Pengendalian Serangan Colletotrichum sp. Pada Tanaman Kakao (Theobroma cacao L.) Menggunakan Isolat Bakteri Kitinolitik

(1)

PENGENDALIAN SERANGAN

Colletotrichum

sp. PADA TANAMAN

KAKAO (

Theobroma cacao

L.) MENGGUNAKAN

ISOLAT BAKTERI KITINOLITIK

TESIS

Oleh

SRI WAHYUNI

097030008/BIO

PROGRAM PASCASARJANA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2011


(2)

PENGENDALIAN SERANGAN

Colletotrichum

sp. PADA TANAMAN

KAKAO (

Theobroma cacao

L.) MENGGUNAKAN

ISOLAT BAKTERI KITINOLITIK

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains dalam Program Studi Magister Ilmu Biologi pada Program Pascasarjana

Fakultas MIPA Universitas Sumatera Utara

Oleh

SRI WAHYUNI

097030008/BIO

PROGRAM PASCASARJANA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2011


(3)

PENGESAHAN TESIS

Judul Tesis : PENGENDALIAN SERANGAN Colletotrichum sp. PADA TANAMAN KAKAO (Theobroma cacao L.) MENGGUNAKAN ISOLAT BAKTERI

KITINOLITIK

Nama Mahasiswa : SRI WAHYUNI

Nomor Induk Mahasiswa : 097030008 Program Studi : Magister Biologi

Fakultas : Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara

Menyetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Dwi Suryanto, M.Sc Pembimbing I

Dr. Ir. Edy Batara Mulya Siregar, M.Si Pembimbing II

Ketua Program Studi,

Prof. Dr. Syafruddin Ilyas, M.Biomed

Dekan,


(4)

Tanggal lulus : Telah diuji pada

Tanggal : 15 Agustus 2011

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Dwi Suryanto, M.Sc

Anggota : Dr.Ir.Edy Batara Mulya Siregar, M.Si : Prof.Dr. Erman Munir, M.Sc


(5)

PERNYATAAN ORISINALITAS

PENGENDALIAN SERANGAN

Colletotrichum

sp. PADA TANAMAN

KAKAO (

Theobroma cacao

L.) MENGGUNAKAN

ISOLAT BAKTERI KITINOLITIK

TESIS

Dengan ini saya nyatakan bahwa saya mengakui semua karya tesis ini adalah hasil kerja saya sendiri kecuali kutipan dan ringkasan yang tiap satunya telah di jelaskan sumbernya dengan benar.

Medan, September 2011

Sri Wahyuni 097030008


(6)

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI

KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN

AKADEMIS

Sebagai sivitas akademika Universitas Sumatera Utara, saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : SRI WAHYUNI

NIM : 097030008

Program Studi : BIOLOGI

Jenis Karya Ilmiah : Tesis

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalti Non-Exclusive Royalty Free Right) atas Tesis saya yang berjudul :

PENGENDALIAN SERANGAN Colletotrichum sp. PADA TANAMAN KAKAO

(Theobroma cacao L.) MENGGUNAKAN ISOLAT BAKTERI KITINOLITIK Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Non-Eksklusif ini, Universitas Sumatera Utara berhak menyimpan, mengalih media, memformat, mengelola dalam bentuk data-base, merawat dan mempublikasikan Tesis saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis dan sebagai pemegang dan tau sebagai pemilik hak cipta.

Demikian pernyataan ini dibuat dengan sebenarnya.

Medan, September 2011


(7)

KATA PENGANTAR

Pertama-tama kami panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga tesis ini dapat diselesaikan.

Dengan selesainya tesis ini, perkenankanlah kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

Rektor Universitas Sumatera Utara, Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp. A(K) atas kesempatan yang diberikan kepada kami untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan program Magister.

Dekan Fakultas MIPA Universitas Sumatera Utara, Dr. Sutarman, M.Sc atas kesempatan menjadi mahasiswa Program Magister pada Program Pascasarjana FMIPA Universitas Sumatera Utara.

Ketua Program Studi Magister Biologi, Prof. Dr. Syafruddin Ilyas, M. Biomed Seketaris Program Studi Biologi, Dr. Suci Rahayu, M.Si beserta seluruh Staf Pengajar pada Program Studi Magister Biologi Program Pascasarjana Fakultas MIPA Universitas Sumatera Utara.

Terimakasih yang tak terhingga dan penghargaan setinggi-tingginya kami ucapkan kepada Prof.Dr. Dwi Suryanto, M.Sc. dan Dr. Ir. Edy Batara Mulya Siregar, M.Si selaku Pembimbing yang dengan penuh perhatian dan telah memberikan dorongan, bimbingan, arahan, waktu dan perhatiannya, demikian juga kepada Prof. Dr. Erman Munir, M.Sc. dan Dr. Suci Rahayu, M.Si selaku penguji yang telah memberikan saran dalam penyusunan tesis ini.

Kepada Ayah H.Firmansyah dan Bunda Hj.Sulastri Terimakasih atas segala pengorbanan kalian baik berupa moril maupun materil serta do,a yang terus menerus mengalir sehingga penulis bisa menyelesaikan perkuliahan ini, dan kepada yang paling saya sayangi saudara kandung saya Kakanda Dian Novita, S.E, Ners Nina Olivia, S.Kep. M.Kes, atas motivasi, kesabaran serta do’a yang tidak akan pernah bisa penulis balas sampai kapanpun.

Kepada Abangda Chairul Nizam, S.P yang selalu bersemangat memotivasi serta dukungan yang selalu diberikan kepada penulis, teman – teman (Olvi, Siti, Ratna, Elda, Melva, Rika, Nani, Leli, Rahayu, Afifah, Yuni Lubis, Rida) yang selalu memotivasi penulis agar bersemangat serta semua pihak yang terlibat langsung maupun yang tidak langsung yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas dukungan, perhatian, dan bantuannya kepada penulis.

Penulis menyadari bahwa hasil penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis mengharapkan saran yang bersifat membangun dalam melengkapi kekurangan serta penyempurnaan hasil penelitian ini. Akhir kata semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Agustus 2011 Sri Wahyuni


(8)

ABSTRAK

Colletotrichum sp., adalah jamur penyebab penyakit antraknosa. Jamur ini merupakan salah satu dari organisme yang mengakibatkan kerusakan pada daun tanaman kakao. Pengendalian hayati terhadap Colletotrichum dengan menggunakan isolat bakteri dan jamur telah banyak dilaporkan, akan tetapi penggunaan isolat bakteri kitinolitik untuk mengontrol antraknosa belum banyak dilaporkan. Dalam penelitian ini penggunaan isolat bakteri kitinolitik bertujuan untuk menghambat perkembangan penyakit antraknosa yang ditunjukkan dari pengujian antagonis yang di uji pada media agar dengan 2% koloidal kitin sebagai sumber karbon. Hasil uji antagonis menunjukkan kelima isolat mampu menghambat pertumbuhan jamur Colletotrichum sp. Pengujian secara invivo menunjukkan bahwa kelima isolat bakteri kitinolitik mampu menekan intensitas serangan dan luas serangan yang terjadi pada daun kakao. LK08 mampu mengurangi intensitas serangan sebesar 0.8% dan luas serangan 4%.


(9)

ABSTRACT

Colletotrichum sp., is one of causal agents of antracnose disease on cacao leaf. This fungus is one organisms that caused leaf blight. Biological control of Colletotrichum sp, utilizing bacterial and fungal isolates has been reported. However utilization of chitinolytic bacterial isolates to control anthracnose of cacao leaf has rarely been reported. In this study, the ability of chitinolitic bacterial isolates to inhibit Colletotrichum sp. was evaluated by using an antagonisms assay on minimum salt medium agar with 2% colloidal chitin as carbon source. The result showed that the five chitinolytic bacterial isolates have the ability to inhibit Colletotrichum sp. The invivo tests showed that the chitinolitic bacterial isolates have the ability to suppress disease incidence and disease severity on cacao leaf. LK08 reduced diseases severity to 0.8% and diseases incidence 4% respectively.


(10)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

DATA PRIBADI

Nama : Sri Wahyuni, S.Si

Tempat dan Tanggal Lahir : Medan, 21 Februari 1983

Alamat Rumah : Jl. Selamat Pulau No.87 A Medan-20147 Telepon/Faks/HP : 0617872532

e-mail : costusyuni@yahoo.co.id

Instansi Tempat Bekerja : Akademi Kebidanan Budi Mulia Alamat Kantor : Jalan Djamin Ginting KM 10.5 Telepon/Faks/HP : 0618369415

DATA PENDIDIKAN

SD : Negeri 060827 Medan Tamat : 1995 SMP : MTs Negeri 1 Medan Tamat : 1998 SMA : MA Negeri 1 Medan Tamat : 2001 Strata-1 : Biologi FMIPA USU Tamat : 2005 Strata-2 : Biologi FMIPA USU Tamat : 2011


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR i

ABSTRAK ii

ABSTRACT iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP iv

DAFTAR ISI v

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vii

DAFTAR LAMPIRAN viii

BAB I PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Permasalahan 3

1.3 Tujuan Penelitian 4

1.4 Hipotesis 4

1.5 Manfaat 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5

2.1 Penyakit Antraknosa pada Tanaman Kakao 5 2.2 Penyakit Penting Lainnya pada Tanaman Kakao 7

2.3 Kitin dan Bakteri Kitinolitik 8

2.4 Potensi Bakteri Kitinolitik sebagai Pengendali Hayati 9

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 12

3.1 Waktu dan Tempat 12

3.2 Bahan dan Alat 12

3.3 Uji Antagonisme Bakteri Kitinolitik 13 3.4 Pengamatan Struktur Hifa Fungi Setelah Uji Antagonis 13 3.5 Perbanyakan Suspensi Bakteri dan Jamur 14


(12)

3.6 Pengamatan Intensitas Serangan 14

3.7 Pengamatan Luas Serangan 16

3.8 Analisis Data 16

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 17

4.1 Gejala Penyakit Antraknosa pada Daun Tanaman Kakao 17 4.2 Kemampuan Bakteri Kitinolitik dalam Menghambat Serangan 19 Colletotrichum sp. pada Tanaman Kakao

4.3 Pengamatan Struktur Hifa Abnormal Colletotrichum sp. pada 23 Tanaman Kakao Setelah Uji Antagonisme

4.4 Penilaian Efektifitas Bakteri Kitinolitik terhadap Colletotrichum sp. pada Tanaman Kakao

26

4.5 Reisolasi Bakteri Kitinolitik pada Tanaman Kakao 29

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 32

DAFTAR PUSTAKA 34


(13)

DAFTAR TABEL

Nomor Tabel

Judul Halaman

1 Kemampuan Bakteri Kitinolitik dalam Menghambat Colletotrichum sp. Secara in vitro

21 2 Pengamatan Intensitas Serangan Colletotrichum sp. pada

perlakuan bakteri kitinolitik untuk setiap pengamatan

26 3 Pengamatan Luas Serangan Colletotrichum sp. pada

perlakuan bakteri kitinolitik untuk setiap pengamatan

28


(14)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Gambar

Judul Halaman

1 Gejala Penyakit Antraknosa yang Terserang Colletotrichum sp. 5 2 Morfologi Hifa dan Konidia Colletotrichum sp. 6

3 Spora Colletotrichum sp. 7

4 Tanaman Kakao yang Terserang Colletotrichum sp. 17 5 Biakan Murni, Konidiofor, Apresorium dan Seta, Konidia 18

6 Uji Antagonisme Bakteri Kitinolitik 20

7 Bentuk Hifa Abnormal Colletotrichum sp. 25

8 Hasil Reisolasi Kontrol Positif Serangan Antraknosa, Reisolasi Gejala Patogen, Koloni Jamur Colletotrichum sp., Hifa

30 9 Kontrol Negatif Tanaman Kakao Sehat, Reisolasi Tanaman

Kakao

31 10 Hasil Reisolasi Perlakuan Bakteri Kitinolitik 31


(15)

