Pengaruh Waktu Pasteurisasi dan Suhu Penyimpanan terhadap Stabilitas fisiko-kimia Puree dan Model Minuman Labu Kuning.

PENGARUH WAKTU PASTEURISASI DAN SUHU PENYIMPANAN
TERHADAP STABILITAS FISIKO-KIMIA PUREE DAN
MODEL MINUMAN LABU KUNING

LATIFAH RIZANI

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh Waktu
Pasteurisasi dan Suhu Penyimpanan terhadap Stabilitas fisiko-kimia Puree dan
Model Minuman Labu Kuning adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2015
Latifah Rizani
NIM F24110128

ABSTRAK
LATIFAH RIZANI. Pengaruh Waktu Pasteurisasi dan Suhu Penyimpanan
terhadap Stabilitas fisiko-kimia Puree dan Model Minuman Labu Kuning.
Dibimbing oleh ELVIRA SYAMSIR dan DIDAH NUR FARIDAH.
Labu kuning merupakan salah satu jenis sayuran yang sangat potensial
untuk dikembangkan sebagai alternatif pangan bagi masyarakat. Pada penelitian
ini dibuat dua produk berbahan dasar labu kuning, yaitu puree dan model
minuman labu kuning. Penelitian dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama
adalah pembuatan puree dan model minuman labu dan tahap kedua adalah
karakteristik fisiko-kimia dan stabilitasnya selama penyimpanan. Analisis
dilakukan terhadap paremeter warna, viskositas, pH, dan kadar TDF (total dietary
fiber), IDF (insoluble dietary fiber), dan SDF (soluble dietary fiber).
Selama penyimpanan, nilai L, a, 0hue dan pH relatif stabil sementara nilai b
mengalami penurunan. Viskositas pada puree menurun sedangkan viskositas

model minuman mengalami peningkatan. Perubahan lebih besar teramati pada
produk yang waktu pasteurisasinya lebih panjang dan disimpan pada suhu ruang.
Kadar serat pangan pada puree mengalami penurunan selama 12 hari
penyimpanan. SDF mengalami penurunan lebih cepat dibandingkan IDF.
Kata kunci : karakter fisiko-kimia , model minuman, pasteurisasi, puree, suhu
penyimpanan.

ABSTRACT
LATIFAH RIZANI. Effect of Pasteurization Time and Storage Temperature on
Physico-chemical Stability in Puree and Drinking Models of Pumpkin. Supervised
by ELVIRA SYAMSIR and DIDAH NUR FARIDAH.
Pumpkin is one type of vegetable that very potentially being developed as
an alternative raw material in food processing. This study aims to develope puree
and pumpkin drinking models. This study were divided into two steps : the
productions of puree and pumpkin drinkings models and physico-chemical
characterization and stability during storage, color, viscosity, pH, and TDF (total
dietary fiber), IDF (insoluble dietary fiber), and SDF (soluble dietary fiber)
During storage L, a, 0Hue, and pH value were relatively stable meanwhile
b value was decreased. The viscosity of puree was decreased and dringking
models increased. Products which had longer pasteurization time and kept in room

temperature gave higher unstability. During 12 days storage, dietary fiber in the
puree decreased. SDF value decreased faster then TDF value.
Keywords: dringking models, pasteurized, physico-chemical characterisation,
puree, storage temperature.

PENGARUH WAKTU PASTEURISASI DAN SUHU PENYIMPANAN
TERHADAP STABILITAS FISIKO-KIMIA PUREE DAN MODEL
MINUMAN LABU KUNING

LATIFAH RIZANI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Teknologi Pertanian
pada
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2015

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2015 ini ialah
Pengaruh Waktu Pasteurisasi dan Suhu Penyimpanan terhadap Stabilitas fisikokimia Puree dan Model Minuman Labu Kuning.
Selama penulisan skripsi ini, penulis banyak memerlukan informasi,
petunjuk, pengarahan maupun bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini,
dengan tulus penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Orang Tua tercinta Rizani dan Siti Zubaidah serta adik tercinta
Khairunnisa atas segala limpahan kasih sayang, doa, dukungan (material
dan spiritual), semangat, dan kehangatan keluarga yang selalu diberikan
kepada penulis.
2. Dr Elvira Syamsir, STP MSi. Selaku dosen pembimbing skripsi untuk
semua bimbingan, dukungannya selama ini, serta bantuan dana penelitian
ini.
3. Dr Didah Nur Faridah, STP MSi. Selaku pembimbing kedua yang telah
banyak memberi saran.
4. Dr Tjahja Muhandri, STP MT. Selaku dosen penguji.

5. Para staf dan laboran (Pak Rojak, Pak Yahya, Bu Antin, Pak Gatot, Mba
Irin, Mas Edi, Mba Yuli, Mba Ulfah) di Departemen Ilmu dan Teknologi
Pangan yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan
penelitian.
6. Ibu Heni dan Abah yang telah menyediakan bahan baku labu kuning di
pasar Gunung Batu Bogor.
7. Teman-teman seperjuangan di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
(ITP 48) Hilda, Ashri, Nindya, Wulan, Desi, Delina, Dini, Lusi, Ristia dan
teman-teman lain yang tidak bisa disebutkan satu persatu atas segala
bantuan, motivasi, canda dan tawa selama kuliah di Departemen Ilmu dan
Teknologi Pangan.
8. Santri-santri berprestasi (CSS 48) terkhusus Trini dan Musfiroh atas segala
kebersamaannya selama 4 tahun di Institut Pertanian Bogor.
9. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terima kasih yang
sebesar-besarnya atas bantuan yang diberikan.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2015

Latifah Rizani


DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
METODE
Waktu dan Tempat
Bahan dan Alat
Tahapan Penelitian
Kerangka Penelitian
Tahap I: Pembuatan Puree dan Model Minuman Labu Kuning
Tahap II: Karakteristik dan Stabilitas Fisiko-kimia Selama
Penyimpanan
Metode Analisis
Nilai pH (AOAC Official Method 981.12 1995)
Analisis Viskositas (Charley 1982)
Analisis Warna dengan Metode Chromameter (Hutching 1999)

Kadar Serat Pangan (Metode Asp et al 1983, yang dimodifikasi)
Persiapan Sampel
Serat Pangan Tidak Larut (insoluble dietary fiber/IDF)
Serat pangan larut (soluble dietary fiber/SDF)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Puree dan Model Minuman Labu Kuning
Stabilitas Fisiko-kimia Selama Penyimpanan
Warna
Viskositas
Nilai pH
Kadar Serat Pangan
SIMPULAN DAN SARAN
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

vi
vi
vi
1
1

2
2
2
2
3
3
3
4
4
4
6
7
9
9
9
9
10
10
11
11

16
18
19
24
24
27

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12

13
14

Interpretasi warna hue pada bola imajiner Munsell
Karakteristik puree dan model minuman labu kuning hari ke-0
Persamaan Regresi Linier Nilai L
Persamaan Regresi Linier Nilai a
Persamaan Regresi Linier Nilai b
Persamaan Regresi Linier Nilai 0Hue
Persamaan Regresi Linier Nilai Viskositas
Persamaan Regresi Linier Nilai pH
Kadar IDF puree
Persamaan Regresi Linier kadar Insoluble Dietary Fiber (IDF)
Kadar SDF puree
Persamaan Regresi Linier kadar Soluble Dietary Fiber (SDF)
Kadar TDF puree
Persamaan Regresi Linier kadar Total Dietary Fiber (TDF)

