Kondisi Kualitas Perairan di Way Perigi Kecamatan Labuhan Maringgai, Kabupaten Lampung Timur

(1)

i

KONDISI KUALITAS PERAIRAN DI WAY PERIGI,

KECAMATAN LABUHAN MARINGGAI, KABUPATEN

LAMPUNG TIMUR

Eka Anisa Widya Bahri C24080034

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012


(2)

ii

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul :

Kondisi Kualitas Perairan di Way Perigi, Kecamatan Labuhan Maringgai, Kabupaten Lampung Timur

adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya ilmiah yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam tubuh tulisan dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, September 2012

Eka Anisa Widya Bahri C24080034


(3)

iii

RINGKASAN

Eka Anisa Widya Bahri. C24080034. Kondisi Kualitas Perairan di Way Perigi, Kecamatan Labuhan Maringgai, Kabupaten Lampung Timur. Dibimbing oleh Dr. Ir. Enan M. Adiwilaga dan Dr. Ir. Sigid Hariyadi, M.Sc.

Sungai merupakan salah satu perairan mengalir yang bermanfaat bagi kehidupan organisme didalamnya dan makhluk hidup di sekitarnya. Sungai memiliki beberapa fungsi antara lain sebagai sumber air keperluan rumah tangga, irigasi, perindustrian, pertanian, dan kegiatan perikanan. Namun terdapat satu pemanfaatan dari sungai yang dapat menimbulkan masalah, yaitu sungai sebagai tempat pembuangan limbah, baik limbah domestik maupun limbah industri. Way Perigi, merupakan salah satu sungai di Kecamatan Labuhan Maringgai, Kabupaten Lampung Timur, yang melewati beberapa desa. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian terhadap kondisi kualitas perairan baik parameter fisika dan kimia perairan di Way Perigi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan status mutu perairan Way Perigi dari daerah hulu sungai yang berupa mata air hingga bagian hilir sungai sebelum air payau serta pengelolaan lebih lanjut dari sungai ini.

Pengambilan contoh air dilakukan pada bulan April sampai dengan Mei 2012, sebanyak 3 kali pengambilan contoh air dengan jarak waktu 2 minggu. Lokasi penelitian di Way Perigi, Kecamatan Labuhan Maringgai, Kabupaten Lampung Timur dari hulu berupa mata air (stasiun 1), tengah sungai (stasiun 2) berada di pemukiman warga, dan hilir (stasiun 3) berupa muara sungai. Analisis air dilakukan di Laboratorium Produktivitas dan Lingkungan Perairan, MSP-IPB. Penentuan status mutu perairan di Way Perigi, dianalisis menggunakan Metode Indeks STORET dan Indeks Pencemaran.

Bila dilihat dari hasil pengukuran parameter-parameter kualitas air, perairan Sungai Way Perigi masih berada dalam kisaran yang diperbolehkan menurut Peraturan Pemerintah RI No. 82 tahun 2001 kelas III (baku mutu air yang digunakan untuk pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, dan atau peruntukan lain). Pada analisis indeks STORET dapat diketahui bahwa pada hulu dan tengah sungai bernilai 0 yang berarti masih memenuhi baku mutu, sedangkan pada hilir bernilai -2


(4)

iv

yang berarti tercemar ringan. Berbeda dengan Indeks Pencemaran yang menyatakan bahwa ke tiga stasiun masih dalam kondisi baik.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa kondisi kualitas perairan di Sungai Way Perigi masih dalam kondisi baik, kecuali pada bagian hilir sungai yang tercemar ringan. Namun secara keseluruhan Sungai Way Perigi masih dapat di manfaatkan oleh masyarakat sekitar untuk kegiatan sehari-hari, maupun kegiatan perikanan dan pertanian.


(5)

v

KONDISI KUALITAS PERAIRAN DI WAY PERIGI,

KECAMATAN LABUHAN MARINGGAI, KABUPATEN

LAMPUNG TIMUR

EKA ANISA WIDYA BAHRI

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan Pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR


(6)

vi

PENGESAHAN SKRIPSI

Judul penelitian : Kondisi Kualitas Perairan di Way Perigi Kecamatan Labuhan Maringgai, Kabupaten Lampung Timur

Nama : Eka Anisa Widya Bahri

NIM : C24080034

Program Studi : Manajemen Sumberdaya Perairan

Menyetujui,

Tanggal lulus : 7 Agustus 2012 Pembimbing I,

Dr. Ir. Enan M. Adiwilaga NIP. 19481207 198012 1 001

Mengetahui:

Ketua Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan

Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc NIP. 19660728 199103 1 002

Pembimbing II,

Dr. Ir. Sigid Hariyadi, M.Sc NIP. 19591118 198503 1 005


(7)

vii

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada: 1) Allah SWT atas limpahan nikmat dan karunia-Nya;

2) Dr. Ir. Enan M. Adiwilaga dan Dr. Ir. Sigid Hariyadi, M.Sc. selaku pembimbing I dan II yang telah banyak memberikan bimbingan, ilmu dan arahan selama pelaksanaan penelitian dan penyusunan skripsi;

3) Ir. Agustinus M. Samosir, M.Phil selaku Ketua Komisi Pendidikan yang telah banyak memberikan masukan dan saran terkait penulisan skripsi; 4) Dr. Ir. Etty Riani, MS selaku dosen penguji yang telah banyak memberikan

saran dan masukan;

5) Seluruh staf Tata Usaha dan civitas MSP terutama Mbak Widar atas bantuan dan dukungannya dalam penyelesaian administrasi;

6) Ir. Zairion, M.Sc. atas ilmu, doa, dan dukungan serta bantuan dalam jalannya penelitian dan penyusunan skripsi;

7) Ibu Ana selaku Ketua Laboran Laboratorium Produktivitas dan Lingkungan Perairan MSP yang telah banyak membantu dalam analisis laboratorium; 8) Bapak Samsul Bahri, SH dan Ibu Widi Handayani selaku kedua orang tua

penulis serta Ugi Lestari Widya Bahri selaku adik penulis atas semua doa, nasehat, dukungan, dan kasih sayang kepada penulis;

9) Bachtiar Umar yang telah banyak membantu penulis dalam penelitian di lapang serta doa, semangat, nasihat, dan ilmu dan penyusunan skripsi;

10)Christian Halawa, Aditya Sinugraha Pamungkas, dan Bang Harun yang telah membantu dalam penelitian di lapang;

11)Irwan Rudy Pamungkas ITK 46, yang telah banyak membantu dalam pembuatan peta penelitian;

12)Tanti, Niear, Yuni, Nisa, Dina, Dara atas doa, dukungan, nasehat, dan persahabatan yang tulus kepada penulis sewaktu di Pondok Citra Ayu; 13) Sahabat tercinta di MSP 45 (Dila, Kanti, Dina, Hendri, Rikza, Wening, dan

Aang) atas doa, dukungan, nasehat, dan persahabatan yang tulus kepada penulis;


(8)

viii

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Lampung pada tanggal 19 Juni 1991 sebagai putri pertama dari dua bersaudara dari pasangan Samsul Bahri, SH dan Widi Handayani. Pendidikan formal yang pernah dijalani penulis berawal dari TK Diponegoro 16 Purwokerto (1995-1996), SDN 01 Karang Pucung Purwokerto (1996-2002), SMPN 5 Purwokerto (2002-2005), SMAN 2 Purwokerto (2005-2006) dan SMAN 4 Bandar Lampung (2006-2008). Pada tahun 2008 penulias diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI), kemudian diterima di Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Selain mengikuti perkuliahan, penulis berkesempatan menjadi Asisten Mata Kuliah Limnologi (2010/2011 dan 2011/2012), dan Asisten Mata Kuliah Metode Penarikan Contoh (2011/2012). Penulis juga aktif di organisasi kemahasiwaan Dewan Perwakilan Mahasiswa FIPIK (2009/2010 dan 2010/2011), Himpunan Mahasiswa Manajemen Sumberdaya Perairan (HIMASPER) sebagai Badan Pengawas (2010/2011) serta turut aktif mengikuti seminar maupun berpartisipasi dalam berbagai kepanitiaan di lingkungan kampus IPB.

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada program studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut

Pertanian Bogor, penulis menyusun skripsi dengan judul “Kondisi Kualitas Perairan di Way Perigi, Kecamatan Labuhan Maringgai, Kabupaten Lampung Timur”.


(9)

ix

PRAKATA

Alhamdulillah puji syukur kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “Kondisi Kualitas Perairan di Way Perigi, Kecamatan Labuhan Maringgai, Kabupaten Lampung Timur”. Penelitian ini dilakukan dari bulan April – Mei 2012.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam memberikan bimbingan, arahan, serta masukan dalam penyusunan penulisan skripsi ini sehingga penulis dapat menyelesaikannya dengan baik. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik yang membangun dan saran demi kesempurnaan penulisan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca.

Bogor, September 2012


(10)

x

DAFTAR ISI

Halaman

PRAKATA ... vii

DAFTARTABEL ... xii

DAFTARGAMBAR ... xiii

DAFTARLAMPIRAN ... xiv

1. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 2

1.3. Tujuan ... 2

1.4. Manfaat ... 3

2.TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1. Pencemaran Perairan ... 4

2.2. Ekosistem Mengalir ... 4

2.3. Parameter Fisika ... 5

2.3.1. Padatan tersuspensi total (Total Suspended Solid- TSS) dan kekeruhan ... 5

2.3.2. Padatan terlarut total (Total Dissolved Solid - TDS) ... 7

2.3.3. Suhu ... 8

2.3.4. Kecepatan arus ... 9

2.3.5. Debit air ... 9

2.4. Parameter Kimia ... 10

2.4.1. pH ... 10

2.4.2. Kebutuhan oksigen biokimiawi (Biochemical Oxygen Demand - BOD) ... 10

2.4.3. Oksigen terlarut (DissolvedOxygen - DO) ... 12

2.4.4. Nitrogen (Nitrat-Nitrogen, Nitrit-Nitrogen, dan Amonia-Nitrogen) ... 13

2.4.5. Total fosfat ... 16

3. METODE PENELITIAN ... 17

3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian ... 17

3.2. Alat dan Bahan ... 17

3.3. Metode Pengambilan Contoh ... 17

3.3.1. Penentuan lokasi ... 17

3.3.2. Pengambilan dan penanganan air contoh ... 18


(11)

xi

3.4.1. Lebar sungai ... 19

3.4.2. Kedalaman air... 20

3.4.3. Kecepatan arus ... 20

3.4.4. Debit air ... 20

3.5. Analisis Data ... 21

3.5.1. Indeks STORET ... 21

3.5.2. Indeks Pencemaran ... 22

4. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 24

4.1. Kondisi Way Perigi ... 24

4.2. Parameter Fisika ... 25

4.2.1. Suhu ... 25

4.2.2. Padatan tersuspensi total (Total Suspended Solid- TSS) dan kekeruhan ... 26

4.2.3. Padatan terlarut total (Total Dissolved Solid- TDS) ... 28

4.3. Parameter Kimia ... 29

4.3.1. pH ... 29

4.3.2. Oksigen terlarut (Dissolved Oxygen- DO) ... 30

4.3.3. Kebutuhan oksigen biokimiawi (Biochemical Oxygen Demand- BOD) ... 31

4.3.4. Nitrogen (Nitrat-Nitrogen, Nitrit-Nitrogen, dan Amonia-Nitrogen) ... 32

4.3.5. Total fosfat ... 36

4.4. Karakteristik Perairan ... 37

4.4.1. Debit air ... 37

4.5. Evaluasi kualitas perairan Way Perigi dengan Indeks STORET ... 38

4.6. Evaluasi kualitas air perairan Way Perigi dengan Indeks Pencemaran (IP) ... 40

4.7. Strategi pengelolaan Way Perigi ... 42

5.KESIMPULANDANSARAN ... 44

5.1. Kesimpulan ... 44

5.2. Saran ... 44

DAFTARPUSTAKA ... 45


(12)

xii

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Kesesuaian perairan untuk kepentingan perikanan berdasarkan nilai padatan

tersuspensi (Alabaster dan Llyoyd 1982 in Effendi 2003). ... 6 2. Status kualitas air berdasarkan nilai BOD (Lee et al. 1978 in Lestari 2004) ... 11 3. Paramater fisika-kimia perairan yang diamati beserta metode/alat yang

digunakan (APHA 2005). ... 19 4. Penetuan sistem nilai untuk menentukan status mutu air (Canter 1997 in

