PENGARUH INTENSITAS WAKTU PAPARAN SINAR ULTRAVIOLET-C TERHADAP KETEBALA KORNEA MENCIT (Mus musculus L.)

(1)

PENGARUH INTENSITAS WAKTU PAPARAN SINAR ULTRAVIOLET-C TERHADAP KETEBALAN KORNEA MENULTRAVIOLET-CIT (Mus musculus L.)

Oleh

ANISA SEPTA RINI

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA KEDOKTERAN

Pada

Jurusan Pendidikan Dokter Umum Fakultas Kedokteran Universitas Lampung

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2014


(2)

ABSTRACT

THE EFFECT OF ULTRAVIOLET-C LIGHT INTENSITY EXPOSURE IN CORNEAL MICE THICKNESS (Mus musculus L.)

by

ANISA SEPTA RINI

In humans, prolonged exposure of ultraviolet light causes acute and chronic health of the eyes, skin, brain, immune system and other organs. The aims of this study to determine the time intensity effect of ultraviolet-c light exposure on the corneal mice thickness (Mus musculus L).

Exposure is derived from ultraviolet-C (UV-C) light. This study is an experimental research using 25 male mice that are exposed by ultraviolet - C light in distance of 1,5 meters. Control group (K) is not exposured, (P1) 30 minute exposured, (P2) 1 hour exposured, (P3) 2 hours exposured and (P4) 4 hours exposured for 14 days. After 15 days, the mice were terminated to take eyes organ. Then, made Hematoxylin Eosin preparations andobservation the thickness of the corneal epithelial layer.

The result shows that thickness average of the corneal epithelial layer in group control: 52.22±11.38, P1: 33.06±8.94 , P2: 32.04±9.33 , P3: 30.67±3.42 and P4: 25.69±7.12. One way ANOVA test results, p< 0.05 , meaning that there are significant differences between two groups. The conclution that increasing of exposure by UV-C light directly proportional to corneal damage. So, exposure by UV-UV-C light has an influence on corneal thickness of male mice (Mus musculus L.).


(3)

ABSTRAK

PENGARUH INTENSITAS WAKTU PAPARAN SINAR ULTRAVIOLET-C TERHADAP KETEBALA KORNEA MENCIT (Mus musculus L.)

Oleh

ANISA SEPTA RINI

Pemaparan sinar ultraviolet yang berkepanjangan pada manusia dapat mengakibatkan gangguan kesehatan secara akut dan kronik pada mata, kulit, otak, sistem imun dan organ lainnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh intensitas waktu paparan cahaya sinar ultraviolet-c terhadap ketebalan kornea mencit jantan (Mus musculus L).

Paparan yang digunakan berasal dari cahaya lampu ultraviolet-C (UV-C). Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental, menggunakan 25 ekor mencit jantan yang dipapari cahaya lampu UV-C dengan jarak 1,5 meter dari sumber cahaya dengan lama paparan per hari 0 jam (K), 30 menit (P1), 1 jam (P2), 2 jam (P3), dan 4 jam (P4) selama 14 hari. Hari ke 15 dilakukan pembedahan dan pembuatan preparat. Pengamatan dilakukan dengan melihat ketebalan lapisan epitel kornea.

Hasil penelitian menunjukan bahwa didapatkan hasil rerata ketebalan lapisan epitel kornea pada kelompok K (kontrol) 52,22±11,38, P1 sebesar 33,06±8,94, P2 sebesar 32,04±9,33, P3 sebesar 30,67±3,42 dan P4 sebesar 25,69±7,12. Hasil uji Anova diperoleh p<0,05, artinya terdapat perbedaan yang bermakna. Dapat disimpulkan bahwa terjadi peningkatan kerusakan kornea mencit jantan yang berbanding lurus dengan lama paparan cahaya lampu UV-C. Terbukti bahwa ada pengaruh intensitas waktu paparan cahaya sinar UV-C terhadap ketebalan kornea mencit jantan (Mus musculus L).


