Keragaan Komposisi Jenis Dan Struktur Hutan Mangrove Serta Faktor Lingkungan Fisik Yang Mempengaruhinya Di Pulau Sebuku, Kalimantan Selatan

KERAGAAN KOMPOSISI JENIS DAN STRUKTUR
HUTAN MANGROVE SERTA FAKTOR LINGKUNGAN
FISIK YANG MEMPENGARUHINYA
DI PULAU SEBUKU, KALIMANTAN SELATAN

RADEN RODLYAN GHUFRONA

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Keragaan Komposisi
Jenis dan Struktur Hutan Mangrove serta Faktor Lingkungan Fisik yang
Mempengaruhinya di Pulau Sebuku, Kalimantan Selatan, adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir

tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2015

Raden Rodlyan Ghufrona
NIM E451110031

RINGKASAN
RADEN RODLYAN GHUFRONA. Keragaan Komposisi Jenis dan Struktur
Hutan Mangrove serta Faktor Lingkungan Fisik yang Mempengaruhinya di Pulau
Sebuku, Kalimantan Selatan. Dibimbing oleh CECEP KUSMANA dan OMO
RUSDIANA.
Hutan mangrove Pulau Sebuku, Kalimantan Selatan, merupakan bagian dari
kawasan Cagar Alam Selat Sebuku yang perlu dilindungi dan perkembangannya
harus berlangsung secara alami. Kelestarian fungsi hutan mangrove Pulau Sebuku
perlu didukung dengan kondisi lingkungan fisik yang sesuai untuk pertumbuhan
hutan mangrove. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji komposisi jenis dan
struktur hutan, mengkaji kondisi lingkungan fisik ekosistem hutan, dan

menganalisis keterkaitan antara faktor lingkungan fisik dengan keragaan hutan
(kerapatan dan potensi pohon) di hutan mangrove Pulau Sebuku, Kalimantan
Selatan.
Penelitian ini dilaksanakan melalui beberapa tahapan, antara lain: tahap
persiapan, penentuan desain sampling penelitian, pengumpulan data penelitian,
dan analisis data. Keterkaitan faktor lingkungan fisik terhadap keragaan hutan di
lokasi penelitian dianalisis dengan menggunakan metode analisis komponen
utama (Principal Component Analysis), adapun pengaruh faktor lingkungan fisik
terhadap keragaan hutan dianalisis menggunakan metode analisis regresi Partial
Least Square.
Hutan mangrove Pulau Sebuku memiliki keanekaragaman jenis yang rendah
dan kemerataan jenis yang tinggi. Total jenis pohon mangrove dan permudaannya,
serta habitus lainnya di lokasi tersebut teridentifikasi sebanyak 10 jenis, yang
terdiri atas: 8 jenis berupa pohon mangrove dan permudaannya (Bruguiera
gymnorrhiza, B. parviflora, Ceriops tagal, Rhizophora apiculata, R. mucronata,
Sonneratia alba, Heritiera littoralis, dan Xylocarpus granatum), 1 jenis berupa
palem-paleman (Nypa fruticans), dan 1 jenis berupa tumbuhan bawah
(Acrostichum aureum). Struktur horizontal hutan mangrove Pulau Sebuku
cenderung membentuk L-form, yang berkembang kearah uneven-age balanced
forest (hutan segala umur yang berimbang). Berdasarkan komposisi flora serta

struktur dan penampakan umum hutan, komunitas hutan mangrove Pulau Sebuku
dikelompokkan menjadi 3 tipe, antara lain: komunitas mangrove menyemak
(bakau-perepat), komunitas mangrove muda (bakau dan bakau-lenggadai), dan
komunitas nipah.
Dilihat dari karakteristik lingkungan fisiknya, hutan mangrove Pulau
Sebuku memiliki salinitas yang cukup rendah sampai dengan cukup tinggi; suhu
dan kelembaban udara yang cukup tinggi; tekstur tanah terdiri atas 4 kelas (liat,
lempung liat berpasir, liat berpasir, dan liat berdebu; kemasaman tanah yang
tergolong agak masam, masam, dan netral; kapasitas tukar kation yang tergolong
sedang sampai tinggi; kandungan C-organik tanah yang tergolong sangat tinggi,
N-total yang tergolong sedang, dan rasio C/N yang tergolong tinggi sampai sangat
tinggi; serta kandungan unsur hara (P, K, Ca, Mg, dan Na) tergolong sangat
tinggi.

Hasil analisis keterkaitan faktor lingkungan fisik dengan keragaan hutan
menunjukkan bahwa terdapat beberapa kelompok lokasi pengamatan yang
memiliki karakteristik faktor lingkungan fisik dan potensi pohon yang mirip
adalah sebagai berikut: (1) Sungai Selamet – Sungai Serakaman, (2) Sungai
Serakaman – Sungai Tarusan, (3) Sungai Serakaman – Sungai Merah, (4) Sungai
Merah – Sungai Tarusan, (5) Sungai Bali – Tanjung Mangkok, dan (6) Sungai

Dungun. Kedekatan karakteristik pada kelompok (1) dan (2) dicirikan oleh
kemasaman tanah (pH) dan kandungan unsur hara berupa C-organik, N-total, Ca,
dan Mg. Selain itu, kedekatan karakteristik kelompok (3) dicirikan oleh pH, KTK,
fraksi tanah liat, serta kandungan unsur hara berupa C-organik, N-total, K, Mg, Ca,
dan Na. Adapun kedekatan karakteristik (4) dicirikan oleh KTK, fraksi liat, serta
kandungan unsur hara K dan Na. Selain itu, hasil analisis pengaruh faktor
lingkungan fisik terhadap keragaan hutan menujukkan bahwa faktor lingkungan
fisik yang siginifikan berpengaruh terhadap total kerapatan pohon di hutan
mangrove Pulau Sebuku, antara lain: kandungan C-organik, N-total, P, dan K.
Adapun faktor lingkungan fisik yang berpengaruh terhadap total potensi pohon di
hutan mangrove Pulau Sebuku, antara lain: kandungan C-organik, N-total, P, K,
fraksi pasir, fraksi debu, dan fraksi liat.
Hutan mangrove Pulau Sebuku memiliki kondisi ekosistem yang sangat
rentan dari gangguan, baik dari akibat aktivitas pertambangan batu bara dan bijih
besi di sekitarnya maupun illegal logging yang dilakukan oleh masyarakat sekitar
untuk dibuat rumah maupun perahu untuk mencari ikan. Adanya gangguan
tersebut menyebabkan gangguan terhadap keragaan hutan mangrove maupun
faktor lingkungan fisiknya, sehingga tidak menutup kemungkinan terjadinya
gangguan pada fungsi ekosistem mangrove tersebut. Oleh karena itu, perlu adanya
kegiatan rehabilitasi dan restorasi ekosistem agar ekosistem pada hutan mangrove

Pulau Sebuku dapat lestari. Di sisi lain, sebagai cagar alam, perkembangan hutan
mangrove Pulau Sebuku perkembangannya harus berlangsung alami, tidak boleh
dilakukan kegiatan rehabilitasi yang dimaksudkan untuk menjaga kekhasan,
keaslian, keunikan, dan keterwakilan dari jenis flora dan fauna serta ekosistemnya.
Namun jika pemulihan hutan mangrove dibiarkan secara alami dan tekanan
gangguan dari illegal logging dan akibat aktivitas pertambangan di sekitar hutan
mangrove berlangsung terus menerus, maka tidak menutup kemungkinan
ekosistem mangrove di Pulau Sebuku akan rusak. Oleh karena itu, perlu dilakukan
perubahan fungsi kawasan hutan mangrove Pulau Sebuku dari cagar alam menjadi
fungsi kawasan lain yang dapat dilakukan rehabilitasi maupun restorasi dalam
rangka pemulihannya, seperti: suaka margasatwa, taman hutan raya, atau taman
wisata alam.
Kata kunci: Analisis keterkaitan, faktor lingkungan fisik, hutan mangrove,
komposisi jenis, struktur hutan.

