1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Gereja Kristen Sumba GKS Nggongi adalah salah satu dari sekian banyak gereja yang ada di Indonesia. Gereja hadir untuk membawa misi menyampaikan kabar baik
kepada semua orang agar merasakan dan mengalami sukacita, karena itu pelayan-pelayan gereja diutus di tengah-tengah masyarakat agar sukacita itu terjadi pada masyarakat.
Sangat penting untuk dipahami bahwa agar sukacita ini menjadi milik masyarakat, pelayan gereja perlu menyadari eksistensinya sebagai pelayan masyarakat. Secara umum
dalam dapat dikatakan bahwa gereja bertanggung jawab terhadap kesejahteraan anggota jemaatnya, karena itu gereja perlu memahami keadaan dan kondisi masyarakat yang
memiliki keragaman. Dengan adanya berbagai keragaman kondisi masyarakat tersebut, gereja perlu
memiliki keterampilan dalam pendekatannya untuk tujuan yang hendak dicapai. Jika hal tersebut tidak dapat dilakukan maka, akhirnya misi gereja hanya menjadi sebuah angan-
angan yang tidak akan pernah mencapai sebuah realita. Untuk menjawab tantangan mengenai keragaman kondisi masyarakat itu maka, gereja merumuskan pedoman yang
disebut sebagai tata aturan gereja. Dalam hal ini perlu ditegaskan bahwa untuk mencapai tata aturan gereja tersebut, pelayan gereja perlu memiliki wawasan yang luas dan teknik-
teknik yang tepat untuk melaksanakan tata aturan itu, sehingga tata aturan gereja dapat di realisasikan dengan baik.
Pada kenyataannya, persoalan mengenai teknik dalam melakukan tata aturan gereja seringkali menjadi masalah antara pelayan gereja dengan jemaat yang dilayaninya.
Faktanya ialah bahwa ketidakmampuan pelayan gereja pada cara pendekatan dalam
2
menerjemahkan tata aturan gereja itu, sehingga menimbulkan rasa tidak puas di kalangan jemaat. Selain itu ada masalah-masalah yang lebih kompleks, terjadi diantara anggota
jemaat sehingga menimbulkan perpecahan. Untuk menyelesaikan masalah tersebut, tidak cukup hanya melalui khotbah dari mimbar saja, namun perlu adanya pelayanan yang
bersifat pendekatan, dalam arti tatap muka kepada setiap anggota jemaat, pendekatan ini disebut sebagai konseling pastoral pastoral counseling.
Kehadiran konseling pastoral dilandaskan pada pemahaman bahwa individu sebagai bagian dari jemaat yang memiliki sejumlah kebutuhan khusus sehingga harus
diberi perhatian khusus pula. Selama ini dirasakan bahwa pendekatan melalui pemberitaan Firman diatas mimbar, tidak sepenuhnya menyentuh realitas persoalan
jemaat. Konseling pastoral dapat dinilai sebag ai ”jembatan” untuk menghubungkan
keretakan relasi antara gereja dan umatnya. Menurut Van Beek konseling pastoral dipahami sebagai :
...”proses pertolongan yang pada hakekatnya adalah psikologis antara seorang penolong dengan seorang atau beberapa orang yang ditolongnya dengan maksud meringankan penderitaan dari
yang ditolong. Sementara kata pastoral berasal dari bahasa Latin yang berarti “gembala” Pastor. Seorang pastor pastoral adalah kata sifat dari pastor adalah seseorang yang bersifat
seperti gembala, yang bersedia merawat, memelihara, melindungi dan menolong orang lain. Bahkan seorang pastor merasa bahwa karya semacam itu adalah “yang seharusnya”
dilakukannya, katakanlah bahwa itu adalah “tanggung jawab dan kewajiban” baginya.
1
Konseling pastoral dapat membantu pembaharuan semangat gereja dengan menyediakan alat untuk pembaharuan pribadi, hubungan, dan kelompok manusia. Jadi,
konseling merupakan suatu alat pembaharuan melalui alat perdamaian yang membantu menyembuhkan keterasingan orang dari diri sendiri, dari warga gereja lainnya maupun
dari kehidupan di masyarakat serta dari hubunganya dengan Allah yang memberikan kegairahan dan pertumbuhan.