(4)

(5)

(6)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ………...i

DAFTAR TABEL ……...………...iii

DAFTAR GAMBAR …….…………...……….iv

I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang ………...1

1.2.Rumusan Masalah ………...4

1.3.Tujuan Penelitian ………..4

1.4.Manfaat Penelitian ………...4

1.5.Hipotesis ………...5

II.TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Sinar Ultraviolet ………...6

2.2.Gelombang Elektromagnetik ………7

2.3.Dampak Sinar Ultraviolet terhadap Kerusakan Sel ………...10

2.4.Kornea ………...11

2.4.1. Anatomi Kornea ………...11

2.4.2. Histologi Kornea ………...12

2.5.Kerusakan Pada Kornea ………...14

2.6.Mencit ……….16


(7)

2.8.Kerangka Konsep ………...20

III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1.Desain Penelitian ………...21

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian ………21

3.3.Populasi dan Sampel ………...21

3.4.Alat dan Bahan Penelitian ………..24

3.5.Identifikasi Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ……….24

3.6.Prosedur Penelitian ……….25

3.7. Pengolahan dan Analisis Data ………...31

3.8. Diagram Alur Penelitian ………33

3.9. Etical Clearance ………...34

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN………..36

V. SIMPULAN DAN SARAN ………...48

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(8)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Kerangka Teori ...6

2. Kerangka Konsep ...7

3. Anatomi Kornea ...15

4. Histologi Kornea …………...17

5. Mencit ………..19

6. Diagram Alur Penelitian………...35

7. Gambaran Kornea Mencit yang Dipulas dengan pewarnaan H-E ………....39


(9)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Sprektum Gelombang Elektromagnetik ...11 2. Definisi Operasional………...26 3. Presentase dan Rerata Kerusakan Epitel Kornea Mencit ...41 4. Analisis Post Hoc LSD Kerusakan Lapisan Epitel Korneaantar Kelompok...43


(10)

I. PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Indonesia adalah negara yang terletak di daerah tropis dengan paparan sinar matahari sepanjang musim. Sebagian penduduknya bekerja di luar ruangan sehingga mendapatkan banyak paparan sinar matahari bahkan pada saat matahari sedang terik. Sinar matahari sendiri sebenarnya terdiri dari sinar terlihat dan sinar tidak terlihat. Sinar yang terlihat adalah antara sinar merah ke violet ungu. Pada saat kita melampaui sinar ini kita menghadapi sinar yang tidak terlihat yaitu sinar ultraviolet. Sinar ultraviolet (UV) merupakan suatu radiasi elektromagnetik (Amelia, 2010).

Radiasi elektromagnetik merupakan salah satu bentuk energi. Setelah energi terserap molekul akan membentuk photoproduct yang memicu reaksi fotokimia. Sinar matahari yang sampai di permukaan bumi dan mempunyai dampak dibedakan menjadi sinar ultraviolet A atau UV-A ( 320-400 nm), sinar UV-B ( 280-320 nm) dan sinar UV-C ( 100-280 nm) (WHO, 2009). Sinar UV-A memiliki energi lebih sedikit jika dibandingkan dengan UV-B dan UV-C, tetapi mempunyai identitas sinar lebih banyak sampai ke pemukaan bumi dan akan menyebabkan perubahan warna kulit menjadi coklat kemerahan. Sinar UV-B


(11)

memiliki energi yang lebih besar dari pada UV-A, tetapi intensitas sinar yang sampai ke permukaan bumi lebih sedikit dan akan menyebabkan berbagai reaksi di dalam tubuh. Sinar UV-C yang secara alamiah telah diabsorbsi oleh lapisan atmosfer lebih berbahaya dibandingkan UV-A dan UV-B (Soebaryo dan Jacoeb, 2007).

Semenjak dua dekade terakhir ini, sinar matahari yang awal mulanya bersahabat, kini merupakan ancaman tidak langsung terhadap kesehatan. Ini terjadi akibat ulah manusia sendiri sehingga lapisan ozon di stratosphere yang berfungsi untuk menyaring (memfilter) radiasi ultraviolet (UV) dari tahun ke tahun semakin tipis akibat polusi kimia chlorofluoro carbon (CFC) yang berasal dari mesin pendingin (AC, kulkas) dan industri sehingga menipisnya lapisan ozon, dan mengakibatkan radiasi ultraviolet yang sampai di bumi intensitasnya semakin tinggi. Semakin tingginya radiasi ditimbulkan dari radiasi tersebut (Kwan-hoong, 2003).

