ANALISIS PELAKSANAAN EKSEKUSI PERKARA PIDANA TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN YANG TIDAK MENYATAKAN PERINTAH PENAHANAN (Studi Kasus Komisaris Jendral (Purn) Susno Duadji)

(1)

ABSTRAK

ANALISIS PELAKSANAAN EKSEKUSI PERKARA PIDANA TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN YANG TIDAK MENYATAKAN

PERINTAH PENAHANAN

(Studi Kasus Komisaris Jendral (Purn) Susno Duadji)

Oleh

Imam Yudha Nugraha

Hukum acara pidana mengatur tentang bagaimana cara alat-alat perlengkapan pemerintah melaksanakan tuntutan, memperoleh keputusan pengadilan, oleh siapa keputusan pengadilan itu dilaksanakan, jika ada seseorang atau sekelompok orang yang melakukan perbuatan pidana. Permasalahan yang muncul adalah bagaimana bila Eksekusi putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht) tersebut menimbulkan sebuah masalah dalam pelaksanaannya. Seperti halnya yang terjadi pada Putusan Eksekusi Komjen (purn) Susno Duadji pada tingkat Kasasi. Yang dalam putusan tersebut tidak mencantumkan perintah penahanan. Alasan Susno Duadji menolak untuk dieksekusi antara lain:

1) Nomor Putusan Pengadilan Negeri Jaksel tidak sama Putusan Negeri Jaksel bernomor 1260/pid.B/2010/PN.Jaksel, sedangkan Putusan Pengadilan Tinggi menyebut putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan itu bernomor : 1288/pid.B/2010/PN.Jaksel.

2) Amar Putusan Mahkamah Agung hanya menyatakan Menolak permohonan Kasasi Susno Duadji, sehingga putusan yang dijadikan pedoman adalah Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang menyatakan “menjatuhkan pidana penjara selama 3 tahun dan denda sebesar Rp.200.000.000,- dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar, diganti dengan pidana kurungan 4 (empat) bulan; dan menghukum terdakwa membayar uang pengganti sebesar Rp.4.208.898.747,-“.

3) Pasal 197 ayat (1) huruf k menyatrakan: “perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan”, kemudian Pasal 197 ayat (2) menyatakan: “tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e ,f ,g ,h, i, j, k, dan l pasal ini mengakibatkan putusan batal demi hukum.


(2)

menyatakan Putusan Makamah Agung cacat hukum dan putusannya harus dinyatakan batal demi hukum. Oleh karena itu, Susno Duadji menolak Eksekusi yang dilaksanakan oleh Jaksa terhadap dirinya.

Penelitian ini dilakukan menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris, yaitu dengan melakukan studi kepustakaan, mencari literatur- literetur yang berkaitan dengan permasalahan penelitian, serta melakukan wawancara secara lisan terhadap narasumber untuk mendapatkan data pendukung guna penulisan skripsi ini.

Hasil penelitian penulis menunjukkan, bahwa pertimbangan dan landasan hukum jaksa bertindak sebagai eksekutor putusan pengadilan dan ketetapan hakim adalah surat putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap. Dasar- dasar pembuatan suatu surat putusan telah tercantum dalam Pasal 197 ayat (1) huruf a-l KUHAP. Salah satu bagian yang harus dicantumkasn dalam surat putusan, yakni pada Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP yang menyatakan : “perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan”. kemudian dalam Pasal 197 ayat (2) KUHAP menyatakan : Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1)

huruf a, b, c, d, e, f, g, h, i, j, k, dan l pasal ini mengakibatkan putusan batal demi hukum”. Namun dalam Penjelasan Pasal 197 ayat (2) telah menjelaskan : “Kecuali yang tersebut pada huruf a, e, f, dan h, apabila terjadi kekhilafan dan atau kekeliruan dalam penulisan, maka kekhilafan dan atau kekeliruan penulisan atau pengetikan tidak menyebabkan batalnya putusan demi hukum”.

Penulis menyarankan kepada Hakim yang berwenang dalam Pembuatan Putusan lebih cermat dalam membuat putusan, kemudian Anggota Legislatif agar segera melakukan Pembaruan KUHAP yang telah usang, serta adanya kontroling atas putusan yang telah ada sebelumnya pada setiap tingkatan peradilan.


(3)

PUTUSANPENGADILANYANGTIDAKMENYATAKAN PERINTAHPENAHANAN

(Studi Kasus Komisaris Jendral (Purn) Susno Duadji) (Skripsi)

Oleh

Imam Yudha Nugraha

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2014


(4)

ANALISIS PELAKSANAAN EKSEKUSI PERKARA PIDANA TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN YANG TIDAK MENYATAKAN

PERINTAH PENAHANAN

( Studi Kasus Komisaris Jendral (Purn) Susno Duadji) (SKRIPSI)

Oleh :

IMAM YUDHA NUGRAHA

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2014


(5)

(6)

(7)

DAFTAR ISI

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup ... 4

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 5

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 6

E. Sistematika Penulisan... 10

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Jaksa ... 11

B. Tugas dan Wewenang Hakim Dalam Proses Peradilan Pidana ... 13

1. Hakim dan Kewajibannya ... 13

2. Kekuasaan Hakim ... 15

3. Peranan Hakim dalam Menjatuhkan Putusan ... 16

C. Putusan Pengadilan ... 17

D. Putusan Pengadilan pada Perkara Pidana ... 19

E. Pengertian Eksekusi ... 21

1. Eksekusi pada Putusan Perdata ... 21

2. Eksekusi pada Putusan Pidana ... 22

III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ... 25

B. Sumber dan Jenis Data ... 25

C. Populasi dan Sampel ... 26

1. Populasi ... 26

2. Sampel ... 27 Halaman


(8)

2. Prosedur Pengolahan Data ... 28 E. Analisis Data ... 28

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik Responden ... 30 B. Landasan Hukum dan Penerepan Eksekusi Terhadap Putusan pada

Perkara Nomor: 1260/pid.B/2010/PN.Jaksel yang Tidak Memuat Perintah Penahanan ... 32 C. Pelaksanaan Eksekusi Perkara Nomor: 1260/pid.B/2010/PN.Jaksel

yang Tidak Memuat Perintah Penahanan Menurut Peraturan yang Berlaku ... 37

V. PENUTUP

A. Simpulan ... 55 B. Saran ... 56

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(9)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Negara Indonesia adalah Negara hukum, hal ini tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) Undang- Undang Dasar 1945 Perubahan Ketiga. Menurut Penjelasan Umum Undang- Undang Dasar 1945, khususnya penjelasan tentang Sistem Pemerintahan

Negara dinyatakan: “Negara Indonesia berdasar atas hukum rechtstaat, tidak

berdasarkan atas kekuasaan belaka machtstaat”.

