran waktu;

4.Teori-teori menciptakan dunia. Teori bukanlah alat, melainkan suatu cara pandang yang ikut memengaruhi pada cara pandang kita terhadap realitas atau dalam batas tertentu teori menciptakan dunia. Dunia di sini bukanlah “Segala sesuatu yang ada” melainkan “segala sesuatu yang menjadi lingkungan hidup dan penghayatan hidup manusia”, jadi dunia dapat dikatakan sebagai hasil pemahaman manusia atas kenyataan di luar dirinya;

5.Pengetahuan bersifat sarat nilai.

Lebih jauh lagi, Penmann kemudian merumuskan empat kualitas komunikasi. Baginya komunikasi harus bersifat konstitutif (menciptakan dunia), kontekstual (sesuai dan tergantung ruang dan waktu), beragam (muncul dalam bentuk yang berbeda-beda, tidak tunggal), dan tidak lengkap (selalu dalam proses, terus berubah).

Istilah konstruktivisme atau konstruksi atas realitas sosial terkenal sejak diperkenalkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckman melalui bukunya yang berjudul The Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociological of


(50)

Knowledge tahun 1966. Teori dan pendekatan konstruksi sosial atas realitas terjadi secara simultan melalui tiga proses sosial, yaitu eksternalisasi, objektivasi dan internalisasi (Bungin, 2008: 193).

Dalam penjelasan ontologi paradigma konstruktivis, realitas merupakan konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu. Namun demikian, kebenaran suatu realitas sosial bersifat nisbi, yang berlaku sesuai konteks spesifik yang dinilai relevan oleh pelaku sosial. Proses konstruksi realitas yang dilakukan oleh media merupakan usaha “menceritakan” (konseptualisasi) sebuah persitiwa atau keadaan. Realitas tersebut tidak serta merta melahirkan berita, melainkan melalui proses interaksi antara penulis berita atau wartawan dengan fakta. Menurut Bungin (2008: 196), ada tiga hal penting dalam penyiapan materi konstruksi sosial, yaitu:

a.Keberpihakan media massa kepada kapitalisme. Sebagaimana diketahui, saat ini hampir tidak ada lagi media massa yang tidak dimiliki kapitalis. Dalam arti media massa digunakan oleh kekuatan-kekuatan kapital untuk menjadikan media massa sebagai mesin penciptaan uang dan pelipatgandaan modal. Semua elemen media massa, termasuk orang-orang media massa berpikir untuk melayani kapitalisnya, ideologi mereka adalah membuat media massa yang laku di masyarakat.

b.Keberpihakan semu kepada masyarakat. Bentuk dari keberpihakan ini adalah dalam bentuk empati, simpati dan berbagai partisipasi kepada masyarakat, namun ujung-ujungnya adalah juga untuk “menjual berita” dan menaikkan rating untuk kepentingan kapitalis. Kasus yang dapat


(51)

tsunami yang melanda Aceh, Nias dan sekitarnya dalam kemasan berita “Indonesia Menangis” dan semacamnya yang terus-menerus diekspos bahkan sampai pada sisi yang telah meninggalkan hak-hak sumber berita. c.Keberpihakan kepada kepentingan umum. Bentuk keberpihakan kepada

kepentingan umum dalam arti sesungguhnya sebenarnya adalah visi setiap media massa, namun akhir-akhir ini visi tersebut tak pernah menunjukkan jati dirinya, namun slogan-slogan tentang visi ini tetap terdengar.

Secara esensial, pendekatan konstruktivis pada media, wartawan dan berita dapat dirangkum dalam 6 perspektif (Eriyanto, 2003). Enam perspektif tersebut adalah sebagai berikut :

a. Fakta atau peristiwa adalah hasil konstruksi. Bagi kaum konstruktivis, realitas itu bersifat subjektif. Realitas itu hadir, karena diciptakan dan dihadirkan oleh konsep subjektif wartawan. Realitas itu bisa berbeda-beda, tergantung pada bagaimana ketika realitas itu dipahami oleh wartawan. Pertanyaan utama dalam pandangan konstruktivis adalah fakta berupa kenyataan itu sendiri bukan sesuatu yang terberi, melainkan ada dalam benak kita, yang melihat fakta tersebut. Kitalah yang memberikan definisi dan menentukan fakta tersebut sebagai kenyataan.