Adanya fenomena global warming yang berdampak pada penipisan lapisan ozon di bumi dapat menyebabkan radiasi UV-C sampai ke permukaan bumi dan berakibat buruk terhadap makhluk hidup.Sinar UV-C adalah sinar dengan energi tertinggi, paling berbahaya diantara sinar ultraviolet lainnya. Pada manusia, pemaparan sinar UV yang berkepanjangan dapat mengakibatkan gangguan kesehatan secara akut dan kronik pada kulit, mata, otak, sistem imun dan organ lainnya (Intan, 2013).


(12)

Pada mata, energi radiasi pada panjang gelombang < 280 nm (UV-C) dapat diserap seluruhnya oleh kornea. Energi radiasi UV-B ( 280 –315 nm) sebagian besar diserap kornea dan dapat pula mencapai lensa. Sedangkan energi UV-A (315-400 nm) secara kuat diserap dalam lensa dan hanya sebagian kecil energi saja (<1%) yang dapat mencapai retina. Untuk mata apakia (mata yang telah mengalami operasi katarak), penetrasi radiasi UV pada 300 – 400 nm dapat mencapai retina (WEBB, 2005).

Banyak teori yang menyebutkan bahwa radiasi sinar UV dapat diabsorbsi secara selektif oleh epitel dan subepitel. Selain itu, paparan kronis terhadap sinar UV dengan dosis rendah dapat merusak mata secara permanen karena menyebabkan degenerasi dan neovaskularisasi pada membran Bowman dan lamella stroma (Wong dalam Taylor, 2000). Efek fototosik akut radiasi UV pada mata adalah keratokonjungtivitis (dikenal juga sebagai welder’s flash atau snow blindness) yaitu reaksi peradangan akut pada kornea dan konjungtiva mata. Sedangkan pajanan kronik radiasi UV pada mata dapat menimbulkan pterygium atau penebalan konjungtiva dan kataraktogenesis atau proses terbentuknya katarak. Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti merasa perlu dilakukan penelitian mengenai Pengaruh dari Paparan Cahaya Sinar Ultraviolet-C terhadap gambaran Histopatologi Kornea Mencit Jantan (Mus musculus L.)


(13)

1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini yaitu ”Apakah ada pengaruh intensitas waktu paparan sinar ultraviolet-C terhadap ketebalan kornea mencit jantan (Mus musculus L.)”?

1.3. Tujuan penelitian

Penelitian yang dilakukan ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh intensitas waktu paparan sinar ultraviolet-C terhadap ketebalan kornea mencit jantan (Mus musculus L.)

1.4. Manfaat penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat :

a. Bagi peneliti/penulis, dapat menambah ilmu pengetahuan tentang pengaruh paparan cahaya sinar ultraviolet-C serta dapat menerapkan ilmu yang telah didapatkan selama perkuliahan.

b. Bagi institusi, dapat menambah bahan kepustakaan dalam lingkungan Fakultas Kedokteran Universitas Lampung.

c. Bagi masyarakat, dapat menambah pengetahuan dan meningkatkan kewaspadaan terhadap bahaya radiasi sinar ultraviolet-C.

d. Penelitian ini juga diharapkan dapat berguna sebagai referensi bagi penelitian selanjutnya.


(14)

1.5. Kerangka Teori

Sinar UV merupakan gelombang elektromagnetik dengan spektrum yang lengkap. Di dalam tubuh makhluk hidup terdapat medan listrik yang mempunyai peranan kompleks dalam mengontrol mekanisme fisiologi tubuh, seperti aktivitas saraf otot, sekresi kelenjar, fungsi membran sel, perkembangan dan pertumbuhan, serta perbaikan jaringan (Yunardi, 2000).

Efek fotobiologik sinar UV menghasilkan radikal bebas dan menimbulkan kerusakan sel (Baumann & Allemann, 2009). Faktor radikal bebas merupakan faktor utama yang mempengaruhi kerusakan fungsi sel, seperti menurunkan kinerja zat-zat dalam tubuh, misalnya enzim yang bekerja mempertahankan fungsi sel (enzim protektif), menimbulkan kerusakan protein dan asam amino yang merupakan struktur utama kolagen dan jaringan elastin (Fisher, 2002).

