RELEVANSI HUMANISME GUS DUR DENGAN MORALITAS FIGUR SEMAR.

(1)

RELEVANSI HUMANISME GUS DUR DENGAN MORALITAS

FIGUR SEMAR

Skripsi:

Disusun untuk Mengetahui Tugas Akhir Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S-1) dalam Ilmu Ushuluddin dan Filsafat

Oleh: Suciyati (E81212063)

JURUSAN FILSAFAT AGAMA

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA 2016


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

ABSTRAK

Suciyati, 2016,“Relevansi Humanisme Gus Dur dengan MoralitasFigurSemar” Pembimbing: Drs. Loekisno Choiril Warsito. M. Ag

Kata Kunci: Relevansi, Humanisme Gus Dur, Moralitas Semar

Ajaran moralitas dan humanisme yang difigurkan oleh Sunan Kalijaga dalam tokoh punakawan terutama Semar, juga dapat dilihat proyeksinya dalam pikiran dan ajaran moralitas humanisme Gus Dur. Dalam segala sepak terjangnya, beliau selalu mengedepankan moral. Beliau juga tokoh yang melestarikan kearifan lokal berdampingan dengan nilai-nilai ajaran tasawuf dan pesan moral yang terkandung dalam agama Islam tanpa menghilangkan salah satu dari keduanya. Beliau menjelaskannya dengan istilah yang telah dikenal para pemikir dengan gerakan

“pribumisasi Islam”.Penelitian ini mencoba merumuskan konsep humanusme Gus

Dur dan menemukan relevansinya dengan moralitas figure Semar, dengan metode library reseach, serta menggunakan pendekatan filosofis, yaitu untuk mencari informasi yang terkandung dalam teks atau sering disebut dengan muatan teks. Kajian yang didalami bersumber pada sembilan nilai utama Gus Dur dan riwayat kiprah Gus Dur dan aksi kemanusiaannya yang terangkum dalam sembilan nilai utama Gus Dur tersebut lantas dielaborasikan dengan nilai moralitas dalam figure Semar. Yang mana sembilan moralitas Semar secara filosofis terseimbol pada nama dan julukan. Dalam proses analisis kesamaan nilai antara keduanya, berpijak kepada rekas jejak humanism Gus Dur yang tercatat, baik berupa gagasan maupun aksi yang beliau lakukan di Indonesia maupun di dunia internasional.


(7)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL DALAM ... i

HALAMAN PERSETUJUAN... ii

HALAMAN PENGESAHAN... iii

PERNYATAAN KEASLIAN... iv

ABSTRAK ...v

MOTTO ... vi

PERSEMBAHAN ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI... xi

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penelitian ... 5

D. Kegunaan Penelitian ... 5

E. Kajian Pustaka... 6

F. Metodologi Penelitian ... 6

1. Jenis Penelitian ... 6

2. Sumber Data ... 7

3. Metode Penelitian ... 7

a. Tahap Pengumpulan Data ... 8

b. Tahap Analisis Data ... 9

c. Teknik Analisis Data ... 10


(8)

BAB II : HUMANISME GUS DUR

A. Humanisme ... 13

1. Pengertian Humanisme ... 13

2. Macam-Macam Humanisme ... 15

a. Humanisme Sekuler ... 15

b. Humanisme Religius ... 15

B. Humanisme Gus Dur ... 18

1. Keislaman dan Kemanusiaan ... 18

2. Kemanusiaan dan Pribumisasi Islam ... 23

3. Kemanusiaan dan Keadilan ... 26

C. Humanisme dalam 9 Nilai Utama Gus Dur ... 28

1. Ketauhidan... 29

2. Kemanusiaan ... 30

3. Keadilan... 31

4. Kesetaraan ... 32

5. Pembebasan ... 34

6. Kesederhanaan... 35

7. Persaudaraan ... 37

8. Keksatriaan ... 39

9. Kearifan Lokal ... 40

BAB III : NILAI MORALITAS FIGUR SEMAR A. Pengertian Moralitas ... 42

B. Internalisasi Nilai Islam dalam Moralitas Figur Semar ... 43

1. Wayang... 44

2. Semar dalam Dakwah Islam ... 45

C. Moralitas dalam Figur Semar... 50

1. Pesan Moral dalam Nama dan Julukan Semar ... 50

a) Bathara Semar ... 50

b) Ki Lurah Nayataka ... 51

c) Hyang Maya ... 51


(9)

e) Ismaya... 53

f) Janggan Semarasanta... 53

2. Pesan Moral dalam Karakter Semar ... 54

a) Punakawan Simbol Kesederhanaan... 55

b) Ciri Fisik Semar... 55

c) Karakter Semar ... 57

BAB IV : ANALISIS RELEVANSI HUMANISME GUS DUR DENGAN MORALITAS FIGUR SEMAR A. Bathara Semar (Sosok penerang hati & pemersatu bangsa) ... 59

1. Merespon Konflik Internasional... 60

2. Mendamaikan Kekerasan antar etnik dan keagamaan... 63

a) Pembakaran Gereja Situbondo... 63

b) Pembunuhan Masal Banyuwangi... 63

c) Pembunuhan Masal Sampit ... 64

d) Rekonsiliasi Aceh, Maluku dan Kalimantan Barat... 65

e) Melindungi Kaum Minoritas ... 66

B. Ki Lurah Nayataka (Zuhud) ... 66

C. Hyang Maya (Kontrol Sosial) ... 68

D. Semar Badranaya (Mensejahterakan Manusia)... 69

E. Punakawan (Simbol Kesederhanaan)... 72

F. Ismaya (Manufer, Sulit ditebak) ... 74

G. Janggan Semarasanta (Penyambung Aspirasi Rakyat) ... 76

H. Ciri Fisik Semar (Teguh dalam Prinsip) ... 79

I. Karakter Semar (Humoris, kontroversial)... 82

BAB V : PENUTUP A. Kesimpuan ... 85

B. Saran... 86


(10)

BAB I PENDAHULUAN

A.

Latar belakang

Pagelaran wayang merupakan lambang dari drama kehidupan manusia, menyajikan banyak kata mutiara, ajaran pendidikan serta imajinasi dalam petuah-petuah yang ditunjukkan oleh perilaku punakawan, namun penyampaiannya secara simbolik. Dalam peranangoro-goroperanan punakawan sangat jelas dipertunjukan sebagai tokoh penting. Semar merupakan tokoh inti dan semuanya tergantung pada pribadinya. Goro-goro merupakan pertanda munculnya punakawan yang tidak ketinggalan pada setiap lakon wayang Jawa, sebab nilai-nilai filosofis orang Jawa sering terlihat pada perilaku punakawan.

Sebagian besar mahasiswa di Indonesia ketika mendengar kata wayang, maka yang tergambar dipikiran mereka adalah tentang budaya tradisional, cerita rakyat, sinden dan lain-lain. Ada aspek yang terlupakan dari pagelaran wayang pada pandangan mereka, khususnya lakon punakawan. Yaitu pesan moral dan filosofi dari karakter punakawan tersebut. Pesan moral yang dititipkan oleh penciptanya, Sunan Kalijaga kepada karakter punakawan tersebut. Yang menggambarkan sikap, etika dan moral manusia pada umumnya.

Deskripsi etika sebagai ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia kepada lainnya. Yang juga menerangkan tujuan hidup manusia yang tercermin dalam perbuatan dan tingkah laku mereka, serta menunjukan jalan untuk melakukan apa yang harus


(11)

2

diperbuat. Semua itu adalah ajaran tasawuf Sunan Kalijaga yang disampaikan melalui karekter punakawan.

Ketika membicarakan punakawan jelas tidak bisa dilepaskan dari figur Semar. Dalam mitologi Jawa, Semar dianggap merupakan tokoh dari tanah Jawa yang disucikan. Begitu pula ajaran-ajaran Semar juga memberikan kontribusi dalam hal membina mental spiritual manusia, membentuk para ksatria agarberbudi bawa leksana,membelawong cilik,dan memberantasma lima.1

Yang menarik pula, para figur Punakawan ada pada sela-sela kehidupan Pandawa lima adalah buah karya Sunan kalijaga. Beliau membuat figur-figur tersebut dalam pewayangan sebagai media dakwah yang efektif bagi penduduk Jawa Tengah. Tentu jika dilihat dari alur cerita, kisah, nasehat-nasehat serta para tokoh dan karakter yang ada, itu semua menggambarkan kehidupan keseharian manusia. Dengan memunculkan figur Punakawan, Sunan Kalijaga juga menitipkan pesan moral yang dalam kepada para penontonnya.

Ajaran moralitas dan humanisme yang di figurkan oleh Sunan Kalijaga dalam tokoh punakawan terutama Semar, juga dapat dilihat proyeksinya dalam pikiran dan ajaran moralitas humanisme Gus Dur. Dalam segala sepak terjangnya, beliau selalu mengedepankan moral. Beliau juga tokoh yang melestarikan kearifan lokal berdampingan dengan nilai-nilai ajaran tasawuf dan pesan moral yang terkandung dalam agama Islam tanpa menghilangkan salah satu dari keduanya. Beliau

1 Muhammad Zaairul Haq,Tasawuf Semar Hingga Bagong, Simbol, Makna, dan Ajaran Makrifat dalam Punakawan(Bantul: Kreasi Wacana, 2013), 113-114.


(12)

3

menjelaskannya dengan istilah yang telah dikenal para pemikir dengan gerakan

“pribumisasi Islam”.

Penggalian humanisme di dalam pemikiran Gus Dur menjadi penting untuk melihat prinsip dasar dari segenap pemikiran dan gerakannya, sejak gerakan sosial hinggal politik praktis. Hanya saja Gus Dur memang bukan seorang pemikir humanisme dalam artian formal. Sebab ia tidak secara khusus menulis tentang humanisme. Tulisan yang secara eksplisit memuat pemikiran berjudul humanisme hanya ada dua; (1)Imam Khalil al-Farahidi dan Humanisme dalan Islamserta (2) Mencari Perspektif Baru Hak Asasi Manusia.2

Di tulisan pertama, Gus Dur lebih banyak mengeksplorasi sumbangan AL-Farahidi, seorang ahli bahasa abad ke-2 Hijriyah yang menyumbangkan tradisi humanistik di dalam Islam. Dalam hal ini, humanisme Gus Dur dimaknai secara longgar, yakni perluasan wawasan keislaman, dari tradisi Islam klasik kepada tradisi filsafat Yunani. Maka dalam kasus humanisme Islam, Gus Dur memaknai humanisme sebagai rasionalisasi dan modernisasi Islam sebab melaluinya, Islam bisa diikutsertakan dalam pengembangan kemanusiaan secara umum. Pada titik ini, humanisme telahinherendi dalam modernitas sehingga keterlibatan Islam di dalam modernisasi secara otomatis menggerakkan humanisasi berbasis Islam.

Sementara itu dalam tulisan kedua, Gus Dur banyak mengelaborasi barbagai perspektif tentang HAM. Dalam kaitan ini, ia mengapresiasi pendekatan liberal yang berupaya memenuhi hal-hak sipil dan politik dari warga negara modern.

2 Lihat di Syaiful Arif, Humanisme Gus Dur, Pergumulan Islam dan Kemanusiaan (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2013), 55–56.


(13)

4

Namun pada saat bersamaan, ia mengusulkan penyempurnaan melalui apa yang disebut sebagai pendekatan struktural atas HAM. Pendekatan structural ini merupakan upaya pemenukan hak sosial-ekonomi yang harus disediakan negara sehingga HAM belum benar terwujud ketika warga negara hanya diberi“kebebasan

politik”, tetapi belum terpenuhi hak-hak dasar hidupnya sebagai manusia yang

butuh hidup secara layak.3

Sedangkan ketika ditelusuri bacaan-bacaan berita tentang tindak-tanduk Gus Dur yang mempunyai nilai membela humanisme maka setiap orang dapat mudah sekali menemukannya. Karena memang Gus Dur mengamalkan konsep humanisme kepada sekian banyak bangsa Indonesia, baik di Aceh maupun Papua. Dan beliau juga mengupayakan rekonsiliasi atas setiap sengketa dan pertikaian, baik antar suku, agama ataupun ras.

Humanisme Gus Dur menarik karena menyediakan diskursus humanisme dalam perspektif Islam. Letak urgensi dari humanisme ini adalah posisinya yang tidak bertentangan dengan agama, tidak seperti humanisme modern yang lahir dari sekulerisasi Eropa.4Bahkan acap kali Gus Dur menarik pemikiran humanismenya kepada akar kaidah-kaidahfiqhiyahdan konsephifd al-nafsyang telah berkembang matang ditangan para pemikir-pemikir Islam.