b. Media adalah agen konstruksi. Dalam pandangan konstruktivis, media dianggap bukanlah sebagai saluran yang bebas, ia juga subjek yang mengonstruksi realitas, lengkap dengan pandangan, bias dan pemihakannya. Media dipandang sebagai agen yang mengonstruksi realitas. Maka, berita yang kita baca bukan hanya menggambarkan


(52)

realitas, bukan hanya menunjukkan pendapat sumber berita, tetapi juga konstruksi dari media itu sendiri.

c. Berita bukan refleksi dari realitas, ia hanya konstruksi atas realitas. Menurut pandangan konstruktivis, berita merupakan hasil dari konstruksi sosial di mana selalu melibatkan pandangan, ideologi dan nilai-nilai dari wartawan atau media. Bagaimana realitas itu dijadikan berita, sangat tergantung pada bagaimana fakta itu dipahami dan dimaknai tergantung pada bagaimana fakta itu dipahami dan dimaknai. Proses pemaknaan selalu melibatkan nilai-nilai tertentu sehingga mustahil berita merupakan cerminan dari realitas. Realitas yang sama bisa jadi menghasilkan berita yang berbeda, karena melihatnya dengan cara yang berbeda.

d. Berita bersifat subjektif atas realitas. Berita subjektif lahir dari sisi lain wartawan. Karena wartawan sendiri melihat dengan perspektif dan berbagai pertimbangan subjektifnya. Penempatan sumber berita yang lebih ditonjolkan dari sumber lainnya; menempatkan wawancara seorang tokoh lebih besar dengan tokoh lainnya; liputan yang hanya satu sisi; tidak berimbang, misalnya. Bagi kaum konstruktivis, hal tersebut bukanlah sebuah kekeliruan atau bias, tetapi dianggap memang itulah praktik yang dijalankan oleh wartawan.

e.

Wartawan bukanlah pelapor, ia agen konstruksi realitas. Dalam pandangan konstruktivis, wartawan tidak bisa menyembunyikan pilihan moral dan keberpihakannya, karena ia merupakan bagian yang intrinsik dalam pembentukan berita. Lagipula, berita bukan hanya produk individual,


(53)

melainkan juga bagian dari proses organisasi dan interaksi antara wartawannya.

f.

Etika, pilihan moral dan keberpihakan wartawan adalah bagian integral dalam produksi berita. Aspek etika, moral dan nilai-nilai tertentu tidak mungkin dihilangkan dalam pemberitaan media. Wartawan bukanlah robot yang meliput apa adanya, apa yang dilihat tanpa pretensi apapun juga. Etika dan moral dalam banyak hal dapat berarti keberpihakan pada satu kelompok atau nilai tertentu -umumnya dilandasi oleh keyakinan tertentu- adalah bagian integral dan tidak terpisahkan dalam membentuk dan mengonstruksi realitas.

II.4. Ideologi Media

Secara etimologis, ideologi berasal dari bahasa Greek, terdiri dari kata idea dan logia. Idea berasal dari kata idein yang berarti melihat. Idea dalam Webster’s News Colligiate Dictionary berarti sesuatu yang ada di dalam pikiran sebagai hasil perumusan sesuatu pemikiran atau rencana. Sedangkan logis berasal dari kata logos yang berarti world. Kata ini berasal dari kata legein yang berarti to speak (berbicara). Selanjutnya kata logia berarti sciense (pengetahuan) atau teori (Sobur,2004:64).

Ada banyak defenisi tentang ideologi. Raymond William (Eriyanto,2001:87) mendefenisikan penggunaan ideologi dalam tiga ranah. Pertama, sebuah sistem kepercayaan yang dimiliki oleh kelompok atau kelas tertentu. Defenisi ini terutama dipakai oleh kalangan psikologi yang melihat ideologi sebagai perangkat sikap yang dibentuk dan diorganisasikan dalam bentuk


(54)

yang koheren. Kedua, sebuah system kepercayaan yang dibuat–ide palsu atau kesadaran palsu-yang bisa dilawankan dengan pengetahuan ilmiah. Ideologi dalam pengertian ini adalah seperangkat kategori yang dibuat dan kesadaran palsu dimana kelompok yang berkuasa atau dominan menggunakannya untuk mendominasi kelompok yang tidak dominan. Ketiga, proses umum produksi makna dan ide. Ideologi di sini adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan produksi berita

Dalam konsepsi Marx, ideologi adalah sebentuk kesadaran palsu. Kesaradaran seseorang, siapa mereka, dan bagaimana mereka menghubungkan dirinya dengan masyarakat dibentuk dan diproduksi oleh masyarakat, tidak oleh biologi yang alamiah. Kesadaran kita tentang realitas sosial ditentukan oleh masyarakat, tidak oleh psikologi individu.