Berbicara tentang Negara hukum, tentunya harus dicari dahulu persamaan persepsi tentang Negara hukum atau ciri-ciri Negara hukum.

Ciri-ciri Negara hukum adalah:

1. Pengakuan dan perlindungan terhadap hak- hak asasi manusia, yang mengandung persamaan dalam bidang politik, hukum, social, ekonomi dan kebudayaan.

2. Peradilan yang bebas dan tidak memihak serta tidak dipengaruhi oleh sesuatu kekuasaan atau kekuatan apapun juga.

3. Legalitas dalam arti, dalam segala bentuknya.1

Ketiga prinsip di atas merupakan suatu syarat yang harus dipenuhi oleh suatu Negara, agar negara tersebut dapat diakui sebagai Negara hukum, dan memiliki kepastian hukum.

1

Tri Andrisman, Buku Ajar Sistem Peradilan Indonesia, (Bandar Lampung: Universitas Lampung, 2011), hlm. 15


(10)

Setiap masyarakat berhak mendapatkan kepastian hukum yang menjadi hak

masyarakat, sesuai Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945: “Setiap orang berhak atas

pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukumyang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.

Untuk memperoleh sebuah kepastian hukum dilaksanakan peradilan, Pasal 24 ayat (1) UUD 1945, jo Pasal 1 Undang-Undang No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan

Kehakiman: “kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan bersasarkan

Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia”. Pasal 24 ayat (2) UUD 1945: “ kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah

Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan

peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.

Menurut Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, hukum acara pidana mengatur tentang bagaimana cara alat-alat perlengkapan pemerintah melaksanakan tuntutan, memperoleh keputusan pengadilan, oleh siapa keputusan pengadilan itu dilaksanakan, jika ada seseorang atau sekelompok orang yang melakukan perbuatan pidana.2

Hukum acara pidana mempunyai tugas untuk:

a. Mencari dan mendapatkan kebenaran material.

2


(11)

b. Memperoleh keputusan oleh hakim tentang bersalah tidaknya seseorang atau sekelompok orang yang disangka/ didakwa melakukan perbuatan pidana.

c. Melaksanakan putusan hakim (Eksekusi).3

Eksekusi merupakan pelaksanaan putusan hakim terhadap suatu perkara pidana yang telah memiliki kekuatan hukum yang tetap (inkracht van gewijsde). Eksekusi harus dicantumkan dalam amar putusan agar memiliki kepastian hukum, dan dasar pelaksanaannya. Sebagaimana telah diatur dalam Pasal 270 KUHAP yang menyatakan: “Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dilakukan oleh jaksa, yang untuk itu panitera mengirimkan salinan surat putusan kepadanya.” Seperti halnya yang terjadi pada kasus Komisaris Jendral (Purn) Susno Duadji yang menolak untuk dieksekusi.

Alasan Susno Duadji menolak untuk dieksekusi antara lain:

1) Nomor Putusan Pengadilan Negeri Jaksel tidak sama Putusan Negeri Jaksel bernomor 1260/pid.B/2010/PN.Jaksel, sedangkan Putusan Pengadilan Tinggi menyebut putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan itu bernomor : 1288/pid.B/2010/PN.Jaksel.

2) Amar Putusan Mahkamah Agung hanya menyatakan Menolak permohonan Kasasi Susno Duadji, sehingga putusan yang dijadikan pedoman adalah Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang

menyatakan “menjatuhkan pidana penjara selama 3 tahun dan denda

sebesar Rp.200.000.000,- dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar,

3


(12)

diganti dengan pidana kurungan 4 (empat) bulan; dan menghukum terdakwa membayar uang pengganti sebesar Rp.4.208.898.747,-“.

3) Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP menyatakan: “perintah supaya

terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan”, kemudian

Pasal 197 ayat (2) KUHAP menyatakan: “tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e ,f ,g ,h, i, j, k, dan l pasal ini mengakibatkan putusan batal demi hukum.

Berdasarkan argumentasi hukum point a, b, dan c di atas, Susno Duadji menyatakan Putusan Makamah Agung cacat hukum dan putusannya harus dinyatakan batal demi hukum. Oleh karena itu Susno Duadji menolak Eksekusi yang dilaksanakan oleh Jaksa terhadap dirinya. Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis ingin mengangkat judul “Analisis Pelaksanaan Eksekusi Perkara Pidana terhadap Putusan Pengadilan yang Tidak Menyatakan Perintah Penahanan (Studi Kasus Komisaris Jendral (Purn) Susno Duadji)”, dengan tahun penelitian yakni pada tahun 2013.

B. Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup

1. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Bagaimanakah landasan hukum dan penerapan eksekusi terhadap putusan pada perkara nomor: 1260/pid.B/2010/PN.Jaksel yang tidak memuat perintah penahanan?


(13)

b. Apakah pelaksanaan eksekusi terhadap perkara nomor: 1260/pid.B/2010/PN.Jaksel yang tidak memuat perintah penahanan sesuai dengan peraturan yang berlaku?

2. Ruang Lingkup

Ruang lingkup pada permasalahan ini adalah bidang hukum pidana formil, yang dititik beratkan terhadap tata cara pelaksanaan putusan yang memuat tentang eksekusi, yaitu bagaimana KUHAP mengatur tentang kepastian hukum pelaksanaan eksekusi dan pedoman penulisan putusan hakim tentang putusan eksekusi terpidana. Dalam hal ini terfokus pada kasus Komisaris Jendral (Purn) Susno Duadji yang menolak untuk di eksekusi. Adapun lokasi penelitian terfokus pada wilayah hukum Provinsi Lampung. Tahun penelitian dari skripsi ini adalah tahun 2013.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penalitian ini adalah :

a. Untuk mengetahui penerapan eksekusi terhadap putusan pada perkara nomor: 1260/pid.B/2010/PN.Jaksel.

b. Untuk mengetahui apakah pelaksanaan eksekusi terhadap perkara nomor: 1260/pid.B/2010/PN.Jaksel sesuai dengan peraturan yang berlaku


(14)

2. Kegunaan Penelitian

a. Kegunaan Teoritis

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan memperluas dan mengembangkan ilmu pengetahuan berdasarkan kemampuan, daya nalar dan daya pikir penulis yang sesuai dengan disiplin ilmu pengetahuan yang dimiliki untuk dapat mengungkapkan secara obyektif melalui metode ilmiah dalam memecahkan setiap permasalahan yang ada, khususnya masalah yang berkaitan dengan aspek hukum pidana.