Dari dua point ini, akan dibahas dan diteliti titik temu dan relevansi antara pandangan Sunan Kalijaga dalam lakon Punakawannya, khususnya lakon semar, dengan ajaran Humanisme Gus Dur. Inilah yang menarik untuk dikaji dan diteliti

3Ibid, 55-56. 4Ibid, 321.


(14)

5

lebih lanjut, sebagai upaya dalam mendalami kearifan lokal dan khazanah keilmuan yang telah ada di Indonesia.

B.

Rumusan Masalah

Dari ulasan singkat mengenai latar belakang masalah yang telah dipaparkan di atas antara lain:

1. Apa humanisme Gus Dur?

2. Apa moralitas dalam figur Semar?

3. Bagaimana relevansi humanisme Gus Dur dengan moralitas figur Semar?

C.

Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan di atas, maka penelitian ini memiliki tujuan:

1. Mengetahui humanisme Gus Dur

2. Mengetahui moralitas dalam figur Semar

3. Mengetahui relevansi humanisme Gus Dur dengan moralitas figur Semar

D.

Kegunaan Penelitian

1. Secara teori dapat memberikan motivasi diri untuk memperluas ilmu pengetahuan dengan memperkaya wawasan melalui membaca, serta di harapkan hasil karya ini dapat memberikan pengalaman dan pengetahuan dalam mengadakan suatu penelitian serta berguna bagi masyarakaat. Pada umumnya untuk mengkaji relevansi antara nilai-nilai moral dalam karakter lakon Semar dengan Humanisme Gus Dur.


(15)

6

2. Secara Praktis, hasil penelitian ini dapat dipergunakan sebagai bahan bagi peminat filsafat dalam dunia kesenian, khususnya nilai moral dan humanisme dalam karakter lakon Semar

E.

Kajian Pustaka

Banyak penulis yang memcoba meneliti dan menguraikan pemikiran Humanisme Gus Dur dalam bentuk skripsi sebagai syarat sarjana. Salah satunya; Pada tahun 2010, Mibtadin, mahasiswa Filsafat program pascasarjana UIN Sunan

Kalijaga Yogyakarta, menulis “Humanisme Dalam Pemikiran Abdurrahman Wahid”.

Pada tahun 2011, M. Mahbub Risad, mahasiswa Aqidah Filsafat Fakultas

Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, menulis “Perilaku TasawufGusDur”.

Pada tahun 2015, Wahyu Suminar, mahasiswa Pendidikan Agama Islam

Fakultas Tarbiyah STAIN Ponorogo, menulis “ konsep Pendidikan Humanisme (Telaah Atas Pemikiran Abdurrahman Wahid)”. Dalam skripsi ini dia mencoba

menelaah secara mendalam konsep pendidikan Humanisme Gus Dur.

Jadi skripsi yang membahas relevansi humanisme Gus Dur dengan moralitas figur Semar di Indonesia masih belum ada. Maka saya memutuskan mengambil tema tersebut, karena sejatinya kedua konsep kemanusiaan tersebut, baik humanisme Gus Dur atau pun nilai moral dari lakon Semar adalah bersumber pada akar yang sama, ajaran Islam yang luhur.

F.

Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian


(16)

7

Skripsi dengan judul “Relevansi Humanisme Gus Dur dengan Moralitas

Figur Semar” akan menggunakan metode studi pustaka. Kegiatan penelitian

dengan studi pustaka dilakukan dengan menghimpun data dari berbagai literature yang ada di perpustakaan atau tempat-tempat lain. Literature yang digunakan berupa buku. Bisa juga jurnal, majalah, koran, dan lain sebagainya berkaitan dengan kepustakaan.5 Melalui telaah studi pustaka, peneliti akan melakukan penelaahan secara mendalam terhadap humanisme Gus Dur dan relevansinya dengan moralitas figur Semar.

2. Sumber Data

Penelitian studi pustaka mensyaratkan sumber-sumber data yang akurat untuk mendukung hasil penelitian yang maksimal. Sebagai upaya telaah kritis dan mendalam terhadap pemikiran Gus Dur tentang Humanisme, baik secara konsep maupun tingkah laku. Maka penulis mengelompokkan sumber-sumber data yang diperlukan sesuai dengan metodologi penelitian menjadi dua, yakni:

a. Sumber Data Primer b. Sumber Data Sekunder 3. Metode Penelitian

Metode penelitian adalah cara-cara berfikir dan berbuat, yang dipersiapkan dengan baik-baik untuk mengadakan penelitian, dan untuk mencapai suatu tujuan. Adapun dalam penulisan skripsi ini penulis menitik beratkan pada studi kepustakaan dan menggunakan pendekatan filosofis, yaitu


(17)

8

untuk mencari informasi yang terkandung dalam teks atau sering disebut dengan muatan teks. Untuk itu akan dilaksanaka urutan-urutan sebagai berikut:

a. Tahap Pengumpulan Data

Pada tahap ini penulis mengumpulkan data-data yang berhubungan dengan wayang maupun data-data yang menyangkut tentang masyarakat, terbagi dalam dua data. Yaitu:

1) Data Primer, buku-buku yang berhubungan dengan konsep humanisme Gus Dur, yaitu Syaiful Arif, Humanisme Gus Dur, Pergumulan Islam dan Kemanusiaan. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. 2013. Serta buku yang berhubungan dengan wayang dan kebudayaan Jawa yang memungkinkan berkaitan dengan figure semar, yaitu: Muhammad Zaairul Haq. Tasawuf Semar hingga Bagong, Simbol, Makna, dan Ajaran Ma’rifat dalam Punakawan. Bantul: Kreasi Wacana, 2013.

2) Data Sekunder

a) Harun Nasution.Filsafat Agama. Jakarta: Bulan Bintang. 1979.

b) Abbudin Nata.Akhlak Tasawuf. Jakarta: Rajawali press. 1996. c) Jejak langkah Guru Bangsa. Semarang: Ein Institute. 2010. d) Ahmad Suaedy, Ulil Abshar Abdallah. Gila Gus Dur, Wacana

Pembaca Abdurrahman Wahid.Yogyakarta: LkiS. Cet. II. 2010.


(18)

9

e) Tabayun Gus Dur,Pribubisasi Islam. Hakminoritas Reformasi Kultural.Yogyakarta: Lkis. 1998.

f) Husain Muhammad.Sang Zahid. Yogyakarta: Lkis. Cet 1. 2012.

g) Abdurrahman Wahid.Prisma Pemikiran Gus Dur. Yogyakarta: Lkis. 2000.

h) Abdurrahman Wahid. Islam Kosmopolitan, nilai-nilai Indonesia dan Tranformasi Kebudayaan. The Wahid Institut. 2007.

i) Anton Bakker dan Achmad Charris Zubir.Metodologi Penelitian Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, 1990.

j) Noeng Muhadjir.Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi III. Yogyakarta: Rake Sarasin, 1998

k) Dan lain-lain. b. Tahap Analisis Data

Analisis merupakan proses akhir dari penelitian setelah masalah penelitian dirumuskan, dikumpulkan dan diklarifikasi. Maka langkah selanjutnya adalah menganalisa dan menginterpretasikan dalam bentuk yang mudah dibaca dan dipahami. Analisis data adalah upaya untuk mencari dan menata secara sistematis dari hasil pengumpulan data untuk meningkatkan pemahaman penulis dan menyajikan sebagai temuan bagi


(19)

10

orang lain.6Dalam tahap analisis ini data-data yang terkumpul di analisis satu persatu, baik dengan analisis intern ataupun ekstern. Data-data yang diperoleh dari berbagai macam sumber akan dianalisis melalui metode:

1) Metode Induktif (dari khusus ke umum), buku yang bersangkutan di pelajari, dengan menganalisis semua bagian dan semua konsep pokok satu persatu dan dalam hubunganya satu sama lain.7Jadi buku Humanisme Gus Dur (Pergumalan Islam dan Kemanusiaan) dan Tasawuf Semar Hingga Bagong tersebut dipelajari tentang Figur Semar. Baik karakter, kepribadian, tugas, peran Semar, Dan lain-lain.

2) Metode Deduktif (dari umum ke khusus), dari pengertian umum di buat eksplisitasi dan penerapan lebih khusus.8 Buku-buku yang berhubungan dengan punakawan dipelajari kemudian dihubungkan dan diterapkan ke dalam nilai moral yang pada figur Semar dalam ajaran humanisme Gus Dur.

c. Teknik Analisis Data

Setelah melakukan proses pengolahan data, langkah berikutnya yang harus dilakukan adalah langkah analisa data. Berikut langkah yang akan dilakukan dalam rangka menganalisa hasil penelitian.

1) Analisis Historis

6Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi III(Yogyakarta: Rake Sarasin, 1998), 104.

7Anton Bakker dan Achmad Charris Zubir,Metodologi Penelitian Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1990), 69.


(20)

11

Analisis Historis merupakan pendekatan penelitian dengan melakukan penelaahan terhadap sejarah tokoh yang diteliti, berkaitan dengan segala hal dalam hidup tokoh bersangkutan, seperti lingkungan, sejarah pendidikan, dan pemikirannya dalam merespon berbagai kejadian yang terjadi dalam perjalanan hidupnya.9

Metode ini digunakan untuk melihat catatan perjalanan hidup Gus Dur, serta latar belakang lahirnya pemikiran rekam jejak perjuangan kemanusiaan yang dimiliki oleh Gus Dur.

2) Interpretasi Data

Interpretasi data merupakan langkah yang dilakukan oleh seorang peneliti dalam upaya memahami suatu objek penelitian hubungannya dengan hal yang hendak dicapai atau disarankan dalam penelitian, sehingga tujuan akhirnya untuk menemukan teori baru terkait dengan objek yang diteliti.

Proses interprestasi merupakan upaya menafsirkan ulang pemikiran Gus Dur, guna menemukan relevansinya dengan nilai-nilai moralitas yang terkandung dalam peran Semar dalam Pewayangan Mahabarata.

3) Analisis Deskriptif

Analisis deskriptif merupakan uraian deskriptif secara teratur tentang konsep tokoh yang diteliti.10

9 Burhan Bungin, Analisis Data Penelitian Kualitatif (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003), 109.

10 Anton Baker dan Ahmad Choriz Zubair, Metode Penelitian Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1990), 65.


(21)

12

G.

Sistematika Pembahasan

Untuk mempermudah pembahasan dan alur pemikiran sehingga mudah dipahami, sistematika dalam karya tulis ini, dirumuskan dengan pembagian bab, sub bab dan anak sub bab. Skripsi ini dibagi menjadi ima bab, yang masing-masing bab diturunkan menjadi sub bab dan anak sub bab.

Bab pertamaadalah Pendahuluan yang terdiri dari enam sub bab, yaitu Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Masalah, Kegunaan Penelitian, Metode Penelitian, Tinjauan Pustaka dan Sistematika Pembahasan.

Bab kedua, membahas tentang humanisme Gus Dur, yang terdiri dari tiga sub yaitu, humanism, pengertian dan macam-macamnya, humanisme Gus Dur, dan humanisme dalam sembilan nilai utama Gus Dur.

Bab ketiga,berisi tentang moralitas dalam Figur Semar yang terdiri dari tiga sub yaitu, pengertian moralitas, internalisasi nilai Islam dalam moralitas figur Semar, dan moralitas figur Semar.

Bab keempat,Analisis relevansi humanisme Gus Dur dengan moralitas figur Semar.


(22)

BAB II

HUMANISME GUS DUR

A. Humanisme

1. Pengertian Humanisme

Humanisme juga berasal dari katahumanitasyang kemudian diberi akhiranismemenjadi humanisme yang menunjukkan istilah aliran atau paham.1Dalam kamus bahasa Indonesia kontemporer, humanisme adalah paham yang mempunyai tujuan menumbuhkan rasa perikemanusiaan dan bercita-cita untuk menciptakan pergaulan hidup manusia yang lebih baik.2Humanisme bisa diartikan sebagai paham di dalam aliran-aliran filsafat yang hendak menjunjung tinggi nilai dan martabat manusia, serta menjadikan manusia sebagai ukuran dari segenap penilaian, kejadian, dan gejala di atas muka bumi ini.

Istilah humanisme memiliki keterkaitan dengan istilah yang berakar dari kata yang sama, yaknihumaniora, humanities, (latin:humanior), yaitu ilmu-ilmu pengetahuan yang bertujuan membuat manusia lebih manusiawi, dalam artian membuat manusia lebih berbudaya.