Ideologi dapat diartikan sebagai kerangka berpikir atau kerangka referensi tertentu yang dipakai oleh individu untuk melihat realitas dan bagaimana mereka menghadapinya. Ideologi ini abstrak dan berhubungan dengan konsepsi atau posisi seseorang dalam menafsirkan realitas (Sudibyo,2001:12)

Media berperan mendefenisikan bagaimana realitas seharusnya dipahami, bagaimana realitas itu dijelaskan dengan cara tertentu kepada khalayak. Pendefenisian tersebut bukan hanya pada peritiwa, melainkan juga aktor-aktor sosial. Diantara dari berbagai fungsi media dalam mendefenisikan realitas, fungsi pertama dalam ideologi adalah media sebagai mekanisme integrasi sosial. Media di sini berfungsi menjaga nilai kelompok, dan mengontrol bagaimana nilai-nilai kelompok itu dijalankan.


(55)

Peta ideologi menggambarkan bagaimana peristiwa dilihat dan diletakkan dalam tempat-tempat tertentu. Seperti dikatakan Matthew Kieran, berita tidaklah dibentuk dalam ruang hampa. Berita diproduksi dari ideologi dominan dalam suatu wilayah kompetensi tertentu. Penjelasan sosio-historis ini membantu menjelaskan bagaimana dunia disistematisasikan dan dilaporkan dalam sisi tertentu dalam dari realitas. karena pengertian tentang peristiwa itu dimediasi oleh kategori, interpretasi dan evaluasi atas realitas. ideologi disini tidaklah selalu harus dikaitkan dengan ide-ide besar. Ideologi juga bisa bermakna politik penandaan atau pemaknaan. Bagaimana kita melihat peristiwa dengan kacamata dan pandangan tertentu, dalam arti luas adalah sebuah ideologi.

II.5. Hegemoni media

Teori Althusser tentang ideologi menekankan bagaimana kekuasaan kelompok dominan dalam mengontrol kelompok lain. Mengenai cara atau penyebaran ideologi dilakukan, teori Garamsci tentang hegemoni layak dikedepankan. Antonio Gramsci membangun suatu teori yang menekankan cara penyebaran ideologi tersebut. Media dapat menjadi sarana satu kelompok mengukuhkan posisinya dan merendahkan kelompok lain.

Antonio Gramsci berpendapat bahwa kekuatan dan dominasi kapitalis tidak hanya melalui dimensi material dan sarana ekonomi dan realsi produksi, tetapi juga kekuatan (force) dan hegemoni. Teori Hegemoni gramsci menekankan bahwa dalam lapangan sosial ada pertarungan yang memperebutkan penerimaan public. Karena pengalaman sosial kelompok subordinat (apakah oleh kelas, gender, ras, umur, dan sebagainya) berbeda dengan ideologi kelompok dominan.


(56)

Oleh karena itu, perlu usaha bagi kelompok dominan untuk menyebarkan ideologi dan kebenarannya tersebut agar diterima, tanpa perlawanan. Salah satu strategi kunci dalam hegemoni adalah nalar awam (common sense). (Eriyanto,2001:107)

Raymond William mengatakan, hegemoni berkerja melalui dua saluran: ideologi dan budaya melalui mana nilai-nilai itu bekerja. Melalui hegemoni, ideologi kelompok dominan dapat disebarkan, nilai dan kepercayaan dapat ditularkan. Hegemoni berbeda dari manipulasi atau indoktrinasi karena hegemoni terlihat wajar, dan orang menerimanya secara wajar dan sukarela.

Hegemoni bekerja melalui konsensus ketimbang upaya penindasan satu kelompok terhadap kelompok lain. Kelebihan hegemoni adalah bagaimana ia menciptakan cara berpikir atau wacana tertentu yang dominan, yang dianggap benar, sementara wacana yang lain dianggap salah. Ada suatu nilai atau konsensus yang dianggap memang benar, sehingga ketika ada cara pandang atau wacana lain dianggap tidak benar. Media di sini secara tidak sengaja dapat menjadi alat bagaimana nilai-nilai atau wacana yang dipandang dominan itu disebarkan dan meresap dalam benak khalayak sehingga menjadi konsensus bersama.