1
Aart M. van Beek, Konseling Pastoral, Semarang: Satya Wacana, 1987
3
Konseling pastoral dapat menjadi alat penyembuhan dan pertumbuhan dengan membantu orang mengembangkan, apa yang paling sulit dicapai dalam periode masa kini,
yaitu hubungan yang mendalam. Memang sangat sulit menjalin hubungan dengan orang lain, sehingga untuk mencapai keadaan itu seseorang patut berempati dengan sesama,
pada rasa sakit dan kemampuannya, kehampaan dan keutuhannya, harapan dan keputusaannya yang bercampur secara unik. Sebagai konselor pendeta membutuhkan
pengertian tentang dirinya sendiri yang berkaitan dengan citra, peran, fungsi dan tujuan sebagai konselor.
2
Dengan demikian sebagai seorang konselor pendeta dapat menjalin hubungan yang mendalam dengan jemaatnya.
Pendampingan pastoral tidak hanya bisa dipahami dengan belajar teknik- tekniknya saja, tetapi harus mempelajari manusia yang terlibat dalam pendampingan
pastoral dan relasi di antara manusia itu. Seorang anggota jemaat mempunyai masalah, dia pergi kepada seorang penolong. Maupun seorang penolong menemui orang yang
bermasalah, dan pada saat itu sesuatu yang baru akan terjadi yaitu relasihubungan dimana, jalinan emosional-intelektual antara dua manusia akan terjadi. Kekuatan relasi itu
artinya, kekuatan dan sumbangannya terhadap relasi yang bergantung pada peranan masing-masing dan juga kebutuhan-kebutuhan dari anggota jemaat yang bermasalah itu
dan keterampilan dari penolong dalam menangani masalah. Dengan demikian, seorang penolong harus tahu keadaan emosi dan keterampilannya sendiri sebelum dia bisa
menolong orang lain yang bermasalah.
3
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa konseling pastoral ialah suatu usaha dan proses yang dilakukan oleh seseorang untuk menolong orang lain yang sedang mengalami
masalah. Adapun yang disumbangkan “pastoral” terhadap konseling adalah dimensi-
2
Howard Clinebell. Tipe-tipe dasar pendampingan dan koseling pastoral. Jakarta: BPK. Gunung Mulia. 2002. 17-20
3
Mesach Krisetya, Diktat Konseling Pastoral, Fakultas Teologi, Universita Kristen Satya Wacana, salatiga 2009 5-6
4
dimensi rohaniah dan suatu perspektif menyeluruh.
4
Dalam hal ini, pendampingan pastoral sangat penting didalam sebuah gereja sehingga ketika ada permasalahan yang
dihadapi oleh jemaat, gereja mengadakan pendekatan melalui perkunjungan pendeta, khotbah dan pemahaman Alkitab. Jadi, fokus kajian konseling pastoral adalah individu,
karena ketika individu tidak lagi dijadikan sebagai titik pijakan pelayanan konseling pastoral, maka terjadi masalah. Hal tersebut terjadi pada jemaat GKS di Nggongi.
Masalah yang ada dalam jemaat Nggongi adalah ketika terjadi konflik, baik itu antara jemaat dengan majelis, maupun warga jemaat dengan warga jemaat lainnya, maka
pada akhirnya gerejalah yang menjadi sasaran utama. Adanya jemaat GKS Nggongi yang pindah ke denominasi gereja lain Karismatik yang berada di lingkungan Nggongi itu
sendiri, seperti Gereja bebas Hosen, Gereja Bethel Indonesia, Gereja Bethel Taber Nakel, Gereja Sidang Jemaat Allah Lembah Damai, Gereja Reformasi.
Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka skripsi ini diberi judul:
Analisis Pastoral dan Faktor-faktor Penyebab Jemaat Pindah Gereja Kajian Kasus Jemaat GKS Nggongi di Sumba Timur
1.2 Rumusan masalah