8
10

13
14
15
16
17
18
20
20
21
21
22
23

DAFTAR GAMBAR

1 Buah labu kuning utuh panjang 30 cm (A), lebar 25 cm (B) dan
daging buah labu kuning (C)
3
2 Diagram alir pembuatan puree labu kuning (Usmiati et al 2004)
5
3 Diagram alir tahapan penelitian pembuatan puree dan model minuman labu
kuning
6
4 Diagram warna Hunter L, a, b
7
5 Bola imajiner Munsell
8
6 Puree dan model minuman labu kuning pada hari ke-0
11
7 Puree labu kuning pada waktu penyimpanan hari ke-6, hari ke-12,
hari ke-18, dan hari ke-24
12
8 Model minuman pada waktu penyimpanan hari ke-6, hari ke-12,
hari ke-18, dan hari ke-24
12
9 Hubungan antara nilai L (Lightness) dengan lama penyimpanan pada
puree dan model minuman labu kuning
13
10 Hubungan antara nilai a dengan lama penyimpanan pada puree dan model
minuman labu kuning
13
11 Hubungan antara nilai b dengan lama penyimpanan pada puree dan Model
Minuman Labu Kuning
14
0
12 Hubungan antara nilai Hue dengan lama penyimpanan pada puree dan
Model Minuman Labu Kuning
15
13 Hubungan antara nilai viskositas dengan lama penyimpanan pada puree dan
Model Minuman Labu Kuning
17
14 Hubungan antara nilai pH dengan lama penyimpanan pada puree dan Model
Minuman Labu Kuning
18
15 Hubungan antara persentase Insoluble Dietary Fiber (IDF) dengan lama

penyimpanan pada produk puree
16 Hubungan antara persentase Soluble Dietary Fiber (SDF) dengan lama
penyimpanan pada produk puree
17 Hubungan antara persentase Total Dietary Fiber (TDF) dengan lama
penyimpanan pada produk puree

20
21
23

DAFTAR LAMPIRAN
1 Data Nilai L (Lightness)
2 Data Nilai a
3 Data Nilai b
4 Data Nilai 0Hue
5 Data Nilai Viskositas
6 Data Nilai pH
7 Kadar air puree basah
8 Bobot puree hasil pengeringan dengan oven vakum
9 Kadar air puree kering
10 Bobot puree kering dalam basis kering
11 Contoh perhitungan kadar serat (g/100 mLpuree)

27
27
27
28
28
28
29
29
29
30
30

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Labu kuning merupakan tanaman sayuran yang sangat potensial untuk
dikembangkan sebagai alternatif pangan masyarakat. Ketersediaan labu kuning di
Indonesia relatif tinggi. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa pada
tahun 2011 produksi buah labu kuning di Indonesia adalah sebanyak 428 197 ton
per tahun. Namun tingkat konsumsi labu kuning masih tergolong rendah, kurang
dari 5 kg per kapita per tahun. Pemanfaatan labu kuning selama ini terbatas dalam
ruang lingkup olahan tradisional, misalnya sebagai sayuran, bahan dasar kolak
dan aneka kue.
Ada lima spesies labu yang umum dikenal yaitu Cucurbita maxima
Duchenes, C. ficiola Bouche, C. mixta, C. moschata Duchenes, dan C. pepo
L.(Caili et al 2006). Kelima spesies Cucurbita tersebut di Indonesia disebut labu
kuning (waluh).
Labu kuning memiliki kandungan gizi yang lengkap seperti karbohidrat,
protein, vitamin A, vitamin C, mineral serta serat pangan sebesar 1.1 % (Purba
2008). Komposisi kimia labu kuning sangat bervariasi tergantung jenis, usia,
keadaan tumbuh, tingkat kematangan, dan lamanya penyimpanan setelah dipanen
(Hendrasty 2003). Berdasarkan penelitian Valenzuela et al (2011) diketahui
bahwa daging buah Cucurbita moschata D.memiliki total serat pangan (total
dietary fiber, TDF) sebesar 19.10%, serat tidak larut (insoluble dietary fiber, IDF)
sebesar 15.10% dan serat larut (soluble dietary fiber, SDF) sebesar 4.00%.
Kandungan TDF pada ekstrak serat Cucurbita maxima sebesar 58.34% (Choi et al
2012).
Serat pangan pada buah labu kuning memiliki manfaat bagi kesehatan
manusia, yaitu untuk mencegah dan menyembuhkan penyakit konstipasi,
divertikular, kanker usus besar, jantung koroner, diabetes dan obesitas (Muchtadi
2001). Serat pangan dapat mengurangi prevalensi penyakit jantung koroner dan
kanker melalui mekanisme peningkatan eskresi asam empedu, penurunan asupan
kalori, meningkatkan produksi asam lemak rantai pendek, mengikat karsinogen,
peningkatan antioksidan dan meningkatkan vitamin dan mineral (Lattimer dan
Haub 2010).
Peningkatan konsumsi serat juga dapat mencegah obesitas melalui serat
pangan larut. Ketika fermentasi di usus besar, SDF seperti pektin serta beberapa
hemiselulosa mempunyai kemampuan menahan air dan dapat membentuk cairan
kental dalam saluran pencernaan. Makanan kaya serat karena itu, waktu cernanya
lebih lama, dan karena menarik air akan memberi rasa kenyang lebih lama
sehingga mencegah untuk mengonsumsi makanan lebih banyak (Lattimer dan
Haub 2010).
Pengolahan labu kuning saat ini relatif terbatas dan sederhana. Penggunaan
labu kuning sebagai bahan baku pembuatan produk makanan ataupun minuman
diharapkan mampu meningkatkan keberagaman produk olahan berbasis labu
kuning, sebagai salah satu sumber pangan alternatif potensial.
Alternatif pengolahan labu kuning adalah pembuatan puree (Hayati 2006).
Dalam penelitian ini puree labu kuning akan dimanfaatkan sebagai bahan baku
dalam pembuatan model minuman labu kuning. Model minuman yang dibuat

2
merupakan model pengembangan produk minuman berbahan dasar labu kuning
yang belum tersedia secara komersial.
Pada penelitian ini puree dan minuman labu kuning diberi perlakuan
pasteurisasi. Pasteurisasi adalah suatu proses pemanasan dengan menggunakan
suhu dibawah 100 0C, yang bertujuan untuk memusnahkan sel-sel vegetatif
mikroba patogen, pembusuk, inaktivasi enzim, dan membunuh mikroba yang
sensitif terhadap panas (terutama khamir, kapang dan beberapa bakteri yang tidak
membentuk spora). Efektifitas proses pemanasan dan peningkatan daya awet yang
dihasilkan pada proses pasteurisasi tergantung pada beberapa karakteristik bahan
pangan, terutama oleh nilai pH (Syah 2012).
Suhu merupakan faktor yang berpengaruh terhadap perubahan mutu pangan.
Semakin tinggi suhu penyimpanan maka laju reaksi berbagai senyawa kimia akan
semakin cepat. Oleh karena itu untuk menduga kecepatan penurunan mutu pangan
selama proses penyimpanan, faktor suhu harus selalu diperhitungkan (Syarief
1993).
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh waktu pasteurisasi dan
suhu penyimpanan terhadap karakteristik fisiko-kimia dan stabilitas puree dan
model minuman labu kuning.

