makalah kasus susno duadji bmw

DAFTAR ISI
Pendahuluan…………………………………………………………………….....2
Latar Belakang……………………………………………………………….2
Identifikasi Masalah……………………………………………..…………...4
Tinjauan Teori……………………………………………………………..............5
Pasal 197 KUHAP…………………………………………………………....5
SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNGNOMOR 8 TAHUN 1985.......6
Berbagai pendapat…………………………………………………………....7
Objek Penelitian…………………………………………………………………...9
Analisa………………………………………………………………..……….…..17
Kesimpulan……………………………………………………………………..…25
Daftar Pustaka…………………………………………………………….……….28

1

BAB I
PENDAHULUAN
A.

Latar Belakang
Pelajaran yang semestinya diambil oleh lembaga yudikatif dari kegagalan eksekusi


atas Mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal (Purn) Susno Duadji,
terhambat akibat adanya celah perdebatan dalam keputusan. Sebagaimana diberitakan, tim
gabungan kejaksaan gagal mengeksekusi mantan Kabareskrim Polri Komisaris Jenderal (Purn)
Susno Duadji, di rumahnya di Resor Dago Pakar, Bandung. Padahal, Susno akan dibawa ke LP
Sukamiskin, Bandung, karena dijatuhi hukuman 3 tahun 6 bulan penjara. Susno dinyatakan
bersalah oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam kasus penanganan perkara PT Salmah
Arowana Lestari senilai Rp 500 miliar dan kasus dana pengamanan Pilkada Jabar 2008 senilai
Rp 8 miliar saat menjadi Kapolda Jabar. Susno mengajukan kasasi, tetapi ditolak oleh Mahkamah
Agung (MA). Pihak Susno dan tim pengacaranya mempersoalkan tidak dicantumkannya Pasal
197 Ayat (1) Huruf k KUHAP terkait perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap ditahan atau
dibebaskan di dalam putusan MA.
Menurut Andi Irmanputra Sidin, kalaulah selama ini putusan MA dianggap tidak
bermasalah itu lebih karena memang tidak ada orang yang mempersoalkannya. Apalagi, jaksa
ekskutor punya kekuatan upaya paksa untuk melakukannya sehingga terdakwa tidak bisa
mengelak.Padahal, tidak dicantumkannya perintah supaya terdakwa ditahan merupakan hal
penting.Kesempurnaan administrasi merupakan masalah serius sehingga, jika kurang, bisa
membuka peluang diperdebatkan.Undang-undang, misalnya, bisa dibatalkan, jika prosenya tidak
memenuhi prosedur dan tatacara pembuatan perundang-undangan.Begitu pula seorang pegawai
negeri sipil bisa gagal diangkat menteri karena belum terpenuhi eselonnya.Kepala daerah pilihan

langsung rakyat juga tak bisa dilantik, jika administrasinya belum beres.
Selain itu kasus lain yang tidak dicantumkannya Pasal 197 Ayat (1) Huruf k KUHAP
adalah kasus mengenai pengusaha batu bara, Parlin Riduansyah.Kasus yang menjerat Parlin
Riduansyah terkait eksploitasi lahan kawasan hutan di Kecamatan Satui, Kabupaten Tanah
Bumbu, Banjarmasin, Kalimantan Selatan tanpa izin dari Menteri Kehutanan. Putusan
pemidanaan yang dikeluarkanMA terhadap Parlin tak memerintahkan pemidanaan dan
dinyatakan batal demi hukum.Sehingga terhadap Parlin wajib dibebaskan, sebab putusan
2

pemidanaan MA terhadap Parlin keluar sebelum adanya putusan MK pada tanggal itu. Ketentuan
dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP memuat 12 poin, dimulai dari huruf a hingga i, yang harus
dimuat dalam putusan pemidanaan.Apabila salah satu poin kecuali huruf g, tidak termuat dalam
putusan pemidanaan tersebut mengakibatkan putusan batal demi hukum sebagaimana ditegaskan
Pasal 197 ayat (2) KUHAP.Semestinya pihak Kejaksaan dan Kementerian Hukum dan HAM
dalam hal ini Dirjen Pemasyarakatan harusnya mengakui kesalahannya.Selama ini kedua
lembaga itu memang tak mengindahkan KUHAP, yakni dengan memaksakan eksekusi putusan
MA atas kecerobohan yangdibuat hakim MA tanpa mematuhi KUHAP.
Argumentasi hukum yang digunakan pihak Susno adalah ketentuan Pasal 197 Ayat
(1) huruf k UU Nomor 81 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Ketentuan pasal itu menyatakan bahwa surat pemidanaan harus memuat perintah agar terdakwa

ditahan, tetap dalam tahanan, atau dibebaskan. Pihak Susno menafsirkan, sesuai Pasal 197 Ayat 2
putusan batal demi hukum jika tak memuat perintah eksekusi.Pasal 197 Ayat (1) huruf k KUHAP
ini pernah diuji materi di Mahkamah Konstitusi. Permohonan diajukan oleh Parlin Riduansyah.
Saat itu, Yusril Izha Mahendra bertindak sebagai kuasa hukumnya
Dalam putusan yang dibacakan pada 22 November 2012, MK berpendapat, dalam
penjelasan KUHP disebutkan, apabila terjadi kekhilafan atau kekeliruan dalam penulisan pidana
seperti diatur Pasal 197, maka tidak menyebabkan batalnya putusan demi hukum. Sebagai hamba
Tuhan yang tidak sempurna, menurut MK, hakim dapat membuat kekeliruan, baik disengaja
maupun tidak disengaja.Sungguh sangat ironis, bahwa terdakwa sudah dinyatakan bersalah dan
dijatuhi pidana lalu putusannya tidak dapat dieksekusi hanya karena tidak mencantumkan
perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan," demikian bunyi
putusan MK.
MK berpendapat, jika perkaranya berdampak tidak meluas seperti penghinaan,
mungkin tidak terlalu merugikan kepentingan umum jika putusan dinyatakan batal demi hukum.
Namun, jika perkaranya berdampak sangat luas seperti korupsi, tetapi harus batal demi hukum,
pendapat MK, maka putusan itu akan sangat melukai rasa keadilan masyarakat

3

B.


Identifikasi Masalah
Dari penjelasan yang disebutkan diatas, makan terdapat dua (2) identifikasi masalah
yaitu:
1.

Apa kaitan yang terjadi di dalam kasus Mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Polri
Komisaris Jenderal (Purn) Susno Duadji dan Direktur Utama PT Satui Bara Tama
(PT SBT) Parlin Riduansyah dengan ketentuan Pasal 197 Ayat (1) huruf k

2.

