Kemiskinan Dan Strategi Adaptasi Nelayan Di Pulau Sebuku, Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan

(1)

KEMISKINAN DAN STRATEGI ADAPTASI NELAYAN DI PULAU SEBUKU, KABUPATEN KOTABARU, KALIMANTAN SELATAN

Oleh Intan Yuliastry

I34070059

Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

Fakultas Ekologi Manusia

Institut Pertanian Bogor

2011


(2)

ABSTRACT

Fishers living condition including the poverty that occurred in the fishing communities on small islands not yet widely available. Therefore this study is very important. The objective of this study research are 1) what was the level of poverty in the fishers on the island of Sebuku; 2) how about adaptation strategies undertaken by the fishers residing on the island of Sebuku; 3) what are the factors that influence the level of poverty and adaptation strategies of fishers on the island of Sebuku; 4) what is the attitude of fishers towards regional autonomy policy, the entry of mining companies and climatic conditions on the island of Sebuku. This research was conducted with a combination of quantitative and qualitative methods. Correlations is using rank spearman. Location of the study were purposively selected, Rampa Village and Sekapung Village. Sampling using simple random sampling technique.

Based on field research, both in the Rampa Village and Sekapung Village, there were nothing included in the category of very poor and poor households based on criteria of BLT (Bantuan Langsung Tunai), while the relative poverty of poor households was used the criteria of the agreement from Rampa Village and Sekapung Village community. Fishers do various adaptation strategies, especially when a bad season. The majority of respondents have a negative attitude toward the policy of regional autonomy and the companies comers on the Sebuku Island. The result showed a positive correlation between the experience of going to sea with attitudes toward climate conditions (r=0.81) and levels of education with an attitude against the companies comers (r=0.30), but there was a negative correlation between the income level attitudes towards the companies comers (r=0.67) and the experience of going to sea with the attitude towards the companies comers (r=0.23). Other variables have no correlation.


(3)

RINGKASAN

INTAN YULIASTRY. Kemiskinan dan Strategi Adaptasi Nelayan di Pulau Sebuku, Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan. Di bawah bimbingan RILUS A. KINSENG

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh sektor perikanan sebagai salah satu aktivitas yang memberi kontribusi terhadap kesejahteraan suatu bangsa terutama jika dikelola dengan baik, namun yang terjadi sebanyak 32.529,9 juta orang atau 14,15 persen dari seluruh penduduk Indonesia pada tahun 2009 masih termasuk kategori miskin. Masyarakat yang tinggal di sekitar pantai terutama mereka yang berada di pulau-pulau kecil menggantungkan hidupnya dari sumberdaya laut dengan mata pencaharian sebagai nelayan. Terkait dengan perubahan sistem pemerintahan di dalam UU No. 32/2004 tentang Pemerintah Daerah, merupakan faktor eksternal yang mempengaruhi dinamika kehidupan nelayan. Perubahan terjadi pada setiap kehidupan manusia sepanjang masa, termasuk pada masyarakat nelayan di pulau kecil. Tekanan, ancaman dan perubahan erat kaitannya dengan kemiskinan nelayan. Perubahan yang berkaitan dengan mata pencaharian, mendorong nelayan melakukan strategi adaptasi untuk mempertahankan hidup.

Desa Rampa dan Desa Sekapung merupakan desa nelayan yang sebagian besar kepala keluarganya bermata pencaharian sebagai nelayan namun memiliki karakteristik yang berbeda yang dapat dibandingkan dan saling melengkapi. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dan kuantitatif. Metode yang digunakan adalah wawancara mendalam dan metode survai. Peneliti mengambil masing-masing 30 responden dari setiap desa menggunakan teknik simple random sampling dengan mengundi unsur-unsur penelitian atau satuan-satuan elementer (pengundian). Analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif kualitatif dengan analisis data secara statistik menggunakan uji statistik Rank Spearman.

Penelitian ini ingin melihat bagaimana faktor eksternal (kebijakan otonomi daerah, masuknya perusahaan tambang dan kondisi iklim) berpengaruh terhadap dimensi kehidupan nelayan di pulau kecil yang dilihat dari tiga aspek, yaitu kondisi kemiskinan, strategi adaptasi dan sikap nelayan serta melihat bagaimana


(4)

hubungan antara karakteristik individu nelayan (usia, tingkat pendapatan, tingkat pendidikan, jumlah tanggungan keluarga dan pengalaman melaut) dengan sikap nelayan mengenai kebijakan otonomi daerah, masuknya perusahaan tambang dan kondisi iklim.

Berdasarkan penelitian di lapang, baik di Desa Rampa maupun di Desa Sekapung tidak ada yang termasuk dalam kategori sangat miskin dan miskin berdasarkan kriteria rumah tangga miskin Bantuan Langsung Tunai (BLT), rata-rata pendapatan per kapita lebih tinggi daripada garis kemiskinan yang ditetapkan BPS pada bulan Maret 2010, yaitu Rp196.753,00,- per kapita / bulan, sedangkan kemiskinan relatif memakai kriteria miskin lokal. Nelayan melakukan berbagai strategi adaptasi terutama ketika musim paceklik. Mayoritas responden memiliki sikap negatif baik terhadap kebijakan otonomi daerah dan juga terhadap masuknya perusahaan tambang di Pulau Sebuku.

Hasil korelasi menunjukan bahwa variabel yang menunjukkan hubungan adalah pengalaman melaut dengan sikap terhadap kondisi iklim dan tingkat pendidikan dengan sikap terhadap masuknya perusahaan tambang, sedangkan tingkat pendapatan dengan sikap terhadap masuknya perusahaan dan pengalaman melaut dengan sikap terhadap masuknya perusahaan tambang ada korelasi namun hubungannya berbanding terbalik. Variabel lainnya tidak berkolerasi.


(5)

KEMISKINAN DAN STRATEGI ADAPTASI NELAYAN DI PULAU SEBUKU, KABUPATEN KOTABARU, KALIMANTAN SELATAN

Oleh:

INTAN YULIASTRY I34070059

SKRIPSI

Sebagai Bagian Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar

Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

pada

Fakultas Ekologi Manusia

Institut Pertanian Bogor

Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

Fakultas Ekologi Manusia

Institut Pertanian Bogor

2011


(6)

Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

Fakultas Ekologi Manusia

Institut Pertanian Bogor

Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi yang disusun oleh:

Nama : Intan Yuliastry

NRP : I34070059

Judul : Kemiskinan dan Strategi Adaptasi Nelayan di Pulau Sebuku, Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan

dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Rilus A. Kinseng, MA NIP. 19590506 198703 1 001

Mengetahui, Ketua Departemen Sains

Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

Dr. Soeryo Adiwibowo, MS. NIP. 19550630 198103 1 003


(7)

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL

KEMISKINAN DAN STRATEGI ADAPTASI NELAYAN DI PULAU SEBUKU, KABUPATEN KOTABARU, KALIMANTAN SELATAN BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN BAIK OLEH PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA

MANAPUN. KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG

DINYATAKAN DALAM NASKAH. DEMIKIAN PERNYATAAN INI SAYA

BUAT DENGAN SESUNGGUHNYA DAN SAYA BERSEDIA

BERTANGGUNGJAWAB ATAS PERNYATAAN INI.

Bogor, Juni 2011

Intan Yuliastry NRP. I34070059


(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Barabai, Kalimantan Selatan pada tanggal 16 Juli 1989. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara, anak dari pasangan suami istri Bapak Bambang Heri Purnomo dan Ibu Ellis Mulyani. Penulis menamatkan pendidikan Taman Kanak-Kanak di TK Pertiwi Bogor (1994-1995), Sekolah Dasar di SD Negeri Panyileukan 03 Bandung (1995-2001), Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 34 Bandung (2001-2004) dan Sekolah Menengah Atas di SMA Pasundan 1 Bandung (2004-2007). Kemudian pada tahun 2007, penulis diterima sebagai mahasiswi Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) di Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia.

Selama di IPB, penulis tergabung dalam UKM MAX! dan KOPMA pada tahun 2007, Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu-Ilmu Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (HIMASIERA) sebagai staf divisi Journalistic dari tahun 2008-2009. Kemudian pada tahun kepengurusan 2009-2010 penulis dipercaya menjadi manager divisi Journalistic HIMASIERA. Selain itu penulis juga bergabung dalam IMPEMA (Ikatan Mahasiswa Peminat Ekologi Manusia). Penulis juga aktif mengikuti berbagai kegiatan kepanitian dalam beberapa event di IPB antara lain ESPENT (Ecology Sport event) tahun 2010 yang diadakan oleh Fakultas Ekologi Manusia, ENDEMIC (Entertainer Development in Action) oleh HIMASIERA tahun 2010 dan Pelatihan Journalistic yang diadakan oleh divisi Journalistic HIMASIERA tahun 2009, kepanitiaan dalam Masa Perkenalan Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat tahun 2009 dan kepanitiaan dalam Masa Perkenalan Fakultas Ekologi Manusia tahun 2009. Diakhir kepengurusan, penulis juga tergabung dalam kepanitiaan konser amal

“Kami Peduli, Kamu?“ yang diadakan oleh HIMASIERA pada tahun 2010. Penulis juga aktif sebagai asisten dosen mata kuliah Dasar-dasar Komunikasi pada tahun 2009-2010.


(9)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena dengan rahmat, berkat dan kehendak-Nya penulis dapat menyelesaikan Skripsi yang berjudul

“Kemiskinan Dan Strategi Adaptasi Nelayan Di Pulau Sebuku, Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan”. Penulis sangat bersyukur karena penyusunan Skripsi ini dapat selesai tepat pada waktunya dan sesuai dengan yang direncanakan. Penulis menyadari bahwa Skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik karena dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Maka dari itu pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarmya kepada pihak-pihak yang telah membantu, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam penyelesaian Skripsi ini, antara lain:

1. Allah SWT yang selalu memberikan rahmat dan Karunia-Nya yang luar biasa dan tiada habisnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan Skripsi ini.

2. Dr. Ir. Rilus A. Kinseng, MA. sebagai dosen pembimbing Skripsi atas kesabarannya telah membimbing, memberikan kritik dan saran yang membangun serta selalu memberikan motivasi yang sangat membantu penulis dalam penulisan Skripsi ini.

3. Dr. Ir. Lala M Kolopaking, MS selaku dosen penguji utama dan Ir. Anna Fatchiya, M.Si selaku dosen penguji wakil departamen yang telah memberikan kritik dan sarannya dalam penulisan skripsi ini.

4. Ir. Nuraini W. Prasodjo, MS. sebagai pembimbing akademik yang telah memberikan dukungan, semangat dan membantu penulis dalam menghadapi permasalahan akademik.

5. Ayahanda, Bambang Heri Purnomo dan Ibunda, Ellis Mulyani tercinta yang selalu mencurahkan kasih sayang, dukungan moral dan finansial serta doa yang tiada henti kepada penulis.

6. Anggoro Pramudityo Nugroho, S. Kom dan Mutiara Dea Wardani, kakak dan adik dari penulis yang selalu mendukung dan memotivasi penulis dan mencurahkan kasih sayang.


(10)

7. Dodi Santosa, S. Kom yang selalu memberikan dukungan, bantuan dan semangat serta mendengar keluh kesah dalam penulisan Skripsi ini.

8. Keluarga Bapak Haris Mufasih, Ibu, Nene, Afni juga Ikhsan yang telah membantu, membimbing, menyemangati, menghibur dan memfasilitasi penulis selama di lapang.