METODE

Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan selama enam bulan, yaitu mulai dari Februari
sampai Agustus 2015. Laboratorium yang digunakan adalah Laboratorium Ilmu
dan Teknologi Pangan (Laboratorium Pengolahan Pangan, Laboratorium
Biokimia Pangan, Laboratorium Kimia Pangan, dan Laboratorium Jasa Analisis
Pangan) IPB.
Bahan dan Alat
Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah labu kuning lokal
jenis bimblu asal Ciapus yang diperoleh dari pasar Gunung Batu Bogor, asam
sitrat dan Na-benzoat. Bahan kimia yang digunakan dalam analisis kadar serat
pada puree dan model minuman labu kuning adalah larutan HCl 4 N, larutan
NaOH 4 N, buffer fosfat 0.08 M pH 6.0, enzim termamyl A3403-500KU (Sigma
Aldrich), enzim pepsin P7000 100 g (Sigma Aldrich), enzim pankreatin P1750
(Sigma Aldrich), NaOH 4 N, HCl 4 N, etanol 78%, 95% aseton, K2SO4, HgO,
H2SO4, NaOH 60%-Na2SO3 5%, H3BO3, indikator MM dan MB, serta akuades.
Alat-alat yang digunakan terdiri dari alat untuk membuat produk dan alat
untuk analisis. Alat yang digunakan untuk membuat produk terdiri atas blender,
pisau, panci, kompor, timbangan analitik, wadah gelas, wadah plastik, sealer
plastik, dan baskom. Alat-alat yang digunakan untuk analisis antara lain
erlenmeyer, gelas kimia, neraca analitik, desikator, crucible dengan celite, oven

3
vakum, tanur, waterbath, pH meter, Viskometer Brockfield, Kromameter Minolta
CR-300, labu Kjehldal, alat destilasi dan alat gelas lainnya.

Tahapan Penelitian
Kerangka Penelitian
Penelitian ini terdiri dari dua tahap. Pada tahap pertama dilakukan
pembuatan puree dan model minuman labu kuning dan pada tahap kedua
dilakukan karakterisasi fisiko-kimia dan stabilitasnya selama penyimpanan.
Tahap I: Pembuatan Puree dan Model Minuman Labu Kuning
Labu kuning yang digunakan pada penelitian ini penampakan visualnya
dapat dilihat pada Gambar 1. Panjang labu utuh sekitar 30 cm dan lebar sekitar 25
cm. Tangkai dan kulit buah sudah berwarna kecoklatan, kering dan keras. Daging
buah berwarna kuning cerah.

A

B

C
Gambar 1 (A) dan (B) buah labu kuning utuh dan (C) irisan melintang buah
labu kuning
Pada pembuatan bahan dasar puree labu kuning, dilakukan daging buah
dipisahkan dari kulit dan biji kemudian dicuci bersih. Daging buah lalu dipotongpotong menjadi bentuk kotak dengan ukuran sisi sekitar 2-3 cm. Proses berikutnya
adalah blansir dengan teknik pengukusan menggunakan uap panas dari air
mendidih selama 10 menit. Kemudian dilakukan proses pendinginan dan setelah
itu dimasukkan ke dalam blender untuk dihancurkan. Tahapan pembuatan puree
labu kuning disajikan pada Gambar 2.

4
Dari bahan dasar puree ini selanjutnya dibuat dua jenis produk yaitu puree
dan model minuman labu kuning. Model minuman labu kuning dibuat dengan
cara mengencerkan puree dari labu kuning yang telah disiapkan sampai
viskositasnya setara dengan viskositas sari kacang hijau komersial 19.25±0.35 Cp.
Pada puree dan model minuman ditambahkan asam sitrat 2% yang bertujuan
untuk mempertahankan kestabilan warna dan menurunkan pH produk sehingga
dapat menghasilkan daya awet yang lebih lama dibandingkan dengan produk yang
memiliki pH tinggi. Setelah itu, ditambahkan juga pengawet Na-benzoat 0.02% ke
dalam masing-masing produk yang bertujuan untuk lebih memperpanjang masa
simpan. Kemudian puree dan model minuman labu kuning dimasukkan secara hot
filling ke dalam cup plastik berukuran 245 ml. Hot filling merupakan metode
pengisian panas suhu 80±20C kedalam kemasan dengan tujuan untuk memberikan
kondisi vakum pada kemasan setelah penutupan, sehingga mengurangi
kemungkinan terjadinya kebocoran karena tekanan dalam kemasan yang terlalu
tinggi (saat pemanasan) sebagai akibat pengembangan produk, mengurangi
kemungkinan terjadinya reaksi oksidasi yang akan menurunkan mutu produk
(Hariyadi 2000). Setelah itu, dilakukan penutupan cup dengan sealer, kemudian
produk puree dan model minuman dipasteurisasi pada suhu 90±20C dengan
perlakuan lamanya dua waktu pasteurisasi yaitu 30 menit dan 60 menit untuk
masing-masing produk. Produk yang telah dipasteurisasi selanjutnya didinginkan
dengan air mengalir selama 10 menit. Masing-masing produk lalu disimpan pada
suhu penyimpanan suhu ruang (29-30 0C) dan suhu refrigerator (10-15 0C).
Tahapan pembuatan model minuman dan pengujian stabilitas mutu selama
penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 3.

Tahap II: Pengujian Karakteristik Fisiko-kimia dan Stabilitasnya Selama
Penyimpanan
Pengaruh suhu pasteurisasi terhadap karakteristik fisiko-kimia puree dan
model minuman dilakukan terhadap parameter warna, pH, viskositas. Pengamatan
terhadap stabilitas penyimpanan pada puree dan model minuman labu kuning
dilakukan pada suhu penyimpanan, yaitu suhu ruang (29-30 0C) dan dan suhu
refrigerator (10-15 0C). Pengamatan dilakukan secara periodik setiap 6 hari sekali
(hari ke-0, 6, 12, 18, dan hari ke-24) terhadap parameter warna, pH, viskositas.
Khusus untuk puree dilakukan pengamatan kadar TDF, IDF,dan SDF. Analisis
terhadap parameter mutu tersebut bertujuan untuk mengetahui laju perubahan
mutu (nilai k) dari parameter mutu yang diamati dengan membuat kurva
hubungan antara parameter mutu dengan waktu penyimpanan.

Metode Analisis
Nilai pH (AOAC official Method 981.12 1995)
Nilai pH diukur dengan menggunakan pH meter EUTECH PH 700.
Pengukuran pH harus dilakukan pada suhu yang sama. Sebelum pengukuran pH
diukur dengan alat pH meter yang terlebih dahulu dikalibrasi dengan larutan

5
standar pH 4 dan 7. Sekitar 100 mL sampel dituangkan ke dalam gelas piala 100
mL Pengukuran dilakukan dengan cara elektroda dibilas dengan aquades dan
dikeringkan kertas tissue secara hati-hati. Elektroda dimasukkan ke dalam wadah
yang berisi sampel sampai terbaca nilai pH yang tertera pada layar dibaca setelah
muncul tanda ready atau measure muncul pada layar penunjuk. Setelah
pengukuran selesai, elektroda dibilas dengan aquades lalu dikeringkan dengan
kertas tissue dan diletakkan kembali pada tempatnya.
Labu kuning

Pengupasan

Pemisahan biji dan jaringjaring biji

Pemotongan daging labu
(ketebalan 2-3 cm)

Blansir (pengukusan
menggunakan uap panas dari
air mendidih selama 10 menit)

Pendinginan
Penambahan air dengan rasio
2:1 (labu kuning kukus :air)
Penghancuran dengan blender

Puree

Gambar 2 Diagram alir pembuatan puree labu kuning (Modifikasi dari Usmiati et
al 2004)

6

Air
Puree Labu
Kuning

Model minuman
labu kuning

Pencampuran

Pengukuran pH awal=6.53

Pengukuran pH awal=6.31

Penambahan asam sitrat 2%
(pH ≤4.6)

Penambahan asam sitrat 2%
(pH ≤4.6)

Penambahan Na- benzoat 0.02%

Penambahan Na- benzoat 0.02%

Pengisian ke dalam cup plastik (Hot filling 80 ±20C selama 2 menit) dan pengeliman

Pasteurisasi
90±20C 30 menit

Pasteurisasi 90±2
0
C 60 menit

Pasteurisasi 90±2
0
C 30 menit

Pasteurisasi 90±2
0
C 60 menit

Pendinginan selama 10 menit

Penyimpanan dilakukan pada suhu refrigerator dan suhu ruang selama 0, 6, 12, 18, dan 24
(hari). Analisis dilakukan terhadap parameter pH,viskositas, warna, dan untuk produk
puree dilakukan analisis kadar serat total.