b. Kegunaan Praktis

Secara praktis, hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada pihak-pihak yang berkepentingan khususnya bagi aparatur penegak hukum dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya terutama dalam pembuatan surat putusan yang memuat tentang eksekusi.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah susunan dari beberapa anggapan, pendapat, cara, aturan, asas, keterangan sebagai satu kesatuan yang logis yang menjadi landasan, acuan, dan pedoman untuk mencapai tujuan dalam penelitian atau penulisan. Pada


(15)

umumnya, teori bersumber dari undang-undang, buku/karya tulis bidang ilmu, dan laporan penelitian.4

Secara teoritik, setiap pemidanaan didasarkan paling sedikit pada keadaan-keadaan individual baik yang berkaitan dengan tindak pidana yang dilakukan dengan pelaku tindak pidana. Dalam praktek tentu saja hal ini akan bervariasi, baik per orang maupun tindak pidana per tindak pidana dan dengan demikian dapat dimengerti apabila tidak selalu tercapai apa yang dinamakan pemidanaan yang konsisten dalam pendekatan terhadap pemidanaan. Sudarto5 menyatakan:

“sebelum Hakim memutuskan perkara terlebih dahulu ada serangkaian

keputusan yang harus dilakukan, yaitu sebagai berikut:

1. Keputusan mengenai perkaranya ialah apakah Terdakwa telah terbukti melakukan perbuatan yang dituduhkan kepadanya;

2. Keputusan mengenai hukumannya ialah apakah perbuatan yang dilakukan Terdakwa itu merupakan suatu tindak pidana dan apakah Terdakwa tersebut bersalah dan dapat dipidana;

3. Keputusan mengenai pidananya apabila Terdakwa memang dapat

dipidana.”

Setelah pemeriksaan dalam sidang pengadilan selesai, hakim memutusakn perkara yang diperiksa itu. Pututsan pengadilan atau putusan hakim dapat berupa:

1. Putusan bebas bagi terdakwa (Pasal 191 ayat (1) KUHAP).

2. Pelepasan terdakwa dari segala tuntutan (Pasal 191 ayat (2) KUHAP). 3. Penghukuman terdakwa (Pasal 193 ayat (1) KUHAP). (PHI 232-233)

Pasal 197 ayat (1) dan (2) KUHAP menyatakan:

“(1) surat putusan pemidanaan memuat:

a. kepala putusan yang dituliskan berbunyi: “DEMI KEADILAN

BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”;

b. nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa;

4

Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung : PT. Citra Aditya Bhakti, 2004), hlm. 73

5


(16)

c. dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan;

d. pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa;

e. tuntutan pidana sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan;

f. pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa;

g. hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali perkara diperiksa oleh hakim tunggal;

h. pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan;

i. ketentuan kepada siapa beban perkara dibebankan dengan menyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti;

j. keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau di mana letaknya kepalsuan itu, jika terdapat surat otentik dianggap palsu;

k. perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan;

l. hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutus dan nama panitera

(2) Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, g, h, I,j, k, dan l pasal ini mengakibatkan putusan batal demi hukum”.

Bab penjelas pasal demi pasal KUHAP mengenai ketentuan Pasal 197 ayat (2) menyatakan : “Kecuali yang tersebut pada huruf a, e, f dan h, apabila terjadi kekhilafan dan atau kekeliruan dalam penulisan, maka kekhilafan dan atau kekeliruan penulisan atau pengetikan tidak menyebabkan batalnya putusan demi hukum”.

2. Konseptual

Kerangka konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang ingin atau akan diteliti.6

6


(17)

Adapun pengertian dasar dari istilah-istilah yang akan digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah :

1. Analisis adalah penyelidikan suatu peristiwa untuk mengetahui sebab-sebabnya, bagaimana duduk perkaranya.7

2. Pelaksanaan adalah berasal dari kata laksana yang artinya sifat, tanda : laku, panglima angkatan laut, Laku perbuatan, cara menjalankan atau berbuat.8 3. Executie adalah Eksekusi, pelaksanaan keputusan-keputusan pengadilan dan

akta-akta keputusan-keputusan dalam perkara-perkara pidana, dieksekusi oleh atau atas perintah jaksa pada pengadilan negeri (HIR Pasal 325 dan seterusnya) dalam perkara-perkara perdata pelaksanaan keputusan-keputusan pengadilan dilakukan atas perintah dan di bawah pimpinan dari ketua pengadilan negeri, yang memeriksa perkara itu pada tingkat pertama (HIR Pasal 195 dan seterusnya).

4. Perkara pidana (acara pemeriksaan biasa) ialah perkara yang pembuktiannya dan penerapan hukumnya serta mudah sifatnya tidak sederhana.9

5. Putusan Pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka untuk umum yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini (Pasal 1 ayat (11) KUHAP).

6. Perintah adalah perkataan yang bermaksud untuk menyuruh melakukan sesuatu.10

7

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1991) , hlm.60

8 Ibid. hlm. 121

9

Asa, Pengertian dan Prosedur Perkara Pidana.[Online]. Tersedia:


(18)

7. Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan pendapatnya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini (Pasal 1 butir 21 KUHAP)

E. Sistematika Penulisan

I. PENDAHULUAN

Bab ini merupakan pendahuluan yang akan menguraikan tentang latar belakang permasalahan, ruang lingkup penelitian, tujuan, kegunaan penulisan, kerangka teori dan konseptual serta sistematika penulisan skripsi

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini memuat tentang pemikiran atau pengertian tentang pokok bahasan sebagai acuan dalam penulisan atau penelitian skripsi. pokok bahasan terdiri dari pengertian eksekusi, syarat-syarat eksekusi, dan dasar hukum eksekusi.

III.METODE PENELITIAN

Bab ini memuat metode penelitian yang meliputi pendekatan masalah, sumber, jenis data, populasi, sampel, cara pengumpulan data, dan pengolahan data.

10


(19)

IV.HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini memuat hasil penelitian dan pembahasan yang telah dirumuskan yakni penerapan eksekusi di Indonesia, dan syarat jaksa penuntut umum melakukan eksekusi.

V. KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini merumuskan tentang kesimpulan secara sederhana yang diambil berdasarkan hasil pembahasan dan beberapa saran penulis berkaitan dengan pemecahan permasalahan.


(20)

A. Pengertian Jaksa

Istilah jaksa adalah istilah Indonesia asli (Hindu-Jawa) yang telah dikenal sejak zaman Majapahit sebagai nama pejabat Negara yang melaksanakan peradilan, kemudian di dalam Pepakem Cirebon dipakai istilah Jaksa Pepitu untuk menyatakan susunan pengadilan. Di zaman Mataram (abad 17) istilah Jaksa dipakai sebagai nama pejabat yang melaksanakan peradilan terhadap perkara padu,yaitu perkara mengenai kepentingan perseorangan yang tidak dapat lagi didamaikan secara kekeluargaan oleh Hakim desa setempat.11

Menurut KUHAP jaksa adalah pejabat yang diberikan wewenang untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Jadi Jaksa sebagai penuntut umum berwewenang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. (Pasal 1 ayat (6) a dan b, jo Pasal 13 KUHAP).