Bagaimana hasil permintaan pihak Mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Polri
Komisaris Jenderal (Purn) Susno Duadji dan Direktur Utama PT Satui Bara Tama
(PT SBT) Parlin Riduansyah kepada Mahkamah Agung untuk pengajuan Uji materil
mengenai putusan yang tidak memuat ketentuan Pasal 197 Ayat (1) huruf k

4

BAB II

TINJAUAN TEORI
1.
(1)

Pasal 197 KUHAP
Surat putusan pemidanaan memuat:
a.

kepala putusan yang dituliskan berbunyi : “DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA”;

b.

nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan,
tempat tinggal, agama dan pekerjaan terdakwa;

c.

dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan;


d.

pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat
pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan
kesalahan terdakwa,

e.

tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan;

f.pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan
pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan,
disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa;
g.

hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali perkara diperiksa
oleh hakim tunggal;

h.


pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam
rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan
yang dijatuhkan;

i. ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan jumlahnya yang
pasti dan ketentuan mengenai barang bukti;
j. keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan di mana Ietaknya
kepalsuan itu, jika terdapat surat otentik dianggap palsu;
k.

perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan;

l. hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutus dan nama
panitera;

5

(2)

Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, h, j, k dan I pasal inii

mengakibatkan putusan batal demi hukum

(3)

Putusan dilaksanakan dengan segera menurut ketentuan dalam undang-undang ini.

2.

SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG
NOMOR 8 TAHUN 1985
TENTANG
KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA

Jakarta, 1 Maret 1985
Nomor : MA/Pemb/2086/85 Kepada Yth:
1. Sdr. Ketua Pengadilan Tinggi
2. Sdr. Ketua Pengadilan Negeri
di Seluruh Indonesia.
SURAT EDARAN
NOMOR 8 TAHUN 1985

Berhubung adanya pertanyaan apakah Hakim dapat memerintahkan agar terdakwa ditahan
berdasarkan Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP, apabila wewenang untuk menahan berdasarkan
Pasal 26, 27, dan 29 ayat (2) KUHAP sudah seluruhnya habis dipergunakan, bersama ini
Mahkamah Agung memberikan petunjuk sebagai berikut:
Meskipun dalam Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP ada ketentuan yang menyebutkan bahwa
surat putusan pemidanaan harus memuat antara lain perintah supaya terdakwa ditahan, namun
karena penahan itu menurut Pasal 1 butir 21 KUHAP harus dilakukan "menurut cara yang diatur
dalam Undang-undang ini", maka apabila wewenang penahanan yang dimiliki Pengadilan
Negeri/Pengadilan Tinggi sudah habis dipergunakan, maka Hakim Pengadilan Negeri/Pengadilan
Tinggi tidak dapat memerintahkan "agar terdakwa ditahan" di dalam putusannya.
Demikian kiranya Saudara maklum.

6

3.

Berbagai Pendapat
Sejumlah kalangan mulai dari Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar, mantan

Ketua MK Mahfud MD, dan Jimly Asshiddiqie turut memberikan pendapat.

1.

Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar
Menanggapi pro kontra soal tafsir atas Pasal 197 itu, Ketua Mahkamah Konstitusi

Akil Mochtar mengatakan, tidak dicantumkannya Pasal 197 Ayat (1) KUHAP dalam amar
putusan mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal (Purn) Susno Duadji
tidak serta-merta akan membatalkan proses eksekusi terhadapnya. Jika ditafsirkan demikian,
menurutnya, seluruh terpidana dalam kasus hukum akan minta dikeluarkan dari penjara.
Akil mengatakan, putusan yang diambil oleh Mahkamah Agung telah memiliki
kekuatan hukum tetap (in kracht). Oleh karena itu, wajar jika kejaksaan melakukan eksekusi
terhadap Susno, yang menjadi terpidana kasus korupsi PT Salmah Arowana Lestari dan korupsi
dana pengamanan Pilkada Jawa Barat 2008. "Putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap itu
harus dijalankan karena putusan itu tidak sekadar amar, tetapi juga pertimbangannya," katanya.
2.

Mantan Ketua MK Mahfud MD
Mantan Ketua MK Mahfud MD menegaskan, tak ada multitafsir terhadap Pasal 197

KUHAP.Menurut ,beliau tak ada yang menghalangi kejaksaan untuk mengeksekusi Susno

setelah kasasinya ditolak Mahkamah Agung. "Tidak multitafsir, hanya berbeda dengan Yusril.Ia
mengungkapkan, dalam putusan atas uji materi yang diajukan Parlin Riduansyah, MK tidak
memberlakukan hukum baru. Dengan demikian, kasus yang terjadi sebelum putusan MK dapat
dieksekusi kejaksaan, termasuk Susno Duadji.
3.

Mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie juga berpendapat, kejaksaan

seharusnya tak terpengaruh dengan berbagai tafsir yang berkembang terhadap eksekusi Susno.Ia
menegaskan, eksekusi bisa dilakukan setelah kasasi yang diajukan Susno ditolak Mahkamah
Agung. Menurutnya, tidak adanya perintah penahanan dalam amar putusan MA tidak
mengurangi substansi putusan.tetapi, itu tidak mengurangi substansi. Bahwa ada kesalahan tanda
titik, koma, itu banyak terjadi jika sampai persoalan teknis dipermasalahkan, jaksa harus ingat
7

betapa banyak mereka yang tak punya kekuasaan seperti Susno yang harus dihukum karena
kesalahan titik koma.
Meski memiliki kekurangan, putusan MA harus dijalankan dan dihormati bagi yang
tak puas, tidak usah banyak tafsir di luar, langsung saja debat di pengadilan.
4.

Praktisi hukum Todung Mulya Lubis
Praktisi hukum Todung Mulya Lubis menilai, putusan Mahkamah Agung sudah

jelas.Meski tidak mencantumkan perintah untuk penahanan Susno, putusan MA sudah final
menguatkan putusan pengadilan sebelumnya yang menyatakan Susno bersalah dan divonis tiga
tahun enam bulan penjara.Karena walaupun tidak ada kata penahanan, perintah MA sudah
menguatkan putusan sebelumnya.Jadi, secara hukum, artinya sudah final dan putusan pengadilan
sebelumnya sudah dikokohkan.Tanpa ada kata penahanan, bagi saya, tidak perlu ada perdebatan
soal ini.
Dalam membuat Putusan pengadilan, seorang hakim harus memperhatikan apa yang
diatur dalam pasal 197 KUHAP, yang berisikan berbagai hal yang harus dimasukkan dalam surat
Putusan. Adapun berbagai hal yang harus dimasukkan dalam sebuah putusan pemidanaan
sebagaimana disebutkan dalam pasal 197 KUHAP.
Dalam hal terdakwa dihukum dengan pidana penjara yang lamanya sama dengan
masa penahanan yang dijalaninya, maka dalam putusan harus disebutkan ”memerintahkan agar
terdakwa dikeluarkan” dari tahanan segera setelah putusan ini diucapkan”. Hal ini untuk
memenuhi ketentuan yang terdapat dalam Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP.

