Keislaman dan Kemanusiaan HUMANISME GUS DUR

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id 22 perumusan hukum Islam. Maka, kemanusiaan akhirnya tidak berbenturan dengan hukum Islam. Justru sebaliknya, tujuan utama dari hukum Islam dan seluruh syariat Nabi Muhammad adalah perlindungan terhadap hak-hak dasar manusia. 15 Hal senada dengan kaitan akhlaq dan kemanusiaan, yang di dalam pemikiran Gus Dur memang menjadi “ruang formal” kemanusiaan. Mengapa? Karena Gus Dur senantiasa memahami akhlaq dalam kerangka sosial sehingga menjadi etika sosial. Etika sosial Islam inilah yang menunjukkan kepedulian mendalam atas kemanusiaan yang terjaga di dalam rukun Islam yang bersifat sosial. Berbagai perintah akan pengucapan syahadat di hadapan publik, shalat jamaah, zakat, puasa dan haji merupakan amal keagamaan yang memiliki dampak kemanusiaan. 16 Pada titik ini, hal yang menarik adalah penempatan kemanusiaan sebagai universalisme Islam itu sendiri. Hal tersebut menarik karena Gus Dur tidak menempatkan Allah misalnya, atau tauhid sebagai universalisme Islam. Hal ini tentu controversial dan membuahkan caci kafir atasnya. Namun, ia bisa dipahami dalam kerangka pemahaman Gus Dur atas kemanusiaan sebagai perintah utama dari Tuhan. Sebagai manifestasi atas penunjuk-Nya kepada manusia sebagai khalifatullah fi al-ard. Runutan logika yang lahir dari asumsi dasar manusia perspektif Islam inilah yang perlu dipahami, untuk memahami kemanusiaan sebagai universalisme Islam. 17 15 Ibid., 285. 16 Ibid., 285. 17 Ibid., 285-286 digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id 23