Jaksa sebagai penuntut umum berwewenang untuk menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik pembantu; mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan, memberi perpanjangan penahanan; melakukan penahanan atau mengubah status tahanan setelah perkara dilimpahkan

11


(21)

menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk datang pada hari sidang yang telah ditentukan; menutup perkara; mengadakan tindakan lain; dan melaksanakan penetapan Hakim. (Pasal 14 huruf a-i KUHAP)

Tindakan Jaksa sebagai penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh Hakim di sidang Pengadilan disebut penuntutan (Pasal 1 ayat (7) KUHAP). Untuk melaksanakan penuntutan maka Jaksa setelah menerima hasil penyidikan dari Polisi selaku penyidik segera mempelajari dan menelitinya serta dalam waktu tujuh hari wajib memberitahukan kepada penyidik apakah hasil penyidikan sudah lengkap atau belum. Jika belum lengkap berkas perkaranya dikembalikan lagi kepada jaksa penuntut umum (Pasal 138 KUHAP).

Berkas perkara yang telah memenuhi persyaratan dalam waktu secepatnya dibuatkan surat dakwaan untuk dilimpahkan ke pengadilan. Surat dakwaan itu diberi tanggal dan ditanda tangani sertadiberi nama lengkap, tempat lahir, tanggal lahir atau umur, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, pekerjaan tersangka. Surat dakwaan itu harus menguraikan secara jelas tentang tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat dilakukan, jika tidak demikian maka surat dakwaan itu batal demi hukum.

Setelah jaksa selesai dengan surat dakwaan maka perkara tersebut dapat dilimpahkan dengan surat dakwaan disampaikan pula kepada tersangka atau


(22)

dirubah selambat-lambatnya tujuh hari sebelum sidang pengadilan dimulai, turunan perubahan itu juga disampaikan kepada tersangka, penasehat hukumnya dan penyidik (Pasal 143-144 KUHAP).

B. Tugas dan Wewenang Hakim Dalam Proses Peradilan Pidana

1. Hakim dan Kewajibannya

a. Hakim

Istilah Hakim artinya orang yang mengadili perkara dalam pengadilan atau Mahkamah; Hakim juga berarti pengadilan,jika orang berkata perkaranya telah diserahkan kepada Hakim”. Berhakim artinya minta diadili perkaranya; menghakimi artinya berlaku sebagai Hakim terhadap seseorang; kehakiman artinya urusan hukum pengadilan, adakalanya istilah hakim dipakai terhadap orang budiman, ahli, dan orang bijaksana.12

Hukum acara hakim berarti pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk mengadili (pasal 1 ayat (8) KUHAP). Dalam melaksanakan peradilan, memeriksa, dan memutus perkara hakim itu terjamin kebebasannya, ia tidak boleh berada di bawah pengaruh kekuasaan siapapun. Bahkan Ketua Pengadilan tidak berhak ikut campur dalam soal peradilan yang dilakukannya. Hakim bertanggung jawab sendiri dan bertanggung jawab terhadap Tuhan Yang Maha Esa atas putusan yang telah diambilnya.13

12Ibid

, hlm. 144.

13Ibid


(23)

Hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa perkara (Mengadili), mengadili adalah serangkaian tindakan Hakim untuk menerima,memeriksa, dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini (Pasal 1 ayat (9) KUHAP), ia tidak boleh menolak perkara dengan alas an tidak ada aturan hukunya atau aturan hukumnya kurang jelas. Oleh karena hakim itu dianggap mengetahui Curialus Novit. Jika aturan hukum tidak ada ia harus menggalinya dengan ilmu pengetahuan hukum, jika aturan hukum kurang jelas maka ia harus menafsirkannya dan jika tidak ada aturan hukum tertulis ia dapat menggunakan hukum adat.

Hakim sebagi pejabat Negara dan penegak hukum, wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat serta dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib mempertimbangkan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa (Pasal 28 Undang-Undang No. 4 tahun 2004).

Seorang hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun sudah bercerai, dengan ketua, salah satu hakim anggota, jaksa, advokat, atau panitera (Pasal 29 Undang-Undang No. 4 tahun 2004).

Sebelum melakukan jabatannya hakim wajib bersumpah dan berjanji menurut agama dan keyakinannya (Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang No. 4 tahun 2004).


(24)

Hakim ketua dalam memeriksa perkara di sidang pengadilan harus menggunakan bahasa Indonesia yang dimengerti oleh para penggugat dan tergugat atau terdakwa dan saksi (Pasal 153 KUHAP). Di dalam praktik adakalanya hakim menggunakan bahasa daerah, jika yang bersangkutan masih kurang paham terhadap apa yang diucapkan atau ditanyakan hakim.

Hakim Ketua membuka sidang dengan menyatakan terbuka untuk umum, kecuali prkara mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak. Jika hakim dalam memeriksa perkara menggunakan bahasa yang tidak dimengerti oleh terdakwa atau saksi dan mereka tidak bebas memberikan jawaban, dapat berakibat putusan batal demi hukum.14

2. Kekuasaan Kehakiman

Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara hukumRepublik Indonesia (Pasal 24 UUD 1945,Jo Pasal 1 Undang-Undang No. 4/2004).

Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya, yaitu : (1) lingkungan Peradilan Umum; (2) lingkunganPeradilan Agama; (3) lingkungan Peradilan Militer; (4) lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, serta oleh sebuah Mahkamah Konstitusi (Pasal 2 Undang-Undang No. 4 tahun 2004).

