Analisis Strategi Manajemen Risiko Kesehatan Hewan Pada Kasus Penyakit Avian Influenza di Kabupaten Bogor

ANALISIS STRATEGI MANAJEMEN RISIKO KESEHATAN
HEWAN PADA KASUS PENYAKIT AVIAN INFLUENZA
DI KABUPATEN BOGOR

KHUSNUL KHOTIMAH

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Strategi
Manajemen Risiko Kesehatan Hewan Pada Kasus Penyakit Avian Influenza di
Kabupaten Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing
dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.
Bogor, 10 September 2014
Khusnul Khotimah
NIM B04100200

ABSTRAK
KHUSNUL KHOTIMAH. Analisis Strategi Manajemen Risiko Kesehatan Hewan
Pada Kasus Penyakit Avian Influenza di Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh
RAHMAT HIDAYAT dan M.SYAEFUDIN ANDRIANTO
Tujuan dari penelitian ini adalah mengidentifikasi, memetakan dan menganalisis
manajemen risiko kesehatan hewan dan menentukan strategi prioritas manajemen
risiko Flu Burung di Kabupaten Bogor. Metode ini menggunakan penilaian ahli
untuk menentukan nilai risiko. Pemetaan risiko faktor menggunakan Failure
Mode Effect Analysis(FMEA). Prioritas Strategi Manajemen Risiko menggunakan
Analytical Hierarchy Process (AHP). Identifikasi faktor risiko tinggi adalah
desinfeksi pengunjung di daerah peternakan, fluktuasi curah hujan, rendahnya
pengetahuan peternak tentang cara beternak yang baik, dan rendahnya
pemantauan sistem manajemen kesehatan dari pertanian ke perusahaan ritel.
Prioritas faktor risiko strategi manajemen kesehatan adalah sumber daya manusia
dan proses beternak. Prioritas aktor yang mempengaruhi strategi manajemen

risiko kesehatan adalah perusahaan inti dan peternak. Prioritas tujuan manajemen
risiko kesehatan adalah meningkatkan pendapatan. Prioritas Strategi manajemen
risiko kesehatan adalah biosekuriti, vaksinasi dan lalu lintas pengendalian unggas
Kata kunci: Avian Influenza, biosekuriti, analisis risiko, manajemen risiko

ABSTRACT
KHUSNUL KHOTIMAH. Analysis of Animal Health Strategy Risk Management
in Avian Influenza Case in Bogor’s Regency. Supervised by RAHMAT
HIDAYAT and M.SYAEFUDIN ANDRIANTO
The purpose of this research was to identify, map out and analyze risk
management animal health and determining the priority strategy Avian Influenza
risk management in Bogor regency The methods was using expert judgement to
determine value of the risk. Risk mapping of factors was using Failure Mode
Effect Analysis (FMEA). Priority of Risk Management Strategy was using
Analytical Hierarchy Process (AHP). Identification of high risk factors were
disinfection of visitors in the farm area, fluctuations in rainfall, low of farmer
knowledge about how to good farming, and low of monitoring health management
system from farm to retail firms. Priority factors risk health management strategy
were human resources and farm processing. Priority actors that influence of risk
health management strategy were company who contract farmer and farmer.

Priority objective of risk health management strategy was increasing income.
Priority strategy risk health management strategy were biosecurity, vaccination
and traffic poultry controlling.
Keyword: Avian Influenza, biosecurity, risk analysis, risk management

ANALISIS STRATEGI MANAJEMEN RISIKO KESEHATAN
HEWAN PADA KASUS PENYAKIT AVIAN INFLUENZA
DI KABUPATEN BOGOR

KHUSNUL KHOTIMAH

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
pada
Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR

2014

PRAKATA
Alhamdulillah, senandung syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat
Allah SWT yang telah melimpahkan karunia-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan penelitian yang dilaksanakan dari bulan Juni-Juli 2014 dan
menyelesaikan penulisan skripsi ini yang berjudul Analisis Analisis Strategi
Manajemen Risiko Kesehatan Hewan Pada Kasus Avian Influenza Di Kabupaten
Bogor sebagai syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan.
Dengan selesainya masa studi hingga penyusunan skripsi ini, penulis ingin
menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada:
1. Bapak dan ibu tercinta, Sugeng Budiono dan Siti Jumainah M.Pd, atas segala
kasih sayang, pengorbanan, dan kesabarannya yang tak terbalas dan tak
terbatas,
2. Drh. Rahmat Hidayat, M.Si dan M. Syaefudin Andrianto S.TP, M.Si selaku
dosen pembimbing skripsi atas kesempatan penelitian, nasihat dan bimbingan
yang diberikan,
3. Dr. Drh. Damiana Rita Ekastuti, selaku dosen pembimbing akademik atas
nasihat, bimbingan dan motivasi yang diberikan selama masa studi,
4. Prof Dr Drh Agik Suprayogi Msc, Drh Dewi Ratih Agungpriyono PhD

APVet, Dr Drh Eko Sugeng Pribadi MS dan Dr Ir Etih Sudarnika MSi selaku
dosen penguji dan penilai atas masukan dan arahan yang diberikan,
5. Drh. Trikisowo Jumino, Bapak Eddy, Drh.Hardy dan semua pihak yang
terkait dalam pengumpulan data, terima kasih atas informasi dan kemudahan
yang diberikan,
6. Prof. Dr. Ir. Achmad MSi sebagai pembina PPM Al-Iffah atas segala
inspirasi, bimbingan dan perhatian. Semoga penulis bisa mencontoh beliau,
7. Adik penulis, Muhammad Isa Anshori dan Muhammad Nashruddin atas
semangat persaudaraan dan kebersamaannya,
8. Keluarga besar DPM FKH Dewan Agregat, BEM FKH Kabinet Strategis,
Himpro Ornithologi dan Perunggasan, LDF An-Nahl, PPM Al-Iffah terima
kasih telah menemani proses belajar penulis selama di IPB,
9. Zella, kak Nur Indah, kak Indah, terima kasih atas kerjasamanya dan
semangat kebersamaan selama proses penelitian,
10. Sahabat-sahabat FKH angkatan 47 Acromion,
Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan memberikan
kontribusi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dibidang Kedoteran Hewan.
Semoga proses penelitian yang dilakukan bernilai ibadah. Penulis menyadari
bahwa masih banyak kekurangan dalam pelaksanaan penelitian dan penyusunan
skripsi ini. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan.