2. Kemanusiaan dan Pribumisasi Islam

Pribumisasi Islam merupakan gagasan Gus Dur yang paling populer. Hal tersebut bahkan menjadi trade mark darinya, yang menandai keprihatinan Gus Dur atas kebudayaan Islam di Indonesia di tengah ancaman Arabisasi. Sesuatu yang menarik, pribumisasi Islam ternyata tidak melulu proses indigenisasi Islam ke dalam budaya lokal dalam artian antropologis. Akan tetapi pula, kontekstualisasi Islam ke dalam realitas kehidupan dalam kerangka proses kebudayaan secara filosofis. Di dalam bukunya, Gus Dur menjelaskan definisi Pribumisasi Islam sebagai batasan pengertian term tersebut sebelum melangkah pada pembahasan selanjutnya. Gus Dur menyatakan: Pribumisasi Islam bukanlah ‘jawanisasi’ atau sinkretisme, sebab pribumisasi Islam hanya mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan lokal di dalam merumuskan hukum-hukum agama, tanpa mengubah hukum itu sendiri. Juga bukannya upaya meninggalkan norma demi budaya, tetapi agar norma-norma itu menampung kebutuhan-kebutuhan dari budaya dengan mempergunakan peluang yang disediakan oleh variasi memahami nash, dengan tetap memberikan peranan kepada ushl fiqh dan qidah fiqh. Pribumisasi Islam adalah bagian dari sejarah Islam, baik di negeri asalnya maupun di negeri lain, termasuk Indonesia. Kedua sejarah itu membentuk sungai besar yang terus mengalir dan kemudian dimasuki lagi oleh kali cadangan sehingga sungai itu semakin membesar. Bergabungnya kali baru, berarti masuknya air baru yang mengubah warna air yang telah ada. Bahka pada tahap berikutnya, aliran air sungai ini terkena ‘limbah industri’ yang sangat kotor. Maksud dari perumpamaan itu adalah bahwa proses pergulatan dengan kenyataan sejarah tidaklah mengubah Islam, melainkan hanya mengubah manifestasi dari kehidupan agama Islam. Masalahnya adalah bagaimana mempercapat pengembangan pemahaman nash agar berjalan lebih sistematik dengan cakupan yang lebih luas dan argumentasi yang lebih matang. Kalau keinginan ini terlaksana, maka inilah yang dimaksudkan digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id 24 dengan pribumisasi Islam, yaitu pemahaman terhadap nash dikaitkan dengan masalah-masalah di negeri kita. 18 Dari sini dapat dipahami bahwa pribumisasi Islam adalah upaya dalam menerapkan hukum syara’ yang terdapat dalam nash terhadap kondisi yang ada di Indonesia, dengan berbagai kondisi sosial dan ragam budayanya. Bukan berarti dominasi budaya Jawa atas Islam sehingga Islam hanya sekedar menjadi ‘bungkus’. Akan tetapi Islam tetap menjadi substansi yang bernuansa Jawa atau Nusantara. Artinya, ia merupakan kesadaran akan penghargaan akomodasi atas kebutuhan lokal di dalam perumusan hukum Islam. Oleh karena itu, pribumisasi Islam akhirnya bukan upaya meinggalkan norma demi budaya, melainkan akomodasi kebutuhan budaya melalui metode pengembangan penafsiran atas nash yang sesuai dengan kebutuhan realitas. Upaya mengakomodasi realitas lokal ini merupakan bagian dari kesejarahan Islam di dunia manapun, termasuk di dunia Arab. Sebab, ia merupakan proses penerapan aturan Islam terhadap realitas. Pengakomodasian atas kebutuhan lokal ini tidak terhenti pada wilayah hukum, tetapi juga pada wilayah budaya. Maka, meskipun atap ‘Meru’ merupakan atap warisan arsitektur hindu, ia bisa dipinjam untuk arsitektur masjid melalui proses pengislaman. Terbentuklah masjid Demak beratap ‘Meru’ yang telah diislamkan. Dari sembilan susun perspektif hindu, mejadi tiga susun perspektif Islam yang melambangkan tiga tahapan keislaman; Iman, 18 Abdurrahman Wahid, Pribumisasi Islam: dalam Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan Depok: Desantara, 2001, 117. digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id 25 Islam, dan Ihsan. Iman adalah keyakinan akan Allah, yang disempurnakan melalui pengamalan syari’at Islam sehingga mencapai puncak sufistik bernama Ihsan. 19 Selain dari kesimpulan negasi tersebut, Gus Dur juga menjelaskan definisi negatif atas pribumisasi Islam. Ia menjelaskan: Dalam proses ini pribumisasi Islam, pembauran Islam dengan budaya tidak boleh terjadi, sebab berbaur berarti hilangnya sifat-sifat asli. Islam harus tetap pada sifat Islamnya. Al-Qur’an harus tetap dalam bahasa Arab, terutama dalam shalat, sebab hal ini telah menjadi norma. Akan tetapi harus disadari bahwa penyesuasian ajaran Islam dengan kenyataan hidup hanya diperkenankan sepanjang menyangkut sisi budaya. Dalam soal wali nikah, ayah angkat tetap bukan wali nikah untuk anak angkatnya. Ketentuan ini adalah norma agama, bukan kebiasaan. Karena adanya prinsip-prinsip yang keras dalam hukum Islam, maka adat tidak bisa mengubah nash itu sendiri melainkan hanya mengubah atau mengembangkan aplikasinya saja dan memang aplikasi tersebut akan berubah dengan sendirinya. Misalnya, Nabi tidak pernah menetapkan beras sebagai benda zakat, melainkan gandum. Lalu ulama mendefinisikan gandum sebagai qutul balad, makanan pokok. Dan karena definisi itulah, gandum berubah menjadi beras untuk Indonesia. 20 Syaiful Arif dalam definisi pribumisasi Islam sebagai pengembangan aplikasi nash dalam kerangka kontekstualisasi Islam, membuat analogi bahwa budaya menjadi “bumi” bagi proses pribumisasi bukan budaya antropologis identitas kultural, melainkan filosofis, yakni upaya manusia memanusiawikan kehidupan sosialnya. 21 Dalam kerangka pemahaman hubungan nash dengan realitas, Gus Dur memberikan contoh humanisme dalam tradisi Intelektual Islam, yang terdapat dalam karya Imam Khalil al-Farahidy dan Imam Syafi’i yang di dalamnya mempertemukan ketaatan normatif atas teks Islam dengan upaya pembumian 19 Arif, Humanisme Gus Dur, 105. 20 Wahid, Pribumisasi Islam, 119-123. 21 Lihat: Arif, Humanisme Gus Dur, 108. digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id 26 teks tersebut ke dalam realitas kehidupan. 22 Bahkan Gus Dur menyatakan b ahwa Qamus al- ‘Ain buah karya Imam Khalil al-Farahidy dan al-Risalah karya Imam Syafi’i adalah titik tolak humanisme dalam Islam. Gus Dur mengatakan: Tradisi tidak terputus-putus untuk memelihara kemurnian bahasa Arab yang dikembangkan kaum luqhawiyyun, menemukan penyalurannya yang alami pada diri Imam Khalil al-Farahidy, yang dengan kamusnya berhasil ‘menghadapkan’ kemurnian bahasa Arab kepada cakrawala pengetahuan demikian luas, yang dikenal dunia luar Islam pada saat itu. Apa yang dilakukannya itu tidak menilainya dari apa yang dilakukan Imam Syafi’i yang mempertalikan kaharusan bersikap normatif dalam memahami ayat-ayat al- Qur’an dan Sunnah Rasulullah di satu pihak, dengan kebutuhan mempertalikan dengan realitas. Jika pada Imam Syafi’i upaya ‘kontekstualisasi’ hukum agama itu menghasilkan ilmu Ushul Fiqh melalui karya agungnya, al-Risalah, maka pada Imam Khalil upaya integratif itu melahirkan Qamus al-‘Ain yang merupakan titik tolak bagi pengembangan humanisme dalam Islam. 23