DAFTAR LAMPIRAN Nomor

Lampiran

Judul Halaman

1 Alur Kerja Antagonisme Invitro 40

2 Pengamatan Abnormalitas Miselium Colletotrichum sp. Setelah Uji Antagonis

41 3 Alur Kerja Pembuatan Suspensi Bakteri Kitinolitik 42 4 Alur Kerja Pembuatan Suspensi Jamur Colletotrichum sp. 43 5 Pengujian In Vivo Bakteri Kitinolitik terhadap Tanaman

Kakao

44

6 Uji Patogenitas 45

7 Intensitas Serangan Minggu 1 46

8 Luas Serangan Minggu 1 47

9 Intensitas Serangan Minggu 2 48

10 Luas Serangan Minggu 2 49

11 Intensitas Serangan Minggu 3 50

12 Luas Serangan Minggu 3 51

13 Intensitas Serangan Minggu 4 52


(16)

ABSTRAK

Colletotrichum sp., adalah jamur penyebab penyakit antraknosa. Jamur ini merupakan salah satu dari organisme yang mengakibatkan kerusakan pada daun tanaman kakao. Pengendalian hayati terhadap Colletotrichum dengan menggunakan isolat bakteri dan jamur telah banyak dilaporkan, akan tetapi penggunaan isolat bakteri kitinolitik untuk mengontrol antraknosa belum banyak dilaporkan. Dalam penelitian ini penggunaan isolat bakteri kitinolitik bertujuan untuk menghambat perkembangan penyakit antraknosa yang ditunjukkan dari pengujian antagonis yang di uji pada media agar dengan 2% koloidal kitin sebagai sumber karbon. Hasil uji antagonis menunjukkan kelima isolat mampu menghambat pertumbuhan jamur Colletotrichum sp. Pengujian secara invivo menunjukkan bahwa kelima isolat bakteri kitinolitik mampu menekan intensitas serangan dan luas serangan yang terjadi pada daun kakao. LK08 mampu mengurangi intensitas serangan sebesar 0.8% dan luas serangan 4%.


(17)

ABSTRACT

Colletotrichum sp., is one of causal agents of antracnose disease on cacao leaf. This fungus is one organisms that caused leaf blight. Biological control of Colletotrichum sp, utilizing bacterial and fungal isolates has been reported. However utilization of chitinolytic bacterial isolates to control anthracnose of cacao leaf has rarely been reported. In this study, the ability of chitinolitic bacterial isolates to inhibit Colletotrichum sp. was evaluated by using an antagonisms assay on minimum salt medium agar with 2% colloidal chitin as carbon source. The result showed that the five chitinolytic bacterial isolates have the ability to inhibit Colletotrichum sp. The invivo tests showed that the chitinolitic bacterial isolates have the ability to suppress disease incidence and disease severity on cacao leaf. LK08 reduced diseases severity to 0.8% and diseases incidence 4% respectively.


(18)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Tanaman kakao (Theobroma cacao, L.) termasuk tanaman tropis, dikenal masyarakat Indonesia pertama kali tahun 1780 (Spilane, 1995), dan termasuk komoditas ekspor andalan penyumbang devisa bagi negara maupun masyarakat Indonesia (Sulistyowati et al., 2003). Kakao dibutuhkan sebagai bahan baku industri makanan dan minuman, industri farmasi, industri kosmetika sehingga tidaklah mengherankan bila para petani kakao berusaha memaksimalkan produksi dengan memelihara tanaman sebaik-baiknya (Wahyudi et al., 2008).

Masalah yang umum timbul pada perkebunan kakao adalah serangan berbagai jamur. Jamur tersebut dapat menyerang bagian akar, batang daun dan buah. Pada bagian daun terdapat jamur Colletotrichum penyebab penyakit antraknosa (Wicandra, 2005). Pada umumnya kerugian yang disebabkan oleh jamur ini tidak melebihi 5–10 %, meskipun diberitakan juga bahwa di Venezuela (Amerika Selatan) kerugian mencapai 20% (Semangun, 2000). Penyakit antraknosa atau gugur daun mengakibatkan kerusakan pada tanaman di pembibitan, tanaman muda dan tanaman yang menghasilkan. Penyakit ini juga dapat mengurangi jumlah buah per tanaman, jumlah biji, dan dapat mengurangi kandungan pati pada ranting (Semangun, 2000). Daun muda yang terserang terlihat berwarna hitam, bagian ujungnya mengkeriput dan dapat mengakibatkan kematian pada pucuk. Serangan jamur terjadi pada waktu tanaman membentuk daun muda selama musim hujan dan penularan jamur ini berlangsung dengan perantaraan spora yang dibawa oleh angin dan air hujan terutama pada malam hari dan cuaca yang lembab (Wahyudi et al., 2008).

Salah satu pengendalian yang dapat dilakukan pada pembibitan kakao adalah dengan penyemprotan pestisida. Penggunaan pestisida secara berlebih oleh petani dapat


(19)

memberikan dampak negatif yaitu dapat menimbulkan resistensi hama dan penyakit serta pencemaran lingkungan (Gunaeni, 2006). Upaya untuk mengurangi bahan kimia/pestisida salah satunya adalah dengan pemanfaatan agen pengendali hayati. Pada umumnya jenis agen hayati yang dikembangkan adalah mikroba, baik yang hidup sebagai saprofit di dalam tanah, air dan bahan organik maupun yang hidup di jaringan tanaman (endofit) yang bersifat menghambat pertumbuhan dan berkompetisi dalam ruang dan nutrisi dengan patogen sasaran, atau bersifat menginduksi ketahanan tanaman (Supriadi, 2006). Pengendalian hayati menjadi alternatif yang dipilih karena lebih ramah lingkungan dan tidak menimbulkan efek toksik (Gohel et al., 2006).

Pemanfaatan mikroorganisme dalam mengendalikan penyakit tanaman merupakan bidang yang relatif baru. Pengendalian hayati jamur penyakit tanaman sering dilakukan dengan menggunakan mikroorganisme seperti jamur dan bakteri. Salah satu pemanfaatan mikroorganisme sebagai pengendali hayati adalah isolat bakteri kitinolitik. Bakteri ini sering digunakan sebagai agen pengendali hayati karena kemampuannya menghidrolisis kitin menjadi derivat kitin (Ohno et al.,1996).

Beberapa hasil penelitian melaporkan bahwa jenis mikroorganisme yang dapat memproduksi enzim kitin seperti Pseudomonas putida 89-B27 dan Serratia marcescens 90-166 mampu menekan patogen penyebab penyakit antraknosa pada tomat dan timun (Raupach et al., 1996), Pseudomonas sp. strain PSJN mampu menekan pertumbuhan Botrytris cinerea (Barka et al., 2002), Pseudomonas fluoresent dapat mengendalikan penyakit lincat yang disebabkan oleh Ralstonia solanacearum pada tembakau (Heru, 2006), Bacillus mycoides dan Bacillus pumilis menekan penyakit bercak daun Cercospora pada tanaman gula bit (Bargabus et al., 2004), Bacillus cereus BT8 dan BP24 mampu mengendalikan penyakit pada beberapa tanaman tomat, kentang dan pecan (Backman, 1997).

Bakteri kitinolitik merupakan salah satu kelompok mikroorganisme yang relativ mudah dikembangkan sehingga akan lebih cepat melimpah jika dikembangkan dari biosfirnya.


(20)

Aktivitas kitinase yang dapat mendegradasi dinding sel jamur menyebabkan bakteri kitinolitik ini, dapat digunakan sebagai agen biokontrol jamur patogen karena dapat mendegradasi dinding sel jamur yang tersusun atas kitin, yang merupakan sumber nutrisi dan agen parasitisme (Toharisman, 2007). Kemampuan mikroorganisme tersebut diharapkan dalam penelitian ini, aplikasi bakteri kitinolitik dapat digunakan untuk mengendalikan pertumbuhan jamur Colletotrichum sp. penyebab penyakit antraknosa pada tanaman kakao secara in vitro dan in vivo.

1.2Permasalahan

Pengetahuan tentang bakteri kitinolitik khususnya pada tanaman kakao masih sangat sedikit, baik dari jenis maupun kegunaannya. Peran bakteri kitinolitik yang banyak memberikan manfaat bagi manusia dan lingkungan diantaranya sebagai pengendali hama dan penyakit tanaman, karena memiliki kitinase untuk mendegradasi jamur diperkirakan dapat mengendalikan pertumbuhan jamur Colletotrichum penyebab penyakit antraknosa yang dapat menyebabkan penurunan kualitas mutu kakao. Keanekaragaman bakteri kitinolitik yang diisolasi dari berbagai daerah yaitu Bangka (BK15, BK08, BK17), Langkat (LK08), dan Karo (KR05) diharapkan mampu mengendalikan jamur Colletotrichum penyebab penyakit antraknosa pada tanaman kakao.

1.3Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

Mengetahui potensi isolat bakteri kitinolitik yang diisolasi dari tanah sebagai pengendali hayati terhadap jamur Colletotrichum sp.secara in vitro dan in vivo.


(21)

1.4 Hipotesis

Isolat bakteri kitinolitik yang diisolasi dari tanah berbagai daerah memiliki potensi dalam menghambat pertumbuhan jamur Colletotrichum sp. penyebab penyakit antraknosa pada tanaman kakao secara in vitro dan in vivo.

1.5 Manfaat

Penelitian memberikan informasi mengenai kemampuan bakteri kitinolitik sebagai agen pengendali hayati untuk menekan penyakit antraknosa yang disebabkan oleh infeksi jamur Colletotrichum sp. yang menyerang tanaman kakao.


(22)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyakit Antraknosa pada Tanaman Kakao

Di Indonesia penyakit kakao yang disebabkan oleh jamur Colletotrichum sudah lama dikenal, penyakit ini tersebar di semua negara penghasil kakao dan dikenal sebagai antraknosa. Di Asia penyakit terdapat di Malaysia, Brunei, Filipina, Sri Lanka, dan India Selatan (Semangun, 2000).

Colletotrichum umumnya menyerang daun muda, dan pengenalan penyakit antraknosa dapat dilakukan dengan melihat gejala khusus pada bagian tanaman yang terserang. Serangan ringan pada daun muda akan memperlihatkan gejala bintik-bintik nekrosis berwarna cokelat. Setelah daun berkembang, bintik nekrosis akan menjadi bercak berlubang dengan halo berwarna kuning Gambar 1. Pada daun-daun muda yang terserang berat biasanya mudah mengalami kerontokan sehingga menyebabkan ranting gundul dan biasanya diikuti dengan kematian ranting (Wahyudi et al., 2008).

Gambar 1. Gejala penyakit antraknosa yang disebabkan oleh Colletotrichum sp.

Colletotrichum mempunyai miselium yang jumlahnya agak banyak, hifa bersepta tipis (Gambar 2), mula-mula terang kemudian gelap (Mehrotra, 1983). Konidiofor pendek, tidak bercabang, tidak bersepta, dengan ukuran 7-8 x 3-4 μm (Weber, 1973). Pada daun muda yang agak dewasa menghasilkan konidium jamur yang berwarna merah jambu


(23)

(Semangun, 2000). Massa konidia yang berwarna merah jambu ini akhirnya menjadi coklat gelap (Weber, 1973).

Gambar 2. Morfologi hifa (perbesaran 10x100).

Colletotrichum umumnya mempunyai konidium hialin, bersel satu, berukuran 9-24 x 3-6 μm tidak bersekat, jorong memanjang, terbentuk pada ujung konidiofor yang sederhana. Pada saat berkecambah konidium yang bersel satu tadi membentuk sekat. Pembuluh kecambah membentuk apresorium sebelum mengadakan infeksi. Diantara konidiofor biasanya terdapat rambut-rambut (seta) yang kaku dan berwarna coklat tua (Semangun, 2000).

Spora Colletotrichum (Gambar 3) tumbuh baik pada suhu 25-28°C, sedang suhu di bawah 5°C dan diatas 40°C tidak dapat berkecambah. Pada kondisi yang lembab, bercak-bercak pada daun akan menghasilkan kumpulan konidia yang berwarna putih. Faktor lingkungan yang kurang menguntungkan seperti peneduh yang kurang, kesuburan tanah yang rendah, atau cabang yang menjadi lemah karena adanya kanker batang. Jamur juga dapat menginfeksi melalui bekas tusukan atau gigitan serangga (Semangun, 2000).