SUMMARY
RADEN RODLYAN GHUFRONA. Performance of Species Composition and
Mangrove Forest Structure and Its Affected Physical Environment Factors in
Pulau Sebuku, South Kalimantan. Supervised by CECEP KUSMANA and OMO
RUSDIANA.

Pulau Sebuku mangrove forest, South Kalimantan, is part of Pulau Sebuku
Nature Reserve that needs to be protected as close as naturally. Preservation of
Pulau Sebuku mangrove forest needs to be supported by suitable physical
environment conditions to the growth of mangrove forest. This study aims to
explore the species composition and forest structure, condition of the physical
environment of forest ecosystems, and to analyze the relationship between
physical environment factors with the performance of the forest (density and
standing volume tree) in Pulau Sebuku mangrove forest, South Kalimantan.
This research was conducted through following phases: preparation phase,
determination of the sampling design research, research data collcetion, and data
analysis. Linkages physical environmental factors on the performance of the forest
in the study area were analyzed using principal component analysis method, while
the influence of the physical environment factors on the performance of forest
were analyzed using Partial Least Square regression analysis.
Pulau Sebuku mangrove forest has low species diversity and high evenness.
Total species of mangrove tree, forest regeneration, and other habitus in the
location identified as many as 10 species, consisting of: 8 species such as
mangrove tree and forest regeneration (B. gymnorrhiza, B. parviflora, C. tagal,
R. apiculata, R. mucronata, S. alba, H littoralis, and X. granatum), 1 species of
palm (N. fruticans), and 1 species of understorey (A. aureum). Horizontal

structure of Pulau Sebuku mangrove forest tend to L-form, which evolved towards
a balanced uneven-age forest. Based on the floristic composition and structure and
the general appearance of the forest, mangrove forest communities in Pulau
Sebuku classified into 3 types, i.e: shrubby mangrove community (bakau-perepat),
young mangrove community (bakau and bakau-lenggadai), and nypa community.
Based on the characteristics of the physical environment, Pulau Sebuku
mangrove forest has low up to quite high salinity; quite high temperature and
humidity; soil texture consists of 4 classes (clay, sandy clay loam, sandy clay, and
silt loam); soil acidity quite a bit sour, sour, and neutral; moderate to high cation
exchange capacity; very high soil organic C, moderate total of N, and high to very
high C/N ratio; and high of nutrients (P, K, Ca, Mg, and Na).
The results of linkage analysis of physical environment factors on the forest
performance (density and standing volume tree) showed that there are some sites
group that have a close characteristics, among others: (1) Sungai Selamet – Sungai
Serakaman, (2) Sungai Serakaman – Sungai Merah, (3) Sungai Serakaman –
Sungai Tarusan, (4) Sungai Merah – Sungai Tarusan, (5) Sungai Bali – Tanjung
Mangkok, and (6) Sungai Dungun. Similarity characteristics of sites group (1) and
(2) is characterized by soil acidity (pH) and nutrient content in the form of organic
C, total N, Ca, and Mg. In addition, similarity characteristics of sites group (3)
characterized by pH, CEC, clay fraction, as well as the nutrient content in the


form of organic C, total N, K, Mg, Ca, and Na. Similarity characteristics of sites
group (4) is characterized by CEC, clay fraction, as well as the nutrient content of
K and Na. In addition, the results of analysis of environmental factors influence
on forest performance showed that physical environmental factors that
significantly affect to total tree density in Pulau Sebuku mangrove forest are: the
content of organic C, total-N, P, and K. The physical environment factors that
affect total standing volume in Pulau Sebuku mangrove forest are: the content of
organic C, total-N, P, K, sand fraction, dust fraction, and clay fraction.
Pulau Sebuku mangrove forest have a very fragile ecosystem conditions
from interference, whether as a result of the activity of mining coal and iron ore in
the vicinity as well as illegal logging of that undertaken by the local community to
make the house and boat for fishing. Those disturbance causes disruption to the
mangrove forest performance and its physical environment factors, so do not rule
out the possibility of interference on its mangrove ecosystem function. Therefore,
the need for ecosystem rehabilitation and restoration that mangrove forest
ecosystem Sebuku be sustained. On the other hand, as a nature reserve, Pulau
Sebuku mangrove forest development should take place naturally, should not be
carried out rehabilitation activities that are intended to maintain the distinctiveness,
authenticity, uniqueness, and representation of species of flora, fauna, and

ecosystem. But if restoration of mangrove forests left naturally and pressure
interference from illegal logging and mining activities result in around mangroves
continues, then it is possible that mangrove ecosystem in Pulau Sebuku will be
damaged. Therefore, it is necessary to change the function of Pulau Sebuku
mangrove forest of the nature reserve to be a function of other areas to do the
rehabilitation and restoration in the context of recovery, such as: wildlife (suaka
margasatwa), forest park (taman hutan raya), or natural park (taman wisata alam).
Keywords: Forest structure, lingkage analysis, mangrove forest, physical
environment factor, species composition.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


KERAGAAN KOMPOSISI JENIS DAN STRUKTUR
HUTAN MANGROVE SERTA FAKTOR LINGKUNGAN
FISIK YANG MEMPENGARUHINYA
DI PULAU SEBUKU, KALIMANTAN SELATAN

RADEN RODLYAN GHUFRONA

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Silvikultur Tropika

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

Penguji luar komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Istomo, MS


Judul Tesis : Keragaan Komposisi Jenis dan Struktur Hutan Mangrove serta
Faktor Lingkungan Fisik yang Mempengaruhinya di Pulau Sebuku,
Kalimantan Selatan
Nama
: Raden Rodlyan Ghufrona
NIM
: E451110031

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Cecep Kusmana, MS
Ketua

Dr Ir Omo Rusdiana, MScFTrop
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Silvikultur Tropika

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof Dr Ir Sri Wilarso Budi R, MS

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 3 Februari 2015

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga proposal penelitian ini berhasil diselesaikan. Tema
yang dipilih dalam penelitian ini ialah keterkaitan pengaruh faktor lingkungan
fisik terhadap keragaman dan kekayaan mangrove, dengan judul Keragaan dan
Analisis Pengaruh Faktor Lingkungan Fisik terhadap Komposisi Jenis dan
Struktur Hutan Mangrove di Pulau Sebuku, Kalimantan Selatan.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir Cecep Kusmana,
MS, dan Bapak Dr Ir Omo Rusdiana, MScFTrop, selaku dosen pembimbing. Di
samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada segenap staf Balai
Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) Kalimantan Selatan, PT Bahari
Cakrawala Sebuku (PT BCS), Pusat Pengkajian Perencanaan dan Pengembangan
Wilayah (P4W) LPPM IPB, dan Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan IPB,
yang telah membantu memberikan izin dan dukungan dalam pengumpulan data.
Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada suami tercinta Hendro
Zulkarnain, SHut; Ibunda Hj Winda Lina, BAc, SPdI, MMPd; Ibu Hj Nunuk
Triastuti; Ayah Drs H Mad Yani; seluruh keluarga, sahabat, dan rekan-rekan
Silvikultur Tropika 2011 atas segala doa dan dukungannya; serta tidak lupa
kepada Almarhum Ayahanda Dr Ir H R Sunsun Saefulhakim, MAgr, yang selalu
menginspirasi.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Februari 2015
Raden Rodlyan Ghufrona