3. Kemanusiaan dan Keadilan

Dalam memahami keadilan dan memperjuangkannya di masa hidupnya, Gus Dur berangkat dari tradisi maqashid as-syariah tujuan utama syariat yang menetapkan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Pemuliaan kemanusiaan dalam bentuk perlindungan terhadap HAM inilah yang Gus Dur sebut sebagai nilai-nilai universal lslam. Demi penegakan nilai-nilai universal tersebut, Gus Dur mensyaratkan sikap kosmopolitan, yakni keterbukaan pandangan lslam kepada peradaban lain. Artinya, untuk menegakkan universalisme lslam, dibutuhkan keberislaman yang modern. Sebab, persoalan kemanusiaan kontemporer hanya bisa ditangani oleh sarana dan sistem sosial- politik modern. 22 Ibid., 294. 23 Abdurrahman Wahid, “Imam Khalil al-Farahidy dan Humanisme dalam Islam”, sumber tak terlacak, Jakarta, 10 Agustus 1987, 4. Dalam Arif, Humanisme Gus Dur, 293-294. digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id 27 Menurut Syaiful Arif, humanisme yang diimani Gus Dur tidak hanya sekedar menjadi konsep pemikiran yang hanya berhenti pada makalah atau buku. Akan tetapi humanisme tersebut dibentuk melalui struktur masyarakat yang dibentuk dan dilestarikan oleh semua pihak yang berada di dalam lingkup sosial kemasyarakatan. Ia berpendapat : Tujuan utama dari semua pemikiran Gus Dur, yakni humanisme lslam. Jika ditelusuri lebih mendalam, humanisme Islam Gus Dur merujuk pada humanisme komunitarian yang mengarah pada pembentukan struktur masyarakat yang adil. Setidaknya ada tiga pilar yang membentuk struktur tersebut: 1 demokrasi syura; 2 keadilan ‘adalah; dan 3 persamaan di depan hukum musawah. Gus Dur menyebut ini sebagai Weltanschauung pandangan-dunia Islam. 24 Dalam sub bab ini, paling tidak ada tiga dari sembilan poin nilai pemikiran Gus Dur yang dirumuskan oleh Gusdurian. Yaitu; Keadilan, Kesetaraan, dan Pembebasan. Ketiga nilai ini memuat pertalian antara HAM antara individu dengan struktur sosial dan politik. Keadilan harus diperjuangkan bersama-sama sebagai manusia. Jika manusia yang lain mendapat perlakuan tidak adil, maka manusia lainnya juga harus turut membela dan memperjuangkan haknya. Sehingga terciptalah keadilan di tengah-tengah masyarakat. Tidak ada satu pun dari anggota masyarakatnya yang merasa termarjinalkan, ataupun terdiskriminasi. Rumusan ketiga nilai pemikiran Gus Dur tersebut berbunyi: 1. Keadilan Keadilan bersumber dari pandangan bahwa martabat kemanusiaan hanya bisa dipenuhi dengan adanya keseimbangan, kelayakan, dan kepantasan dalam kehidupan masyarakat. Keadilan tidak sendirinya hadir di dalam realita kemanusiaan dan karenanya harus diperjuangkan. Perlindungan dan pembelaan 24 Arif, Humanisme Gus Dur, 285.