Dalam produksi berita, proses itu terjadi melalui cara yang halus, sehingga apa yang terjadi dan diberitakan oleh media tampak sebagai suatu kebenaran, memang begitulah adanya, logis, dan bernalar awam (common sense) dan semua orang menganggap itu sebagai suatu yang tidak perlu dipertanyakan.

Common sense yang berhubungan dengan praktik kerja jurnalistik, di antaranya adalah kecenderungan untuk menempatkan unsur dramatisasi dalam pemberitaan. Hal ini berhubungan dengan kebiasaan wartawan yang lebih


(57)

gagasan dari kelompok dominan/berkuasa diterima sebagai sesuatu yang common sense, kemudian ideologi itu diterima baik melalui praktek kerja jurnalistik maka hegemoni telah terjadi.

II.6. Analisis Framing

Secara epistemologi, kata framing berasal dai bahasa Inggris yakni dari kata frame. Gagasan ini pertama kali dilontarkan Beterson pada tahun 1955. Mulanya frame dimaknai sebagai sturktur konseptual atau perangkat kepercayaan yang mengorganisir pandangan politik, kebicakan, dan wacana. Dalam perspektif komunikasi, analisis framing dipakai untuk membedah cara-cara atau ideologi media saat mengkonstruksi fakta.

Analaisis framing adalah salah satu metode analisis media, seperti halnya analissi isi dan analisis semiotic. Framing secara sederhana adalah membingkai sebuah peristiwa. Dalam praktik, analisis framing banyak digunakan untuk melihat frame surat kabar. Dapat dilihat bahwa masing-masing surat kabar sebenarnya memiliki “kebijakan politis” tersendiri.

Analisis framing adalah salah satu metode analisis teks yang berada dalam kategori penelittian konstruksionis. Paradigma ini memandang realitas kehidupan sosial bukanlah realitas yang natural, tetapi hasil dari konstruksi (Eriyanto 2005:37). Mengenai defenisi framing, beberapa ahli memberikan penekanan dan pengertian yang berbeda. Meskipun berbeda, ada titik singgung utama dari defenisi framing tersebut. Framing adalah pendekatan untuk melihat bagaimana realitas itu dibentuk dan dikonstruksi oleh media. Framing juga merupakan pendekatan untuk mengetahui bagaimana persperktif atau cara pandang yang


(58)

digunakan oleh wartawan ketika menseleksi isu dan menulis berita. Bahkan menurut Gitlin, frame adalah bagian yang pasti hadir dalam praktik jurnalistik. (Eriyanto,2005:66)

Ide tentang framing pada mulanya dilontarkannya gagasan oleh Baterson (1955). Gagasan baterson ini adalah melihat bahwa frame pada awalnya dimaknai sebagai struktur konseptual atau perangkat kepercayaan yang mengorganisir pandangan politik, kebijakan dan wacana, dan yang menyediakan kategori-kategori standar untuk mengapresiasi realitas. Konsep ini kemudian dikembangkan lebih jauh oleh Goffman (1974), dimana ia mempunyai asumsi mengandaikan frame sebagai kepentingan-kepentingan perilaku (strips of behavior) yang membimbing individu dalam membaca realitas.

Konsep framing atau frame - istilah dari ranah psikologi- berangkat dari cara pandang bahwa kontruksi realitas pasti bergantung kepada bagaimana cara “sang pemilik cerita” menyampaikannya kepada khalayak. W. A Gamson (Sudibyo,2001:221) mengatakan:

“Proses framing berkaitan dengan persoalan bagaimana sebuah realitas dikemas dan disajikan dalam presentasi media. Oleh karena itu, frame sering diidentifikasi sebagai cara bercerita (story line) yang menghadirkan konstruksi makna spesifik tentang objek wacana”

Framing merupakan metode penyajian realitas di mana kebenaran suatu kejaidan tidak diingkari secara total, melainkan dibelokkan secara halus, dengan memberikan penonjolan terhadap aspek-aspek tertentu, dengan menggunakan istilah-istilah yang punya konotasi tertentu, dan dengan bantuan foto, karikatur, dan alat ilustrasi lainnya.


(59)

menghadirkan analogi ketika kita memfoto suatu pemandangan, maka yang masuk dalam foto hanyalah bagian yang berada dalam “frame”, bagian lain terbuang.