8

BAB III
OBJEK PENELITIAN
Permohonan Pengujian Frasa
Jakarta, 26 April 2013
Kepada Yth.
Ketua Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia
JL.Merdeka Barat 6 Jakarta
Perihal: Permohonan Pengujian Frasa ?Ditahan? dan ?Tahanan? Pada Pasal 197 ayat (1) huruf k
Undang-Undang No 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
Terhadap Undang-Undang Dasar Negara 1945
Dengan Hormat,
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Taufik Basari, S.H., S.Hum, LL.M
Tempat/tanggal lahir : Jakarta, 17 November 1976
Warga Negara : Indonesia
Pekerjaan : Advokat
Alamat : Jl. Tebet Timur Dalam III D No 2, KelurahanTebet Timur, Kecamatan Tebet, Jakarta
Selatan
No Telp. : 0812 8210 7100 dan 0815 864 77616
Faksimili : 021 8370 4810
Email :taufikbasari@taufikbasari.com

9

selanjutnya disebut sebagai ...................................................................PEMOHON.
Dengan ini Pemohon mengajukan Permohonan Pengujian frasa ditahan dan tahanan pada Pasal
197 ayat (1) huruf k Undang-Undang (UU) No 8 Tahun 1981 Tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHP) Terhadap Undang-Undang Dasar Negara
(UUD) 1945 kepada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (Mahkamah Konstitusi).
I. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI
1. Bahwa Pasal 24 ayat (2) Perubahan Ketiga UUD 1945 menyatakan : Kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang di
bawahnya dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi
2. Bahwa selanjutnya Pasal 24 C ayat (1) Perubahan Ketiga UUD 1945 menyatakan:
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD, memutus
sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD,
memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilu.
3. Bahwa berdasarkan ketentuan konstitusi di atas, maka Mahkamah Konstitusi mempunyai
kewenangan untuk melakukan pengujian undang-undang (UU) terhadap UUD yang juga
diatur pada Pasal 10 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
sebagaimana telah ditambahkan dan/atau diubah melalui UU No 8 Tahun 2011 Tentang
Perubahan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi(selanjutnya disebut UUMK) yang
menyatakan:
Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk: (a) menguji undang-undang (UU) terhadap UUD RI
tahun 1945
4. Bahwa Pemohon mengajukan Permohonan Pengujian terhadap Frasa ditahan dan tahanan
pada Pasal 197 ayat (1) huruf k UU No 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP Terhadap UUD
1945.Oleh karena objek permohonan pengujian undang-undang ini adalah UU RI, maka
berdasarkan peraturan tersebut di atas Mahkamah Konstitusi berwenang untuk memeriksa
dan mengadili permohonan ini.
10

5. Bahwa perlu ditegaskan, Pemohon mengajukan permohonan pengujian terhadap frasa
atau kata yang merupakan materi muatan dan/atau bagian dari undang-undang.
Pasal 51 A ayat (5) UU MKmenyatakan: Dalam hal Permohonan pengujian
berupaPermohonan pengujian materiil, hal yang dimohonkan untuk diputus dalam
Permohonan pengujian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf c meliputi:
a. ...
b. ...
c. Menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang- undang
dimaksud tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Kemudian

mengingat

Pasal

60

UU

MK

yang

berbunyi:

(1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah
diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan jika materi muatan
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dijadikan
dasar pengujian berbeda.
Pemohon menyadari bahwa Pasal 197 ayat (1) huruf k UU No 8 Tahun 1981 Tentang
KUHAP pernah diajukan pengujian ke Mahkamah Konstitusi dan telah diputus dengan
Putusan No 69/PUU-X/2012 tertanggal 22 November 2012 yang amarnya berbunyi
sebagai berikut:
Mengadili,
Menyatakan:
1.

Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya;

2.

Mahkamah memaknai bahwa:
2.1Pasal 197 ayat (2) huruf k Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar NegaraRepublik Indonesia Tahun 1945, apabila diartikan

11

surat putusan pemidanaan yang tidak memuat ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k
Undang-Undang a quo mengakibatkan putusan batal demi hukum;
2.2Pasal 197 ayat (2) huruf ?k? Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76,
Tambahan

Lembaran

Negara

Republik

Indonesia

Nomor

3209)

tidak

mempunyaikekuatan hukum mengikat, apabiladiartikan surat putusan pemidanaan
yang tidak memuat ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k Undang-Undang a quo
mengakibatkan putusan batal demi hukum;
2.3Pasal 197 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) selengkapnya menjadi, ?Tidak
dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, h, j, dan l pasal ini
mengakibatkan putusan batal demi hukum;
3.

Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia
sebagaimana mestinya.
Pemohon juga menyadari terhadap Pasal yang telah diajukan pengujiannya ke
Mahkamah Konstitusi tidak dapat diuji kembali kecuali dengan batu uji ataupun
alasan berbeda sebagaimana diatur dalam Pasal 60 UU MK.Oleh karena itu,
Pemohon merasa perlu untuk terlebih dahulu menjelaskan perbedaan antara
permohon ini dengan Permohonan Perkara No 69/PUU-X/2012 dan mengapa pokok
perkara mesti diperiksa oleh Mahkamah, agar dapat menjadi pertimbangan
Mahkamah untuk menyatakan berwenang memeriksa, mengadili dan memutus
perkara ini.
Bahwa Permohonan yang diajukan Pemohon berbeda dengan dengan Permohonan
Perkara No 69/PUU-X/2012dan selayaknya diperiksa dan diputus oleh Mahkamah
karena:

4.

a. Pemohon Perkara No 69/PUU-X/2012 menguji keseluruhan pasal 197 ayat
(1)huruf k KUHAP, sedangkan Pemohon menguji terbatas pada frasa "ditahan" dan
"tahanan" pada pasal tersebut

12

b. Permohonan Pemohon diajukan setelah timbulnya keadaan baru pasca Putusan
Perkara No 69/PUU-X/2012 yakni timbulnya polemik dan perbedaan tafsir yang
nyata hingga secara faktual membuat aparat penegak hukum tidak dapat
menjalankan tugasnya dan membuat negara hukum tidak lagi memberikan
kepastian hukum.
c. Adanya

kebutuhan

untuk

mendapatkan

kejelasan

atas

putusan-putusan

Mahkamah Agung dan pengadilan di bawahnya yang diputus sebelum Putusan
No 69/PUU-X/2012 tanggal 22 November 2012.
5.

Bahwa setelah Putusan No. 69/PUU-X/2012 tanggal 22 November 2012 terdapat
keadaan yang menimbulkan ketidakpastian hukum baru terkait gagalnya eksekusi
terhadap Putusan Mahkamah Agung No.899 K/PID.SUS/2012 tertanggal 22
November 2012 yang amar putusannya menyatakan menolak permohonan Kasasi
oleh Jaksa Penuntut Umum dan oleh Terdakwa.
Sementara Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta No 35/PID/TPK/2011/PT.DKI tanggal
9 November 2011. Memutus terdakwa bersalah dan dipidana penjara selama 3 tahun
6 bulan dan denda Rp200 juta subsider 4 bulan kurungan Berdasarkan pemberitaan
yang dimuat di berbagai media massa, Komjen Purn Susno Duadji beserta kuasa
hukumnya menolak dieksekusi oleh Kejaksaan Agung dengan alasan baik Putusan
MahkamahAgung maupun Putusan Pengadilan TinggiJakarta, dua-duanya tidak
memuat perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan?
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 197 ayat (1) huruf k Undang-Undang Nomor 8
tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Kemudian dengan alasan bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi No 69/PUU-X/2012
tanggal 22 November 2012 yang membatalkan Pasal 197 ayat (2) huruf "k" KUHAP
tidak berlaku surut, maka Komjen Susno Duadji dan kuasa hukumnya menafsirkan
bahwa semestinya jaksa tidak dapat mengeksekusi karena putusan batal demi hukum.
Pada tanggal 24 April 2013 pihak kejaksaan tidak berhasil mengeksekusi putusan
pidana tersebut.Sementara itu, berbagai pihak memiliki pendapat-pendapat yang
berbeda mengenai apakah putusan pidana tersebut batal demi hukum atau tidak
terkait perbedaan tafsir atas Pasal 197 ayat (1) KUHAP.
13

Bahwa

ketidakmampuan

kejaksaan

melakukan

tugasnya

terlebih

lagi

ketidakmampuan jaksa meyakinkan masyarakat bahwa tindakannya melakukan
eksekusi adalah berdasar hukum, menunjukkan terdapat permasalahan baru terhadap
norma Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP, dan menurut Pemohon permasalan
ketidakpastian ini disebabkan adanya berbagai penafsiran atas frasa ditahan dan
tahanan pada Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP tersebut yang tidak tepat.
6.

