1
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Penyakit Demam Berdarah Dengue DBD masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia, karena jumlah penderita penyakit DBD cenderung
meningkat dari tahun ke tahun dan penyebarannya semakin luas. Berdasarkan data Profil Kesehatan Indonesia, 2014 dinyatakan bahwa jumlah penderita DBD yang
dilaporkan pada tahun 2014 sebanyak 100.347 kasus dengan jumlah kematian sebanyak 907 orang IRangka kesakitan = 39,8 per 100.000 penduduk dan
CFRangka kematian = 0,9. Dibandingkan dengan tahun 2013 dilaporkan sebanyak 112.511 kasus serta IR 45,85 terjadi penurunan kasus pada tahun 2014.
Bali merupakan provinsi dengan angka kesakitan DBD tertinggi pada tahun 2014 yaitu sebesar 204,22 per 100.000 penduduk. Banyak faktor yang turut berperan
terhadap peningkatan kasus DBD dan Kejadian Luar Biasa yang sulit atau tidak dapat dikendalikan seperti kepadatan penduduk yang terus meningkat, sejalan
dengan pembangunan kawasan pemukiman, urbanisasi yang tidak terkendali, lancarnya transportasi darat, laut dan udara, perilaku masyarakat yang kurang sadar
terhadap kebersihan lingkungan serta perubahan iklim. Demikian pula dengan Kota Denpasar yang merupakan ibu kota Provinsi Bali dengan jumlah kepadatan
penduduk dan tingkat mobilitas yang tinggi dapat berpengaruh terhadap tingginya kasus DBD dan menjadikan Kota Denpasar daerah endemis DBD. Tingginya kasus
DBD di Kota Denpasar telah menimbulkan keresahan di masyarakat. Berdasarkan laporan Dinas Kesehatan Kota Denpasar tahun 2015 jumlah kasus DBD di kota
Denpasar sebanyak 1.500 kasus. Untuk melihat kinerja jumantik, dapat dilihat dari Angka Bebas Jentik ABJ. Angka Bebas Jentik ABJ merupakan indikator yang
digunakan untuk upaya pengendalian penyakit DBD. Berdasarkan laporan Dinas Kesehatan Kota Denpasar tahun 2015, Kecamatan Denpasar Timur memiliki
presentase ABJ terendah yaitu sebesar 91,01, sedangkan persentase ABJ tertinggi di Kecamatan Denpasar Selatan sebesar 95,14. Puskesmas I Denpasar Timur ABJ
memiliki persentase ABJ yaitu sebesar 91,36 dengan kasus DBD sebanyak 143 dan Puskesmas II Denpasar Timur memiliki persentase ABJ yaitu sebesar 87,65
dengan kasus DBD sebanyak 119. Desa Kesiman Petilan memiliki persentase ABJ terendah yaitu sebesar 73,33. Desa Kesiman Petilan memiliki 11 banjar dan 9
banjar dinas. Banjar di Desa Kesiman Petilan diantaranya banjar Bukit Buwung , Kuningan, Abian Nangka Kelod, Abian Nangka Kaja, Meranggi, Dukuh, Saraswati,
Kehen, Batan Buah, Kedaton, dan Kedaton Kelod. Terdapat 2 banjar yang tergabung menjadi satu banjar dinas, yaitu banjar Kuningan menjadi satu dengan banjar Bukit
Buwung, dan banjar Saraswati menjadi satu dengan banjar Dukuh. Berdasarkan data dari Puskesmas II Denpasar Timur, banjar yang memiliki persentase ABJ terendah
yaitu Banjar Kedaton Kelod sebesar 96,33. Sedangkan Banjar Kuningan memiliki persentase ABJ tertinggi yaitu sebesar 99,69.
DBD mendapat perhatian serius dari seluruh kalangan masyarakat. Berbagai upaya telah dilaksanakan oleh pemerintah, salah satunya dengan cara
memberdayakan jumantik. Jumantik merupakan warga masyarakat setempat yang dilatih untuk memeriksa keberadaan jentik di tempat-tempat penampungan air.
Jumantik merupakan salah satu bentuk gerakan atau partisipasi aktif dari masyarakat dalam menanggulangi penyakit Demam Berdarah Dengue DBD yang sampai saat
ini masih belum dapat diberantas tuntas Depkes RI, 2010 dalam Mubarokah, 2013.
Jumantik berfungsi untuk memantau keberadaan dan menghambat perkembangan awal vektor penular DBD, oleh karena itu peran jumantik sangat penting dalam
sistem kewaspadaan dini dan mewabahnya DBD Pratamawati, 2012. Dengan adanya jumantik yang aktif diharapkan dapat menurunkan angka kasus DBD dapat
memutus mata rantai nyamuk Aedes Aegypty.sp serta menyadarkan masyarakat akan pentingnya perilaku hidup bersih dan sehat melalui kegiatan pemeriksaan jentik yang
berulang-ulang, pelaksanaan Pemberantasan Sarang Nyamuk PSN, serta penyuluhan kepada masyarakat.