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

iv

DAFTAR GAMBAR

iv

DAFTAR LAMPIRAN

v

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
Kerangka Pemikiran

1
1
2
2
2
3
3

2 TINJAUAN PUSTAKA
Keragaan Komposisi Jenis dan Struktur Hutan
Ekosistem Mangrove
Struktur dan Zonasi Mangrove
Faktor-faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Mangrove
Keterkaitan Faktor Lingkungan Fisik dengan Kondisi Vegetasi
Pengaruh Faktor Lingkungan Fisik terhadap Keragaan Hutan

5
5
6
7
8
10
12

3 METODE
Waktu dan Lokasi Penelitian
Bahan dan Alat
Prosedur Penelitian
Tahap Persiapan
Penentuan Desain Sampling Penelitian
Pengumpulan Data Penelitian
Analisis Data

13
13
13
14
14
14
15
17

4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Lokasi Penelitian
Letak dan Luas
Topografi dan Bentuk Lahan
Tanah
Hidrologi
Penggunaan Lahan
Fauna (Satwa Liar)
Sosial Ekonomi Masyarakat
Keragaan Hutan Mangrove Pulau Sebuku, Kalimantan Selatan
Komposisi Jenis
Jumlah Jenis
Jenis Dominan dan Tipe Komunitas Mangrove
Keanekaragaman Jenis
Kemerataan Jenis
Dominansi Jenis
Struktur Hutan
Struktur Horizontal

20
20
20
20
20
20
21
22
23
24
24
24
26
30
30
31
32
32

Struktur Vertikal (Stratifikasi Tajuk)
Kesamaan Komunitas Vegetasi
Karakteristik Lingkungan Fisik Mangrove
Salinitas
Suhu dan Kelembaban Udara
Sifat Fisik Tanah
Sifat Kimia Tanah
Derajat kemasaman tanah (pH)
Bahan organik
Kapasitas tukar kation (KTK)
Kandungan unsur hara
Keterkaitan Faktor Lingkungan Fisik dengan Keragaan Hutan Mangrove
Pulau Sebuku
Keterkaitan Faktor Lingkungan Fisik dengan Kerapatan Pohon
Keterkaitan Faktor Lingkungan Fisik dengan Potensi Pohon
Pengaruh Faktor Lingkungan Fisik terhadap Keragaan Hutan Mangrove
Pulau Sebuku
Pembahasan
Keragaan Hutan Mangrove Pulau Sebuku, Kalimantan Selatan
Karakteristik Lingkungan Fisik Hutan Mangrove
Keterkaitan Faktor Lingkungan Fisik dengan Keragaan Hutan
Mangrove Pulau Sebuku
Zonasi Hutan Mangrove Pulau Sebuku berdasarkan Keterkaitan
Faktor Lingkungan Fisik dengan Keragaan Hutan
Rekomendasi Pengelolaan Hutan Mangrove Pulau Sebuku

33
35
36
36
37
38
39
39
39
40
41
41
42
43
45
46
46
48
50
51
53

5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

55
55
55

DAFTAR PUSTAKA

56

LAMPIRAN

59

RIWAYAT HIDUP

72

DAFTAR TABEL
1 Jenis dan metode pengumpulan data
2 Kriteria pohon dan permudaan serta bentuk hidup tumbuhan lainnya
yang diamati
3 Karakteristik sungai utama di Pulau Sebuku pada saat pasang naik
(pasang) dan pasang turun (surut)
4 Penggunaan lahan di Pulau Sebuku, Kalimantan Selatan
5 Jenis-jenis satwa liar yang berada di Pulau Sebuku Kalimantan Selatan
6 Keadaan penduduk setiap desa di Kecamatan Pulau Sebuku
7 Daftar jenis pohon dan permudaannya, serta habitus lainnya yang
ditemukan di hutan mangrove Pulau Sebuku, Kalimantan Selatan
8 Jenis pohon mangrove dominan dan kodominan dan permudaanya, serta
tipe komunitas mangrove pada setiap lokasi pengamatan di hutan
mangrove Pulau Sebuku Kalimantan Selatan
9 Kerapatan individu populasi pohon berdiameter ≥ 10 cm untuk setiap
kelas diameter pohon pada setiap lokasi pengamatan di hutan mangrove
Pulau Sebuku
10 Potensi pohon setiap kelas diameter pada tiap lokasi pengamatan di
hutan mangrove Pulau Sebuku, Kalimantan Selatan
11 Jumlah pohon setiap strata tajuk pada setiap lokasi pengamatan di hutan
mangrove Pulau Sebuku, Kalimantan Selatan
12 Kesamaan komunitas pada setiap lokasi pengamatan di hutan mangrove
Pulau Sebuku, Kalimantan Selatan
13 Tekstur tanah pada setiap lokasi pengamatan di hutan mangrove Pulau
Sebuku, Kalimantan Selatan
14 Komposisi bahan organik tanah pada setiap lokasi pengamatan di hutan
mangrove Pulau Sebuku
15 Kandungan unsur hara tanah pada setiap lokasi pengamatan di hutan
mangrove Pulau Sebuku
16 Karakteristik lingkungan fisik dan kerapatan individu pada setiap
kelompok lokasi pengamatan yang memiliki kedekatan karakteristik di
hutan mangrove Pulau Sebuku
17 Karakteristik lingkungan fisik dan kerapatan individu pada setiap
kelompok lokasi pengamatan yang memiliki kedekatan karakteristik di
hutan mangrove Pulau Sebuku
18 Nilai koefisien β dan t-hitung pengaruh faktor lingkungan fisik terhadap
kerapatan dan potensi pohon berdasarkan hasil analisis regresi PLS

15
16
21
21
22
23
25

26

32
33
34
36
38
40
41

43

44
46

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5

Kerangka pikir penelitian
Peta lokasi penelitian
Desain penempatan titik pengamatan di lokasi penelitian
Desain petak contoh berupa jalur berpetak
Kondisi tegakan hutan mangrove Pulau Sebuku dilihat dari Selat
Sebuku

