9
III. Sri Baduga Maharaja
3.1 Kehidupan dan Karir Politik
Sri Baduga Maharaja sebagai tokoh sejarah banyak disebutkan dalam beragam sumber, mulai dari sumber lisan, tulisan, hingga terpateri dalam prasasti. Dengan
demikian, keberadaan Sri Baduga sebagai tokoh sejarah tidak perlu diragukan lagi. Bahkan keberadaan beliau di pangung sejarah kehidupan tidak sekedar
“ada“ tapi merupakan sosok yang pinunjul, primus inter pares, raja terbesar di antara raja-raja Kerajaan Sunda Pakuan Pajajaran. Prestasi beliau dalam berbagai
bidang disebutkan dalam banyak naskah dan kajian-kajian kontemporer. Salah satu di antara kajian kontemporer mengenai kepemimpinannya dilakukan oleh
Prof. Edi S. Ekadjati 2005: 83-242 dan Saleh Danasasmita 2003. Malahan, Prof. Edi S. Ekadjati memberi judul babnya “Prabu Siliwangi: Pahlawan
Kebudayaan Sunda“. Prabu Siliwangi adalah nama julukan untuk Sri Baduga Maharaja. Karena kebesaran dan prestasinya, tidak heran jika ketokohan Sri
Baduga demikian melegenda dan banyak dimitoskan. Sebelum nama Sri Baduga Maharaja dilekatkan pada raja Kerajaan Sunda
Pakuan Pajajaran, beliau memiliki beberapa nama: Prabu Jayadewata, Ratudewata, dan Prebu Guru Dewataprana. Nama Sri Baduga Maharaja diberikan
ketika beliau dilantik jadi Raja Agung Kerajaan Sunda Pakuan Pajajaran. Nama lengkap beliau adalah Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di Pakwan Pajajaran Sri
Sang Ratu Dewata. Hal tersebut diabadikan pada Prasasti Batu Tulis:
“Ini sasakala. Prebu Ratu purane pun diwastu diya wi ngaran Prebu Guru Dewataprana diwastu diya di ngaran Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di
Pakwan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata”.
Rahiyang Banga Danasasmita, 2003: 23. Sanjaya bisa dipastikan berkuasa pada abad ke-8, karena beliau membuat Prasasti Canggal pada tahun 732 Masehi. Bila pada zaman Sanjaya Pakuan
Pajajaran sudah ada maka dapat dipastikan Pakuan Pajajaran sudah ada setidaknya pada awal abad ke-8.
10
Ini tanda peringatan, Prabu Ratu almarhum, beliau dilantik menggunakan nama Prabu Guru Dewataprana, dilantik lagi dengan nama Sri Baduga
Maharaja Ratu Aji di Pakwan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata”.
Sri Baduga Maharaja sejak kecil ada dalam asuhan Niskala Wastu Kancana. Sri Baduga kemudian dibesarkan oleh kakeknya yang bernama Niskala
Wastu Kancana ketika beliau menjadi raja Kerajaan Sunda yang memerintah selama 104 tahun, dari tahun 1371 sampai 1475. Keratonnya dikenal dengan
sebutan Karaton Surawisesa yang terletak di pusat kerajaan yaitu Kawali. Kerajaan Sunda membawahi sejumlah kerajaan kecil di daerah-daerah, beberapa
di antaranya adalah Kerajaan Sindangkasih Majalengka, Kerajaan Saunggalah Kuningan, Kerajaan Japura, Kerajaan Singapura Cirebon, Kerajaan Pakuan
Bogor. Muncul pertanyaan, apakah Niskala Wastu Kancana itu ayahya Sri
Baduga? Kalau bukan, siapa ayahnya dan mengapa Sri Baduga tidak diasuh dan dibesarkan oleh ayahnya? Mengapa juga ayahnya tidak populer di antara jajaran
daftar raja-raja Kerajaan Sunda? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu demikian. Niskala Wastu Kancana
memang bukan ayah Sri Baduga. Niskala Wastu Kancana adalah kakeknya. Ayah Sri Baduga sendiri bernama Dewa NiskalaNingrat KancanaJayaningratTohaan
di Galuh. Beliau menjadi raja Kerajaan Sunda selama 7 tahun, dari 1475 sampai 1482. Pusat kerajaannya berada di Galuh. Dewa Niskala memang kurang populer
dikarenakan beliau mendapat “sanksi adat“, karena “keuna ku kalawisaya“ ngalakukeun gawe hianat berupa menikahi istri larangan. Itulah sebabnya
pengasuhan Sri Baduga diambil alih oleh kakeknya. Kebesaran Sri Baduga pada masa-masa selanjutnya adalah berkat asuhan dan didikan kakeknya, bahkan dalam
beberapa hal, dalam menjalankan pemerintahannya, meniru kakeknya. Karir politik Sri Baduga Maharaja diawali sebagai ratu di kerajaan-
kerajaan kecil itu. Di antaranya Sri Baduga Maharaja pernah jadi ratu di Kerajaan Sindangkasih dan di Kerajaan Pakuan. Ketika berkuasa di Sindangkasih, Sri
Baduga Maharaja menikah dengan Ambetkasih. Dari istri yang ini, Sri Baduga
11
Maharaja tidak diceritakan memiliki anak. Kemudian pada tahun 1422 Sri Baduga Maharaja menikah lagi dengan Subanglarang di Kerajaan Singapura.