Bogor, 10 September 2014
Khusnul Khotimah

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

PENDAHULUAN

1


Latar Belakang

1

Perumusan Masalah

2

Tujuan Penelitian

2

Manfaat Penelitian

2

TINJAUAN PUSTAKA

2


Biosekuriti

2

Avian Influenza

3

Definisi Risiko, Analisis Risiko dan Manajemen Risiko

4

METODE PENELITIAN

5

Kerangka Pemikiran

5


Tempat dan Waktu Penelitian

5

Jenis dan Sumber Data

5

Teknik Pengumpulan Data

6

Pengolahan

6

HASIL DAN PEMBAHASAN

8


Gambaran Umum Kejadian Flu Burung di Kabupaten Bogor

8

Identifikasi dan Pemetaan Risiko menggunakan FMEA

8

Penentuan Prioritas Strategi menggunakan AHP
SIMPULAN DAN SARAN

12
15

Simpulan

15

Saran


16

DAFTAR PUSTAKA

16

Lampiran

20

RIWAYAT HIDUP

34

DAFTAR GAMBAR
Diagram Alir Kerangka Pemikiran

5

Peta faktor risiko kesehatan hewan terkait AI dengan teknik FMEA

8

Bagan prioritas strategi penanggulangan AI di Kabupaten Bogor

12

DAFTAR TABEL
Skala Perbandingan Berpasangan Model AHP

7

Variabel risiko kesehatan hewan pada teknik FMEA

9

DAFTAR LAMPIRAN
Kuisioner Penelitian

29

Tabel Perhitungan Risiko Menggunakan Teknik FMEA

33

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Peningkatan jumlah penduduk yang signifikan mengakibatkan semakin
meningkatnya kebutuhan protein hewani. Daging ayam merupakan salah satu
sumber protein hewani yang paling banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia
selain ikan dan telur, karena harganya terjangkau oleh masyarakat. Data
Kementerian Pertanian (2013) menunjukkan konsumsi daging ayam mencapai
3.64 kg per kapita per tahun, dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 4.6%.
Konsumsi ini masih jauh dibandingkan dengan negara Asia Tenggara lainnya
seperti Malaysia yang sudah mencapai 32 kg per kapita per tahun. Jika
dibandingkan dengan konsumsi daging ternak yang lain, menurut BPS (2013)
jumlah konsumsi daging ayam mencapai 64% dari total konsumsi daging ternak
lainnya, sedangkan produksi daging ayam ras pedaging di Bogor menunjukkan
angka 19 783 144 ekor dan peningkatan ini terus terjadi setiap tahunnya.
Seiring berjalannya waktu, unggas juga membawa risiko terhadap kesehatan
manusia, Avian Influenza (AI) adalah contoh penyakit zoonosa yang hingga saat
ini masih sering dibicarakan. Tiga puluh satu dari tiga puluh tiga provinsi telah
berstatus endemis flu burung (Ditjennak 2009). Pada saat bersamaan, pemerintah
daerah juga diminta mengeluarkan larangan pemotongan ayam selain di Rumah
Potong Hewan Unggas, Peraturan Daerah No 4 Tahun 2007 tentang Pengendalian
Pemeliharaan dan Peredaran Unggas yang mengatur mengenai peredaran unggas
di DKI Jakarta serta Peraturan Gubernur No. 146 Tahun 2007 sebagai Petunjuk
Pelaksanaan Perda tersebut. Pengawasan lalu lintas unggas juga semakin
diperketat. Pada kenyataannya, Pribadi et al. (2013) mendapati bahwa sebanyak
40% ayam yang beredar di Jabodetabek merupakan ayam sakit yang salah satu
dugaannya terinfeksi oleh virus AI.
Pemerintah Republik Indonesia telah menargetkan Indonesia bebas AI pada
2020. Salah satu upaya yang dilakukan sebagai langkah implementasi
penanggulan AI terdapat pada keputusan Dirjen BP Peternakan No.
17/KptsPD.640/F/02.04 tentang Pedoman Pencegahan, Pengendalian dan
Pemberantasan Penyakit Hewan Menular Influenza pada Unggas. Terdapat
sembilan strategi penanggulangan diantaranya pelaksanaan biosekuriti yang ketat,
depopulasi daerah tertular, vaksinasi, pengendalian lalu lintas, surveilans,
peningkatan kesadaran masyarakat, pengisian kandang kembali, pemusnahan
massal daerah tertular baru, dan pemantauan. Langkah strategis pertama dari
sembilan langkah yakni pelaksanaan biosekuriti yang ketat. Biosekuriti
merupakan pendekatan strategis dan terintegrasi yang terdiri atas kerangka
kebijakan dan pengaturan yang digunakan untuk menganalisa dan mengelola
risiko kemanan pangan, kesehatan serta kehidupan binatang dan tumbuhan
(Daryanto 2007).
Kondisi di lapangan sangat berbeda jauh dari kondisi ideal, memungkinkan
prioritas strategi berbeda-beda pada setiap daerah. Oleh karena itu, perlu
dilakukan penentukan prioritas strategi Pencegahan, Pengendalian dan
Pemberantasan Penyakit Hewan Menular Influenza pada Unggas. Tahapan
sebelumnya adalah identifikasi dan analisis risiko mengenai Avian Influenza pada

2
komoditi broiler di Kabupaten Bogor. Faktor yang perlu menjadi perhatian
meliputi proses beternak, SDM, keuangan, dan lingkungan. Sedangkan aktor yang
perlu diperhatikan adalah perusahaan inti, mitra, pemerintah dan asosiasi yang
berperan untuk mencegah penularan virus AI dari unggas ke manusia.
Perumusan Masalah
Penelitian diperlukan untuk menguraikan dan menganalisa risiko kesehatan
hewan terkait Avian Influenza di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Penelitian
tentang analisis risiko diharapkan mampu mengidentifikasi faktor risiko yang
dapat berperan dalam penyebaran dan penularan Avian Influenza.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi, memetakan dan
menganalisa mengenai besarnya risiko kesehatan hewan di Kabupaten Bogor,
Jawa Barat dalam kasus Avian Influenza. Tujuan lain, menentukan prioritas
strategi Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan Penyakit Hewan Menular
Influenza pada Unggas berdasarkan keputusan Dirjen BP Peternakan No.
17/KptsPD.640/F/02.04.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat menambah khazanah informasi tentang
pengelolaan (manajemen) risiko kesehatan hewan di daerah Bogor yang dapat
dijadikan landasan dalam pengambilan kebijakan. Di samping itu, sebagai saran
bagi stake holder terkait di Kabupaten Bogor untuk menjadi bahan pertimbangan
dalam menganalisa risiko dalam manajemen rantai pasok.

TINJAUAN PUSTAKA
Biosekuriti
Menurut Food And Agriculture Organization (2004) biosekuriti atau
biosekuriti terapan merujuk pada prinsip-prinsip, teknologi dan praktek-praktek
yang diterapkan untuk mengamankan patogen, racun dan teknologi yang sensitif
dari akses tidak sah, kehilangan, pencurian, penyalahgunaan, pengalihan atau
pelepasan yang disengaja. Biosekuriti terdiri dari dua elemen penting, yaitu
bio-kontaimen dan bio-eksklusi. Bio-kontaimen adalah pencegahan terhadap
datangnya virus terinfeksi dan bio-eksklusi adalah menjaga supaya virus
yang ada tidak keluar atau menyebar (FAO 2008). Menurut Dorea et al.
(2010), biosekuriti didisain untuk mengurangi penularan penyakit dalam kandang.
Tujuan utama penerapan biosekuriti pada peternakan unggas yaitu, 1)
meminimalkan keberadaan penyebab penyakit, 2) meminimalkan kesempatan
agen berhubungan dengan induk semang dan 3) membuat tingkat kontaminasi
lingkungan oleh agen penyakit seminimal mungkin (Zainuddin dan Wibawan
2007).