Humanisme juga berasal dari studihumanitatisyang mengandung arti kesenian liberal atau studi kemanusiaan dari Cicero. Inti kesenian liberal adalah

1Zainal Abidin,Filsafat Manusia, Memahami Manusia Melalui Filsafat,cet.I (Bandung: Rosda Karya, 2000), 41.

2 Peter Salim dan Yenny Salim,Kamus Besar Bahasa Indonesia Kontemporer,Edisi Pertama (Jakarta: Modern English Press, 1991), 541.


(23)

14

membebaskan peserta didik dari kebodohan dan kepicikan melalui pengembangan intelektual yang meliputi tata bahasa, retorika (berbicara), syair, sejarah, dan filsafat moral. Dalamstudia humanitatis, ilmu-ilmu ini dianggap paling mampu mengembangkan potensi manusia untuk berfikir dan bertindak secara bebas dan mandiri.3Kesenian liberal bukan berarti kesenian yang tidak mengenal etika, pemberian nama liberal karena pembelajaran ini bebas untuk semua golongan, tidak mengenal kasta.

Senada dengan Siswanto Masruri, Zainal Abidin juga memaknai

humanisme dengan arti yang lebih dekat dengan seni liberal yang mendorong kebebasan berekspresi yang akan menjadikan manusia bisa sederajat antara satu dengan lainnya, ia mengatakan:

“Istilah “humanisme” ini berasal dari kata “humanitas” yaitu pendidikan menusia dan dalam bahasa Yunani disebut Paideia: pendidikan yang didukung oleh manusia-manusia yang hendak menempatkan seni liberal sebagai materi dan sarana utamanya. Mereka yakin dengan seni liberal, manusia akan tergugah untuk menjadi manusia, menjadi manusia bebas yang tidak terkungkung oleh kekuatan-kekuatan dari luar dirinya. Humanisme pada waktu itu dengan tema pokoknya kebebasan menentang dogma gereja, namun kebebasan yang diperjuangkan bukanlah kebebasan absolut atau sebagai anti tesis dari determinatisme abad pertengahan. Sebab kebebasan yang mereka perjuangkan adalah kebebasan berkarakter manusiawi dan mereka juga tidak mengkhayal adanya kekuatan-kekuatan metafisik atau ilahiyah. Pada pokoknya, menurut mereka kebabasan itu ada, dan perlu dipertahankan dan diekspresikan”.4

3 Siswanto Masruri,Humanitarianisme Soedjatmoko: Visi Kemanusiaan(Yogyakarta: Pilar Media, 2005), 98.


(24)

15

2. Macam-Macam Humanisme

Seperti yang telah dipaparkan di atas, bahwa humanisme modern berkembang menjadi dua kubu, yaitu humanisme Sekuler dan humanisme Religius.

a. Humanisme Sekuler

Sekuler berasal dari bahasa latinsaeculumyang mengandung makna ganda yaitu abad dan dunia. Dalam kenyataan sehari-hari kata sekuler diartikan sebagai jauh dari hidup keagamaan, bukan wilayah ruhani dan suci, melainkan urusan keduniawiaan dan kebendaan.5Tidak heran ketika muncul istilah humanisme sekuler maka orang mengenalnya dengan humanisme atheis.

Humanisme sekuler meyakini bahwa Tuhan tidak ikut campur dengan urusan manusia yang ada di dunia, keyakinan ini membuat mereka mengabaikan kehadiran Tuhan. Tuhan bagi mereka hanyalah imajinasi yang tak sampai oleh akal manusia.

b. Humanisme Religius

Humanisme religius merupakan humanisme yang bercorak teosentris (Tuhan sebagai pusat segalanya). Humanisme religius bisa dari pihak Islam dan Kristen maupun dari agama lain. Humanisme ini berkembang untuk mengimbangi humanisme sekuler yang berkembang di


(25)

16

dunia, karena apabila humanisme sekuler tidak diimbangi maka peran agama akan hilang secara perlahan.

Marcel A Boisard berpendapat bahwa Islam lebih dari sekedar ideologi, karena Islam merupakan humanisme transendental yang diciptakan masyarakat khusus dan melahirkan suatu tindakan moral yang sukar untuk ditempatkan dalam rangka yang dibentuk oleh filsafat Barat. Humanisme tidak mengesampingkan monoteisme mutlak yang sebenarnya dan memungkinkan untuk memperkembangkan kebajikan.6

Humanisme dalam pandangan Islam harus dipahami sebagai suatu konsep dasar kemanusiaan yang tidak berdiri dalam posisi bebas. Hal ini mengandung pengertian bahwa makna penjabaran memanusiakan manusia itu harus selalu terkait secara teologis. Dalam konteks inilah Al-Qur’an

memandang manusia sebagai wakil Allah di Bumi, untuk memfungsikan ke-khalifah-annya Allah telah melengkapi manusia dengan intelektual dan spiritual. Manusia memliliki kapasitas kemampuan dan pengetahuan untuk memilih, karena itu kebebasan merupakan pemberian Allah yang paling penting dalam upaya mewujudkan fungsi kekhalifahannya.7

Kisah dan kejadian Adam a.s dalam Al-Qur’an adalah pernyataan

humanisme yang paling dalam dan maju. Adam mewakili seluruh manusia

6Marcel A Boisard,Humanisme Dalam Islam,terj. H. M. Rasjidi (Jakarta: Bulan Bintang, 1982), 151.

7 Hassan Hanafi dkk,Islam dan Humanisme: Aktualisasi Humanisme di Tengah Krisis Humanisme Universal(Semarang: IAIN Walisongo, 2007), IX.


(26)

17

di Bumi, ia adalah esensi umat manusia, manusia dalam pengertian filosofis dan bukan dalam pengertian biologis.8

Menurut Nurcholis Madjid bahwa agama Ibrahim terdapat wawasan kemanusiaan yang berdasarkan konsep dasar bahwa manusia dilahirkan dalam keadaan fitri, karena fitrahnya tersebut manusia memiliki sifat kesucian, yang kemudian dinyatakan dalam sikap-sikap yang suci dan baik kepada sesamanya. Dan hakikat dasar kemanusiannya itu merupakan sunnatullah karena adanya fitrah manusia dari Allah dan perjanjian primordial antara manusia dengan Allah.9

Selama ini humanisme religius hanya dipahami dengan humanisme Islam, padahal sebenarnya religius juga berarti theis, bertuhan, meyakini adanya kekuatan supranatural. Dalam sub bab ini penulis hanya mengutip pemikiran humanisme Islam dan Kristen, karena humanisme yang banyak digaungkan adalah humanisme model Barat yang diwakili oleh agama Kristen, dan humanisme model Timur yang diwakili oleh Islam.

Bagi humanisme religius keberadaan Tuhan sangat dominan, pemikiran mereka berangkat dari paham agama mereka. Mereka percaya bahwa Tuhan mempunyai konsep yang luar biasa tentang manusia, tetapi terkadang karena manusia terlalu berpikir jauh dan dalam sehingga mereka lupa bahwa essensi semuanya ada pada Tuhan. Humanisme dan agama tidak dapat dipisahkan, karena agama sendiri itulah humanisme, dan

8Ali Syari’ati,Tentang Sosiologi Islam,terj. Saifullah Wahyuddin (Yogyakarta: Ananda, 1982), 111.


(27)

18

humanisme itu juga agama. Agama mengajarkan banyak tentang kemanusiaan, dan humanisme dalam ajarannya juga mengandung nilai-nilai agama.

B. Humanisme Gus Dur

1. Keislaman dan Kemanusiaan

Maksud dari humanisme di sini adalah pemuliaan Gus Dur atas martabat manusia yang tinggi, khususnya di hadapan Tuhan, dan oleh karena itu manusia harus dimulyakan. Dengan demikian, manusia akhirnya menjadi “terminal akhir” dari segenap pemikiran dan gerakan Gus Dur, melampaui nilai-nilai apapun bahkan formalisme Islam yang sering ia kritisi.10

Secara umum, dari beberapa pandangan dan komentar Gus Dur, bisa disimpulkan bahwa pribadi Gus Dur adalah seorang yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Contoh kecil bisa diambil dari obituari beberapa kerabat dan sahabat Gus Dur. Paling tidak ada tiga orang yang diberi wasiat oleh Gus Dur untuk menuliskan di atas nisan makam ketika Gus Dur sudah wafat. Mereka adalah Khofifah Indarparawansa, Mahfudz MD dan Djohan Efendy. Ketika Haul Gus Dur yang ke-5 di Pesantren Tebuireng di akhir tahun 2015, Khofifah Indarparawansa menyampaikan amanat tersebut di depan seluruh hadirin. Dalam kesempatan lain, Mahfudz MD juga menyampaikan hal yang sama. Dalam beberapa pandangan dan komentar Gus Dur juga sering kali banyak memuat nilai-nilai kemanusiaan dan berpendapat bahwa keislaman dan


(28)

19

kemanusiaan adalah satu kesatuan. Syaiful Arif dalam bukunya juga menjelaskan :

Dalam kaitan ini terdapat beberapa sinyal yang menunjukkan humanisme itu. Pertama,pesan Gus Dur kepada sahabatnya, Djohan Efendy, agar setelah beliau meninggal, beliau ingin dimakamnya tertulis, “Di sini dimakamkan seorang humanis”. Meskipun wasiat ini belum terlaksana, iabisa menjadi sinyal akan “relung kedalaman nilai” yang ingin Gus Dur jaga dan sematkan atas dirinya. Kedua, pernyataan Gus Dur di Pesantren Ciganjur yang menyatakan, “Agama harus disandingkan dengan kemanusiaan. Jika tidak, ia akan menjadi senjata fundamentalistik yang memberangus kemanusiaan”. Pernyataan ini menyiratkan kesadaran Gus Dur akan perlunya kemanusiaan sebagai nilai sandingan yang harus berdampingan dengan agama sehingga agama tidak terbalik arah, menyerang manusia atas nama Tuhan.Ketiga.,pemegang teguhan Gus Dur atas Surah Al-Maidah (5) ayat 32, Waman ahyaaha fakaannama ahyannaasa jamii’a. Barang siapa yang membantu kehidupan seoarang manusia, sama dengan membantu kehidupan semua umat manusia. Ayat ini merupakan ayat utama Gus Dur, dan menjadi dasar bagi pengabdian hidupnya.11

Pendasaran kemanusiaan dari ajaran Islam, atau penemuan ajaran kemanusiaan di dalam Islam menjadi titik tolak keyakinan intelektual Gus Dur.

Hal ini terpatri dalam pemahamannya atas “yang paling universal” di dalam

Islam. Gus Dur memaparkan:

Universalisme Islam menampakkan diri dalam berbagai manifestasi penting, yang terbaik adalah dalam ajaran-ajarannya. Rangkaian ajaran yang meliputi berbagai bidang, seperti hukum agama (fiqih ), keimanan (tauhid), etika (akhlaq), dan sikap hidup, menampilkan sikap kepedulian yang sangat besar kepada unsur-unsur utama dari kemanusiaan.

Prinsip-prinsip seperti persamaan derajat di muka hukum, perlindungan warga masyarakat dari kelaliman dan kesewenang-wenangan, penjagaan


(29)

20

hak mereka yang lemah dan menderita kekurangan dan pembatasan atas wewenang para pemegang kekuasaan, semuanya jelas menunjukkan kepedulian di atas.

Salah satu ajaran dengan sempurna menampilkan universalisme Islam adalah lima buah jaminan dasar yang diberikan agama samawi terakhir ini kepada warga masyarakat, baik secara perorangan maupun kelompok. Kelima jaminan dasar itu tersebar dalam literatur hukum agama (al-kutub al-fiqhiyyah) lama, jaminan dasar akan:

1. Keselamatan fisik warga masyarakat dari tindakan badani di luar ketentuan hukum.

2. Keselamatan keyakinan agama masing-masing, tanpa ada paksaan untuk berpindah agama.

3. Keselamatan keluarga dan keturunan.

4. Keselamatan harta benda dan milik pribadi di luar prosedur hukum; 5. Dan keselamatan profesi.12

Dari paparan di atas terlihat bahwa Gus Dur menemukan universalisnme Islam di dalam ajaran kemanusiaan. Artinya, segenap nilai utama yang meliputi tauhid, fiqih, dan akhlaq ternyata menunjukkan kepedulian mendalam atas nasib kemanusiaan. Hal ini menarik, karena Gus Dur mengaitkan tauhid dengan kemanusiaan, demikian dengan fiqih dan akhlaq. Bahkan di dalam fiqih,Gus Dur kemudian menemukan praksis dari kepedulian kemanusiaan itu di dalam jaminan atas lima hak dasar (kulliyat al-khams) manusia di dalam maqashid al-syari’ahyang meliputi:hifdz al-nafs(hak hidup),hifdz al-din(hak beragama),hifdz al-nasl(hak berkeluarga),hifdz al-maal(hak berharta),hifdz

12 Abdurrahman Wahid, “Universitas Islam dan Kosmopolitanisme Peradaban Islam” dalam Syaiful Arif, Humanisme Gus Dur: Pergumulan Islam dan Kemanusiaan (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2013), 283-284.