Pajanan sinar UV pada mata akan diserap oleh fotoreseptor yang merupakan permulaan reaksi fotokimiawi. Reaksi fotokimia ini dapat menyebabkan perubahan pada DNA yang meliputi oksidasi asam nukleat. Reaksi oksidasi juga dapat mengubah protein dan lipid yang mengakibatkan fungsi sel terganggu. Akumulasi keduanya ini mengakibatkan kerusakan jaringan (Baumann & Allemann, 2009)


(15)

Gambar 1. Kerangka Teori Paparan Cahaya Sinar Ultraviolet-C terhadap Kornea Mencit Jantan (Mus musculus L.)

Sinar Ultraviolet-C

Radiasi Elektromagnetik

Reaksi Fotokimia

Radikal bebas

Gangguan stabilitas sel


(16)

1.6. Kerangka Konsep

Gambar 2. Kerangka Konsep Paparan Cahaya Sinar Ultraviolet-C terhadap Kornea Mencit Jantan (Mus musculus L.)

Gambaran ketebalan kornea mencit: ketebalan epitel kornea Dilakukan selama 14 hari pecobaan

Paparan Sinar Ultraviolet-C

Kelompok 1 Kelompok 2 Kelompok 3 Kelompok 4 Kelompok 5 Tidak diberi paparan Terpapar 30 menit per hari Terpapar 1jam per hari Terpapar 2 jam per

hari

Terpapar 4 jam per


(17)

1.7. Hipotesis

H0 : Tidak ada pengaruh intensitas waktu paparan sinar ultraviolet-C terhadap ketebalan kornea mencit jantan (Mus musculus L.)

H1 : Ada pengaruh intensitas waktu paparan sinar ultraviolet-C terhadap ketebalan kornea mencit jantan (Mus musculus L.)


(18)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sinar Ultraviolet

Kelompok radiasi elektromagnetik terdiri dari 3 jenis yaitu radiasi ultraviolet (UV), cahaya tampak dan infra merah (IR). Spektrum sinar UV adalah elektromagnetik yang terlentang pada rentang panjang gelombang 100 nm- 400nm yang dibagi atas menjadi sinar ultraviolet A atau UV-A ( 320-400 nm), sinar UV-B ( 280-320 nm) dan sinar UV-C ( 100-280 nm) (WHO, 2009).

Sumber radiasi UV alam adalah matahari, tetapi karena serapan atom oksigen sehingga membentuk lapisan ozon, maka radiasi matahari yang sampai ke bumi (terestrial) intensitasnya lebih rendah yang meliputi UV dengan panjang gelombang 290 – 400 nm, sedangkan panjang gelombang yang lebih pendek diserap oleh lapisan atmosfer. Sebagai penyerap utama radiasi UV, lapisan gas ini berfungsi sebagai pelindung bumi dari pajanan sebagai radiasi UV yang lebih pendek dari 340 nm. Semakin berkurangnya lapisan ozon sebagai akibat dari pelepasan chloofluorocarbon (CFC) hasil buatan manusia ke atmosfer akan memperkecil tingkat proteksi ozon terhadap sinar UV dan menyebabkan tingkat kerusakan akibat pajanan radiasi UV semakin besar (De Grujl, 2000).


(19)

Sumber radiasi UV buatan manusia pada dasarnya terdiri dari 3 jenis yaitu incandescent, seperti lampu halogen tungsten; lampu neon, seperti seperti lampu intensitas tinggi yang digunakan pada industri untuk fotopolimerisasi dan lampu germisidal untuk sterilisali dan untuk mengelas metal; dan lampu UV seperti excimer laser (Alatas & Lusiyanti, 2001).

2.2. Gelombang Elektromagnetik

Medan elektromagnetik adalah medan yang terjadi akibat pergerakan arus listrik. Arus listrik statis hanya akan menghasilkan medan listrik. Apabila arus listrik tersebut bergerak akan dihasilkan medan listrik. Medan listrik juga dapat berbentuk akibat perubahan medan magnet. Medan magnet yang bergerak dapat menginduksi arus bolak-balik dan sebaliknya arus listrik ini juga dapat menghasilkan medan magnet. Interaksi antara medan listrik dan medan magnet tersebut akan menghasilkan medan elektromagnetik. Jadi medan elektromagnetik dihasilkan dari medan magnet dan medan listrik. Medan elektromagnet dapat berasal dari arus bolak-balik. Medan listrik dihasilkan oleh muatan listrik yang muncul ketika potensial listrik muncul dan dapat menginduksi arus listrik. Medan magnet muncul ketika arus listrik mengalir (Lynch, 2004).

