kedewasaan jiwa manusia. Kesusilaan tidak lepas dari laku dalam perjalanan menuju kesempurnaan. Tingkat kedewasaan manusia akan membentuk watak yang menentukan laku
susilanya. Hal ini digambarkan dalam simbolik wayang dengan watak-watak pendeta,
pandhita- ratu, satria, diyu
, dan
cendhala
. Tingkat kedewasaan dan watak manusia tidak hanya dapat diperoleh dengan usaha sendiri sewaku hidupnya, melainkan juga diperoleh sejak lahirnya.
C. Dasar-dasar Filsafat Jawa
Dasar-dasar filsafat Jawa dapat dilihat dari empat bangunan filsafat, yaitu metafisika, ontologi, epistemologi, dan aksiologi.
1. Metafisika dalam Filsafat Jawa
Sebagaimana dijelaskan pada Bab II bahwa metafisika berasal dai bahasa Yunani
meta ta physika
yang berarti hal-hal yang terdapat sesudah fisika. Metafisika adalah ilmu pengetahuan mengenai yang ada sebagai yang ada, yang dilawankan misalnya yang ada sebagai yang
digerakkan atau yang ada sebagai yang dijumlahkan. Dewasa ini, metafisika digunakan baik untuk menunjukkan cabang filsafat pada umumnya maupun acapkali untuk menunjukkan cabang
filsafat yang mempelajari pertanyaan-pertanyaan terdalam. Metafisika sering kali juga dijumlahkan, khususnya bagi mereka yang ingin menolaknya, dengan salah satu bagiannya, yaitu
ontologi. Metafisika dapat didefinisikan sebagai bagian pengetahuan manusia yang bersangkutan dengan pertanyaan mengenai hakikat yang ada yang terdalam.
Ciptoprawiro 1986: 22-24 menjelaskan metafisika Jawa sebagai berikut: Ungkapan tentang ada Ada semesta, Alam semesta --- Tuhan --- Manusia---, dapat dianggap
sebagai hasil pemikiran ataupun sebagai hasil pengalaman atau penghayatan manusia. Karena hasil ini dinyatakan berupa penuturan dengan kata verbal dan tersusun secara sistematis, maka
dapat disebur filsafat dalam arti sempit. Ciri-ciri dasarnya adalah 1 Tuhan adalah ada semesta atau ada mutlak, 2 Alam semesta merupakan pangejawantahan Tuhan, dan 3 Alam semesta
dan manusia merupakan suatu kesatuan, yang biasanya disebut kesatuan makrokosmos dan mikrokosmos.
Pemikiran filsafat bertolak dari eksistensi manusia dan alam-dunia sebagai wujud nyata yang dapat ditangkap dengan panca indera. Bukan dasar awal yang dicari dan dipertanyakan seperti
yang terjadi pada filsuf-filsuf Yunani, melainkan dari mana semua wujud ini atau dengan istilah
sangkan paran
, 1
sangkan paraning dumadi
: awal ---akhir alam semesta, 2
sangkan paraning manungsa
: awal – akhir manusia, dan 3
dumadining manungsa
: penciptaan manusia. Pencarian manusia akan berakhir dengan
wikan, weruh
atau mengerti
sangkan paran
. Fisafat Jawa sepanjang masa berkesimpulan bahwa Tuhan merupakan
sangkan paraning dumadi
dan
manungsa
, yang berarti 1 awal berarti berasal dari Tuhan dan 2 akhir berarti kembali kepada Tuhan. Usaha manusia untuk kembali pada asalnya atau Tuhan dilakukan baik dengan jalan
jasmani maupun rohani, atau jalan lahir maupun jalan batin. Pada bagian lain, Ciptoprawiro menjelaskan tentang Tuhan, manusia, dan alam semesta
sebagai berikut: 1
Tuhan: Tuhan tidak dapat dibayangkan seperti apa pun, dekat tiada bersentuhan, jauh tiada perbatasan,
dat kang tan kena kinayangapa, cedhak tanpa senggolan, adoh tanpa wangenan
. Dalam rumusan Barat adalah
imanen
–
transenden
. Tuhan disebut dengan bermacam-macam nama yang umumnya menggambarkan sifatnya, seperti
Sang Hyang Taya, Wenang, dan Tunggal. 2
Manusia: unsur-unsur yang menjadi sarana kembali jasmani,
kakang kawah, adhi ari-ari
; air ketuban dan plasenta, lubang sembilan, dan panca indera. Rohani
sedulur papat kalima pancer
: empat saudra dan penuntun sebagai saudara kelima. Nafsu ada empat:
mutmainah, amanah, lauwamah,
dan
supiah
. Aku dengan kodrat kemampuan cipta, rasa, dan karsa. Pribadi
self
atau
ingsun, sukma sejati
, sebagai penuntun aku. Sukma sejati merupakan percikan Tuhan atau Sukma Kawelas. Kembali kepada
Tuhan juga disebut pulang kepada asal:
mulih -- mula -- mulanira
. 3
Alam semesta dunia: penuturan tentang penciptaan dunia
kosmogoni
dan gambaran dunia
kosmologi
berbentuk beraneka ragam dengan usnur-unsur budaya Hindu. Budha, dan Islam, yang sangat menonjol adalah susunan hierarkhi di
dalamnya.