(30)

21

al-‘irdl (hak profesi). Dengan demikian, apa yang Gus Dur sebut sebagai kemanusiaan terwujud di dalam jaminan atas lima hak dasar manusia tersebut.13

Menarik memang, ketika Gus Dur menerapkantauhid, fiqih,danakhlaq ke dalam kepedulian kemanusiaan. Hal ini tentu bertentangan dengan kalangan formalis yang menempatkan ajaran tauhid dan fiqih di atas kemanusiaan. Namun hal ini menjadi wajar ketika sejak awal, Gus Dur telah menanamkan keyakinan atas keesaan Allah di dalam perintah-Nya untuk memuliakan manusia sebagaai khalifatullah pembawa kesejahteraan di muka bumi. Jadi, tidak ada benturan antara manusia dan Tuhan sebab manusia adalah makhluk yang dimuliakan Tuhan karena Dia menunjukkan anak Adam ini sebagai wakil-Nya di muka bumi. Pada titik ini, humanisme Gus Dur bukan humanisme sekuler, yang bisa eksis ketika Tuhan ditiadakan. Humanisme Gus Dur bahkan

merupakan “humanisme tauhid”, sebab kemuliaan manusia lahir dari

keyakinan mendalam atas perintah ketuhanan.14

Hal serupa dengan pengaitanfiqihdan kemanusiaan.Fiqihsebagai “ratu pengetahuan” kaum Muslimin yang memadahi hukum-hukum syariat, ternyata menyediakan perlindungan atas hak-hak dasar manusia. Tidak murni di dalam produk hukumnya, tetapi di dalam tujuan utama perumusan hukum tersebut. Tujuan utama inilah yang disebut sebagai tujuan utama syariat (maqashid al-syari’ah) yang menetapkan lima hak dasar manusia sebagai argumentasi

13Arif,Humanisme Gus Dur, 284. 14Ibid., 284-285.


(31)

22

perumusan hukum Islam. Maka, kemanusiaan akhirnya tidak berbenturan dengan hukum Islam. Justru sebaliknya, tujuan utama dari hukum Islam dan seluruh syariat Nabi Muhammad adalah perlindungan terhadap hak-hak dasar manusia.15

Hal senada dengan kaitan akhlaq dan kemanusiaan, yang di dalam

pemikiran Gus Dur memang menjadi “ruang formal” kemanusiaan. Mengapa?

Karena Gus Dur senantiasa memahamiakhlaqdalam kerangka sosial sehingga menjadi etika sosial. Etika sosial Islam inilah yang menunjukkan kepedulian mendalam atas kemanusiaan yang terjaga di dalam rukun Islam yang bersifat sosial. Berbagai perintah akan pengucapan syahadat di hadapan publik, shalat jamaah, zakat, puasa dan haji merupakan amal keagamaan yang memiliki dampak kemanusiaan.16

Pada titik ini, hal yang menarik adalah penempatan kemanusiaan sebagai universalisme Islam itu sendiri. Hal tersebut menarik karena Gus Dur tidak menempatkan Allah misalnya, atau tauhid sebagai universalisme Islam. Hal ini tentu controversial dan membuahkan caci kafir atasnya. Namun, ia bisa dipahami dalam kerangka pemahaman Gus Dur atas kemanusiaan sebagai perintah utama dari Tuhan. Sebagai manifestasi atas penunjuk-Nya kepada manusia sebagaikhalifatullah fi al-ard.Runutan logika yang lahir dari asumsi dasar manusia perspektif Islam inilah yang perlu dipahami, untuk memahami kemanusiaan sebagai universalisme Islam.17

15Ibid., 285. 16Ibid., 285. 17Ibid., 285-286


(32)

23

2. Kemanusiaan dan Pribumisasi Islam

Pribumisasi Islam merupakan gagasan Gus Dur yang paling populer. Hal tersebut bahkan menjaditrade markdarinya, yang menandai keprihatinan Gus Dur atas kebudayaan Islam di Indonesia di tengah ancaman Arabisasi. Sesuatu yang menarik, pribumisasi Islam ternyata tidak melulu proses indigenisasi Islam ke dalam budaya lokal dalam artian antropologis. Akan tetapi pula, kontekstualisasi Islam ke dalam realitas kehidupan dalam kerangka proses kebudayaan secara filosofis.

Di dalam bukunya, Gus Dur menjelaskan definisi Pribumisasi Islam sebagai batasan pengertian term tersebut sebelum melangkah pada pembahasan selanjutnya. Gus Dur menyatakan:

Pribumisasi Islam bukanlah ‘jawanisasi’ atau sinkretisme, sebab pribumisasi Islam hanya mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan lokal di dalam merumuskan hukum-hukum agama, tanpa mengubah hukum itu sendiri.

Juga bukannya upaya meninggalkan norma demi budaya, tetapi agar norma-norma itu menampung kebutuhan-kebutuhan dari budaya dengan mempergunakan peluang yang disediakan oleh variasi memahami nash, dengan tetap memberikan peranan kepadaushl fiqhdanqidah fiqh.

Pribumisasi Islam adalah bagian dari sejarah Islam, baik di negeri asalnya maupun di negeri lain, termasuk Indonesia. Kedua sejarah itu membentuk sungai besar yang terus mengalir dan kemudian dimasuki lagi oleh kali cadangan sehingga sungai itu semakin membesar. Bergabungnya kali baru, berarti masuknya air baru yang mengubah warna air yang telah ada. Bahka pada tahap berikutnya, aliran air sungai ini terkena ‘limbah industri’ yang sangat kotor. Maksud dari perumpamaan itu adalah bahwa proses pergulatan dengan kenyataan sejarah tidaklah mengubah Islam, melainkan hanya mengubah manifestasi dari kehidupan agama Islam.

Masalahnya adalah bagaimana mempercapat pengembangan pemahaman nash agar berjalan lebih sistematik dengan cakupan yang lebih luas dan argumentasi yang lebih matang. Kalau keinginan ini terlaksana, maka inilah yang dimaksudkan


(33)

24

dengan pribumisasi Islam, yaitu pemahaman terhadap nash dikaitkan dengan masalah-masalah di negeri kita.18

Dari sini dapat dipahami bahwa pribumisasi Islam adalah upaya dalam menerapkan hukum syara’ yang terdapat dalam nash terhadap kondisi yang ada di Indonesia, dengan berbagai kondisi sosial dan ragam budayanya. Bukan berarti dominasi budaya Jawa atas Islam sehingga Islam hanya sekedar menjadi

‘bungkus’. Akan tetapi Islam tetap menjadi substansi yang bernuansa Jawa atau

Nusantara.

Artinya, ia merupakan kesadaran akan penghargaan akomodasi atas kebutuhan lokal di dalam perumusan hukum Islam. Oleh karena itu, pribumisasi Islam akhirnya bukan upaya meinggalkan norma demi budaya, melainkan akomodasi kebutuhan budaya melalui metode pengembangan penafsiran atas nash yang sesuai dengan kebutuhan realitas. Upaya mengakomodasi realitas lokal ini merupakan bagian dari kesejarahan Islam di dunia manapun, termasuk di dunia Arab. Sebab, ia merupakan proses penerapan aturan Islam terhadap realitas.

Pengakomodasian atas kebutuhan lokal ini tidak terhenti pada wilayah hukum, tetapi juga pada wilayah budaya. Maka, meskipun atap ‘Meru’

merupakan atap warisan arsitektur hindu, ia bisa dipinjam untuk arsitektur masjid melalui proses pengislaman. Terbentuklah masjid Demak beratap

‘Meru’ yang telah diislamkan. Dari sembilan susun perspektif hindu, mejadi

tiga susun perspektif Islam yang melambangkan tiga tahapan keislaman; Iman,

18 Abdurrahman Wahid, Pribumisasi Islam: dalam Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan(Depok: Desantara, 2001), 117.


(34)

25

Islam, dan Ihsan. Iman adalah keyakinan akan Allah, yang disempurnakan melalui pengamalan syari’at Islam sehingga mencapai puncak sufistik bernama Ihsan.19

Selain dari kesimpulan negasi tersebut, Gus Dur juga menjelaskan definisi negatif atas pribumisasi Islam. Ia

menjelaskan:

Dalam proses ini (pribumisasi Islam), pembauran Islam dengan budaya tidak boleh terjadi, sebab berbaur berarti hilangnya sifat-sifat asli. Islam harus tetap pada sifat Islamnya. Al-Qur’an harus tetap dalam bahasa Arab, terutama dalam shalat, sebab hal ini

telah menjadi norma.

Akan tetapi harus disadari bahwa penyesuasian ajaran Islam dengan kenyataan hidup hanya diperkenankan sepanjang menyangkut sisi budaya. Dalam soal wali nikah, ayah angkat tetap bukan wali nikah untuk anak angkatnya. Ketentuan ini adalah norma agama, bukan kebiasaan.

Karena adanya prinsip-prinsip yang keras dalam hukum Islam, maka adat tidak bisa mengubahnashitu sendiri melainkan hanya mengubah atau mengembangkan aplikasinya saja dan memang aplikasi tersebut akan berubah dengan sendirinya. Misalnya, Nabi tidak pernah menetapkan beras sebagai benda zakat, melainkan gandum. Lalu ulama mendefinisikan gandum sebagai

qutul balad, makanan pokok. Dan karena definisi itulah, gandum berubah menjadi beras untuk Indonesia.20

Syaiful Arif dalam definisi pribumisasi Islam sebagai pengembangan aplikasinashdalam kerangka kontekstualisasi Islam, membuat analogi bahwa

budaya menjadi “bumi” bagi proses pribumisasi bukan budaya antropologis

(identitas kultural), melainkan filosofis, yakni upaya manusia memanusiawikan kehidupan sosialnya.21

Dalam kerangka pemahaman hubungan nash dengan realitas, Gus Dur memberikan contoh humanisme dalam tradisi Intelektual Islam, yang terdapat dalam karya Imam Khalil al-Farahidy dan Imam Syafi’i yang di dalamnya

mempertemukan ketaatan normatif atas teks Islam dengan upaya pembumian

19Arif,Humanisme Gus Dur, 105. 20Wahid, Pribumisasi Islam, 119-123. 21Lihat: Arif,Humanisme Gus Dur, 108.


(35)

26

teks tersebut ke dalam realitas kehidupan.22 Bahkan Gus Dur menyatakan bahwaQamus

al-‘Ainbuah karya ImamKhalil al-Farahidy dan al-Risalah karya Imam Syafi’i adalah titik tolak humanisme dalam Islam. Gus Dur mengatakan:

Tradisi tidak terputus-putus untuk memelihara kemurnian bahasa Arab yang dikembangkan kaum luqhawiyyun, menemukan penyalurannya yang alami pada diri Imam Khalil al-Farahidy, yang dengan kamusnya berhasil ‘menghadapkan’ kemurnian bahasa Arab kepada cakrawala pengetahuan demikian luas, yang dikenal dunia luar Islam pada saat itu. Apa yang dilakukannya itu tidak menilainya dari apa yang dilakukan Imam Syafi’i yang mempertalikan kaharusan bersikap normatif dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah di satu pihak, dengan kebutuhan mempertalikan dengan realitas. Jika pada Imam Syafi’i upaya ‘kontekstualisasi’ hukum agama itu menghasilkan ilmu Ushul Fiqh melalui karya agungnya,al-Risalah, maka pada Imam Khalil upaya integratif itu melahirkan Qamus al-‘Ain yang merupakan titik tolak bagi pengembangan humanisme dalam Islam.23

3. Kemanusiaan dan Keadilan

Dalam memahami keadilan dan memperjuangkannya di masa hidupnya, Gus Dur berangkat dari tradisimaqashid as-syari'ah(tujuan utama syariat) yang menetapkan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Pemuliaan kemanusiaan dalam bentuk perlindungan terhadap HAM inilah yang Gus Dur sebut sebagai nilai-nilai universal lslam. Demi penegakan nilai-nilai universal tersebut, Gus Dur mensyaratkan sikap kosmopolitan, yakni keterbukaan pandangan lslam kepada peradaban lain. Artinya, untuk menegakkan universalisme lslam, dibutuhkan keberislaman yang modern. Sebab, persoalan kemanusiaan kontemporer hanya bisa ditangani oleh sarana dan sistem sosial-politik modern.