KepMen LH No 115 tahun 2003) ... 22 5. Penentuan status mutu air berdasarkan Indeks STORET ... 22 6. Penentuan status mutu air berdasarkan Indeks Pencemaran ... 23 7. Jumlah skor STORET dan klasifikasi perairan pada setiap stasiun selama

pengamatan ... 39 8. Nilai Indeks Pencemaran dan klasifikasinya pada setiap stasiun selama


(13)

xiii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Skema perumusan masalah ... 2

2. Sketsa lokasi penelitian, stasiun 1, stasiun 2, dan stasiun 3 di Way Perigi... 18

3. Sebaran rataan nilai suhu setiap stasiun selama pengamatan ... 25

4. Sebaran rataan nilai TSS setiap stasiun selama pengamatan ... 26

5. Sebaran rataan nilai kekeruhan setiap stasiun selama pengamatan ... 27

6. Hubungan antara nilai TSS dengan Kekeruhan ... 27

7. Sebaran rataan nilai TDS setiap stasiun selama pengamatan ... 28

8. Sebaran rataan nilai pH setiap stasiun selama pengamatan ... 29

9. Sebaran rataan nilai DO setiap stasiun selama pengamatan ... 30

10. Sebaran rataan nilai BOD setiap stasiun selama pengamatan... 31

11. Sebaran rataan nilai nitrat (NO3-N) setiap stasiun selama pengamatan... 32

12. Sebaran rataan nilai nitrit(NO2-N) setiap stasiun selama pengamatan ... 33

13. Sebaran rataan nilai amonia (NH3-N) setiap stasiun selama pengamatan ... 34

14. Sebaran nilai rata-rata dari nitrat, nitrit, dan amonia ... 35

15. Sebaran rataan nilai total fosfat setiap stasiun selama pengamatan ... 36

16. Sebaran nilai rata-rata debit air di setiap stasiun pengamatan ... 38

17. Nilai Indeks STORET Way Perigi menurut ... 39

18. Grafik nilai IP pada setiap stasiun selama pengamatan ... 41


(14)

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Hasil rata-rata pengukuran parameter fisika dan kimia perairan Way

Perigi, Kecamatan Labuhan Maringgai, Kabupaten Lampung Timur ... 37

2. Kriteria mutu air berdasarkan kelas ... 50

3. Perhitungan Indeks STORET ... 51

4. Perhitungan Indeks Pencemaran (IP) ... 52


(15)

1.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sungai merupakan salah satu perairan mengalir yang bermanfaat bagi kehidupan organisme di dalamnya dan makhluk hidup di sekitarnya. Sungai memiliki beberapa fungsi antara lain sebagai sumber air keperluan rumah tangga, irigasi, perindustrian, dan kegiatan perikanan. Namun terdapat satu pemanfaatan dari sungai yang dapat menimbulkan masalah, yaitu sungai sebagai tempat pembuangan limbah, baik limbah rumah tangga (domestik) maupun limbah industri. Hal tersebut dapat menimbulkan ketidakseimbangan dari ekosistem di dalamnya. Jika pengelolaan sungai diabaikan, maka kualitas perairan dari sungai akan menurun dan berdampak pada kehidupan organisme di dalamnya serta berdampak bagi kegiatan manusia yang memanfaatkan sungai untuk kegiatan sehari-hari.

Way Perigi, merupakan salah satu sungai di Kecamatan Labuhan Maringgai, Kabupaten Lampung Timur, yang melewati beberapa desa, antara lain Desa Maringgai, Desa Donoharjo, dan Desa Muara Gading Mas. Bagian hulu dari Way Perigi yaitu berupa mata air yang terletak di Desa Maringgai, biasanya dimanfaatkan masyarakat sekitar sebagai sumber air minum, kegiatan mandi dan cuci. Pada bagian hulu sungai, masih belum terlalu padat pemukiman. Bagian hilir Way Perigi, terletak di muara pesisir pantai, masyarakat menggunakannya sebagai kegiatan perikanan dan pertanian.

Pada bagian hilir sungai sudah banyak terdapat pemukiman serta limpasan dari aktivitas pemukiman yang semakin banyak, sehingga diduga dapat mempengaruhi kondisi kualitas perairan di Way Perigi. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian terhadap kondisi kualitas perairan baik parameter fisika dan kimia perairan di Way Perigi, Kecamatan Labuhan Maringgai, Kabupaten Lampung Timur agar masyarakat dapat memanfaatkan sungai tersebut secara optimal dan tidak menurunkan kualitas perairan. Selain itu penelitian ini dilakukan sebagai data awal kualitas periran Way Perigi, agar dapat diketahui perkembangan kualitas perairan nantinya.


(16)

1.2. Perumusan Masalah

Sungai biasanya digunakan oleh masyarakat sebagai aktivitas sehari-hari seperti untuk mandi, cuci, dan kakus (MCK), perikanan, peternakan, dan pertanian. Kegiatan-kegiatan tersebut yang berada di sekitar sungai akan mempengaruhi kondisi kualitas perairan akibat limpasan (run-off) menuju sungai. Apabila masukan bahan-bahan organik dari kegiatan tersebut telah melebihi ambang batas kemampuan perairan untuk menampungnya, maka sungai dapat terjadi pencemaran dan dapat mengganggu kehidupan organisme di dalamnya serta dapat mengganggu aktivitas masyarakat sekitar. Oleh karena itu, perlu adanya kajian mengenai parameter fisika dan kimia dari sungai tersebut untuk menentukan status mutu perairan seperti yang terlihat pada skema Gambar 1.

Gambar 1. Skema Perumusan Masalah

1.3. Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan status mutu perairan Way Perigi yang berada di Kecamatan Labuhan Maringgai, Kabupaten Lampung Timur dari daerah hulu sungai yang berupa mata air hingga bagian hilir sungai sebelum air payau.

Aktivitas Manusia

Hidrologi Sungai

Karakteristik Fisika-Kimia Perairan

Kondisi kualitas perairan

Penentuan Status Mutu

Perairan Pengelolaan


(17)

1.4. Manfaat

Manfaat dari penelitian ini adalah memberikan informasi ilmiah dan data kondisi fisika dan kimia perairan Way Perigi, Kecamatan Labuhan Maringgai, Kabupaten Lampung Timur yang ditimbulkan dari aktivitas antropogenik.


(18)

2.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pencemaran Perairan

Pencemaran lingkungan adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain kedalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan (UU No. 32 tahun 2009). Pencemaran adalah perubahan lingkungan yang tidak menguntungkan, sebagian karena tindakan manusia, disebabkan perubahan pola penggunaan energi dan materi, tingkatan radiasi, bahan-bahan fisika dan kimia dan jumlah organisme (Sastrawijaya 2000). Sedangkan menurut Mason (1981) pencemaran adalah kehadiran dari suatu zat yang tidak alami dalam jumlah besar dan konsentrasinya tidak normal pada suatu keadaan alamiah, serta menyebabkan efek yang tidak diinginkan seperti perubahan secara ekologis.

Sumber pencemar dapat berupa lokasi tertentu (point source) atau tak tentu/ tersebar (non-point source). Sumber pencemar dari point source misalnya cerobong asap pabrik dan saluran limbah industri. Volume pencemar dari point source biasanya relatif tetap. Sedangkan sumber pencemar non-point source dapat berupa point source dalam jumlah yang banyak, misalnya limpasan dari daerah pertanian yang mengandung pestisida dan pupuk, limpasan dari daerah pemukiman (domestik) dan limpasan dari daerah perkotaan (Effendi 2003).

Berdasarkan cara masuknya ke dalam lingkungan, polutan dikelompokkan menjadi polutan alamiah dan polutan antropogenik. Polutan alamiah adalah polutan yang masuk ke dalam lingkungan secara alami, misalnya akibat letusan gunung berapi. Pulutan antropogenik adalah polutan yang masuk ke lingkungan akibat aktivitas manusia, misalnya kegiatan domestik (rumah tangga), dan kegiatan industri.

2.2. Ekosistem Mengalir

Perairan sungai adalah suatu perairan yang dicirikan oleh arus yang relatif kencang. Perairan sungai biasanya terjadi percampuran massa air secara menyeluruh dan tidak terbentuk stratifikasi vertikal kolom air seperti pada perairan menggenang.


(19)

Menurut Welch (1952) ekosistem mengalir dicirikan dengan badan air yang bergerak atau mengalir secara berkesinambungan dengan arah terntentu. Sedangkan menurut Dodds (2002) sungai memiliki karakteristik yang bagus dalam hidrologi, karena ketertarikaan saat banjir, erosi, dan supply air. Sungai yang alami pada dasarnya merupakan refleksi dari proses vulkanik yang bersangkutan dengan transpor air dan material (Reid 1961). Kecepatan arus, erosi, dan sedimentasi merupakan fenomena umum yang terjadi di sungai sehingga kehidupan flora dan fauna pada sungai sangat dipengaruhi ketiga variabel tersebut (Effendi 2003).

Menurut Reid (1961) berdasarkan faktor ekologi sungai dapat dibagi menjadi 3 bagian, yaitu :

- Hulu sungai. Bagian dasar sungai yang memiliki kemiringan yang cukup besar sehingga dicirikan dengan arus yang cepat. Substrat dasar biasanya terdiri dari batu dan kerikil, namun pada arus yang lambat (pools) ditemukan juga substrat detritus organik yang sedikit dan pasir.

- Tengah sungai. Bagian dasar sungai yang memiliki kemiringan yang tidak terlalu besar sehingga dicirikan dengan arus yang lebih lambat dibandingkan daerah hulu. Substrat dasarnya terdiri dari material kasar seperti pasir, namun pada bagian sungai yang sedikit tergenang (pools) dan pinggiran sungai ditemukan lumpur.

- Hilir sungai. Bagian sungai yang terletak di mulut sungai dengan substrat dasarnya terdiri dari lumpur dan detritus organik. Pada bagian ini ditandai dengan adanya semak-semak dan rawa.

2.3. Parameter Fisika

2.3.1. Padatan tersuspensi total (Total Suspended Solid- TSS) dan kekeruhan

Padatan total, sebagian besar terdiri dari bikarbonat yang merupakan anion utama di perairan yang telah mengalami transformasi menjadi karbondioksida, sehingga karbondioksida dan gas-gas laiin tidak termasuk dalam padatan total saat pemanasan (Boyd 1988). Menurut APHA (2005) padatan total adalah bahan yang tersisa setelah air sampel mengalami evaporasi dan pengeringan pada suhu tertentu. Sedangkan padatan tersuspensi total (Total Suspended Solid) merupakan bahan-bahan partikel renik yang melayang atau tercampur dalam air dan jika disaring


(20)

dengan kertas saring yang mempunyai pori-pori berdiameter 0.45 μm akan tertahan (Effendi 2003). Tinggi rendahnya nilai padatan tersuspensi tidak selalu diikuti oleh tinggi rendahnya nilai kekeruhan secara linier, karena pengukuran kekeruhan didasarkan pada banyaknya cahaya yang tersisa setelah diserap oleh bahan-bahan yang terkandung dalam air, sedangkan padatan tersuspensi didasarkan atas bobot residu dari bahan-bahan yang terkandung dalam air sebagai suspensi (Widigdo 2001 in Feriningtyas 2005).