(24)

Gambar 3. Spora Colletotrichum sp. (perbesaran 10 x 100).

Jamur Colletotrichum menghasilkan konidia dalam jumlah banyak. Konidia terbentuk pada permukaan bercak pada daun terinfeksi, dan konidia tersebut mudah lepas bila ditiup angin atau bila kena percikan air hujan. Konidia sangat ringan dan dapat menyebar terbawa angin sampai ratusan kilometer sehingga penyakit tersebar luas dalam waktu yang singkat (Soepana, 1995). Konidia mungkin juga disebarkan oleh serangga (Semangun, 2000).

2.2 Penyakit Penting Lainnya pada Tanaman Kakao

Penyakit VSD (Vascular Streak Diseases) disebabkan oleh Oncobasidium theobromae, yang dapat menyerang di pembibitan sampai tanaman dewasa. Gejala tanaman terserang, daun-daun menguning lebih awal dari waktu yang sebenarnya dengan bercak berwarna hijau, dan gugur sehingga terdapat ranting tanpa daun (ompong). Bila permukaan bekas menempelnya daun diiris tipis, akan terlihat gejala bintik tiga kecoklatan. Permukaan kulit ranting kasar dan belang, bila diiris memanjang tampak jaringan pembuluh kayu yang rusak berupa garis-garis kecil berwarna kecoklatan.

Penyakit busuk buah disebabkan oleh jamur Phytopthora palmivora yang dapat menyerang buah muda sampai masak. Buah yang terserang nampak bercak bercak coklat kehitaman, biasanya dimulai dari pangkal, tengah atau ujung buah. Penyakit kanker batang (Trunk Cancer) disebabkan oleh jamur yang sama dengan penyebab penyakit busuk buah yaitu Phytopthora palmivora. Gejala kanker diawali dengan adanya bagian


(25)

batang/cabang menggembung berwarna lebih gelap/ kehitam-hitaman dan permukaan kulit retak.

Penyakit jamur akar (Root fungus) disebabkan oleh jamur akar putih Rigidoporus lignosus, jamur akar merah Ganoderma philippii dan jamur akar coklat Phellinus noxius. Penyakit ini menular melalui kontak, umumnya terjadi pada pertanaman baru bekas hutan. Pembukaan lahan yang tidak sempurna, karena banyak tunggul dan sisa-sisa akar sakit dari tanaman sebelumnya tertinggal di dalam tanah akan menjadi sumber penyakit.

2.3 Kitin dan Bakteri Kitinolitik

Kitin merupakan homopolimer dari (1,4)-β- N asetil-D-glukosamin. Senyawa ini merupakan salah satu senyawa yang paling melimpah di alam dengan produksi tahunan diperkirakan sebesar 1010-1011 ton. Karena produksi kitin di alam sangat tinggi, maka proses daur ulang merupakan hal yang sangat penting. Degradasi kitin ini terutama dilakukan oleh mikroorganisme, karena kitin merupakan sumber karbon dan nitrogen untuk pertumbuhan mikroorganisme. Distribusi kitin sangat luas karena merupakan komponen struktural berbagai jenis organisme. Kitin dapat dijumpai pada prokariot, protista, dan sangat melimpah pada kapang (Gooday, 1990). Mikroorganisme yang memproduksi kitinase telah dilaporkan sebagai agen biokontrol untuk berbagai jenis jamur penyakit tanaman (Chernin et al., 1995), antara lain Bacillus cereus UW85, yang telah terbukti menjadi agen biokontrol yang dapat mengendalikan Phytophthora pada penyakit damping off dan akar busuk pada tanaman kedelai. B. cereus strain 65 memproduksi kitobiodase juga ditemukan efektif terhadap R. solani dalam kapas (Chien, 2004).

Kitin pada jamur berbentuk mikrofibril yang memiliki panjang yang berbeda tergantung pada spesies dan lokasi selnya. Mikrofibril merupakan struktur utama dari sel jamur yang terdiri atas jalinan rantai polisakarida yang saling bersilangan membentuk anyaman. Kandungan kitin pada jamur bervariasi dari 4-9 % berat kering sel (Rajarathanam et al ., 1998).


(26)

Bakteri kitinolitik sering kali menghasilkan berbagai gen kitinase, berdasarkan cara kerja hidrolisis kitinase dikelompokkan menjadi tiga tipe utama (Pudjihartati, 2006), yaitu: (i) endokitinase yang memotong secara acak polimer kitin secara internal sehingga menghasilkan oligomer pendek, (ii) eksokitinase (1,4-β-ketobiosidase), yang memotong unit trimer ketobiosa pada ujung terminal polimer kitin, dan (iii) N-asetilglukosamidase, yang memotong unit monomer pada ujung terminal polimer kitin. Menurut Oku (1994), peranan kitinase dalam pertahanan tanaman terhadap serangan patogen terjadi melalui dua cara, yaitu: (i) menghambat pertumbuhan cendawan dengan secara langsung menghidrolisis dinding miselia cendawan dan (ii) melalui pengelupasan elisitor endogen oleh aktivitas kitinase yang kemudian memicu reaksi ketahanan sistemik (systemic acquired resistance) pada inang.

2.4 Potensi Bakteri Kitinolitik sebagai Pengendali Hayati

Pengendalian hayati khususnya pada penyakit tumbuhan dengan menggunakan mikroorganisme telah dimulai sejak lebih dari 70 tahun yang lalu, tepatnya pada tahun 1920 sampai 1930 ketika pertama kali diperkenalkan antibiotik yang dihasilkan mikroorganisme tanah (Khalid et al., 2004). Tetapi beberapa percobaan belum berhasil sampai penelitian mengenai pengendalian hayati terhenti selama kurang lebih 20 tahun (Baker et al., 1985). Sekarang ini sudah menjadi satu pengetahuan bahwa pengendalian hayati memainkan peranan penting dalam pertanian pada masa mendatang. Ini terutama disebabkan kekhawatiran terhadap bahaya penggunaan bahan kimia sebagai pestisida (Hasanuddin, 2003). Kepedulian dalam kesehatan dan lingkungan akibat menggunakan pestisida inilah yang mendorong peneliti dalam mencari alternatif lain untuk mengontrol penyakit dengan menggunakan mikroorganisme sebagai agen biokontrol (Martin & Lopper, 1999). Kesadaran akan bahaya penggunaan pestisida sebagai bahan beracun bagi kelangsungan hidup ekosistem dan mahluk hidup,terutama manusia dan hewan. Merupakan titik awal lahirnya konsep pengendalian hayati (Yodha, 2010).


(27)

Dalam kaitan dengan pengendalian hayati tanaman agen biokontrol, dapat berefek langsung berupa kompetisi untuk nutrisi, produksi antibiotik, enzim litik, inaktivasi patogen,dan parasitisme. Efek tidak langsung mencakup semua aspek yang menghasilkan perubahan morfologi dan biokimia dalam tanaman inang (Gohel et al ., 2005).

Pengendalian hayati merupakan pemanfaatan spesies-spesies mahluk hidup tertentu untuk mengendalikan hama tanaman. Spesies-spesies tersebut mewakili sejumlah hewan invertebrata seperti serangga, tungau dan nematode dan spesies-spesies dari golongan rendah seperti jamur bakteri dan virus. Pemanfaatan spesies tersebut sebagai pengendali hayati disebabkan karena adanya interaksi antara dua spesies mahluk hidup atas keuntungan yang satu karena memangsa dan yang lainnya dirugikan karena dimakan (Nyoman, 1995).

Salah satu bentuk pengendalian hayati yang sudah banyak digunakan adalah dengan menggunakan berbagai jasad mikroorganisme (Duffy, 1995) seperti bakteri kitinolitik. Sejumlah mikroba telah dilaporkan dalam berbagai penelitian efektif sebagai agen pengendalian hayati hama dan penyakit tumbuhan diantaranya adalah genus-genus Aeromonas, Alteromonas, Chromobacterium, Enterobacter, Ewingella, Pseudoalteromonas, Pseudomonas, Serratia, Vibrio (Chernin et al., 1998), Bacillus (Pleban et al., 1997) Pyrococcus (Gao et al., 2003), Burkholderia cepacia, Bacillus subtilis, Enterobacter cloacae, Agrobacterium radiobacter dan Streptomyces griseoviridis.

Bakteri ini sering digunakan sebagai agen pengendali hayati karena di dasarkan atas kemampuan mikroorganisme menghasilkan kitinase dan dalam kontrol fungi patogen enzim kitinase berperan sebagai mikoparasitisme yang dapat melisiskan sel jamur. Kitinase yang diproduksi mikroorganisme dapat menghidrolisis struktur kitin, senyawa utama penyusun dinding sel tabung kecambah spora dan miselia, sehingga jamur tidak mampu menginfeksi tanaman (Priyatno et al., 2000). Mekanisme interaksi antara inang dengan parasit sangat menentukan tingkat ketahanan tanaman terhadap suatu penyakit. Menurut Prell & Day (2001), mekanisme ketahanan tanaman dapat berupa


(28)

hipersensitifitas sel dengan cara pembentukan lignin atau protein struktural, senyawa fitoaleksin dan sintesis protein PR (Pathogenesis related protein) seperti kitinase. Beberapa tanaman menghasilkan kedua enzim ini sebagai bagian dari sistem pertahanan melawan jamur patogen, karena keduanya dapat menghidrolisis komponen dinding sel jamur patogen (Ginnakis et al. 1998, Leubner and Meins, 1999).

Kemampuan bakteri untuk memproduksi kitinase sangat bervariasi. Variasi ini tidak saja terlihat dari jumlah aktifitas kitinase total yang diproduksi setiap spesiesnya, tetapi juga pada jenis kitinase yang dihasilkan (Nugroho et al., 2003).


(29)

BAB 3

BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat

Percobaan dilaksanakan dari bulan Maret sampai Juni 2011 di Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam dan Rumah Kaca Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara.

3.2 Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan antara lain adalah cawan petri, gunting, polybag ukuran 5 kg, tabung reaksi, petridish, erlenmeyer, pipet serologi, mikro pipet, blank disk (Oxoid), jarum ose, batang pengaduk, spatula, pinset, cutter, shaker, gelas ukur, beaker glass, mikroskop, object glass dan cover glass, a lumunium foil, kertas label, kapas, spidol, cling warp, corkborer, bunsen, autoclave, hot plate, jangka sorong, haemocytometer, shaker, inkubator dan neraca.

Bahan-bahan yang digunakan antara lain koleksi isolat bakteri kitinolitik di Laboratorium Mikrobiologi Universitas Sumatera Utara berasal dari Bangka (BK15, BK13, BK17), Langkat (LK08) serta Karo (KR05), isolat jamur Colletotrichum sp., medium nutrient agar (NA), medium potato dextrose agar (PDA), koloidal kitin (MGMC), kloroks 1%, alkohol 95%, akuades, 99% etanol, 3,125% NaOCl, sukrosa 0,05%, larutan garam, agar, NaCl 0.9%.


(30)

3.3 Isolasi Jamur Colletotrichum sp

Isolat jamur Colletotrichum sp. diisolasi dari daun kakao. Daun kakao yang bergejala di sterilisasi ke dalam larutan Alkohol 70% selama beberapa detik selanjutnya direndam dalam larutan sodium hipoklorit 1% selama lima menit. Jaringan yang steril dicuci dengan aquades dan ditumbuhkan pada media PDA. Jamur yang tumbuh diisolasi dan semua biakan dimurnikan untuk mendapat satu koloni jamur Colletotrichum sp. 3.4 Uji Antagonisme Bakteri Kitinolitik In vitro

Kemampuan bakteri kitinolitik dalam menghambat pertumbuhan diuji secara in vitro. Biakan kultur Colletotrichum sp.diambil dengan cork borer, selanjutnya diinokulasi pada bagian tengah media agar MGMC dengan jarak 3,5 cm dari cakram standard (Oxoid) yang berdiameter 5 mm tempat inokulan bakteri. Selanjutnya suspensi bakteri kitinolitik dengan konsentrasi 10 µl (≈108 sel/ml) diinokulasikan pada cakram tersebut. Biakan selanjutnya diinkubasi pada suhu 30° C. Zona hambat terhadap miselia Colletotrichum sp. diamati mulai hari kedua sampai hari ketujuh. Pengukuran zona hambat bakteri terhadap fungi yaitu panjang koloni fungi normal (tidak terhambat) dikurang panjang koloni yang terhambat oleh bakteri kitinolitik (Martorejo et al., 2001).