4
13
14
15
24

6 Jumlah jenis pohon dan permudaannya, serta bentuk habitus lainnya di
hutan mangrove Pulau Sebuku Kalimantan Selatan
7 Hutan mangrove dengan tipe komunitas mangrove bakau di Sungai
Selamet, Pulau Sebuku, Kalimantan Selatan
8 Hutan mangrove dengan tipe komunitas mangrove bakau-lengadai di
Sungai Serakaman, Pulau Sebuku, Kalimantan Selatan
9 Hutan mangrove dengan tipe komunitas mangrove bakau-perepat di
Sungai Bali, Pulau Sebuku, Kalimantan Selatan
10 Tipe komunitas nipah di pinggir sungai Dungun, Pulau Sebuku,
Kalimantan Selatan
11 Kondisi keanekaragaman jenis pohon mangrove dan permudaannya
pada setiap lokasi pengamatan di hutan mangrove Pulau Sebuku
12 Kondisi kemerataan jenis pohon mangrove dan permudaannya pada
setiap lokasi pengamatan di hutan mangrove Pulau Sebuku Kalimantan
Selatan
13 Dominansi jenis pohon mangrove dan permudaannya pada setiap lokasi
pengamatan di hutan mangrove Pulau Sebuku
14 Struktur horizontal tegakan hutan mangrove di Pulau Sebuku
Kalimantan Selatan
15 Kondisi struktur vertikal komunitas mangrove pada tiap lokasi
pengamatan di hutan mangrove Pulau Sebuku, Kalimantan Selatan
16 Profil tajuk hutan mangrove pada setiap lokasi pengamatan di hutan
mangrove Pulau Sebuku
17 Salinitas pada setiap lokasi pengamatan di hutan mangrove Pulau
Sebuku, Kalimantan Selatan
18 Rata-rata suhu udara harian pada setiap lokasi pengamatan di hutan
mangrove Pulau Sebuku, Kalimantan Selatan.
19 Rata-rata kelembaban udara harian pada setiap lokasi pengamatan di
hutan mangrove Pulau Sebuku, Kalimantan Selatan
20 Persentase komposisi tekstur tanah pada tiap lokasi pengamatan di
hutan mangrove Pulau Sebuku
21 Kondisi kemasaman tanah (pH) pada setiap lokasi pengamatan di hutan
mangrove Pulau Sebuku
22 Kondisi KTK pada setiap lokasi pengamatan di hutan mangrove Pulau
Sebuku, Kalimantan Selatan
23 Hasil analisis komponen utama keterkaitan faktor lingkungan fisik
dengan kerapatan individu setiap lokasi pengamatan di hutan mangrove
Pulau Sebuku, Kalimantan Selatan
24 Hasil analisis komponen utama keterkaitan faktor lingkungan fisik
dengan potensi pohon setiap lokasi pengamatan di hutan mangrove
Pulau Sebuku, Kalimantan Selatan

25
28
28
29
29
30

31
31
33
34
35
37
37
38
39
39
40

42

44

DAFTAR LAMPIRAN
1 Peta jenis tanah di Pulau Sebuku, Kalimantan Selatan
2 Peta hidrogeologi di Pulau Sebuku, Kalimantan Selatan
3 Peta penggunaan lahan Tahun 2011 di Pulau Sebuku, Kalimantan
Selatan

59
60
61

4 Nilai kerapatan, frekuensi, dominansi, dan indeks nilai penting pohon
dan permudaaannya, serta tipe habitus lainnya di Sungai Selamet, Pulau
Sebuku
5 Nilai kerapatan, frekuensi, dominansi, dan indeks nilai penting pohon
dan permudaaannya, serta tipe habitus lainnya di Sungai Serakaman,
Pulau Sebuku
6 Nilai kerapatan, frekuensi, dominansi, dan indeks nilai penting pohon
dan permudaaannya, serta tipe habitus lainnya di Sungai Merah, Pulau
Sebuku
7 Nilai kerapatan, frekuensi, dominansi, dan indeks nilai penting pohon
dan permudaaannya, serta tipe habitus lainnya di Sungai Tarusan, Pulau
Sebuku
8 Nilai kerapatan, frekuensi, dominansi, dan indeks nilai penting pohon
dan permudaaannya, serta tipe habitus lainnya di Sungai Dungun, Pulau
Sebuku
9 Nilai kerapatan, frekuensi, dominansi, dan indeks nilai penting pohon
dan permudaaannya, serta tipe habitus lainnya di Sungai Bali, Pulau
Sebuku
10 Nilai kerapatan, frekuensi, dominansi, dan indeks nilai penting pohon
dan permudaaannya, serta tipe habitus lainnya di Tanjung Mangkok,
Pulau Sebuku
11 Kriteria penilaian sifat kimia tanah
12 Hasil PCA keterkaitan faktor lingkungan fisik terhadap kerapatan
pohon di hutan mangrove Pulau Sebuku
13 Hasil PCA keterkaitan faktor lingkungan fisik terhadap potensi pohon
di hutan mangrove Pulau Sebuku
14 Hasil analisis regresi partial least square (PLS) pengaruh tekstur tanah
(fraksi debu, fraksi liat, dan fraksi pasir) terhadap kerapatan pohon di
lokasi penelitian
15 Hasil analisis regresi partial least square (PLS) pengaruh kandungan
unsur hara primer berupa C-organik, N-total, K dan P terhadap
kerapatan pohon di lokasi penelitian
16 Hasil analisis regresi partial least square (PLS) pengaruh kandungan
unsur hara sekunder berupa Ca, Mg, dan Na terhadap kerapatan pohon
di lokasi penelitian
17 Hasil analisis regresi partial least square (PLS) pengaruh salinitas,
suhu udara, kelembaban udara (RH), kemasaman tanah (pH), dan
Kapasitas Tukar Kation (KTK) terhadap kerapatan pohon di lokasi
penelitian
18 Hasil analisis regresi partial least square (PLS) pengaruh tekstur tanah
(fraksi debu, fraksi liat, dan fraksi pasir) terhadap potensi pohon di
lokasi penelitian
19 Hasil analisis regresi partial least square (PLS) pengaruh kandungan
unsur hara primer berupa C-organik, N-total, K dan P terhadap potensi
pohon di lokasi penelitian
20 Hasil analisis regresi partial least square (PLS) pengaruh kandungan
unsur hara sekunder berupa Ca, Mg, dan Na terhadap potensi pohon di
lokasi penelitian

63

63

64

64

65

66

66
67
68
69

70

70

70

70

71

71

71

21 Hasil analisis regresi partial least square (PLS) pengaruh salinitas,
suhu udara, kelembaban udara (RH), kemasaman tanah (pH), dan
Kapasitas Tukar Kation (KTK) terhadap potensi pohon di lokasi
penelitian