3
Tujuan dari penerapan biosekuriti adalah mencegah semua kemungkinan
penularan dengan peternakan tertular dan penyebaran penyakit (Ditjennak 2005).
Menurut Daryanto (2007) biosekuriti merupakan pendekatan strategis dan
terintegrasi yang terdiri atas kerangka kebijakan dan pengaturan yang digunakan
untuk menganalisa dan mengelola risiko kemanan pangan, kesehatan dan
kehidupan binatang dan tumbuhan.
Biosekuriti merupakan perlakuan pertama dari sembilan tindakan
pengendalian wabah dan dilakukan untuk mencegah semua kemungkinan kontak
dengan peternakan tertular dan agen penyebar penyakit (Ditjennak 2009).
Berdasarkan keputusan yang dikeluarkan Direktorat Jenderal Peternakan, tindakan
biosekuriti yang harus dilakukan meliputi:
1. Pengawasan lalu lintas dan tindakan karantina/isolasi lokasi peternakan
tertular dan tempat-tempat penampungan unggas yang tertular. Tindakan ini
dila-kukan dengan: (a) membatasi secara ketat lalu lintas material kontaminan
(hewan/unggas, produk unggas, pakan, kotoran, bulu, alas kandang); (b)
memba-tasi lalu lintas orang dan kendaraan yang keluar-masuk lokasi; (c)
memastikan para pekerja dan semua orang yang berada di lokasi peternakan
dalam kondisi sehat; (d) mewajibkan para pekerja dan semua orang yang
masuk lokasi peternakan/tempat penampungan unggas tertular untuk
menggunakan pakaian pelindung, masker, dan kaca mata pelindung serta
harus melalui tindakan desinfeksi dan sanitasi; dan (e) mencegah kontak
antara unggas dan burung liar/burung air, tikus, dan hewan lain.
2. Dekontaminasi/desinfeksi, yaitu menyucihamakan secara tepat dan cermat
terhadap pakan, tempat pakan/air minum, peralatan, pakaian pekerja kandang,
alas kaki, kendaraan dan bahan lain yang tercemar, bangunan kandang yang
bersentuhan dengan unggas, kandang/tempat penampungan unggas dan jalan
menuju peternakan/kandang/tempat penampungan unggas. Pelaksanaan
dekontaminasi/desinfeksi dilakukan sendiri oleh peternakan yang
bersangkutan di bawah pengawasan Dinas Peternakan atau yang membidangi
fungsi peternakan dan kesehatan hewan sesuai ketentuan yang berlaku.

Avian Influenza
Flu Burung adalah penyakit yang disebabkan oleh virus. Virus influenza
merupakan virus RNA yang memiliki sifat mudah mengalami perubahan,
tergolong dalam Famili Orthomyxoviridae dengan genus Orthomyxovirus. Virus
ini dapat menginfeksi berbagai macam spesies diantaranya unggas, babi, kuda,
serta manusia (Easterday et al. 1997). Sesuai dengan kandungan protein
permukaannya yaitu haemaglutinin (HA) dan neuraminidase (NA), virus influenza
tipe A pada unggas diklasifikasikan kedalam beberapa subtipe, dan hingga kini
terdapat sebanyak 16 subtipe HA (H1-H16) dan 9 subtipe NA (N1-N9) pada
ternak unggas. Pada umumnya virus influenza memiliki inang yang spesifik. Hal
ini berarti bahwa virus yang menginfeksi burung tidak akan menginfeksi manusia,
dan sebaliknya. Namun perlu diketaui bahwa virus influenza mudah mengalami
perubahan, sebagai akibat mutasi gen. Perubahan sifat pada virus influenza dapat
berupa antigenic shift, yaitu perubahan sebagai akibat akumulasi mutasi pada

4
genomnya atau antigenic drift, yaitu persilangan genom antara virus influenza tipe
yang berbeda.
Strain yang sangat virulen dan menyebabkan flu burung adalah dari
subtipe A H5N1 (Depkes 2008). Penyakit ini dapat muncul dalam beberapa
bentuk yang berbeda yakni tanda-tanda klinis yang umum dan parah disebut
Highly Pathogenic (HPAI), tanda-tanda klinis pada pernafasan dan ringan disebut
Low Pathogenic (LPAI), dan tidak ada tanda-tanda klinis (FAO 2005).
Penyakit Avian Influenza sangat berbahaya karena menyebabkan kematian
unggas secara mendadak dan menyebar secara cepat. Penyakit ini dapat
menyerang semua jenis ternak unggas termasuk ayam lokal, dan yang lebih
menakutkan lagi bahwa Avian Influenza dapat menular pada manusia dan
menyebabkan kematian (Zainuddin & Wibawan 2008).
Kebanyakan kasus H5N1 HPAI yang menginfeksi manusia telah
dikarakterisasikan sebagai influenza-like syndrome. Secara klinis tidak berbeda
pada influenza manusia pada umumnya degan gejala demam, batuk, nafas
yang pendek dan secara radiografi ditunjukkan dengan pneumonia. Selain
gejala respiratori, sebagian pasien juga mengeluhkan gejala gastrointestinal
seperti diare, muntah dan nyeri abdominal (Swayne 2008).
Definisi Risiko, Analisis Risiko dan Manajemen Risiko
Pengertian dasar risiko adalah risiko sebagai ketidakpastian yang telah
diketahui tingkat probabilitasnya. Pengertian lain yakni, risiko adalah
ketidakpastian yang bisa dikuantitaskan yang dapat menyebabkan kerugian atau
kehilangan (Djohanputro 2004). Definisi konseptual mengenai risiko mencakup 3
hal : 1) Risiko berhubungan dengan kejadian di masa yg akan datang, 2) Risiko
melibatkan perubahan (perubahan pikiran, pendapat, aksi, atau tempat), 3) Risiko
melibatkan pilihan & ketidakpastian bahwa pilihan itu akan dilakukan.
Analisis risiko adalah proses analisis untuk memberikan informasi
mengenai kejadian yang tidak diinginkan, proses memperkirakan probabilitas
(kemungkinan) dan perkiraan konsekuensi dari risiko yang teridentifikasi,
penelusuran secara rinci (termasuk penilaian risiko, risiko evaluasi dan
manajemen risiko alternative) dilakukan untuk memahami hasil yang tidak
diinginkan (SRA 2014). Menurut Costrad (2008), analisis risiko merupakan
sebuah proses yang dilakukan untuk menangani masalah-masalah yang
menimbulkan potensi bahaya , dikelola sesuai prosedur standar tertentu yang
meliputi : identifikasi bahaya, penilaian risiko, manajemen risiko dan komunikasi
risiko.
Manajemen risiko merupakan kegiatan yang mengintegrasikan pengenalan
risiko, penilaian risiko, mengembangkan strategi untuk mengelolanya, dan
mitigasi risiko dengan menggunakan sumber daya manajerial (Berg 2010).Siklus
manajemen risiko terdiri dari lima tahapan yaitu identifikasi risiko, pengukuran
risiko, pemetaan risiko, model pengelolaan risiko, monitor, dan pengendalian
(Djohanputro 2004).