Alabaster dan Lloyd (1982) in Effendi (2003) mengkategorikan kesesuaian perairan untuk kepentingan perikanan berdasarkan nilai padatan tersuspensi total menjadi 4 kelompok dalam Tabel 1.

Tabel 1. Kesesuaian perairan untuk kepentingan perikanan berdasarkan nilai padatan tersuspensi .

Sumber : Alabaster dan Lloyd 1982 in Effendi 2003

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2001 dengan kriteria baku mutu air kelas I, yaitu perairan tawar yang diperuntukkan sebagai air baku air minum dan kelas III, yaitu perairan tawar yang diperuntukkan bagi kepentingan perikanan, peternakan, dan pertanaman harus memiliki nilai padatan tersuspensi (Total Suspended Solid) dibawah 50 mg/l dan 400 mg/l.

Kekeruhan menggambarkan sifat optik air yang ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat didalam air (Effendi 2003). Kekeruhan adalah kondisi yang dihasilkan air dari adanya bahan tersuspensi di perairan. Secara umum kekeruhan air akan terjadi jika beban dari padatan tersuspensi banyak. Kekeruhan sungai yang berada didaerah pegunungan hulu memiliki nilai yang sangat rendah dibandingkan sungai yang berada di hilir (Welch 1952). Sedangkan menurut Reid (1961) di sungai yang rendah, kekeruhan menjadi lebih dominan dan menjadi fitur karakteristik pada sebagian besar sungai. Bergantung pada sifat kimia alami dari material tersuspensi

Nilai TSS (mg/liter) Pengaruh terhadap kepentingan perikanan

<25 Tidak berpengaruh

25 – 80 Sedikit berpengaruh

81 – 400 Kurang baik bagi perikanan


(21)

dan ukuran partikel, warna sungai dapat berkisar mendekati putih, merah dan coklat. Di sungai yang kekeruhannya tidak terlalu banyak, plankton dapat berkembang dan membuat warna sungai menjadi kehijauan.

Menurut Mason (1981) nilai kekeruhan dapat menunjukan kandungan bahan tersuspensi dan koloid yang terdapat pada perairan sungai. Kekeruhan di sungai terutama disebabkan oleh adanya erosi dari daratan yang terbawa masuk ke sungai. Kekeruhan dapat menghalangi penetrasi cahaya matahari kedalam perairan sehingga dapat mengganggu proses fotosintesis. Menurut Effendi (2003), padatan tersuspensi berkolerasi positif dengan kekeruhan. Semakin tinggi nilai padatan tersuspensi, nilai kekeruhan juga semakin tinggi. Akan tetapi, tingginya nilai kekeruhan tidak selalu diikuti dengan tingginya padatan terlarut.

2.3.2. Padatan terlarut total (Total Dissolved Solid - TDS)

Padatan terlarut total (Total Dissolved Solid) adalah bahan-bahan terlarut (diameter 10-6 mm) dan koloid (diameter 10-6 mm – 10-3 mm) yang berupa senyawa-senyawa kimia dan bahan-bahan lain, yang tidak tersaring pada kertas saring

berdiameter 0,4μm (Rao 1992 in Effendi 2003). Nilai padatan terlarut total perairan sangat dipengaruhi oleh pelapukan batuan, limpasan dari tanah, dan pengaruh antropogenik (berupa limbah domestik dan industri) (Effendi 2003). Menurut Reid (1961) reaksi dan proses dari ion-ion dan materi organis di sungai berasal dari proses kimia dan biologi dan kondisi sungai tersebut. Air yang ada di sungai yang besar, secara umum memiliki keseragaman yang sama, begitu banyak sehingga secara kuantitatif, kandungannya menjadi bermakna.

Kandungan jumlah zat padatan terlarut berpengaruh terhadap kesadahan air yaitu garam-garam kalsium, sulfat dan klorida, semakin tinggi zat padatan terlarut di dalam air semakin tinggi pula nilai kesadahan dan kadar garamnya, sehingga akan menurunkan kandungan oksigen yang terlarut dalam air (Fardiaz 1992). Padatan terlarut total sangat bervariasi, tergantung pada karakteristik masukan ke sungai. Dalam hal ini, ekosistem lotik dan lentik mempunyai beberapa perbedaan yang umum. Pada kenyataannya keduanya saling mempengaruhi satu sama lain dikarenakan cara yang memungkinkan saling berhubungan seperti di inlet atau outlet (Welch 1952). Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2001 dengan


(22)

kriteria baku mutu air kelas I, yaitu perairan tawar yang diperuntukkan sebagai air baku air minum dan kelas III, yaitu perairan tawar yang diperuntukkan bagi kepentingan perikanan, peternakan, dan pertanaman harus memiliki nilai padatan terlarut total maksimal sebesar 1000 mg/l.

2.3.3. Suhu

Pada ekosistem lotik, fenomena temperatur biasanya berbeda dengan ekosistem lentik. Prinsipnya adalah (1) suhu cenderung sama di setiap kedalaman, bahkan di sungai yang dangkal, perbedaan suhu antara permukaan dan dasar diabaikan, (2) kecenderungan mengikuti suhu udara lebih dekat daripada di danau, (3) stratifikasi suhu hampir tidak ada. Beberapa prinsip dari keadaan utama terjadinya perbedaan suhu yaitu (1) kedalaman air, (2) kecepatan arus, (3) material dasar, (4) suhu masukan air dari anak sungai, (5) masuknya cahaya matahari, (6) tingkat penutupan sungai, (7) waktu harian (Welch 1952). Sedangkan menurut Reid (1961) sebagian besar faktor yang menetukan suhu adalah radiasi panas langsung dari matahari. Di sisi lain, suhu dari sungai merupakan sebuah ukuran dari aksi dan interaksi bebrapa faktor, seperti pada sungai yang berada di pegunungan memiliki suhu yang lebih sejuk dari substratnya, akibat dari bayangan vegetasi yang menutupinya. Sedangkan pada sungai yang berada di dataran rendah, lebih lebar dan dalam, sehingga air lebih terpapar oleh sinar matahari, dan menyimpan energi panas lebih besar.

Menurut Barus (2001) pola temperatur ekosistem air dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti intensitas cahaya penyinaran matahari, pertukaran panas antara air dengan udara sekelilingnya, ketinggian geografis, dan juga faktor canopy (penutupan oleh vegetasi). Moriber (1974) menyatakan bahwa peningkatan suhu menyebabkan penurunan daya larut oksigen dan juga akan menaikan daya racun polutan terhadap organisme perairan. Suhu optimal bagi ikan dan organisme makanannya adalah berkisar antara 25 – 30 °C (Boyd 1988). Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2001 dengan kriteria baku mutu air kelas I, yaitu perairan tawar yang diperuntukkan sebagai air baku air minum dan kelas III, yaitu perairan tawar yang diperuntukkan bagi kepentingan perikanan, peternakan, dan pertanaman harus memiliki nilai baku mutu suhu dengan deviasi 3oC.


(23)

2.3.4. Kecepatan arus

Kecepatan arus dari suatu badan air sangat berpengaruh terhadap kemampuan badan air untuk mengasimilasi dan mengangkut bahan pencemar (Effendi 2003). Kecepatan arus dipengaruhi oleh perbedaan gradien ketinggian antara hulu dan hilir. Apabila perbedaan ketinggian cukup besar maka arus semakin deras. Kecepatan arus adalah faktor penting diperairan. Kecepatan arus yang besar (>5m/detik) mengurangi jenis flora yang dapat tinggal sehingga hanya jenis yang melekat saja yang tahan terhadap arus dan tidak mengalami kerusakan fisik.

2.3.5. Debit air

Menurut Seyhan (1990) debit air merupakan volume air yang mengalir melalui suatu irisan melintang dalam satu satuan waktu. Adanya aktivitas manusia yang menggunakan lahan disekitar sungai dan curah hujan mempengaruhi debit air. Semakin tinggi curah hujan dan masukan air dari aktivitas manusia semakin tinggi pula debit airnya. Sedangkan bila curah hujan dan masukan air dari aktivitas manusia rendah maka rendah pula debit airnya. Debit air yang meningkat, akan meningkatkan kadar bahan-bahan alam terlarut secara eksponensial (Effendi 2003) Menurut Efffendi (2003) konsentrasi bahan-bahan antropogenik yang memasuki badan air mengalami penurunan dengan meningkatnya debit badan air karena terjadi proses pengenceran.

Debit sungai dapat juga diperoleh dari permukaan air sungai. Dalam persoalan pengendalian sungai, permukaan air sungai yang sudah dikorelasikan dengan curah hujan dapat membantu mengadakan data untuk pengelakan banjir, peramalan banjir, pengendalian banjir dengan bendungan. Dalam usaha pemanfaatan air, permukaan air sungai dapat juga digunakan untuk mengetahui secara umum banyaknya air sungai yang tersedia, penentuan kapasitas bendungan dan seterusnya (Mori 2003).


(24)

2.4. Parameter Kimia 2.4.1. pH

Nilai pH suatu perairan mencirikan keseimbangan antara asam dan basa dalam air dan merupakan pengukuran konsentrasi ion hidrogen dalam larutan (Saeni 1989). Menurut Reid (1961) peningkatan nilai pH dapat disebabkan peningkatan pada nilai total alkalinitas, dan penurunan karbondioksida. Sedangkan menurut APHA (2005) pada dasarnya asiditas menggambarkan kapasitas kuantitatif dari air untuk menetralkan basa hingga pH tertentu. Menurut Boyd (1982) sebagian besar perairan alami memiliki nilai pH berkisar antara 6.5 – 9, tetapi terdapat banyak pengecualian. Air yang masih segar dari pegunungan biasanya mempunyai pH yang lebih tinggi, makin ke hilir pH air akan menurun menuju suasana asam. Hal ini disebabkan oleh adanya penambahan peningkatan bahan-bahan organik yang terurai (Sastrawijaya 2000).

Aliran sungai relatif tidak larut terhadap kandungan silika yang tinggi yang bersifat lembut, karena terdapat kandungan bikarbonat yang cukup untuk menjadi buffer dari perubahan pH yang disebabkan oleh karbondioksida. Berdasarkan karbondioksida, bikarbonat, dan karbonat, dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan dengan pH, yaitu 1) nilai pH berbanding terbalik dengan konsentrasi karbondioksida terlarut, dan berhubungan langsung dengan konsentrasi bikarbonat; 2) nilai kritis yang berkaitan dengan ada atau tidak adanya karbondioksida bebas adalah pada pH 8, gas bebas tidak akan ada pada pH tersebut; 3) tidak adanya karbondioksida bebas tidak melimitkan proses fotosintesis dari alga dan tumbuhan tingkat tinggi, beberapa beradaptasi untuk mendapatkan karbondioksida dari karbonat, biasanya dihasilkan pada pH yang sangat tinggi (Reid 1961). Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2001 dengan kriteria baku mutu air kelas I, yaitu perairan tawar yang diperuntukkan sebagai air baku air minum dan kelas III, yaitu perairan tawar yang diperuntukkan bagi kepentingan perikanan, peternakan, dan pertanaman harus memiliki nilai pH berkisar dari 6 – 9.

2.4.2. Kebutuhan oksigen biokimiawi (Biochemical Oxygen Demand - BOD)

Kebutuhan oksigen biokimiawi atau Biochemical Oxygen Demand (BOD) merupakan jumlah oksigen dalam mg/l yang dibutuhkan oleh bakteri aerobik untuk


(25)

menguraikan dan menstabilkan sejumlah senyawa organik dalam air melalui proses oksidasi biologis aerobik (Buchari et al. 2001). Menurut Boyd (1988) BOD menunjukan jumlah oksigen yang dikonsumsi oleh proses respirasi mikroba aerob yang terdapat dalam botol BOD yang diinkubasi pada suhu sekitar 20 °C selama 5 hari, dalam keadaan tanpa cahaya. Sedangkan menurut Fardiaz (1992) nilai BOD tidak menunjukan jumlah bahan organik yang sebenarnya, tetapi hanya mengukur secara relatif jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan-bahan buangan. Perairan alami yang baik untuk perikanan memiliki nilai BOD yang berkisar pada 0.5 – 7.0 mg/l dan perairan dengan nilai BOD melebihi 10 mg/l dianggap telah mengalami pencemaran (Jeffries dan Mills 1996 in Effendi 2003).