Gambar 3 Diagram alir tahapan penelitian pembuatan puree dan model minuman
labu kuning

Analisis Viskositas (Charley 1982)
Pengukuran viskositas dilakukan dengan menggunakan Brookfield
rotational viscometer model BM. Prosedur penggunaan alat adalah sebagai
berikut: pertama-tama viskometer dipastikan dalam keadaan sejajar dengan tanda
air. Kemudian spindel dipasang pada viskometer. Digunakan spindel yang
berukuran kecil terlebih dahulu. Setelah itu sebanyak 200 mL dimasukkan ke

7
dalam gelas piala. Sebelum menjalankan motor penggerak rotor, jarum penunjuk
pada viskometer diset di titik nol, kemudian motor dijalankan pada kecepatan
yang paling rendah. Setelah jarum penunjuk stabil,pengunci jarum penunjuk
dipasang dan motor dimatikan. Kemudian nilai persentase yang ditunjuk dapat
dibaca dan dicatat. Bila kecepatan yang paling rendah jarum pada skala penunjuk
tidak bergerak, maka kecepatan dinaikkan. Prosedur ini diulang dengan spindel
yang berukuran lebih besar apabila kecepatan maksimum dari motor tercapai
tetapi jarum penunjuk belum bergerak.
Pengukuran viskositas pada puree labu kuning menggunakan spindel nomor
4 sedangkan model minuman labu kuning menggunakan spindel nomor 1 dengan
kecepatan 60 rpm. Viskositasnya adalah faktor konversi dikalikan dengan angka
hasil pengukuran. Faktor konversi untuk spindel nomor 4 dengan kecepatan 60
rpm adalah 100 sedangkan untuk spindel nomor 1 dengan kecepatan 60 rpm
adalah 1. Satuan dari nilai viskositas adalah CentiPoise (Cp).
Analisis Warna dengan Metode Chromameter (Hutching 1999)
Pengukuran warna dilakukan dengan Minolta Chroma Meters CR-310.
Prinsip dari Minolta Chroma Meters adalah pengukuran perbedaan warna melalui
pantulan cahaya oleh permukaan sampel. Chromameter merupakan alat analisis
warna secara tristmulus untuk mengukur warna yang dipantulkan oleh suatu
permukaan.
Sistem warna Hunter Lab memiliki tiga atribut yaitu L, a, dan b. Nilai L
menunjukkan kecerahan sampel, memiliki skala dari 0 sampai 100 dimana 0
menyatakan sampel sangat gelap dan 100 menyatakan sampel sangat cerah. Nilai
a menunjukkan derajat merah atau hijau sampel. Nilai a positif menunjukkan
warna merah dan a negatif menunjukkan warna hijau. Nilai a memiliki skala dari
-80 sampai 100. Nilai b menunjukkan derajat kuning atau biru. Nilai b positif
menunjukkan warna kuning dan b negatif menunjukkan warna biru. Nilai b
memiliki skala dari -70 sampai 70 (Francis 1996).

Gambar 4 Diagram warna Hunter L, a, b (Francis 1996)

8
Pengukuran warna dengan sistem Munsell didasarkan pada tiga atribut
warna, yaitu warna kromatik (0Hue), kecerahan (value), dan intensitas warna
(chroma atau saturation). Pada penelitian ini hanya dilakukan pengukuran nilai
0
Hue. Warna kromatik (0Hue) meliputi warna monokromatik yang terdiri dari
warna-warna pelangi dan warna campurannya.
Nilai 0Hue menunjukkan posisi warna sampel dalam diagram warna. Nilai
hue menyatakan panjang gelombang dominan yang menentukan apakah warna
tersebut merah, kuning, atau hijau.
0
Hue = (arc tan (b/a)
0
Nilai Hue yang diperoleh kemudian dicocokkan dengan nilai 0Hue yang
ada pada bola imajiner Munsell (Gambar 5 ), sehingga diperoleh data warna
secara objektif yang merupakan kisaran warna yang mendekati warna sampel
sebenarnya. Nilai 0Hue yang diperoleh harus berada dalam bentuk nilai derajat
radian agar dapat diinterpretasikan ke dalam bola imajiner Munsell, setiap derajat
radian menyatakan warna visual yang dilihat.

.
Gambar 5 Bola imajiner Munsell (Francis 1996)
Tabel 1 Interpretasi warna hue pada bola imajiner Munsell
0
Hue
Warna
21 (kuadran I) – 52 (kuadran I)

Merah

53 (kuadran I) – 84 (kuadran I)

Merah-Kuning

85 (kuadran I) – 21 (kuadran II)

Kuning

22 (kuadran II) – 61 (kuadran II)

Hijau-Kuning

62 (kuadran II) – 0 (kuadran III)

Hijau

1 (kuadran III) – 35 (kuadran III)

Biru- Hijau

36 (kuadran III) – 81 (kuadran III)

Biru

82 (kuadran III) – 36 (kuadran 1V)

Ungu-Biru

37 (kuadran IV) – 71 (kuadran IV)

Ungu

72 (kuadran IV) – 20 (kuadran I)

