Drama Musikal Menurut Bentuk Penyajian

116 benar-benar bisa diwujudkan dalam gerak tarian yang dilakukan. Koreografer bisa saja mencipta gerak, tetapi pada akhirnya sutradara yang memutuskan. 4.2.5 Teatrikalisasi Puisi Menciptakan karya teater berdasarkan puisi yang bercerita membutuhkan keahlian tersendiri. Sifat puisi berbeda dengan lakon sastra drama, maka sutradara harus mampu meramu bait-bait pusisi ke dalam bentuk teatrikal. Beberapa hal di bawah ini dapat dijadikan acuan sutradara yang hendak mementaskan teatrikalisasi puisi. x Memahami karya sastra dalam bentuk puisi. Sutradara harus memahami karya sastra dalam bentuk puisi. Lebih mudah jika puisi tersebut sudah terjalin menjadi satu cerita. Jika karya puisi masih terpisah-pisah - bisa dengan satu pencipta atau lebih – sutradara harus dapat menjalinnya menjadi sebuah cerita yang memenuhi syarat untuk diangkat dalam bentuk teater. Syarat cerita teater adalah adanya “konflik”. Jika ada konflik, maka secara otomatis harus ada penyebab dan penyelesaiannya. Puisi yang sudah dirangkai sesuai dengan prasyarat ini bisa diangkat ke dalam bentuk teater. Yang perlu diingat adalah kesatuan tema dan gaya puisi. Kalau gaya masing-masing puisi berbeda, maka rangkaian yang dihasilkan hanya merupakan sekumpulan puisi sehingga bentuk pementasannya menjadi kumpulan sketsa. x Memahami teknik membaca puisi. Teknik membaca puisi berbeda dengan teknik wicara dalam teater. Ada kaidah- kaidah tertentu yang harus dipahami oleh sutradara, misalnya pemenggalan kata, irama pengucapan, dan penekanan makna. Jika teknik membaca dipahami dan dikuasai dengan baik, maka sutradara akan dapat melatihkannya ke aktor. Selain itu, kemungkinan bentuk pengembangan gaya pengucapan akan terbuka lebih lebar dan terarah. x Mewujudkan makna puisi dalam gerak, ekspresi, dan laku aktor. Teatrikalisasi puisi bisa ditampilkan dengan menambahkan komposisi gerak. Hal ini bertujuan untuk menegaskan gambaran makna puisi yang disampaikan. Bagi aktor yang mengucapkan baris-baris puisi, maka tugas sutradara adalah mengatur keselarasan gerak, ekspresi, dan pengucapan kalimat puisi tersebut. Ketiga unsur ini harus saling mendukung dan menguatkan. Sementara, pemain lain yang memberikan latar gerak, komposisi dan irama geraknya diatur untuk mendukung pemain utama. Semua mengacu pada harmonisasi. x Mengubah puisi dalam bentuk koreografi atau nyanyian. Untuk menambah daya tarik terkadang bait-bait puisi diubah dalam 117 bentuk gerak atau diubah menjadi lagu. Kemampuan sutradara untuk menemukan alternatif media ungkap puisi sangat diperlukan. Bentuk gerak dan nyanyian hanyalah salah satunya. Jika sutradara menemukan bentuk ungkap lain, maka hal tersebut harus diterapkan dengan baik demi mendukung harmonisasi. Banyaknya ragam media ungkap puisi membuat pertunjukan menjadi kaya. x Menghadirkan musik ilustrasi yang tepat. Musik pengiring merupakan unsur yang penting dalam teatrikalisasi puisi. Dalam pementasan pembacaan puisi, seniman biasanya menambahkan musik pengiring. Usaha yang cukup berhasil ini membawa puisi ke dalam dimensi yang lebih dalam dan itu membawa pengaruh kuat dalam pementasan. Usaha ini kemudian dilestarikan para seniman sehingga dalam pentas baca puisi, kehadiran musik pengiring menjadi penting. Tanpa musik pengiring, pertunjukan teatrikalisasi puisi menjadi hambar. Dengan alasan ini, maka sutradara harus mampu memilih jenis karya musik yang tepat untuk mengiringi setiap adegan. Sutradara diharapkan bekerjasama dengan penata musik, tetapi arahan utama atau gagasan pengadeganan tetap ada pada sutradara. Penata musik hanya menerjemahkan kehendak sutradara ke dalam komposisinya. Selanjutnya sutradara memberi penilaian baik tepat tidaknya komposisi tersebut dalam adegan.