Biochemical Oxygen Demand (BOD) merupakan salah satu indikator pencemaran organik. Perairan dengan nilai BOD5 tinggi mengindikasikan bahwa air

tersebut tercemar oleh bahan organik. Bahan organik akan distabilkan secara biologik dengan melibatkan mikroba melalui sistem oksidasi aerobik dan anaerobik. Oksidasi aerobik dapat menyebabkan penurunan kandungan oksigen terlarut diperairan sampai pada tingkat terendah, sehingga kondisi perairan menjadi anaerob yang dapat mengakibatkan kematian organisme akuatik. Lee et al. (1978) in Lestari (2004) menyatakan bahwa tingkat pencemaran suatu perairan dapat dinilai berdasarkan nilai BOD5-nya, seperti disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Status kualitas air berdasarkan nilai BOD

No Nilai BOD5 Status Kualitas Air

1 2,9 Tidak tercemar

2 3,0 – 5,0 Tercemar ringan

3 5,1 – 14,9 Tercemar sedang

4 15 Tercemar berat

Sumber : Lee et al. 1978 in Lestari 2004

Konsentrasi BOD berhubungan dengan proses dekomposisi khususnya terhadap sampah atau kotoran yang tergolong organik, yang menyebabkan beberapa bakteri membutuhkan sejumlah oksigen dalam air untuk melangsungkan proses aerobiknya pada sungai-sungai, terutama sungai dekat kota dan/atau pemukiman penduduk mengalami gangguan berupa masuknya sampah atau kotoran organik yang akan meningkatkan kebutuhan oksigen oleh bakteri dalam melakukan


(26)

dekomposisi bahan organik tersebut (Sarminah 2003). Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2001 dengan kriteria mutu air kelas I, yaitu perairan tawar yang diperuntukkan sebagai air baku air minum dan kelas III, yaitu perairan tawar yang diperuntukkan bagi kepentingan perikanan, peternakan, dan pertanaman harus memiliki nilai BOD dibawah 2 mg/l dan 6 mg/l.

2.4.3. Oksigen terlarut (DissolvedOxygen - DO)

Oksigen terlarut adalah konsentrasi oksigen yang terlarut dalam air. Tingkat kelarutan oksigen di perairan alami dan limbah berasal dr aktivitas fisika, kimia, dan biokimia di badan perairan (APHA 2005). Menurut Effendi (2003) kadar oksigen terlarut di perairan alami bervariasi tergantung pada suhu, salinitas, turbulensi air, dan tekanan atmosfer. Sedangkan menurut Reid (1961) terdapat tiga sumber utama oksigen, kontribusi masing-masing yang sama dan memang bervariasi dari waktu dalam sehari, cuaca, velocity dan morfologi sungai, suhu, dan karakteristik biologi. Kelarutan oksigen di air sangat dipengaruhi oleh suhu, salinitas, tekanan parsial gas-gas yang ada di udara atau di air serta keberadaan unsur-unsur atau senyawa yang mudah teroksidasi yang terdapat di air (Wardoyo 1975). Prinsip dari kelarutan oksigen adalah (1) berasal langsung dari atmosfer yang terdifusi di permukaan perairan, (2) berasal dari hasil fotosintesis tumbuhan berklorofil. Penurunan oksigen diperairan dapat berasal dari aktivitas respirasi hewan dan tanaman, dekomposisi bahan organik, reduksi gas, pengurangan oksigen secara otomatis pada lapisan epilimnion, inflow, dan aktivitas panas (Welch 1952). Hilangnya oksigen di perairan, selain akibat respirasi hewan dan tumbuhan, disebabkan juga oleh mikroba yang menggunakan oksigen untuk oksidasi bahan organik (Boyd 1988).

Menurut Buchari et al. (2001) bila bahan-bahan organik yang mencemari badan air cukup banyak maka jumlah oksigen yang dikonsumsi untuk menguraikan bahan-bahan tersebut semakin banyak pula sehingga kandungan oksigen terlarut dalam air turun sampai sedemikian rendah. Brown (1987) menyatakan dengan bertambahnya ketinggian, akan menyebabkan tekanan udara dan suhu perairan akan menjadi lebih rendah. Hal tersebut dapat mempengaruhi kelarutan oksigen dalam perairan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2001 dengan kriteria mutu air kelas I, yaitu perairan tawar yang diperuntukkan sebagai air baku air


(27)

minum dan kelas III, yaitu perairan tawar yang diperuntukkan bagi kepentingan perikanan, peternakan, dan pertanaman harus memiliki nilai oksigen terlarut diatas 6 mg/l dan 4 mg/l.

2.4.4. Nitrogen (Nitrat-Nitrogen, Nitrit-Nitrogen, dan Amonia-Nitrogen)

Nitrogen merupakan nutrien makro bagi pertumbuhan alga yang selalu hadir di perairan umum. Meskipun nitrogen ditemukan dalam jumlah berlimpah di lapisan atmosfer, akan tetapi nitrogen harus difiksasi terlebih dahulu menjadi senyawa NH3,

NH4+, dan NO3- agar bisa dimanfaatkan oleh tumbuhan dan hewan perairan (Saeni

1998). Senyawa nitrogen merupakan senyawa yang penting dalam menyintesis dan menghasilkan protein yang selanjutnya bersama karbohidrat dan lemak menjadi sebagian besar substansi di lingkungan hidup. Senyawa nitrogen secara normal menunjukan fluktuasi yang menonjol dan variasi yang nyata di sepanjang gradien sungai yang kecil (Reid 1961).

Nitrat – Nitrogen (NO3– N) adalah bentuk nitrogen utama di perairan alami.

Secara umum jumlah nitrat di perairan tetapi bisa lebih tinggi di bebrapa air tanah. Nitrat hanya ditemukan dalam jumlah kecil di limbah domestik yang masih baru tetapi pada effluent dari biologi nitrifikasi pada pengolahan tanaman, nitrat bisa ditemukan hingga 30 mg nitrat sebagai nitrogen/L (APHA 2005). Effendi (2003) menyatakan bahwa kadar nitrat lebih dari 5 mg/l menggambarkan terjadinya pencemaran antropogenik yang berasal dari kegiatan manusia serta tinja hewan. Kadar nitrat – nitrogen yang lebih dari 2 mg/l akan menyebabkan terjadinya eutrofikasi, selanjutnya akan merangsang pertumbuhan algae dan tumbuhan air secara pesat (blooming). Nitrifikasi yang merupakan proses oksidasi amonia menjadi nitrit dan nitrat adalah proses yang penting dalam siklus nitrogen dan berlangsung dalam proses aerob (Effendi 2003). Menurut Reid (1961) keberadaan nitrat di perairan yang tidak tercemar sangat kecil, hanya sekitar 0,30 ppm. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2001 dengan kriteria mutu air kelas 1, yaitu perairan tawar yang diperuntukkan sebagai air baku air minum dan kelas III, yaitu perairan tawar yang diperuntukkan bagi perikanan, peternakan, dan pertanaman harus memiliki nilai nitrat – nitrogen dibawah 10 mg/l dan 20 mg/l.


(28)

Nitrit – nitrogen (NO2 – N) biasanya ditemukan dalam jumlah yang sangat

sedikit, lebih sedikit daripada nitrat, dikarenakan bersifat tidak stabil dengan keberadaan oksigen. Nitrit merupakan bentuk peralihan antara amonia dan nitrat. Sumber nitrit dapat berasal dari limbah industri dan limbah domestik. Keberadaan nitrit menggambarkan berlangsungnya proses biologis perombakan bahan organik yang memiliki kadar oksigen terlarut yang sangat rendah (Effendi 2003). Menurut APHA (2005) nitrit juga merupakan bentuk peralihan dari tahap oksidasi nitrogen, yaitu amonia menjadi nitrat dan reduksi nitrat. Nitrit dapat masuk ke perairan karena korosi berasal dari industri. Menurut Reid (1961) nitrit selalu terjadi perubahan kuantitas di setiap menitnya, pada perairan yang tidak tercemar. Nitrit dapat dirubah dalam proses reduksi nitrat dan sangat memungkinkan terdapat banyak kandungan nitrit di sebagaian besar perairan alami yang berasal dari proses ini, daripada proses oksidasi amonia. Keberadaan nitrit berasal dari reduksi nitrat melalui bakteri anaerob di air. Ketidakseimbangan reaksi nitrifikasi berdampak pada terakumulasinya senyawa nitrit (Boyd 1982). Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2001 dengan kriteria mutu air kelas 1, yaitu perairan tawar yang diperuntukkan sebagai air baku air minum dan kelas III, yaitu perairan tawar yang diperuntukkan bagi perikanan, peternakan, dan pertanaman harus memiliki nilai nitrit – nitrogen dibawah 0,06 mg/l.

Amonia – nitrogen (NH3 – N) dan garam – garamnya bersifat mudah larut dalam air (Effendi 2003). Amonia keberadaan secara natural di permukaan dan limbah konsentrasinya sangat rendah di air tanah karena terserap pada partikel, tanah (APHA 2005). Kadar amonia pada perairan alami biasanya lebih dari 0,1 mg/l. Kadar amonia bebas yang melebihi 0,2 mg/l bersifat toksik bagi beberapa jenis ikan. Sumber amonia di perairan adalah pemecahan nitrogen organik dan nitrogen anorganik yang terdapat didalam tanah dan air, yang berasal dari dekomposisi bahan organik oleh mikroba dan jamur. Kadar amonia yang tinggi dapat merupakan indikasi adanya pencemaran bahan organik yang berasal dari limbah domestik, industri, dan limpasan pupuk pada pertanian. Amonia di perairan dapat menghilang melalui proses volatilisasi karena tekanan parsial amonia dalam larutan meningkat dengan meningkatnya pH (Effendi 2003). Nitrogen dalam bentuk amonia terdapat di sungai dari aktivitas dekomposisi bahan organik. Pada sungai yang tidak tercemar


(29)

konsentrasinya kecil, yaitu dibawah 1 ppm. Pencemaran dapat meningkatkan nilai amonia, dan dalam batas tertentu dapat meningkatkan produktivitas biologi. Nilai amonia yang tinggi dapat diduga dari dekomposisi protein tanaman dan hewan.

Keberadaan amonia bebas tergantung pada pH dan suhu yang berkesimbangan dengan amonium. Amonia bebas yang tinggi sangat toksik bagi kehidupan ikan, tetapi ion amonium cenderung tidak toksik. Penjumlahan dari jumlah amonia bebas dan amonium adalah total amonia nitrogen (Boyd 1982). Proporsi dari amonia bebas semakin meningkat dengan meningkatnya pH dan suhu (Tabel 3) (Boyd 1988). Amonia lebih berbahaya ketika oksigen terlarut rendah, dan tingkat toksisitas amonia akan berkurang dengan meningkatnya konsentrasi karbondioksida (Boyd 1982). Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2001 dengan kriteria mutu air kelas 1, yaitu perairan tawar yang diperuntukkan sebagai air baku air minum dan kelas III, yaitu perairan tawar yang diperuntukkan bagi kepentingan perikanan, peternakan, dan pertanaman harus memiliki nilai amonia – nitrogen kurang dari 0,5 mg/l dan 0,02 mg/l (bagi kegiatan perikanan yang peka terhadap amonia).