Keadaan baru yang menimbulkan polemik dan mengakibatkan tidak terlaksananya
penegakan hukum karena terdapat berbagai tafsir Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP,
membuat Mahkamah Konstitusi perlu untuk memberikan pertimbangan hukum
melalui putusannya. Terlebih lagi, pendapat-pendapat tersebut mengacu pada Putusan
Mahkamah Konstitusi terdahulu yakni Putusan No 69/PUU-X/2012.

7.

Berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, menurut Pemohon Majelis Hakim
Mahkamah Konstitusi berwenang memeriksa dan memutus pokok perkara
permohonan ini.
Putusan Mahkamah Agung No.157 PK/Pid.Sus/2011 (Parlin Riduansyah)
Dalam perkara ini terdakwa didakwa melakukan tindak pidana karena melakukan

eksploitasi pertambangan di kawasan hutan tanpa ijin menteri.Di tingkat pertama terdakwa
dinyatakan tidak terbukti atas seluruh dakwaan Penuntut Umum sehingga diputus bebas. Atas
putusan pembebasan tersebut Penuntut Umum kemudian mengajukan kasasi, oleh Mahkamah
Agung permohonan kasasi tersebut dikabulkan, putusan PN Banjarmasin tersebut kemudian
dibatalkan dan oleh Mahkamah Agung diputus terdakwa terbukti bersalah, dengan amar sebagai
berikut:
Putusan Kasasi Nomor 1444 K/Pid.Sus/2010
MENGADILI SENDIRI :
1.

Menyatakan Terdakwa H. PARLIN RIDUANSYAH bin H. MUHAMMAD
SYAHDAN, terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah
melakukan tindak pidana “Melakukan kegiatan eksploitasi dalam kawasan hutan
tanpa ijin Menteri” .

14

2.

Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa H. PARLIN RIDUANSYAH bin H.
MUHAMMAD SYAHDAN dengan pidana penjara selama 3 (tiga) tahun penjara ;

3.

Menetapkan masa penahanan yang telah di jalani olehTerdakwa dikurangkan
seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan ;

4.

Menjatuhkan pidana denda kepada Terdakwa sebesar Rp.1.000 000.000 (satu milyar
rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar, maka diganti dengan
pidana kurungan selama 6 (enam) bulan ;

5.

Menyatakan barang bukti berupa : …dst

PUTUSAN
Nomor. 157 PK/PID.SUS/2011
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
MAHKAMAHAGUNG
Memeriksa perkara pidana khusus dalam tingkat Peninjauan Kembali telah memutuskan sebagai
berikut dalam perkara
Terdakwa :
Nama lengkap

: H. PARLIN RIDUANSYAH bin H. MUHAMAD SYAHDAN.

Tempat lahir

: Banjarmasin .

Umur / tanggal lahir : 43 tahun / 17 Januari 1966.
Jenis kelamin

: Laki - laki .

Kebangsaan

: Indonesia .

Tempat tinggal

: Jl . Sutoyo S. No. 23 RT. 054/018 Kelurahan Teluk Dalam, Kecamatan
Banjarmasin tengah, Kota Banjarmasin .

Agama

: Islam.

Pekerjaan

: Direktur Utama PT. Satu i Bara Tama.

Pendidikan

: SMA.
Mengingat akan akta tentang permohonan PeninjauanKembal i No. 01/ Pid/2011

/PN.Bjm yang dibuat oleh Panitera pada Pengadilan Negeri Banjarmasin yang menerangkan,
bahwa pada tanggal 18 Maret 2011 Terdakwa mengajukan permohonanPeninjauan Kembali
terhadap putusan Mahkamah AgungTersebut

15

Memperhatikan pula memori Peninijauan Kembali tanggal 18 Maret 2011 dari
Penasehat hukum Terdakwa yang diajukan untukdan atas nama Terdakwa sebagai Pemohon
Peninjauan Kembali
tersebut berdasarkan surat kuasa khusus bertanggal 20 Januari 2010, memori
Peninjauan Kembali mana telah diterima dikepaniteraan Pengadilan Negeri Banjarmasin pada
tanggal 18Maret 2011 ;
Membaca surat - surat yang bersangkutan ;
Menimbang, bahwa putusan Mahkamah Agung tersebut telah diberitahukan kepada Terdakwa
pada tangga l 10 Januari 2011dan Terdakwa mengajukan permohonan Peninjauan Kembali pada
tanggal 18 Maret 2011 serta memori Peninjauan Kembalinyatelah diterima di kepaniteraan
Pengadilan

Negeri

Banjarmasinpada

tanggal

18

Maret

2011

dengan

demikian

permohonanPeninjauan Kembali beserta dengan alasan- alasannya telah diajukan dalam
tenggang waktu dan dengan cara menurut undangundang, oleh karena itu permohonan
Peninjauan Kembali tersebut formal dapat diterima ;
Menimbang, bahwa putusan Mahkamah Agung tersebut telahdiberitahukan kepada
Terdakwa pada tanggal 10 Januari 2011dan Terdakwa mengajukan permohonan
Peninjauan Kembali pada tanggal 18 Maret 2011 serta memori Peninjauan
Kembalinyatelah diterima di kepaniteraan Pengadilan Negeri Banjarmasinpada
tanggal 18 Maret 2011 dengan demikian permohonanPeninjauan Kembali beserta
dengan alasan-alasannya telahdiajukan dalam tenggang waktu dan dengan cara
menurut undangundang,oleh karena itu permohonan Peninjauan Kembali tersebut
formal dapat di terima