9. Teman seperjuangan bimbingan Hardiyanti Dharma Pertiwi yang selalu memberikan semangat kepada penulis dalam penulisan Skripsi ini.

10. Sahabat-sahabat tercinta Dewi Agustina, Titania Aulia, Noviani Anggraeni, Hireng Ambaraji, Eka Wijayanti, Anies Wahyu N, Nyimas Nadya Izana, Maya Rahmawaty, Turasih dan sahabat-sahabat lainnya yang tidak dapat ditulis satu persatu yang selalu mendengarkan keluh-kesah penulis serta tidak pernah berhenti untuk memberikan semangat, doa dan dukungan yang sangat luar biasa kepada penulis dalam penulisan Skripsi ini.

11. Teman-teman KPM 44 yang selalu memberikan keceriaan dan semangat dalam penulisan Skripsi ini.

12. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu dan mendukung dalam penyelesaian Skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa penulisan Skripsi ini masih banyak kekurangannya. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun demi kesempurnaan Skripsi ini. Penulis berharap Skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan.


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Masalah Penelitian ... 3

1.3 Tujuan Penelitian ... 4

1.4 Kegunaan Penelitian ... 4

BAB II PENDEKATAN TEORITIS 2.1 Tinjuan Pustaka ... 5

2.1.1 Pulau-pulau Kecil ... 5

2.1.1.1 Karakteristik Pulau-pulau Kecil ... 5

2.1.1.2 Isu dan kondisi Pulau-pulau kecil ... 7

2.1.2 Desentralisasi Pengelolaan Sumberdaya Perikanan ... 8

2.1.3 Kemiskinan ... 9

2.1.4 Faktor-faktor Penyebab Kemiskinan ... 14

2.1.5 Strategi Adaptasi Nelayan ... 16

2.1.6 Sikap ... 18

2.2 Kerangka Pemikiran ... 19

2.3 Hipotesis Penelitian ... 22

2.4 Definisi Operasional ... 22

BAB III PENDEKATAN LAPANGAN ... 28

3.1 Metode Penelitian ... 28

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 28

3.3 Teknik Pengumpulan Data ... 29

3.4 Teknik Pengolahan dan Analisis Data ... 30

BAB IV GAMBAR LOKASI PENELITIAN ... 32

4.1 Kondisi Geografis ... 32

4.1.1 Kondisi Geografis Desa Rampa ... 32

4.1.2 Kondisi Geografis Desa Sekapung ... 33

4.2 Kondisi Ekonomi ... 34

4.2.1 Kondisi Ekonomi Desa Rampa ... 34

4.2.2 Kondisi Ekonomi Desa Sekapung ... 34

4.3 Kondisi Sosial ... 35


(12)

4.3.2 Kondisi Sosial Desa Sekapung ... 38

4.4 Gambaran Umum Kondisi Perikanan ... 41

4.4.1 Gambaran Umum Kondisi Perikanan di Desa Rampa ... 41

4.4.2 Gambaran Umum Kondisi Perikanan di Desa Sekapung ... 42

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ... 44

5.1 Kondisi Kemiskinan Nelayan di Pulau Sebuku ... 44

5.1.1 Kondisi Kemiskinan Nelayan Berdasarkan Garis Kemiskinan BPS ... 47

5.1.2 Kondisi Kemiskinan Nelayan Berdasarkan Kriteria Rumah Tangga Miskin Penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT) ... 52

5.2 Stategi Adaptasi Nelayan di Pulau Sebuku ... 56

5.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat “Kemiskinan” dan Strategi Adaptasi Nelayan di Pulau Sebuku ... 68

5.4 Sikap Nelayan Terhadap Kebijakan Otonomi Daerah, Masuknya Perusahaan Tambang dan Kondisi Iklim di Pulau Sebuku ... 80

5.4.1 Hubungan Karakteristik Individu Nelayan dengan Sikap Terhadap Kebijakan Otonomi Daerah, Masuknya Perusahaan Tambang dan Kondisi Iklim di Pulau Sebuku ... 84

BAB VI PENUTUP ... 90

6.1 Kesimpulan ... 90

6.2 Saran ... 91


(13)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Perbandingan Karakteristik Pulau kecil, Pulau Besar dan Benua ... 6 Tabel 2. Kriteria Pengukuran Koefisien Korelasi ... 31 Tabel 3. Jumlah dan Persentase Rumah Tangga Menurut Kategori Kemiskinan

BLT di Desa Rampa dan Desa Sekapung ... 52 Tabel 4. Jumlah dan Persentase Rumah Tangga Menurut Kriteria Rumah

Tangga Miskin BLT di Desa Rampa dan Desa Sekapung ... 53 Tabel 5. Persentase Sikap Nelayan Terhadap Aspek Kebijakan Otonomi Daerah,

Masuknya Perusahaan Tambang dan Kondisi Iklim Di Desa Rampa dan Desa Sekapung ... 81 Tabel 6. Hubungan antara Karakteristik Individu Nelayan dengan Sikap

Nelayan Terhadap Aspek Kebijakan Otonomi Daerah, Masuknya

Perusahaan Tambang dan Kondisi Iklim ... 85


(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Kerangka Analisis Kemiskinan dan Strategi Adaptasi di Pulau Kecil ... 21

Gambar 2. Rata-Rata Pendapatan Nelayan Desa Rampa Berdasarkan Musim Tangkap Udang Windu, Cumi-cumi dan Musim Paceklik ... 50

Gambar 3. Sketsa Lokasi Pertambangan di Pulau Sebuku ... 58

Gambar 4 Sketsa Lokasi Tangkap Nelayan Desa Sekapung ... 71

Gambar 5. Sketsa Lokasi Tangkap Nelayan Desa Rampa ... 74


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Peta Lokasi Penelitian Desa Sungai Bali, Kecamatan Pulau

Sebuku,Kabupaten Kotabaru, Provinsi Kalimantan Selatan ... 97 Lampiran 2. Hasil Uji Korelasi Rank Spearman... 98 Lampiran 3. Dokumentasi Lapang ... 99


(16)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara maritim yang secara geografis memiliki lautan lebih luas daripada daratan. Luas lautan Indonesia adalah 3.166.163 km2 dan daratan seluas 2.027.087 km2 (Nawi, 1993). Besarnya potensi laut yang dimiliki oleh Indonesia belum dimanfaatkan secara maksimal dan merata terutama bagi kesejahteraan masyarakat secara luas. Masyarakat yang tinggal disekitar pantai terutama mereka yang berada di pulau-pulau kecil menggantungkan hidupnya dari sumberdaya laut dengan mata pencaharian sebagai nelayan. Berdasarkan zone-zone penyebaran atau wilayah perikanan laut utama dunia, maka Indonesia adalah salah satu zone yang kaya atau terbanyak ikan di dunia, dengan demikian eksploitasi sumberdaya ikan oleh para nelayan secara besar-besaran diharapkan dapat meningkatkan kualitas hidup dan tingkat kesejahteraan (Anwar dalam Nawi, 1993).

Sejalan dengan pernyataan di atas, sektor perikanan merupakan salah satu aktivitas yang memberi kontribusi terhadap kesejahteraan suatu bangsa terutama jika sumberdaya tersebut dikelola dengan baik, namun yang terjadi sebanyak 32.529,9 juta orang atau 14,15 persen dari seluruh penduduk Indonesia pada tahun 2009 masih termasuk kategori miskin (BPS, 2009). Penduduk miskin tersebar dan umumnya tinggal di daerah perdesaan, termasuk desa-desa pesisir. Berdasarkan data Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), wilayah desa pesisir meliputi 8.090 buah desa dan menampung 16.420.000 jiwa penduduk yang 32,14 persen diantaranya termasuk kategori penduduk miskin (DKP, 2007 dalam IPB, 2008). Disamping itu, berdasarkan data Kementrian Kelautan dan Perikanan tahun 2010, pada tahun 2009 diperkirakan jumlah nelayan di Indonesia adalah sebanyak 2.255.650 orang.

Kemiskinan juga terjadi pada masyarakat yang berada di pulau-pulau kecil di Indonesia, mereka adalah komunitas yang terbelenggu dalam kemiskinan dan menggantungkan hidup dari sumberdaya alam yang tersedia disekitarnya, hal ini karena pulau kecil mempunyai sifat yang khas akibat kecilnya ukuran daratan


(17)

serta terisolasi (insular) dari pulau besar (mainland). Pulau-pulau kecil mengandung banyak sumberdaya di dalamnya, sebagaimana disebutkan dalam UU No 27 tahun 2007 pasal 1 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, bahwa sumberdaya pesisir dan pulau-pulau-pulau-pulau kecil adalah sumberdaya hayati, sumberdaya nonhayati, sumberdaya buatan, dan jasa-jasa lingkungan1. Pulau-pulau kecil Salah satu pulau kecil di Indonesia adalah Pulau Sebuku yang terletak di Kabupaten Kotabaru, Provinsi Kalimantan Selatan. Pulau Sebuku memiliki berbagai sumberdaya yang dapat dimanfaatkan dan dikelola demi kesejahteraan masyarakatnya. Pulau ini mengandung batu bara, bijih besi dan minyak bumi di dalamnya.

Terkait dengan perubahan sistem pemerintahan menjadi desentralisasi yang dijelaskan dalam UU No 22/1999 dan UU No 25/1999 yang kemudian di revisi menjadi UU No. 32/2004 tentang Pemerintah Daerah, yakni memberi kewenangan pada Pemerintah Daerah dalam rangka pembangunan daerah termasuk pengelolaan sumberdaya alam daerah. Kewenangan ini diwujudkan dengan membuka kesempatan bagi investor ataupun perusahaan swasta untuk masuk dan mengelola sumberdaya tersebut. Hal ini terjadi pada pengelolaan sumberdaya alam terutama sumberdaya bahan tambang di Pulau Sebuku.

Perubahan sistem pemerintah merupakan faktor eksternal yang mempengaruhi dinamika kehidupan nelayan, terutama keberadaan swasta dalam pengelolaan sumberdaya alam di Pulau Sebuku akan berdampak pada kehidupan masyarakat. Sejalan dengan dinamika kehidupan nelayan yang terjadi, masyarakat memang tidak statis dalam satu titik tertentu, karena selalu terjadi perubahan baik karena faktor internal maupun eksternal, baik secara cepat maupun lambat. Perubahan terjadi pada setiap kehidupan manusia sepanjang masa, termasuk pada masyarakat nelayan di pulau kecil.

Kebijakan daerah lainnya terutama dalam tujuannya untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) setelah otonomi daerah, seringkali hanya memberi manfaat bagi golongan tertentu dan mengesampingkan posisi nelayan sebagai golongan masyarakat yang memiliki ketergantungan tinggi pada sumberdaya laut. Keadaan ini membuat nelayan semakin sulit untuk melepaskan diri dari belenggu

1


(18)

kemiskinan. Tekanan, ancaman dan perubahan erat kaitannya dengan kemiskinan nelayan. Perubahan terutama yang berkaitan dengan mata pencaharian seperti perubahan iklim yang tidak menentu dan tidak dapat diprediksi, berpengaruh terhadap aktifitas melaut nelayan untuk mencari ikan sebagai sumber penghasilan. Hal ini mendorong nelayan untuk melakukan strategi adaptasi dalam menghadapi tekanan, ancaman maupun perubahan untuk mempertahankan hidup.