Tabel 3. Presentasi amonia bebas dalam perairan pada suhu dan pH berbeda

pH

Temperatur (°C)

16 18 20 22 24 26 28 30 32

7,0 0,30 0,34 0,40 0,46 0,52 0,60 0,70 0,81 0,95

7,2 0,47 0,54 0,63 0,72 0,82 0,95 1,10 1,27 1,50

7,4 0,74 0,86 0,99 1,14 1,30 1,50 1,73 2,00 2,36

7,6 1,17 1,35 1,56 1,79 2,05 2,35 2,72 3,13 3,69

7,8 1,84 2,12 2,45 2,80 3,21 3,68 4,24 4,88 5,72

8,0 2,88 3,32 3,83 4,37 4,99 5,71 6,55 7,52 8,77

8,2 4,49 5,16 5,94 6,76 7,68 8,75 10,00 11,41 13,22

8,4 6,93 7,94 9,09 10,30 11,65 13,20 14,98 16,96 19,46

8,6 10,56 12,03 13,68 15,40 17,28 19,42 21,83 24,45 27,68

8,8 15,76 17,82 20,08 22,38 24,88 27,64 30,68 33,90 37,76

9,0 22,87 25,57 28,47 31,37 34,42 37,71 41,23 44,84 49,02

9,2 31,97 35,25 38,69 42,01 45,41 48,96 52,65 56,30 60,38

9,4 42,68 46,32 50,00 53,45 56,86 60,33 63,79 67,12 70,72

9,6 54,14 57,77 61,31 64,54 67,63 70,67 73,63 76,39 79,29

9,8 65,17 68,43 71,53 74,25 76,81 79,25 81,57 83,68 85,85

10,0 74,78 77,46 79,92 82,05 84,00 85,82 87,52 89,05 90,58


(30)

2.4.5. Total fosfat

Fosfat merupakan salah satu nutrien makro bagi pertumbuhan alga diperairan. Menurut Dodds (2002) fosfat merupakan zat yang dominan dalam bentuk fosfor inorganik di perairan alami, tetapi keberadaannya sering dibawah pendeteksian. Fosfat merupakan bentuk fosfor yang dapat dimanfaatkan oleh tumbuhan. Sumber fosfat dalam perairan dapat berasal dari pelapukan batuan mineral, dekomposisi bahan organik, pupuk buatan (limbah pertanian), limbah industri, limbah rumah tangga, detergen, dan mineral-mineral fosfat (Saeni 1989). Fosfor bebas tidak ada di alam namun dalam bentuk fosfat. Kurang lebih ada 0,12 % fosfor yang ada di bumi dalam kombinasi fosfat (Welch 1952). Sedangkan menurut Boyd (1988) kadar fosfor total pada perairan alami jarang melebihi 1 mg/l. Total fosfat terbagi dalam dua komponen yaitu fosfor yang larut dalam bentuk fosfat dan fosfor organik yang terdapat pada plankton dan bahan organik yang lain (Welch 1952). Fosfat yang berikatan dengan ferri bersifat tidak larut dan mengendap di dasar perairan. Pada saat terjadi kondisi anaerob, ion besi bervalensi 3 (ferri) ini mengalami reduksi menjadi ion besi valensi dua (ferro) yang bersifat larut dan melepas fosfat ke perairan, sehingga meningkatkan keberadaan fosfat di perairan (Brown 1987).

Fosfat di sungai berasal dari proses biologi maupun kimia disepanjang aliran sungai. Selama musim panas, konsentrasi dari fosfat inorganik dapat agak meningkat, disebabkan oleh kegiatan biologi (Reid 1961). Menurut Effendi (2003) pada kerak bumi, keberadaan fosfor relatif kecil dan mudah mengendap. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2001 dengan kriteria mutu air Kelas 1, yaitu perairan tawar yang diperuntukkan sebagai air baku air minum dan Kelas III, yaitu perairan tawar yang diperuntukkan bagi kepentingan perikanan, peternakan, dan pertanaman harus memiliki nilai total fosfat dibawah 0,2 mg/l dan 1 mg/l.


(31)

3.

METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian

Pengambilan contoh air dilakukan pada bulan April sampai dengan Mei 2012. Lokasi penelitian di Way Perigi, Kecamatan Labuhan Maringgai, Kabupaten Lampung Timur dari hulu berupa mata air yang berada di Desa Maringgai, hingga hilir berupa muara sungai di Desa Muara Gading Mas. Pengambilan contoh air dilakukan sebanyak 3 kali pengambilan contoh dengan jarak waktu pengambi1an selama 1 minggu.

3.2. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian adalah botol sampel, pH stik, termometer, ice box, botol BOD, aerator, syiringe, pompa vakum, labu takar, gelas ukur, erlenmeyer, bulb, gelas arloji, pipet, timbangan, hotplate, desikator, oven, TDS meter, dan inkubator.

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian diantaranya adalah es (pendingin sampel), akuades, kertas saring membran whatman 934-AH, akuabides, HCL bilas, pereaksi NH3-N, NO2-N, NO3-N, DO, BOD, dan total fosfat.

.

3.3. Metode Pengambilan Contoh 3.3.1. Penentuan lokasi

Penentuan lokasi pengambilan contoh fisika dan kimia air didasarkan pada kegiatan dan lahan yang digunakan untuk menghasilkan bahan organik yang dibuang ke sungai. Oleh karena itu ditetapkan 3 titik stasiun di Way Perigi seperti pada Gambar 2.

Stasiun I terletak di Desa Maringgai, Kecamatan Labuhan Maringgai, Kabupaten Lampung Timur. Stasiun I merupakan hulu dari Way Perigi yang berupa mata air dan biasa digunakan masyarakat untuk kegiatan mandi dan cuci serta sebagai sumber air minum. Stasiun II merupakan bagian tengah sungai, biasanya digunakan masyarakat sekitar untuk kegiatan mandi, cuci, dan kakus (MCK), dan


(32)

pembuangan limbah rumah tangga serta limbah industri rumah tangga. Stasiun III merupakan bagian hilir sungai yang masih tawar, masyarakat menggunakannya untuk kegiatan MCK, dan perladangan.

Gambar 2. Sketsa Lokasi Penelitian, Stasiun 1, Stasiun 2, dan Stasiun 3 di Way Perigi

Sumber : Badan Pembangunan Daerah Provinsi Bandar Lampung

3.3.2. Pengambilan dan penanganan air contoh

Kegiatan di lapangan meliputi pengukuran secara in situ parameter fisika-kimia air dan pengambilan contoh air yang akan diteliti. Kemudian analisis contoh air dilakukan di Laboratorium Fisika-Kimia Perairan, Bagian Produktivitas dan Lingkungan Perairan, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Pengambilan contoh air untuk parameter fisika-kimia dibagi menjadi 3 substasiun secara melintang yaitu di kedua bagian tepi dan bagian tengah. Untuk penanganan contoh air dilakukan dengan menggunakan botol contoh air, kemudian


(33)

ditutup rapat dan dimasukkan ke dalam ice box yang berisi es batu. Contoh air yang sudah diambil kemudian dimasukkan ke dalam botol contoh berukuran 250 ml dan diawetkan dengan menggunakan H2SO4 pekat sebanyak 0,3 ml (6 tetes) untuk

analisa nitrat dan amonia. Pada analisa total fosfat, contoh air disimpan dalam suhu 4oC dan tidak menggunakan pengawet.

Parameter kualitas air yang dianalisis di lapangan adalah suhu, kecepatan arus, debit air, dan oksigen terlarut. Contoh air yang dianalisis di laboratorium adalah kekeruhan, TDS, TSS, BOD5, NO3-N, NH3-N, dan total fosfat. Metode/alat

pengukuran terhadap parameter kualitas air yang terkait dengan penelitian dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Paramater fisika-kimia perairan yang diamati beserta metode/alat yang digunakan (APHA 2005).

No Parameter Satuan Alat/Metode Analisis

A. Fisika

1 Suhu oC Termometer/pemuaian In situ

2 Kekeruhan NTU Turbiditimeter/nephelometric Laboratorium

3 Arus m/detik Pelampung, stopwatch/visual In situ

4 TSS mg/l Filter/gravimetrik Laboratorium

5 TDS mg/l Filter/gravimetrik Laboratorium

6 Debit air m3/detik Perhitungan In situ

B. Kimia

1 pH - pH meter/potensiometer In situ

2 DO mg/l Alat titrasi/modifikasi Winkler In situ

3 BOD5 mg/l Alat titrasi/modifikasi Winkler

dengan inkubasi 5 hari

Laboratorium

4 NO3-N mg/l Spektrofotometer/metode Brucine Laboratorium

5 NH3-N mg/l Spektrofotometer/metode Phenate Laboratorium

6 NO2-N mg/l Spektrofotometer/metode

Colorimetri

Laboratorium

7 TP mg/l Spektrofotometer/metode Ascorbic

Acid

Laboratorium

Keterangan : TSS = total suspended solid; TDS = total dissolved solid; DO = dissolved oxygen; BOD5 = 5-day biochemical oxygen demand; NO3-N = nitrat nitrogen; NO2-N =

nitrit nitrogen; NH3-N = amonia nitrogen; TP = total pospat

3.4. Karakteristik Sungai 3.4.1. Lebar sungai

Penentuan lebar sungai pada setiap stasiun dilakukan dengan cara membentangkan roll meter secara melintang dari bagian kiri sampai kanan sungai yang masih terdapat aliran. Penentuan lebar sungai dari masing-masing stasiun dilakukan sebanyak 3 kali ulangan yang membentang searah aliran sungai sepanjang


(34)

10 meter, dan pembagian ulangan tersebut ditentukan berdasarkan interval 2 meter (0 meter, 2 meter, dan 4 meter)

3.4.2. Kedalaman air

Pengukuran kedalaman perairan dilakukan sebanyak tiga titik yaitu di kedua tepi dan tengah sungai secara melintang. Pengukuran ini dilakukan secara langsung dengan menggunakan bambu berskala yang di celupkan sampai kedasar perairan.

3.4.3. Kecepatan arus

Pengukuran kecepatan arus pada masing-masing stasiun dilakukan secara melintang di pinggir kiri, tengah, dan kanan sungai dengan menggunakan bola ping-pong yang diikatkan sepanjang 2 meter. Setelah itu, bola tersebut dihanyutkan mengikuti aliran sungai dan dicatat waktu yang diperlukan bola tersebut untuk mencapai jarak 2 meter. Berikut perhitungan kecepatan arus :

V = 2 � �

Keterangan :

V : kecepatan arus (m/detik)

t : waktu yang diperlukan untuk mencapai jarak 2 meter (detik)

3.4.4. Debit air

Perhitungan debit air dilakukan dengan cara mengetahui dan mengukur nilai kecepatan arus, kedalaman, dan lebar sungai. Setelah itu, perhitungan debit air dilakukan dengan mengalikan luas penampang dengan kecepatan arus. Dalam hai ini luas penampang didapat dari perkalian kedalaman dengan lebar sungai. Kemudian perhitungan debit dilakukan dengan menggunakan rumus menurut Jeffries dan Mills (1996) in Effendi (2003) adalah sebagai berikut :


(35)

D = v x A = v x (d x w)

Keterangan :

D : debit air (m3/detik) v : kecepatan arus (m/detik) A : luas penampang (m3) d : kedalaman (m) w : lebar sungai (m)

3.5. Analisis Data

Hasil analisis yang dihasilkan, dibandingkan dengan baku mutu air berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2001 dengan kriteria baku mutu air kelas I, yaitu perairan tawar yang diperuntukkan sebagai air baku air minum dan kelas III, yaitu perairan tawar yang diperuntukkan bagi kepentingan perikanan, peternakan, dan pertanaman. Baku mutu air kelas I hanya digunakan pada stasiun 1 saja, karena mata air digunakan sebagai air minum oleh masyarakat setempat. Selanjutnya dianalisis dengan menggunakan Indeks STORET dan Indeks Pencemaran.