22Ibid., 294.

23Abdurrahman Wahid, “Imam Khalil al-Farahidy dan Humanisme dalam Islam”, sumber tak terlacak, Jakarta, 10 Agustus 1987, 4. Dalam Arif,Humanisme Gus Dur, 293-294.


(36)

27

Menurut Syaiful Arif, humanisme yang diimani Gus Dur tidak hanya sekedar menjadi konsep pemikiran yang hanya berhenti pada makalah atau buku. Akan tetapi humanisme tersebut dibentuk melalui struktur masyarakat yang dibentuk dan dilestarikan oleh semua pihak yang berada di dalam lingkup sosial kemasyarakatan. Ia berpendapat :

Tujuan utama dari semua pemikiran Gus Dur, yakni humanisme lslam. Jika ditelusuri lebih mendalam, humanisme Islam Gus Dur merujuk pada humanisme komunitarian yang mengarah pada pembentukan struktur masyarakat yang adil. Setidaknya ada tiga pilar yang membentuk struktur tersebut: 1) demokrasi (syura); 2) keadilan (‘adalah); dan 3) persamaan di depan hukum (musawah). Gus Dur menyebut ini sebagaiWeltanschauung(pandangan-dunia) Islam.24 Dalam sub bab ini, paling tidak ada tiga dari sembilan poin nilai pemikiran Gus Dur yang dirumuskan oleh Gusdurian. Yaitu; Keadilan, Kesetaraan, dan Pembebasan. Ketiga nilai ini memuat pertalian antara HAM antara individu dengan struktur sosial dan politik. Keadilan harus diperjuangkan bersama-sama sebagai manusia. Jika manusia yang lain mendapat perlakuan tidak adil, maka manusia lainnya juga harus turut membela dan memperjuangkan haknya. Sehingga terciptalah keadilan di tengah-tengah masyarakat. Tidak ada satu pun dari anggota masyarakatnya yang merasa termarjinalkan, ataupun terdiskriminasi. Rumusan ketiga nilai pemikiran Gus Dur tersebut berbunyi:

1. Keadilan

Keadilan bersumber dari pandangan bahwa martabat kemanusiaan hanya bisa dipenuhi dengan adanya keseimbangan, kelayakan, dan kepantasan dalam kehidupan masyarakat. Keadilan tidak sendirinya hadir di dalam realita kemanusiaan dan karenanya harus diperjuangkan. Perlindungan dan pembelaan


(37)

28

pada kelompok masyarakat yang diperlakukan tidak adil merupakan tanggung jawab moral kemanusiaan. Sepanjang hidupknya, Gus Dur rela dan mengambil tanggung jawab itu, ia berpikir dan berjuang untuk menciptakan keadilan di tengah-tengah masyarakat.

2. Kesetaraan

Kesetaraan bersumber dari pandangan bahwa setiap manusia memiliki martabat yang sama di hadapan tuhan. Kesetaraan meniscayakan adanya perlakuan yang adil, hubungan yang sederajat, ketiadaan diskriminasi dan subordinasi, serta marjinalisasi dalam masyarakat. Nilai kesetaraan ini, sepanjang kehidupan Gus Dur, tampak jelas ketika melakukan pembelaan dan pemihakan terhadap kaum tertindas dan dilemahkan. Termasuk di dalamnya adalah kolompok minoritas dan kaum marjinal.

3. Pembebasan

Pembebasan bersumber dari pandangan bahwa setiap manusia memiliki tanggung jawab untuk menegakkan keserataan dan keadilan untuk melepaskan diri dari berbagai bentuk belenggu. Semangat pembebasan hanya dimiliki oleh jiwa yang merdeka, bebas dari rasa takut, dan otentik. Dengan nilai pembebasan ini, Gus Dur selalu mendorong dan memfasilitasi tumbuhnya jiwa-jiwa merdeka yang mampu membebaskan dirinya dan manusia lain.25

C. Humanisme dalam 9 Nilai Utama Gus Dur

Dalam bab Humanisme Gus Dur dalam beragama, bermasyarakat dan bernegara, yang menjadi pokok pembahasan adalah sembilan nilai Gus Dur yang dirumuskan oleh Gusdurian. Sebuah komunitas pecinta Gus Dur yang senantiasa merawat dan melestarikan pemikiran-pemikiran Gus Dur tentang keagamaan dan keindonesiaan. Sembilan nilai Gus Dur tersebut adalah; Ketauhidan, Kemanusiaan, Keadilan, Kesetaraan, Pembebasan, Kesederhanaan, Persaudaraan, Keksatriaan, Kearifan Lokal.

Dari sembilan nilai Gus Dur tersebut akan dijelaskan pokok aksi humanis Gus Dur melalui pendekatan dalam aspek beragama, bermasyarakat dan bernegara.

25 Gusdurian.net, ” 9 Nilai Pemikiran Gus Dur”, http://www.gusdurfiles.com/2015/04/9-sembilan-nilai-utama-gus-dur.html/(Senin, 27 Juni 2016, 16.00)


(38)

29

Antara ketiga aspek tersebut tidak bisa dijadikan pembahasan masing-masing aspek, karena antara ketiganya memang saling berkaitan, sbb:

1. Ketauhidan

Ketauhidan bersumber dari keimanan kepada Allah sebagai yang Maha Ada, satu-satunya Dzat Hakiki yang Maha Cinta Kasih, yang disebut dengan berbagai nama. Ketauhidan didapatkan lebih dari sekedar diucapkan dan dihafalkan. Tetapi juga disaksikan dan disingkapkan. Ketauhidan menghujamkan kesadaran terdalam bahwa Dia adalah sumber dari segala sumber dan rahmat kehidupan di jagad raya. Pandangan ketauhidan menjadi poros nilai-nilai ideal yang diperjuangkan Gus Dur melampaui kelembagaan dan birokrasi agama. ketauhidan yang bersifat ilahi itu diwujudkan dalam perilaku dan perjuangan sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan dalam menegakkan nilai-nilai kemanusiaan.26

Atas landasan ketauhidan itulah pemikiran Gur Dur dalam soal sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan dibangun, serta kesemuanya aspek tersebut diisi dengan nilai-nilai kemanusiaan. Lebih jauh lagi, pada nilai kedua dari sembilan nilai pemikiran Gus Dur tersebut, secara jelas dirumuskan bahwa kemanusiaan itu bersumber pada ketauhidan. Nilai ketauhidan tersebut tampak dalam pemikiran Gus Dur. Menurut Gus Dur:

Pesan-pesan yang dibawakan Islam pada umat manusia adalah sederhana saja; bertauhid, melaksnakan syariah, dan menegakkan kesejahteraan di muka bumi. Kepada kita telah diberikan contoh sempurna, yang harus kita teladani sejauh mungkin, yaitu Nabi Muhammad Saw. Hal itu di nyatakan dalam Al-Quran:

26 Ibid, http://www.gusdurfiles.com/2015/04/9-sembilan-nilai-utama-gus-dur.html/(Senin, 27 Juni 2016, 16.00)


(39)

30

laqad kaana lakum fi rasulillah uswatun hasanah(telah ada pada bagi kalian keteladanan sempurna dalam diri Rasulullah). Keteladanan itu tentunya paling utama terwujud dalam peranan beliau untuk membawakan kesejahteraan bagi seluruh umat manusia (rahmatan lil’alamin).27

2. Kemanusiaan

Kemanusiaan bersumber dari pandangan ketauhidan bahwa manusia adalah makhluk Tuhan paling mulia yang dipercaya untuk mengelola dan memakmurkan bumi. Kemanusiaan merupakan cerminan sifat-sifat ketuhanan. Kemuliaan yang ada dalam diri manusia mengharuskan sikap untuk saling menghargai dan menghormati. Memuliakan manusia berarti memuliakan penciptanya, demikian juga merendahkan dan menistakan Tuhan Sang Pencipta. Dengan pandangan inilah, Gus Dur membela kemanusiaan tanpa syarat.28

Nilai ini tampak saat Gus Dur mengutuk terjadinya Bom Bali I, menurutnya membunuh orang kafir di saat masa damai, bukan saat perang adalah salah menurut Islam. Islam sangat menjunjung tinggi kemanusiaan, hal ini tampak ketika perang, Islam juga mempunyai rambu-rambu yang harus ditaati, seperti tidak boleh membunuh anak kecil, wanita, dalam keadaan marah, dan lain-lain.

Dalam menyelesaikan konflik suku dan agama yang terjadi di Aceh, Sampit, Situbondo, Maluku dan lain-lain, Gus Dur mengedepankan jalan

27Abdurrahman Wahid, “Pengembangan Islam bagi Pengembangan Budaya Indonesia: dalam Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan” dalam Arif, Humanisme Gus Dur, 279-280

28 Gusdurian.net, ” 9 Nilai Pemikiran Gus Dur”, http://www.gusdurfiles.com/2015/04/9-sembilan-nilai-utama-gus-dur.html/(Senin, 27 Juni 2016, 16.00)


(40)

31

musyawarah dan dialog. Karena Gus Dur sangat memahami bahwa pelaku dan korban adalah sama-sama korban masa lalu. Yang mana mereka belum bisa menerima kematian sanak saudaranya. Rekonsiliasi dan saling memahami antar satu sama lain serta sikap menahan diri adalah solusi yang tepat dalam menyelesaikan konflik tersebut. Pemikiran ini lantas beliau sebar dalam forum kemanusiaan tingkat internasional. Sebagaimana respon beliau terhadap kekerasan dan konflik yang terjadi di negara lain, seperti Filipina, Pakistan, Afganistan dan lain-lain.

3. Keadilan

Keadilan bersumber dari pandangan bahwa martabat kemanusiaan hanya bisa dipenuhi dengan adanya keseimbangan, kelayakan, dan kepantasan dalam kehidupan masyarakat. Keadilan tidak sendirinya hadir di dalam realita kemanusiaan dan karenanya harus diperjuangkan. Perlindungan dan pembelaan pada kelompok masyarakat yang diperlakukan tidak adil merupakan tanggung jawab moral kemanusiaan. Sepanjang hidupnya, Gus Dur rela dan mengambil tanggung jawab itu, ia berpikir dan berjuang untuk menciptakan keadilan di tengah-tengah masyarakat.29

Keadilan adalah nilai dasar dalam membangun masyarakat, yaitu keadilan, persamaan dan demokrasi. Ketika ketidak adilan yang dialami oleh penganut Ahmadiyah, Gus Dur melindungi Ahmadiyah, dan pedangdut Inul Daratista yang merasa kehilangan pekerjaan dan status sosial. Gus Dur secara

29 Ibid, http://www.gusdurfiles.com/2015/04/9-sembilan-nilai-utama-gus-dur.html/(Senin, 27 Juni 2016, 16.00)


(41)

32

konsisten membela HAK mereka yang hilang karena keyakinan pada ajaran Ahmadiyah dan profesi penyanyi dangdut dengan goyang ngebornya. Dalam kasus lain, Gus Dur juga tampil melindungan HAM dan menegakkan Keadilan, sebagaimana disampaian oleh Taufik Kiemas30:

Gus Dur juga mengusulkan pencabutan Tap MPRS No. XXV/1966 soal pembubaran Partai Komunitas Indonesia (PKI) dan pelanggaran penyebaran ajaran Marxisme. Komunisme dan Leninisme. Begitu juga, Gus Dur mengakhiri perlakuan diskrimainasi terhadap etnis Tionghoa, melaluin Inpres No. 6/2000 dan mencabut Inpres 14/1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat istiadat Cina. Intinya, Gus Dur membuka paradigma baru agar setiap orang mendapatkan perlakuan setara dalam hukum, tanpa membeda-bedakan warna kulit, etnis, agama, ataupun ideologinya. Ini bagian dari cita-cita Gus Dur yang ingin membangun Indonesia yang damai tanpa prasangka dan bebas dari segala kebencian.31

4. Kesetaraan

Kesetaraan bersumber dari pandangan bahwa setiap manusia memiliki martabat yang sama di hadapan tuhan. Kesetaraan meniscayakan adanya perlakuan yang adil, hubungan yang sederajat, ketiadaan diskriminasi dan subordinasi, serta marjinalisasi dalam masyarakat. Nilai kesetaraan ini, sepanjang kehidupan Gus Dur tampak jelas ketika melakukan pembelaan dan pemihakan terhadap kaum tertindas dan dilemahkan. Termasuk di dalamnya adalah kolompok minoritas dan kaum marjinal.32

Gus Dur melihat fakta keberagaman warga Indonesia haruslah tidak didominasi oleh golongan tertentu, atau agama tertentu. Keadilan, baginya,

30Mantan Ketua MPR RI/ Dewan Pembina DPP PDI-P

31 Aryanto Nugroho. Jejak Langkah Guru Bangsa (Footprints Of The Guru, Keep Gus Dur’s Spirit.(Semarang: EIN INSTITUTE. 2010), 23.