5

METODE PENELITIAN
Kerangka Pemikiran
Unggas membawa risiko penyakit terhadap kesehatan hewan dan manusia.
Penyebaran virus AI sangat cepat hingga meluas ke-31 provinsi di Indonesia,
termasuk Kabupaten Bogor. Ada beberapa faktor risiko yang menyebabkan
penyebaran AI tidak terkendali, maka diperlukan manajemen risiko untuk
mencegah penyebarluasan AI. Klasifikasi risiko dipetakan dalam 4 kelompok
untuk mengidentifikasi tingkat keparahan risiko menggunakan teknik Failure
Mode Effect Analysis (FMEA). Menentukan prioritas strategi menajemen risiko
berdasarkan keputusan Dirjen BP Peternakan No. 17/KptsPD.640/F/02.04
menggunakan teknik Analytical Hierarchy Process (AHP).
Penyebaran virus Avian Infuenza di Kabupaten Bogor
Identifikasi Risiko
Analisis Manajemen Risiko Kesehatan
Hewan terkait Avian Influenza
FMEA

Pemetaan Risiko
Alternatif Strategi Manajemen
risiko kesehatan Hewan

Keputusan Dirjen BP
Peternakan No.
17/KptsPD.640/F/02.04

Penyusunan prioritas strategi
manajemen risiko kesehatan
hewan

AHP

Rekomendasi

Gambar 1 Diagram Alir Kerangka Pemikiran

Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan metode observasi lapang dan wawancara
pakar pada berbagai sentra pelaku usaha unggas di daerah Bogor, Jawa Barat pada
bulan Juni-Juli 2014.
Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan berupa data primer dan studi literatur. Data
literatur diperoleh dari dokumen, jurnal ilmiah, laporan kajian terdahulu yang

6
relevan serta dari berbagai sumber. Sedangkan data primer diperoleh melalui
beberapa cara yaitu observasi lapangan, wawancara dan pendapat pakar.
Teknik Pengumpulan Data
Metode yang digunakan untuk mengetahui kemungkinan terjadinya risiko
adalah dengan metode aproksimasi. Menurut Kountur (2008), pengumpulan
informasi pada metode aproksimasi dapat dilakukan melalui tiga cara, yaitu
pendapat ahli (expert judgement), konsensus (concensus), atau Delphy Method.
Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data yang dilakukan adalah dengan
cara pendapat ahli. Cara ini merupakan pengumpulan informasi dengan
menggunakan seseorang yang dianggap ahli yang diwawancarai untuk
mendapatkan informasi tentang berapa besar peluang (probability) dan berapa
besar dampak yang terjadi dari suatu risiko. Metode ini sangat efektif dalam
kuantifikasi pendapat, yang didasarkan pada pengalaman pribadi dan
pengetahuan, untuk mengembangkan kerangka konsisten keputusan. Inilah titik
penting dalam proses pengambilan keputusan (Pecchia et al. 2011).
Para ahli yang dimaksud adalah pihak yang dianggap paham mengenai
peternakan unggas, kesehatan hewan (utamanya AI), biosekuriti dan Good
Farming Practices serta memiliki pengalaman dalam peternakan unggas. Pakar
yang diwawancara yakni pelaku dalam prioritas manajemen AI diantara dokter
hewan peternakan (merepresentasi perusahaan inti dan asosiasi), dokter hewan
Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor (merepresentasi pemerintah),
dan Kepala Distributor perusahaan perunggasan dengan gelar sarjana Peternakan
(merepresentasi perusahaan inti dan mitra). Data yang dianalisis dari pakar
diharapkan representatif pada peternakan sektor 2 dan 3. Teknik yang digunakan
dalam penelitian ini adalah Failure Mode Effect Analysis (FMEA) dalam
mengidentifikasi faktor risiko dan Analytical Hierarchy Process (AHP) untuk
mementukan prioritas strategi penanggulangan AI.
Pengolahan dan Analisis Data
Pemetaan Risiko menggunakan Failure Mode Effect Analysis (FMEA)
Failure Mode Effect Analysis merupakan sebuah metodologi yang
digunakan untuk mengevaluasi kegagalan yang dapat terjadi dalam sebuah
sistem, desain, proses, atau pelayanan (service). Identifikasi kegagalan potensial
dilakukan dengan cara pemberian nilai atau skor pada masing-masing mode
kegagalan berdasarkan atas tingkat kejadian (occurrence), tingkat keparahan
(severity), dan tingkat deteksi (detection) (Stamatis, 1995).
Menurut Gasperzs 2013, Likelihood (L) berkaitan dengan kemungkinan
atau peluang terjadinya suatu risiko. Impact (I) berkaitan dengan dampak yang
akan terjadi terhadap kesehatan hewan. Sedangkan Detection (D) berkaitan
dengan tingkat efektivitas mode atau teknik deteksi dalam kemampuan
mendeteksi terjadinya suatu risiko. Nilai RPN (Risk Priority Number) merupakan
hasil perkalian dari Likelihood (L), Impact (I), dan Detection (D). Nilai Risk Score
merupakan hasil perkalian antara Likelihood (L) dan Impact (I).

7
Pemilihan Prioritas Strategi menggunakan Analytical Hierarchy Process
(AHP)
Analytical Hierarchy Process merupakan suatu model pendukung keputusan
yang dikembangkan oleh Thomas L. Saaty. Model pendukung keputusan ini akan
menguraikan masalah multi faktor atau multi kriteria yang kompleks menjadi
suatu hirarki. Dengan hirarki, suatu masalah yang kompleks dapat diuraikan ke
dalam kelompok-kelompoknya yang kemudian diatur menjadi suatu bentuk
hirarki sehingga permasalahan akan tampak lebih terstruktur dan sistematis.
Menurut Kusumaningrum (2006) ada tiga tahapan utama dalam teknik AHP.
Langkah pertama dalam proses ini adalah menyusun hierarki. Konstruksi secara
grafis berupa diagram bertingkat, yang dimulai dari Ultimate Goal, lalu kriteria
pada level pertama, sub kriteria dan alternatif. Tahapan selanjutnya, menyusun
matriks perbandingan berpasangan utuk kriteria dan alternatif untuk masingmasing kriteria. Elemen-elemen dari matriks perbandingan diperoleh dengan
membandingkan satu unsur operasi terhadap operasi lainnya untuk tingkat hierarki
yang sama. Skala yang digunakan untuk menilai perbandingan mengacu pada
Saaty (1990) dapat dilihat pada tabel 1 Skala Perbandingan Berpasangan Model
AHP. Langkah terakhir adalah penentuan prioritas kriteria dan alternatif strategi
dengan cara manipulasi matriks.
Tabel 1 Skala Perbandingan Berpasangan Model AHP
Intensitas
Kepentingan
1

Definisi
Sama Penting

3

Sedikit Lebih Penting

5

Lebih Penting

7

Sangat Lebih Penting

9

Mutlak Lebih Penting

2, 4, 6, 8

Resiprokal

Untuk kompromi antara
nilai-nilai di atas

Kebalikan

Keterangan
Dua kegiatan berkontribusi sama terhadap
tujuannya
Pengalaman dan penilaian suatu kegiatan sedikit
berkontribusi atas yang lain
Pengalaman dan penilaian suatu
kegiatan
berkontribusi sangat kuat atas yang lain,
menunjukkan dominasinya dalam praktek
Suatu kegiatan yang favorit berkontribusi sangat
kuat atas yang lain; menunjukkan dominasinya
dalam praktek
Bukti yang menguntungkan satu kegiatan di atas
yang lain merupakan kemungkinan urutan afirmasi
tertinggi
Kadang-kadang perlu melakukan interpolasi
penilaian kompromi secara numerik karena tidak
ada istilah yang pas untuk menggambarkan hal
tersebut
Jika elemen i memiliki salah satu angka dari skala
perbandingan 1 sampai 9 yang telah ditetapkan oleh
Saaty ketika dibandingkan dengan elemen j, maka j
memiliki kebalikannya ketika dibandingkan dengan
elemen i

Metode AHP dinilai efektif dalam pengetahuan kuantifikasi dan kualitatif
dengan mengukur dimensi tidak berwujud, khususnya dalam usaha untuk
memahami proses yang kompleks. Hal ini juga membantu untuk memperkuat
bukti-bukti yang berasal dari penelitian kualitatif, yang masih diperlukan dalam
penelitian medis dan kesehatan, dikarenakan kompleksitas bidang (Pecchia et al.
2011). Selain itu, menurut Ramanathan 2001, AHP dinilai memiliki fleksibilitas
untuk menggabungkan kuantitatif dan kualitatif faktor, untuk menangani berbagai
kelompok aktor, menggabungkan opini-opini ahli dan dapat membantu analisis
pada stake holder terkait.