14Ibid


(25)

Hakim berbeda dengan pejabat-pejabat lain ia harus benar-benar menguasai hukum sesuai dengan system yang dianut di Indonesia dalam pemeriksaan di sidang pengadilan, hakim harus aktif bertanya dan memberi kesempatan kepada pihak Terdakwa yang diwakili oleh Penasehat Hukum untuk bertanya pada saksi-saksi begitu pula Penuntut Umum. Semua itu dimaksudkan untuk menemukan kebenaran materil dan pada akhirnya hakimlah yang bertanggungjawab atas segala yang diputuskannya.15

Ketika hakim dihadapkan pada suatu perkara, dalam dirinya berlangsung suatu prose pemikiran untuk kemudian memberikan putusannya mengenai hal-hal sebagai berikut, Sudarto16 menyatakan bahwa :

1. Keputusan mengenai peristiwanya, yaitu apakah terdakwa telah melakukan perbuatan yang telah dituduhkan kepadanya;

2. Keputusan mengenai hukumnya, yaitu apakah perbuatan yang dilakukan terdakwa itu suatu tindak pidana dan apakah terdakwa bersalah dan dapat dipidana;

3. Keputusan mengenai pidananya, yaitu terdakwa memang dapat dipidana. Sebelum menjatuhkan putusan, hakim akan menilai dengan arif dan bijaksana serta penuh kecermatan kekuatan pembuktian dari pemeriksaan dan kesaksian dalam sidang pengadilan (Pasal 188 ayat (3) KUHAP), sesudah itu hakim akan mengadakan musyawarah terakhir untuk mengambil keputusan yang didasarkan atas surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan sidang. Dalam musyawarah tersebut hakim ketua majelis akan mengajukan pertanyaan dimulai dari hakim yang termuda sampai hakim yang tertua sedangkan yang

15

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta : Sapta Artha Jaya, 1978), hlm. 101

16


(26)

pendapat harus disertai pertimbangan beserta alasannya (Pasal 182 ayat (2) sampai (5) KUHAP). Jika dalam musyawarah tersebut tidak tercapai mufakat maka keputusan diambil dengan suara terbanyak, apabila tidak juga diperoleh, putusan yang dipilih adalah pendapat hakim yang paling menguntungkan bagi terdakwa. Pelaksanaan putusan ini dicatat dalam buku himpunan putusan yang disediakan khusus untuk keperluan itu dan isi bukutersebut rahasia sifatnya.

Terdakwa akan diputus bebas jika pengadilan berpendapat bahwa dari pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan (Pasal 191 ayat (1) KUHAP). Terdakwa akan dituntut lepas dari segala tuntutan hukum apabila pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti tapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana (Pasal 191 ayat (2) KUHAP). Tetapi jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya maka pengadilan menjatuhkan pidana (Pasal 193 ayat (1) KUHAP).

C. Putusan Pengadilan

Istilah putusan berasal dari kata dasar putus, yang artinya terpisah atau tidak berhubungan lagi karena terpotong. Kata putus juga berarti habis, selesai, berakhir atau juga sudah pasti, sudah tetap, sudah selesai perkaranya, sudah sepakat dan sebagainya. Memutuskan artinya menjadikan atau menyebabkan putus atau berarti menyudahi, menyelesaikan, atau menentukan, atau mengambil keputusan, menjatuhkan hukuman. Keputusan artinya kesudahan, penghabisan, sesuatu yang


(27)

atau hasil ujian, dan sebagainya. Putusan artinya barang apa yang sudah putus atau juga berarti ketentuan atau ketetapan.17

Menurut hukum perundang-undangan Putusan Pengadilan adalah pernyataan Hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan yang terbuka untuk umum (Pasal 1 ayat (1) KUHAP). Putusan hakim itu dapat juga berupa putusan antara dan ada yang merupakan putusan akhir. Putusan antara ada yang merupakan putusan preparatur (preparatoir) dan ada yang merupakan putusan interlocutor

(interlucotoir). Putusan-putusan demikian itu tidak dibuat dengan surat tersendiri

melainkan masuk dalam berita acara sidang.

Putusan preparatur adalah putusan untuk menyiapkan perkara, misalnya untuk menggabungkan dua perkaramenjadi satu, atau untuk menetapkan tenggang waktu bagi keharusan bertindak kedua pihak yang berperkara.

Putusan interlocutor adalah putusan hakim sebelum putusan akhir, misalnya hakim memerintahkan agar penggugat atau tergugat membuktikan hal sesuatu atau memerinyahkan penyelidikan setempat. Putusan interlocutor ini dapat mempengaruhi bunyi putusan terakhir.

Putusan terakhir adalah putusan yang bersifat pemidanaan yang disebut putusan kondemnator (condemnatoir) atau bersifat pernyataan yang disebut putusan deklarator (declaratoir) atau bersifat penciptaan yang disebut putusan konstitutif

(constitutief).

17


(28)

untuk melaksanakan sesuatu, misalnya membayar utang, dan sebagainya. Putusan deklarator adalah putusan yang menyatakan benarnya peristiwa hukum yang dinyatakan penggugat. Putusan konstitutif adalah putusan yang melenyapkan suatu peristiwa hukum atau melahirkan peristiwa hukum baru. Setiap putusan hakim bersifat deklarator.

D. Putusan Pengadilan pada Perkara Pidana

Apabila pemeriksaan perkara dinyatakan oleh hakim telah selesai, maka jaksa penuntut umum mengajukan tuntutan pidana. Uraian jaksa tentang tuntutannya itu disebut rekuisitor (recuisitoir). Kemudian terdakwa dan penasehat hukumnya selalu mendapat giliran terakhir untuk menyampaikan pembelaannya. Pidato pembelaan yang disampaikan disebut pledoi sedangkan risalahnya disebut pleitnota yang maksudnya risalah pembelaan.

Tuntutan, pembelaan atau jawaban atas pembelaan dilakukan secara tertulis dan setelah dibaca segera diserahkan kepada Hakim Ketua. Sedangkan turunannya diserahkan kepada pihak yang berkepentingan (Pasal 182 KUHAP). Jika acara tersebut telah selesai maka sidang ditutup, dengan catatan masih dapat dibuka kembali atas perintah jaksa, terdakwa atau penasehat hukum dengan meberikan alas an-alasannya. Selanjutnya majelis hakim mengadakan musyawarah terakhir untuk mengambil keputusan berdasarkan surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam acara pemeriksaan sidang.


(29)

atau putusan dipidana atau dihukum. Putusan bebas artinya putusan yang menyatakan kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti atau lepas dari segala tuntutan hukum karena perbuatan yang didakwakan itu tidak merupakan tindak pidana.

Apabila terdakwa diputus bebas sedang ia dalam setatus tahanan maka Hakim segera memerintahkan kepada Jaksa membebaskan terdakwa. Pelaksanaan pembebasan terdakwa itu dibuat dengan laporan tertulis yang dilampiri surat pelepasan dan disampaikan kepadaketua pengadilan selambat-lambatnya dalam waktu tiga kali dua puluh empat jam (Pasal 192 KUHAP).

Barang bukti yang disita diserahkan kepada yang paling berhak yang namanya tercantum dalam putusan tersebut, kecuali menurut undang-undang harus dirampas untuk kepentingan Negara atau dimusnahkan atau dirusak sehingga tidak dapat dipakai lagi.

Putusan pengadilan apabila menyatakan terdakwa dipidana, maka terdakwa yang tidak ditahan diperintahkan supaya ditahan apabila cukup alasan untuk itu. Jika terdakwa berada di dalam tahanan maka pengadilan menetapkan agar tetap di dalam tahanan atau jika ada alasan yang cukup dapat dibatalkan (Pasal 193 KUHAP).