1.2 Masalah Penelitian

Kemiskinan merupakan masalah pembangunan yang multidimensi. Sebagian besar kemiskinan terjadi di daerah pedesaan termasuk desa-desa pesisir. Nelayan adalah kelompok masyarakat yang tinggal di sekitar pantai dan menggantungkan hidupnya dari sumberdaya laut, namun identik dengan kemiskinan. Kemiskinan juga terjadi pada kelompok nelayan yang berada di pulau-pulau kecil. Selain kemiskinan, nelayan juga mengalami perubahan-perubahan dalam kehidupannya, hal ini karena masyarakat tidak statis dan akan mengalami perubahan sepanjang masa. Perubahan pada nelayan terutama yang mempengaruhi mata pencaharian, mendorong mereka melakukan strategi adaptasi untuk bertahan dalam kondisi perubahan yang terjadi. Perubahan pada kondisi iklim ditambah adanya otonomi daerah yang ditandai dengan masuknya perusahaan tambang diduga mempengaruhi dinamika kehidupan nelayan. Hanya saja informasi mengenai kehidupan dan kemiskinan yang terjadi pada masyarakat nelayan di pulau-pulau kecil belum banyak tersedia. Berdasarkan uraian di atas, maka dirumuskan beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut :

1. Bagaimana tingkat kemiskinan pada kaum nelayan di Pulau Sebuku?

2. Bagaimana strategi adaptasi yang dilakukan oleh nelayan yang berada di Pulau Sebuku?

3. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan dan strategi adaptasi nelayan di Pulau Sebuku?

4. Bagaimana sikap nelayan terhadap kebijakan otonomi daerah, masuknya perusahaan tambang dan kondisi iklim di Pulau Sebuku?


(19)

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Menganalisis tingkat kemiskinan pada kaum nelayan di Pulau Sebuku. 2. Menganalisis strategi adaptasi yang dilakukan oleh nelayan yang berada di

Pulau Sebuku.

3. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan dan strategi adaptasi nelayan di Pulau Sebuku.

4. Menganalisis sikap nelayan terhadap kebijakan otonomi daerah, masuknya perusahaan tambang dan kondisi iklim di Pulau Sebuku.

1.4 Kegunaan Penelitian

Penelitian ini dapat berguna bagi berbagai lapisan dan pihak-pihak yang terkait, yaitu:

1. Bagi masyarakat

Melalui penelitian ini diharapkan masyarakat dapat melihat sejauh mana kondisi kehidupan nelayan di pulau kecil terkait dengan tingkat kemiskinan pada kaum nelayan di pulau kecil dan bagaimana strategi adaptasi yang dilakukannya.

2. Bagi perguruan tinggi

Penelitian ini dapat berguna bagi perguruan tinggi sebagai salah satu wujud dari Tri Dharma Perguruan Tinggi, yaitu bidang penelitian dan peningkatan pengetahuan mengenai kemiskinan juga strategi adaptasi yang dilakukan oleh nelayan di pulau kecil serta faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kemiskinan dan strategi adaptasi tersebut.

3. Bagi pemerintah

Bagi pemerintah penelitian ini dapat digunakan sebagai modal informasi dalam memahami isu-isu yang terjadi pada masyarakat nelayan di pulau kecil termasuk mengetahui sikap nelayan terhadap kebijakan otonomi daerah, masuknya perusahaan tambang dan kondisi iklim. Agar dapat menginspirasi untuk pengadaan program yang mengarah pada pengentasan kemiskinan pada kaum nelayan.


(20)

BAB II

PENDEKATAN TEORITIS

2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Pulau-Pulau Kecil

2.1.1.1 Karakteristik Pulau-Pulau Kecil

Pulau-pulau kecil secara harfiah merupakan pulau berukuran kecil yang secara fungsional saling berinteraksi dari sisi ekologi, ekonomi, sosial dan budaya (Abubakar, 2004). Pulau-pulau kecil memiliki beragam manfaat dan peran bagi kehidupan manusia sebagaimana disebutkan oleh Dahuri (1998), bahwa pulau-pulau kecil mempunyai peran yang sangat penting, seperti mempengaruhi iklim global, siklus hidrologi, biogeokimia dan penyerap limbah. Pulau-pulau kecil juga memberi manfaat lain seperti jasa lingkungan untuk pariwisata, kegiatan budidaya yang menambah pendapatan dan devisa serta sebagai tempat yang menyimpan plasma nutfah yang sangat berharga bagi kehidupan manusia (Abubakar, 2004).

UU No 27 Tahun 2007 Pasal 1 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil menyebutkan bahwa pulau kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km2 (dua ribu kilometer persegi) beserta kesatuan Ekosistemnya2. Pulau kecil merupakan entitas yang memiliki karakteristik dan kerentanan khusus seperti keterpencilan, terbatasnya luas lahan, terbatasnya sumberdaya manusia dan jauh dari pasar. Pengelolaan pulau-pulau kecil memerlukan format yang berbeda dengan wilayah regional lainnya, seperti yang ada di daratan pulau besar (mainland) (Maanema, 2003).

Fauzi (2002) menjelaskan bahwa terdapat empat kendala khas pulau-pulau kecil yang harus dipertimbangkan dalam penilaian ekonomi sumberdaya pulau-pulau kecil, yaitu ukuran luasnya yang kecil (smallness), isolasi, ketergantungan (dependence), dan kerentanannya (vulnerability). Adapun perbedaan dari pulau kecil dengan pulau besar maupun benua yang dilihat dari karakteristik geografis, geologi, biologi dan ekonomi disajikan dalam tabel 1.

2


(21)

Tabel 1. Perbandingan Karakteristik Pulau Kecil, Pulau Besar dan Benua.

Pulau Kecil Pulau Besar Benua

Karakteristik Geografis

 Jauh dari benua

 Dikelilingi oleh laut luas

 Area kecil

 Suhu udara stabil

 Iklim sering berbeda dengan pulau besar terdekat

 Dekat dari benua

 Dikelilingi sebagian oleh laut

 Area besar

 Suhu udara agak bervariasi

 Iklim mirip benua terdekat

 Area sangat besar

 Suhu udara bervariasi

 Iklim musiman

Karakteristik Geologi

 Umumnya karang atau vulkanik

 Sedikit mineral penting

 Tanahnya porous/ permeabel

 Sedimen atau metamorfosis

 Beberapa mineral penting

 Beragam tanah

 Sedimen atau metamorfosis

 Beberapa mineral penting

 Beragam tanahnya Karakteristik Biologi

 Keanekaragaman hayati rendah

 Pergantian spesies tinggi

 Tinggi pemijahan massal hewan laut bertulang belakang

 Keanekaragaman hayati sedang

 Pergantian spesies agak rendah

 Sering pemijahan massal hewan laut bertulang belakang

 Keanekaragaman hayati tinggi

 Pergantian spesies biasanya sedang

 Sedikit pemijahan massal hewan laut bertulang belakang Karakteristik Ekonomi

 Sedikit sumberdaya daratan

 Sumberdaya laut lebih penting

 Jauh dari pasar

 Sumberdaya daratan agak luas

 Sumberdaya laut lebih penting

 Lebih dekat pasar

 Sumberdaya daratan luas

 Sumberdaya laut sering tidak penting

 Pasar relatif mudah Sumber : Bengen (2002c)

Terdapat dua pandangan mengenai pemanfaatan pulau-pulau kecil, sebagaimana disebutkan oleh Bengen (2002c) yakni pandangan pertama menyatakan bahwa pulau-pulau kecil sebagai kawasan yang harus dilindungi karena memiliki fungsi ekologis penting. Pandangan kedua melihat pulau-pulau kecil sebagai kawasan potensial untuk dimanfaatkan guna mendukung pertumbuhan ekonomi.

Perbedaan pandangan terjadi karena perbedaan kepentingan dari setiap stakeholder yang terlibat di dalamnya, namun pemanfaatan pulau-pulau kecil pada dasarnya tetap harus disertai dengan perencanaan yang baik untuk pembangunan


(22)

yang berkelanjutan, hal ini mengingat pulau kecil memiliki sifat yang khas. Brookfield (1990) dalam Susilo (2003) mengemukakan sifat khas pulau kecil diantaranya:

1. Kecuali pulau kecil tersebut berlokasi di daerah yang strategis untuk perdagangan atau berada di dekat pulau besar atau benua, ukuran yang kecil ini akan menjadi pembatas struktural yang mengakibatkan tidak adanya fleksibilitas pemanfaatan sumberdaya untuk merespon adanya perubahan peluang. Ruang dan sumberdaya alam menjadi sangat terbatas. Persediaan air tawar (air tanah) juga sangat terbatas atau terdapat interusi air laut sehingga pada pulau-pulau yang terletak di daerah yang jarang turun hujan akan menghadapi bahaya kekeringan.

2. Pulau kecil mempunyai kendala utama pada transportasi sehingga hubungan dengan daerah lain menjadi terbatas atau mahal.

3. Pulau kecil sangat rentan baik secara fisik maupun secara ekologis. Secara fisik pulau kecil menghadapi bahaya tenggelam akibat kenaikan permukaan air laut, proporsi erosi tanah lebih besar akibat sedikitnya daerah serapan air (catchment area). Secara ekologis pulau kecil menghadapi ancaman kerusakan ekosistem yang lebih besar dan bahkan beberapa spesies endemik telah dilaporkan hilang karena hadirnya manusia tanpa adanya pengawasan yang memadai.

2.1.1.2 Isu dan Kondisi Pulau-pulau Kecil

Pulau-pulau kecil di Indonesia terdiri dari pulau-pulau yang mempunyai nilai ekonomi tinggi dan strategis penting yaitu pulau-pulau kecil terluar yang secara geografis berbatasan dengan laut lepas dan perbatasan yang menjadi titik dasar (TD) sebagai acuan dalam penetapan batas wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan lain-lain (Abubakar, 2004). Dahuri (1998) menyatakan bahwa potensi sumberdaya alam dan jasa lingkungan di pulau-pulau kecil perbatasan terdiri dari sumberdaya hayati (padang lamun, terumbu karang dan hutan mangrove) yang sangat berperan dalam mengendalikan keseimbangan ekosistem termasuk kelestarian biota-biota perairan. Potensi sumberdaya non


(23)

hayati seperti bahan tambang, energi laut dan jasa lingkungan (terutama pariwisata) dapat dimanfaatkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.

Pulau-pulau kecil juga memiliki berbagai permasalahan yang khas selain memiliki potensi yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Permasalahan yang terjadi di pulau-pulau kecil diantaranya kondisi yang relatif terisolasi dan jauh dari pulau induk, terbatasnya sarana dan prasarana perekonomian seperti: jalan, pelabuhan, pasar, listrik maupun lembaga keuangan menyebabkan tingkat kesejahteraan dan pendapatan masyarakatnya rendah serta rendahnya kualitas sumberdaya manusia akibat kurangnya fasilitas pendidikan, tidak tersedianya media informasi dan komunikasi serta fasilitas kesehatan (Bengen, 2002). Permasalahan lain yang terjadi di pulau-pulau kecil terutama pulau yang terluar dan berbatasan dengan negara tetangga sebagaimana disebutkan dalam Dishidros TNI-AL (2003), bahwa terdapat permasalahan utama di 13 pulau-pulau kecil perbatasan adalah (1) rawan penangkapan ikan legal, (2) rawan perampokan, (3) rawan penyelundupan, (4) rawan okupasi negara lain, dan (5) rawan pengaruh ipoleksosbud dari negara lain.