3.5 Pengamatan Struktur Hifa Fungi Abnormal

Pengamatan dilakukan dengan 2 cara yaitu yaitu secara visual dan mikroskopis. Pengamatan secara visual dilakukan dengan cara melihat zona/luas pertumbuhan miselium Colletotrichum sp. Pengamatan secara mikroskopis dilakukan dengan cara mengamati ujung miselium pada daerah/zona hambat Colletotrichum sp. Ujung miselium Colletotrichum sp. yang tumbuh pada permukaan media PDA dipotong berbentuk block square. Kemudian diletakkan pada objek gelas. Selanjutnya diamati adanya abnormalitas pertumbuhan miselium Colletotrichum sp., berupa pembengkokan ujung miselium,


(31)

miselium pecah, miselium berbelah, miselium bercabang, miselium lisis dan miselium tumbuh kerdil (Lorito et al., 1992).

3.6 Perbanyakan Suspensi Bakteri dan Jamur

Pembuatan suspensi bakteri dilakukan menurut metode Bressan & Borges (2003). Biakan bakteri disubkultur dalam media NA dan diinkubasi ± 2 hari. Hasil subkultur biakan bakteri diambil dengan jarum ose dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang berisi 10 ml akuades steril. Setelah dihomogenkan dengan cara divortex dan disamakan kekeruhannya dengan standard Mac Farland sehingga diperoleh suspensi bakteri dengan kerapatan sel 108 CFU/ml.

Jamur disubkultur pada media PDA, selanjutnya konidia jamur Colletotrichum sp. yang terbentuk diambil dengan cara sebagai berikut: biakan murni konidia Colletotrichum sp., ditetesi dengan aquadest steril sebanyak 10 ml kemudian dikikis dengan jarum kait sehingga konidia yang ada terlepas dalam aquadest steril. Campuran ini disaring dengan kain muslin sehingga potongan-potongan miselium dan bagian yang kasar dari media akan tertinggal dan hanya konidia saja yang dapat lewat.

Filtrat selanjutnya dikocok 1000 rpm selama 30 menit untuk mendapatkan suspensi konidia yang konsentrat. Kerapatan konidia dalam suspensi dihitung dengan menggunakan haemocytometer. Suspensi konidia ini diencerkan dengan menggunakan aquadest steril sehingga mencapai kerapatan 2 x 105 konidia per ml.


(32)

3.7 Pengamatan Intensitas Serangan

Parameter yang diamati adalah intensitas Colletotrichum sp. Pengamatan intensitas serangan dimulai seminggu setelah inokulasi dan dilakukan 4 kali dengan interval seminggu. Pengamatan intensitas serangan dimulai pada saat bercak sudah kelihatan tetapi pengamatan dan perhitungan intensitas setelah sungkup dibuka.

Gejala yang diamati adalah gejala bercak yang terjadi setelah inokulasi. Pengamatan dilakukan terhadap 5 tangkai daun teratas. Anak daun yang diamati adalah yang berda di bagian tengah. Daun yang diamati diberi tanda lalu disesuaikan dengan skala bercak daun (0-5) (Pawirrosoemardjo, 1975).

Skala bercak terdiri dari :

Skala 0 = tidak ada bercak pada daun Skala 1 = terdapat bercak daun 1/16 bagian Skala 2 = terdapat bercak daun 1/8 bagian Skala 3 = terdapat bercak daun ¼ bagian Skala 4 = terdapat bercak daun ½ bagian

Skala 5 = terdapat bercak pada seluruh permukaan daun.

Nilai intensitas serangan ditentukan dengan rumus Sinaga (2003).

IS =

V x N

v x n

x 100 %

Keterangan:

IS: Intensitas serangan

n : jumlah daun pada skala ke-i V: skala ke-i


(33)

N: jumlah total daun setiap tanaman V: skala tertinggi

3.8 Pengamatan Luas Serangan

Luas serangan ditentukan dengan rumus : A =

N n

x 100 % Keterangan: A: luas serangan

n : jumlah tanaman yang terserang spesies patogen N: jumlah seluruh tanaman yang diamati

3.9 Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis sidik ragam dan dilakukan uji Duncan Multiple Range Test (DMRT) untuk melihat jarak antar perlakuan.


(34)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gejala penyakit antraknosa pada daun tanaman kakao

Penyakit antraknosa yang disebabkan Colletotrichum sp. termasuk jenis patogen yang menyerang tanaman kakao, tepatnya pada bagian daun. Bentuk serangan dapat dilihat yaitu terjadinya kematian daun atau sebagian dari helaian daun. Gejala ini sering disebut sebagai hawar daun ”leaf blight” (Gambar 4).

Gambar 4. Tanaman kakao yang terserang Colletotrichum sp.

Berdasarkan pengamatan di lapangan pada daun kakao yang terserang penyakit terbentuk bintik-bintik kecil dan biasanya daun mudah gugur, selain itu terbentuknya lingkaran berwarna kuning (halo) di sekeliling jaringan yang sakit dan terjadinya jaringan mati yang melekuk (antraknos). Menurut Boyce (1961), ciri khas penyakit daun adalah terbentuknya daerah mati pada daun (nekrotik) dengan ukuran yang bervariasi mulai dari yang kecil sampai yang besar, bulat sampai bersiku atau tak beraturan, jaringan yang mati tidak menyeluruh kecuali apabila sejumlah bercak saling menyatu dan membentuk bercak yang luas sehingga jaringan daun mati.


(35)

Hasil isolasi pada bagian daun yang terserang penyakit pada media PDA (Gambar 5) menunjukkan koloni jamur tersebut adalah Colletotrichum sp. Pengamatan mikroskopis memperlihatkan miselium berjumlah banyak, hifa bersepta tipis, konidiofor pendek tidak bercabang, konidium bersel 1, jorong memanjang, tidak bersekat dan terbentuk pada ujung konidiofor. Diantara konidiofor biasanya terdapat rambut-rambut (seta) yang kaku.

(a) (b)

(c) (d)

Gambar 5. (a).Biakan murni (b) konidiofor (c) apresorium 1, konidiofor 2 dan seta 3

(d).konidia (perbesaran 10 x 100).

Setelah isolasi di laboratorium dilakukan perbanyakan dan penyemprotan konidia Colletotrichum sp. ke tanaman kakao yang sehat. Perlakuan terhadap kontrol positif hanya disemprot dengan patogen, kontrol negatif tanpa penyemprotan suspensi bakteri maupun patogen, untuk setiap perlakuan terlebih dahulu disemprot dengan suspensi bakteri kitinolitik dan setelah ± 24 jam disemprot dengan patogen. Pengamatan dilakukan selama

1 2


(36)

empat minggu, hasil yang diperoleh setelah pengamatan berupa gejala yang sama seperti pada pengamatan di lapangan yaitu terbentuknya bintik-bintik kecil dan di sekeliling jaringan yang mati terbentuk lingkaran berwarna kuning dan jaringan yang melekuk untuk kontrol positif, namun untuk perlakuan yang diberi suspensi bakteri tanaman kakao sebagian besar terlihat tahan terhadap serangan patogen.

4.2 Kemampuan Bakteri Kitinolitik dalam Menghambat Serangan Colletotrichum sp. pada Tanaman Kakao

Hasil uji antagonisme isolat bakteri kitinolitik lokal terhadap Colletotrichum sp., menunjukkan kelima bakteri mampu menghambat pertumbuhan patogen dengan kemampuan yang berbeda-beda. Kemampuan menghambat merupakan salah satu bentuk interaksi bakteri tersebut dalam menekan perkembangan patogen dengan mekanisme kompetisi terhadap nutrisi atau ruang (untuk mendapatkan makanan atau tempat), memproduksi antibiosis, dan parasitisme (Mukerji & Garg, 1988).

Mekanisme penghambatan yang terjadi pada uji antagonisme dapat diamati dengan terbentuknya zona bening sebagai zona penghambatan pertumbuhan jamur oleh isolat bakteri kitinolitik (Gambar 6). Bentuk zona hambatan tersebut berupa cerukan penipisan elevasi. Hasil uji antagonisme kelima isolat kitinolitik lokal tersebut disajikan pada Tabel 1.


(37)

(a) (b)

(c)

(d) (e)

Gambar 6. Uji antagonisme bakteri kitinolitik (a) LK08, (b) BK15, (c) KR05, (d) BK13, (e) BK17 terhadap Colletotrichum sp.


(38)

Tabel 1. Kemampuan bakteri kitinolitik dalam menghambat Colletotrichum sp secara in vitro

Isolat Bakteri

Zona Hambat (cm) hari ke-

3 4 5 6 7

BK13 0.61 b 0.65 b 0.96 b 1.88 a 3.17 a

KRO5 0.60 b 0.62 b 0.87 b 1.71 a 2.89 a

BK17 0.60 b 0.61 b 0.95 b 1.85 a 2.98 a

BK15 0.61 b 0.64 b 0.84 b 1.77 a 2.88 a

LK08 0.99 a 0.99 a 1.24 a 1.83 a 3.00 a

Keterangan: Data dianalisis dengan SPSS 16. Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata.

Berdasarkan analisis statistik hasil uji antagonisme bakteri kitinolitik dan jamur Colletotrichum sp. menunjukkan bahwa pada pengamatan mulai hari ketiga sampai hari kelima rata-rata zona hambat isolat bakteri kitinolitik LK08 berbeda nyata dengan isolat bakteri BK13, KR05, BK17 dan BK15 hal tersebut karena dalam pertumbuhan suatu mikroorganisme mengalami serangkaian fase pertumbuhan. Menurut Hidayah (2001), dalam pertumbuhan suatu mikroorganisme terdapat serangkaian fase antara lain fase lambat (adaptasi), fase eksponensial, fase stabil/stationer, dan fase kematian. Untuk fase eksponensial pertumbuhan mengalami peningkatan jumlah sel mikroba karena pada fase ini nutrien akan dikonsumsi dan zat-zat metabolit akan diproduksi. Pada hari keenam dan ketujuh LK08 tidak berbeda nyata dengan keempat isolat bakteri kitinolitik lainnya, hal ini mungkin LK08 telah mengalami fase stationer. Pada fase stationer pertumbuhan dan kematian sel seimbang, metabolisme masih berlangsung dan terjadi penimbunan produk dalam sel (Hidayah, 2001).

Efek penghambatan masing-masing isolat kitinolitik tersebut terhadap fungi Colletotrichum sp., dipengaruhi juga oleh keberadaan kitin pada media, sehingga kemungkinan kitinase pada kelima isolat lebih cepat disekresikan. Adanya kitin pada media menyebabkan produksi kitinase isolat bakteri tersebut terpacu untuk mendegradasi dinding sel fungi. Ketika kitin yang ada di sekitar koloni sudah terurai bakteri kitinase akan mengkolonisasi miselium fungi untuk menguraikan kitin yang ada pada dinding sel


(39)

fungi. Menurut Muharni (2009), kitinase merupakan enzim yang mendegradasi kitin menjadi N-asetilglukosamin.