3.5.1. Indeks STORET

Analisis data kualitas air dengan metode STORET (Storage and Retrieval) adalah untuk mengetahui tingkat mutu kualitas perairan setiap titik lokasi dan setiap waktu pengamatan yang dilakukan melalui beberapa tahapan sebagai berikut :

1. Melakukan pengumpulan data kualitas air secara periodik sehingga membentuk data dari waktu ke waktu (time series data).

2. Membandingkan data hasil pengukuran dari masing-masing parameter air dengan nilai baku mutu yang sesuai dengan peruntukannya.

3. Jika hasil pengukuran memenuhi baku mutu maka diberi skor 0.

4. Jika hasil pengukuran tidak memenuhi baku mutu maka diberi skor tertentu sesuai dengan sistem skor pada Tabel 5.


(36)

Tabel 5. Penetuan sistem nilai untuk menentukan status mutu air (Canter 1997 in KepMen LH No 115 tahun 2003)

Jumlah contoh *)

Nilai Parameter

Fisika Kimia Biologi

<10

Maksimum -1 -2 -3

Minimum -1 -2 -3

Rata-rata -3 -6 -9

>10

Maksimum -2 -4 -6

Minimum -2 -4 -6

Rata-rata -6 -12 -18

Keterangan *) : jumlah pengamatan (series data) yang digunakan untuk penentuan status mutu air.

5. Jumlah skor dari jumlah contoh pengamatan < 10 pada setiap parameter dijumlahkan, selanjutnya dari total skor dapat ditentukan status mutu perairan dengan menggunakan sistem skor untuk mengetahui status mutu air pada tabel 6.

Tabel 6. Penentuan status mutu air berdasarkan Indeks STORET

Skor Kriteria

0 Memenuhi baku mutu

-1 s.d -10 Tercemar ringan

-11 s.d -30 Tercemar sedang

-31 Tercemar berat

3.5.2. Indeks Pencemaran

Indeks Pencemaran digunakan untuk menentukan tingkat pencemaran relatif terhadap parameter kualitas air yang diizinkan (Nemerow 1974 in KepMen LH no.115 Tahun 2003). Pengelolaan kualitas air dengan menggunakan Indeks Pencemaran dapat memberi masukan pada penilaian terhadap kualitas suatu badan air untuk suatu peruntukan serta melakukan tindakan untuk memperbaiki kualitas air jika terjadi pencemaran.

Prosedur dalam penggunaan Indeks Pencemaran adalah sebagai berikut : Jika Lij menyatakan konsentrasi parameter kualitas air yang dicantumkan dalam baku mutu peruntukkan air (j), dan Ci menyatakan konsentrasi parameter kualitas air (i) yang diperoleh dari hasil analisis contoh air pada suatu lokasi


(37)

pengambilan contoh dari suatu alur sungai, maka Pij adalah Indeks Pencemaran bagi peruntukan (j) yang merupakan fungsi dari Ci/Lij. Harga Pij ditentukan dengan cara:

1. Memilih parameter yang terdapat pada baku mutu yang dijadikan acuan. 2. Menghitung harga Ci/Lij untuk tiap parameter pada setiap lokasi

pengambilan contoh air.

3a. Jika nilai konsentrasi parameter yang menurun menyatakan tingkat pencemaran meningkat, misal DO, tentukan nilai teoritik atau nilai maksimum Cim (misal untuk DO, maka Cim adalah nilai DO jenuh). Dalam kasus ini nilai Ci/Lij hasil pengukuran digantikan oleh nilai Ci/Lij hasil perhitungan :

(Ci/Lij)baru = � −�(ℎ� �� � � )

� −

3b. Jika nilai baku mutu memiliki rentang : - Untuk Ci < Lij rata-rata

(Ci/Lij)baru = [� −( ) � � − � �]

[ − � � − � �]

- Untuk Ci > Lij rata-rata

(Ci/Lij)baru = [� −( ) � � − � �]

[ � − � � − � �]

4.Harga Pij

Pij =

(� ) 2−(� )2 2

Tabel 7. Penentuan status mutu air berdasarkan Indeks Pencemaran

Skor Kriteria

0 ≤Pij≤ 1,0 Kondisi baik

1,0 ≤Pij≤ 5,0 Tercemar ringan 5,0 ≤Pij≤ 10 Tercemar sedang


(38)

4.

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Kondisi Way Perigi

Pengamatan parameter fisika-kimia perairan Way Perigi, Kecamatan Labuhan Maringgai, Kabupaten Lampung Timur dilakukan sebanyak 3 kali pengambilan sample, yaitu sampling pertama pada hari Sabtu, 21 April 2012,sampling kedua pada hari Sabtu, 5 Mei 2012, dan sampling ketiga pada hari Sabtu, 19 Mei 2012. Ketiga sampling ini dilakukan pada musim peralihan antara kemarau dan penghujan. Pada sampling 1, kondisi pengambilan sample yaitu 1 hari setelah hujan, pada sampling 2, kondisi pengambilan sample yaitu cuaca panas terik, dan sampling 3, kondisi pengambilan sample yaitu hujan.

Way Perigi biasa digunakan masyarakat setempat sebagai tempat kegiatan MCK, budidaya ikan di hulu sungai, dan sebagian besar digunakan sebagai pengairan sawah. Oleh karena itu baku mutu yang digunakan untuk menentukan status mutu Way Perigi adalah menurut Peraturan Pemerintah RI No. 82 tahun 2001 kelas III tentang baku mutu air yang digunakan untuk pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut.

Pada sepanjang aliran Way Perigi, dari bagian hulu (Stasiun 1) yang berupa mata air hingga ke bagian tengah (Stasiun 2) yang terletak di pemukiman warga, terdapat aktivitas budidaya ikan dan mayoritas terdapat aktivitas persawahan. Sedangkan dari tengah sungai hingga ke hilir sungai (Stasiun 3) terdapat banyak aktivitas warga seperti kegiatan MCK, aktivitas persawahan, perkebunan sawit, dan terdapat pemukiman warga kembali di bagian hilir, namun tidak sebanyak pada bagian tengah sungai.

Bila dilihat dari hasil pengukuran parameter-parameter kualitas air perairan Way Perigi masih berada dalam kisaran yang diperbolehkan menurut Peraturan Pemerintah RI No. 82 tahun 2001 kelas III, namun pada bagian hulu sungai terdapat beberapa parameter yang melebihi baku mutu air menurut Peraturan Pemerintah RI No. 82 tahun 2001 kelas I . Hasil rata-rata pengukuran parameter fisika dan kimia pada perairan Way Perigi dapat dilihat pada Lampiran 1.


(39)

4.2. Parameter Fisika 4.2.1. Suhu

Berdasarkan hasil pengamatan selama penelitian, rataan nilai suhu di Way Perigi berkisar antara 27 oC sampai 30 oC. Hasil sebaran suhu pada stasiun 1 sampai stasiun 3, pada sampling 1 sampai sampling 3 bisa terlihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Sebaran rataan nilai suhu setiap stasiun selama pengamatan

Pada Gambar 3 mengenai grafik suhu dapat terlihat bahwa pada setiap stasiun dari hulu ke hilir, memiliki nilai suhu yang cenderung meningkat. Hal ini dikarenakan oleh salah satu faktor yaitu penutupan sungai oleh tumbuh-tumbuhan. Pada stasiun 1 yang berupa mata air terdapat pepohonan yang masih tergolong rimbun sehingga suhu cenderung lebih rendah, sedangkan pada stasiun 2 dan 3 faktor penutupan lebih rendah sehingga suhu cenderung lebih tinggi. Menurut Barus (2001) pola temperatur ekosistem air dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti intensitas cahaya matahari, pertukaran panas antara air dengan udara sekelilingnya, ketinggian geografis, dan juga faktor canopy (penutupan oleh vegetasi) dari pepohonan yang tumbuh di tepi. Selain faktor penutupan canopy, cuaca saat pengambilan sample juga mempengaruhi tinggi rendahnya suhu. Seperti pada sampling 3 suhu lebih rendah dikarenakan cuaca pengambilan sample adalah hujan, sedangkan pada sampling 2 suhu lebih tinggi, dikarenakan cuaca saat pengambilan sample adalah panas terik. Berdasarkan baku mutu PP RI no. 82 tahun 2001 kelas I dan kelas III, nilai yang diperbolehkan untuk suhu yaitu sebesar deviasi 3oC dari keadaan alamiahnya, sehingga nilai suhu dari ketiga stasiun selama pengamatan di Way Perigi, dapat dikatakan masih dalam kisaran yang baik.

25 26 27 28 29 30 31

stasiun 1 stasiun 2 stasiun 3

Su

hu

(

°

C) Sampling 1

Sampling 2 Sampling 3 Rata-rata


(40)

4.2.2. Padatan tersuspensi total (Total Suspended Solid- TSS) dan kekeruhan

Berdasarkan hasil pengamatan selama penelitian, rataan nilai padatan tersuspensi total (Total Suspended Solid – TSS) di Way Perigi berkisar antara 3 mg/l sampai 24,33 mg/l. Hasil sebaran rataan nilai TSS di setiap stasiun selama pengamatan dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Sebaran rataan nilai TSS setiap stasiun selama pengamatan

Pada setiap stasiun dari hulu ke hilir selama waktu pengamatan memiliki nilai TSS yang semakin meningkat. Nilai TSS terrendah yaitu terdapat pada stasiun 1, hal ini dikarenakan stasiun 1 berupa mata air, sehingga tidak ada kegiatan pertanian maupun perikanan yang bisa meningkatkan nilai TSS. Selain itu tipe substrat berbatu pada stasiun 1, tidak menyebabkan nilai TSS yang terlalu tinggi. Nilai TSS tertinggi yaitu terdapat pada stasiun 3, hal ini dikarenakan stasiun 3 terletak di hilir sungai dan terdapat akumulasi bahan organik dari kegiatan antropogenik dan bahan tersuspensi dari kegiatan pertanian dan perikanan di sepanjang aliran sungai. Selain itu tipe substrat pada stasiun 2 dan 3 yang berupa lumpur, dapat menambah tingginya nilai TSS saat terjadi pengadukan dari arus maupun dari hujan. Nilai TSS dari Way Perigi yang masih bernilai kurang dari 25 mg/l, memiliki arti bahwa kandungan bahan-bahan tersuspensi di Way Perigi tidak berpengaruh pada kegiatan perikanan (Tabel 1)

Berdasarkan hasil pengamatan selama penelitian, rataan nilai kekeruhan di Way Perigi berkisar antara 0,19 NTU sampai 25,90 NTU. Hasil sebaran rataan nilai kekeruhan di setiap stasiun selama pengamatan dapat dilihat pada Gambar 5.

0 5 10 15 20 25 30

stasiun 1 stasiun 2 stasiun 3

T

SS

(m

g

/l) Sampling 1

Sampling 2 Sampling 3 Rata-rata


(41)

Gambar 5. Sebaran rataan nilai kekeruhan setiap stasiun selama pengamatan

Pada stasiun 1 dan 2, nilai kekeruhan tertinggi yaitu terdapat pada sampling 3. Hal ini dikarenakan cuaca saat pengambilan sample adalah hujan, sehingga disebabkan karena adanya lapisan tanah yang terbawa oleh aliran air (Effendi 2003). Pada setiap stasiun dari hulu ke hilir memiliki nilai kekeruhan yang semakin meningkat. Menurut Welch (1952) sungai yang berada di daerah pegunungan (hulu) memiliki nilai kekeruhan yang lebih rendah daripada sungai yang berada di daerah hilir. Hal tersebut dapat diduga dari penggunaan lahan sekitar sungai, yang berupa kegiatan pertanian (sawah dan ladang) dan limpasan tanah di sekitar sungai akibat hujan pada stasiun 2 dan 3, sedangkan pada stasiun 1 tidak ada kegiatan tersebut dan limpasan tanah dari hujan juga sedikit karena pepohonan yang masih rimbun dan tidak ada aktivitas pertanian disekitar mata air. Menurut Effendi (2003) nilai TSS berbanding lurus dengan nilai kekeruhan. Hal ini terbukti dengan regresi antara keduanya seperti pada Gambar 6.