2.1.2 Desentralisasi Pengelolaan Sumberdaya Perikanan

Desentralisasi adalah penyerahan kekuasaan (wewenang, hak, kewajiban dan tanggung jawab) sejumlah urusan pemerintahan dari pemerintah pusat ke daerah otonom sehingga daerah otonom itu dapat melakukan pengambilan keputusan, perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan dalam masalah-masalah pengelolaan pembangunan untuk mendorong dan meningkatkan kinerja pembangunan (Salam, 2007). Sebagaimana disebutkan dalam UU No 32 tahun 2004 pasal 1, bahwa desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia3.

3

Diakses dari

http://www.linkpdf.com/ebookviewer.php?url=http://landspatial.bappenas.go.id/peraturan/the _file/UU_No32-2004.pdf pada tanggal 9 Desember 2010


(24)

Crutchfielf (1972) dalam Suryadi (1984), mengemukakan bahwa pengelolaan perikanan meliputi peraturan-peraturan mengenai kematian karena kegiatan perikanan, meningkatkan produksi alami ikan, mendorong pengembangan pengetahuan dan teknologi yang dibutuhkan untuk mengubah sediaan yang bersifat laten menjadi sumberdaya yang bernilai ekonomi. Adapun Satria dkk (2002), menyebutkan bahwa desentralisasi pengelolaan laut merupakan wujud demokratisasi karena semakin terbuka kesempatan nelayan lokal berpartisipasi dalam pengelolaan sumberdaya.

Hutagalung dkk (2007) menjelaskan di dalam buku Pembangunan Perdesaan dan Daerah Pesisir Pada Era Milenium III, berdasarkan Pasal 18 ditetapkan bahwa daerah yang memiliki wilayah laut diberikan kewenangan untuk mengelola sumberdaya di wilayah laut. Daerah mendapatkan bagi hasil atas pengelolaan sumberdaya alam di bawah dasar dan/atau di dasar laut sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kewenangan daerah untuk mengelola sumberdaya di wilayah laut sebagaimana dimaksud di atas meliputi :

1. Eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut; 2. Pengaturan administratif;

3. Pengaturan tata ruang;

4. Penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan oleh daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah;

5. Ikut serta dalam pemeliharaan keamanan; dan 6. Ikut serta dalam pertahanan kedaulatan negara.

2.1.3 Kemiskinan

Kemiskinan sebagai suatu keadaan dimana seseorang atau masyarakat tidak mampu mencapai kecukupan dalam hal kebutuhan dasar manusia, khususnya menyangkut kebutuhan fisik yakni pangan dan bukan pangan (pakaian, perumahan dan jasa) (Fauzi, 1992). Mangkuprawira (1993) menjelaskan bahwa kemiskinan sering disebut pula sebagai ketidakberdayaan dalam pemenuhan kebutuhan pokok baik materi maupun bukan materi. Materi dapat berupa pangan, pakaian, kesehatan dan papan, sedangkan bukan materi berbentuk kemerdekaan,


(25)

kebebasan hak asasi, kasih sayang, solidaritas, sikap hidup, rasa syukur dan sebagainya.

Nelayan adalah komunitas yang identik dengan kemiskinan. Perubahan sistem pemerintahan menjadi desentralisasi yang ditandai dengan pemberian kewenangan pada pemerintah daerah diharapkan mampu mengatasi masalah daerah termasuk kemiskinan, namun sebagaimana Matdoan (2009) menjelaskan mengenai dampak dari kebijakan maupun program yang telah dijalankan Pemerintah di Maluku Tenggara, belum berdampak nyata terhadap kehidupan nelayan dalam pengentasan kemiskinan. Hal ini sejalan dengan penelitian Kinseng dkk (2010) bahwa kebijakan setelah desentralisasi atau otonomi daerah tidak banyak berpengaruh terhadap kehidupan nelayan. Hermanto (1995) dalam Fauziah dan Widodo (2008), menyebutkan beberapa ciri kemiskinan pada masyarakat nelayan, diantaranya adalah pendapatan yang berfluktuasi sepanjang tahun, pengeluaran yang cenderung pada kegiatan konsumtif, tingkat pendidikan keluarga yang rendah, kelembagaan yang belum mendukung terjadinya pemerataan pendapatan, potensi tenaga kerja keluarga belum dapat dimanfaatkan dengan baik dan akses terhadap permodalan yang rendah.

Kemiskinan merupakan masalah utama pembangunan yang juga multidimensi. Ellis (1983) dalam Fauziah dan Widodo (2008) membedakan kemiskinan dalam tiga dimensi yaitu ekonomi, sosial dan politik. Kemiskinan ekonomi adalah keadaan dimana terjadi kekurangan sumberdaya yang digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan sekelompok orang. Kemiskinan ekonomi dibedakan menjadi dua bagian yaitu kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Kemiskinan absolut adalah keadaan seseorang yang tidak mampu memenuhi kebutuhan fisik minimum, sedangkan kemiskinan relatif adalah keadaan seseorang yang tidak mampu memenuhi kebutuhan sesuai perkembangan masyarakat sekitar. Kemiskinan sosial merupakan kemiskinan sebagai akibat rendahnya kemampuan dalam membangun jaringan sosial serta struktur yang tidak mampu mendukung usaha peningkatan produktivitas. Kemiskinan sosial disebabkan oleh adanya faktor sikap mental dan nilai budaya yang ada dalam masyarakat sehingga sering disebut juga sebagai kemiskinan kultural. Kemiskinan


(26)

politik adalah kurangnya akses kekuasaan yang dapat menentukan alokasi sumberdaya untuk kepentingan peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Nikijuluw (2001) menjelaskan bahwa kemiskinan yang merupakan indikator ketidakberdayaan masyarakat nelayan disebabkan oleh tiga hal utama, yaitu kemiskinan struktural, kemiskinan super-struktural dan kemiskinan kultural. Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang disebabkan karena pengaruh faktor atau variabel eksternal diluar individu nelayan, yaitu struktur sosial ekonomi masyarakat, ketersediaan insentif atau disinsentif pembangunan, ketersediaan fasilitas pembangunan khususnya sumberdaya alam. Hubungan antara variabel-variabel ini dengan kemiskinan umumnya bersifat terbalik. Artinya semakin tinggi intensitas, volume dan kualitas variabel-variabel ini maka kemiskinan semakin berkurang. Keadaan sosial ekonomi masyarakat yang terjadi di sekitar atau di lingkup nelayan menentukan kemiskinan dan kesejahteraan mereka. Rasdani (1993) dalam Karunia (2009) menyebutkan bahwa kemiskinan struktural disebabkan oleh kurang modal, kurang pendidikan, tidak punya keahlian yang lebih produktif, tidak punya pendukung yang kuat dalam masyarakat dan tidak punya semangat untuk memperbaiki nasibnya. Kemiskinan struktural juga ditandai oleh tidak punya kemampuan dari dalam untuk mengembangkan diri, posisinya lemah dan pasrah sehingga tercipta kebudayaan kemiskinan (culture of poverty).

Kemiskinan super-struktural adalah kemiskinan yang disebabkan karena variabel-variabel kebijakan makro yang tidak begitu kuat berpihak pada pembangunan nelayan. Variabel-variabel tersebut diantaranya kebijakan fiskal, kebijakan moneter, ketersediaan hukum dan perundang-undangan, kebijakan pemerintahan yang diimplementasikan dalam proyek dan program pembangunan. Kemiskinan super-struktural sulit diatasi bila tidak ada keinginan dan kemauan secara tulus dari pemerintah untuk mengatasinya.

Kemiskinan kultural adalah kemiskinan yang disebabkan karena variabel-variabel yang melekat, inheren dan menjadi gaya hidup tertentu. Variabel-variabel-variabel kemiskinan kultural adalah tingkat pendidikan, pengetahuan, adat, budaya, kepercayaan, kesetiaan pada pandangan-pandangan tertentu serta ketaatan pada panutan. Kemiskinan kultural ini sulit diatasi terutama karena pengaruh panutan


(27)

(patron) baik yang bersifat formal maupun informal, yang sangat menentukan keberhasilan upaya-upaya pengentasan kemiskinan kultural.

Kemiskinan tidak serta merta sama pada setiap masyarakat yang miskin, namun terdapat tingkatan dari kemiskinan tersebut. Sebagaimana klasifikasi tingkat kemiskinan menurut Sayogyo (1977), yaitu klasifikasi tingkat kemiskinan didasarkan pada nilai pengeluaran per kapita per tahun yang diukur dengan nilai beras setempat, yaitu (1) miskin, apabila pengeluaran per kapita per tahun lebih rendah dari setara 320 kg beras untuk pedesaan dan 480 kg untuk daerah kota, (2) miskin sekali, apabila pengeluaran per kapita per tahun lebih rendah dari 240 kg beras untuk pedesaan dan 360 kg beras untuk daerah kota, (3) paling miskin, apabila pengeluaran per kapita per tahun lebih rendah dari setara 180 kg beras untuk pedesaan dan 270 beras untuk daerah kota.

Depsos (2005) dalam Muljono dkk (2010) juga menjelaskan indikator seseorang dikatakan miskin dapat direfleksikan sesuai tingkat kemiskinan sesungguhnya di Masyarakat. Adapan ciri keluarga miskin diantaranya:

1. Penghasilan rendah, atau berada di bawah garis sangat miskin yang dapat diukur dari tingkat pengeluaran per-orang per-bulan berdasarkan standar BPS per wilayah provinsi dan kabupaten kota.

2. Ketergantungan pada bantuan pangan untuk penduduk miskin (seperti zakat/beras untuk orang miskin/santunan sosial)

3. Keterbatasan kepemilikan pakaian untuk setiap anggota keluarga per-tahun (hanya mampu memiliki 1 stel pakaian lengkap per-orang per-tahun)

4. Tidak mampu mengobati pengobatan, jika ada salah satu anggota keluarga yang sakit

5. Tidak mampu membiayai pendidikan dasar 9 tahun bagi anak-anaknya 6. Tidak memiliki harta (assets) yang dapat dimanfaatkan hasilnya atau dijual

untuk membiayai kebutuhan hidup selama tiga bulan atau dua kali batas garis sangat miskin

7. Tinggal di rumah yang tidak layak huni 8. Sulit memperoleh air bersih.

Indikator kesejahteraan rakyat oleh Badan Pusat Statistik dilihat dari beberapa aspek, diantaranya kependudukan, kesehatan dan gizi, pendidikan,


(28)

ketenagakerjaan, taraf dan pola konsumsi, perumahan dan lingkungan, dan sosial lainnya (BPS, 2008). Aspek kependudukan dilihat dari jumlah dan laju pertumbuhan penduduk, persebaran dan kepadatan penduduk, angka beban ketergantungan dan fertilitas. Aspek kesehatan dan gizi dilihat dari derajat dan status kesehatan penduduk, pemberian ASI dan gizi balita dan pemanfaatan fasilitas tenaga kesehatan. Aspek Pendidikan dilihat dari Angka Melek Huruf (AHM) dan tingkat pendidikan, tingkat partisipasi sekolah, putus sekolah dan rasio murid-guru dan murid-kelas. Aspek ketenagakerjaan dilihat dari Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) dan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT), tingkat pendidikan, lapangan usaha dan status pekerjaan, jumlah jam kerja dan pekerja anak (10-14 tahun). Aspek taraf dan pola konsumsi dilihat dari perkembangan kemiskinan, taraf konsumsi energi dan protein, perkembangan tingkat kesejahteraan, perkembangan distribusi pendapatan dan pengeluaran rumah tangga. Aspek perumahan dan lingkungan dilihat dari kualitas tempat tinggal. Aspek sosial lainnya dilihat dari perjalanan “wisata”, akses pada informasi dan hiburan, akses pada teknologi komunikasi dan informasi dan keadaan sosial ekonomi rumah tangga.