71

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ekosistem mangrove merupakan suatu ekosistem khas di wilayah pesisir
yang merupakan tempat berlangsungnya hubungan timbal balik antara komponen
abiotik seperti senyawa anorganik, organik dan iklim (pasang surut, salinitas, dan
lain-lain) dengan komponen biotik seperti produsen (vegetasi, plankton),
konsumen makro (serangga, ikan, burung, buaya, dan lain-lain). Hutan mangrove
sebagai bagian dari ekosistem mangrove telah mengalami penurunan, baik dalam
hal penurunan kualitas fungsi ekosistem mangrove maupun kuantitas berupa
penurunan luasan hutan mangrovenya. FAO (2007) melaporkan bahwa telah
terjadi degradasi hutan mangrove dunia seluas 5 juta hektar (20%) dalam kurun
waktu 20 tahun. Adapun Hence (2010) melaporkan degradasi hutan mangrove di
Indonesia adalah seluas 35% dalam kurun waktu 18 tahun (1982–2000).
Terjadinya penurunan kualitas dan kuantitas hutan mangrove tersebut disebabkan
oleh adanya kegiatan eksploitasi hutan yang berlebihan; konversi hutan menjadi
areal pertanian, pemukiman, industri, dan sebagainya; kontaminasi; bencana alam;
serta kenaikan muka air laut akibat pemanasan global.
Indonesia merupakan negara yang memiliki luas mangrove terluas di tingkat
dunia, yaitu seluas 19%. Hutan mangrove di Indonesia mencapai luasan sebesar
3 244 018.64 ha yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia, termasuk hutan
mangrove yang berada di Pulau Sebuku Kalimantan Selatan seluas sekitar 3 341
ha.
Hutan mangrove di Pulau Sebuku Kalimantan Selatan merupakan bagian
dari kawasan suaka alam dengan tipe ekosistem mangrove yang berada di
kawasan Cagar Alam Selat Sebuku di bawah pengelolaan Balai Konservasi
Sumberdaya Alam Kalimantan Selatan. Sebagai bagian dari kawasan suaka alam,
hutan mangrove di Pulau Sebuku perlu dilindungi dan perkembangannya harus
berlangsung secara alami. Keberadaan hutan mangrove sangat penting karena
berfungsi sebagai habitat berbagai jenis hewan, seperti kepiting, moluska, udang,
burung, dan serangga; sebagai areal perlindungan dan pembibitan bagi ikan-ikan
juvenil; serta menghasilkan produk kayu dan non kayu seperti arang, makanan
ternak, kayu bakar, makanan dan obat-obatan. Selain itu, hutan mangrove juga
menghasilkan berbagai jasa lingkungan, seperti menstabilkan garis pantai
(perlindungan terhadap abrasi, angin topan, dan tsunami), mengendalikan kualitas
air (perlindungan terhadap intrusi air laut dan pemurnian air tercemar), dan
mitigasi perubahan iklim global (ekosistem yang sangat produktif untuk
mengurangi CO2 di atmosfer). Hutan mangrove dapat menyerap CO2 sebesar 500600 ton CO2/ha/tahun (Cahyaningrum et al. 2014).
Kelestarian fungsi hutan mangrove Pulau Sebuku perlu didukung dengan
kondisi lingkungan fisik yang sesuai dengan pertumbuhan hutan mangrove.
Adanya perubahan pemanfaatan lahan di sekitar hutan mangrove Pulau Sebuku
berupa kegiatan pertambangan bijih besi dan batu bara dari beberapa perusahaan
tambang yang berpotensi mengakibatkan adanya perubahan kondisi lingkungan
fisik, baik karena kegiatan tambang tersebut maupun akibat perubahan
penggunaan lahannya, sehingga kelestarian fungsi ekosistem mangrove di Pulau

2
Sebuku menjadi terancam. Oleh karena itu, penelitian yang mengkaji keterkaitan
antara faktor lingkungan fisik terhadap kondisi hutan mangrove di Pulau Sebuku
Kalimantan Selatan sangat penting dilakukan. Selain itu, komposisi jenis, struktur,
dan kekayaan jenis vegetasi mangrove di Pulau Sebuku Kalimantan Selatan belum
seluruhnya teridentifikasi dan terdokumentasikan dengan baik, baik dari tingkat
pohon, pancang, semai, maupun tumbuhan bawah. Oleh karena itu, penelitian ini
diarahkan untuk mengkaji komposisi jenis dan struktur hutan mangrove berikut
kajian pengaruh faktor fisik lingkungan terhadap tegakan hutan mangrove
tersebut.
Perumusan Masalah
Hutan mangrove Pulau Sebuku, Kalimantan Selatan, merupakan bagian dari
kawasan suaka alam dengan tipe ekosistem mangrove yang berada di kawasan
Cagar Alam Selat Sebuku di bawah pengelolaan Balai Konservasi Sumberdaya
Alam Kalimantan Selatan. Sebagai bagian dari kawasan suaka alam, Hutan
Mangrove Pulau Sebuku perlu dilindungi dan perkembangannya harus
berlangsung secara alami. Kelestarian fungsi hutan mangrove Pulau Sebuku perlu
didukung dengan kondisi lingkungan fisik yang sesuai dengan pertumbuhan hutan
mangrove. Adanya perubahan pemanfaatan lahan di sekitar hutan mangrove Pulau
Sebuku berupa kegiatan pertambangan biji besi dan batu bara dari beberapa
perusahaan tambang diprediksi mengakibatkan adanya perubahan kondisi
lingkungan fisik, baik karena kegiatan tambang tersebut maupun akibat perubahan
penggunaan lahannya, sehingga kelestarian ekosistem mangrove di Pulau Sebuku
menjadi terancam. Oleh karena itu, perlu dikaji beberapa permasalahan sebagai
berikut:
1. Bagaimana komposisi jenis tumbuhan di hutan mangrove Pulau Sebuku,
Kalimantan Selatan?
2. Bagaimana struktur hutan mangrove Pulau Sebuku, Kalimantan Selatan?
3. Bagaimana kondisi lingkungan fisik ekosistem hutan mangrove di Pulau
Sebuku, Kalimantan Selatan?
4. Bagaimana pengaruh faktor lingkungan fisik terhadap komposisi jenis dan
struktur hutan mangrove di Pulau Sebuku, Kalimantan Selatan?

Tujuan Penelitian
1.
2.
3.

Penelitian ini bertujuan untuk:
Mengkaji keragaan komposisi jenis dan struktur hutan mangrove Pulau
Sebuku, Kalimantan Selatan;
Mengkaji kondisi lingkungan fisik hutan mangrove Pulau Sebuku,
Kalimantan Selatan;
Menganalisis keterkaitan antara faktor lingkungan fisik dengan keragaan
hutan mangrove Pulau Sebuku, Kalimantan Selatan.

3
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Memberikan informasi mengenai kondisi komposisi jenis dan struktur hutan
mangrove di Pulau Sebuku Kalimantan Selatan yang dapat memperkaya data
keanekaragaman hayati Cagar Alam Selat Sebuku, Balai Konservasi
Sumberdaya Alam Kalimantan Selatan;
2. Memberikan informasi mengenai jenis-jenis mangrove yang dapat beradaptasi
hutan mangrove di sekitar kawasan pertambangan sehingga dapat dijadikan
pertimbangan keputusan dalam pengelolaan hutan mangrove Pulau Sebuku;
3. Memberikan informasi dasar pengelolaan hutan mangrove Pulau Sebuku agar
dapat fungsi ekosistemnya dapat lestari.

Ruang Lingkup Penelitian
1.
2.
3.

Ruang lingkup penelitian ini adalah sebagai berikut:
Kajian kondisi umum lingkungan fisik ekosistem hutan mangrove Pulau
Sebuku, Kalimantan Selatan;
Kajian keragaan komposisi jenis dan struktur tegakan hutan mangrove Pulau
Sebuku, Kalimantan Selatan;
Analisis keterkaitan antara faktor lingkungan fisik dengan keragaan hutan
mangrove Pulau Sebuku, Kalimantan Selatan.
Kerangka Pemikiran

Ekosistem mangrove merupakan ekosistem hutan yang khas dan penting
karena berbagai macam fungsinya, terutama sebagai penghasil jasa lingkungan.
Fungsi ekosistem mangrove tersebut terancam dengan adanya penurunan kualitas
dan kuantitas hutan mangrove yang diakibatkan oleh eksploitasi hutan yang
berlebihan, konversi hutan, kontaminasi, bencana alam, dan kenaikan muka air
laut akibat pemanasan global. Hutan mangrove Pulau Sebuku, Kalimantan Selatan,
sebagai kawasan suaka alam hutan mangrove yang berada di salah satu pulaupulau kecil di Indonesia juga terancam keberlanjutan fungsi ekosistemnya karena
terjadinya pemanfaatan pertambangan batu bara di sekitar hutannya. Oleh karena
itu, diperlukan kajian yang menganalisis kondisi ekologi hutan mangrove di Pulau
Sebuku dan kondisi lingkungan sekitar hutannya. Dari kajian tersebut dapat
dilakukan analisis faktor lingkungan fisik terhadap struktur dan komposisi hutan,
serta kekayaan jenis tumbuhan di hutan mangrove Pulau Sebuku Kalimantan
Selatan, sehingga dapat diketahui keterkaitan antara faktor lingkungan fisik
terhadap struktur dan komposisi hutan, serta kekayaan jenis tumbuhan di hutan
tersebut. Kerangka pikir penelitian ini dituangkan dalam bagan alir seperti yang
disajikan pada Gambar 1.