Merah-Ungu

9

Kadar Serat Pangan (Metode Asp et al 1983, yang dimodifikasi)
Metode analisis kadar serta pangan total pada penelitian ini dimodifikasi
dengan metode AOAC 1995 Official Methods 985.29 Total Dietary Fiber in
Foods (Enzymatic-Gravimetric Method) pada tahap pengendapan presipitat.
Persiapan sampel
Sampel puree dikeringkan dengan menggunakan oven vakum suhu 70 0C,
25 mmHg selama semalaman sampai berat sampel konstan. Sampel yang telah
dikeringkan dihancurkan dengan blender kemudian diayak dengan ayakan 100
mesh (Khanum et al 2000).
Serat pangan tidak larut (insoluble dietary fiber)
Sejumlah 0.5 g sampel hasil dari tahap persiapan sampel dimasukkan ke
dalam erlenmeyer, kemudian ditambahkan 12.5 ml 0.1 M buffer fosfat pH 6 dan
dibuat menjadi suspensi. Sampel kemudian ditambahkan 0.05 ml termamyl,
ditutup dengan alufo dan diinkubasi pada suhu 80 0C selama 15 menit dan
didinginkan, kemudian ditambahkan 5 ml akuades dan pH diatur menjadi 1.5
dengan menambahkan HCl 4 N. Sampel lalu ditambahkan 50 mg pepsin,
kemudian ditutup dengan aluminium foil dan diinkubasi dalam penangas air
bergoyang pada suhu 40 0C selama 60. lalu ditambahkan 10 ml air destilat dan pH
diatur menjadi 6.8 dengan NaOH 4 N. Selanjutnya ditambahkan 50 mg
pankreatin, kemudian labu ditutup dengan alumunium foil dan diinkubasi dalam
penangas air bergoyang pada suhu 40 0C selama 60 menit. Sebanyak 70 ml etanol
95% yang sebelumnya telah dipanaskan hingga suhunya 60 0C (volume diukur
setelah pemanasan) ditambahkan. Agar terbentuk endapan, sampel dibiarkan pada
suhu kamar selama 60 menit. Secara kuantitatif endapan disaring melalui crucible.
Sebelumnya, crucible yang mengandung celite ditimbang hingga keakuratan
mendekati 0.1 mg.
Residu kemudian dicuci dengan 2 x 5 ml etanol 75%, 2 x 5 ml etanol 95%,
dan 2 x 5 ml aseton secara berturut-turut. Crucible yang mengandung residu
dikeringkan dalam oven biasa pada suhu 105 0C hingga beratnya tetap (sekitar 12
jam) dan ditimbang setelah didinginkan dalam desikator (D1). Residu kemudian
diabukan dalam tanur 525 0C selama minimal 5 jam, didinginkan dalam desikator
(I1), dan ditimbang. Nilai blanko diperoleh dengan cara yang sama namun tanpa
menggunakan sampel.
Analisis residu dari satu sampel ulangan digunakan untuk analisis protein
menggunakan metode kjeldahl, faktor konversi yang digunakan ialah N x 6.25.
Sampel ulangan lainnya diabukan selama 5 jam pada suhu 525 0C. Kemudian
didinginkan dalam desikator dan ditimbang hingga keakuratan mendekati 0.1 mg.
Kurangi dengan bobot crucible dan celite untuk memperoleh bobot abu.
Serat pangan larut (soluble dietary fiber)
Volume filtrat diatur dan dicuci dengan air sampai 100 ml kemudian
ditambahkan 70 ml etanol 95% dengan suhu 60 0C dan dibiarkan presipitasi
selama 60 menit, lalu disaring dengan crucible kering (porositas 2) yang
mengandung 0.5 gram celite, selanjutnya dicuci berturut dengan 2 x 5 ml etanol
78%, 2 x 5 ml aseton. Setelah itu filter gelas dikeringkan dalam oven suhu 105 0C

10
sampai beratnya konstan dan ditimbang setelah didinginkan dalam desikator (D2),
dan diabukan pada suhu 550 0C selama kurang lebih 5 jam serta ditimbang setelah
pendinginan dalam desikator (I2).
Dilakukan juga koreksi protein dengan metode Kjeldahl dan perhitungan
serat blanko dengan menggunakan prosedur seperti di atas, tetapi tidak digunakan
sampel. Nilai blanko ini harus diperiksa secara berkala dan bila enzim yang
digunakan berasal dari batch baru.
Perhitungan:
IDF (%) = [(bobot residu – P – A – B )/bobot sampel] x 100%
SDF (%) = [(bobot residu – P – A – B )/bobot sampel] x 100%
TDF (%) = IDF (%) + SDF (%)
P = bobot koreksi kadar protein residu
A = bobot koreksi kadar abu residu
B = bobot blanko

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Puree dan Model Minuman Labu Kuning
Produk yang dibuat pada penelitian ini adalah puree dan model minuman
labu kuning yang diasamkan dengan penambahan asam sitrat 2%. Puree labu
kuning merupakan hancuran dari buah labu kuning yang memiliki konsistensi
seperti bubur. Model minuman dibuat dari puree labu kuning yang diencerkan
dengan air sampai konsistensinya sama seperti minuman kacang hijau komersial
(19.25±0.35 Cp). Puree dan model minuman yang dihasilkan dapat dilihat pada
Gambar 6. Puree dan model minuman labu kuning yang dihasilkan berwarna
kuning cerah, aromanya manis dengan rasa sedikit asam. Karakteristik fisikokimia puree dan model minuman labu kuning pada hari ke-0 ditampilkan pada
Tabel 2.
Tabel 2 Karakteristik puree dan model minuman labu kuning pada hari ke-0
Parameter mutu
Puree
Model Minuman
30 menit
60 menit
30 menit
60 menit
L
55.72±1.47
54.39±0.22
55.33±0.12 54.80±0.18
Intensitas
A
10.04±0.23
9.85±0.80
3.59±0.08
4.37±0.83
warna
B
50.19±2.59
50.86±0.54
45.13±0.15 46.96±0.58
0
hue
78.68±0.32
79.03±0.98
85.64±0.39 84.68±1.09
Viskositas
2812.50±4.17 2683.33±16.67 19.79±0.04 17.79±0.06
(Cp)
pH
4.52±0.03
4.51±0.02
4.42±0.01
4.41±0.02

11

(A)

(B)

Gambar 6 Puree (A) dan Model minuman (B) labu kuning pada hari ke0

Stabilitas Mutu Selama Penyimpanan
Selama penyimpanan terjadi perubahan warna pada puree dan model
minuman labu kuning. Penampakan visual dapat dilihat pada Gambar 7 dan 8.
Secara objektif perubahan warna produk diamati dengan menggunakan
kromameter terhadap parameter L, a, b, dan 0hue. Semakin lama waktu
penyimpanan warna puree dan model minuman semakin memudar, viskositas
pada puree menjadi semakin encer, sedangkan viskositas pada model minuman
semakin kental dan adanya kabut yang melayang-layang diatas permukaan
minuman (clouding).
Pada puree yang disimpan di suhu ruang terjadi kerusakan, ditandai
dengan adanya perubahan bau asam yang mulai terdeteksi pada penyimpanan hari
ke-6. Hal ini mengindikasikan proses pasteurisasi tidak cukup dan karena ada
kerusakan tren untuk fisiko-kimia khususnya analisis kadar serat pangan pada
suhu ruang hanya diamati sampai hari ke-12.
a.

Warna
Nilai L (lightness) pada produk puree dan model minuman labu kuning
dengan perlakuan lama waktu pasteurisasi maupun suhu penyimpanan ruang dan
suhu refrigerator, relatif stabil selama penyimpanan (Gambar 9). Nilai r2 pada
persamaan (Tabel 3) menunjukkan nilai yang kecil atau < 0.75, diindikasikan
bahwa kecerahan pada puree dan model minuman relatif stabil selama 24 hari
penyimpanan.