Gambar 6. Hubungan antara nilai TSS dengan kekeruhan

0 5 10 15 20 25 30

stasiun 1 stasiun 2 stasiun 3

K ek er uh a n (NT U) Samping 1 Sampling 2 Sampling 3 Rata-rata

Y = 0,772x + 2,076 R² = 0,938

r = 0,968 0 5 10 15 20 25 30

0 5 10 15 20 25 30

T SS ( m g /l) Kekeruhan (NTU)


(42)

Berdasarkan regresi dari nilai TSS dengan kekeruhan, menyatakan bahwa nilai TSS dengan kekeruhan berhubungan erat, dibuktikan dengan nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0,938 dan nilai koefisien korelasi sebesar 0,968 atau 96,8 %. Nilai TSS berbanding lurus dengan nilai kekeruhan, semakin tinggi nilai kekeruhan maka semakin tinggi juga nilai TSS. Hal ini terbukti bahwa nilai TSS yang semakin tinggi pada setiap stasiunnya (Gambar 4), diiringi dengan nilai kekeruhan yang semakin tinggi (Gambar 5) juga pada setiap stasiunnya. Berdasarkan baku mutu air PP RI no.82 Tahun 2001 kelas I dan kelas III, nilai yang diperbolehkan untuk TSS adalah 50 mg/l dan 400 mg/l (Lampiran 2), sehingga dari ketiga stasiun pengamatan memiliki nilai TSS yang masih memenuhi kriteria baku mutu air.

4.2.3. Padatan terlarut total (Total Dissolved Solid- TDS)

Berdasarkan hasil pengamatan selama penelitian, rataan nilai padatan terlarut total (Total Dissolved Solid – TDS) di Way Perigi berkisar antara 76,67 mg/l sampai 140 mg/l. Hasil sebaran rataan nilai TDS di setiap stasiun selama pengamatan dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7. Sebaran rataan nilai TDS setiap stasiun selama pengamatan

Pada setiap stasiun pengamatan dari hulu ke hilir, diperoleh nilai TDS yang cenderung semakin menurun. Secara keseluruhan di setiap stasiun selama waktu pengamatan, nilai TDS tertinggi yaitu pada stasiun 1 dan terrendah yaitu pada

0 50 100 150

stasiun 1 stasiun 2 stasiun 3

T

DS (

m

g

/l) Sampling 1

Sampling 2 Sampling 3 Rata-rata


(43)

stasiun 3. Menurut Effendi (2003) nilai TDS sangat dipengaruhi oleh pelapukan batuan, limpasan dari tanah, dan pengaruh antropogenik. Oleh karena itu, nilai TDS tertinggi di stasiun 1, dapat diduga dari aktivitas pelapukan batuan yang berasal dari substrat yang berupa batuan, serta limpasan ion-ion yang berasal dari tanah dikarenakan pada stasiun 1 yaitu berupa mata air, sehingga air yang keluar dari dalam tanah lebih banyak membawa ion-ion terlarut di air. Nilai TDS pada stasiun 2 yang masih tergolong tinggi, dapat diduga dari aktivitas antropogenik karena lokasi pada stasiun 2 berupa pemukiman warga. Sedangkan nilai TDS terrendah terdapat pada stasiun 3, hal ini dapat diduga dari tidak adanya pelapukan batuan. Selain itu kandungan TDS yang rendah dapat diindikasikan bahwa ion-ion yang terlarut di air memiliki kandungan yang rendah. Berdasarkan baku mutu air PP RI no.82 Tahun 2001 kelas I dan kelas III, nilai yang diperbolehkan untuk TDS adalah 1000 mg/l (Lampiran 2), sehingga dari ketiga stasiun pengamatan memiliki nilai TDS yang masih memenuhi kriteria baku mutu air.

4.3. Parameter Kimia 4.3.1. pH

Berdasarkan hasil analisis insitu dari parameter pH, rataan nilai pH di Way Perigi berkisar antara 6,5 sampai 7,3. Sebaran nilai pH dapat terlihat pada Gambar 8.

Gambar 8. Sebaran rataan nilai pH setiap stasiun selama pengamatan

Pada setiap stasiun pengamatan nilai pH tidak terlalu berfluktuasi jauh. Nilai yang didapatkan cenderung sama pada setiap stasiun dan setiap sampling. Menurut

5 6 7 8 9

stasiun 1 stasiun 2 stasiun 3

pH

Sampling 1 Sampling 2 Sampling 3 Rata-rata


(44)

Sastrawijaya (2000) air yang masih segar dari pegunungan biasanya mempunyai pH yang lebih tinggi, semakin ke hilir pH air akan semakin asam, karena ada penambahan peningkatan bahan-bahan organik yang terurai. Berdasarkan baku mutu air PP RI no.82 Tahun 2001 kelas 1 dan kelas III, nilai yang diperbolehkan untuk pH yaitu berkisar antara 6 – 9 (Lampiran 2), sehingga nilai sebaran pH di ketiga stasiun pengamatan di Way Perigi memenuhi kriteria baku mutu.

4.3.2. Oksigen terlarut (Dissolved Oxygen- DO)

Berdasarkan hasil analisis oksigen terlarut atau DO, rataan nilai DO di Way Perigi berkisar antara 4,54 mg/l sampai 6,82 mg/l. Nilai sebaran DO seluruh stasiun pengamatan masih tergolong baik, terlihat pada Gambar 9.

Gambar 9. Sebaran rataan nilai DO setiap stasiun selama pengamatan

Pada setiap stasiun, nilai DO tertinggi yaitu saat sampling 3 dan terrendah saat sampling 2. Hal ini dikarenakan DO berkaitan dengan suhu, saat suhu tinggi pada sampling 2 (Gambar 3), maka nilai DO akan rendah dikarenakan banyak oksigen yang terlepas ke udara, begitu juga sebaliknya saat suhu rendah pada sampling 3 (Gambar 3), maka nilai DO akan tinggi. Pada masing-masing stasiun nilai DO tertinggi yaitu pada stasiun 2, hal ini dapat diduga dari arus sungai pada stasiun 2 yang lebih deras dibandingkan stasiun 1 dan 3 (Lampiran 1). Namun pada stasiun 1 saat sampling 1 dan 2, nilai DO berada dibawah baku mutu yang mengindikasikan kurang baik bagi air baku air minum. Hal ini dapat diduga dari

0 1 2 3 4 5 6 7 8

stasiun 1 stasiun 2 stasiun 3

DO

(

m

g

/l)

Baku mutu kelas I Baku mutu kelas III Sampling 1

Sampling 2 Sampling 3 Rata-rata


(45)

pengadukan di mata air yang tidak terlalu deras, sehingga nilai DO pun tidak terlalu tinggi, di tunjang dengan tingginya suhu yang tinggi.

Selain berkaitan dengan suhu dan arus, DO juga diduga dapat berkaitan dengan jumlah bahan-bahan organik yang mencemari badan perairan, semakin banyak bahan organik yang mencemari badan perairan maka semakin banyak pula oksigen yang dibutuhkan untuk menguraikan bahan organik tersebut sehingga kandungan oksigen menurun hingga sedemikian rupa (Buchari 2001). Berdasarkan baku mutu PP RI no.82 tahun 2001 kelas I dan kelas III, nilai DO sebaiknya yaitu ≥ 6 mg/l dan ≥ 3 mg/l (Lampiran 2), sehingga nilai sebaran DO di stasiun 1 berada di bawah baku mutu dan pada stasiun 2 dan 3 masih memenuhi kriteria baku mutu.

4.3.3. Kebutuhan oksigen biokimiawi (Biochemical Oxygen Demand- BOD)

Berdasarkan hasil analisis BOD, rataan nilai BOD di Way Perigi berkisar antara 2 mg/l sampai 6,1 mg/l. Nilai rataan BOD pada semua stasiun pengamatan dapat dilihat pada Gambar 10.

Gambar 10. Sebaran rataan nilai BOD setiap stasiun selama pengamatan

Nilai BOD yang dianalisis dari setiap stasiun selama pengamatan dari hulu ke hilir cenderung berfluktuasi. Namun secara keseluruhan, nilai BOD dari hulu ke hilir semakin meningkat. Tingginya nilai BOD di stasiun 3 dapat diduga dari penumpukan bahan organik yang berasal dari sepanjang aliran sungai sebelum titik stasiun 3, yang berasal dari kegiatan antropogenik. Pada sampling 3 nilai BOD

0.0 1.0 2.0 3.0 4.0 5.0 6.0 7.0

stasiun 1 stasiun 2 stasiun 3

B

O

D

(m

g

/l)

Sampling 1 Sampling 2 Sampling 3 Rata-rata

Baku mutu kelas I Baku mutu kelas III


(46)

sangat berfluktuasi, hal ini dapat diduga dari masukan bahan organik dari kegiatan antropogenik lebih tinggi pada saat sampling 3 di stasiun 3, karena waktu pengambilan yang berbeda pada setiap stasiunnya. Menurut Lee et al. in Lestari (2004) berdasarkan hasil nilai BOD yang bernilai kurang dari 2,9 mg/l hingga pada kisaran 5,1 – 14,9 mg/l mengindikasikan bahwa Way Perigi tergolong dalam status tidak tercemar hingga tercemar sedang (Tabel 2).

Nilai BOD ini tidak menunjukan jumlah bahan organik yang sebenarnya, tetapi hanya mengukur secara relatif jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan-bahan buangan (Fardiaz 1992). Berdasarkan baku mutu PP RI no. 82 tahun 2001 kelas 1 dan kelas III nilai yang diperbolehkan untuk BOD yaitu ≤ 2 mg/l dan ≤ 6 mg/l (Lampiran 2). Sehingga nilai sebaran BOD pada stasiun 1 melebihi nilai BOD yang diperbolehkan untuk air baku air minum, kecuali saat sampling 2. Hal ini dapat diduga dari pengadukan bahan organik akibat hujan dan masukan bahan organik yag lebih besar pada stasiun 1 saat sampling 1 dan 3. Sedangkan pada stasiun 2 dan 3 nilai BOD memenuhi kriteria baku mutu kecuali pada stasiun 3 sampling ke 3.

4.3.4. Nitrogen (Nitrat-Nitrogen, Nitrit-Nitrogen, dan Amonia-Nitrogen)

Berdasarkan hasil pengamatan selama penelitian, rataan nilai nitrat di Way Perigi berkisar antara 0,448 mg/l sampai 1,203 mg/l. Hasil sebaran rataan nilai nitrat di setiap stasiun selama pengamatan dapat dilihat pada Gambar 11.

Gambar 11. Sebaran rataan nilai nitrat (NO3-N) setiap stasiun selama pengamatan

0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0 1.2 1.4

stasiun 1 stasiun 2 stasiun 3

NO

3

-N

(m

g

/l)

Sampling 1 Sampling 2 Sampling 3


(47)

Pada setiap stasiun pengamatan dari hulu ke hilir, dari masing-masing sampling, kandungan nitrat dari tertinggi ke terrendah adalah saat sampling 1, lalu sampling 3, dan sampling 2, hal ini dikarenakan cuaca pengambilan sample pada sampling 1 adalah setelah hujan dan sampling 3 adalah saat hujan, sehingga kandungan oksigen terlarut tinggi dan proses yang lebih dominan terjadi adalah proses nitrifikasi. Sedangkan nilai nitrat terrendah terdapat pada sampling 2, hal ini dikarenakan kandungan oksigen terlarut saat sampling 2 lebih rendah, sehingga proses nitrifikasi yang terjadi pun lebih rendah dari sampling 1 dan 3.