16

BAB IV
ANALISA
Putusan batal demi hukum berikut di ambil contoh dari ketentuan Kerajaan Belanda,
yaitu berdasarkan Pasal 440 Sv (KUHAP Belanda)
De Hoge Raad kan na vernietiging van de bestreden uitspraak de zaak – teneinde met
inachtneming van de uitspraak van de Hoge Raad opnieuw, dan wel verder te worden berecht en
afgedaan – terugwijzen naar de rechter die haar heeft gewezen, dan wel verwijzen:
a. wanneer de vernietigde uitspraak was gedaan door een rechtbank, naar het
gerechtshof van het ressort;
b. wanneer de vernietigde uitspraak was gedaan door een gerechtshof, naar een
ander gerechtshof.
Kalau melihat hukum acara pidana Belanda tersebut, ada beberapa poin:
1. Putusan kasus yang memiliki kesalahan yuridis akan dikembalikan Mahkamah
Agung Belanda kepada pengadilan dibawahnya untuk dilakukan persidangan ulang.
2. Penahanan dan serba-serbinya dapat dimintakan pendapat saat kasus tersebut
mencapai Mahkamah Agung Belanda.
Hukum acara pidana Belanda dan hukum acara pidana Indonesia dalam hal putusan
batal demi hukum memiliki persamaan, yaitu ketika mencapai Mahkamah Agung dan pada
putusan tersebut terdapat kesalahan penerapan hukum, maka putusan tersebut batal demi hukum
dan dikembalikan kepada Pengadilan Negeri yang bersangkutan untuk dilakukan persidangan
kembali. Untuk mengetahui contoh kasus ini, dapat merujuk putusan Mahkamah Agung No. 951/
K/Pid/2005 tanggal 13 Juli 2005 yang membatalkan putusan Pengadilan Negeri Tinggi Kepanjen
No. 565/Pid/2005/PT.Kpj tangal 6 Januari 2005 dan memerintahkan persidangan dibuka kembali
kepada Pengadilan Negeri Kepanjen.
Seperti diketahui, saat ini Komjen Pol (Purn) Susno Duadji selalu berdalih tidak mau
ditahan atas kasus dugaan suap Rp 500 juta terkait penanganan perkara PT Salmah Arowana
Lestari dan kasus pengamanan Pilkada Jawa Barat tahun 2008 yang menguntungkannya dirinya
hingga Rp 4, 2 miliar karena berlindung dalam pasal 197 KUHAP. Padahal, Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan telah memutuskan Susno bersalah dalam dua perkara korupsi, yakni kasus
17

penanganan perkara PT Salwah Arowana Lestari (SAL) dan kasus dana pengamanan Pilkada
Jawa Barat 2008.
Dari dua perkara yang dihadapi Susno, terkait PT PAL, dia didakwa karena
menerima hadiah Rp 500 juta untuk mempercepat penyidikan kasus itu, dimana dia menjabat
sebagai sebagai Kabareskrim. Sedangkan saat dirinya menjabat sebagai Kapolda Jabar, dia
memotong dana pengamanan sebesar Rp4,2 miliar untuk kepentingan pribadi. Atas
perbuatannya, Susno diganjar hukuman 3,5 tahun penjara. Mendapat vonis ini, Susno lantas
mengajukan Kasasi.Namun, MA menolak kasasi Susno.Susno juga sudah tiga kali mangkir dari
panggilan Kejaksaan.Perdebatan dimulai dengan “mengutak-atik” pasal 197 ayat (2) Huruf K
KUHAP.
Yusril sebelumnya bertindak sebagai pengacara Parlin Riduansyah, dia dulu pernah
mengajukan uji materi pasal tersebut ke MK namun ditolak.Pasal 197 ayat (2) KUHAP tidak
dapat dipisahkan dari pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP sehingga harus dibaca “Surat putusan
pemidanaan memuat perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau
dibebaskan.Sedangkan pasal 197 ayat (2) menegaskan “Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat
(1) huruf a, b, c, d, e, f, h, i, j, k dan I pasal ini mengakibatkan putusan batal demi
hukum".Perdebatan soal sah tidaknya eksekusi yang dilakukan kejaksaan bermula dari penolakan
pihak Susno.Susno dan kuasa hukumnya menilai, putusan kasasi MA tidak mencantumkan
perintah penahanan.Oleh karena itu, eksekusi tak bisa dilakukan.Tidak dicantumkannya perintah
penahanan, dalam pandangan pihak Susno, membuat putusan itu batal demi hukum.
Bagaimana apabila terhadap putusan yang tidak mencantumkan agar “supaya
terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan”, tidak dibuat baik mulai dari tingkat
Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi hingga ke Mahkamah Agung?
Sekarang mari kita masuk dalam permasalahan putusan Susno Duadji. Permasalahan
yang ada dalam isu ini sebenarnya sangat sederhana. Ada 3 isu yang dipermasalahkan oleh
penasihat hukum Susno Duadji dan Prof. Yusril Ihza Mahaendra, SH, MSc. Pertama, putusan
kasasi tidak mencantumkan amar putusan hanya menyatakan menolak permohonan kasasi dari
Terdakwa (Susno Duadji) dan Penuntut Umum serta hanya menyatakan menghukum Terdakwa
untuk membayar biaya perkara.
Kedua, mengingat putusan yang menjatuhkan hukuman ada di pengadilan tinggi,
pihak Susno menyatakan bahwa putusan tersebut batal demi hukum karena tidak mencantumkan
18

perintah penahanan sebagaimana pasal 197 ayat (1) huruf K. Dan ketiga putusan Banding
(35/PID/TPK/2011/PT.DKI) tersebut dianggap batal demi hukum karena salah mencantumkan
nomor putusan tingkat pertama.

a.

Putusan Kasasi Tidak Mencantumkan Hukuman
Putusan menolak permohonan kasasi memang tidak akan mencantumkan amar

putusan lagi, kecuali menurut Mahkamah Agung terdapat amar yang perlu diperbaiki. Semua
Upaya Hukum (banding, kasasi, kasasi demi kepentingan hukum, dan peninjauan kembali) pada
dasarnya upaya untuk menguji putusan sebelumnya. Dalam upaya hukum tersebut pemohonon
akan mendalilkan bahwa putusan yang diuji (putusan PN jika permohonannya ditahap banding,
atau putusan Banding jika permohonannya ditahap Kasasi dst) mengandung kesalahan sehingga
harus dibatalkan. Atas permohonan tersebut pengadilan yang memeriksa permohonan upaya
hukum tersebut (Pengadilan Tinggi jika banding, Mahkamah Agung jika Kasasi, Kasasi Demi
Kepentingan Hukum atau Peninjauan Kembali) bisa mengabulkan permohonan –yang artinya
putusan yang diuji tersebut dibatalkan- bisa juga menolak permohonan –yang artinya putusan
yang diuji tidak salah atau sudah tepat. Kemungkinkan lainnya yaitu pengadilan (tinggi atau
Mahkamah Agung) berpendapat bahwa alasan permohonan banding/kasasi tidak tepat namun
MA melihat ada permasalahan lain dalam putusan tersebut sehingga MA memutuskan akan
mengadili sendiri putusan tersebut1

b.