12

(A)

(C)

(B)

(D)

Gambar 7 Puree labu kuning pada waktu penyimpanan (A) hari ke-6, (B) hari ke12, (C) hari ke-18, dan (D) hari ke-24

(A)

(B)

(C)
(D)
Gambar 8 Model minuman pada waktu penyimpanan (A) hari ke-6, (B) hari ke12, (C) hari ke-18, dan (D) hari ke-24
Keterangan gambar :
A1B1 = Perlakuan lama waktu pasteurisasi 30 menit dan suhu penyimpanan pada suhu ruang
A1B2 = Perlakuan lama waktu pasteurisasi 30 menit dan suhu penyimpanan pada suhu
refrigerator
A2B1 = Perlakuan lama waktu pasteurisasi 60 menit dan suhu penyimpanan pada suhu ruang
A2B2 = Perlakuan lama waktu pasteurisasi 60 menit dan suhu penyimpanan pada suhu
refrigerator

13

(B)

60

60

40

40

Nilai L

Nilai L

(A)

20

20
0

0
0

6

12

18

0

24

Lama Penyimpanan (hari)
P30,Truang
P60,Truang

6

12

18

24

Lama Penyimpanan (hari)
M30,Truang
M60,Truang

P30,Trefri
P60,Trefri

M30,Trefri
M60,Trefri

Gambar 9 Hubungan antara nilai L (Lightness) dengan lama penyimpanan pada
(A) puree dan (B) model minuman labu kuning
Tabel 3 Persamaan Regresi Linier Nilai L
Waktu
pasteurisasi
(menit)

Produk

30
Puree
60
30

Model
Minuman

60

Suhu
penyimpanan

Konstanta
(intercept)

Laju
perubahan
(slope)

r2

56.012
54.452
53.724
54.204
3.9988
3.9955
3.9834
3.9848

0.0597
0.0350
0.1345
0.0553
0.0016
3x10-5
0.0020
1x10-5

0.3193
0.1008
0.8478
0.6062
0.4993
0.0002
0.4676
5x10-5

Ruang
Refrigerator
Ruang
Refrigerator
Ruang
Refrigerator
Ruang
Refrigerator

Penyimpanan puree pada suhu ruang maupun suhu refrigerator memiliki
korelasi linier terhadap kecerahan dengan lamanya waktu penyimpanan, serta laju
perubahan kecerahan pada suhu pasteurisasi 60 menit berlangsung lebih cepat.
(B)

12
10
8
6
4
2
0

Nilai a

Nilai a

(A)

0

6

12

18

24

Lama Penyimpanan (hari)
P30,Truang
P60,Truang

P30,Trefri
P60,Trefri

12
10
8
6
4
2
0
0

6

12

18

24

Lama Penyimpanan (hari)
M30,Truang
M60,Truang

M30,Trefri
M60,Trefri

14
Gambar 10 Hubungan antara nilai a dengan lama penyimpanan pada (A) puree
dan (B) model minuman labu kuning

Produk

Puree

Model
Minuman

Tabel 4 Persamaan Regresi Linier Nilai a
Waktu
Laju
Suhu
Konstanta
pasteurisasi
perubahan
penyimpanan (intercept)
(menit)
(slope)
9.758
-0.1973
Ruang
30
9.736
-0.0243
Refrigerator
9.454
-0.2308
Ruang
60
11.438
-0.1180
Refrigerator
3.534
-0.1223
Ruang
30
3.158
0.0582
Refrigerator
4.920
-0.2227
Ruang
60
3.666
0.0067
Refrigerator

r2
0.7346
0.4103
0.7708
0.4506
0.7000
0.6300
0.7159
0.0070

Nilai a pada produk puree dan model minuman labu kuning dengan
perlakuan lama waktu pasteurisasi maupun suhu penyimpanan ruang dan suhu
refrigerator, relatif stabil selama penyimpanan (Gambar 10). Suhu penyimpanan
pada suhu ruang lebih berpengaruh terhadap nilai a pada puree dan model
minuman, karena memiliki korelasi linier terhadap waktu penyimpanan, dilihat
dari nilai r2 > 0.75 dan dapat dikatakan laju penurunan nilai a berlangsung lebih
cepat (Tabel 4).
Waktu penyimpanan puree dan model minuman labu kuning pada hari ke-6
cenderung menurunkan nilai a, penurunan nilai a disebabkan terjadinya degradasi
pigmen β-karoten oleh suhu dan lamanya waktu pemanasan. Semakin lama
pemanasan mengakibatkan degradasi β-karoten semakin besar (Sahidin et al
2000).
(A)

(B)
60

Nilai b

Nilai b

60
40
20

40
20
0

0
0

6

12

18

24

Lama Penyimpanan (hari)
P30,Truang
P60,Truang

P30,Trefri
P60,Trefri

0

6

12

18

24

Lama Penyimpanan (hari)
M30,Truang
M60,Truang

M30,Trefri
M60,Trefri

Gambar 11 Hubungan antara nilai b dengan lama penyimpanan pada (A) Puree
dan (B) Model Minuman Labu Kuning

15
Tabel 5 Persamaan Regresi Linier Nilai b
Produk

Waktu
pasteurisasi
(menit)
30

Puree
60
30

Model
Minuman

60

Suhu
penyimpanan
Ruang
Refrigerator
Ruang
Refrigerator
Ruang
Refrigerator
Ruang
Refrigerator

Konstanta
(intercept)

Laju
perubahan
(slope)

r2

50.906
48.882
50.938
51.130
45.722
44.592
45.898
46.470

-0.4607
-0.2055
-0.7122
-0.4730
-0.4722
-0.1130
-0.3197
-0.1787

0.7953
0.8023
0.9480
0.8713
0.9494
0.6288
0.7763
0.7086

Nilai b pada produk puree dan model minuman labu kuning dengan
perlakuan lama waktu pasteurisasi maupun suhu penyimpanan ruang dan suhu
refrigerator, cenderung menurun selama penyimpanan (Gambar 11). Nilai b
menurun seiring dengan meningkatnya waktu penyimpanan. Penurunan warna
kuning pada produk puree dan model minuman selama penyimpanan dapat
disebabkan oleh degradasi trans-β-carotene dan isomerisasi ke bentuk isomer cis.
Telah banyak dilaporkan bahwa formasi cis karotenoid dapat menurunkan
intensitas warna (Gusdinar et al 2011).
Suhu penyimpanan pada suhu ruang dan suhu refrigerator untuk produk
puree maupun model minuman memiliki nilai r2 yang cukup besar, sehingga dapat
dikatakan bahwa penyimpanan suhu ruang memiliki korelasi linier antara nilai b
dengan waktu penyimpanan.
Suhu pasteurisasi 60 menit pada puree menunjukkan laju perubahan nilai b
yang lebh cepat dibandingkan dengan suhu pasteurisasi 30 menit. Pada model
minuman suhu pasteurisasi 30 menit menunjukkan laju perubahan nilai b yang
lebih besar dibandingkan suhu pasteurisasi 60 menit.

(A)

(B)

Nilai 0hue

Nilai 0hue

100
80
60
40
20
0
0

6

12

18

Lama Penyimpanan (Hari)
P30,Truang
P60,Truang

P30,Trefri
P60,Trefri

24

100
80
60
40
20
0
0

6

12

18

24

Lama Penyimpanan (Hari)
M30,Truang
M60,Truang

M30,Trefri
M60,Trefri

Gambar 12 Hubungan antara nilai 0hue dengan lama penyimpanan pada (A) Puree
dan (B) Model Minuman Labu Kuning

16
Tabel 6 Persamaan Regresi Linier Nilai 0hue
Produk

Waktu
pasteurisasi
(menit)
30

Puree
60
Model
Minuman

30
60

Suhu
penyimpanan
Ruang
Refrigerator
Ruang
Refrigerator
Ruang
Refrigerator
Ruang
Refrigerator

Konstanta
(intercept)