8

HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Kejadian Flu Burung di Kabupaten Bogor
Populasi ayam ras pedaging di Kabupaten Bogor pada tahun 2012 sebesar
17.684.762 ekor, pada tahun 2013 mengalami peningkatan 19.783.144 ekor.
Kepadatan populasi penduduk di Kabupaten Bogor mencapai 4.771.932 orang
(BPS 2012). Aktifitas peternakan unggas di daerah Bogor sebagian besar
bentuknya sistem kemitraan atau bisa juga disebut Peternak Inti-Plasma (PIR).
Satu perusahaan inti biasanya memiliki 20-25 mitra binaan. Sistem PIR adalah
suatu sistem koperasi antara perusahaan peternakan (bertindak sebagai peternak
inti) dan peternak (plasma). Peternak inti menyediakan Day Old Chicken (DOC),
pakan, obat dan peralatan. Peternak plasma adalah pelaksana dan mengatur
peternakan unggas serta para pekerja. Distribusi unggas hidup yang siap jual ke
rumah potong unggas dan kolektor dikoordinir oleh peternak inti. Persetujuan
tertulis ditetapkan oleh peternak inti dan peternak plasma disesuaikan dengan
harga pasar, banyaknya produksi dan pembagian keuntungan (CENTRAS 2008).
Lalu lintas unggas di Jawa Barat sangat padat dan cepat. Peredaran lalau
lintas unggas melalui rantai pasokan unggas. Pengertian rantai pasokan unggas
adalah model alur aktifitas peternakan unggas yang memiliki anggota peternak,
perusahaan inti, RPHU, dan peternak plasma. Peredaran unggas dalam rantai
pasok inilah memperbesar kemungkinan persebaran virus AI. Dimulai dari lalu
lintas DOC yang melewati atau berasal dari daerah endemik AI, proses beternak
pada mitra yang kurang menerapkan biosekuriti hingga penjualan ayam sakit
untuk menghindari kerugian. Status Kabupaten Bogor hingga saat ini dinyatakan
endemik AI, data terakhir menyebutkan kasus AI ditemukan pada Desember 2012
di peternakan di daerah Parung Panjang dengan hasil rapid test dan tes
laboratorium positif tertular AI (Ditjennak 2013).
Identifikasi dan Pemetaan Risiko menggunakan FMEA

IV

I

III

II

Gambar 2 Peta faktor risiko kesehatan hewan terkait AI dengan teknik FMEA

9
Risiko kesehatan hewan yang menjadi variabel pada penelitian ini sebanyak
38 faktor (dapat dilihat pada tabel 2). Faktor risiko yang telah dinilai bobot
likelihood, impact, dan detection oleh pakar diolah menggunakan hitungan
matematis, sehingga didapat peta risiko. Hasil identifikasi dan klasifikasi variabel
risiko dalam peta risiko terdapat 4 kuadran yaitu kuadran I merupakan kuadran
risiko dengan nilai RPN dan Risk Score yang tinggi, kuadran II merupakan
kuadran risiko dengan nilai Risk Score tinggi dan RPN rendah. Kuadran III
merupakan kuadran risiko dengan nilai Risk Score dan RPN yang rendah. Dan
kuadran IV merupakan kuadran risiko dengan nilai RPN tinggi dan Risk Score
rendah (Gambar 2).
Tabel 2 Variabel risiko kesehatan hewan pada teknik FMEA
No

Variabel Risiko
Kuadran I

3
35
19
14
4
5
17
12
15
18

Tidak adanya tindakan desinfeksi terhadap pembeli/pengunjung yang keluar-masuk area peternakan
Fluktuasi curah hujan yang tinggi (efek Pemanasan global)
peternak kurang memahami cara beternak yang baik
Sistem pemantauan proses beternak di peternakan hingga ritel yang kurang berjalan dengan baik
Penanganan feses/limbah peternakan yang kurang terkelola
Kebersihan kandang (termasuk tempat pakan, tempat minum, peralatan kandang ) yang masih rendah
Ayam yang diduga sakit tidak diisolasi
Adanya penjualan ayam yang terduga sakit
Sistem pemeliharaan tidak all in all out
Penanganan ayam mati dibuang ke tempat sampah

20
16
36
34
38
37
25
13

peternak tidak menerapkan budidaya yang sesuai dengan Good farming Practise (GFP)
Masa istirahat kandang terlalu pendek
Kebersihan lingkungan kandang yang masih kurang
Transportasi pengangkutan unggas melewai daerah endemik Avian Influenza
Jarak antara peternakan dan rumah penduduk dekat
Lokasi kandang kurang ideal (ada peternakan komersial lainnya, mixed farm)
Peternak kurang memahami penerapan biosekuriti
Vaksinasi Avian Influenza belum dijalankan secara maksimal

7
8
10
24

Kebersihan tempat penyimpanan pakan yang masih dibawah standart
Membersihkan kandang dengan desinfektan yang kurang tepat
Kurangnya pengawasan terhadap distribusi penjualan
Rendahnya pengetahuan (penyebab, cara penularan dan pencegahan) peternak tentang bahaya flu
burung.
Informasi tentang Avian Influenza masih terbatas
Pergerakan pekerja kandang dan petugas kesehatan hewan yang kurang terpantau
Higiene personal pekerja kandang yang kurang dijaga
SOP penerapan program perusahaan yang kurang jelas dan tegas
Sumber air minum peternakan yang kurang bersih
Kesalahan peternak atau Pekerja (Human Error) (kesalahan dalam memilih DOC, pakan, obat-obatan,
penggunaan alat, kesalahan dalam menafsir jumlah produksi Poultry)
Bahan baku terlambat
Mutu bahan baku tidak sesuai standar
Bencana alam (banjir, gempa bumi) dan pemanasan global
Outcome minus dengan total cost jika menerapkan biosekuriti yang ketat
Transportasi pengadaan unggas belum memadai
Pengawasan daerah asal unggas (DOC) yang kurang ketat
Kontak dengan hewan liar, hewan pengerat masih tinggi
Harga vaksin yang tidak terjangkau
Sistem dan mekanisme transportasi pengangkutan yang harganya tinggi
Skala peternakanyang tidak besar