Putusan Banding Tidak mencantumkan Perintah Penahanan
Pada dasarnya perintah penahanan dalam putusan tidak bersifat absolut. Pasal 197

ayat 1 huruf K menjadi mutlak jika dan hanya jika terdakwa pada saat diputus sedang ditahan,
yang untuk itu demi kejelasan status penahannya pengadilan harus menjelaskan dalam
putusannya apakah terdakwa dilanjutkan penahannya atau dibebaskan (lihat Pasal 293 ayat 2
huruf b).
Yang terjadi dalam kasus Susno Duadji iniadalah

pada saat penyidikan hingga

pemeriksaan ditingkat pertama memang dikenakan penahanan. Penahanan terhadapnya berlanjut
hingga proses banding. Namun sebelum Pengadilan Tinggi menjatuhkan putusannya, masa
penahanan Susno Duadji telah habis2yang mana menurut Pasal 27 ayat (4) KUHAP (atau Pasal
29 ayat (6) jika perpanjangan penahanan khusus3pun telah habis) tersebut dinyatakan jika waktu

19

penahanan tersebut telah habis walau perkara (banding) belum diputus terdakwa harus
dikeluarkan dari tahanan demi hukum
Kemudian, pada saat permohonan Banding tersebut diputus Susno Duadji TIDAK
sedang dalam penahanan, baik penahanan rutan, rumah maupun kota. Mengingat Susno Duadji
(terdakwa) saat diputus TIDAK sedang dalam penahanan maka berlakulah pasal 193 ayat 2 huruf
a KUHAP sebagaimana dikutip dalam bagian sebelumnya, yang intinya Pengadilan memiliki
kewenangan diskresional untuk menentukan apakah Terdakwa perlu ditahan atau tidak. Jika
Pengadilan memandang Terdakwa perlu ditahan maka penetapan penahanan tersebut
dicantumkan dalam amar putusannya, tidak perlu lagi menerbitkan Surat Perintah Penahanan
sebagaimana diatur dalam Pasal 26 ayat (1), 27 ayat (1) atau 28 ayat (1) KUHAP oleh karena
Putusan itu sendiri telah merupakan penetapan itu sendiri.
Dalam kasus ini yang perlu diingat juga adalah TELAH HABISNYA kewenangan
penahanan yang dimiliki oleh Pengadilan Tinggi terhadap Susno Duadji, sehingga memang
Pengadilan Tinggi tidak dapat menetapkan perintah agar Susno Duadji segera ditahan. Mengenai
masalah seperti ini Mahkamah Agung telah pernah mengeluarkan Surat Edaran MA khusus
mengenai ini, yaitu SEMA No. 8 Tahun 1985 yang ditandatangani oleh Ketua MA saat itu, Ali
Said

c.

Putusan Banding Salah Kutip Nomor Putusan PN
Alasan lainnya yang diajukan oleh pihak penasihat hukum Susno Duadji yaitu adanya

kesalahan penulisan nomor putusan PN.Atas permasalahan ini yang perlu diperhatikan adalah,
apakah kesalahan tersebut semata kesalahan ketik atau tidak.Apakah kesalahan penulisan nomor
putusan tingkat pertama dalam Putusan Banding tersebut mengindikasikan bahwa Pengadilan
Tinggi salah dalam merujuk putusan yang dipersoalkan atau tidak.Untuk mengetahui hal ini
maka yang perlu diperiksa adalah apakah amar putusan tingkat pertama yang dikutip dalam
Putusan Banding juga salah atau tidak.Misal, apakah amar tersebut ternyata juga bukan
merupakan amar putusan tingkat pertama Susno Duadji. Jika dalam amar putusan tingkat
pertama yang dikutip dalam Putusan Banding tersebut nyata-nyata sama dengan amar putusan
tingkat pertama yang ada dalam salinan putusan resmi, maka dapat disimpulkan kesalahan
tersebut hanyalah kesalahan pengetikan nomor semata, sehingga tidak mengakibatkan putusan
batal demi hukum.

20

Dalam pasal 197 memang secara jelas tertulis dalam ayat 2-nya bahwa putusan yang
tidak memenuhi syarat pasal 197 ayat (1) huruf K batal demi hukum.Namun, apakah ketentuan
ini dapat dibaca secara tekstual begitu saja terlebih hanya melihat pasal 197 ayat 1 dan 2 saja?
apakah ketika dalam amar putusan tidak disebutkan “Perintah Penahanan” maka putusan tersebut
akan batal demi hukum? Untuk memahami arti dari Pasal 197 ayat (1) huruf K ini sebenarnya
kita tidak boleh melepaskannya dari ketentuan-ketentuan lainnya dalam KUHAP. Dalam
membaca pasal 197 khususnya ayat (1) huruf K kita tidak boleh melupakan pasal 193 dan Pasal
21 KUHAP itu sendiri, karena ketiganya saling terkait.
Penjelasan Pasal 193 ayat (2) huruf a:
Perintah penahanan terdakwa yang dimaksud adalah bilamana hakim pengadilan
tingkat pertama yang memberi putusan berpendapat perlu dilakukannya penahanan tersebut
karena dikhawatirkan bahwa selama putusan belum memperoleh kekuatan hukum tetap,
terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti ataupun mengulangi
tindak pidana lagi.
Dari ketentuan Pasal 193 ayat (2) di atas terlihat secara jelas bahwa perintah
penahanan dalam amar putusan pada dasarnya Tidak Bersifat Absolut.Khususnya jika Terdakwa
saat itu tidak dalam status sedang ditahan.Perintah agar terdakwa segera ditahan ini merupakan
Diskresi dari hakim (majelis) yang memeriksa dan memutus perkara tersebut.Dan diskresi ini
pun tetap dibatasi dengan ketentuan Pasal 21 KUHAP, yang artinya tidak semua putusan
pemidanaan dapat diikuti dengan perintah penahanan.Mengapa?Karena tidak semua tindak
pidana terdakwa-nya dapat dikenakan penahanan (Pasal 21 ayat 4). Jika tindak pidana yang
terbukti menurut pengadilan adalah tindak pidana yang ancamannya dibawah 5 tahun atau tindak
pidana-tindak pidana tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal 21 ayat 4 huruf b maka pengadilan
dalam putusannya Tidak Berwenangmemerintahkan agar terdakwa segera ditahan.
Dalam perkara-perkara dimana jenis perkara tersebut memang tidak dapat dikenakan
penahanan terhadap Terdakwa, jika pengadilan memerintahkan terdakwa untuk segera ditahan
justru pengadilan melanggar hukum. Mengingat dalam perkara ini (jika terdakwa sebelumnya
memang tidak sedang ditahan) maka dalam amar putusan tidak akan disebutkan apakah terhadap
Terdakwa harus segera ditahan, dibebaskan atau dilanjutkan penahanannya sebagaimana
21