Laju
perubahan
(slope)

r2

79.158
78.756
79.318
77.268
85.556
85.950
83.896
85.510

0.1460
-0.0217
0.1723
0.0288
0.1345
-0.0882
0.2710
-0.0282

0.6670
0.1514
0.5774
0.0533
0.6078
0.7421
0.7008
0.0777

Nilai 0hue pada produk puree dan model minuman labu kuning dengan
perlakuan lamanya waktu pasteurisasi maupun suhu penyimpanan ruang dan suhu
refrigerator, relatif stabil selama penyimpanan (Gambar 12). Nilai r2 pada
persamaan garis linier (Tabel 6) menunjukkan nilai yang kecil atau < 0.75,
sehingga tidak ada korelasi linier antara nilai 0hue dengan waktu penyimpanan.
Lama waktu pasteurisasi pada puree dan model minuman menunjukkan laju
perubahan nilai hue yang tidak konsisten hal ini disebabkan oleh keberagaman
sampel atau saat proses analisis sampel tidak homogen.
Selama waktu penyimpanan pada suhu ruang produk puree dan model
minuman memiliki nilai 0hue yang lebih besar dibandingkan penyimpanan pada
suhu refrigerator, nilai 0hue produk puree pada hari ke-24 sebesar 81.53 sampai
82.17 sedangkan pada model minuman sebesar 87.90 sampai 89.25 (Lampiran 4).
Berdasarkan Interpretasi warna 0hue pada bola imajiner Munsell, produk puree
dan model minuman lebih dominan memiliki warna kuning.
Warna kuning yang dimiliki pada puree dan model minuman labu kuning
menunjukkan bahwa pada buah labu kuning mengandung pigmen karoten.
Pigmen utama yang terkandung dalam buah labu kuning adalah β-karoten. Selama
proses pemanasan dan penyimpanan total karoten mengalami penurunan
diantaranya β-karoten 5%, violanxanthin 23%, dan lutein %. Perubahan warna
puree dan model minuman labu kuning juga dapat disebabkan oleh sifat yang
dimiliki pigmen karoten yaitu mudah mengalami degradasi karotenoid karena
oksidasi. Selain itu kerusakan dapat terjadi karena oksidasi dan adanya oksigen,
panas, cahaya, dan reaksi Maillard (Gross 1991).
b.

Viskositas

Produk puree cenderung mengalami penurunan nilai viskositas selama
penyimpanan (Gambar 13) Semakin lama waktu penyimpanan, viskositas produk
puree menjadi semakin encer. Penyimpanan suhu ruang dan suhu refrigerator
memiliki nilai r2 yang besar (≥0.75), hal ini dapat dikatakan bahwa suhu
penyimpanan memiliki korelasi linier nilai viskositas dengan waktu penyimpanan.
Lama waktu pasteurisasi 30 dan 60 menit pada puree menunjukkan laju
perubahan nilai viskositas yang cepat.

17
(B)

3500
3000
2500
2000
1500
1000
500
0

30

Viskositas (Cp)

Viskositas (Cp)

(A)

20

10

0
0

6

12

18

Lama Penyimpanan (hari)
P30,Truang
P60,Truang

P30,Trefri
P60,Trefri

24

0

6

12

18

24

Lama Penyimpanan (hari)
M30,Truang
M60,Truang

M30,Trefri
M60,Trefri

Gambar 13 Hubungan antara nilai viskositas dengan lama penyimpanan pada
Puree (A) dan Model Minuman (B) Labu Kuning

Produk

Puree

Model
Minuman

Tabel 7 Persamaan Regresi Linier Nilai Viskositas
Waktu
Laju
Suhu
Konstanta
pasteurisasi
perubahan
penyimpanan (intercept)
(menit)
(slope)
2501.7
-39.584
Ruang
30
2890.0
-37.083
Refrigerator
2443.3
-33.333
Ruang
60
2770.0
-39.445
Refrigerator
16.964
0.1718
Ruang
30
18.286
-0.0348
Refrigerator
16.254
-0.2780
Ruang
60
16.270
0.0692
Refrigerator

r2
0.9473
0.7885
0.6591
0.8726
0.3098
0.0272
0.6917
0.0547

Penurunan viskositas dikarenakan adanya ion-ion padatan terlarut yang
berasal dari pektin. Selama proses pemasakan, pektin dapat terhidrolisis sehingga
terjadi penurunan kadar pektin dan komponen yang larut dalam air akan
meningkat. Total padatan terlarut yang berasal dari kandungan pektin yang ada
pada labu kuning dapat mempengaruhi viskositas puree. Penurunan viskositas
tersebut disebabkan oleh proses depolimerisasi dari pektin terlarut (Pilknik dan
Voragen 1989). Penelitian lain yang dilakukan oleh Yen dan Song (1998)
menyatakan bahwa berkurangnya kekentalan pada pembuatan puree jambu
selama masa penyimpanan disebabkan oleh proses deesterifikasi senyawa pektin
oleh pektinesterase. Selain itu menurunnya ion-ion padatan terlarut dipengaruhi
oleh kemampuan mikroba hasil fermentasi dalam mendegradasi sukrosa,
glukosa,dan fruktosa menjadi senyawa lebih sederhana yang menyebabkan
menurunya padatan terlarut sehingga produk menjadi encer (Pratiwi 2009). Puree
yang disimpan pada suhu ruang pada hari ke-6 sudah tercium asam.
Produk model minuman cenderung mengalami peningkatan nilai viskositas
selama penyimpanan (Gambar 13). Semakin lama waktu penyimpanan, viskositas
model minuman menjadi semakin kental dan terdapat penampakan kabut putih

18
yang melayang-layang (clouding) diatas permukaannya, hal ini disebabkan oleh
adanya koloid dari senyawa pektin dan suspensi yang berasal dari serat yang tidak
larut. Komponen tersebut selain menyebabkan kekeruhan pada sari buah juga
menyebabkan terjadinya endapan apabila disimpan terlalu lama (Wariyah 2010).
Suhu pasteurisasi dan suhu penyimpanan pada model minuman memiliki
nilai r2 yang kecil (0.75) dibandingkan dengan penyimpanan pada suhu refrigerator
(Tabel 8). Puree pada penyimpanan suhu ruang memiliki korelasi linier antara
nilai pH dengan waktu penyimpanan. Laju perubahan nilai pH pada lama waktu
pasteurisasi 60 menit berlangsung cepat.
Model minuman dengan perlakuan suhu penyimpanan ruang pada lama
waktu pasteurisasi 30 menit memiliki nilai r2 yang lebih besar (>0.75)
dibandingkan dengan penyimpanan pada suhu refrigerator (Tabel 8), sedangkan
pada lama waktu pasteurisasi 60 menit dengan penyimpanan suhu ruang dan
refrigerator memiliki nilai r2 yang besar (Tabel 8). Model minuman pada
penyimpanan suhu ruang pada perlakuan lama waktu pasteurisasi 30 menit
memiliki korelasi linier antara nilai pH dengan waktu penyimpanan. Model
minuman pada penyimpanan suhu ruang dan suhu refrigerator pada perlakuan
lama waktu pasteurisasi 60 menit memiliki korelasi linier antara nilai pH dengan
waktu penyimpanan.
Laju perubahan nilai pH pada puree dan model minuman dengan perlakuan
lama waktu pasteurisasi 60 menit lebih cepat dibandingkan lama waktu
pasteurisasi 30 menit. Penurunan pH pada puree disebabkan karena adanya
aktivitas respirasi mikroba yang menghasilkan CO2 dengan cara melepaskan atom
hidrogen secara bertahap sehingga menurunkan pH minimum (Fardiaz 1992).
Dengan demikian untuk memperkecil kerusakan produk karena penurunan pH,
produk puree dapat disimpan pada suhu refrigerator.
d.