4

Gambar 1 Kerangka pikir penelitian.

5

2 TINJAUAN PUSTAKA
Keragaan Komposisi Jenis dan Struktur Hutan
Keragaan hutan (forest performance) dapat dijelaskan melalui gambaran
komposisi jenis dan struktur hutan. Richard (1966), Mueller-Dombois dan
Ellenberg (1974), menggunakan istilah komposisi untuk menyatakan kekayaan
floristik hutan. Kekayaan floristik hutan tropika sangat erat hubungannya dengan
kondisi lingkungan seperti iklim, tanah dan cahaya. Adapun Soerianegara dan
Indrawan (2005) menambahkan bahwa komposisi jenis dapat dibedakan antara
populasi (satu jenis) dan komunitas (beberapa jenis). Interaksi dalam satu
komunitas tercermin dari struktur dan komposisi vegetasi. Komposisi masyarakat
tumbuhan dapat diartikan sebagai variasi jenis flora yang menyusun satu
komunitas. Komposisi jenis tumbuhan merupakan daftar floristik dari jenis
tumbuhan yang ada dalam satu komunitas (Misra 1980). Richard (1966)
menggunakan istilah komposisi jenis untuk menyatakan keberadaan jenis-jenis
pohon dalam hutan.
Adapun struktur hutan adalah susunan bentuk (life form) dari suatu vegetasi
yang merupakan karakteristik yang kompleks, dapat digunakan dalam penentuan
stratifikasi (vertikal dan horizontal) dan menjadi dasar dalam melihat jenis-jenis
dominan, kodominan, dan tertekan (Richard 1966). Struktur vertikal sangat
berguna berkaitan dengan kebutuhan cahaya, yaitu toleransi satu jenis vegetasi
terhadap cahaya matahari (Smith 1977). Struktur hutan merupakan hasil penataan
ruang oleh komponen penyusun tegakan dan bentuk hidup, stratifikasi dan
penutupan vegetasi yang digambarkan melalui kelas diameter, tinggi, penyebaran
dalam ruang, keanekaragaman, tajuk, serta kesinambungan jenis.
Dalam studi ekologi hutan, struktur hutan terdiri atas lima tingkatan, yaitu
fisiognomi vegetasi, struktur biomassa, struktur bentuk hidup (life form), struktur
floristik, dan struktur tegakan (Mueller-Dombois & Ellenberg 1974). Struktur
vegetasi terdiri atas tiga komponen utama (Kershaw 1964 dalam MuellerDombois & Ellenberg 1974) antara lain:
a. Struktur vertikal misalnya stratifikasi tajuk
b. Struktur horizontal misalnya penyebaran jenis dalam suatu populasi
c. Struktur kuantitatif misalnya kepadatan setiap jenis dalam suatu komunitas.
Stratifikasi yang terjadi dalam satu tumbuh-tumbuhan di hutan terjadi karena
adanya persaingan dimana jenis-jenis tertentu berkuasa (dominan) dari jenis lain,
pohon-pohon tinggi dalam lapisan paling atas menguasai pohon-pohon yang
berada dibawahnya (Soerianegara & Indrawan 2005). Stratifikasi merupakan
susunan tetumbuhan secara vertikal dalam suatu komunitas tumbuhan pada
ekosistem tertentu. Indriyanto (2008) menjelaskan bahwa stratifikasi terjadi
karena dua hal penting yaitu sebagai akibat persaingan antar tumbuhan dan
sebagai akibat sifat toleransi pohon-pohon tertentu. Soerianegara dan Indrawan
(2005) menyatakan stratifikasi dalam hutan tropis adalah sebagai berikut:
1. Stratum A: lapisan teratur, terdiri dari pohon-pohon dengan tinggi total lebih
dari 30 meter, biasanya tajuk diskontinyu, batang pohon tinggi dan lurus
dengan batang bebas cabang tinggi

6
2.
3.
4.
5.

Stratum B: terdiri dari pohon-pohon dengan tinggi antara 20 meter sampai 30
meter, tajuk umumnya kontinyu
Stratum C: pohon dengan tinggi 4 – 20 meter, tajuk kontinyu, pohon rendah
dan banyak cabangnya.
Startum D: tumbuhan penutup tanah (ground cover), perdu dan semak yang
memiliki tinggi 1-4 meter.
Stratum E: tumbuhan penutup tanah (ground cover) dengan tinggi 0 -1 meter.
Dikatakan pula bahwa tidak semua hutan tropika memiliki ketiga strata
tersebut diatas.
Ekosistem Mangrove

Kata mangrove merupakan kombinasi antara bahasa Portugis mangue dan
bahasa Inggris grove (Macnae 1968 dalam Kusmana 2011). Kusmana (2011)
menyatakan bahwa dalam bahasa Inggris kata mangrove digunakan baik untuk
komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah jangkauan pasang surut maupun
untuk individu-individu spesies tumbuhan yang menyusun komunitas tersebut,
sedangkan dalam bahasa Portugis kata mangrove digunakan untuk menyatakan
individu spesies tumbuhan, dan kata mangal untuk menyatakan komunitas
tumbuhan tersebut.
Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di
sepanjang garis pantai tropis sampai sub-tropis yang memiliki fungsi istimewa di
suatu lingkungan yang mengandung garam dan bentuk lahan berupa pantai dengan
reaksi tanah an-aerob. Aksornkoae (1993) menjelaskan bahwa hutan mangrove
adalah tumbuhan halofit (tumbuhan yang hidup pada tempat-tempat berkadar
garam tinggi atau bersifat alkalin) yang hidup di sepanjang areal pantai yang
dipengaruhi oleh pasang tertinggi sampai daerah mendekati ketinggian rata-rata
air laut yang tumbuh di daerah tropis dan sub-tropis. Hutan mangrove dikenal juga
dengan istilah tidal forest, coastal woodland, vloedbosschen, dan hutan payau
(Kusmana 2011).
Ekosistem mangrove merupakan suatu ekosistem khas di wilayah pesisir
yang merupakan tempat berlangsungnya hubungan timbal balik antara komponen
abiotik seperti senyawa anorganik, organik dan iklim (pasang surut, salinitas, dan
lain-lain) dengan komponen abiotik seperti produsen (vegetasi, plankton),
konsumen makro (serangga, ikan, burung, buaya, dan lain-lain). Mangrove
sebagai suatu ekosistem memiliki enam fungsi utama, yaitu: (1) fungsi aliran
energi, (2) fungsi aliran makanan, (3) fungsi pola keragaman jenis, (4) fungsi
siklus nutrien (biogeokimia), (5) fungsi evolusi dan perkembangan, dan (6) fungsi
pengendalian (cybernetics).
FAO (2007) menyatakan bahwa luas hutan mangrove di dunia pada tahun
2005 diperkirakan seluas 15.2 juta ha yang tersebar di seluruh pantai tropik dan
sub-tropik. Adapun Indonesia merupakan negara yang memiliki luas mangrove
terluas di tingkat dunia, yaitu seluas 19%. Hutan mangrove di Indonesia mencapai
luasan sebesar 3 244 018.64 ha (Saputro 2009).