Nilai garis kemiskinan yang digunakan oleh Badan Pusat Statistik mengacu pada kebutuhan minimum 2100 kkal per kapita per hari ditambah dengan kebutuhan minimum non-makanan yang merupakan kebutuhan dasar seseorang yang meliputi kebutuhan dasar untuk papan, sandang, sekolah, transportasi serta kebutuhan rumah tangga dan individu yang mendasar lainnya. Besarnya nilai pengeluaran (dalam rupiah) untuk memenuhi kebutuhan dasar minimum makanan dan non makanan tersebut disebut garis kemiskinan (BPS, 2005/2006).

Selain mengeluarkan indikator garis kemiskinan, BPS juga mengeluarkan indikator/kriteria rumah tangga miskin sasaran BLT yang disebutkan dalam Kumpulan Naskah Pembentukan Peraturan Pelaksanaan UU SJSN. Terdapat 14 kriteria untuk menentukan rumah tangga miskin, yaitu:

1) Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m2 per orang 2) Jenis lantai tempat tinggal terbuat dari tanah / bambu / kayu murahan 3) Jenis dinding tempat tinggal dari bambu / rumbia / kayu berkualitas rendah


(29)

4) Tidak memiliki fasilitas buang air besar / bersama-sama dengan rumah tangga lain

5) Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik

6) Sumber air minum berasal dari sumur / mata air tidak terlindung / sungai / air hujan

7) Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar / arang / minyak tanah

8) Hanya mengkonsumsi daging / susu / ayam satu kali dalam seminggu 9) Hanya membeli lebih satu stel pakaian baru dalam setahun

10) Hanya sanggup makan sebanyak satu / dua kali dalam sehari

11) Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas / poliklinik 12) Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah: petani dengan luas lahan

500 m2, buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan dan atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan dibawah Rp 600.000,-perbulan 13) Pendidikan tertinggi kelapa keluarga: tidak sekolah / tidak tamat SD /

hanya SD

14) Tidak memiliki tabungan / barang yang mudah dijual dengan minimal Rp 500.000,- seperti sepeda motor kredit / non kredit, emas, ternak, kapal motor, atau barang modal lainnya.

Berbagai definisi kemiskinan telah disebutkan oleh beberapa ahli sebelumnya, maka definisi kemiskinan pada penelitian ini yaitu suatu keadaan dimana seseorang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar manusia, khususnya menyangkut kebutuhan fisik yakni pangan dan bukan pangan (pakaian, perumahan dan jasa).

2.1.4 Faktor-Faktor Penyebab Kemiskinan

Kusnadi (2002) dalam Karunia (2009) menyatakan bahwa kemiskinan dan tekanan sosial maupun ekonomi yang dihadapi nelayan berakar pada faktor kompleks yang saling terkait. Faktor tersebut diklasifikasikan ke dalam faktor alami dan faktor non-alami. Faktor alamiah berkaitan dengan fluktuasi musim penangkapan dan struktur alamiah sumberdaya ekonomi desa. Faktor non-alamiah, berkaitan dengan keterbatasan daya jangkau teknologi penangkapan,


(30)

ketimpangan dalam sistem bagi hasil dan tidak adanya jaminan sosial yang pasti, lemahnya penguasaan jaring pemasaran dan modernisasi perikanan yang telah berlangsung sejak seperempat abad terakhir ini.

Penyebab terjadinya kemiskinan pada masyarakat nelayan menurut Pangemanan (1994), diantaranya kurangnya akses kepada sumber-sumber modal, akses terhadap teknologi, akses terhadap pasar maupun rendahnya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam, selain itu dapat pula disebabkan karena faktor-faktor sosial seperti pertumbuhan jumlah penduduk yang tinggi, rendahnya tingkat pendidikan dan rendahnya tingkat kesehatan serta alasan-alasan lainnya seperti kurangnya prasarana umum di wilayah pesisir, lemahnya perencanaan spasial yang mengakibatkan tumpang tindihnya beberapa sektor pada satu kawasan, polusi dan kerusakan lingkungan.

Chamsyah (2006) mengatakan bahwa kemiskinan adalah bencana sosial yang banyak dihubungkan dengan sebab-sebab tertentu. Semula, tidak dapat diterima sebagai kondisi alami, namun terdapat faktor internal dan eksternal dari masyarakat yang menjadi miskin. Beberapa penyebab kemiskinan antara lain :

1. Penyebab individual, atau patologis, yang melihat kemiskinan sebagai akibat dari perilaku, pikiran, pilihan atau kemampuan diri individu yang miskin;

2. Penyebab keluarga, yang menghubungkan kemiskinan dengan pendidikan keluarga dan perencanaan keluarga sejahtera;

3. Penyebab sub-budaya (“sub-cultural”), yang menghubungkan kemiskinan dengan kehidupan sehari-hari, dipelajari atau dijalankan dalam lingkungan sekitar, seperti keyakinan , norma, adat dan agama;

4. Penyebab agensi, yang melihat kemiskinan sebagai akibat dari aksi orang lain, termasuk perang, pemerintah dan ekonomi;

5. Penyebab struktural, yang memberikan alasan bahwa kemiskinan merupakan hasil dari struktur sosial.


(31)

2.1.5 Strategi Adaptasi Nelayan

Masyarakat pasti mengalami perubahan dalam hidupnya, karena tidak ada manusia yang statis pada satu titik. Perubahan yang terjadi bisa dalam waktu yang lama namun juga bisa dalam waktu yang cepat. Perubahan yang terjadi tidak hanya pada satu aspek, sebagaimana yang disebutkan oleh Soekanto (1982), bahwa perubahan-perubahan masyarakat dapat mengenai nilai-nilai sosial, norma-norma sosial, pola-pola perilaku organisasi, susunan lembaga kemasyarakatan, lapisan-lapisan dalam masyarakat, kekuasaan dan wewenang, interaksi sosial dan lain sebagainya. Perubahan yang terjadi dalam suatu masyarakat bukan semata-mata sebagai suatu kemajuan (progress) namun juga dapat berarti kemunduran dari bidang-bidang kehidupan tertentu (Soekanto, 1982).

Syarbani (2002) dalam Yulianto (2010) menjelaskan bahwa setiap masyarakat mengalami perubahan sepanjang masa. Perubahan yang terjadi ada yang samar, ada yang mencolok, ada yang lambat, ada yang cepat, ada yang sebagian atau terbatas dan ada yang menyeluruh. Samuel Koenig (1957) dalam Soekanto (1982) mengatakan bahwa perubahan sosial menunjuk pada modifikasi-modifikasi yang terjadi dalam pola-pola kehidupan manusia. Modifikasi-modikasi mana terjadi sebab intern maupun sebab ekstern.

Salah satu dari sebab ekstern yang memicu terjadinya perubahan pada kehidupan yaitu adanya aktivitas pertambangan. Retna (2003) menyatakan bahwa adanya aktivitas masyarakat di lokasi pertambangan batubara sangat berpengaruh terhadap peningkatan pendapatan hidup masyarakat yang terlibat dalam kegiatan pertambangan. Perubahan juga terjadi pada berbagai aspek pola kehidupan nelayan. Perubahan-perubahan terutama yang berkaitan dengan mata pencaharian sebagai nelayan berdampak pada keberlanjutan hidup. Perubahan iklim tentu berpengaruh terhadap strategi adaptasi yang dilakukan oleh nelayan, hal ini karena pekerjaan sebagai nelayan sangat tergantung pada musim untuk melaut dengan pendapatan yang fluktuatif terutama ketika musim paceklik. Kondisi tersebut mengakibatkan tingkat pendapatan nelayan pada sektor perikanan tidak pasti. Akibatnya, dalam kehidupan sehari-hari rumah tangga nelayan umumnya mengikutsertakan anggota rumah tangga lainnya seperti istri untuk bekerja dan pada musim paceklik nelayan bekerja pada sektor non perikanan untuk mencari


(32)

pendapatan tambahan (Pancasasti, 2008). Berbagai strategi adaptasi dilakukan nelayan untuk beradaptasi dengan kondisi yang dinamis untuk mempertahankan hidup.

Strategi merupakan suatu pilihan yang digunakan terhadap beberapa alternatif pilihan yang tersedia, sedangkan strategi nafkah menurut Dharmawan (2001) adalah segala kegiatan atau keputusan yang diambil anggota rumah tangga untuk bertahan hidup (survival) dan atau membuat hidup lebih baik. Tujuan dari bertahan hidup ini adalah membangun beberapa strategi untuk keamanan dan keseimbangan mata pencaharian rumah tangga. Kusnadi (2000) dalam Rofikoh (2007) menjelaskan bahwa strategi adaptasi yang biasanya dilakukan adalah memobilisasi peran perempuan (kaum istri) dan anak-anaknya untuk mencari nafkah. Keterlibatan perempuan dalam mencari nafkah untuk keluarga di wilayah pesisir atau desa-desa nelayan tidak terlepas dari sistem pembagian kerja secara seksual (the division of labour of sex) yang berlaku pada masyarakat setempat.

Carner (1984) menyatakan bahwa terdapat beberapa strategi yang dapat dilakukan oleh rumah tangga miskin pedesaan antara lain :

1. Melakukan beraneka ragam pekerjaan meskipun dengan upah yang rendah 2. Memanfaatkan ikatan kekerabatan serta pertukaran timbal balik dalam

pemberian rasa aman dan perlindungan.

3. Melakukan migrasi ke daerah lain biasanya migrasi desa-kota sebagai alternatif terakhir apabila sudah tidak terdapat lagi pilihan sumber nafkah di desanya.

Hasil penelitian Rofikoh (2007) menjelaskan tentang strategi adaptasi nelayan untuk survival dalam mensikapi tekanan untuk mempertahankan hidup terutama saat paceklik yaitu: Pertama, nelayan melakukan diversifikasi pekerjaan (berdagang, bertani, buruh serabutan) namun ada pula nelayan yang memilih tidak bekerja serabutan tetapi memperbaiki peralatan. Kedua, melibatkan peran perempuan dan anak pada kegiatan usaha berbasis perikanan dan kelautan (pedagang pengecer, pengumpul ikan, pedagang besar, buruh upahan, maupun tenaga pengolah), peran wanita sangat strategis terutama pada ranah pasca panen dan pemasaran hasil perikanan. Kaum perempuan banyak terlibat dalam kegiatan pranata sosial ekonomi yang mereka bentuk seperti arisan, pengajian berdimensi


(33)

kepentingan ekonomi, simpan pinjam dan jaringan sosial yang bisa dimanfaatkan untuk menunjang kelangsungan hidup keluarga. Ketiga, menjual barang berharga milik keluarga, berhutang (pada saudara, koperasi atau juragan), dan sumbangan keluarga/penghasilan maupun menganggur.