Kuadran III

Kuadran IV

26
23
22
27
6
21
1
2
32
29
11
9
33
28
31
30

10
Kuadran I memiliki Risk Score dan Risk Priority Number yang tinggi.
Menurut Gaspersz (2013), faktor risiko yang terdapat pada kuadran I harus
memperoleh perhatian serius dalam manajemen risiko. Kuadran I memiliki angka
RPN dan risk faktor yang tinggi, artinya peluang terjadinya dan dampaknya besar
serta metode deteksi yang kurang sensitif. Faktor risiko yang terklasifikasi pada
kuadran I diantaranya tindakan desinfeksi terhadap pembeli yang keluar-masuk
area peternakan, fluktuasi curah hujan yang tinggi (efek pemanasan global),
Sistem pemantauan proses beternak di peternakan hingga ritel yang kurang
berjalan dengan baik, penanganan feses/limbah peternakan yang kurang terkelola,
kebersihan kandang (termasuk tempat pakan, tempat minum, peralatan kandang)
yang masih rendah, ayam yang diduga sakit tidak diisolasi, adanya penjualan
ayam yang terduga sakit, sistem pemeliharaan tidak all in all out, penanganan
ayam mati dibuang ke tempat sampah.
Tindakan desinfeksi terhadap pembeli yang keluar-masuk area peternakan
menjadi faktor paling berisiko. Alas kaki dan pakaian yang belum didesinfeksi
diduga menjadi media penyebaran virus dari dalam ke luar kandang atau
sebaliknya. Hal ini sangat bertentangan dengan konsep biosekuriti, yakni biokontaimen (pencegahan terhadap datangnya virus infeksius) dan bio-eksklusi
(menjaga supaya virus yang ada tidak keluar atau menyebar) (FAO 2008). Alas
kaki yang tidak desinfeksi menginjak feses dari kandang dan menyebarluaskan
secara tidak langsung ke area luar kandang. Padahal, feses merupakan media
potensial dalam penyebaran virus AI (Fenner et al. 1995). Virus AI dapat
bertahan dalam feses pada suhu 20oC selama 7 hari atau 4oC pada rentang 30-35
hari.
Fluktuasi curah hujan yang tinggi di daerah Bogor juga menjadi salah satu
faktor predisposisi penyebaran AI. Fluktuasi curah hujan mempengaruhi
perubahan suhu lingkungan yang signifikan, perbedaan kelembaban udara, dan
perubahan arah bertiup angin, sehingga berpengaruh pada stamina tubuh ayam
sampai produktivitas ayam (Pribadi et al. 2013). Stamina tubuh ayam yang
menurun akan mempermudah infeksi virus dalam tubuh ayam. Selain itu, kondisi
suhu dan kelembaban yang fluktuatif akan mengakibatkan kandungan nutrisi yang
terkandung dalam ransum menurun akibat pertumbuhan kapang yang
menghasilkan mikotoksin. Efek atau pengaruh racun kapang ini terhadap ayam
ialah immunosuppressive atau menekan sistem kekebalan tubuh (Pribadi et al
2013). Faktor selanjutnya adalah peternak kurang memahami cara beternak yang
baik yang mengacu pada Good Farming Practices. FAO dan OIE (2009) telah
merancang panduan cara beternak pada Good Farming Practices, yang isinya
mencakup manajemen peternakan umum, manajemen kesehatan hewan, pakan
hewan dan sumber minum, lingkungan dan infrastuktur. Pemahaman yang baik
diperlukan agar jika mengalami wabah penyakit pada peternakan dapat ditangani
dengan tepat. Sehingga mereduksi risiko penyebaran penyakit di dalam
peternakan.
Faktor lainnya yaitu penanganan feses/limbah peternakan yang kurang
terkelola, kebersihan kandang (termasuk tempat pakan, tempat minum, peralatan
kandang) yang masih rendah, ayam yang diduga sakit tidak diisolasi, adanya
penjualan ayam yang terduga sakit, sistem pemeliharaan tidak all in all out,
penanganan ayam mati dibuang ke tempat sampah sangat berkaitan dengan aspek
sanitasi, lalu lintas dan isolasi pada biosekuriti. Sesuai dengan kesimpulan AHP

11
yaitu biosekuriti menjadi prioritas utama dalam penanggulangan AI. Hal ini sesuai
dengan PSE (2010), biosekuriti merupakan perlakuan pertama dari sembilan
tindakan pengendalian wabah dan dilakukan untuk mencegah semua
kemungkinan kontak dengan peternakan tertular dan agen penyebar penyakit.
Transmisi penyebaran virus AI yang paling utama melalui kontak langsung
burung/unggas terinfeksi atau virus pada feses dan eksudat hidung. Virus dapat
juga disebarkan melalui udara, peralatan, wadah telur, air, kendaraan dan
orang/pekerja. Maka dari itu, kebersihan kandang (tempat pakan, tempat minum,
peralatan kandang) perlu menjadi perhatian penting untuk memutus penyebaran
virus AI. Hal ini diperkuat dengan pernyataan FAO 2005 bahwa kandang dan
peralatan yang bersih dapat menghindarkan peternakan dari infeksi AI.
Perlakuan terhadap ayam yang mati seharusnya langsung dibakar, bukan
dikubur, dibuang ke tempat sampah, atau ke sungai. Hal ini berdasarkan pendapat
DeGlanville et al. (2010) bahwa penularan AI dapat terjadi water-borne yang
bersumber dari bangkai ayam terinfeksi AI yang dibuang di sungai. Sistem
pemantauan proses beternak di peternakan hingga ritel yang kurang berjalan
dengan baik merupakan risiko dengan angka terbesar ketiga. Sumber Daya
Manusia yang baik akan berimplikasi baik pula pada kegiatan beternak.
Sayangnya, SDM yang ada lebih sering memiliki kemampuan dan ketrampilan
yang terbatas, sehingga diperlukan peran ekstra dari pengawas perusahaan untuk
mengontrol maupun mengarahkan kinerja SDM. Keterbatasan tenaga pengawas
menjadi salah satu faktor lemahnya pemantauan proses operasional beternak.
Pada teknik AHP didapat hasil struktur hirarki strategi penanggulangan AI
yang meliputi faktor, pelaku, tujuan dan strategi secara umum. Sedangkan FMEA
memiliki hasil akhir berupa identifikasi bobot faktor risiko secara detail bukan
kelompok faktor. Identifikasi faktor yang ada pada kuadran I menunjukkan detail
masing-masing faktor yang tidak bisa didapat dari hasil AHP. Faktor risiko pada
kuadran I secara representatif menunjukkan peran dari keempat faktor yakni,
proses beternak, SDM, keuangan, dan lingkungan. Faktor yang lebih dominan
adalah proses beternak, hasil ini sedikit berbeda dengan hasil pembobotan AHP.
Penilaian secara akumulatif pada teknik AHP hasilnya adalah faktor SDM yang
bobotnya paling tinggi, selisih nilai keduanya tidak berbeda jauh yakni sebesar
0.5. Hal ini menunjukkan secara akumulatif faktor SDM yang paling dominan,
tetapi jika diteliti lebih detail akan terlihat faktor-faktor pada proses beternak yang
memerlukan perhatian serius dalam manajemen risiko. Selain itu, faktor SDM dan
beternak sangat erat kaitannnya. Sistem beternak yang baik tidak mungkin bisa
terealisasi jika SDM buruk, dan berlaku sebaliknya. Pendidikan tentang kesadaran
bahaya AI maupun biosekuriti perlu ditingkatkan pada pekerja kandang,
diharapkan akan menimbulkan sikap kehati-hatian dan tidak ceroboh dalam proses
beternak.
Faktor-faktor risiko lainnya yaitu sebanyak 8 faktor risiko terklasifikasi
pada kuadran II dan 20 faktor risiko sisanya terdapat pada kuadran III. Faktor
risiko yang terklasifikasi pada kuadran II bukan berarti faktor tersebut memiliki
nilai score risk yang kecil, melainkan faktor-faktor tersebut telah memiliki metode
deteksi yang tepat. Sehingga risiko yang berpeluang terjadi dapat diantisipasi
dengan tindakan preventif.