Analisis framing menanyakan mengapa peristiwa X diberitakan? Mengapa peristiwa yang lain tidak diberitakan? Mengapa suatu tempat dan pihak yang terlibat berbeda meskipun peristiwanya sama? Mengapa realitas didefinisikan dengan cara tertentu? Mengapa sisi atau angle tertentu yang ditonjolkan dan bukan yang lain? Mengapa fakta tertentu ditonjolkan sedang yang lain tidak? Mengapa menampilkan sumber berita X dan mengapa bukan sumber berita yang lain yang diwawancarai? (Kriyantono, 2008)

Dalam perpektif komunikasi, analisis framing dipakai untuk membedah cara-cara atau ideologi media saat mengonstruksi fakta. Analisis ini mencermati strategi seleksi, penonjolan, dan pertautan fakta ke dalam berita agar lebih bermakna, lebih menarik, lebih berarti atau lebih diingat, untuk menggiring interpretasi khalayak sesuai perspektifnya. Framing adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana perpektif atau cara pandang yang digunakan oleh wartawan ketika menyeleksi isu dan menulis berita. Cara pandang atau perspektif itu pada akhirnya menentukan fakta apa yang diambil, bagian mana yang ditonjolkan dan dihilangkan, serta hendak dibawa ke mana berita tersebut. Karenanya, berita menjadi manipulatif dan bertujuan mendominasi keberadaan subjek sebagai sesuatu yang legitimate, objektif, alamiah, wajar, atau tak terelakkan (Sobur, 2004: 162).

Ada dua aspek dalam framing. Pertama, memilih fakta/realitas. Proses memilih fakta ini didasarkan pada asumsi, wartawan tidak mungkin melihat


(60)

peristiwa tanpa perspektif. Dalam memilih fakta ini selalu terkandung dua kemungkinan: apa yang dipilih (included) dan apa yang dibuang (excluded). Kedua, menuliskan fakta. Proses ini berhubungan dengan bagaimana fakta yang dipilih itu disajikan kepada khalayak. Oleh karenanya, frame sering diidentifikasi sebagai cara bercerita (story line) yang menghadirkan konstruksi makna spesifik tentang objek wacana. Framing secara umum dirumuskan sebagai proses penyeleksian dan penonjolan aspek-aspek tertentu dari realitas yang tergambar dari teks komunikasi. Akibat dari aspek tertentu yang ditonjolkan lebih mendapat alokasi dan perhatian yang besar disamping aspek lain. Semua aspek itu dipakai untuk membuat dimensi tertentu dari konstruksi berita menjadi lebih noticeable, meaningfull, dan memorable bagi khalayak.

II.6.1 Analisi Framing Robert Entman

Entman melihat framing dalam dua dimensi besar: seleksi isu dan penekanan atau penonjolan aspek-aspek realitas. Kedua faktor ini dapat lebih mempertajam framing berita melalui proses seleksi isu yang layak ditampilkan dan penekanan isi beritanya. Seleksi isu berkaitan dengan pemilihan fakta. Dari realitas yang kompleks dan beragam, aspek mana yang diseleksi untuk ditampilkan.Ia juga menambahakan bahwa frame berimplikasi penting bagi komunikasi politik. Menurutnya, frame menuntut perhatian terhadap beberapa aspek dari realitas dengan mengabaikan elemen-elemen lainnya yang memungkinkan khalayak memiliki reaksi berbeda.


(61)

teks. Kata penonjolan itu sendiri dapat didefenisikan: membuat informasi lebih terlihat jelas, lebih bermakna, atau lebih mudah diingat oleh khalayak. Informasi yang menonjol kemungkinan lebih diterima oleh khalayak, lebih terasa dan tersimpan dalam memori dibandingkan dengan yang disajikan secara biasa. Realitas yang disajikan secara menonjol atau mencolok mempunyai kemungkinan lebih besar untuk diperhatikan dan mempengaruhi khalayak dalam memahami suatu realitas.

Tabel 2. Dimensi Framing Robert Entman

Seleksi Isu

Aspek ini berhubungan dengan pemilihan fakta. Dari realitas yang kompleks dan beragam; aspek mana yang diseleksi untuk ditampilkan? Dari proses ini selalu terkandung di dalamnya ada bagian fakta yang dimasukkan (excluded). Tidak semua aspek atau bagian dari isu yang ditampilkan, wartawan atau gatekeepers memilih aspek tertentu dari isu tersebut.