2.1.6 Sikap

Fishbein dan Ajzen (1975) berpendapat bahwa, sikap merupakan predisposisi (keadaan yang mudah terpengaruh) emosional yang dipelajari untuk menanggapi atau bereaksi secara konsisten terhadap suatu obyek, baik dalam bentuk tanggapan positif maupun tanggapan negatif. Lau dan Shani (1992) menyebutkan bahwa sikap diartikan sebagai kecenderungan individu untuk menanggapi dengan cara tertentu terhadap situasi, benda, ide, orang dan isu. Sikap seseorang terhadap sesuatu dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti pengalaman, pengetahuan, perasaan, emosi, cara berfikir, kebutuhan dan tujuan yang ingin dicapai. Sarwono (1992) menggunakan konsep W. McGuire yang mendefinisikan sikap sebagai respon manusia yang menempatkan objek yang dipikirkan ke dalam suatu dimensi pertimbangan. Objek yang dipikirkan adalah segala sesuatu (benda, orang dan lain-lain) yang bisa dinilai oleh manusia

Wagito (2002) dalam Mulyandari (2006) mengatakan bahwa pembentukan dan perubahan sikap akan ditentukan oleh dua faktor, yaitu:

a. Faktor Internal (individu itu sendiri), yaitu cara dalam menanggapi dunia luarnya dengan selektif sehingga tidak semua yang datang akan diterima atau ditolak. Faktor internal itu merupakan faktor-faktor yang terdapat dalam diri orang yang bersangkutan.

b. Faktor eksternal, yaitu keadaan-keadaan yang ada si luar individu yang merupakan stimulus untuk membentuk atau mengubah sikap. Faktor-faktor tersebut yaitu sifat objek yang dijadikan sasaran, kewibawaan orang yang mengemukakan suatu sikap, sifat orang-orang atau sekelompok orang yang mendukung sifat tersebut, media komunikasi yang digunakan dalam menyampaikan sikap dan situasi pada saat sikap itu dibentuk.


(34)

Zanden (1984) menjelaskan bahwa sikap terdiri dari tiga komponen, yaitu komponen kognitif, afektif dan perilaku. Komponen kognitif menunjukkan bagaimana seseorang mengetahui tentang suatu objek, kejadian, situasi, pemikiran, keyakinan dan ide mengenai sesuatu. Komponen afektif adalah berupa perasaan atau emosi terhadap obyek aktual, kejadian atau situasi yang berkaitan. Komponen perilaku menunjukkan kecenderungan untuk bertindak berkaitan dengan obyek, kejadian atau situasi yang dihadapi.

Gerungan (1996) menjelaskan bahwa sikap mempunyai ciri-ciri antara lain: (1) sikap tidak dibawa sejak lahir, melainkan dibentuk atau dipelajari sepanjang perkembangan orang itu dalam hubungan dengan objeknya, (2) sikap itu dapat berubah-ubah bila terdapat keadaan dan syarat tertentu, karena sikap itu dapat dipelajari, (3) sikap tidak berdiri sendiri, tetapi senantiasa mengandung relasi tertentu terhadap suatu objek, (4) objek sikap itu dapat merupakan satu hal tertentu, tetapi dapat juga merupakan kumpulan dari hal-hal tertentu, (5) sikap mempunyai segi motivasi dan segi perasaan, sehingga hal inilah yang membedakan sikap dari kecakapan atau pengetahuan yang dimiliki seseorang.

Berdasarkan definisi-definisi yang diuraikan di atas, dapat disimpulkan bahwa sikap dalam penelitian ini adalah kecenderungan individu untuk menanggapi suatu objek, dapat berupa situasi, benda, ide, orang dan isu baik dalam bentuk tanggapan positif maupun tanggapan negatif dan dapat dipelajari.

2.2 Kerangka Pemikiran

Setiap masyarakat mengalami perubahan sepanjang masa. Perubahan juga terjadi pada masyarakat nelayan. Masyarakat nelayan di pulau kecil mengalami perubahan walaupun secara geografis pulau kecil memiliki karakteristik yang khas yaitu ukuran luasnya yang kecil (smallness), isolasi, ketergantungan (dependence), dan kerentanannya (vulnerability). Perubahan yang terjadi dapat dipicu oleh faktor eksternal maupun faktor internal.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan sebelumnya, kebijakan setelah desentralisasi atau otonomi daerah tidak banyak berpengaruh terhadap kehidupan nelayan, sehingga kebijakan otonomi daerah di Pulau Sebuku akan dilihat sebagai salah satu faktor yang diduga mempengaruhi dinamika kehidupan nelayan.


(35)

Masuknya perusahaan tambang dan kondisi iklim di Pulau Sebuku juga akan dilihat sebagai faktor eksternal yang diduga mempengaruhi kehidupan nelayan. Hal ini karena adanya aktivitas masyarakat di lokasi pertambangan berpengaruh terhadap peningkatan pendapatan hidup masyarakat yang terlibat dalam kegiatan pertambangan. Perubahan iklim diduga berpengaruh terhadap strategi adaptasi yang dilakukan nelayan, karena pekerjaan sebagai nelayan sangat tergantung pada musim untuk melaut dengan pendapatan yang fluktuatif terutama ketika musim paceklik. Faktor eksternal di luar kehidupan nelayan di Pulau Sebuku akan dilihat dari tiga aspek, yaitu kebijakan otonomi daerah, masuknya perusahaan tambang dan kondisi iklim, dimana kondisi kemiskinan diduga berpengaruh terhadap strategi adaptasi yang dilakukan oleh nelayan.

Sikap seseorang terhadap suatu objek dipengaruhi oleh berbagai faktor, dalam penelitian ini faktor yang mempengaruhi sikap akan dilihat dari faktor internal yaitu karakteristik individu nelayan terhadap faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor-faktor yang terdapat dalam diri individu, sedangkan faktor eksternal merupakan faktor yang berasal dari lingkungan di luar individu yang merupakan obyek dan mempengaruhi sikap seseorang. Sikap nelayan disini adalah sikap nelayan terhadap faktor eksternal (kebijakan otonomi daerah, masuknya perusahaan tambang dan kondisi iklim). Faktor internal dilihat dari karakteristik individu nelayan, yaitu usia, tingkat pendapatan, tingkat pendidikan, jumlah tanggungan keluarga dan pengalaman melaut.


(36)

Gambar 1. Kerangka Analisis Kemiskinan dan Strategi Adaptasi Nelayan di Pulau Kecil

Keterangan Gambar

: Tentang

: Dimensi kehidupan nelayan : Pengaruh

: Hubungan

: Batasan aspek yang dikaji

Berdasarkan Gambar 1, faktor eksternal dilihat dari tiga aspek, yaitu kebijakan otonomi daerah, masuknya perusahaan tambang dan kondisi iklim diduga berpengaruh terhadap dinamika kehidupan nelayan, karena ketiga aspek dari faktor eksternal tersebut berkaitan dengan kehidupan masyarakat terutama yang bermata pencaharian sebagai nelayan. Dinamika kehidupan nelayan dalam penelitian ini dilihat dari tiga komponen, yaitu kondisi kemiskinan, strategi adaptasi dan sikap nelayan, dimana kondisi kemiskinan dan sikap nelayan terhadap tiga faktor eksternal berpengaruh terhadap strategi adaptasi yang dilakukan oleh nelayan. Faktor Internal dari karakteristik individu nelayan diduga

Strategi adaptasi Faktor eksternal:  Kebijakan otonomi daerah  Masuknya perusahaan tambang  Kondisi iklim

Dinamika kehidupan nelayan di pulau kecil

Karakteristik individu nelayan:  Usia

 Tingkat pendapatan  Tingkat pendidikan

 Jumlah tanggungan keluarga  Pengalaman melaut


(37)

memiliki hubungan dengan sikap nelayan tentang faktor eksternal (kebijakan otonomi daerah, masuknya perusahaan tambang dan kondisi iklim).

2.3 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, maka hipotesis penelitian adalah sebagai berikut:

1. Diduga semakin tinggi usia maka semakin positif sikap nelayan terhadap kebijakan otonomi daerah, masuknya perusahaan tambang dan kondisi iklim.

2. Diduga semakin tinggi tingkat pendapatan maka semakin positif sikap nelayan terhadap kebijakan otonomi daerah, masuknya perusahaan tambang dan kondisi iklim.

3. Diduga semakin tinggi tingkat pendidikan maka semakin positif sikap nelayan terhadap kebijakan otonomi daerah, masuknya perusahaan tambang dan kondisi iklim.

4. Diduga semakin banyak jumlah tanggungan keluarga maka semakin positif sikap nelayan terhadap kebijakan otonomi daerah, masuknya perusahaan tambang dan kondisi iklim.

5. Diduga semakin tinggi pengalaman melaut maka semakin positif sikap nelayan terhadap kebijakan otonomi daerah, masuknya perusahaan tambang dan kondisi iklim.

2.4 Definisi Operasional

a. Dinamika kehidupan nelayan adalah perubahan yang terjadi pada pola kehidupan nelayan seiring berjalannya waktu, baik lambat maupun cepat yang berhubungan dengan kehidupan nelayan di Pulau Sebuku. Dinamika kehidupan nelayan Pulau Sebuku yang dikaji dalam penelitian ini dibatasi pada tiga aspek, yaitu kondisi kemiskinan, strategi adaptasi dan sikap nelayan tentang kebijakan otonomi daerah, masuknya perusahaan tambang dan kondisi iklim. Dinamika kehidupan nelayan diketahui dengan mangajukan pertanyaan langsung pada responden dan informan menggunakan metode wawancara mendalam.


(38)

b. Kemiskinan adalah suatu keadaan dimana seseorang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar manusia. Kemiskinan dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan indikator yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), yaitu garis kemiskinan (pangan dan non-pangan) serta kriteria rumah tangga miskin sasaran Bantuan Langsung Tunai (BLT). Garis kemiskinan yang digunakan adalah garis kemiskinan BPS wilayah perdesaan di Provinsi Kalimantan Selatan. Selain menggunakan indikator garis kemiskinan untuk menentukan penduduk miskin, digunakan juga 14 indikator / kriteria rumah tangga miskin sasaran BLT.

Terdapat 14 kriteria untuk menentukan rumah tangga miskin, yaitu: 1 Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 m2 per orang 2 Jenis lantai tempat tinggal terbuat dari tanah / bambu / kayu murahan 3 Jenis dinding tempat tinggal dari bambu / rumbia / kayu berkualitas

rendah / tembok tanpa diplester

4 Tidak memiliki fasilitas buang air besar / bersama-sama dengan rumah tangga lain

5 Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik

6 Sumber air minum berasal dari sumur / mata air tidak terlindung / sungai / air hujan

7 Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar / arang / minyak tanah

8 Hanya mengkonsumsi daging / susu / ayam satu kali dalam seminggu 9 Hanya membeli lebih satu stel pakaian baru dalam setahun

10 Hanya sanggup makan sebanyak satu / dua kali dalam sehari

11 Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas / poliklinik 12 Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah: petani dengan luas

lahan 500 m2, buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan dan atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan dibawah Rp 600.000,-perbulan

13 Pendidikan tertinggi kelapa keluarga: tidak sekolah / tidak tamat SD / hanya SD


(39)

Rp 500.000,- seperti sepeda motor kredit / non kredit, emas, ternak, kapal motor, atau barang modal lainnya.

Untuk jawaban setiap item :

 Ya skor 1

 Tidak skor 0

Total skor minimum = 0, Total skor maksimum = 14

 Kriteria penilaian :

memenuhi 14 kriteria = sangat miskin (di beri kode 1) memenuhi 11 – 13 kriteria = miskin (di beri kode 2) memenuhi 9 – 10 kriteria = hampir miskin (di beri kode 3) memenuhi < 9 kriteria = tidak miskin (di beri kode 4)

c. Strategi adaptasi adalah segala kegiatan atau keputusan yang diambil anggota rumah tangga untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan dan bertahan hidup. Strategi adaptasi diketahui dengan mangajukan pertanyaan langsung kepada responden dan informan menggunakan metode wawancara mendalam.

d. Sikap nelayan adalah kecenderungan individu untuk menanggapi suatu objek, yaitu kebijakan otonomi daerah, masuknya perusahaan tambang dan kondisi iklim baik dalam bentuk tanggapan positif maupun tanggapan negatif. Sikap terhadap faktor eksternal diukur menggunakan skala likert berskala lima (Rakhmat, 1997).