Gelombang elektromagnetik adalah gelombang yang terbentuk dari usikan medan magnetik dan medan listrik. Kedua medan ini bergetar dalam arah yang saling tegak lurus. Medan magnetik dan medan listrik pembentuk gelombang elektromagnetik adalah gelombang transversal, yang arah rambatnya tegak lurus dengan arah getarnya. Dalam perambatannya gelombang elektromagnetik


(20)

merambat dengan kecepatan yang nilainya ditentukan oleh dua besaran yaitu permitivitas listrik dan permeabilitas magnetik (Gornick, 2005).

Secara umum, gelombang elektromagnetik dikarakterisasi oleh perbedaan panjang gelombang dan frekuensi. Panjang gelombang merupakan jarak yang diperlukan oleh gelombang elektromagnetik untuk menempuh satu siklus atau satu putaran. Sedangkan frekuensi merupakan jumlah atau banyaknya paparan gelombang elektromagnetik dalam satu detik. Satuan yang digunakan untuk frekuensi adalah hertz (Hz). Radiasi gelombang elektromagnetik merupakan suatu bentuk energi(elektrik dan magnetik) yang menunjukkan sifat-sifat gelombang yang merambat melalui ruang (Gornick, 2005). Untuk ruang hampa dan udara, maka nilai kecepatan gelombang elektromagnetik akan mendekati 3 x 108 m/s.

Spektrum gelombang elektromagnetik jika dilihat dari frekuensinya adalah sebagai berikut:

Tabel 1.Sprektum Gelombang Elektromagnetik

Spektrum Frekuensi

Sinar Gama 1019 – 1025 Hz

Sinar X 1016 – 1020 Hz

Sinar Ultraviolet 1015 – 1018 Hz

Sinar Tampak 4 x 1014 – 7,5 x 1014 Hz

Sinar Inframerah 1011 – 1014 Hz

Gelombang Mikro 108 – 1012 Hz


(21)

Berdasarkan kemampuan dalam membentuk ion, radiasi gelombang elektromagnetik dibedakan menjadi radiasi pengionan dan radiasi non-pengionan. Radiasi pengionan didefinisikan sebagai penyebaran atau emisi energi yang bila melalui suatu media dan terjadi proses penyebaran, berkas energi tersebut akan mampu menginduksi terjadinya proses ionisasi dalam media tersebut. Termasuk dalam kelompok radiasi pengionan adalah sinar-x dan sinar gamma. Sedangkan radiasi non pengionan didefinisikan sebagai penyerapan atau emisi energi yang bila melalui suatu media terjadi penyerapan, berkas energi radiasi tersebut tidak akan mampu menginduksi terjadinya proses ionisasi dalam media tersebut. Contohnya gelombang elektromagnetik nonpengionan antara lain sinar UV, cahaya tampak, infra merah, gelombang mikro (microwave) dan gelombang radio (Alatas & Lusiyanti, 2001).

Berdasarkan panjang gelombang yang berhubungan dengan frekuensi dan energi fotonnya, radiasi non pengion dapat dibagi atas 2 kelompok besar yaitu radiasi optik dan radiasi elektromagnetik radiofrekuensi. Kelompok radiasi optik terdiri dari 3 jenis yaitu radiasi ultra violet (UV), cahaya tampak dan infra mereah (IR). Kelompok radiasi medan elektromagnetik radiofrekuensi berdasarkan frekuensinya dibedakan atas gelombang mikro pada frekuensi 30 MHz – 300 GHz dan gelombang radiofrekuensi pada 0,3 – 3 MHz (Glaser, 2000).