ketentuan dalam Pasal 197 ayat (1) huruf K. Pertanyaannya, apakah dengan demikian maka
putusan tersebut batal demi hukum?
Dalam kondisi-kondisi tertentu lainnya walaupun perkara yang dinyatakan terbukti
adalah perkara atas tindak pidana yang dapat dikenakan penahanan pengadilan juga pasti tidak
akan memerintahkan agar terdakwa untuk segera ditahan (apabila sebelumnya ia tidak ditahan),
yang mana jika pengadilan memerintahkan agar terdakwa segera ditahan maka putusan justru
akan menjadi tidak masuk akal. Kondisi lainnya yang memungkinkan Pengadilan tidak
memerintahkan agar Terdakwa segera ditahan adalah jika pengadilan tidak mau memerintahkan
hal tersebut.Apakah salah jika pengadilan tidak mau menggunakan kewenangan diskresionalnya?jelas sah-sah saja lah. Selain itu perintah penahanan tersebut juga TIDAK dapat dilakukan
jika masa wewenang penahanan yang dimiliki pengadilan telah habis4(Lihat SEMA No. 8 Tahun
1985
Prof Satjipto Rahardjo almarhum, pakar hukum yang dikenal berintegritas, bahkan
memandang perlunya "menabrak" formalitas-formalitas yang bersifat menghalang-halangi dalam
upaya menegakkan keadilan substansial. Dari perspektif praktik hukum, M. Yahya Harahap,
mantan hakim agung, yang buku-bukunya dijadikan pedoman para mahasiswa dan praktisi
hukum itu, juga menekankan agar soal "salah ketik" tidak dijadikan alasan untuk meruntuhkan
substansi perkara.
Secara sederhana, kita dengan mudah akan beranggapan, ya, tidak bisa dilaksanakan
eksekusi karena pada pengadilan sebelumnya sama sekali tidak mencantumkan mengenai hal itu.
Tapi tentu saja tidak sesederhana demikian. Putusan MK menyebutkan menolak permohonan
Pasal 197 (1) k lalu mengadili sendiri dengan menyatakan pasal 197 (2) huruf k, inkonstitusional
dan tidak memiliki kekuatan mengikat. Dalam perkara yang telah diputuskan oleh MK, harusnya
dibaca lebih utuh. Pertama.Terhadap permohonan dari Yusril sebelumnya bertindak sebagai
pengacara Parlin Riduansyah ternyata ditolak. Sehingga dalil yang sering disampaikan di
berbagai media massa tidak tepat.
Kedua. MK sendiri telah merumuskan, Pasal 197 ayat (2) huruf “k” KUHAP apabila
diartikan surat putusan pemidanaan yang tidak memuat ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k
KUHAP bertentangan dengan UUD, tidak mempunya kekuatan hukum mengikat.
Ketiga, yang harus dipahami mengenai pasal 197 ayat (2) huruf k KUHAP yang
berbunyi “Surat putusan pemidanaan memuat perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam
22

tahanan atau dibebaskan”, berkaitan dengan putusan yang masih belum inkracht. Putusan ini
harus dilihat dari putusan yang lebih tinggi. Asas ini biasa dikenal dengan “asas res judicata pro
veritate habetur”.Dengan demikian maka pasal 197 ayat (2) huruf k KUHAP lebih dimaknai
kata-kata “supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan” masih dalam
proses yang belum selesai.
Keempat.Putusan

pada

tingkat

Kasasi

Mahkamah

Agung

sudah

bersifat

final.Sehingga bisa dieksekusi.Putusan tingkat kasasi Mahkamah Agung yang sudah inkracht
harus dibaca sebagai putusan judek jurist yang menterjemahkan para terdakwa harus menjalani
pemidanaan.Bukan tahanan.
Kelima. Pasal 197 (1) k, dibaca satu nafas dengan pasal 1 angka 21 KUHAP, pasal
21 juncto pasal 22, juncto pasal 26, juncto pasal 27, juncto pasal 28, dan pasal 193 dan pasal
242.Pasal tersebut menerangkan arti dari penahanan dimana dalam pasal itu disebutkan kalau
penahanan itu satu proses dari persidangan guna kepentingan pemeriksaan persidangan, aritnya
ketika satu keputusan sudah incracht tidak perlu lagi ada penahanan. Penahanan yang diputuskan
dalam putusan atau perintah penahanan itu hanya berlaku untuk putusan PN dan PT Sedangkan
putusan MA tidak memerlukan mengenai penahanan sebagaimana diterangkan didalam pasal 193
dan pasal 242(2) KUHAP tidak tepat.
Di dalam sah atau tidaknya eksekusi yang dilakukan kejaksaan bermula dari
penolakan pihak Susno.Susno dan kuasa hukumnya menilai, putusan kasasi MA tidak
mencantumkan perintah penahanan.Oleh karena itu, eksekusi tak bisa dilakukan.Tidak
dicantumkannya perintah penahanan, dalam pandangan pihak Susno, membuat putusan itu batal
demi hukum.Mereka mengacu pada ketentuan Pasal 197 Ayat 2 yang menyatakan bahwa putusan
batal demi hukum jika tidak memuat ketentuan Pasal 197 Ayat 1 KUHAP. Adapun Pasal 197
Ayat 1 huruf k menyatakan bahwa surat pemidanaan di antaranya harus memuat perintah supaya
terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan.
Pasal tersebut pernah diajukan uji materi oleh Parlin Riduansyah dengan Yusril
sebagai kuasa hukumnya. Pemohon meminta agar mendalilkan bahwa Pasal 197 Ayat (1) huruf k
juncto Pasal 197 Ayat (2) sepanjang frasa "batal demi hukum" UU 8/1981 bertentangan dengan
Pasal 1 Ayat (3), Pasal 28D Ayat (1), dan 28G Ayat (1) UUD 1945 karena memuat rumusan
yang menimbulkan ketidakpastian hukum.

23

Uji materi ini ditolak oleh MK melalui putusan yang dibacakan pada 22 November
2012. Dalam pendapatnya, MK menyatakan bahwa penafsiran tidak dimuatnya ketentuan Pasal
197 Ayat (1) huruf k dalam surat pemidanaan akan mengakibatkan putusan batal demi hukum
justru bertentangan dengan UUD 1945.MK juga menyatakan, Pasal 197 Ayat (2) tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat bila diartikan surat putusan pemidanaan yang tidak
memuat ketentuan Pasal 197 Ayat (1) huruf k mengakibatkan putusan batal demi hukum.Selain
itu, MK memutuskan perubahan bunyi Pasal 197 Ayat (2) dengan menghapus bagian huruf k
menjadi "Tidak dipenuhinya ketentuan dalam Ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, h, j, dan l pasal ini
mengakibatkan putusan batal demi hukum".
Kasus ini semestinya jadi pelajaran bagi MA agar lebih cermat dalam membuat
keputusan agar tidak membuka perdebatan, bahkan kebingungan bagi subyek hukum.Menurut
Andi Irmanputra Sidin ada problem di lingkungan yudikatif yang harus diperbaiki.Persoalan
yang dianggap sepele dan administratif pun harus diperhatikan dan dipenuhi agar memberikan
kepastian hukum.