Cara mengukur dan memberi skor sikap responden baik terhadap kebijakan otonomi daerah, masuknya perusahaan tambang dan kondisi iklim.

Untuk jawaban setiap item :

 Sangat setuju skor 4

 Setuju skor 3

 Netral/ragu-ragu skor 2

 Tidak setuju skor 1

 Sangat tidak setuju skor 0


(40)

Penjumlahan skor setiap pertanyaan dari masing-masing aspek disebut sebagai skor sikap nelayan baik terhadap kebijakan otonomi daerah, masuknya perusahaan tambang dan kondisi iklim dibagi dengan jumlah pertanyaan dari masing-masing aspek yang kemudian dikategorikan dengan menggunakan rumus Rank Spearman, yaitu:

R = nilai maksimal-nilai minimal

Jumlah rank

a. sikap terhadap kebijakan otonomi daerah, masuknya perusahaan tambang

atau kondisi iklim dengan total skor berada pada interval 0 < x ≤ 0,8

diberi skor 0

b. sikap terhadap kebijakan otonomi daerah, masuknya perusahaan tambang

atau kondisi iklim dengan total skor berada pada interval 0,8 < x ≤ 1,6 diberi skor 1

c. sikap terhadap kebijakan otonomi daerah, masuknya perusahaan tambang

atau kondisi iklim dengan total skor berada pada interval 1,6 < x ≤ 2,4

diberi skor 2

d. sikap terhadap kebijakan otonomi daerah, masuknya perusahaan tambang atau kondisi iklim dengan total skor berada pada interval 2,4 < x ≤ 3,2 diberi skor 3

e. sikap terhadap kebijakan otonomi daerah, masuknya perusahaan tambang

atau kondisi iklim dengan total skor berada pada interval 3,2 < x ≤ 4,0

diberi skor 4

Penjumlahan dari skor setiap pertanyaan dari masing-masing aspek disebut sebagai skor sikap nelayan baik terhadap kebijakan otonomi daerah, masuknya perusahaan tambang dan kondisi iklim yang dikategorikan menjadi:

a. sikap nelayan baik kebijakan otonomi daerah, masuknya perusahaan tambang atau kondisi iklim jika kecenderungan jawaban sangat setuju dan setuju dikategorikan sebagai sikap positif, dengan total skor berada pada


(41)

b. sikap nelayan baik kebijakan otonomi daerah, masuknya perusahaan tambang atau kondisi iklim jika kecenderungan jawaban sangat tidak setuju dan tidak setuju dikategorikan sebagai sikap negatif, dengan total

skor berada pada interval 0 < x ≤ 20 diberi kode 1

e. Karakteristik individu nelayan dilihat dari:

 Usia adalah lama tahun hidup responden hingga pada saat penelitian dilakukan. Usia diukur dengan mangajukan pertanyaan langsung kepada responden. Usia dibagi dalam tiga kategori berdasarkan rata-rata usia responden secara emic, yaitu:

a. Tinggi : usia responden 50 tahun – 64 tahun = skor 3 b. Sedang : usia responden 35 tahun – 49 tahun = skor 2 c. Rendah : usia responden 20 tahun – 34 tahun = skor 1

 Tingkat pendapatan ialah jumlah uang dalam rupiah yang diperoleh responden dari mata pencaharian sebagai nelayan yang dihitung per bulan. Tingkat pendapatan diukur dengan mangajukan pertanyaan langsung kepada responden. Tingkat pendapatan dibagi dalam tiga kategori berdasarkan rata-rata jumlah pendapatan responden secara emic, yaitu:

a. Tinggi : pendapatan yang diperoleh perbulan responden Rp3.000.000 ≤ x < Rp 4.500.000 = skor 3

b. Sedang : pendapatan yang diperoleh perbulan responden

Rp1.500.000 ≤ x < Rp 3.000.000 = skor 2

c. Rendah : pendapatan yang diperoleh perbulan responden <Rp1.500.000 = skor 1

 Tingkat pendidikan ialah jenjang pendidikan formal terakhir yang pernah di tempuh responden. Tingkat pendidikan diukur dengan mangajukan pertanyaan langsung kepada responden berdasarkan rata-rata tingkat pendidikan responden secara emic.

a. Tidak sekolah =skor 1 b. Tidak tamat SD =skor 2 c. Tamat SD =skor 3


(42)

d. Tidak tamat SMP =skor 4 e. Tamat SMP =skor 5

 Jumlah tanggungan keluarga adalah banyaknya anggota keluarga yang masih menjadi tanggungan dalam memenuhi kebutuhan hidup. Jumlah tanggungan keluarga diukur dengan mangajukan pertanyaan langsung kepada responden. Jumlah tanggungan keluarga dibagi dalam tiga kategori berdasarkan rata-rata jumlah tanggungan keluarga responden secara emic.

a. Banyak : jumlah tanggungan keluarga responden 4-5 orang = skor 3 b. Sedang : jumlah tanggungan keluarga responden 2-3 orang = skor 2 c. Sedikit : jumlah tanggungan keluarga responden 0-1 orang = skor 1

 Pengalaman melaut adalah lamanya seseorang berprofesi sebagai nelayan dan pergi melaut yang diukur dengan satuan tahun. Pengalaman melaut diukur dengan mangajukan pertanyaan langsung kepada responden. Pengalaman melaut dibagi dalam tiga kategori berdasarkan rata-rata Pengalaman melaut responden secara emic, yaitu:

a. Tinggi : pengalaman melaut responden 40 ≤ x < 60 tahun= kode 3 b. Sedang : pengalaman melaut responden 20 ≤ x< 40 tahun = kode 2 c. Rendah : pengalaman melaut responden 0 ≤ x < 20 tahun = kode 1


(43)

BAB III

PENDEKATAN LAPANGAN

3.1 Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan kombinasi metode kuantitatif dan kualitatif. Strategi penelitian kualitatif yang digunakan dalam penelitian adalah metode studi kasus yang bersifat deskriptif, untuk mengetahui bagaimana faktor eksternal (kebijakan otonomi daerah, masuknya perusahaan tambang dan kondisi iklim) berpengaruh terhadap dimensi kehidupan nelayan di pulau kecil yang dilihat dari tiga aspek, yaitu kondisi kemiskinan, strategi adaptasi dan sikap nelayan. Pendekatan kualitatif merupakan prosedur penelitian yang mementingkan diperolehnya informasi atau data dari subyek penelitian secara alamiah, berdasarkan pengalaman sosial mereka masing-masing, dan data yang didapatkan merupakan data deskriptif berupa kata-kata dari subyek penelitian.

Pendekatan kuantitatif merupakan penelitian yang menggambarkan atau menjelaskan suatu masalah yang hasilnya dapat digeneralisasikan. Penelitian kuantitatif menggunakan metode survei. Penelitian kuantitaif ini bersifat explanatory research yang menjelaskan hubungan-hubungan kausal antara variabel melalui pengujian hipotesa (Singarimbun, 1989). Pendekatan kuantitatif ini digunakan untuk melihat bagaimana hubungan antara karakteristik individu nelayan (usia, tingkat pendapatan, tingkat pendidikan, jumlah tanggungan keluarga dan pengalaman melaut) dengan sikap nelayan mengenai kebijakan otonomi daerah, masuknya perusahaan tambang dan kondisi iklim. Data kuantitatif diperoleh dari pengumpulan data melalui instrumen utama penelitian survei, yaitu kuesioner.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Pulau Sebuku merupakan Kecamatan di Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan. Pulau Sebuku dibagi dalam delapan desa, yaitu Desa Sungai Bali, Desa Rampa, Desa Ujung, Desa Serakaman, Desa Belambus, Desa Mandin, Desa Kanibungan dan Desa Sekapung. Dari delapan desa tersebut, penelitian ini dilakukan di Desa Rampa dan Desa Sekapung. Lokasi penelitian dipilih secara


(44)

sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa Desa Rampa dan Desa Sekapung merupakan desa nelayan yang sebagian besar kepala keluarganya bermata pencaharian sebagai nelayan namun memiliki karakteristik yang berbeda yang dapat dibandingkan dan saling melengkapi. Penelitian dilaksanakan dalam waktu satu bulan. Kegiatan penelitian meliputi pengambilan data lapangan, penulisan draft skripsi, sidang skripsi, dan perbaikan laporan penelitian.

3.3 Teknik Pengumpulan Data

Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini meliputi:

1. Data sekunder, meliputi hasil dokumentasi dan studi literatur (Kabupaten dalam Angka 2010, Kecamatan dalam Angka 2010, dan Profil Desa 2010) dan hasil penelitian sebelumnya, dapat berupa jurnal, skripsi, tesis, disertasi, makalah dan informasi dari internet.

2. Data primer yang diperoleh dari wawancara dengan responden dan informan.

Terdapat dua subjek dalam penelitian ini yaitu informan dan responden. Informan adalah seseorang yang dapat menjelaskan dan memberikan keterangan atau gambaran mengenai dirinya sendiri, keluarga, pihak lain dan lingkunganya. Informan yang dipilih adalah tokoh masyarakat seperti elit desa, ketua RW, ketua RT, tokoh agama, serta masyarakat yang memiliki pengaruh kuat di desa tersebut. Banyaknya informan tidak dibatasi, akan tetapi informan tersebut dapat memberikan informasi yang relevan dan dapat membantu peneliti dalam menjawab perumusan masalah dalam penelitian ini.

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh nelayan yang berada di Desa Rampa dan Desa Sekapung. Responden dalam penelitian ini yaitu rumah tangga nelayan. Responden adalah individu yang dapat memberikan keterangan atau informasi mengenai dirinya sendiri. Untuk memperoleh responden, maka ditentukan kerangka percontohan (sampling frame) yaitu rumah tangga nelayan di Desa Rampa dan Desa Sekapung, Kecamatan Pulau Sebuku, Kabupaten Kotabaru, Provinsi Kalimantan Selatan.

Pengambilan responden dalam penelitian ini menggunakan teknik simple random sampling dengan mengundi unsur-unsur penelitian atau satuan-satuan elementer (pengundian) dari sampling frame yang ada. Simple random sampling


(45)

adalah sebuah sampel yang diambil sedemikian rupa sehingga setiap unit penelitian atau satuan elementer dari populasi mempunyai kesempatan atau peluang yang sama untuk terpilih sebagai sampel (Singarimbun, 1989). Jumlah responden yang diambil sejumlah 30 rumah tangga dari masing-masing desa agar dapat dilakukan uji statistik. Responden diwawancarai sesuai dengan kuesioner yang telah disusun.

3.4 Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Unit analisis dalam penelitian ini adalah individu dan rumah tangga. Unit analisis individu digunakan untuk menganalisis sikap nelayan tentang kebijakan otonomi daerah, masuknya perusahaan tambang dan kondisi iklim di Pulau Sebuku, sementara unit analisis rumah tangga digunakan untuk menganalisis kondisi kemiskinan dan strategi adaptasi.