Kinerja jumantik merupakan masalah yang sangat penting untuk dikaji dalam rangka menunjang pelaksanaan PSN. Rendahnya ABJ di Banjar Kedaton Kelod
mengindikasikan bahwa kinerja jumantik dalam pelaksanaan pemberantasan sarang nyamuk masih belum maksimal. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian di daerah
Jakarta Utara bahwa presentase ABJ yang rendah disebabkan oleh jumantik yang kinerjanya kurang baik. Salah satu indikatornya adalah jumantik kurang teliti dalam
melakukan survei. Jumantik mungkin hanya memeriksa tempat penampungan air yang besar seperti bak mandi, ember, dan drum, sedangkan wadah yang kecil
misalnya vas bunga, penampungan air di belakang kulkas, penampungan tetesan air conditioner AC, dan penampungan tetesan dispenser tidak diperiksa. Tempat
penampungan air di luar rumah seperti talang air, tangki air, botol bekas, kaleng, wadah plastik, dan sebagainya terkadang juga tidak diperiksa. Hal tersebut
mengakibatkan lepasnya jentik Aedes aegypti dari pemeriksaan. Secara umum, peran jumantik dinilai cukup berhasil dalam pencegahan DBD. Pengalaman di lapangan
dalam melakukanevaluasi kinerja jumantik biasanya mereka tidak memberikan informasi yang cukup kepada masyarakat mengenai DBD dan pencegahannya.
Motivasi kepada masyarakat juga jarang diberikan padahal, ini penting sekali untuk
selalu diberikan dan diingatkan kepada masyarakat tentang pencegahan DBD Pratamawati, 2012. Dalam menjalankan tugasnya memantau jentik ke rumah-
rumah tentunya jumantik dihadapkan dengan berbagai situasi dan permasalahannya di lapangan seperti sebagian pemilik rumah tidak mengijinkan rumahnya disurvei.
Ada pula rumah atau bangunan yang dikunci karena tidak dihuni atau penghuninya sedang pergi sehingga terlewat dari pemeriksaan Pratamawati, 2012.
Pandangan atau pendapat masyarakat yang positif mengenai kinerja jumantik perlu untuk diketahui karena dapat bermanfaat sebagai bahan evaluasi terhadap
kebijakan-kebijakan instansi terutama yang berkaitan dengan upaya meningkatkan kinerja jumantik. Feldman 1985 dalam Ramadhan 2009 menyatakan bahwa
informasi yang pertama kali diperoleh sangat mempengaruhi pembentukan persepsi. Oleh karena itu, pengalaman pertama yang tidak menyenangkan akan sangat
mempengaruhi pembentukan persepsi seseorang. Tetapi karena stimulus yang dihadapi oleh manusia senantiasa berubah, maka persepsi pun dapat berubah-ubah
sesuai dengan stimulus yang diterima. Jika masyarakat mendapatkan pengalaman yang tidak menyenangkan mengenai kinerja jumantik maka akan sangat
mempengaruhi persepsi masyarakat mengenai kinerja jumantik menjadi kurang baik. Begitu pula sebaliknya, jika masyarakat mendapat pengalaman yang menyenangkan
dan puas mengenai kinerja jumantik maka akan sangat mempengaruhi persepsi masyarakat mengenai kinerja jumantik menjadi baik.
Persepsi masyarakat mengenai kinerja jumantik yang baik akan berpengaruh terhadap kepercayaan masyarakat terhadap jumantik. Hal ini dapat mempengaruhi
pada perilaku masyarakat akan pentingnya melakukan pencegahan DBD dengan cara PSN 3M Plus setelah diberikan motivasi dan penyuluhan oleh jumantik. Setiap orang
memiliki persepsi yang berbeda-beda. Jika persepsi masyarakat Kedaton Kelod
mengenai kinerja jumantik mengatakan kinerja jumantik baik, maka hal tersebut akan menciptakan citra jumantik yang baik dimata masyarakat. Jika persepsi
masyarakat Banjar Kedaton Kelod mengenai kinerja jumantik mengatakan kinerja jumantik kurang baik, maka hal itu menunjukkan kinerja yang dilakukan jumantik
selama ini masih kurang optimal dan perlu ditingkatkan. Dengan latar belakang tersebut, maka penulis tertarik untuk meneliti persepsi masyarakat mengenai kinerja
jumantik.
1.2. Rumusan Masalah