32 Gusdurian.net, ” 9 Nilai Pemikiran Gus Dur”, http://www.gusdurfiles.com/2015/04/9-sembilan-nilai-utama-gus-dur.html/(Senin, 27 Juni 2016, 16.00)


(42)

33

adalah milik semua agama, dan harus ditegakkan oleh umat beragama. Maka ketika terdapat warga Indonesia tidak bisa menikah karena agamanya tidak diakui oleh negara, Gus Dur turun tangan untuk membela. Sebagaimana yang terjadi pada tahun 1999 ketika warga Indonesia keturunan Tionghoa yang beragama Konghuchu, Gus Dur memberikan dukungan moral dengan mendatangi sidang di PN Surabaya. Sebagaimana disampaikan oleh Yusuf Alsastrou, salah seorang jubir Gus Dur ketika menjabat Presiden RI:

Demikian juga ketika menghadapi tekanan-tekanan terhadap hak-hak minoritas digerus oleh arogansi mayoritas, Gus Dur juga mampu menjadikan dirinya sebagai jembatan untuk mencerdaskan umatnya menghadapi semuanya ini. Hal ini bisa kita lihat ketika kasus perkawinan Konghuchu pada tahun 90-an awal. Ketika hak-hak Tionghoa dilanggar oleh negara, Gus Dur secara konsisten memperjuangkan ini.33

Bahkan dalam rumitnya peraturan protokoler istana negara, Gus Dur menyederhanakan aturan tersebut agar semua orang dari golongan yang berbeda, atau orang yang tak berada bisa memasuki istana dan bertemu presidennya. Sri Sulistiyawati34 mengungkapkan pengalaman sahabatnya ketika bertemu Gus Dur di Istana, ia mengujarkan:

Pada suatu ketika, teman saya yang bernama Hamid ke istana diundang beliau. Dengan penglihatannya samar-samar, beliau dengan meraba-raba tahu, “Mid, jasmu nyeleh sopo? Jas wes mbladus ngene kok dinggo”. Hamid bilang, “Nyileh tanggane”.Gus Dur menjawab, “Nek rene kui sandalan jepit, rak sah jas-jasan tak tompoMid”. Kemudian bertanya, “Mbakyu ku sitok wae durung ketemu lho Mid, mati opo urip”.‘Mbakyu Sri?” “Yo Sri Katno, aku durung ketemu. Wes rak sah nganggo pakaian sing hebat-hebat, nganggo sandal jepit kowe tak tompo neng istana. Wong de’e yo sering neng istana ora harus pakai pakaian yang serba mahal.35

33Nugroho.Jejak Langkah, 102-103.

34 Mantan Wartawan Harian Ekonomi Nasional Jakarta, Istri Sukatno, Ketua Pemuda Rakyat


(43)

34

Begitu juga ketika para kiai dari pesantren salaf yang lekat dengan kesederhanaan masuk ke istana, mereka bisa memasuki istana meski dengan mengenakan sarung dan sandal jepit. Gus menganggap semua orang di dalam

hal bermu’amalah (hubungan sosial kemasyarakatan) berada pada kedudukan

yang sama. Status dan kepangkatan seseorang tidak lantas menjadikan perlakuan Gus Dur berbeda. Sebagaimana kesaksian Suleman, seorang asisten

pribadi Gus Dur, ia berkata: “Saya merasakan beliau sangat perhatian kepada orang-orang disekitarnya, tidak membedakan kedudukan dan kekayaan, selalu disapa dan diterima dengan baik.”36

5. Pembebasan

Pembebasan bersumber dari pandangan bahwa setiap manusia memiliki tanggung jawab untuk menegakkan kesetaraan dan keadilan untuk melepaskan diri dari berbagai bentuk belenggu. Semangat pembebasan hanya dimiliki oleh jiwa yang merdeka, bebas dari rasa takut, dan otentik. Dengan niai pembebasan ini, Gus Dur selalu mendorong dan memfasilitasi tumbuhnya jiwa-jiwa merdeka yang mampu membebaskan dirinya dan manusia lain.37

Yang sangat merasakan kontribusi dalam aspek pembebasan ini adalah keluarga korban G 30 S/PKI. Mereka hidup dalam bayang-bayang ketakutan, dan sebagian yang diduga terlibat akhirnya dipenjara tanpa bisa melakukan pembelaan. Sejak semula tidak ada satu orang pun yang mempunyai inisiatif menuntaskan pelanggaran HAM berat ini. Justru akibat buruk yang diterima

36Ibid., 88.

37 Gusdurian.net, ” 9 Nilai Pemikiran Gus Dur”, http://www.gusdurfiles.com/2015/04/9-sembilan-nilai-utama-gus-dur.html/(Senin, 27 Juni 2016, 16.00)


(44)

35

oleh keluarga yang tidak tahu apa-apa berlangsung beberapa puluh tahun. Gus Dur dengan berani membuka luka lama bangsa Indonesia ini dan mengawali

proses rekonsiliasi keluarga korban ’65. Manfaat dari tindakan Gus Dur ini

sangat dirasakan oleh Ribka Tjiptaning38, salah seorang keluarga korban ’65.

Ia menuturkan;

Dalam beberapa kisah politik Pasca reformasi 98, ia hadir sebagai sosok manusia besar yang tetap bersahaja, yang menyadari betapa sejarah tak selalu seperti yang diinginkan. Untuk itu, ia pun meminta maaf kepada keluarga korban 65, sebuah tindakan langka yang didapatkan oleh para keluarga korban. Betapa tidak, selama puluhan tahun, tak ada seorang pun elit politik yang berani membela, apalagi meminta maaf, ini adalah hadiah terbesar yang Gus Dur berikan kepada aku dan keluarga korban 65 lainnya.39

Pada era kepemimpinan Gus Dur, pers juga mendapatkan kebebasan berekspresi, yang tidak didapatkan semasa orde baru. Imbasnya, kerap kali pemerintah mendapatkan kritikan pedas, baik melalui media massa dan media elektronik. Gerakan demo juga diperbolehkan. Maka jadilah pemerintahan Gus Dur membuka keterbukaan untuk bebas berpendapat dan berekspresi, tanpa takut lagi untuk ditangkap dan dipenjara.

6. Kesederhanaan

Kesederhanaan bersumber dari jalan pikiran subtansial, sikap dan perilaku hidup yang wajar dan patut. Kesederhanaan menjadi konsep kehidupan yang dihayati dan dilakoni sehingga menjadi jati diri. Kesederhanaan menjadi buadaya perlawanan atas sikap berlebihan,

38Mantan Ketua DPD PDI-P & Ketua Komisi XI DPR RI 39Nugroho.Jejak Langkah, 35


(45)

36

materialistis, dan koruptif. Kesederhanaan Gus Dur dalam segala aspek kehidupannya menjadi pembelajaran dan keteladanan.40

Kesederhanaan Gus Dur tampak ketika sebelum, ketika dan setelah menjadi presiden. Dari gaya berpakaian, meskipun Gus Dur cucu kiai besar dan keilmuan keagamaannya tidak diragukan, Gus Dur lebih nyaman berpakaian batik dan tidak memakai surban. Kepada kiai sepuh dan para

habaib, Gus Dur lebih ta’dhim dan merendah diri. Misalnya kepada KH.

Sonhaji Kebumen, KH. Abdullah Salam Pati, KH. Hamim Jazuli, Syaikh Yasin Al-Fadani, dan lain-lain. Gus Dur lebih memposisikan dirinya sebagai santri.

Begitu juga ketika kunjungan kerja presiden, ketika berkunjung ke suatu daerah, beliau bertanya tentang waktu dan agenda kunjungannya. Setelah tahu bahwa kunjungannya akan dimulai 2 jam lagi, dan stafnya telah memesankan hotel untuk beristirahan sebentar, beliau berkomentar, ya kalo sebentar ya mending kita istirahat di masjid saja, tidak perlu bayar, hehe. Sama halnya ketika akan melakukan kunjungan kenegaraan bersama BJ. Habibie, ketika di dalam pesawat, Habibie terheran-heran kenapa di dalam pesawat kepresidenan terdapat kardus besar yang diletakkan sembarangan. Ketika beliau tanya ke salah seorang paspampres, kok ada kardus di dalam pesawat, paspampres dengan enteng menjawab, oh itu pakaian presiden Gus Dur. Habibie pun sangat terkejut ketika mengetahui pakaian presiden hanya dikemas di dalam kardus.

40 Gusdurian.net, ” 9 Nilai Pemikiran Gus Dur”, http://www.gusdurfiles.com/2015/04/9-sembilan-nilai-utama-gus-dur.html/(Senin, 27 Juni 2016, 16.00)


(46)

37

Yang paling lekat di ingatan bangsa Indonesia adalah ketika Gus Dur dilengserkan dari jabatan presiden. Kala itu di hadapan para pembelanya, pasukan berani mati yang berkumpul di depan istana negara, dengan legowo Gus Dur menyapa pembelanya. Gus Dur melepas baju kebesaran presiden, sambil mengenakan kaos oblong dan celana pendek, Gus Dur melambaikan tangannya, menandakan ia telah menerima pelengseran dirinya dari kursi presiden. Betapa Gus Dur tidak menghiraukan martabatnya sebagai seorang presiden. Beliau juga tidak ambil pusing komentar apa yang akan diberikan oleh masyarakat luas, karena Gus Dur merasa nyaman dengan kesederhanaannya.

7. Persaudaraan

Persaudaraan bersumber dari prinsip-prinsip penghargaan atas kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, dan semangat menggerakkan kebaikan. Persaudaraan menjadi dasar untuk memajukan peradaban. Sepanjang hidupnya Gus Dur memberi teladan dan menekankan pentingnya menjunjung tingggi persaudaraan dan masyarakat, bahkan terhadap yang berbeda keyakinan dan pemikiran.41

Suleman, Asisten Pribadi Gus Dur yang dalam beberapa kesempatan selalu menemani Gus Dur sangat mengetahui nilai persaudaraan yang sangat diperjuangkan. Gus Dur tidak hanya bergaul dengan kaum sarungan saja, akan

41 Ibid, http://www.gusdurfiles.com/2015/04/9-sembilan-nilai-utama-gus-dur.html/(Senin, 27 Juni 2016, 16.00)


(47)

38

tetapi tokoh agama bukan Islam juga sangat akrab dengan Gus Dur. Dalam obituarinya ia menjelaskan:

Saya merasa pelajaran yang paling indah mendampingi Gus Dur adalah kesetiaannya kepada sahabat dan kepeduliannya kepada sesama, terutama orang-orang yang terdzalimi. Beliau tidak segan-segan menerima rakyat kecil sama seperti menerima pejabat atau tamu asing dengan perlakuan yang sama. Beliau adalah Bapak yang luar biasa yang bagi saya pribadi telah mengubah makna hidup menjadi satu kebanggaan. Beliau orang yang pantas dihargai dan memang menghormati oleh kawan maupun lawan politiknya. Semoga beliau mendapat tempat terhormat di sisi Allah SWT.42

Franz Magnis Suseno SJ. Mengakui peran Gus Dur dalam

“mempersaudarakan” kelompok-kelompok yang terkotak-kotak oleh suku, ras, daerah, dan agama. Ia menjelaskan:

Sesudah 40 tahun pemerintahan dari atas dan lebih dari 30 tahun penindasan, bangsa mengalami keretakan. Kemampuan untuk menghayati solitaritas tidak hanya dengan kelompok sempit: kelompok suku, kelompok antar agama, kelompok daerah, semakin menyusut. Primordialisme dan komunalisme-katerikatan emosional eksklusif pada komunitasnya sendiri mengancam keutuhan bangsa. Gus Dur dan Mbak Megawati merupakansolidarity makers yang ideal. Kalau ada yang dapat mempersatukan, maka merekalah.43

Semangat persaudaraan inilah yang menjamin keutuhan NKRI. Maka semangat Bhineka Tunggal Ika yang dalam istilah populer Gus Dur disebut

“pluralisme” mulai ditanamkan Gus Dur. Gus Dur juga berusaha untuk

menghilangkan sekat-sekat antar umat beragama. Tak jarang Gus Dur berkomentar bahwa semua agama adalah sama. Hal ini haruslah dipahami bahwa yang dimaksud Gus Dur dalam kalimat itu adalah semua agama sama dalam mengajarkan kebaikan. Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk saling bermusuhan karena agama yang berbeda.