Skala pengukuran yang digunakan untuk mengukur sikap nelayan tentang kebijakan otonomi daerah, masuknya perusahaan tambang dan kondisi iklim dengan menggunakan skala likert. Data kuantitatif yang diperoleh pada penelitian ini akan ditabulasikan. Data hasil kuesioner dari responden akan diolah dengan menggunakan program Microsoft Excel dan SPSS 16.0 for Windows, kemudian dilakukan analisis data secara statistik dengan menggunakan uji statistik Rank Spearman yang berfungsi untuk menentukan besarnya hubungan dua variabel yang berskala ordinal (Sarwono, 2006). Uji statistik Rank Spearman untuk mengetahui hubungan antara karakteristik individu nelayan (usia, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, jumlah tanggungan keluarga dan pengalaman melaut) dengan sikap nelayan terhadap kebijakan otonomi daerah, masuknya perusahaan tambang dan kondisi iklim dengan menggunakan nilai taraf nyata sebesar 10% atau sama dengan 0,1. Apabila P-value < 0,1 maka terima H1 yaitu ada korelasi antar variabel pada taraf nyata 10 % dan apabila P-value > 0,1 maka terima H0 yaitu tidak ada korelasi antar variabel pada taraf nyata 10%.

Uji hipotesis Rank Spearman :

H0 : tidak ada korelasi antar variabel H1 : ada kolerasi antar variabel


(46)

Adapun rumus koefisien korelasi Rank Spearman adalah sebagai berikut:

ρ atau rs = 1 - 6∑di2 n(n2-1)

keterangan : ρ atau rs = koefisien korelasi Rank Spearman di = determinan

n = jumlah data / sampel

Koefisien korelasi Rank Spearman (rxy) menunjukkan kuat tidaknya antara indikator x terhadap variabel X dengan indikator y terhadap variabel Y maupun variabel X terhadap variabel Y sehingga digunakan batasan koefisien korelasi untuk mengkategorikan nilai r. Kriteria pengukuran dapat dilihat pada tabel 3.

Tabel 2. Kriteria pengukuran Koefisien Korelasi

Kisaran Kriteria

0 - 0,249 Menunjukkan tidak adanya hubungan atau lemah sekali 0,250 – 0,499 Menunjukkan hubungan yang tidak erat atau rendah 0,500 – 0,749 Menunjukkan hubungan yang erat atau tinggi

0,750 – 1 Menunjukkan hubungan yang sangat erat atau sangat kuat sekali dan dapat diandalkan


(47)

BAB IV

GAMBARAN LOKASI PENELITIAN

4.1 Kondisi Geografis

4.1.1 Kondisi Geografis Desa Rampa

Desa Rampa termasuk ke dalam Kecamatan Pulau Sebuku, Kabupaten Kotabaru, Provinsi Kalimantan Selatan. Secara geografis Desa Rampa terletak di ujung utara dari Pulau Sebuku dan memiliki luasan 17 km2 atau 6,92 persen dari luas Pulau Sebuku dan terdiri dari 97 persen dataran dan 3 persen berbukit dari luas wilayah. Desa Rampa berbatasan dengan desa maupun laut, dengan batas wilayah yaitu

Sebelah Utara : Desa Ujung / Tanjung Mangkok Sebelah Timur : Desa Sungai Bali

Sebelah Selatan : Desa Serakaman Sebelah Barat : Selat Sebuku

Desa Rampa merupakan pintu gerbang Kecamatan Pulau Sebuku, jumlah penduduk sebanyak 1.059 jiwa yang terdiri dari 523 laki-laki dan 536 perempuan dengan kepadatan penduduk 62 jiwa tiap km2 dimana sebanyak 75 persen penduduk bermata pencaharian sebagai nelayan. Jarak tempuh dari Desa Rampa menuju Desa Sungai Bali sebagai Ibukota Kecamatan Pulau Sebuku adalah 1 km karena letak desa yang bersebelahan dan hanya dipisahkan oleh satu buah jembatan, sedangkan jarak tempuh dari Desa Rampa menuju Ibukota Kabupaten Kotabaru sejauh 44 km, dengan jarak tempuh satu jam menggunakan speedboat dan dua jam menggunakan kapal motor besar berukuran 12 x 6 meter melalui Selat Sebuku.

Desa Rampa dipengaruhi oleh dua musim, yakni musim kemarau dan musim hujan dengan suhu udara maksimum rata-rata antara 30,5°C – 32,9°C dan musim hujan dengan suhu udara minimum rata-rata antara 22,7°C - 24,7°C. Penyinaran matahari yang tinggi menyebabkan tingginya intensitas penguapan sehingga selalu terdapat awan aktif dan udara yang penuh sehingga seringkali terjadi turun hujan. Desa Rampa memiliki rata-rata curah hujan berkisar antara 0,9 - 13,5 mm dengan jumlah hari hujan berkisar antara 5 - 28 hari / tahun.


(48)

Terdapat dua musim terkait dengan aktivitas nelayan pergi ke laut, yaitu musim paceklik atau musim angin tenggara atau musim angin selatan yaitu pada bulan Juni hingga bulan Desember, pada kurun waktu ini nelayan mengurangi lamanya aktivitas melaut. Pada musim tangkap atau musim angin barat maupun musim pancaroba yaitu pada bulan Januari hingga bulan Mei, nelayan banyak mendapat hasil tangkap / panen secara rutin setiap harinya dengan beberapa jenis mata usaha itu sendiri yang dimiliki oleh para nelayan Desa Rampa. Pemanfaatan wilayah Desa Rampa menurut topografinya adalah untuk lahan pertanian sayuran, perikanan, perumahan penduduk, jalan jembatan dan jalan lingkungan.

4.1.2 Kondisi Geografis Desa Sekapung

Desa Sekapung termasuk ke dalam Kecamatan Pulau Sebuku, Kabupaten Kotabaru, Provinsi Kalimantan Selatan. Secara geografis Desa Sekapung terletak di ujung selatan dari Pulau Sebuku dan memiliki luasan 37 km2 atau 15,07 persen dari luas Pulau Sebuku. Jarak dari Desa Sekapung menuju Ibukota Kecamatan (Desa Sungai Bali) yaitu 30 km2 sedangkan jarak menuju Ibukota Kabupaten adalah 86 km2. Desa Sekapung berbatasan dengan desa maupun selat, dengan batas wilayah yaitu :

Sebelah Utara : Desa Kanibungan Sebelah Timur : Selat Makassar Sebelah Selatan : Selat Makassar Sebelah Barat : Desa Sungai Buah

Jumlah penduduk Desa Sekapung adalah 1.481 jiwa yang terdiri dari 752 laki-laki dan 729 perempuan dengan kepadatan penduduk 40 jiwa per km2. Desa Sekapung dipengaruhi oleh dua musim terkait dengan aktivitas nelayan pergi ke laut, yaitu musim paceklik atau musim angin tenggara atau musim angin selatan yaitu pada bulan Juni hingga bulan Desember, pada kurun waktu ini nelayan sulit mendapat hasil tangkap dan mengadakan aktivitas di laut. Namun pada musim tangkap atau musim angin barat maupun musim pancaroba yaitu pada bulan Januari hingga bulan Mei, nelayan banyak mendapat hasil tangkap. Pemanfaatan wilayah Desa Sekapung menurut topografinya adalah untuk lahan pertanian, perkebunan, perikanan, perumahan penduduk dan jalan.


(49)

4.2 Kondisi Ekonomi

4.2.1 Kondisi Ekonomi Desa Rampa

Kondisi ekonomi di Desa Rampa ditunjang oleh tenaga kerja produktif sebanyak 77,44 persen dari jumlah penduduk seluruhnya. Mata pencaharian masyarakat di Desa Rampa terdiri dari beberapa sektor, diantaranya adalah sektor swasta sebanyak 21,19 persen, pertanian dan nelayan sebanyak 53,2 persen dan PNS sebanyak 3,1 persen serta mata pencaharian tidak tetap (pengangguran) sebanyak 7,59 persen. Prosentase masyarakat yang memiliki mata pencaharian (tidak menganggur) menduduki posisi tertinggi dibawah yang bekerja disektor swasta.

Sebelum perusahaan tambang masuk di Pulau Sebuku, mayoritas masyarakat Desa Rampa bermata pencaharian sebagai nelayan, namun kini setelah ada pertambangan beberapa masyarakat berpindah mata pencaharian pada sektor swasta yaitu bekerja pada perusahaan tambang. Seluruh nelayan di Desa Rampa sudah memiliki perahu sendiri, baik itu jenis perahu dayung sampan maupun Kapal Motor (KM) dengan kekuatan dari 20 PK hingga 30 PK. Kepemilikan perahu dan alat tangkap oleh masing-masing nelayan mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat. Pertumbuhan ekonomi di Desa Rampa juga tidak terlepas dari peranan agen atau biasa disebut penukar / pengumpul udang. Agen membeli hasil tangkap nelayan yang kemudian menjualnya ke Kotabaru. Hal ini karena tidak adanya lembaga maupun pihak lain yang membantu dalam pemasaran hasil tangkapan nelayan, seperti Koperasi Unit Desa (KUD) maupun Tempat Pelelangan Ikan (TPI).

4.2.2 Kondisi Ekonomi Desa Sekapung

Kondisi ekonomi di Desa Sekapung dilihat dari mata pencaharian masyarakat terdiri atas beberapa sektor diantaranya adalah sektor swasta, pertanian, perkebunan dan nelayan serta berdagang. Sebelum perusahaan tambang masuk di Pulau Sebuku, mayoritas masyarakat Desa Sekapung bermata pencaharian sebagai nelayan yang memiliki bagan tancap dan kapal, namun setelah masuknya perusahaan tambang jumlah nelayan semakin berkurang karena


(1)

(2)

Lampiran 1. Peta Lokasi Penelitian Desa Sungai Bali, Kecamatan Pulau Sebuku, Kabupaten Kotabaru, Provinsi Kalimantan Selatan


(3)

Lampiran 2. Hasil Uji Korelasi Rank Spearman Correlations Sikap terhadap kebijakan otonomi daerah Sikap terhadap masuknya perusahaan tambang Sikap terhadap kondisi iklim Spearman's rho usia Correlation

Coefficient .082 -.185 .181 Sig. (2-tailed) .531 .158 .167 N 60 60 60 Tingkat

pendapatan

Correlation

Coefficient .066 -.238 -.113 Sig. (2-tailed) .619 .067 .389 N 60 60 60 Tingkat

pendidikan

Correlation

Coefficient .066 .281

* -.064

Sig. (2-tailed) .617 .030 .626 N 60 60 60 Jumlah

tanggungan keluarga

Correlation

Coefficient -.032 .057 .154 Sig. (2-tailed) .809 .666 .239 N 60 60 60 Pengalaman

melaut

Correlation

Coefficient -.117 -.293

* .227

Sig. (2-tailed) .374 .023 .081 N 60 60 60 **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).


(4)

Lampiran 3. Dokumentasi Lapang

Kegiatan jual beli hasil tangkapan nelayan

Proses penimbangan hasil tangkapan nelayan yang dijual pada agen

Kegiatan panen udang windu dari rengge / gondrong /

tramel nett hasil tangkapan nelayan


(5)

Udang windu sebagai tangkapan utama nelayan Desa Rampa dan Desa Sekapung

Gambaran rumah nelayan di Desa Rampa

Gambaran rumah nelayan di Desa Sekapung


(6)

Gambar bagan tancap untuk menjaring cumi-cumi dan ikan teri

Kegiatan mewawancarai responden

Gambaran lokasi pertambangan di Pulau Sebuku