Variasi besarnya zona hambat pada masing-masing isolat menunjukkan tingkat kemampuan yang berbeda-beda dari masing-masing isolat dalam menghasilkan enzim kitinase. Ukuran zona hambat dipengaruhi oleh sensitivitas organisme yang diuji, suspensi biakan, jumlah enzim kitinase yang dihasilkan, pH, suhu inkubasi serta komposisi medium. Kandungan kitin yang terdapat pada dinding sel fungi juga mempengaruhi besarnya zona hambat isolat pada masing-masing fungi. Semakin besar kandungan kitin pada dinding sel semakin besar zona hambat yang terbentuk. Kitin pada jamur berbentuk mikofibril yang memiliki panjang yang berbeda tergantung pada spesies dan lokasi selnya. Mikofibril merupakan struktur utama dari struktur dinding sel jamur dan terdiri atas jalinan rantai-rantai polisakarida yang saling bersilangan membentuk anyaman. Jalinan ini kuat berikatan pada matriks. Kandungan kitin pada jamur bervariasi dari 4-9% berat kering sel, tergantung spesies atau strain jamurnya (Rajarathnam et al., 1998).

Menurut El-Katatny et al., (2000) satu kelompok organisme yang memiliki potensi sebagai agen pengendali hayati fungi berasal dari kelompok mikroba penghasil kitinase. Pengendalian hayati fungi dengan menggunakan mikroba kitinolitik didasarkan pada kemampuan mikroba menghasilkan kitinase dan β-1,3-glukanase yang dapat melisiskan sel fungi. Bakteri lain yang juga digunakan sebagai pengendali hayati komersial seperti P. syringae, Burkholderia cepacia, Bacillus subtilis, Agrobacterium radiobacter, Enterobacter cloacae, dan Streptomyces griseoviridis (Fravel et al., 1998; McQuilken et al., 1998). Bakteri kitinolitik seperti A. hydrophila, A. caviae, P. maltophila, B. licheniformis, B. circulans, Vibrio furnisii, Xantomonas spp., dan Serratia marcescens memainkan peranan penting dalam pengendalian hayati patogen tanaman (Gohel et al., 2003).

Mikroorganisme kitinolitik mempunyai aktivitas antagonisme yang kuat terhadap fungi patogen dengan mekanisme hiperparasitismenya dan antibiotiknya sehingga efektif dalam menghambat pertumbuhan fungi patogen tanaman dengan mendegradasi dinding selnya. Beberapa enzim kitinolitiknya toksik pada fungi patogen penyebab penyakit


(40)

tanaman budidaya tetapi tidak pada mikroorganisme lain dalam tanah dan tumbuhan inang (Kloepper, 1989). Menurut Oku (1994), peranan kitinase dalam pertahanan tanaman terhadap serangan patogen terjadi melalui dua cara, yaitu: (1) menghambat pertumbuhan fungi dengan secara langsung menghidrolisis dinding miselia dan (2) melalui pelepasan elisitor endogen oleh aktivitas kitinase yang kemudian memicu reaksi ketahanan sistemik pada inang.

4.3 Pengamatan struktur hifa abnormal Colletotrichum sp., pada tanaman kakao setelah uji antagonisme

Pengamatan mikroskopis untuk melihat hifa abnormal Colletotrichum sp., dilakukan pada hari ketujuh. Dari uji antagonis yang dilakukan dengan menggunakan Colletotrichum sp., berasal dari tanaman kakao yang diduga terserang fungi dengan kelima isolat bakteri kitinolitik, ternyata hifanya melilit atau menggulung dan lisis (Gambar 7). Hal tersebut diduga karena terjadinya interaksi hiperparasit antara isolat bakteri kitinolitik dan jamur Colletotrichum sp., dimana keberadaan kitin pada dinding sel jamur yang merupakan nutrisi, isolat bakteri kitinolitik mengalami pertumbuhan yang begitu cepat dan melakukan kolonisasi terhadap hifa jamur dan menghasilkan enzim litik berupa kitinase yang mampu menempel kuat pada hifa Colletotrichum sp. sehingga jamur patogen akan terdesak pertumbuhannya. Namun sebelum terjadinya lisis hifa jamur membentuk hifa intraseluler yang berupa lilitan padat dan melengkung. Bersamaan dengan hal tersebut isolat bakteri kitinolitik mengeluarkan enzim litik terus menerus yang mampu merombak dinding sel hifa patogen sehingga jamur patogen mati.


(41)

Gambar 7. Bentuk hifa Colletotrichum sp (A) normal, (B) abnormal (menggulung), (C) Lisis, (D) membengkok

Hasil yang sama juga dilaporkan oleh El-Ghouth et al., (2003), yang menunjukkan adanya interaksi antara hifa Botrytis cinerea dengan khamir Candida saitoana yang menempel kuat pada hifa sehingga hifa mengalami kekusutan dan pembengkakan. Selanjutnya, penempelan ini sangat berhubungan dengan enzim litik yang dikeluarkan Candida saitoana yang sampai dapat menyebabkan degradasi dinding sel hifa.

Isolat bakteri kitinolitik berpotensi untuk dikembangkan sebagai agen pengendali hayati fungi patogen tanaman karena kemampuan bakteri kitinolitik mampu menghambat pertumbuhan fungi secara bervariasi. Variasi tersebut dapat berasal dari kemampuan yang

A

B

B B


(42)

berbeda dalam menghasilkan enzim-enzim yang mampu mendegradasi sel fungi (Suryanto et al., 2009). Pada tumbuhan enzim kitinase ini digunakan sebagai pertahanan melawan serangan organisme patogen yang mengandung kitin (Fujii & Miyashita, 1993). Aktivitas kitinase yang rendah pada jaringan tanaman sehat dapat diinduksi dengan adanya kitin pada jaringan tersebut, sehingga aktivitas kitinase meningkat tajam oleh pelukaan atau infeksi cendawan (Graham & Sticlen, 1994).

4.4 Penilaian Efektifitas Bakteri Kitinolitik terhadap Colletotrichum sp. pada Tanaman Kakao

Penilaian efektifitas bakteri kitinolitik terhadap serangan patogen Colletotrichum sp., pada tanaman kakao dilihat dari gejala serangan yang timbul pada setiap perlakuan yaitu intensitas serangan dan luas serangan yang dilakukan selama 4 minggu. Untuk setiap perlakuan terlebih dahulu suspensi bakteri kitinolitik disemprot pada bagian permukaan atas dan bawah daun tanaman kakao selanjutnya disungkup dengan plastik selama 24 jam, kemudian disemprot dengan patogen. Kontrol positif hanya diberikan patogen dan kontrol negatif tanpa diberikan suspensi bakteri dan patogen. Berdasarkan pengamatan di lapangan, ketahanan tanaman kakao terhadap intensitas serangan Colletotrichum sp., disajikan pada Tabel 2.


(43)

Tabel 2. Pengamatan Intensitas Serangan Colletotrichum sp. pada perlakuan bakteri kitinolitik untuk setiap pengamatan.

Keterangan : Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% dengan uji jarak duncan.

Berdasarkan tabel yang disajikan pengamatan pada minggu pertama intensitas serangan Colletotrichum sp. terendah terdapat pada perlakuan BK13, BK17 dan LK08 sebesar 0.8% , sedangkan yang tertinggi KR05 sebesar 2.4%, untuk kontrol positif intensitas serangan sebesar 15.2 % dan kontrol negatif sebesar 3.2 %. Hasil analisis data diperoleh dari minggu pertama menunjukkan bahwa setiap perlakuan berbeda nyata terhadap kontrol positif sedangkan untuk antar perlakuan tidak berbeda nyata.

Pada minggu kedua intensitas serangan terendah pada perlakuan BK13, BK17 dan LK08 sebesar 0.8% dan tertinggi pada KR05 sebesar 2.4% dan hasil analisis sangat berbeda nyata terhadap kontrol positif yaitu sebesar 15.2%. Pada minggu ketiga intensitas serangan terendah masih terlihat pada perlakuan BK13, BK17 dan LK08 yaitu sebesar 0.8% dan perlakuan tertinggi KR05 sebesar 3.2% untuk hasil analisis sangat berbeda nyata dengan kontrol positif. Minggu keempat intensitas serangan terhadap tanaman kakao pada perlakuan BK13 dan BK17 terjadi kenaikan dibandingkan minggu pertama sampai minggu ketiga yaitu sebesar 1.6% pada perlakuan KR05 intensitas serangan menjadi 2.4%, untuk perlakuan LK08 rata-rata intensitas serangan dari minggu pertama sampai minggu keempat sama yaitu sebesar 0.8%.

Berdasarkan analisis di atas rata-rata intensitas serangan berbeda nyata, pertumbuhan patogen lebih cepat pada kontrol positif dibandingkan dengan kelima perlakuan. Hal ini menunjukkan bahwa patogen memiliki kompetisi yang lebih tinggi Isolat Minggu 1 Minggu 2 Minggu 3 Minggu 4

BK13 0.8 b 0.8 b 0.8 b 1.6 b

KRO5 1.6 b 1.6 b 1.6 b 2.4 b

BK17 0.8 b 0.8 b 0.8 b 1.6 b

BK15 2.4 b 2.4 b 3.2 b 3.2 b

LK08 0.8 b 0.8 b 0.8 b 0.8 b

Kontrol Positif 15.2 a 15.2 a 15.2 a 16 a


(44)

dibandingkan patogen yang lain. Menurut Stainer et al., (1982), menyatakan tingginya kecepatan pertumbuhan dan perkembangan koloni menunjukkan kemampuan kompetisi patogen tersebut lebih tinggi dibandingkan jenis patogen lainnya, baik dalam persaingan nutrisi atau unsur lain, sehingga patogen yang lemah atau lambat pertumbuhannya akan kalah bersaing. Sebaliknya tanaman kakao yang diberi perlakuan suspensi bakteri kitinolitik seperti terlihat pada perlakuan LK08, tanaman tersebut lebih mampu menurunkan serangan Colletotrichum sp. Berdasarkan hal tersebut terlihat bahwa kemampuan bakteri yang disebabkan karena aktifitas enzim kitinase dapat menurunkan intensitas serangan patogen terhadap tanaman. Menurut Gohel et al. (2003), kemampuan bakteri disebabkan karena aktivitas enzim kitinase yang merupakan enzim yang mampu menghambat perkembangan jamur patogen dengan menghidrolisis polimer kitin sebagai salah satu komponen dinding sel hifa cendawan.

Luas serangan penyakit antraknosa sangat berpengaruh nyata pada tanaman kakao karena serangan yang terjadi menunjukkan bahwa semua tanaman terserang oleh fungi Colletotrichum sp. terutama terlihat pada kontrol positif yang diberi perlakuan patogen yaitu dari minggu pertama sampai minggu keempat persentase luas serangannya sebesar 20% (Tabel 3).


(45)

Tabel 3. Pengamatan Luas Serangan Colletotrichum sp. pada perlakuan bakteri kitinolitik untuk setiap pengamatan.

Keterangan : Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% dengan uji jarak duncan.

Tingkat persentase luas serangan patogen pada kontrol positif sangat tinggi dibandingkan terhadap perlakuan. Hal ini disebabkan karena patogen mengganggu metabolisme dari tanaman sehingga tanaman menjadi rentan dan menimbulkan gejala. Menurut Agrios (1996), patogen menyebabkan penyakit pada tumbuhan dengan cara melemahkan inang yaitu menyerap makanan secara terus menerus dari sel inang untuk kebutuhannya, menghentikan atau mengganggu metabolisme sel inang dengan toksin, enzim atau zat pengatur tumbuh yang disekresikannya, menghambat transportasi makanan, hara mineral, dan air melalui jaringan pengangkut dan mengkonsumsi jaringan sel inang setelah terjadi kontak. Timbulnya gejala disebabkan karena perubahan fungsi fisiologis tumbuhan yang disebabkan patogen terutama dalam fotosintesis, sehingga terlihat jelas nekrosis yang meluas yang disebabkan oleh patogen seperti halnya bercak daun yang merusak jaringan daun dan defoliasi (pengguguran daun) sehingga proses fotosintesis akan menurun karena permukaan yang berfotosintesis menjadi berkurang (Agrios, 1988).