42Nugroho.Jejak Langkah, 89-90.

43Ahmad Suaedy dan Ulil Abshar Abdalla,Gila Gus Dur: Wacana Pembaca Abdurrahman Wahid(Yogyakarta: PT LkiS Printing Cemerlang, Cet II, 2010), 17-18.


(48)

39

8. Keksatriaan

Keksatriaan bersumber dari keberanian untuk memperjuangkan dan menegakkan nilai-nilai yang diyakini dalam mencapai keutuhan tujuan yang di ingin diraih. Proses perjuangan dilakukan dengan mencerminkan integritas pribadi, penuh rasa tanggung jawab atas proses yang harus dijalani dan konsekuensi yang dihadapi, komitmen yang tinggi serta istiqomah. Keksatriaan yang dimiliki Gus Dur mengedepankan kesabaran dan keikhlasan dalam menjalani proses, seberat apapun, serta dalam menyikapi hasil yang dicapainya.44

Ketika menjabat sebagai presiden, Gus Dur sering kali membuat kebijakan yang tidak menguntungkan posisinya. Gus Dur hanya melaksanakan apa yang ia yakini benar untuk kemaslahatan bangsa. Meski hal itu membuatnya berada dalam masalah. Seperti dijelaskan oleh Taufiq Kiemas45:

“Gus Dur pun konsisten, ketika menjabat sebagai presiden, tanpa banyak berhitung untung rugi, ia mengoperasionlakan gagasan demokrasi dan pluralismenya. Kong Hu Chu diakui sebagai agama, komunitas Tionghoa

44 Gusdurian.net, ” 9 Nilai Pemikiran Gus Dur”, http://www.gusdurfiles.com/2015/04/9-sembilan-nilai-utama-gus-dur.html/(Senin, 27 Juni 2016, 16.00)


(49)

40

mendapat pengakuan dan kebebasan mengekpresikan budayanya. Kelompok

minoritas seperti memperoleh jaminan kebebasan”.46

Misalnya ketika Gus Dur melakukan Reshufle beberapa menterinya, yang mengakibatkan semua partai politik menyudutkannya. Juga ketika Gus Dur membela kaum minoritas dan gagasannya tetang pluralisme yang tidak dipahami oleh banyak kalangan. Yusuf Alsastrou menekankan akan jiwa kesatriaan Gus Dur, menurut ia Gus Dur adalah pejuang sejati, ia mengatakan: Dia adalah seorang yang berani mengambil resiko apapun di dalam kehidupan untuk memperjuangkan apa yang dia yakini. Misalnya, untuk pembelaan terhadap minoritas, dalam memperjuangkan pluralisme, meskipun orang tetap salah paham terhadap pluralisme, tetapi Gus Dur tetap mencoba melakukan itu secara konsisten dengan segala risiko yang dihadapinya. Ini dibuktikan ketika kasus Arswendo Atmowiloto, ketika semua orang menghujat Atrwendo justru Gus Dur dengan kepala dingin mendudukkan masalah dengan sebenarnya.47 9. Kearifan Lokal

Kearifan Lokal bersumber dari nilai-nilai sosial budaya yang berpijak pada tradisi dan terbaik kehidupan masyarakat setempat. Kearifan Lokal Indonesia di antaranya berwujud dasar negara Pancasila, konstitusi UUD 1945, prinsip Bhineka Tunggal Ika, dan seluruh tata nilai kebudayaan Nusantara yang beradab. Gus Dur menggerakkan kearifan lokal dan menjadikannya sebagai sumber gagasan dan pijakan sosial-budaya-politik alam membumikan keadilan, kesetaraan, dan kemanusiaan, tanpa kehilangan sikap terbuka dan progresif terhadap perkembangan peradaban.48

46Nugroho,Jejak Langkah,23. 47Ibid.,102-103.

48 Gusdurian.net, ” 9 Nilai Pemikiran Gus Dur”, http://www.gusdurfiles.com/2015/04/9-sembilan-nilai-utama-gus-dur.html/(Senin, 27 Juni 2016, 16.00)


(50)

41

Di kebanyakan kesempatan, Gus Dur seringkali terlihat mengenakan baju batik dan peci rotannya yang khas. Gus Dur lah yang mempopulerkan peci rotan Gorontalo. Sebagaimana obituari yang disampaikan Hakim Setyohadi49, pengawal pribadi Gus Dur:“Kemudian kulturalnya, beliau sangat menghargai budaya dan tidak membeda-bedakan asal usul ras, golongan, agama dan sebagainya. Beliau sangat erat dengan segala ragam budaya di Indonesia.


(51)

BAB III

NILAI MORALITAS FIGUR SEMAR

A. Pengertian Moralitas

Dalam kamus bahasa Indonesia kontemporer bahwa moral adalah ajaran pendidikan mengenai baik buruknya perbuatan, sikap, kewajiban dan sebagainya.1 Sedangkan moralitas adalah perbuatan, tingkah laku atau sopan santun yang berkenaan dengan moral.2

Menurut Emile Durkeim bahwa: Moralitas merupakan konsistensi, keteraturan tingkah laku: Apa yang akan menjadi moral hari ini akan menjadi moral esok hari. Moralitas juga meliputi pengertian wewenang: kita dipaksa untuk bertindak dengan cara-cara tertentu kita merasakan perlawanan terhadap implus-implus (dorongan hari) yang tidak masuk akal.3

Dalam al-Qur’an biasa disebut dengan akhlak. Secara bahasa kata akhlak berasal dari bahasa Arab akhlaq bentuk jamak dari mufradnyakhulq yang berarti “budi pekerti”. Sinonimnya: etika dan moral. “Etika” berasal dari bahasa latin “etos” yang berarti “kebiasaan”. Moral berasal dari bahasa latin “mores” yang berarti “kebiasaan”.

Etika membicarakan bagaimana harusnya dan moral bagaimana adanya. Etika menyelidiki, memikirkan dan mempertimbangkan tentang yang baik dan

1Peter Salim dan Yenny Salim,kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Modern English

Press, 1991), 995.

2Ibid, 996.

3Emile Durkheim,Pendidikan Moral: Suatu Studi Teori dan Aplikasi Sosiologi


(52)

43

yang buruk, moral menyatakan ukuran yang baik tentang tindakan manusia dalam ketentuan sosial tertentu.4Dengan kata lain bahwa tugas etika adalah mengetahui bagaimana orang seharusnya bertindak sesuai dengan kesadaran moral.

Akhlak dalam Islam menempati posisi yang tinggi. Tugas utama yang diemban oleh Nabi Muhammad Saw di dunia ini adalah untuk menyempurnakan akhlak. Sebagaimana hadits Nabi yang diriwayatkan Abu Hurairah:

" :

:

"

Dari Abu Hurairah Ra berkata, Rasulullah Saw bersabda: “sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakanakhlak yang mulia”5

Dan harga diri manusia juga dinilai dengan akhlak atau budi pekerti yang baik. Maka sikap manusia terhadap sesama manusia, kesemuanya diajarkan di dalam ilmu akhlak. Dengan akhlak, keselarasan dan perdamaian dunia ini akan tercipta. Namun tidak semua jiwa bisa menerima budi pekerti yang baik. Hanya hati yang telah dibukakan oleh Allah Swt sajalah yang akan bisa mengerti nilai luhur akhlak.

B. Internalisasi Nilai Islam dalam Moralitas Figur Semar

Sejak masuknya Islam, maka sarana kegiatan budaya jawa yang berupa wayang dianyam secara canggih untuk memasukkan ajaran-ajaran Islam. Banyak lakon-lakon digubah untuk kepentingan ini. Sunan kalijaga menggubah beberapa

4Sidi Gazalba,Sistematika Filsafat IV(Jakarta: Bulan Bintang, 1981), 512. 5Musnad al-Barraz ‘an Abi Hurairah


(53)

44

lakon wayang dan diantaranya yang terkenal adalah lakon jimat kalimasada, dewa ruci dan petruk dadi ratu.

1. Wayang

Menurut Ardian Kresna, wayang adalah wujud dari upaya penggambaran nenek moyang Jawa tentang kehidupan manusia pada umumnya. Mereka meyakini bahwa setiap benda yang hidup pasti mempunyai ruh, ada yang baik ada pula yang jahat, sehingga saat itu (sekitar tahun 1500 SM) dibuatlah wayang dalam bentuk ilusi atau bayangan. Prosesi wayangan dengan menambah sesaji tersebut menjadi tindakan upacara keagamaan (animisme). Setelah agama Hindu, Budha, dan Islam masuk ke Jawa, fungsi dan peranan wayang berubah menjadi alat peragaan untuk menyampaikan ajaran-ajaran agama. Oleh karena itu, muncullah nama-nama lakon yang disesuaikan dengan agama-agama yang mengusungnya.6

Punakawanmerupakan tokoh yang lahir pada abad ke-12 dengan peranannya yang masih minim, yakni masih berfungsi sebagai pemecah suasana dengan kehumorannya agar cerita terasa lebih hidup. Barulah pada masa penyebaran Islam, tokohpunakawanmengalami transformasi sebagai media dakwah dan kritik sosial. Pada era Islam, muncul tokoh Gareng, Petruk, dan Bagong sebagai anak-anak Semar. Berikut ini adalah ulasan kritis tentang tokoh Semar dalam misi agama Islam.

6Ardian Kresna,Dunia Semar: Abdi Sekaligus Penguasa Sepanjang Zaman(Jogjakarta:


(54)

45

Satu personifikasi yang sangat dekat dengan masyarakat jawa adalah tokoh punakan wayang terdiri atas semar, gareng, petruk, bagong. Punakawan yang terdiri atas semar, nala gareng, petruk, bagong adalah tokoh-tokoh yang selalu ditunggu-tunggu dalam setiap pergelaran wayang di jawa. Sebenarnya dalam cerita wayang yang asli dari India tidak ada tokoh punakawan. Para tokoh punakawan dibuat sedemikian rupa mendekati kondisi masyarakat jawa yang beraneka ragam.

Punakawan dimainkan dalam sesi goro-goro. Jika diperhatikan secara seksama ada kemiripan dalam setiapa pertunjukan wayang anatara satu lakon dan lakon yang lain. Pada setiap permulaan permainan wayang biasanya tidak ada adegan bunuh membunuh antara totkoh-tokohnya hingga lakon gara-gara dimainkan, mengapa? Dalam falsafah orang jawa, hal ini diartiakan bahwa dalam setiap mengatasi masalah hendaknya selalu tenang, piker dengan kepala dingin dan utamakan musyawarah. Cermati dulu masalah yang ada jangan mengambil kesimpulan sebelum mengetahui masalahnya.

2. Semar dalam Dakwah Islam

Banyak sejarawan yang berpendapat bahwa masuknya Islam melalui perdagangan. Ada juga yang berpendapat bahwa dakwah Islam di Nusantara merupakan misi dari kesultanan Ottoman dengan mengirim Walisongo generasi pertama. Kesemuanya itu adalah proses Islamisasi secara eksternal. Sedangkan Islamisasi secara Internal, walisongo menggunakan budaya dan kearifan lokal sebagai media dakwah.