Pandangan tentang metafisika Jawa yang merupakan hubungan antara Tuhan, manusia dan alam semesta juga diungkapkan oleh Koesbandriyo 2007:14-20 yang menyatakan bahwa
metafisika Jawa mempunyai karakteristik:
pertama
, pengakuan tentang kemutlakan Tuhan,
kedua
, Tuhan yang transenden imanen di alam dan pada manusia, dan
ketiga
, alam semesta dan manusia merupakan satu kesatuan yang bisa disebut kesatuan makrokosmos dan mikrokosmos.
Ungkapan metafisika ini dapat dilihat dealam naskah-naskah sastra Jawa. Koesbandriyo memberi contoh dalam Serat Centhini I, pupuh 345 sebagai berikut:
Sang wirya kalih kang kantun Tapakur ing dikir
Tanjeh ing oanaul Tan kalingan wus kalingling
Linglung pagut kejumbuhan Loro-loroning atunggil
Tan pae paekanipun Kaula kelawan Gusti
Neng sajroning kaenangan Enange oneng ening
Pawore tunggal kahanan Aneng anane pribadi.
Terjemahan bebas sebagai berikut: Kedua tokoh yang tinggal yakni Seh Amongraga dan Jayengwresthi melibatkan diri
dalam semedi dan dikir. Mereka melepaskan diri dari segala ikatan dan memasuki tahap pelenyapan diri yang total. Mereka memandang tanpa tirai. Lepas dari ikatan indera mereka
mempersatukan diri dengan Tuhan, ―
loro-loning atunggil
‖. Dalam keadaan seperti itu tak ada lagi perbedaan antara
kawula lan Gusti
manusia dan Tuhan, dalam keadaan sunyi sepi mereka bergaul dalam kemanunggalan kodrat, dalam ada itu sendiri.
Dalam contoh yang lain, yaitu Serat Wirid Hudayat Jati mengungka-kan tentang sifat- sifat Tuhan sebagai berikut:
Ingkang Esa iku nyata siji Siji-siji sawiji kang Esa
Yeku kita sejatine Makaten nyatanipun
Kang ngendika wus tanpa lathi Satuhu amung purba lamun karsa iku
Anggada wus datanpa karna
Lamun dulu tanpa netra yekti Muhun waskita iku jatine
Kang sarta tan arah lire Tanpa enggon punika
Tanpa rupa datanpa warni Sawawi para kadang
Mitra sadeyeku Makaten minggah ing kula
Rening gaib tan keni kinira dening Wus nir kinaya ngapa
Terjemahan bebas sebagai berikut: Yang Esa itu sungguh satu, yakni benar-benar hanya satu, yaitu kita sesungguhnya,
demikian kenyataannya. Dat yang bersabda tanpa mulut, hanya niat saja. Mencium tanpa hidung, hanya menyengaja saja. Mendengar tanpa telinga. Bila melihat, tidak dengan mata, itulah yang
disebut waskita awas. Tuhan tiada arah, artinya tiada tempat. Tiada rupa dan tiada warna. Demikian pendapatku, terserah pada penilaian kalian. Karena gaib tiada diperkirakan, dan tak
dapat diserupakan dengan apa pun. Contoh lain adalah konep dualisme realitas yang dapat dilihat pada
Tembang Gambuh
berikut ini. Sapantuk wahyuning Allah
Gya dumilah manulah ngelmu bangkit Bakat mikat reh mengukut
Kukutane jiwangga Kang mangkono kena ingaran wong sepuh
Liring sepuh sepi hawa Awas loroning atunggal
Terjemahan bebas sebagai berikut: Barang siapa mendapatkan wahyu Illahi, ia akan segera memiliki kemampuan luar biasa
untuk mempelajari ilmu. Dan ia akan mampu mendapatkan dan menguasai tata tertib bersemedi, yaitu dengan menyingkirkan dan menghentikan kerja-kerja jiwa dan raga. Kondisi manusia yang
demikian ini dapat dikatakan sebagai tua. Artinya tua yaitu terbebas dari hawa nafsu, dan waspada terhadap adanya dua macam anasir yang sebenarnya ke-dwi tunggal-an.
Berdasarkan contoh tersebut terlihat bahwa dalam filsafat Jawa selalu bermuara pada titik akhir, yaitu Tuhan. Pengakuan akan kemutlakan Tuhan yang sering disebut
sangkan paraning dumadi
. Demikian pula hubungan manusia dengan alam, manusia harus menunjukkan suatu citra harmonis, kesempurnaan manusia akan terwujud bilamana telah melepaskan diri dari ke-
aku-annya dengan tidak terbelenggu dengan dunia.
2. Ontolologi Filsafat Jawa