Dari pernikahan dengan Subanglarang, Sri Baduga Maharaja dikaruniai tiga orang anak, yaitu Walangsungsang lahir 1423, Larasantang lahir 1426,
jeung Rajasangara lahir 1428. Walangsungsang dan Larasantang lahir di Singapura, sedangkan Rajasangara lahir di Pakuan.
Kepindahan Sri Baduga Maharaja ke Pakuan terjadi kira-kira tahun 1427. Di Pakuan Sri Baduga Maharaja diangkat sebagai ratu – mewarisi tahta dari uwa-
nya, Susuktunggal – selama 55 tahun 1427—1482. Selanjutnya, dari tahun 1482 sampai 1521 Sri Baduga Maharaja menjadi maharaja Kerajaan Sunda. Pada
saat Sri Baduga Maharaja inilah pusat kerajaan pindah dari Kawali Ciamis ke Pakuan Pajajaran Bogor. Oleh karena itu, sejak itulah nama kerajaan dikenal
dengan sebutan Kerajaan Sunda Pakuan Pajajaran. Di Pakuan Sri Baduga Maharaja punya istri lagi bernama Kentring Manik. Ia adalah anak Susuktunggal,
uwa -nya yang pernah jadi ratu Pakuan. Dari perkawinan ini Sri Baduga Maharaja
dikaruniai anak bernama Surawisesa.
11
Berdasarkan sumber tradisional cerita rakyat, cerita lisan disebutkan istri Sri Baduga itu berjumlah saratus lima puluh punjul hiji. Akan tetapi yang terkenal
dalam sejarah setidaknya disebut tiga saja, yaitu Ambetkasih puteri raja Sindangkasih, Subanglarang puteri raja Singapura, Ki Gedeng TapaKi
Jumanjan Jati, dan Kentring Manik puteri Susuktunggal, ratu kerajaan Pakuan, pamannya Sri Baduga.
Hal yang kontroversial tentang Sri Baduga adalah wafatnya, kapan dan di mana kuburannya. Yang diketahui dengan jelas, wafatnya Sri Baduga adalah
tahun 1521. Mengenai tanggal dan bulannya tidak ada catatannya. Adapun mengenai kuburannya banyak pihak yang mengklaim sehingga makamnya
tersebar di banyak daerah di Tatar Sunda. Untuk mengakomodasi kontroversi ini, sebagian pakar menggunakan dua
istilah yang berbeda maknanya: makam dan kuburan. Makam mengacu pada
11
Dalam babad dikenal dengan sebutan Guru Gantangan; dalam sumber Portogis disebut Ratu Samiam, dalam cerita pantun disebut Munding Laya;, dan dalam Naskah Carita Parahiyangan
disebut Surawisesa Danasasmita, 2003: 108..
12
pemahaman “tilem“, pernah menginjakkan kaki di sebuah daerah tertentu, atau meninggalkan benda pusaka di suatu daerah tertentu. Dengan pengertian seperti
ini bisa dipahami bila “makam“ Sri Baduga itu banyak karena tempat yang pernah disinggahinya banyak. Adapun kuburan mengacu pada pengertian tempat jasad
dikuburkan. Oleh karena itu, kuburan Sri Baduga “harus“ satu, tidak bisa lebih. Dalam
Carita Parahiyangan disebutkan bahwa Sri Baduga Prabu Siliwangi dikuburkan
di Rancamaya, Bogor. Dalam naskah itu dituturkan Sri Baduga sebagai Sang mwakta ring Rancamaya
nu sumare di Rancamaya Danasasmita, 2003: 61-62.
3.2 Sri Baduga Maharaja Dijuluki Prabu Siliwangi