Putusan itu diucapkan dalam sidang pengadilan yang terbuka untuk umum, jika tidak demikian maka putusan itu tidak mempunyai kekuatan hukum dan sah. Setelah putusan itu dibacakan oleh hakim ketua, maka ia wajib memberitahukan kepada terdakwa tentang segala sesuatu yang menjadi haknya.


(30)

berhak mempelajari putusan sebalum menyatakan menerima atau menolak putusan dalam waktu tertentu. Begitu pula terdakwa berhak meminta penangguhan putusan dalam waktu tertentu untuk dapat mengajukan grasi jika putusan diterimanya. Atau hak meminta banding atau hak untuk mencabut pernyataan menolak putusan (Pasal 196 KUHAP).

E. Pengertian Eksekusi

Istilah eksekusi berasal dari istilah asing (Belanda : executie, Inggris : execution) yang artinya adalah pelaksanaan, hal melaksanakan putusan, atau hal melakukan hukuman.18

1. Eksekusi pada putusan perdata

Hal melaksanakan putusan dalam perkara yang pada tingkat pertama dilakukan oleh Pengadilan Negeri, maka pelaksanaannya dilaksanakan atas perintah dan dengan pimpinanHakim Ketua yang memeriksa perkara tersebut pada tingkat pertama (Pasal 195 ayat (1) HIR).

Eksekusi putusan perdata sebagaimana dinyatakan adalam HIR ada dua macam, yaitu eksekusi putusan untuk membayar uang (Pasal 196 HIR) dan eksekusi putusan untuk melakukan suatu perbuatan (Pasal 225 HIR).

Eksekusi untuk membayar uang bersifat paksaan, yang dilaksanakan dengan pimpinan Ketua Pengadilan Negeri berdasarkan permintaan yang menang. Pihak yang kalah dipanggil dan diperingatkan agar memenuhi putusan hakim dalam

18Ibid


(31)

tenggang waktu paling lama delapan hari. Jika pihak yang kalah itu tidak memenuhinya maka Ketua Pengadilan Negeri dengan suratnya memerintahkan dilakukan sita eksekutorial (executorial besleg) terhadap barang-barang bergerak milik yang kalah. Jika barang bergerak tidak cukup maka disita pula barang tetapnya untuk mencukupi jumlah uang yang harus dibayarnya dan jumlah biaya pelaksanaan putusan tersebut.

Eksekusi untuk melakukan suatu perbuatan bersifat tidak memaksa. Dalam hal ini jika pihak yang diharuskan melakukan perbuatan itu tidak melakukannya, maka yang berkepentingan meminta kepada Hakim agar perbuatan yang harus dilakukan itu dinilai dengan uang. Permintaan akan diperiksa Hakim dengan mendengar pihak tergugat. Jika permintaan dapat dikabulkan maka perbuatan yang harus dilakukan dinilai dengan sejumlah uang menurut permintaan penggugat atau kurang dari padanya dan tergugat dihukum membayarnya.

2. Eksekusi pada putusan pidana

Eksekusi dalam putusan pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum dolaksanakan oleh jaksa berdasarkan salinan surat putusan dari panitera pengadilan (Pasal 270 KUHAP). Pelaksanaan pidana penjara atau kurungan dilaksanakan dirumah penjara atau lembaga pemasyarakatan, sedangkan pidana mati dilaksanakan dimuka umum.

Eksekusi dalam pelaksanaan putusan pidana juga diawasi oleh Haklim yang ditunjuk khusus guna membantu ketua dalam melakukan pengawasan dan pengamatan (Pasal 277 KUHAP).


(32)

berlaku pula bagi pemidanaan bersyarat (Pasal 280 ayat (4) KUHAP). Dalam hal pidana denda terpidana diharuskan segera melunasi denda atau diberi waktu satu bulan untuk membayarnya atau jika alas an dapat diterima dapat diperpanjang lagi untuk waktu satu bulan (Pasal 273 ayat (1) dan (2) KUHAP).

Apabila putusan pengadilan menyatakan agar barang bukti dirampas untuk Negara, maka barang bukti tersebut dapat dikuasakan Jaksa kepada Kantor Lelang Negara untuk dilelang dalam waktu tiga bulan dan hasilnya dimasukkan ke kas Negara atas nama Jaksa (Pasal 273 ayat (3) KUHAP). Jika putusan pengadilan menyatakan keharusan mengganti kerugian maka pelaksanaannya menurut tata cara putusan perdata (Pasal 274 KUHAP). Sedangkan jika putusan pidana itu bersyarat maka pelaksanaannya dilakukan di bawah pengawasan serta pengamatan dengan sungguh-sungguh menurut undang-undang (Pasal 276 KUHAP).

Putusan pengadilan yang dapat dilaksanakan adalah putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap (In Kracht Van Gewijde). Adapun yang dimaksud dengan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap adalah19:

1. Apabila baik terdakwa maupun penuntut uum telah menerima putusan, 2. Apabila tenggang waktu untuk mengajukan banding telah lewat tanpa

dipergunakanoleh yang berhak,

3. Apabila permohonan banding telah diajukan, kemudian permohonan tersebut dicabut kembali,

4. Apabila ada permohonan grasi yang diajukan disertai penangguhan permohonan eksekusi.

19


(33)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah yang digunakan dalam upaya untuk mendapatkan jawaban atas permasalahan dalam penelitian ini, maka dilakukan pendekatan secara yuridis normatif dan yuridis empiris.

1. Pendekatan yuridis normatif yaitu suatu pendekatan yang dilakukan melalui penelaahan terhadap permasalahan yang diteliti dan dibahas, teori-teori serta peraturan-peraturan dan azas-azas hukum yang berlaku yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti dan dibahas.

2. Pendekatan yuridis empiris yaitu pendekatan yang dilakukan dengan melihat pelaksanaan secara langsung di dalam praktik atau di tempat di mana obyek penelitian atau lapangan, yakni dengan melihat fakta-fakta yang ada pada praktek lapangan.

B. Sumber dan Jenis Data

1. Data primer, yaitu data yang diperoleh secara langsung dari penelitian lapangan yang berupa pendapat-pendapat dan cara kerja aparat penegak hukum yang menjadi responden.

2. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari studi kepustakaan dan dokumentasi dan terdiri dari :


(34)

a. Bahan hukum primer, yaitu Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Pokok-Pokok Kehakiman, Undang- Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang- Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-X/2012.

b. Bahan hukum skunder, yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti undang-undang, literature-literatur, makalah-makalah, dan lain-lain yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti.

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan –bahan yang berguna untuk memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yakni hasil-hasil penelitian, kamus hukum, kamus Bahasa Indonesia dan hasil penelitian para sarjana ahli hukum.