12
Penentuan Prioritas Strategi menggunakan AHP (Analytical Hierarchy
Process)
Berdasarkan penelitian terdahulu, studi literature, focus discussion group
maka pada penelitian ini diklasifikasi 4 faktor risiko. Risiko pada proses
beternak/sistem pemeliharaan merupakan risiko yang mungkin terjadi pada saat
proses memiara dan mengembangbiakkan hewan ternak berdasarkan Good
Farming Practices dan biosekuriti. Risiko keuangan adalah risiko yang
berhubungan dengan harga, outcome, income, dan biaya dalam proses beternak.
Risiko SDM yaitu factor risiko yang berkaitan dengan ketrampilan, ketelitian,
produktivitas, pengetahuan karyawan peternakan. Sedangkan factor lingkungan
ialah factor yang disebabkan oleh bencana alam, efek pemanasan global dan
kondisi lingkungan sekitar peternakan.
Prioritas Strategi Penanggulangan AI di Kabupaten Bogor

Proses Beternak

0.33
Perusahaan Inti

0.35

SDM
0.38

Keuangan
0.18

Lingkungan

Mitra
0.29

Pemerintah
0.21

Asosiasi
0.14

Menjamin Kualitas Pangan Asal hewan
0.36

Biosekuriti
0.30
Depopulasi
0.07

Vaksinasi
0.19

Meningkatkan Pendapatan
0.64

Pengawasan lalu
Lintas
0.12

Pengisian Kandang
Kembali
0.08

0.11

Surveilans
0.04

Pemusnahan
masal
0.07

Kesadaran
masyarakat
0.07
Pemantauan
0.06

Gambar 3 Bagan prioritas strategi penanggulangan AI di Kabupaten Bogor
Hasil pengolahan secara keseluruhan adalah faktor risiko SDM memiliki
nilai prioritas paling besar, yaitu 0.38 sehingga risiko SDM memiliki pengaruh
paling tinggi dalam penyebaran Avian Influenza. Faktor risiko SDM mencakup
pengetahuan serta penerapan biosekuriti, Good Farming Practice dan bahaya
Avian Influenza, serta higiene personal pekerja dan pergerakan pekerja kandang.
Pengetahuan menjadi hal yang sangat penting untuk terbentuknya perilaku dan
tindakan tanggap flu burung. Pemahaman pekerja kandang mengenai penyebab,
cara penularan, pencegahan dan bahaya flu burung diharapkan menimbulkan
kehati-hatian dalam proses beternak berbasis biosekuriti. Hal ini sesuai dengan
penelitian Natsir (2010) yang menyebutkan bahwa personil kandang yang kurang
memahami bahaya flu burung berisiko 4.371 kali lebih besar daripada yang
memiliki pemahaman cukup. Koordinasi yang selaras antara kepala pengelola
bagian operasional yang paham akan Good Farming Practice dengan pekerja

13
kandang diperlukan agar teori tersebut dapat diaplikasikan dalam proses beternak.
Sumber daya yang berkualitas dan handal berkontribusi dalam penerapan Good
Farming Practice dalam usaha untuk menanggulani AI. Komponen faktor risiko
SDM lainnya adalah pergerakan pekerja kandang yang kurang terpantau. Hal ini
diperkuat dengan pendapat Thomas et al. (2003), yang menyatakan bahwa
personil kandang maupun jasa pengangkut lebih berisiko dalam penyebaran virus
AI. DeGlanville (2010) menambahkan pergerakan pengumpul/kolektor unggas
memiliki peran penting dalam transmisi mekanis penyebaran AI.
Nilai prioritas tertinggi kedua setelah faktor SDM adalah proses beternak
yang memiliki bobot nilai 0.33. Faktor proses beternak dan SDM memiliki
pengaruh besar dalam penyebaran AI, jumlah bobot keduanya lebih dari 2/3
bagian keseluruhan faktor. Proses beternak terdapat banyak titik-titik riskan
penyebaran flu burung, sehingga perlu dilakukan tindakan preventif yakni
biosekuriti. Di samping itu vaksinasi memiliki peran yang hampir sama
pentingnya dengan biosekuriti. Vaksinasi terhadap AI dapat digunakan sebagai
pencegahan, keadaan darurat atau rutin dalam program-program kontrol untuk
HPAI dan LPAI (Swayne et al. 2011)
Selain itu, dalam proses beternak diperlukan waktu istirahat kandang yang
cukup untuk mengurangi virus pada kandang. Saat masa kering kandang juga
dilakukan desinfeksi yang bertujuan untuk membasmi virus. Sistem pemeliharaan
all in all out juga perlu diterapkan agar ayam tua yang sakit tidak menulari DOC
yang baru masuk. Penerapan all in all out penyakit akan musnah dalam 1 siklus
panen.
Berdasarkan hasil pengolahan data, aktor prioritas tertinggi terdapat pada
perusahaan inti, dapat disimpulkan bahwa perusahaan inti memiliki
kecenderungan menanggung risiko lebih tinggi dibanding aktor lain yakni sebesar
0.35. Fungsi dari perusahaan inti diantaranya sebagai penyedia peralatan kandang
dan sarana produksi ternak, membeli semua hasil produksi ternak dari peternak
mitra serta memberikan bimbingan dan penyuluhan terhadap peternak mitra sesuai
dengan standar perusahaan (Wijayanto et al. 2013). Singkatnya perusahaan inti
menjadi pemodal utama, hal ini dibuktikan dengan risiko keuangan memiliki porsi
paling besar yaitu 0.50. Aktor prioritas tertinggi kedua adalah mitra sebesar 0.29.
Kewajiban dari mitra yaitu sebagai penyedia kandang yang sesuai dengan
ketentuan perusahaan, menjalankan operasional proses beternak ayam ras
pedaging sesuai dengan standar perusahaan, serta menjual semua hasil produksi
ternak kepada perusahaan inti (Wijayanto et al. 2013). Kegiatan inti mitra yang
berhubungan dengan kegiatan lapang kegiatan beternak menyebabkan faktor
lingkungan dan proses beternak menjadi menjadi lebih berisiko. Aktor prioritas
berikutnya adalah pemerintah sebesar 0.21 dan asosiasi sebesar 0.14.
Pengendalian flu burung di Kabupaten Bogor memiliki tujuan utama untuk
meningkatkan pendapatan. Seperti yang telah diketahui, infeksi oleh virus High
Pathogenic Avian Influenza (HPAI) pada unggas ditandai dengan gejala yang
mendadak, berat dan berlangsung singkat (bersifat akut) dengan mortalitas
mancapai 90% atau lebih pada spesies yang rentan (Dharmayanti 2012). Hal ini
mengakibatkan kerugian ekonomis yang sangat besar terhadap industri ternak
unggas. Tujuan utama pengendalian flu burung pada aktor utama (mitra dan inti)
adalah meningkatkan pendapatan, sesuai dengan hasil pengolahan data yakni
sebesar 0.64.