7
Struktur dan Zonasi Mangrove
Hutan mangrove terdiri atas pohon dan permudaanya (pancang dan semai),
semak belukar, palem-paleman, tumbuhan bawah, maupun epifit, yang
mempunyai kemampuan hidup dalam air salin. Sukardjo (1996) menyatakan
bahwa hanpir semua jenis mangrove merupakan tumbuhan Dicotyledonae, kecuali
tumbuhan bawah seperti Acrostichium aerum dan A. speciosum, serta palempaleman seperti Nypa fruticans.
Zonasi mangrove merupakan tanggapan terhadap perubahan dan lamanya
penggenangan, salinitas tanah, tersedianya sinar matahari, aliran pasang surut dan
air tawar. Hal ini berarti bahwa zonasi di hutan mangrove tergantung kepada
keadaan tumbuhnya. Zonasi juga menggambarkan tahapan suksesi yang terjadi
sejalan dengan perubahan tempat tumbuh. Tempat tumbuh hutan mangrove selalu
berubah sebagai akibat laju pengendapan atau pengikisan. Daya adaptasi dari tiap
jenis tumbuhan mangrove terhadap keadaan tempat tumbuh akan menentukan
komposisi jenis tiap spesies (Istomo 1992).
Zona vegetasi mangrove ditentukan oleh beberapa faktor penting seperti
kondisi jenis tanah (lumpur, pasir, gambut), keterbukaan terhadap hempasan
gelombang, salinitas, dan pengaruh pasang surut. Menurut Bengen (2002), zonasi
hutan mangrove terdiri atas:
1. Daerah yang paling dekat dengan laut, dengan substrat berpasir, sering
ditumbuhi oleh Avicennia spp. Pada zona ini, biasa berasosiasi Sonneratia spp.
yang dominan tumbuh pada lumpur dalam yang kaya bahan organik.
2. Lebih ke arah darat, hutan mangrove umumnya didominasi oleh Rhizophora
spp. Di zona ini juga dijumpai Bruguiera spp. dan Xylocarpus spp.
3. Zona berikutnya didominasi oleh Bruguiera spp.
4. Zona transisi antara hutan mangrove dengan hutan dataran rendah biasanya
ditumbuhi oleh N. fruticans dan beberapa spesies lainnya.
Adapun zona vegetasi mangrove yang berkaitan dengan pasang surut terdiri atas:
1. Areal yang selalu digenangi walaupun saat pasang rendah umumnya
didominasi oleh Avicennia spp. atau Sonneratia spp.
2. Areal yang digenangi oleh pasang sedang didominasi oleh jenis-jenis
Rhizophora spp.
3. Areal yang digenangi hanya saat pasang tinggi, yang mana areal ini lebih ke
daratan. Umumnya zona ini didominasi oleh jenis Bruguiera spp. dan
Xylocarpus spp.
4. Areal yang digenangi hanya pada saat pasang tertinggi (hanya beberapa hari
dalam sebulan) umumnya didominasi oleh Bruguiera sexangula dan
Lumnitzera littorea.
Hutan mangrove bersifat kompleks dan dinamis namun labil. Hutan
mangrove dikatakan kompleks karena di dalam hutan dan perairan sekitarnya
merupakan habitat berbagai jenis satwa darat dan air. Hutan mangrove dikatakan
dinamis karena hutan mangrove dapat terus berkembang serta mengalami suksesi
dan perubahan zonasi sesuai dengan perubahan tempat tumbuhnya. Adapun hutan
mangrove dikatakan labil karena ekosistemnya dapat rusak dan sulit untuk pulih
kembali. Proses pemulihan kembali ekosistem mangrove membutuhkan waktu
yang sangat lama. Rotasi dan siklus kerja hutan mangrove berlangsung sekitar 30
tahun untuk dapat dimanfaatkan kembali (Haron 1981 dalam Aksornkoae 1993).

8
Faktor-faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Mangrove
Ekosistem mangrove dapat berkembang baik di daerah pantai berlumpur
dengan air yang tenang dan terlindung dari pengaruh ombak yang besar serta
eksistensinya bergantung pada adanya aliran air tawar dan air laut. Samingan
(1971) menyatakan bahwa kebanyakan mangrove merupakan vegetasi yang agak
seragam, selalu hijau dan berkembang dengan baik di daerah berlumpur yang
berada dalam jangkaan peristiwa pasang surut. Komposisi mangrove mempunyai
batas yang khas dan batas tersebut berhubungan atau disebabkan oleh efek selektif
dari: (a) tanah, (b) salinitas, (c) jumlah hari atau lamanya penggenangan, (d)
dalamnya penggenangan, serta (e) kerasnya arus pasang surut.
Pertumbuhan vegetasi mangrove dipengaruhi oleh faktor lingkungan (fisik,
kimia, dan biologis) yang sangat kompleks, antara lain:
1. Salinitas
Salinitas air tanah mempunyai peranan penting sebagai faktor penentu dalam
pengaturan pertumbuhan dan keberlangsungan kehidupan. Salinitas air tanah
dipengaruhi oleh sejumlah faktor, seperti genangan pasang, topografi, curah
hujan, masukan air tawar dan sungai, run-off daratan dan evaporasi.
Aksorkoae (1993) menyatakan bahwa salinitas merupakan faktor lingkungan
yang sangat menentukan perkembangan hutan mangrove, terutama bagi laju
pertumbuhan, daya tahan dan zonasi spesies mangrove.
Toleransi setiap jenis tumbuhan mangrove terhadap salinitas berbeda-beda.
Batas ambang toleransi tumbuhan mangrove diperkirakan 36 ppm (MacNae
1968). Adapun Aksornkoae (1993) mencatat bahwa Avicennia spp. memiliki
toleransi yang tinggi terhadap garam dan Bruguiera gymnorhiza ditemukan
pada daerah dengan salinitas 10-20 ppm. Di Australia, Avicennia marina dapat
tumbuh dengan tingkat salinitas maksimum 85 ppm, sedangkan Bruguiera spp.
dapat tumbuh dengan salinitas tidak lebih dari 37 ppm (Wells 1982 dalam
Aksornkoae 1993).
2. Tanah
Tanah di hutan mangrove memiliki ciri-ciri yang selalu basah, mengandung
garam, oksigen sedikit, berbentuk butir-butir dan kaya bahan organik (Soeroyo
1993). Tanah tempat tumbuh mangrove terbentuk dari akumulasi sedimen
yang bersal dari sungai, pantai atau erosi yang terbawa dari dataran tinggi
sepanjang sungai atau kanal (Aksornkoae 1993). Sebagian tanah berasal dari
hasil akumulasi dan sedimentasi bahan-bahan koloid dan partikel. Sedimen
yang terakumulasi di daerah mangrove memiliki kekhususan yang berbeda,
tergantung pada sifat dasarnya. Sedimen yang berasal dari sungai berupa tanah
berlumpur, sedangkan sedimen yang berasal dari pantai berupa pasir.
Degradasi dari bahan-bahan organik yang terakumulasi sepanjang waktu juga
merupakan bagian dari tanah mangrove. Soerianegara (1971) dalam Kusmana
(1996) menjelaskan bahwa tanah mangrove umumnya kaya akan bahan
organik dan mempunyai nilai nitrogen yang tinggi, kesuburannya bergantung
pada bahan alluvial yang terendap.
Menurut Soeroyo (1993), pembentukan tanah mangrove dipengaruhi oleh
beberapa faktor, yaitu:
(a) faktor fisik, yaitu berupa transport nutrien oleh arus pasang, aliran laut,
gelombang dan aliran sungai;

9

3.