Kadar Serat Pangan
Serat pangan (dietary fiber) merupakan bagian dari bahan pangan yang
tidak dapat dihidrolisis oleh enzim-enzim pencernaan. SDF diartikan sebagai serat
pangan yang dapat larut dalam air panas. Sumber SDF antara lain gum, pektin,
dan sebagian hemiselulosa larut yang terdapat dalam dinding sel tanaman.
Adapun IDF diartikan sebagai serat pangan yang tidak larut dalam air panas
maupun dingin. Sumber IDF adalah selulosa, lignin, sebagian besar hemiselulosa,
sejumlah pektat yang tidak dapat larut. IDF merupakan kelompok terbesar dari
TDF dalam makanan, sedangkan SDF hanya menempati jumlah sepertiganya
(Muchtadi 2001). Menurut Wong dan Jenkins (2007) serat pangan biasanya
mengandung sepertiga serat larut dan dua pertiga serat tidak larut.
Pada puree yang disimpan di suhu ruang terjadi kerusakan, ditandai dengan
adanya perubahan bau asam yang mulai terdeteksi pada penyimpanan hari ke-6.
Kadar serat pangan hanya diamati sampai penyimpanan hari ke-12. Untuk
mempermudah analisis kadar serat pangan pada puree, dilakukan tahap
pengeringan dengan oven vakum. Hal ini dikarenakan puree memiliki kadar air
yang cukup tinggi. Kadar air puree berkisar antara 93.83 sampai 94.66%.
IDF (insoluble dietary fiber)
IDF pada produk puree labu kuning dengan perlakuan lama waktu
pasteurisasi maupun suhu penyimpanan ruang dan suhu refrigerator, mengalami
penurunan (Gambar 15). Pada hari ke-0 IDF pada puree cukup tinggi, puree

20
dengan perlakuan lama waktu pasteurisasi 30 menit dan penyimpanan suhu ruang
memiliki IDF sebesar 1.87 g/100 mL puree,sedangkan perlakuan waktu
pasteurisasi 60 menit dan penyimpanan suhu ruang memiliki IDF sebesar 2.30
g/100 mL puree.

Sampel

P30,T ruang
P30, T refrigerator
P60,T ruang
P60,T refrigerator

Tabel 9 Kadar IDF dalam puree
Hari Ke0
6
g/100
g/100 g g/100 g/100 g
mL
puree
mL
puree
puree
kering* puree kering*
1.87
26.91
1.23
17.03
1.87
26.91
1.11
16.89
2.30
26.97
1.52
17.77
2.30
26.97
1.61
18.98

g/100
mL
puree
1.25
1.26
1.58
1.60

12
g/100 g
puree
kering*
17.22
19.20
18.50
18.84

Kadar IDF (g/100 mL puree)

*puree kering = puree yang dikeringkan dengan oven vakum

3

2

1

0
0

6

12

Lama Penyimpanan (Hari)
P30,Truang

P30,Trefri

P60,Truang

P60,Trefri

Gambar 15 Hubungan antara Insoluble Dietary Fiber dengan lama penyimpanan
pada produk Puree.
Tabel 10 Persamaan Regresi Linier Insoluble Dietary Fiber (IDF)
Waktu
Laju
Suhu
Konstanta
Produk
pasteurisasi
perubahan
r2
penyimpanan (intercept)
(menit)
(slope)
1.7558
-0.0513
0.7256
Ruang
Puree
30
1.7142
-0.0504
0.5728
Refrigerator
2.1600
-0.0600
0.6879
Ruang
Puree
60
2.1867
-0.0583
0.7607
Refrigerator
Semakin lama waktu pasteurisasi dan semakin lama waktu penyimpanan
IDF menjadi relatif tetap. Hal ini disebabkan oleh komponen IDF seperti

21
hemiselulosa dan selulosa tidak berpengaruh atau stabil selama pemanasan
(Yuanita 2006).
Lama waktu pasteurisasi 30 menit dan penyimpanan suhu ruang memiliki
nilai r2 yang relatif besar, dapat dikatakan bahawa perlakuan lama waktu
pasteurisasi 30 menit dan penyimpanan suhu ruang memiliki korelasi linier
terhadap kadar IDF dengan waktu penyimpanan. Laju perubahan IDF selama
penyimpanan suhu refrigerator berlangsung lebih cepat dibandingkan suhu ruang
(Tabel 10).
Lama waktu pasteurisasi 60 menit dan penyimpanan suhu refrigerator
memiliki nilai r2 yang relatif besar, dapat dikatakan bahawa perlakuan lama waktu
pasteurisasi 60 menit dan penyimpanan suhu refrigerator memiliki korelasi linier
terhadap kadar IDF dengan waktu penyimpanan. Laju perubahan IDF selama
penyimpanan suhu refrigerator berlangsung lebih cepat dibandingkan suhu ruang
(Tabel 10).
SDF (soluble dietary fiber)
Tabel 11 Kadar SDF dalam puree

Sampel

P30,T ruang
P30,T refrigerator
P60,T ruang
P60,T refrigerator

0
g/100 g/100 g
mL
puree
puree kering
2.13
30.91
2.13
30.91
2.50
29.29
2.50
29.29

Hari Ke6
g/100
g/100 g
mL
puree
puree
kering
0.03
0.46
0.06
0.87
0.03
0.37
0.03
0.34

g/100
mL
puree
0.01
0.04
0.04
0.03

12
g/100 g
puree
kering
0.11
0.56
0.45
0.36

Kadar SDF (g/100 mL puree)

*puree kering = puree yang dikeringkan dengan oven vakum
3

2

1

0
0

6

12

Lama Penyimpanan (Hari)
P30,Truang

Gambar

16

P30,Trefri

P60,Truang

Hubungan antara
Soluble Dietary
penyimpananpada produk Puree.

P60,Trefri

Fiber

dengan

lama

22

Tabel 12 Persamaan Regresi Linier Soluble Dietary Fiber (SDF)
Waktu
Laju
Suhu
Konstanta
Produk
pasteurisasi
perubahan
r2
penyimpanan (intercept)
(menit)
(slope)
1.7833
-0.1767
0.7571
Ruang
Puree
30
1.7883
-0.1742
0.7572
Refrigerator
2.0867
-0.2050
0.7470
Ruang
Puree
60
2.0883
-0.2058
0.7500
Refrigerator
SDF pada produk puree labu kuning dengan perlakuan lama waktu
pasteurisasi maupun suhu penyimpanan ruang dan suhu refrigerator, mengalami
penurunan sedangkan pada waktu penyimpanan hari ke-6 sampai hari ke-24 relatif
stabil (Gambar 16). Pada hari ke-0 SDF pada puree cukup tinggi, puree dengan
perlakuan lama waktu pasteurisasi 30 menit memiliki SDF sebesar 2.13 g/100 mL
puree, sedangkan perlakuan lama waktu pasteurisasi 60 menit memiliki SDF
sebesar 2.50 g/100 mL puree .
Menurut Muchtadi (2001) IDF merupakan kelompok terbesar dari TDF
dalam makanan, sedangkan SDF hanya menempati jumlah sepertiganya. Hasil
yang didapat dari penelitian ini SDF pada hari ke-0 lebih besar dibandingkan IDF.
Hal ini disebabkan oleh komponen SDF tidak mengalami presipitasi secara
sempurna, sehingga residu yang dihasilkan terlalu kecil dan tidak bisa untuk
dilakukan analisis kadar protein residu.
Kadar SDF pada hari ke-0 relatif tinggi kemudian pada hari ke-6 kadar SDF
menurun drastis. Hal ini disebabkan telah terjadi proses fermentasi pada hari ke-6.
Sumber SDF terdiri dari gum, pektin, dan hemisel