14
Penanggulangan AI di Kabupaten Bogor berdasarkan 9 langkah strategis
secara berurutan yakni Pelaksanaan biosekuriti secara ketat dengan bobot 0.30,
pelaksanaan vaksinasi sebesar 0.19, pengendalian lalu lintas 0.12, pemusnahan
masal di daerah tertular baru, peningkatan kesadaran masyarakat, serta depopulasi
daerah tertular memiliki bobot prioritas yang sama besar, kemudian 2 langkah
strategis pada prioritas terakhir adalah pemantauan dan surveilans.
Biosekuriti adalah langkah-langkah yang dapat mengurangi risiko awal dan
penyebaran agen penyakit. Hal ini membutuhkan serangkaian adaptasi sikap dan
perilaku masyarakat untuk mengurangi risiko dalam semua kegiatan yang
melibatkan pekerja kandang, burung liar dan produk-produknya (FAO 2008).
Biosekuriti yang dimaksud dalam keputusan Dirjen BP Peternakan adalah
meningkatkan kegiatan biosekuriti praktis untuk mencegah masuknya penyakit di
peternakan meliputi: (a) isolasi (pagar kandang, itik sakit, kandang bibit/anakan
itik baru); (b) lalu lintas terhadap pekerja dan kendaraan; (c) pembersihan dan
desinfeksi terhadap kandang dan peralatan kandang (Mentan 2012). Tujuan utama
penerapan biosekuriti pada peternakan unggas yaitu, 1) meminimalisir keberadaan
penyebab penyakit, 2) meminimalisir kesempatan agen berhubungan dengan
induk semang dan 3) membuat tingkat kontaminasi lingkungan oleh agen penyakit
seminimal mungkin.
Pelaksanaan vaksinasi menjadi hal penting karena sampai saat ini dianggap
efektif dalam mencegah penyebaran virus. OIE dan FAO dalam pernyataan
bersama pada September 2004 menyatakan kebijakan vaksinasi unggas dalam
rangka mengendalikan AI ditetapkan oleh masing-masing negara berdasarkan
penilaian terhadap situasi yang terjadi di negaranya. Penerapan vaksinasi di
Hongkong telah berhasil menunjukkan bahwa pemantauan dan surveilans
terhadap peternakan yang divaksin dengan vaksin inaktif H5N2 dan ditantang
dengan virus H5N1 berhasil melindungi ayam dari penyakit dan menghentikan
penularan (Naipospos 2006). Keberhasilan dalam pengendalian dan pemberantas
infeksi, program vaksinasi harus menjadi bagian dari program strategi
pengendalian yang lebih luas (Capua dan Marangon 2006).
Pengendalian lalu lintas unggas juga perlu diperhatikan, apakah ada
perdagangan DOC unggas dari daerah endemik ke daerah bebas AI. Pengawasan
lalu lintas itik dan produknya mengacu pada SOP Pengendalian AI, dilakukan
oleh Dinas Peternakan setempat dari peternakan dan cek poin antar daerah.
Sedangkan Karantina Hewan di tempat-tempat pengeluaran dan pemasukan
dengan lalu lintas itik hidup dipersyaratkan dengan melampirkan hasil
laboratoriumuji PCR dengan hasil negatif AIsesuai SE Dirjen PKH 6 Desember
2012 (Mentan 2012). Seperti yang telah diketahui lalu lintas unggas di Bogor
sangat cepat dan padat, mengakibatkan pergerakan unggas dari daerah satu ke
daerah lain sulit dikontrol. Pemerintah juga mengakui keterbatasan dalam
mengontrol lalu lintas unggas. Maka dari itu, perlu dicapai sebuah solusi yakni
memperkuat koordinasi antardaerah dan memberlakukan Surat Keterangan
Kesehatan Hewan (SKKH).
Biosekuriti, vaksinasi, dan pengawasan lalu lintas menjadi hal yang paling
utama dalam pemberantasan AI dibanding strategi lainnya karena aktor yang
paling berpengaruh (inti dan mitra) memiliki kepentingan untuk meningkatkan
pendapatan. Sampai saat ini ketiga strategi tersebut dianggap efektif untuk
menanggulani wabah AI.

15
Urutan prioritas berikutnya berturut-turut pemusnahan masal di daerah
tertular baru, peningkatan kesadaran masyarakat, pengisian kandang kembali serta
depopulasi daerah tertular memiliki bobot sama besar 0.07. FAO dan WHO
merekomendasikan untuk melakukan pemusnahan masal unggas dalam
menangani wabah AI ganas untuk menghindari risiko terjadinya penularan
kepada manusia. McGrane (2007) menambahkan metode penanggulangan yang
ideal untuk mengatasi HPAI adalah menerapkan kebijakan pemusnahan masal ().
Depopulasi terbatas merupakan tindakan pemusnahan terbatas pada daerah
tertular baru. Kebijakan pemusnahan masal dan depopulasi cenderung kurang
diterapkan dalam peternakan karena menimbulkan dampak kerugian ekonomi
yang besar bagi peternak. Hal ini sangat bertentangan dengan tujuan utama
perusahaan inti dan mitra. Ditambah lagi ganti rugi dari pemerintah yang belum
bisa menutupi biaya total. Anggapan bahwa menerapkan biosekuriti yang ketat
lebih menguntungkan dari tindakan lain, benar-benar diyakini oleh perusahaan inti
dan mitra. Karena perusahaan inti lebih baik menanggung biaya preventif
(biosekuriti) yang lebih besar daripada memanen kerugian di akhir. Di samping
itu, peningkatan kesadaran masyarakat mengenai AI dirasa perlu dalam
menanggulani penyebaran AI.

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Hasil identifikasi didapat sebanyak 38 faktor risiko, yang diklasifikasi
dalam 4 kuadran. Faktor risiko yang diklasifikasikan dalam kuadran I harus
memperoleh perhatian serius dalam manajemen risiko, ada 10 faktor risiko pada
kuadran I. Faktor risiko yang terklasifikasi dalam kuadran I, diantaranya tindakan
desinfeksi terhadap pembeli yang keluar-masuk area peternakan, fluktuasi curah
hujan yang tinggi (efek pemanasan global), peternak kurang memahami cara
beternak yang baik, sistem pemantauan proses beternak di peternakan hingga ritel
yang kurang berjalan dengan baik, penanganan feses/limbah peternakan yang
kurang terkelola, kebersihan kandang (termasuk tempat pakan, tempat minum,
peralatan kandang) yang masih rendah, ayam yang diduga sakit tidak diisolasi,
adanya penjualan ayam yang terduga sakit, sistem pemeliharaan tidak all in all
out, penanganan ayam mati dibuang ke tempat sampah.
Strategi manajemen risiko yang memiliki prioritas utama adalah biosekuriti,
vaksinasi dan pengawasan lalu lintas. Pemberlakuan manajemen risiko diharapkan
dapat meningkatkan pendapatan Perusahaan Inti dan mitra. Faktor risiko yang
menjadi fokus utama dalam penanggulangan AI adalah Risiko SDM dan proses
beternak. Rekomendasi yang didapat adalah pendidikan tentang kesadaran bahaya
AI maupun biosekuriti perlu ditingkatkan pada