Pada kontrol negatif luas serangan dari minggu pertama sampai minggu keempat sebesar 8%, kontrol negatif terserang oleh patogen diduga karena dipengaruhi oleh faktor lingkungan salah satunya angin. Menurut Masanto et al (2009), angin merupakan faktor lingkungan yang mempengaruhi perkembangan penyakit tanaman dengan menyebarkan

Isolat Minggu 1 Minggu 2 Minggu 3 Minggu 4

BK13 4 b 4 b 4 b 8 b

KRO5 8 b 8 b 8 b 12 b

BK17 4 b 4 b 4 b 8 b

BK15 8 b 8 b 8 b 8 b

LK08 4 b 4 b 4 b 4 b

Kontrol Positif 20 a 20 a 20 a 20 a


(46)

inokulum patogen tanaman karena konidia yang terbentuk pada permukaan bercak daun yang terinfeksi mudah lepas dan sangat ringan jika tertiup angin atau percikan air hujan sampai ratusan kilometer sehingga penyakit dapat tersebar luas dalam waktu yang singkat (Soepana, 1995).

Pada setiap perlakuan persentase luas serangan tidak berbeda akan tetapi sebaliknya terhadap kontrol positif seluruh perlakuan berbeda. Perlakuan minggu pertama sampai minggu ketiga persentase luas serangan terendah yaitu BK13, BK17, dan LK08 sebesar 4%, yang tertinggi KR05 dan BK15 sebesar 8% dan nilai persentasenya sama dengan kontrol negatif. Minggu keempat terlihat terjadi kenaikan persentase luas serangan pada BK13 dan BK17 menjadi 8%, BK15 menjadi 12%. Sedangkan pada LK08 persentasenya tetap 4%, hal ini menunjukkan serangan patogen masih dapat dihambat oleh kemampuan bakteri kitinolitik yang diinokulasi pada bagian daun tanaman kakao. Luas serangan rata-rata penyakit antraknosa diketahui berdasarkan jumlah unit pengamatan yang terserang dibagi dengan jumlah unit pengamatan total.

Berdasarkan data yang diperoleh menjelaskan bahwa inokulasi bakteri kitinolitik menurunkan persentase luas serangan pada tanaman kakao. Secara umum mekanisme penghambatan pertumbuhan oleh bakteri terhadap jamur diantaranya sebagai berikut: (1). Bakteri menghasilkan senywa bioaktif yang dapat merusak komponen struktural jamur, misalnya enzim hidrolitik kitinase yang menghidrolisis struktur dinding sel jamur. (2). Senyawa bioaktif bakteri dapat mempengaruhi permeabilitas membrane sel jamur sehingga mengganggu transportasi zat-zat yang diperlukan untuk metabolism. Gangguan metabolism sel pada akhirnya mengganggu pertumbuhan. (3). Senyawa yang dihasilkan oleh bakteri dapat berfungsi sebagai inhibitor suatu enzim pada jamur. Jika enzim jamur tersebut berperan dalam metabolism yang penting, maka aktivitas enzimatis sel akan terganggu akibatnya juga akan menekan pertumbuhan jamur. (4). Senyawa tersebut mungkin menghambat sintesis protein pada jamur. Sintesis protein terganggu menyebabkan jamur kekurangan protein tertentu yang mungkin vital. Pertumbuhan jamur menjadi terhambat.


(47)

4.5 Reisolasi Colletotrichum sp. dan Bakteri Kitinolitik pada tanaman kakao

Dari hasil uji reisolasi kontrol positif pada bagian daun yang terserang, patogen penyebab penyakit antraknosa yaitu jamur Colletotrichum sp. memiliki ciri yang sama dengan patogen yang ditemukan di lapangan, hal ini sesuai dengan prosedur postulat Koch yang digunakan untuk mencari bukti bahwa suatu penyakit disebabkan oleh jasad renik tertentu (Pelczar & Chan, 1986). Hasil reisolasi dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8. Hasil reisolasi kontrol positif (a). serangan antraknosa (b). reisolasi gejala patogen (c). koloni jamur Colletotrichum sp. (d). hifa

Perlakuan kontrol negatif yang tidak diberi perlakuan penyemprotan patogen dan bakteri kitinolitik dilakukan reisolasi kembali ternyata tidak ada sumber mikroorganisme penghasil kitin, dipermukaan daun (Gambar 9).

(a) (b)

C D


(48)

Gambar 9. Kontrol negatif (a).tanaman kakao sehat (b).reisolasi tanaman kakao

Perlakuan dengan menggunakan lima isolat bakteri kitinolitik. Hasil reisolasi menunjukkan bahwa terdapat aktivitas kitinase pada permukaan daun, terutama terlihat jelas pada perlakuan yang diinokulasi dengan isolat LK08, terlihat di sekitar daun tanaman kakao pada MGMC terlihat zona bening ini menunjukkan terdapat mikroorganisme pendegradasi kitin (Gambar 10).

Gambar 10. Hasil reisolasi perlakuan bakteri kitinolitik

Dari hasil reisolasi kelima perlakuan terlihat bahwa suspensi bakteri kitinolitik yang disemprot pada daun tanaman kakao mampu mengurangi aktivitas patogen Colletotrichum sp. penyebab penyakit antraknosa. Menurut Metcalfe et al (2002), Aplikasi kitinolitik sebagai agen biokontrol dapat dilakukan dengan cara penyemprotan secara langsung suspensi kitinolitik pada tanaman dengan tujuan untuk meningkatkan ketahanan tanaman terhadap serangan patogen. Abadi (2003), mikroorganisme antagonis aktivitasnya berdampak negatif terhadap kehidupan patogen. Dengan pemberian agensia tersebut maka tanaman akan mampu berkembang lebih baik lagi karena penyakit tidak mampu menginfeksi tanaman sehingga pertumbuhannya optimal.


(49)

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1Kesimpulan

1. Hasil uji in vitro menunjukkan semua isolat bakteri kitinolitik mampu menghambat pertumbuhan Colletotrichum sp.

2. Isolat bakteri kitinolitik yang diuji menyebabkan kerusakan hifa Colletotrichum sp.

3. Hasil uji in vivo menunjukkan semua isolat bakteri kitinolitik yang diuji mampu menekan perkembangan penyakit antraknosa pada tanaman kakao, dan Isolat LK08 adalah isolat bakteri kitinolitik terbaik yang mampu menurunkan intensitas dan luas serangan.

5.2 Saran

Perlu adanya penelitian dan perhatian lebih lanjut terhadap isolat kitinolitik potensial sehingga bisa digunakan untuk agen pengendali hayati dalam menghambat serangan patogen Colletotrichum sp.


(50)

DAFTAR PUSTAKA

Abadi AL.2003. Ilmu penyakit tumbuhan. Bayumedia Publishing. Malang. Hlm 68. Agrios. 1988. Plant Pathology. Academic Press. University Florida. Gainsville. Pp 7 . Agrios GN.1996. Ilmu Penyakit Tumbuhan. Diterjemahkan Busnia M. UGM Press.

Yogyakarta. Hlm 8,18.

Backman PA, Wilson M, Murphy JF.1997. Bacteria for biological control of plant diseases. In: Rechcigl NA, Rechcigl JE (Eds.), Environmentally Safe Approaches to Plant Disease Control. CRC/Lewis Press, Boca Raton, FL, Hlm 95–109.

Barka EA, Gognies S, Nowak J, Audran JC, Belarbi A. 2002. Inhibitory effect of endophytic bacteria on Botrytis cinerea and its influence to promote the grapevine growth. Biological Control 24: 135–142.

Bargabus RL, Zidack NK, Sherwood JE, Jacobsen BJ. 2004. Screening for the identification of potential biological control agents that induce systemic acquired resistance in sugar beet. Biological Control 30: 342–350.

Baker CJ, Stavely JR, Mock N .1985. Biocontrol of bean rust by Bacillus subtilis under field conditions. Plant Disease 69: 770-772.

Boyce JS.1961. Forest Patology. Mc Graww Hill Book Company Incc. New York.

Bressan W, Borges MT. 2003. Delivery methods for introducing endophytic bacteria into maize. Biocontrol 49: 315-322.

Chernin L, Ismailov Z, Haran S, Chet I. 1995. Chitinolytic Enterobacter agglomerans antagonistic to fungal plant pathogens. Appl Environ Microbiol 61: 1720-1726. Chernin LS, Michael KW, Jacquelyn MT, Shoshan H, Barrie WB, Cheat W, Gordon SAB.

1998. Chitinolytic activity in Chromobacterium violaceum substrate analysis and regulation by quorum sensing J Bacteriol 140 : 4435-4441.

Chien JH, Tang KW , Shu C, Chao YC. 2004. Identification of an antifungal chitinase from a potential biocontrol agent, Bacillus cereus 28-9. Biochem Mol Biol 38(1): 82-88.


(51)

Duffy BK, Andrew S, Weller DM.1995. Combination of Trichoderma coningii with fluorescent pseudomonads for control of take-all on wheat. Phytpathology 86: 88-194.

El-Katatny MH. Somitsch W, Robra K-H, El-Katatny MS, Gilbitz GM.2000.Production of chitinase and β 1,3-glucanase by Trichoderma harzianum for control of the phytopathogenic fungus Sclerotium rolfsii. Food Technol Biotechnol 38: 173 – 180.

El-Ghout ACL, Wilson, Wisniwski. 2003. Ultrastructural and chytochemical asppects of the biological control of B. cinerea by the Candida saitoana in apple fruit. Phytopathology 88:282-291

Fujii T, Miyashita.1993. Multiple domain structure in a chitinase gene of Streptomyces lividans. J Gen Microbiol.139: 677-686.

Fravel DR, Connick JR, Lewis JA. 1998. Formulation of microorganisms to control plant diseases in formulation of microbial biopesticide. Ed.burges HD. Kluwer academic press. Dordrecht. Hlm 187-202.

Giannakis C, Bucheli CS, Skene KGM, Robinson SP, Scott NS .1998. Chitinase and β -1,3-glukanase in grapevine leaves. Aus J Grape Wine Res 4: 14-22.

Gohel V, Sigh A, Vimal M, Ashwini D, Chaptar HS. 2003. Bioprospecting and antifungal potential of chitinolytic microorganism. Afri J Biotechnol 5:54-72.

Gohel V, Singh A, Vimal M, Ashwani P, Chattpar HS. 2006. Bioprospecting and antijamur potential of chitinolytic microorganism. Afri J Biotechnology 5(2): 54 – 72.

Gohel V, Anil S, Maisuria V, Phadnis A, Chhatpar HS. 2005. Bioprospecting and antifungal potential of chitinolytic microorganisms. Department of Microbiology and Biotechnology Centre, Faculty of Science, M.S. University of Baroda, Vadodara - 390 002, Gujarat, India.

Gooday GW. 1990. Phisiology of microbial degradation of chitin and chitosan. In Phisiology of biodegradative microorganisms. Radlege C (ed). KA Publishers. Netherland 1(2): 177-190.

Gunaeni. 2006. Prospek dan arah pengembangan agribisnis kakao. Edisi Kedua. Badan penelitian dan pengembangan pertanian. Hlm 18.


(52)

Hasanuddin. 2003. Peningkatan peranan mikroorganisme dalam system pengendalian penyakit tumbuhan secara terpadu. Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan. Fakultas pertanian.Universitas Sumatera Utara.

Heru. 2006. Studi pengendalian hayati penyakit lincat tembakau dengan menggunakan kombinasi Pseudomonas fluoresen, Bacillus spp. dan Streptomyces spp. Disertasi UGM, Yogyakarta.

Hidayah. 2001. Eksplorasi dan identifikasi jamur antagonis terhadap Colletotrichum gloeosporioides dan filosfer tanaman cabe. Tropika. 8 (2) : 22

Khalid A, Arshad M, Zahir ZA. 2004. Screening plant growth promoting rhizobacteria for improving growth and yield of wheat (abstract). App Microbiol 96: 473.

Kloepper.1989.(http://biogen.litbang.deptan.go.id.2009. epository.usu.ac.id/bitstream/ 123456789 / 20373 / 4 / chapter% 2011.pdf.) diakses tanggal 20 mei 2011. Leubner MG, Meins F. 1999. Functions and regulation of plant β-1,3-glukosida (PR 2) In

Datta SK, Muthukrishnan S . Pathogenesis related protein in plant. Boca Raton. CRC Press. Hlm 49-76.