4.

5.

6.

(b) faktor fisik-kimia, yaitu berupa penggabungan dari beberapa partikel oleh
penggumpalan dan pengendapan;
(c) faktor biotik, yaitu berupa produksi dan perombakan senyawa-senyawa
organik.
Suhu
Menurut Aksornkoae (1993), suhu merupakan faktor penting dalam proses
fisiologi tumbuhan seperti fotosintesis dan respirasi. Diperkirakan suhu ratarata didaerah tropis meupakan habitat terbaik bagi tumbuhan mangrove.
Mikroorganisme mempunyai batasan suhu tertentu untuh bertahan terhadap
kegiatan fisiologisnya. Respon bakteri terhadap suhu berbeda-beda, umumnya
mempunyai batasan suhu optimum 27–36˚C. Oleh karena itu, suhu perairan
berpengaruh terhadap penguraian daun mangrove dengan asumsi bahwa
serasah daun mangrove sebagai dasar metabolisme.
Hutchings dan Saenger (1987) menyatakan bahwa Avicennia marina yang ada
di Australia memproduksi daun baru pada suhu 18–20˚C, jika suhunya lebih
tinggi maka laju produksi daun baru akan lebih rendah. Selain itu, laju
tertinggi produksi dari daun Rhizopora spp., Ceriops spp., Exocoecaria spp.,
dan Lumnitzera spp. adalah pada suhu 26–28˚C. Adapun laju tertinggi
produksi daun Bruguiera spp. adalah 27˚C.
Curah hujan
Aksornkoae (1993) menyatakan bahwa jumlah, lama dan distribusi curah
hujan merupakan faktor penting yang mengatur perkembangan dan
penyebaran tumbuhan. Disamping itu curah hujan mempengaruhi faktor
lingkungan lain, seperti suhu udara dan air, kadar garam air permukaan dan air
tanah yang pada gilirannya akan mempengaruhi kelangsungan hidup spesies
mangrove. Pada umumnya tumbuhan mangrove tumbuh dengan baik pada
daerah dengan curah hujan kisaran 1 500 – 3 000 mm/tahun. Namun demikian
tumbuhan mangrove dapat juga ditemukan pada daerah dengan curah hujan
4 000 mm/tahun yang tersebar antara 8–10 bulan dalam 1 tahun. Menurut
Noakes (1951), iklim dimana tumbuhan mangrove dapat tumbuh dengan baik
adalah iklim tropika yang lembab dan panas tanpa ada pembagian musim
tertentu, hujan bulanan rata-rata sekitar 225–300 mm, serta suhu rata-rata
maksimum pada siang hari mencapai 32˚C dan suhu rata-rata malam hari
mencapai 23˚C.
Kecepatan angin
Angin merupakan faktor yang berpengaruh terhadap ekosistem mangrove
melalui aksi gelombang dan arus di daerah pantai. Hal ini mengakibatkan
terjadinya erosi pantai dan perubahan sistem ekosistem mangrove. Angin
berpengaruh pada tumbuhan mangrove sebagai agen polinasi dan desiminasi
biji, serta meningkatkan evapotranspirasi. Angin yang yang kuat
memungkinkan untuk menghalangi pertumbuhan mangrove dan menyebabkan
karakteristik fisiologis yang tidak normal. Angin juga berpengaruh terhadap
jatuhan serasah mangrove, angin yang tinggi mengakibatkan besarnya
produksi serasah.
Derajat kemasaman (pH)
Nilai pH suatu perairan mencerminkan keseimbangan antara asam dan basa
dalam air. Nilai pH perairan dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain
aktifitas fotosintesis, aktifitas biologi, temperatur, kandungan oksigen, dan

10
adanya kation serta anion dalam perairan (Aksornkoae & Wattayakorn 1987
dalam Aksornkoae 1993). Nilai pH hutan mangrove berkisar antara 8.0 – 9.0
(Welch dalam Winarno 1996). Nilai pH yang tinggi lebih mendukung
organisme pengurai untuk menguraikan bahan-bahan organik yang jatuh di
daerah mangrove, sehingga tanah mangrove yang bernilai pH tinggi secara
nisbi mempunyai karbon organik yang kurang lebih sama dengan profil tanah
yang dimilikinya (Winarno 1996).
Air laut sebagai media yang memiliki kemampuan sebagai larutan penyangga
dapat mencegah perubahan nilai pH yang ekstrim. Perubahan nilai pH sedikit
saja akan memberikan petunjuk terganggunya sistem penyangga.
7. Zat hara
Aksornkoae (1993) menyatakan bahwa hara merupakan faktor penting dalam
memelihara keseimbangan ekosistem mangrove. Hara dalam ekosistem
mangrove dibagi kedalam dua kelompok:
a. Hara anorganik, yang penting untuk kelangsungan hidup organisme
mangrove. Hara ini terdiri atas N, P, K, Mg, Ca, dan Na. Sumber utama
hara anorganik adalah curah hujan, limpasan sungai, endapan, air laut, dan
bahan organik yang terurai di mangrove;
b. Detritus organik, yang merupakan bahan organik yang berasal dari
bioorganik yang melalui beberapa tahap pada proses mikrobial. Sumber
utama detritus organik ada dua, antara lain:
- Autochtonous, seperti fitoplankton, diatom, bakteri, jamur, algae pada
pohon atau akar dan tumbuhan lain di hutan mangrove;
- Allochtonous, seperti partikel-partikel dari aliran sungai, partikel tanah
dari erosi darat, tanaman, dan hewan yang mati di daerah pesisir atau
laut.

Keterkaitan Faktor Lingkungan Fisik dengan Kondisi Vegetasi
Eni et al. (2011) melaporkan bahwa vegetasi dan tanah saling berkaitan satu
dengan lainnya. Vegetasi mendukung fungsi ekosistem dalam skala spasial.
Vegetasi sangat mempengaruhi karakter tanah termasuk volume tanah, kimia
tanah maupun tekstur, dimana karakter tersebut memberikan timbal balik terhadap
karakteristik kerapatan, potensi, serta keanekaragaman vegetasi seperti
produktivitas, struktur, dan komposisi flora.
Keterkaitan faktor lingkungan fisik terhadap kondisi vegetasi dapat
dianalisis dengan menerapkan analisis komponen utama / Principal Component
Analysis (PCA). PCA merupakan salah satu teknik yang mentransformasikan
secara linier satu set peubah ke dalam peubah yang baru yang lebih se