4.3 Menurut Gaya Penyajian

Sejak sejarah kelahirannya, teater telah memunculkan berbagai macam gaya pementasan. Para seniman teater tidak pernah berhenti menggali visualisasi artistik pementasan. Beberapa gaya pementasan yang dilahirkan ada yang bertahan hingga saat ini dan banyak yang tidak lama bertahan. Gaya pementasan yang bertahan biasanya memiliki daya tarik yang kuat dan membuat seniman lain ikut melakukannya. Jika gaya tersebut dilakukan dalam kurun waktu yang lama oleh seniman berbeda dalam berbagai produksi, maka ciri-ciri dari gaya tersebut berubah menjadi konvensi pakem. Pertunjukan teater yang menjalankan konvensi tertentu dengan ketat disebut sebagai teater konvensional. Untuk membedakan, pertunjukan teater dengan gaya lain yang masih membuka kemungkinan pengembangan dan belum menetapkan konvensi disebut sebagai teater non konvensional. 4.3.1 Konvensional Mementaskan teater konvensional membutuhkan kecermatan dan kedisiplinan dalam menerapkan konvensi. Mentaati konvensi terkadang tidak mudah karena kemungkinan bentuk pengembangannya menjadi 118 sangat terbatas. Jika tidak hati-hati gagasan baru untuk pengembangan justru bertolak belakang dari konvensi yang ada. Banyak polemik lahir mengenai ketaatan konvensi, terutama dalam teater tradisional. Hal ini biasanya berkaitan dengan penyebutan nama dan prasyarat yang mengikutinya. Misalnya, untuk menyebut pertunjukan teater yang bernama ludruk maka aturan-aturan pertunjukan ludruk harus dipenuhi. Di bawah ini adalah langkah-langkah yang bisa diterapkan sutradara yang ingin mementaskan teater konvensional. x Memilih jenis teater konvensional. Banyak sekali jenis teater konvensional, terutama di Indonesia. Setiap teater tradisional bisa disebut sebagai teater konvensional. Ludruk, randai, ketoprak, longser, lenong, wayang wong, semua dapat digolongkan ke dalam teater konvensional. Di Asia terdapat noh, kyogen, bunraku Jepang, sandiwara bangsawan, mak yong Malaysia, lakhon Thailand, Myanmar. Di Barat, semua teater sejak belum lahirnya realisme disebut teater konvensional. Bahkan dewasa ini realisme dan beberapa gaya teater modern lain yang ciri-cirinya sudah melembaga bisa disebut sebagai teater konvensional. Sutradara harus memilih jenis teater konvensional yang hendak dipentaskan sesuai dengan kemampuannya. x Memahami konvensi. Untuk mementaskan teater ini sutradara harus memahami dengan baik konvensi pakem yang ada. Meskipun konvensi tersebut bersifat normatif tetapi pemberlakuannya ketat apalagi jika jenis teater tersebut telah digolongkan sebagai teater klasik. Setiap jenis teater konvensional memiliki aturan yang berbeda. Misalnya, aturan pertunjukan ludruk berbeda dengan randai, ketoprak, wayang wong, longser, dan lain sebagainya. Meskipun terdapat beberapa unsur kesamaan tetapi ciri khas masing-masing jenis teater tersebut berbeda. Hal ini berlaku juga untuk teater di Barat, jenis teater konvensional yang ada misalnya gaya presentasional klasik dan represantisonal realis memliki konvensi yang sangat berbeda. Sutradara harus benar-benar memahami konvensi jenis teater konvensional yang dipilih. x Dapat menjalankan konvensi dengan konsisten. Karena konvensi ini harus dilakukan, maka sutradara harus mau dan mampu menjalankannya secara konsisten. Misalnya, dalam sebuah konvensi pemain harus menari ketika keluar-masuk panggung maka sutradara diharuskan mentaatinya. Jika ada pemain yang tidak bisa menari, maka ia harus melatihnya atau memanggilkan pelatih untuk mengajari menari. Jika sutradara putus asa dan memperbolehkan para pemain tidak menari ketika keluar-masuk panggung, maka ia telah menyalahi konvensi dan bisa jadi menuai kritikan tajam dari para pengamat dan pelaku teater konvensional.