24

BAB V
KESIMPULAN
Yusril sebelumnya bertindak sebagai pengacara Parlin Riduansyah, dia dulu pernah
mengajukan uji materi pasal tersebut ke MK namun ditolak.Pasal 197 ayat (2) KUHAP tidak
dapat dipisahkan dari pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP sehingga harus dibaca “Surat putusan
pemidanaan memuat perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau
dibebaskan.Sedangkan pasal 197 ayat (2) menegaskan “Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat
(1) huruf a, b, c, d, e, f, h, i, j, k dan I pasal ini mengakibatkan putusan batal demi
hukum".Perdebatan soal sah tidaknya eksekusi yang dilakukan kejaksaan bermula dari penolakan
pihak Susno.Susno dan kuasa hukumnya menilai, putusan kasasi MA tidak mencantumkan
perintah penahanan.Oleh karena itu, eksekusi tak bisa dilakukan.Tidak dicantumkannya perintah
penahanan, dalam pandangan pihak Susno, membuat putusan itu batal demi hukum.Pada
dasarnya perintah penahanan dalam putusan tidak bersifat absolut. Pasal 197 ayat 1 huruf K
menjadi mutlak jika dan hanya jika terdakwa pada saat diputus sedang ditahan, yang untuk itu
demi kejelasan status penahannya pengadilan harus menjelaskan dalam putusannya apakah
terdakwa dilanjutkan penahannya atau dibebaskan (lihat Pasal 293 ayat 2 huruf b).Yang terjadi
dalam kasus Susno Duadji iniadalah pada saat penyidikan hingga pemeriksaan ditingkat pertama
memang dikenakan penahanan. Penahanan terhadapnya berlanjut hingga proses banding. Namun
sebelum Pengadilan Tinggi menjatuhkan putusannya, masa penahanan Susno Duadji telah
habis2yang mana menurut Pasal 27 ayat (4) KUHAP (atau Pasal 29 ayat (6) jika perpanjangan
penahanan khusus3pun telah habis) tersebut dinyatakan jika waktu penahanan tersebut telah habis
walau perkara (banding) belum diputus terdakwa harus dikeluarkan dari tahanan demi hukum.
Kemudian, pada saat permohonan Banding tersebut diputus Susno Duadji TIDAK sedang dalam
penahanan, baik penahanan rutan, rumah maupun kota. Mengingat Susno Duadji (terdakwa) saat
diputus TIDAK sedang dalam penahanan maka berlakulah pasal 193 ayat 2 huruf a KUHAP
sebagaimana dikutip dalam bagian sebelumnya, yang intinya Pengadilan memiliki kewenangan
diskresional untuk menentukan apakah Terdakwa perlu ditahan atau tidak. Jika Pengadilan
memandang Terdakwa perlu ditahan maka penetapan penahanan tersebut dicantumkan dalam
amar putusannya, tidak perlu lagi menerbitkan Surat Perintah Penahanan sebagaimana diatur
dalam Pasal 26 ayat (1), 27 ayat (1) atau 28 ayat (1) KUHAP oleh karena Putusan itu sendiri
25

telah merupakan penetapan itu sendiri.Dalam kondisi-kondisi tertentu lainnya walaupun perkara
yang dinyatakan terbukti adalah perkara atas tindak pidana yang dapat dikenakan penahanan
pengadilan juga pasti tidak akan memerintahkan agar terdakwa untuk segera ditahan (apabila
sebelumnya ia tidak ditahan), yang mana jika pengadilan memerintahkan agar terdakwa segera
ditahan maka putusan justru akan menjadi tidak masuk akal. Kondisi lainnya yang
memungkinkan Pengadilan tidak memerintahkan agar Terdakwa segera ditahan adalah jika
pengadilan tidak mau memerintahkan hal tersebut.Apakah salah jika pengadilan tidak mau
menggunakan kewenangan diskresional-nya?jelas sah-sah saja lah. Selain itu perintah penahanan
tersebut juga TIDAK dapat dilakukan jika masa wewenang penahanan yang dimiliki pengadilan
telah habis4(Lihat SEMA No. 8 Tahun 1985
Putusan MK menyebutkan menolak permohonan Pasal 197 (1) k lalu mengadili
sendiri dengan menyatakan pasal 197 (2) huruf k, inkonstitusional dan tidak memiliki kekuatan
mengikat. Dalam perkara yang telah diputuskan oleh MK, harusnya dibaca lebih utuh.
Pertama.Terhadap permohonan dari Yusril sebelumnya bertindak sebagai pengacara Parlin
Riduansyah ternyata ditolak. Sehingga dalil yang sering disampaikan di berbagai media massa
tidak tepat.Kedua. MK sendiri telah merumuskan, Pasal 197 ayat (2) huruf “k” KUHAP apabila
diartikan surat putusan pemidanaan yang tidak memuat ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf k
KUHAP bertentangan dengan UUD, tidak mempunya kekuatan hukum mengikat. Ketiga, yang
harus dipahami mengenai pasal 197 ayat (2) huruf k KUHAP yang berbunyi “Surat putusan
pemidanaan memuat perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau
dibebaskan”, berkaitan dengan putusan yang masih belum inkracht. Putusan ini harus dilihat dari
putusan yang lebih tinggi. Asas ini biasa dikenal dengan “asas res judicata pro veritate
habetur”.Dengan demikian maka pasal 197 ayat (2) huruf k KUHAP lebih dimaknai kata-kata
“supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan” masih dalam proses yang
belum selesai.Keempat.Putusan pada tingkat Kasasi Mahkamah Agung sudah bersifat
final.Sehingga bisa dieksekusi.Putusan tingkat kasasi Mahkamah Agung yang sudah inkracht
harus dibaca sebagai putusan judek jurist yang menterjemahkan para terdakwa harus menjalani
pemidanaan.Bukan tahanan.Kelima. Pasal 197 (1) k, dibaca satu nafas dengan pasal 1 angka 21
KUHAP, pasal 21 juncto pasal 22, juncto pasal 26, juncto pasal 27, juncto pasal 28, dan pasal
193 dan pasal 242.Pasal tersebut menerangkan arti dari penahanan dimana dalam pasal itu
disebutkan kalau penahanan itu satu proses dari persidangan guna kepentingan pemeriksaan
26

persidangan, aritnya ketika satu keputusan sudah incracht tidak perlu lagi ada penahanan.
Penahanan yang diputuskan dalam putusan atau perintah penahanan itu hanya berlaku untuk
putusan PN dan PT Sedangkan putusan MA tidak memerlukan mengenai penahanan
sebagaimana diterangkan didalam pasal 193 dan pasal 242(2) KUHAP tidak tepat.Uji materi ini
ditolak oleh MK melalui putusan yang dibacakan pada 22 November 2012. Dalam pendapatnya,
MK menyatakan bahwa penafsiran tidak dimuatnya ketentuan Pasal 197 Ayat (1) huruf k dalam
surat pemidanaan akan mengakibatkan putusan batal demi hukum justru bertentangan dengan
UUD 1945. MK juga menyatakan, Pasal 197 Ayat (2) tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat bila diartikan surat putusan pemidanaan yang tidak memuat ketentuan Pasal 197 Ayat
(1) huruf k mengakibatkan putusan batal demi hukum. Selain itu, MK memutuskan perubahan
bunyi Pasal 197 Ayat (2) dengan menghapus bagian huruf k menjadi "Tidak dipenuhinya
ketentuan dalam Ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, h, j, dan l pasal ini mengakibatkan putusan batal
demi hukum".
Kasus ini semestinya jadi pelajaran bagi MA agar lebih cermat dalam membuat
keputusan agar tidak membuka perdebatan, bahkan kebingungan bagi subyek hukum.Menurut
Andi Irmanputra Sidin ada problem di lingkungan yudikatif yang harus diperbaiki.Persoalan
yang dianggap sepele dan administratif pun harus diperhatikan dan dipenuhi agar memberikan
kepastian hukum.

27

DA