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi adalah jumlah keseluruhan objek penelitian yang terdiri dari manusia, benda-benda, hewan, tumbu-tumbuhan, gejala-gejala, nilai test atau peristiwa-peristiwa sebagai sumber data yang memiliki karakteristik di dalam suatu penelitian.20 Untuk penulisan skripsi ini, penulis mengambil populasi penelitian yang ada kaitannya dengan masalah-masalah yang dibahas. Adapun populasi

20

Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, (Yogyakarta : Universitas Gajah Mada. Pers, 1987), hlm. 141


(35)

dalam penelitian ini adalah Hakim dari Pengadilan Negeri Bandar Lampung, Jaksa dari Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung, dan Advokat dari Lembaga Bantuan Hukum Propinsi Lampung.

2. Sampel

Sampel adalah sebagian yang diambil dari populasi dengan menggunakan cara-cara tertentu.21 Penentuan sampel dalam penulisan skripsi ini menggunakan metode pengambilan sampel berupa Proportional Purposive Sampling, yaitu dalam menentukan sampel sesuai dengan wewenang atau kedudukan yang dianggap telah mewakili dengan masalah yang hendak diteliti. Adapun responden dalam penelitian ini adalah :

a. Hakim pada Pengadilan Negeri BandarLampung : 1 orang b. Jaksa pada Pengadilan Negeri Bandar Lampung : 1 orang c. Dosen pada Fakultas Hukum Universitas Lampung : 2 orang d. Advokat pada Lembaga Bantuan Hukum

Provinsi Lampung : 1 orang

+

Jumlah : 5 orang

D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Prosedur Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penyusunan skripsi ini dapat dijelaskan sebagai berikut :

21


(36)

a. Studi Kepustakaan untuk memperoleh data sekunder, penulis lakukan dengan cara membaca, mencatat atau mengutip dari perundang-undangan yang berlaku serta literature-literatur dan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan putusan tersebut.

b. Untuk memperoleh data primer, studi lapangan ditempuh dengan cara melakukan wawancara untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang permasalahan yang penulis kaji. Wawancara ditujukan kepada Hakim, Jaksa, Dosen dan Advokat.

2. Prosedur Pengolahan Data

Setelah data terkumpul maka kemudian diproses melalui pengolahan dan peninjauan data dengan melakukan :

a. Editing, yaitu memeriksa kembali mengenai kelengkapan, kejelasan dan kebenaran data dengan permasalahan yang akan dibahas.

b. Klasifikasi, yaitu pengelompokan data yang diperoleh untuk melakukan analisa.

c. Sistematis, yaitu menyusun dan menempatkan data pada tiap-tiap pokok bahasa secara sistematis sehingga mempermudah interprestasi data dan tercipta keteraturan dalam menjawab permasalahan.

E. Analisis Data

Untuk memberikan jawaban terhadap permasalahan yang ada maka data tersebut perlu dianalisis. Pada penelitian ini data dianalisis secara deskriptif kualitatif. Cara analisis ini adalah dengan memberikan uraian atau menjabarkan dengan


(37)

kalimat-kalimat, kemudian disusun suatu simpulan secara induktif terhadap gejala dan kenyataan yang ditemukan. Atas dasar kesimpulan tersebut lalu disusun saran-saran dalam rangka perbaikan.


(38)

V. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka diperoleh simpulan sebagai berikut :

1. Landasan Hukum dan Penerapan Eksekusi Terhadap Putusan pada Perkara Nomor : 1260/ Pid.B/ 2010/ PN. Jaksel yang Tidak Memuat Perintah Penahanan. Istilah “ditahan” sebagai bentuk imperatif dari istilah

“penahanan” tidak perlu dicantumkan dalam putusan Mahkamah Agung

karena “penahanan” adalah kewenangan diskresioner majelis hakim, yang

dapat memutuskan untuk memerintahkan penahanan atau tidak. Dengan demikian, dalam putusan pemidanaan Mahkamah Agung tidak perlu mencantumkan perintah agar terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP. Karena pada dasarnya Jaksa akan tetap melaksanakan eksekusi, meskipun tidak dimuatnya perintah penahanan pada surat putusan. Selama adanya perintah eksekusi yang diberikan pengadilan berdasarkan ketentuan pasal 270 KUHAP. Sehingga Landasan Hukum dan Penerapan eksekusi terhadap putusan pada pwerkara Nomor: 1260/ Pid.B/ 2010/PN. Jaksel telah memenuhi persyaratan..


(39)

2. Pelaksanaan Eksekusi Perkara Nomor : 1260/ pid.B/ 2010/ PN.Jaksel yang Tidak Memuat Perintah Penahanan Menurut Peraturan yang Berlaku. Pelaksanaan eksekusi terhadap putusan tersebut telah sesuai dengan peraturan yang berlaku. Jaksa selaku pihak eksekutor tetap akan melaksanakan eksekusi sesuai dengan perintah Pengadilan. Karena, secara yurisprudensi, pada dasarnya putusan Mahkamah Agung Hanya menguatkan dari putusan- putusan pengadilan negeri pada tingkat- tingkat sebelumnya. Sehingga pelaksanaan eksekusi perkara Nomor: 1260/Pid.B/ 2010/ PN.Jaksel telah sesuai dengan peraturan yang berlaku.

B. Saran

Berdasarkan penelitian yang dilakukan penulis, maka penulis memberikan saran sebagai berikut :

1. Hakim sebagai aparat penegak hukum yang memiliki wewenang dalam merumuskan, membuat, dan menetapkan Putusan harus lebih berhati- hati dan lebih cermat dalam merumuskan suatu Putusan, serta perlu adanya pembaruan KUHAP yang dimiliki sekarang, karena masih banyak terdapat Pasal- Pasal yang multi tafsir.

2. Perlu adanya sebuah kontroling dalam setiap pembuatan Putusan sejak Tingkat Pertama sampai dengan Tingkat Kasasi, agar tidak terdapat penyimpangan dan kesalahan- kesalahan baik dalam pengetikan maupun isi putusan pada tingktan sebelumnya.


(40)

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Andrisman, Tri. 2011. Buku Ajar Sistem Peradilan Indonesia, Universitas Lampung :Bandar Lampung.

Daliyo, J.B. 2001. Pengantar Hukum Indonesia. PT. Prenhallindo :Jakarta.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1991. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka: Jakarta.

Hadikusuma, Hilman. 1983. Antropologi Hukum Indonesia. Penerbit Alumni: Bandung.

Hadikusuma, Hilman. 1983. Hukum Waris Adat. Penerbit Alumni: Bandung. Hamzah, Andi. 1987. Hukum Acara Pidana Indonesia. Sapta Artha Jaya: Jakarta. Muhammad, Abdulkadir. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. PT. Citra Aditya

Bhakti :Bandung.