(55)

46

Ridin Sofwan juga menegaskan bahwa sepanjang sejarahnya, Jawa telah melakukan dialog budaya yang masuk, yang pada akhirnya melahirkan nilai budaya yang baru yang telah melakukan adaptasi. Ia menerangkan:

Sejarah Islam di Jawa telah berjalan cukup lama sehingga banyak hal yang menarik untuk dicermati. Di antaranya terjadinya dialog budaya antar budaya asli Jawa dengan berbagai nilai yang datang dan merasuk ke dalam budaya Jawa. Proses tersebut memunculkan banyak varian dialekta, sekaligus membuktikan elastisitas budaya Jawa.7

Lakon Punakawan adalah murni lakon yang diciptakan oleh Walisongo sebagai sarana dakwah melalui budaya. Lakon Semar dan Punakawan lainnya seolah mempertegas dakwah Walisongo dalam upaya mengganti kesenian-kesenian yang berbau agama Hindu-Budha dan mengisinya dengan nilai-nilai ajaran agama Islam. Kiai Lurah Semar Badranaya atau Nur Naya mempunyai arti cahaya tuntunan atau cahaya pemimpin, di mana dia seolah-olah sedang menjalankan tugas menuntun cahayanya ke jalan yang benar. Semar merupakan pendakwah jalan kebaikan dan kebenaran sebagaimana yang tersebut dalam tembang Lir-ilir.8

7 Ridin Sofwan, dkk,Merumuskan Kembali Interelasi Islam Jawa (Yogyakarta: Gama

Media, 2004), v.

8Sunan kalijaga mengarang tembang ilir-ilir, menggubah tembang macapat metrum dhandanggula, dan membuat gambar wayang kulit miring. Adapun syair tembang ilir-ilir karya sunan kalijaga yaitu:

Ilir-ilir

Ilir-ilir tandure wis sumilir(ilir-ilir tanaman sudah bersemi)

Tak ijo royo-royo tak senggah temanten anyar(tampak menghijau ibarat pengantin baru) Bocah angon penekno blimbing kuwi (wahai penggembala panjatlah blimbing itu) Lunyu-lunyu yo penekna kanggo masuh dodotiro(meski licin panjatlah untuk mencuci kain)

Dodotiro kumitir bedhah ing pinggir(kain yang sudah robek kainnya)

Dondomana jrutamatana kanga seba mengko sore(jahitlah dan tambalah untuk menghadapi nanti sore)


(56)

47

Sebagaimana dijelaskan Sumanto Al-Qurtuby, lakon Punakawan memang dimunculkan oleh Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga dan diselipkan dalam alur cerita pewayangan Mahabarata yang sarat dengan agama Hindu. Ia menjelaskan: Dalam seni pewayangan sendiri sebetulnya tidak ada cerita soal Semar dan Punakawan itu. Ia baru ada pada masa para wali yang merupakan perpaduan antara tradisi Islam dengan Hindu. Jadi “rombongan” punakawan itu merupakan “rekayasa sosial” Sunan Bonang atau Sunan Kalijaga dalam menyiarkan dakwah Islam agar

equivalent(sepadan) dengan standar intelektual masyarakat bawah.9

Sunan Kalijaga menggunakan kesenian wayang untuk menciptakan personifikasi watak manusia pada masyarakat Jawa. Beliau mengenalkan akhlak dan adab Islam yang berketuhanan. Sosok Punakawan yang terkesan humoris dan konyol kerap kali mewakili watak masyarakat tingkat menengah ke bawah. Predikat sebagai abdi yang lekat pada para Punakawan mengirimkan pesan bahwa tidak selalu rakyat biasa selalu rendah diri yang berada di bawah starata pada bangsawan. Bisa saja rakyat biasa menjadisocial controlbagi masyarakat sekitarnya. Ia juga bisa berperan sebagai unsur demokrasi yang mengedepankan musyawarah dalam setiap menanggapi masalah. Sebagaimana sosok Punakawan dalam beberapa series pagelaran pewayangan.

Para tokoh punawakan juga berfungsi sebagai pamong “pengasuh” untuk tokoh wayang lainnya. Pada prinsipnya manusia butuh yang namanya pamong, mengingat lemahnya manusia, pamong dapat diartikan pula sebagai pelindung.

Mumpung padhang rembulane mumupung jembar kalangane(mumpung bulan terang dan lebar tempatnya)

lihat: Muhammad Hariwijaya,Islam Kijawen, (Yogyakarta; Gelombang Pasang, 2006),197-198.

9 Sumanto Al Qurtuby, Semar Dadi Ratu, Mengenang Gus Dur Kala Jadi Presiden


(57)

48

Tiap manusia hendaknya selalu meminta lindungan kepada Allah SWT. Sebagai sikap introspeksi terhadap segala kelemahan dalam dirinya, inilah falsafah sikap pamong yang digambarkan oleh para tokoh punakawan.

Makna yang terkandung dalam tokoh punakawan adalah sebagai berikut: semar, aslinya tokoh ini berasal dari bahasa arab yaituismaryang artinya paku. Tokoh ini dijadikan pengokoh terhadap semua kebenaran yang ada atau sebagai advicer dalam mencari kebenaran terhadap segala masalah. Paku disini juga dapat difungsikan sebagai pedoman hidup, pengokoh hidup manusia, yang tidak lain adalah agama. Sehingga semar bukanlah tokoh yang harus dipuja, tapi penciptaan semar hanyalah penciptaan simbolisasi dari agama sebagai prinsip hidup setiap umat beragama.

Bagong berasal dari kata baghaa yang berarti berontak. Yaitu berontak terhadap kebatilan dan keangkaramurkaan. Dalam versi lain bagong berarti baqa’ yang artinay kekal yang artinya manusia hanya akan hidup kekal setelah di akhirat nanti.

Nala gareng juga diadaptasi dari bahasa arab yaitu naala qariin yang artinya memperoleh banyak teman, ini sejalan dengan dakwah para wali sebagai juru dakwah untuk memperoleh sebanyak-banyaknya teman untuk kembali ke jalan Allah SWT dengan sikap arif dan jalan yang baik.10

Sedangkan Petruk diadaptasi dari kata fatruk, kata pangkal dari sebuah wejangan yang berbunyi, fatruk kulla maasiwallahi, artinya tinggalkan semua apapun selain Allah. Wejangan tersebut kemudian menjadi watak para wali dan


(1)

83

optimisme tanpa beban di hadapan badai. Satu teladan kepasrahan yang patut di


(2)

83 BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Humanisme Gus Dur dalam konsep pemikirannya meliputi tiga pokok kajian;

Keislaman dan Kemanusiaan, Kemanusiaan dan Pribumisasi Islam, Kemanusiaan

dan Keadilan. Ketiga pokok kajian ini tampak pada riwayat kiprah Gus Dur dan

aksi kemanusiaannya yang terangkum dalam sembilan nilai utama Gus Dur yang

dirumuskan oleh Jaringan Gusdurian. Sembilan nilai utama Gus Dur tersebut

antara lain; Ketauhidan, Kemanusiaan, Keadilan, Kesetaraan, Pembebasan,

Kesederhanaa, Persaudaraan, Keksatriaan, dan Kearifan Lokal.

2. Moralitas dalam Figur Semar secara filosofis tersimbol pada nama, julukan, ciri

fisik, dan karakter Semar, yang berjumlah sembilan yaitu; Semar, Ki Lurah

Nayataka, Hyang Maya, Badranaya, Ismaya, Janggan Semarasanta, Punakawan,

ciri fisik Semar dan karakter yang ditanamkan dalam figur Semar.

3. Relevansi humanisme Gus Dur dengan moralitas figur Semar terdapat pada

sembilan point yang sama. Yang mana sembilan moralitas Semar yang tersebut

mempunyai kesamaan nilai dengan sembilan nilai utama Gus Dur yang

dirumuskan oleh komunitas pengkaji pemikiran Gus Dur yang bernama

Gusdurian. Dengan menjadikan rekam jejak dan riwayat humanisme yang pernah

dilakukan Gus Dur dalam setiap dari sembilan nilai utama Gus Dur sebagai tolak


(3)

84

B. Saran

1. Hendaknya kita merawat budaya dan kearifan lokal yang mengandung nilai

moral yang dibenarkan oleh Agama. Misalnya nilai-nilai moral yang ditanamkan

oleh Sunan Kalijaga pada pada figur Semar. Yang mana budaya dan kearifan

lokal beliau jadikan media dalam dakwah Islam di Nusantara. Nilai filosofis

yang ada pada figur Punakawan pada umumnya dan Semar pada khususnya,

haruslah dikenalkan kepada generasi berikutnya, supaya mereka paham dan

mengetahui kiprah dan usaha pada pendahulu yang menjadikan seni budaya

sebagai media dakwah yang telah memberikan warna dalam kekayaan budaya

Indonesia.

2. Hendaknya penelitian dan kajian terhadap tokoh bangsa dari sekian tokoh yang

bisa diambil suri tauladannya dalam kontek keindonesiaan lebih ditingkatkan di

kalangan akademisi dan mahasiswa. Gagasan-gagasan tentang humanisme dan


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Zainal. Filsafat Manusia, Memahami Manusia Melalui Filsafat,cet.I.

Bandung: Rosda Karya, 2000.

Al Qurtuby, Sumanto.Semar Dadi Ratu, Mengenang Gus Dur Kala Jadi Presiden.

Semarang: Lembaga Studi sosial dan Agama, eLSA, 2010.

Arif, Syaiful. Humanisme Gus Dur, Pergumulan Islam dan Kemanusiaan

(Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2013.

Boisard, Marcel A.Humanismee Dalam Islam,terj. H. M. Rasjidi. Jakarta: Bulan

Bintang, 1982.

Bakker, Anton dan Achmad Charris Zubir. Metodologi Penelitian Filsafat.

Yogyakarta: Kanisius, 1990.

Bungin, Burhan. Analisis Data Penelitian Kualitatif. Jakarta: RajaGrafindo

Persada, 2003.

Durkheim, Emile. Pendidikan Moral: Suatu Studi Teori dan Aplikasi Sosiologi

Pendidikan, Alih bahasa: Lukas Ginting. Jakarta: Erlangga, 1990.

Endraswara, Suwardi.Mistik Kejawen. Yogyakarta: Narasi, 2003.

Gazalba, Sidi.Sistematika Filsafat IV. Jakarta: Bulan Bintang, 1981.

Hanafi, Hassan. dkk. Islam dan Humanismee: Aktualisasi Humanismee di Tengah

Krisis Humanismee Universal.Semarang: IAIN Walisongo, 2007.

Hariwijaya, Muhammad.Islam Kijawen.Yogyakarta: Gelombang Pasang, 2006.

Kresna, Ardian. Dunia Semar: Abdi Sekaligus Penguasa Sepanjang Zaman.


(5)

Madjid, Nurcholish.Islam Agama Kemanusiaan.Jakarta: Paradimana, 1995.

Masruri, Siswanto. Humanitarianisme Soedjatmoko: Visi Kemanusiaan.

Yogyakarta: Pilar Media, 2005.

Muhadjir, Noeng. Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi III. Yogyakarta: Rake

Sarasin, 1998.

Muhammad, Husain.Sang Zahid. Yogyakarta. LkiS. Cet 1. 2012.

Mulyono, Sri. Sebuah Tinjauan Filosofis Simbolisme dan Visitikisme dalam

Wayang. Jakarta: Gunung Agung, 1983.

Nugroho, Aryanto. Jejak Langkah Guru Bangsa (Footprints Of The Guru, Keep

Gus Dur’s Spirit.Semarang: EIN INSTITUTE, 2010.

Syari’ati,Ali. Tentang Sosiologi Islam,terj. Saifullah Wahyuddin. Yogyakarta:

Ananda, 1982.

Salim, Peter dan Salim, Yenny. Kamus Besar Bahasa Indonesia

Kontemporer,Edisi Pertama. Jakarta: Modern English Press, 1991.

Suaedy, Ahmad dan Ulil Abshar Abdalla. Gila Gus Dur: Wacana Pembaca

Abdurrahman Wahid.Yogyakarta: LkiS, 2000.

Sofwan, Ridin. dkk. Merumuskan Kembali Interelasi Islam Jawa. Yogyakarta:

Gama Media, 2004.

Sumukti, Tuti.Semar: Dunia Batin Orang Jawa. Yogyakarta: Galang Press, 2005.

Suseno, Franzs Magnis.Menalar TuhanYogyakarta: Galang Press, 2006.

Wahid, Abdurrahman.Pribumisasi Islam: dalam Pergulatan Negara, Agama, dan

Kebudayaan.Depok: Desantara, 2001.


(6)

__________________.Islam Kosmopolitan, nilai-nilai Indonesia dan Tranformasi

Kebudayaan. The Wahid Institut. 2007

Wirartha, I made.Metodologi Penelitian Sosial EkonomiYogyakarta: Andi, 2006.

Zaairul Haq, Muhammad. Tasawuf Semar Hingga Bagong, Simbol, Makna, dan

Ajaran Makrifat dalam Punakawan.Bantul: Kreasi Wacana, 2013.

Gusdurian.http://www.gusdurfiles.com/2015/04/9-sembilan-nilai-utama-gus-dur.html/(Senin,27Juni 2016, 16.00)