Efek yang ditimbulkan akibat pajanan radiasi optik pada tubuh sangat bergantung pada panjang gelombang yang berhubungan dengan daya tembus radiasi optik pada jaringan tubuh. Secara biologik, panjang gelombang <180nm


(22)

tidak memberikan efek nyata karenatelah diserap oleh udara. UV-C lebih aktif secara fotokimia karena secara kuat diserap oleh asam amino dan protein. UV-B kurang bersifat fotokimia tetapi dapat menembus jaringan. UV-A sangat rendah sifat fotobiologiknya tetapi mempunyai daya tembus lebih dari UV-B. Sasaran utama pajanan radiasi optik pada tubuh adalah kulit dan mata. Efek pajanan kronik radiasi UV lebih serius dari pada pajanan akut. Efek yang merugikan pada mata termasuk penebalan konjungtiva, katarak, dan kanker pada konjungtiva (Alatas & Lusiyanti, 2001).

Efek yang ditimbulkan akibat pajanan radiasi gelombang elektromagnetik radiofrekuensi pada umunya sebagai akibat dari panas yang timbul pada saat terjadi interaksi antara energi gelombang mikro dengan materi biologik. Efek biologik yang terjadi karena pemanasan disebut efek termal dan yang bukan karena proses pemanasan disebut efek non termal. Efek yang berbahaya akibat pajanan gelombang mikro adalah efek termal atau hiperemia yang terutama merusak mata dan testis. Kedua jaringan ini relatif sangat sensitif terhadap kenaikan suhu jaringan (Alatas & Lusiyanti, 2001).

2.3. Dampak Sinar Ultraviolet terhadap Kerusakan Sel

Efek fotobiologik sinar UV menghasilkan radikal bebas dan menimbulkan kerusakan sel (Baumann & Allemann, 2009). Faktor radikal bebas merupakan faktor utama yang mempengaruhi kerusakan fungsi sel, seperti menurunkan kinerja zat-zat dalam tubuh, misalnya enzim yang bekerja mempertahankan fungsi sel (enzim protektif), menimbulkan kerusakan protein dan asam amino yang merupakan struktur utama kolagen dan jaringan elastin (Fisher, 2002).


(23)

Pajanan sinar UV pada mata akan diserap oleh fotoreseptor yang merupakan permulaan reaksi fotokimiawi. Reaksi fotokimiawi ini dapat menyebabkan perubahan pada DNA yang meliputi oksidasi asam nukleat. Reaksi oksidasi juga dapat mengubah protein dan lipid yang mengakibatkan fungsi sel terganggu. Akumulasi keduanya ini mengakibatkan kerusakan jaringan. Tubuh sebenarnya sudah dilengkapi untuk menghadapi stres oksidatif yang secara alami menggunakan enzim dan nonenzim antioksidan untuk mengurangi efek buruk ini, tetapi sinar UV serta pembentukan radikal bebas dapat memperberat proses ini, yaitu dengan membuat kontrol perlindungan secara alami menjadi tidak adekuat, yang akhirnya dapat menyebabkan kerusakan oksidatif (Baumann & Allemann, 2009).

2.4. Kornea

2.4.1. Anatomi Kornea

Kornea merupakan jaringan yang avaskular, bersifat transparan, berukuran 11- 12 mm horizontal dan 10-11 mm vertikal, serta memiliki indeks refraksi 1,37. Kornea memberikan kontribusi 74 % atau setara dengan 43,25 dioptri (D) dari total 58,60 kekuatan dioptri mata manusia. Dalam nutrisinya, kornea bergantung pada difusi glukosa dari aqueus humor dan oksigen yang berdifusi melalui lapisan air mata. Sebagai tambahan, kornea perifer disuplai oksigen dari sirkulasi limbus. Kornea adalah salah satu organ tubuh yang memiliki densitas ujung-ujung saraf terbanyak dan sensitifitasnya adalah 100 kali jika dibandingkan dengan konjungtiva. Kornea dewasa rata-rata mempunyai tebal


(24)

550 m, diameter horizontalnya sekitar 11,75 mm dan vertikalnya 10,6 mm (Riordan-Eva, 2010).

Gambar 3. Anatomi Kornea Sumber: Riordan-Eva, 2010 2.4.2. Histologi Kornea

Secara histologis, lapisan sel kornea terdiri dari lima lapisan, yaitu lapisan epitel, membran Bowman, stroma, membran Descemet, dan lapisan endotel (Riordan-Eva, 2010).