Nawawi, Hadari. 1987. Metode Penelitian Bidang Sosial. Universitas Gajah Mada. Pers: Yogyakarta.

Sabuan, Ansori,dkk. 1986. Hukum Acara Pidana. Aksara: Bandung. Seno Adji, Oemar. 1979. Hukum Hakim Pidana. Erlangga: Jakarta. Sudarto. 1986. Hukum dan Hukum Pidana. Alumni: Bandung.

Soekanto, Soerjono. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. UI-Press: Jakarta. Universitas Lampung. 2010. Format Penulisan Karya Ilmiah Universitas

Lampung. Universitas Lampung: Bandar Lampung.

UNDANG- UNDANG


(41)

Undang- Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Undang- Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-X/2012.


(1)

a. Studi Kepustakaan untuk memperoleh data sekunder, penulis lakukan dengan cara membaca, mencatat atau mengutip dari perundang-undangan yang berlaku serta literature-literatur dan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan putusan tersebut.

b. Untuk memperoleh data primer, studi lapangan ditempuh dengan cara melakukan wawancara untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang permasalahan yang penulis kaji. Wawancara ditujukan kepada Hakim, Jaksa, Dosen dan Advokat.

2. Prosedur Pengolahan Data

Setelah data terkumpul maka kemudian diproses melalui pengolahan dan peninjauan data dengan melakukan :

a. Editing, yaitu memeriksa kembali mengenai kelengkapan, kejelasan dan kebenaran data dengan permasalahan yang akan dibahas.

b. Klasifikasi, yaitu pengelompokan data yang diperoleh untuk melakukan analisa.

c. Sistematis, yaitu menyusun dan menempatkan data pada tiap-tiap pokok bahasa secara sistematis sehingga mempermudah interprestasi data dan tercipta keteraturan dalam menjawab permasalahan.

E. Analisis Data

Untuk memberikan jawaban terhadap permasalahan yang ada maka data tersebut perlu dianalisis. Pada penelitian ini data dianalisis secara deskriptif kualitatif. Cara analisis ini adalah dengan memberikan uraian atau menjabarkan dengan


(2)

kalimat-29

kalimat, kemudian disusun suatu simpulan secara induktif terhadap gejala dan kenyataan yang ditemukan. Atas dasar kesimpulan tersebut lalu disusun saran-saran dalam rangka perbaikan.


(3)

V. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka diperoleh simpulan sebagai berikut :

1. Landasan Hukum dan Penerapan Eksekusi Terhadap Putusan pada Perkara Nomor : 1260/ Pid.B/ 2010/ PN. Jaksel yang Tidak Memuat Perintah Penahanan. Istilah “ditahan” sebagai bentuk imperatif dari istilah

“penahanan” tidak perlu dicantumkan dalam putusan Mahkamah Agung

karena “penahanan” adalah kewenangan diskresioner majelis hakim, yang dapat memutuskan untuk memerintahkan penahanan atau tidak. Dengan demikian, dalam putusan pemidanaan Mahkamah Agung tidak perlu mencantumkan perintah agar terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP. Karena pada dasarnya Jaksa akan tetap melaksanakan eksekusi, meskipun tidak dimuatnya perintah penahanan pada surat putusan. Selama adanya perintah eksekusi yang diberikan pengadilan berdasarkan ketentuan pasal 270 KUHAP. Sehingga Landasan Hukum dan Penerapan eksekusi terhadap putusan pada pwerkara Nomor: 1260/ Pid.B/ 2010/PN. Jaksel telah memenuhi persyaratan..


(4)

57

2. Pelaksanaan Eksekusi Perkara Nomor : 1260/ pid.B/ 2010/ PN.Jaksel yang Tidak Memuat Perintah Penahanan Menurut Peraturan yang Berlaku. Pelaksanaan eksekusi terhadap putusan tersebut telah sesuai dengan peraturan yang berlaku. Jaksa selaku pihak eksekutor tetap akan melaksanakan eksekusi sesuai dengan perintah Pengadilan. Karena, secara yurisprudensi, pada dasarnya putusan Mahkamah Agung Hanya menguatkan dari putusan- putusan pengadilan negeri pada tingkat- tingkat sebelumnya. Sehingga pelaksanaan eksekusi perkara Nomor: 1260/Pid.B/ 2010/ PN.Jaksel telah sesuai dengan peraturan yang berlaku.

B. Saran

Berdasarkan penelitian yang dilakukan penulis, maka penulis memberikan saran sebagai berikut :

1. Hakim sebagai aparat penegak hukum yang memiliki wewenang dalam merumuskan, membuat, dan menetapkan Putusan harus lebih berhati- hati dan lebih cermat dalam merumuskan suatu Putusan, serta perlu adanya pembaruan KUHAP yang dimiliki sekarang, karena masih banyak terdapat Pasal- Pasal yang multi tafsir.

2. Perlu adanya sebuah kontroling dalam setiap pembuatan Putusan sejak Tingkat Pertama sampai dengan Tingkat Kasasi, agar tidak terdapat penyimpangan dan kesalahan- kesalahan baik dalam pengetikan maupun isi putusan pada tingktan sebelumnya.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Andrisman, Tri. 2011. Buku Ajar Sistem Peradilan Indonesia, Universitas Lampung :Bandar Lampung.

Daliyo, J.B. 2001. Pengantar Hukum Indonesia. PT. Prenhallindo :Jakarta.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1991. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka: Jakarta.

Hadikusuma, Hilman. 1983. Antropologi Hukum Indonesia. Penerbit Alumni: Bandung.

Hadikusuma, Hilman. 1983. Hukum Waris Adat. Penerbit Alumni: Bandung. Hamzah, Andi. 1987. Hukum Acara Pidana Indonesia. Sapta Artha Jaya: Jakarta. Muhammad, Abdulkadir. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. PT. Citra Aditya

Bhakti :Bandung.

Nawawi, Hadari. 1987. Metode Penelitian Bidang Sosial. Universitas Gajah Mada. Pers: Yogyakarta.

Sabuan, Ansori,dkk. 1986. Hukum Acara Pidana. Aksara: Bandung. Seno Adji, Oemar. 1979. Hukum Hakim Pidana. Erlangga: Jakarta. Sudarto. 1986. Hukum dan Hukum Pidana. Alumni: Bandung.

Soekanto, Soerjono. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. UI-Press: Jakarta. Universitas Lampung. 2010. Format Penulisan Karya Ilmiah Universitas

Lampung. Universitas Lampung: Bandar Lampung.

UNDANG- UNDANG


(6)

Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Undang- Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Undang- Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-X/2012.