Tingginya kandungan nitrat pada stasiun 1 dapat diduga dari masukan nitrat ke air melewati tanah dari kegiatan perladangan di sekitar mata air, dan rendahnya nilai nitrat di stasiun 3 dapat diduga dari hasil buangan kegiatan antropogenik dari aktivitas MCK yang lebih tinggi dan terakumulasi di stasiun 3. Nilai sebaran nitrat di ketiga stasiun pengamatan masih cukup baik, hal ini dapat diduga bahwa bahan-bahan dari aktivitas antropogenik seperti pertanian yang menggunakan pupuk, budidaya ikan dan pemukiman yang masih belum terlalu banyak. Berdasarkan baku mutu air PP RI no.82 Tahun 2001 kelas 1 dan kelas III, nilai yang diperbolehkan untuk nitrat yaitu 10 mg/l dan 20 mg/l (Lampiran 2), sehingga nilai sebaran nitrat di ketiga stasiun pengamatan di Way Perigi memenuhi kriteria baku mutu.

Berdasarkan hasil pengamatan selama penelitian, rataan nilai nitrit di Way Perigi berkisar antara <0,002 mg/l sampai 0,039 mg/l. Hasil sebaran rataan nilai nitrit di setiap stasiun selama pengamatan dapat dilihat pada Gambar 12.

Gambar 12. Sebaran rataan nilai nitrit (NO2-N) setiap stasiun selama pengamatan

0 0.01 0.02 0.03 0.04 0.05 0.06 0.07

stasiun 1 stasiun 2 stasiun 3

N O 2 -N ( m g /l ) Baku mutu Sampling 1 Sampling 2 Sampling 3 Rata-rata


(48)

Pada setiap stasiun nilai nitrit tergolong berfluktuasi. Hal ini dikarenakan senyawa nitrit merupakan senyawa yang labil, yaitu senyawa peralihan antara amonia dan nitrat. Kadar nitrit diperairan relatif kecil karena nitrit segera dioksidasi menjadi nitrat (Effendi 2003). Namun secara keseluruhan dari setiap stasiun, kandungan nitrit semakin meningkat di setiap stasiunnya. Menurut Effendi (2003) keberadaan nitrit menggambarkan berlangsungnya proses biologis perombakan bahan organik yang memiliki kadar oksigen terlarut yang sangat rendah. Berdasarkan baku mutu air PP RI no.82 Tahun 2001 kelas I dan kelas III, nilai yang diperbolehkan untuk nitrit yaitu 0,06 mg/l (Lampiran 1), sehingga nilai sebaran nitrat di ketiga stasiun pengamatan di Way Perigi memenuhi kriteria baku mutu.

Berdasarkan hasil pengamatan selama penelitian, rataan nilai amonia di Way Perigi berkisar antara 0,078 mg/l sampai 0,526 mg/l. Hasil sebaran rataan nilai amonia di setiap stasiun selama pengamatan dapat dilihat pada Gambar 13.

Gambar 13. Sebaran rataan nilai amonia (NH3-N) setiap stasiun selama pengamatan

Pada setiap stasiun pengamatan dari hulu ke hilir nilai amonia di ketiga sampling cenderung menurun, kecuali saat sampling 1. Hal ini dapat diduga bahwa buangan dari kegiatan antropogenik saat sampling 1 lebih tinggi daripada saat sampling 2 dan 3 dan semakin meningkat di stasiun 2 dan 3. Namun secara keseluruhan nilai amonia di setiap stasiun, semakin meningkat dari stasiun 1 ke stasiun 3. Hal ini dikarenakan pada stasiun 3 terdapat akumulasi bahan organik dari kegiatan antropogenik, lalu kandungan oksigen terlarut di stasiun 3 cenderung lebih rendah sehingga proses denitrifikasi cenderung lebih tinggi daripada proses

0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6

stasiun 1 stasiun 2 stasiun 3

NH3

-N

(m

g

/l

)

Baku mutu kelas I Sampling 1 Sampling 2 Sampling 3 Rata-rata


(1)

3. STASIUN 3 No Parameter

Sampling BM III* Max Min Rata-rata

Nilai indeks STORET

1 2 3

Fisika

3 TDS 76,67 80,00 91,33 1000 91,33 76,67 82,67 0

4 TSS 24,33 7,00 8,67 400 24,33 7,00 13,33 0

Kimia

1 pH 6,50 7,33 6,67 6 s.d 9 7,33 6,50 6,83 0

2 DO 5,30 5,30 6,56 3 6,56 5,30 5,72 0

3 BOD5 2,30 2,02 6,06 6 6,06 2,02 3,46 -2

4 NO3-N 1,10 0,45 0,77 20 1,10 0,45 0,77

5 Total fosfat 0,67 0,15 0,20 1 0,67 0,15 0,34

Jumlah -2

Status Mutu

Tercemar ringan

Lampiran 4. Perhitungan Indeks Pencemaran (IP)

1. STASIUN 1

No Parameter Ci Lij Ci/Lij

1 2 3 1 2 3

Fisika

1 TDS 85,33 83,33 140 1000 0,09 0,083 0,140

2 TSS 3,33 3 3 50 0,07 0,06 0,06

Kimia

1 pH 6,5 7 6,5 6 s.d 9 0,67 0,33 0,67

2 DO 5,3 4,54 6,31 6 1,66 2,27 0,83

3 BOD5 2,55 1,51 4,04 2 1,52 0,76 2,53

4 NO3-N 1,2 0,64 0,85 10 0,12 0,06 0,08

5 Total fosfat 0,45 0,15 0,51 0,2 2,74 0,77 3,05

Rata2 0,98 0,62 1,05

Maksimum 2,74 2,27 3,05


(2)

53

Lanjutan Lampiran 4

2. STASIUN 2

No Parameter Ci Lij Ci/Lij

1 2 3 1 2 3

Fisika

1 TDS 78 102 124,67 1000 0,08 0,10 0,12

2 TSS 7,67 3,5 9,33 400 0,02 0,01 0,02

Kimia

1 pH 7 7 7 6 s.d 9 0,33 0,33 0,33

2 DO 6,31 5,3 6,82 3 0,83 1,41 0,59

3 BOD5 3,31 3,03 3,03 6 0,55 0,50 0,50

4 NO3-N 1,17 0,53 0,80 20 0,06 0,03 0,04

5 Total fosfat 0,92 0,15 0,3 1 0,92 0,15 0,30

Rata2 0,40 0,36 0,27

Maksimum 0,92 1,41 0,59

Pij 0,71 1,03 0,46

3. STASIUN 3

No Parameter Ci Lij Ci/Lij

1 2 3 1 2 3

Fisika

1 TDS 76,67 80 91,33 1000 0,08 0,08 0,09

2 TSS 24,33 7 8,67 400 0,06 0,02 0,02

Kimia

1 pH 6,5 7,33 6,67 6 s.d 9 0,67 0,11 0,56

2 DO 5,30 5,30 6,56 3 1,45 1,45 0,71

3 BOD5 2,30 2,02 6,06 6 0,38 0,34 1,02

4 NO3-N 1,10 0,45 0,77 20 0,05 0,02 0,04

5 Total fosfat 0,67 0,15 0,20 1 0,67 0,15 0,20

Rata2 0,48 0,31 0,38

Maksimum 1,45 1,45 1,02

Pij 1,08 1,05 0,77

Keterangan :

Lij : konsentrasi parameter kualitas air yang dicantumkan dalam baku mutu peruntukan air (j).

Ci : konsentrasi parameter kualitas air (i) yang diperoleh dari hasil analisis contoh air


(3)

Lanjutan Lampiran 4

Contoh perhitungan stasiun 1 :

 TSS :

C1/L1j = 85,33 / 50 = 0,07

 DO :

DO merupakan parameter yang jika harga parameter rendah maka kualitas akan menurun. Maka sebelum menghitung C2/L2j harus dicari terlebih dahulu harga C2 baru.

DO maks = 7 pada temperatur 25oC C2/L2j = (7 – 5,3) / (7 – 6) = 1,7 ; C2/L2j > 1 C2/L2j baru = 1 + 5 Log (1,7) = 2,15

 pH :

Karena harga baku mutu pH memiliki rentang, maka penetuan C3/L3j dilakukan dengan cara :

L3j rata-rata = (6 + 9) / 2 = 7,5 C3 < L3j rata-rata C3/L3j = ( 6,5 – 6 ) / ( 9 – 6,5 ) = 0,67

Lampiran 5. Dokumentasi Wilayah Way Perigi

Stasiun 1

Stasiun 2 (kiri)

Stasiun 2 (kanan)


(4)

55

Lanjutan Lampiran 5

Stasiun 3 (kanan)

Setelah Stasiun 1

Antara stasiun 1 ke stasiun 2

Antara Stasiun 1 ke stasiun 2

Antara Stasiun 2 ke Stasiun 3

Antara stasiun 2 ke stasiun 3


(5)

iii

RINGKASAN

Eka Anisa Widya Bahri. C24080034. Kondisi Kualitas Perairan di Way Perigi, Kecamatan Labuhan Maringgai, Kabupaten Lampung Timur. Dibimbing oleh Dr. Ir. Enan M. Adiwilaga dan Dr. Ir. Sigid Hariyadi, M.Sc.

Sungai merupakan salah satu perairan mengalir yang bermanfaat bagi kehidupan organisme didalamnya dan makhluk hidup di sekitarnya. Sungai memiliki beberapa fungsi antara lain sebagai sumber air keperluan rumah tangga, irigasi, perindustrian, pertanian, dan kegiatan perikanan. Namun terdapat satu pemanfaatan dari sungai yang dapat menimbulkan masalah, yaitu sungai sebagai tempat pembuangan limbah, baik limbah domestik maupun limbah industri. Way Perigi, merupakan salah satu sungai di Kecamatan Labuhan Maringgai, Kabupaten Lampung Timur, yang melewati beberapa desa. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian terhadap kondisi kualitas perairan baik parameter fisika dan kimia perairan di Way Perigi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan status mutu perairan Way Perigi dari daerah hulu sungai yang berupa mata air hingga bagian hilir sungai sebelum air payau serta pengelolaan lebih lanjut dari sungai ini.

Pengambilan contoh air dilakukan pada bulan April sampai dengan Mei 2012, sebanyak 3 kali pengambilan contoh air dengan jarak waktu 2 minggu. Lokasi penelitian di Way Perigi, Kecamatan Labuhan Maringgai, Kabupaten Lampung Timur dari hulu berupa mata air (stasiun 1), tengah sungai (stasiun 2) berada di pemukiman warga, dan hilir (stasiun 3) berupa muara sungai. Analisis air dilakukan di Laboratorium Produktivitas dan Lingkungan Perairan, MSP-IPB. Penentuan status mutu perairan di Way Perigi, dianalisis menggunakan Metode Indeks STORET dan Indeks Pencemaran.

Bila dilihat dari hasil pengukuran parameter-parameter kualitas air, perairan Sungai Way Perigi masih berada dalam kisaran yang diperbolehkan menurut Peraturan Pemerintah RI No. 82 tahun 2001 kelas III (baku mutu air yang digunakan untuk pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, dan atau peruntukan lain). Pada analisis indeks STORET dapat diketahui bahwa pada hulu dan tengah sungai bernilai 0 yang berarti masih memenuhi baku mutu, sedangkan pada hilir bernilai -2


(6)

iv

yang berarti tercemar ringan. Berbeda dengan Indeks Pencemaran yang menyatakan bahwa ke tiga stasiun masih dalam kondisi baik.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa kondisi kualitas perairan di Sungai Way Perigi masih dalam kondisi baik, kecuali pada bagian hilir sungai yang tercemar ringan. Namun secara keseluruhan Sungai Way Perigi masih dapat di manfaatkan oleh masyarakat sekitar untuk kegiatan sehari-hari, maupun kegiatan perikanan dan pertanian.