Lidya MS. 2009. Uji Infeksi Mycosphaerella sp Terhadap Bibit Eucalyptus spp. Skripsi Departemen Kehutanan. Fakultas Pertanian. Universitas Sumatera Utara. Hlm 40.

Lorito M, Harman GE, Hayes CK, Broadway RM, Tronsmo A, Woo SL, Pietro A. 1992. Chitinolitic enzimies produced by Trichoderma harzianum: Antifungal activity of purified endochitinase and chitobiodase. Phytopathol 83: 302-307.

Martorejo T, Sumardiyono C, Astuti EH. 2001. Kajian pengendalian hayati penyakit kapang hijau pada buah jeruk dengan Trichoderma sp. Proseding Seminar PFI. IPB. Bogor. Hlm 354 – 356.

Martin FN, Loper JE. 1999. Soilborne plant disease caused by Phytium spp. ecology. epidemiology and prospects for biological control. Crit Rev Plant Sci 18: 111-181.

Masanto M, Kamaruzaman S, Yahya A, Ghazali M, Satar M. 2009. The first report of the occurrence of anthracnose disease caused by Colletotrichum sgloesporioides


(53)

(Penz) Penz & Sacc on dragon fruit (Hylocerus spp) in peninsular Malaysia, American J App Scie 6(5): 902-912.

Mehrotra RS. 1983. Plant phatology. Tata Mac Graw Hill. Publishing Company Limited. New Delhi. Hlm 157.

Metcalfe AC, Krsek M, Gooday GW, Prosser J, Wellington EMH.2002. Molecular analysis of a bacterial chitinolitic community in an upland pasture. Appl Environ Microbial 68:5042-5050.

Muharni. 2009. Isolasi dan identifikasi bakteri penghasil kitinase dari sumber air panas Danau Ranau Sumatera Selatan. Jurusan Biologi FMIPA. Universitas Sriwijaya. Sumatera Selatan. Indonesia. Jurnal Penelitian Sains. Edisi Desember 09: 12-15. Mukerji KG, Garg KL.1988. Biocontrol of plant diseases. Volume 1.CRC Press. Florida.

Hlm 159

Nyoman I. 1995. Pengendalian hama terpadu. Gadjah Mada University Press.Yogyakarta. Hlm 134 – 135.

Nugroho TT, Ali, Dahliaty, Wahyuningsih, Devi, Sukmarisa Y. 2003. Isolasi dan karakterisasi sebahagian kitinase Trichoderma viride. J Natur Indonesia 5: 101-106.

Ohno T, Armand S, Hata T, Nikaidou N, Henrissat B, Mitsutomi W. Watanabe T. 1996. A modular family 19 chitinase found in Procharyotic organism Stretococcus griceus HUT 6037. J Bacteriol 178: 5065-6070.

Oku H. 1994. Plant pathogenesis and disease control. London : Lewis Pulb.

Pawirrosoemardjo. 1975. Rancangan percobaan dan aplikasi. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

Pelczar MJ, Chan ESC. 1986. Dasar-dasar mikrobiologi. Jilid 1. Jakarta. UI Press. Hlm 19.

Pleban S, Chernin L, Chet I. 1997. Chitinolytic activity of an endophytic strain of Bacillus cereus. Lett Appl Microbiol 25: 284-288.

Prell HH, Day PR. 2001. Plant Funggal Pathogen Interaction a Classikal and Molecular View. Berlin, Springer Verlag.


(54)

Priyatno TP, Sudjono MS, Chaerani, Suryadi, Sudjadi M. 2000. Teknik produksi dan formulasi bakteri kitinolitik untuk pengendalian penyakit karat kedelai. J Natur Indonesia 5: 229-235.

Pudjihartati E, Siswanto, Satrias I, Sudarsono. 2006. Aktivitas enzim kitinase pada kacang tanah yang sehat dan yang terinfeksi Sclerotium rolfsii. Unit Penelitian Bioteknologi Perkebunan. Bogor. 13: 73-78.

Pujiyanto S, Rejeki SF, Susiana. 2003. Uji potensi bakteri kitinolitik sebagai pengendali hayati patogen kapang penyebab penyakit tanaman kentang (Solanum tuberrosum). Universitas Diponegoro. Semarang.

Rajarathanam S, Shashrieka, Bano Z. 1998. Biodegradative and biosynthetic capacities of mushrooms. Present and Future Strategies. Crit Rev Biotech 18: 23 – 91.

Raupach GS, Liu L, Murphy JF, Tuzun S, Kloepper JW. 1996. Induced systemic resistance in cucumber and tomato against cucumber mosaic cucumovirus using plant growth-promoting rhizobacteria (PGPR). Plant Disease 80: 891–894. Semangun H. 2000. Penyakit-penyakit tanaman perkebunan di Indonesia. Gadjah

Mada University Press. Yogyakarta. Hlm 835.

Sinaga SN. 2003 . Ilmu penyakit hutan. Penebar Swadaya. Jakarta.

Soepena H. 1995. Colletotrichum gloeosporioides dan Colletotrichum acutatum sebagai penyebab penyakit gugur daun pada tanaman. Warta Pusat Penelitian Perkebunan Karet Sungei Putih. Hlm 10-13.

Spilane JJ. 1995.:Komiditi Kakao: Peranannya dalam perekonomian Indonesia. Kanisius .Yogyakarta. Hlm 23.

Stanier RYA, Adelberg, Ingraham JL.1982. Dunia Mikroba 1. Penerbit Bhratara Karya Aksara. Jakarta.

Sulistyowati E, Junianto YD , Sukamto S, Wiryadiputra S, Winarto L, Primawati N. 2003. Analisis status penelitian dan pengembangan PHT pada pertanaman kakao . Risalah Simposium Nasional Penelitian PHT Perkebunan Rakyat. Bogor.

Supriadi. 2006. Analisis risiko agen hayati untuk pengendalian patogen pada tanaman. Jurnal Litbang. Bogor. 25 (3).


(55)

Suryanto D & Munir E . 2006. Potensi isolat bakteri kitinolitik lokal untuk pengendalian hayati jamur. Prosiding seminar hasil-hasil penelitian usu 2006. Medan. Hlm 15-25.

Suryanto D, Fakhrullah, Napitupulu D, Munir E. 2009. Assay of three chitinolytic bacterial isolates of Tanaman Nasional Gunung Leuser Tangkahan to inhibit plant pathogenic fungi. Microbiol Indonesia Press.

Toharisman. 2007. Peluang pemanfaatan enzim kitinase di industry gula. Makalah P3GI. Wahyudi T, Panggabean TR, Pujiyanto. 2008. Panduan Lengkap : Kakao manajemen

agribisnis dari hulu hingga hilir. Penebar swadaya.Jakarta. Hlm 35.

Wicandra LA. 2005. Identifikasi jenis-jenis jamur yang menyerang pada

tanaman kakao (Theobroma cacao L.) di PT. Perkebunan

Nusantara XII Kebun Ngrangkah Pawon

Kabupaten Kediri. Tesis. Universitas Muhamdiyah. Malang.

Weber GF. 1973. Bacterial and fungal diseases of plant in the tropic. University of Florida Press Gainessville. Hlm 468.

Yodha AM. 2010. Konsep pengendalian organism pengganggu tanaman. Fakultas Pertanian. Universitas Brawijaya. Malang.


(56)

LAMPIRAN

1. Alur Kerja Antagonisme In Vitro

Diinokulasikan pada media MGMC Pada jarak 3,5 cm dari tempat Inokulum bakteri.

Sebanyak 10 µl suspensi bakteri kitinolitik diteteskan cakram standard Oxoid

Diinkubasi pada suhu 300C dan dilakukan pengamatan selama lima hari

Biakan Jamur Colletotrichum sp


(57)

2. Pengamatan abnormalitas miselium Colletotrichum sp. Setelah uji antagonis

Dipotong ujung miselium

Colletotrichum sp. Pada media MGMC berbentuk block square Diletakkan pada objek glass

Diamati pertumbuhan miselium Colletotrichumsp.yang abnormal Biakan Jamur Colletotrichum sp


(58)

3. Pembuatan Suspensi Bakteri Kitinolitik

Disubkultur dalam media NA dan Diinkubasi ± 2 hari Diambil biakan bakteri kitinolitik dengan jarum ose Dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang berisi akuades steril sebanyak 10 ml

Dihomogenkan dengan cara divortex

Disamakan kekeruhannya

dengan Standar Mac

farland yaitu 108 CFU/ml Biakan bakteri kitinolitik


(59)

4. Pembuatan Suspensi Jamur Colletotrichum sp

Disubkultur dalam media PDA Ditetesi dengan aquadest steril Sebanyak 10 ml kemudian dikikis dengan jarum kait agar konidia Terlepas.

Disaring dengan kain kasa

Disentrifugasi

Diencerkan sehingga mencapai kerapatan 2 x 105 konidia / ml Biakan Jamur Colletotrichum sp

Campuran Miselium dan Konidia Jamur

Filtrat

Konsentrat

Suspensi Jamur


(60)

5. Pengujian in vivo bakteri kitinolitik terhadap tanaman kakao

Disemprot 10 ml suspensi bakteri kitinolitik.

Tanaman disungkup plastik

Disemprot konidia

Collletotrichum dengan kerapatan 2x105 konidia/ml

Dihitung intensitas serangan dan Luas Serangan

Tanaman Kakao

Tanaman Kakao Yang Tahan Terhadap Patogen Jamur Colletotrichum sp.


(61)

6. Uji Patogenisitas

Tanaman kakao

Kontrol Positif : Pemberian Colletotrichum sp Kontrol Negatif : Tanpa Pemberian Colletotrichum sp

Perlakuan : 1. Suspensi bakteri kitinolitik KR05 + Spora Colletotrichum sp 2. Suspensi bakteri kitinolitik LK 08 + Spora Colletotrichum sp 3. Suspensi bakteri kitinolitik BK 08 + Spora Colletotrichum sp 4. Suspensi bakteri kitinolitik BK 15 + Spora Colletotrichum sp 5. Suspensi bakteri kitinolitik BK 17 + Spora Colletotrichum sp


(62)

7. Intensitas Serangan Minggu 1

Perlakuan Ulangan Total

1 2 3 4 5

BK13 0.7 2.12 0.7 0.7 0.7 4.92

6.34 4.92 7.13 4.92 19.7 7.75 55.68

KRO5 0.7 2.12 2.12 0.7 0.7

BK17 2.12 0.7 0.7 0.7 0.7

BK15 0.7 2.91 2.12 0.7 0.7

LK08 0.7 2.12 0.7 0.7 0.7

Kontrol Positif 3.53 3.53 4.06 4.06 4.52

Kontrol Negatif 0.7 2.12 3.53 0.7 0.7

Total 9.15 15.62 13.93 8.26 8.72

Fk = (55.68)2 = 3100.2624 = 88.5789 35 35

Jk T = (0.7)2 + ...+ (0.70)2 - Fk = 52.4203 JK P = (4.92)2 + ...(7.75)2 - Fk = 33.78194

5

JK B = (9.15)2 + ...+ (8.72)2 - Fk = 6.5665 7

JK Galat = JKT – JKP – JKB = 12.07186

Tabel Analisis

SK DB JK KT F,Hit F.Tab

5% 1%

B 4 6.5665 1.6416 3.26* 2.78 4.22

P 6 33.7819 5.6303 11.195** 2.51 3.67

G 24 12.0718 0.5029

Keterangan: ** = berbeda sangat nyata * = berbeda nyata


(63)

8. Luas Serangan Minggu 1

Perlakuan Ulangan Total

1 2 3 4 5

BK13 0.7 4.52 0.7 0.7 0.7 7.32

11.14 7.32 11.14 7.32 22.6 11.14 77.98

KRO5 0.7 4.52 4.52 0.7 0.7

BK17 4.52 0.7 0.7 0.7 0.7

BK15 0.7 4.52 4.52 0.7 0.7

LK08 0.7 4.52 0.7 0.7 0.7

Kontrol Positif 4.52 4.52 4.52 4.52 4.52

Kontrol Negatif 0.7 4.52 4.52 0.7 0.7

Total 12.54 27.82 20.18 8.72 8.72

Fk = (77.98)2 = 6080.8804 = 173.739 35 35

Jk T = (0.7)2 + ...+ (0.70)2 - Fk = 122.5766 JK P = (7.32)2 + ...(11.14)2 - Fk = 35.02