Penonjolan Aspek Tertentu Dari Isu

Aspek ini berhubungan dengan penulisan fakta. Ketika aspek tertentu dari suatu peristiwa/isu telah dipilih, bagaimana aspek tersebut ditulis? Hal ini sangat berkaitan dengan dengan pemakaian kata, kalimat, gambar dan citra tertentu untuk ditampilkan kepada khalayak.

Sumber: Eriyanto. 2005. Analisis Framing Konstruksi, Ideologi, dan Politik


(62)

Dua dimensi yang telah dijelaskan diatas, selanjutnya dikonsepsi oleh Entman menjadi perangkat framing yang selalu ada dalam sebuah berita. Perangkat framing yang dimaksud meliputi:

e. Pendefenisian masalah (define problems) adalah elemen yang pertama kali dapat kita lihat mengenai framing. Elemen ini merupakan master frame/ bingkai yang paling utama. Ia menekankan bagaimana peristiwa dipahami oleh wartawan. Ketika ada masalah atau peristiwa, bagaimana peristiwa atau isu tersebut dipahami. Peristiwa yang sama dapat dipahami secara berbeda. Dan bingkai yang berbeda ini akan menyebabkan realitas bentukan yang berbeda.

f. Memperkirakan masalah atau sumber masalah (diagnose causes), merupakan elemen framing untuk membingkai siapa yang dianggap sebagai aktor dari suatu peristiwa. Penyebab di sini bisa berarti apa (what), tetapi bisa juga berarti siapa (who). Bagaiaman peristiwa dipahami, tentu saja menekankan apa dan siapa yang dianggap sebagai sumber masalah.

g. Membuat keputusan moral (make moral judgement) adalah elemen framing yang dipakai untuk membenarkan/member argumentasi pada pendefenisian masalah yang sudah dibuat. Ketika masalah sudah didefenisikan, peneyebab masalah sudah ditentukan, dibutuhkan sebuah argumentasi yang kuat untuk mendukung gagasan tersebut.

h. Menekankan penyelesaian (treatment recomendation). Elemen ini dipakai unuk menilai apa yang dikehendaki oleh wartawan. Jalan apa yang dipilih untuk menyelesaikan masalah.


(63)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

III.1. DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN III.1.1. Sejarah Harian Kompas

Kompas sebagai suatu perusahaan media massa yang besar dan prestisius kali pertama terbit 28 Juni 1965. Kompas merupakan sebuah perusahaan yang paling lama atau mempunyai umur yang lebih lama dari media yang lainnya. Harian yang bermotto ” Amanat Hati Nurani Rakyat”.Di awali dengan akan bangkrutnya PT Kinta dengan terbitan majalah bulanan Intisari yang didirikan oleh (Alm.) Auwjong Peng Koen, atau lebih dikenal dengan nama Petrus Kanisius Ojong seorang pimpinan redaksi mingguan Star Weekly, berserta Jakob Oetama, wartawan mingguan Penabur milik gereja Katolik.

Kemunculan harian Kompas pada waktu itu sangat tepat karena pada masa 1965 adalah masa politik Indonesia yang panas di mana terjadi perseteruan antara PKI dengan pihak militer, terutama Angkatan Darat. Pada masa itu koran-koran nonkomunis berusaha dimatikan oleh pihak komunis, supaya dapat melancarkan propaganda mereka terhadap rakyat melalui surat kabar tanpa halangan. Melalui koran milik PKI yaitu “Harian Rakyat” dan koran-koran PKI lainnya. PKI berusaha mendapatkan simpati rakyat dengan menyatakan aksi-aksi PKI seperti penyerobotan lahan sebagai aksi patriotik untuk mengadakan landreform yang membela nasib rakyat. Hal ini mendorong Letnan Jendral Ahmad Yani sebagai Menteri Panglima Angkatan Darat (1962-1965) menghubungi rekan sekabinetnya yaitu Menteri Perkebunan Drs. Frans Seda (1964-1965) yang juga gerah dengan


(1)

   


(2)

Berita 100 Hari SBY-Boediono pada Harian Kompas

Tanggal : 25 Januari 2010

Judul : Pendemo Siap Datangi Istana


(3)

   

Judul : Kepuasan atas Kinerja Pemerintah Turun

Kelompok Menengah yang Paling Tidak Puas

                                           


(4)

Berita 100 Hari SBY-Boediono pada Harian Kompas

Tanggal : 29 Januari 2010

Judul : Program 100 Hari


(5)

   

Judul : Instruksi Untuk Pembangunan

Presiden: Keberhasilan Program 100 Hari Sebesar 99 Persen Lebih


(6)