5

JK B = (12.54)2 + ...+ (8.72)2 - Fk = 39.19 7

JK Galat = JKT – JKP – JKB = 48.36

Tabel Analisis

SK DB JK KT F,Hit F.Tab

5% 1%

B 4 39.19 9.79 4.85** 2.78 4.22

P 6 35.02 5.83 2.89 * 2.51 3.67

G 24 48.36 2.015

Keterangan : * = Berbeda Nyata


(64)

9. Intensitas Serangan Minggu 2

Perlakuan Ulangan Total

1 2 3 4 5

BK13 0.7 2.12 0.7 0.7 0.7 4.92

6.34 4.92 7.13 4.92 19.7 7.75 55.68

KRO5 0.7 2.12 2.12 0.7 0.7

BK17 2.12 0.7 0.7 0.7 0.7

BK15 0.7 2.91 2.12 0.7 0.7

LK08 0.7 2.12 0.7 0.7 0.7

Kontrol Positif 3.53 3.53 4.06 4.06 4.52

Kontrol Negatif 0.7 2.12 3.53 0.7 0.7

Total 9.15 15.62 13.93 8.26 8.72

Fk = (77.98)2 = 6080.8804 = 173.739 35 35

Jk T = (0.7)2 + ...+ (0.70)2 - Fk = 122.5766 JK P = (7.32)2 + ...(11.14)2 - Fk = 35.02

5

JK B = (12.54)2 + ...+ (8.72)2 - Fk = 39.19 7

JK Galat = JKT – JKP – JKB = 48.36

Tabel Analisis

SK DB JK KT F,Hit F.Tab

5% 1%

B 4 39.19 9.79 4.85** 2.78 4.22

P 6 35.02 5.83 2.89 * 2.51 3.67

G 24 48.36 2.015

Keterangan : * = Berbeda Nyata


(65)

10. Luas Serangan Minggu 2

Perlakuan Ulangan Total

1 2 3 4 5

BK13 0.7 4.52 0.7 0.7 0.7 7.32

11.14 7.32 11.14 7.32 22.6 11.14 77.98

KRO5 0.7 4.52 4.52 0.7 0.7

BK17 4.52 0.7 0.7 0.7 0.7

BK15 0.7 4.52 4.52 0.7 0.7

LK08 0.7 4.52 0.7 0.7 0.7

Kontrol Positif 4.52 4.52 4.52 4.52 4.52

Kontrol Negatif 0.7 4.52 4.52 0.7 0.7

Total 12.54 27.82 20.18 8.72 8.72

Fk = (77.98)2 = 6080.8804 = 173.739 35 35

Jk T = (0.7)2 + ...+ (0.70)2 - Fk = 122.5766 JK P = (7.32)2 + ...(11.14)2 - Fk = 35.02

5

JK B = (12.54)2 + ...+ (8.72)2 - Fk = 39.19 7

JK Galat = JKT – JKP – JKB = 48.36

Tabel Analisis

SK DB JK KT F,Hit F.Tab

5% 1%

B 4 39.19 9.79 4.85** 2.78 4.22

P 6 35.02 5.83 2.89 * 2.51 3.67

G 24 48.36 2.015

Keterangan : * = Berbeda Nyata


(66)

11.Intensitas Serangan Minggu 3

Perlakuan Ulangan Total

1 2 3 4 5

BK13 0.7 2.12 0.7 0.7 0.7 4.92

6.34 4.92 7.75 4.92 19.7 7.75 56.3

KRO5 0.7 2.12 2.12 0.7 0.7

BK17 2.12 0.7 0.7 0.7 0.7

BK15 0.7 3.53 2.12 0.7 0.7

LK08 0.7 2.12 0.7 0.7 0.7

Kontrol Positif 3.53 3.53 4.06 4.06 4.52

Kontrol Negatif 0.7 2.12 3.53 0.7 0.7

Total 9.15 16.24 13.93 8.26 8.72

Fk = (56.3)2 = 3169.69 = 90.5625 35 35

Jk T = (0.7)2 + ...+ (0.70)2 - Fk = 54.3575 JK P = (4.92)2 + ...(7.75)2 - Fk = 33.6434

5

JK B = (9.15)2 + ...+ (8.72)2 - Fk = 7.4047 7

JK Galat = JKT – JKP – JKB = 13.30934

Tabel Analisis

SK DB JK KT F,Hit F.Tab

5% 1%

B 4 7.4047 1.8511 3.33* 2.78 4.22

P 6 33.6434 5.6072 10.112** 2.51 3.67

G 24 13.3093 0.5545

Keterangan : * = Berbeda Nyata


(67)

12.Luas Serangan Minggu 3

Perlakuan Ulangan Total

1 2 3 4 5

BK13 0.7 4.52 0.7 0.7 0.7 7.32

11.14 7.32 11.14 7.32 22.6 11.14 77.98

KRO5 0.7 4.52 4.52 0.7 0.7

BK17 4.52 0.7 0.7 0.7 0.7

BK15 0.7 4.52 4.52 0.7 0.7

LK08 0.7 4.52 0.7 0.7 0.7

Kontrol Positif 4.52 4.52 4.52 4.52 4.52

Kontrol Negatif 0.7 4.52 4.52 0.7 0.7

Total 12.54 27.82 20.18 8.72 8.72

Fk = (77.98)2 = 6080.8804 = 173.739 35 35

Jk T = (0.7)2 + ...+ (0.70)2 - Fk = 122.5766 JK P = (7.32)2 + ...(11.14)2 - Fk = 35.02

5

JK B = (12.54)2 + ...+ (8.72)2 - Fk = 39.19 7

JK Galat = JKT – JKP – JKB = 48.36

Tabel Analisis

SK DB JK KT F,Hit F.Tab

5% 1%

B 4 39.19 9.79 4.85** 2.78 4.22

P 6 35.02 5.83 2.89 * 2.51 3.67

G 24 48.36 2.015

Keterangan :** = Berbeda Sangat Nyata * = Berbeda Nyata


(68)

13.Intensitas serangan Minggu 4

Perlakuan Ulangan Total

1 2 3 4 5

BK13 0.7 2.12 0.7 0.7 2.12 6.34

7.76 6.34 7.75 4.92 20.12 7.75 60.98

KRO5 0.7 2.12 2.12 0.7 2.12

BK17 2.12 2.12 0.7 0.7 0.7

BK15 0.7 3.53 2.12 0.7 0.7

LK08 0.7 2.12 0.7 0.7 0.7

Kontrol Positif 3.53 3.53 4.06 4.06 4.94

Kontrol Negatif 0.7 2.12 3.53 0.7 0.7

Total 9.15 17.66 13.93 8.26 11.98

Fk = (60.98)2 = 3718.5604 = 106.2445 35 35

Jk T = (0.7)2 + ...+ (0.70)2 - Fk = 54.7339 JK P = (6.34)2 + ...(7.75)2 - Fk = 106.2445

5

JK B = (9.15)2 + ...+ (11.98)2 - Fk = 8.2399 7

JK Galat = JKT – JKP – JKB = 14.78758

Tabel Analisis

SK DB JK KT F,Hit F.Tab

5% 1%

B 4 8.2399 2.0599 3.34* 2.78 4.22

P 6 31.7064 5.2844 8.577** 2.51 3.67

G 24 14.7875 0.6161

Keterangan : * = Berbeda Nyata ** = Berbeda Sangat Nyata


(69)

14.Luas Serangan Minggu 4

Perlakuan Ulangan Total

1 2 3 4 5

BK13 0.7 4.52 0.7 0.7 4.52 11.14

14.96 11.14 11.14 7.32 22.6 11.14 89.44

KRO5 0.7 4.52 4.52 0.7 4.52

BK17 4.52 4.52 0.7 0.7 0.7

BK15 0.7 4.52 4.52 0.7 0.7

LK08 0.7 4.52 0.7 0.7 0.7

Kontrol Positif 4.52 4.52 4.52 4.52 4.52

Kontrol Negatif 0.7 4.52 4.52 0.7 0.7

Total 12.54 31.64 20.18 8.72 16.36

Fk = (89.44)2 = 7999.5136= 228.55 35 35

Jk T = (0.7)2 + ...+ (0.70)2 - Fk = 127.5868 JK P = (11.14)2 + ...(11.14)2 - Fk = 28.358

5

JK B = (12.54)2 + ...+ (16.36)2 - Fk = 44.2016 7

JK Galat = JKT – JKP – JKB = 55.0272

Tabel Analisis

SK DB JK KT F,Hit F.Tab

5% 1%

B 4 44.2016 11.050 4.82** 2.78 4.22

P 6 28.358 4.72 2.06 tn 2.51 3.67

G 24 55.0272 2.29

Keterangan : tn = Tidak ada perbedaan nyata ** = berbeda Sangat Nyata


(70)

FOTO PENELITIAN


(71)

(72)

(73)

(1)

13.Intensitas serangan Minggu 4

Perlakuan Ulangan Total

1 2 3 4 5

BK13 0.7 2.12 0.7 0.7 2.12 6.34

7.76 6.34 7.75 4.92 20.12 7.75 60.98

KRO5 0.7 2.12 2.12 0.7 2.12

BK17 2.12 2.12 0.7 0.7 0.7

BK15 0.7 3.53 2.12 0.7 0.7

LK08 0.7 2.12 0.7 0.7 0.7

Kontrol Positif 3.53 3.53 4.06 4.06 4.94

Kontrol Negatif 0.7 2.12 3.53 0.7 0.7

Total 9.15 17.66 13.93 8.26 11.98

Fk = (60.98)2 = 3718.5604 = 106.2445

35 35

Jk T = (0.7)2 + ...+ (0.70)2 - Fk = 54.7339

JK P = (6.34)2 + ...(7.75)2 - Fk = 106.2445

5

JK B = (9.15)2 + ...+ (11.98)2 - Fk = 8.2399

7

JK Galat = JKT – JKP – JKB

= 14.78758 Tabel Analisis

SK DB JK KT F,Hit F.Tab

5% 1%

B 4 8.2399 2.0599 3.34* 2.78 4.22

P 6 31.7064 5.2844 8.577** 2.51 3.67

G 24 14.7875 0.6161

Keterangan : * = Berbeda Nyata ** = Berbeda Sangat Nyata


(2)

14.Luas Serangan Minggu 4

Perlakuan Ulangan Total

1 2 3 4 5

BK13 0.7 4.52 0.7 0.7 4.52 11.14

14.96 11.14 11.14 7.32 22.6 11.14 89.44

KRO5 0.7 4.52 4.52 0.7 4.52

BK17 4.52 4.52 0.7 0.7 0.7

BK15 0.7 4.52 4.52 0.7 0.7

LK08 0.7 4.52 0.7 0.7 0.7

Kontrol Positif 4.52 4.52 4.52 4.52 4.52

Kontrol Negatif 0.7 4.52 4.52 0.7 0.7

Total 12.54 31.64 20.18 8.72 16.36

Fk = (89.44)2 = 7999.5136= 228.55

35 35

Jk T = (0.7)2 + ...+ (0.70)2 - Fk = 127.5868

JK P = (11.14)2 + ...(11.14)2 - Fk = 28.358

5

JK B = (12.54)2 + ...+ (16.36)2 - Fk = 44.2016

7

JK Galat = JKT – JKP – JKB

= 55.0272 Tabel Analisis

SK DB JK KT F,Hit F.Tab

5% 1%

B 4 44.2016 11.050 4.82** 2.78 4.22

P 6 28.358 4.72 2.06 tn 2.51 3.67

G 24 55.0272 2.29

Keterangan : tn = Tidak ada perbedaan nyata ** = berbeda Sangat Nyata


(3)

FOTO PENELITIAN


(4)

(5)

(6)