1. Lapisan epitel

Tebalnya ±50 µm, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang saling tumpang tindih; satu lapis sel basal, sel poligonal dan sel gepeng. Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong kedepan menjadi lapis sel sayap dan semakin maju kedepan menjadi sel gepeng, sel basal berikatan erat dengan sel basal disampingnya dan sel poligonal didepannya melalui desmosom dan makula okluden; ikatan ini menghambat pengaliran air, elektrolit dan glukosa yang merupakan


(25)

barrier. Sel basal menghasilkan membran basal yang melekat erat kepadanya. Bila terjadi gangguan akan menghasilkan erosi rekuren. Epitel berasal dari ektoderm permukaan.

2. Membran Bowman

Terletak dibawah membrana basal epitel kornea yang merupakan kolagen yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari bagian depan stroma. Lapis ini tidak mempunyai daya regenerasi.

3. Jaringan Stroma

Terdiri atas lamella yang merupakan sususnan kolagen yang sejajar satu dengan yang lainnya, Pada permukaan terlihat anyaman yang teratur sedang dibagian perifer serat kolagen ini bercabang; terbentuknya kembali serat kolagen memakan waktu lama yang kadang-kadang sampai 15 bulan. Keratosit merupakan sel stroma kornea yang merupakan fibroblast terletak diantara serat kolagen stroma. Diduga keratosit membentuk bahan dasar dan serat kolagen dalam perkembangan embrio atau sesudah trauma. 4. Membran Descement

Merupakan membrana aselular dan merupakan batas belakang stroma kornea dihasilkan sel endotel dan merupakan membran basalnya. Bersifat sangat elastis dan berkembang terus seumur hidup, mempunyai tebal 40µm.

5. Lapisan Endotel

Berasal dari mesotelium, berlapis satu, bentuk heksagonal, besar 20-40 m. Endotel melekat pada membran descement melalui hemidosom dan zonula okluden.


(26)

Gambar 4. Histologi Kornea Sumber: Riordan-Eva, 2010

Permukaan anterior kornea ditutupi epitel berlapis gepeng tanpa lapisan tanduk dan tanpa pupil.Di bawah epitel kornea terdapat membran limitans anterior (membran Bowman) yang berasal dari stroma kornea (substansi propia). Stroma kornea terdiri atas berkas serat kolagen parallel yang membentuk lamella tipis dan lapisan-lapisan fibroblast gepeng dan bercabang (Eroschenko, 2003).

Permukaan posterior kornea ditutupi epitel kuboid rendah dan epitel posterior yang juga merupakan endotel kornea. Membran Descement merupakan membran basal epitel kornea dan memiliki resistensi yang tinggi, tipis tetapi lentur sekali (Hollwich, 2003).

2.5. Kerusakan Pada Kornea

Radiasi sinar matahari merupakan gelombang elektromagnetik dengan spektrum yang lengkap. Radiasi elektromagnetik merupakan salah satu bentuk


(27)

energi. Setelah energi terserap molekul akan membentuk photoproduct yang memicu reaksi fotokimia.

Ultraviolet adalah mutagen untuk p53 tumor supresor gene pada limbal basal stem cell. Tanpa apoptosis, transforming growth factor-beta diproduksi dalam jumlah berlebihan dan menimbulkan proses kolagenase meningkat. Sel-sel bermigrasi dan angiogenesis. Akibatnya terjadi perubahan degenerasi kolagen dan terlihat jaringan subepitelial fibrovaskular. Jaringan subkonjungtiva terjadi degenerasi elastis proliferasi jaringan vaskular bawah epithelium dan kemudian menembus kornea. Kerusakan pada kornea terdapat pada lapisan membran bowman oleh pertumbuhan jaringan fibrovaskular, sering disertai dengan inflamasi ringan. Epitel dapat normal, tebal atau tipis dan kadang terjadi dysplasia (Khurana, 2007).

Kelainan pada kornea dibagi menjadi 4 jenis, yaitu: erosi, infiltrasi, edem, dan sikatrik. Erosi adalah lepasnya lapisan epitel tanpa atau belum ada infeksi.Infiltrasi mengandung serbukan sel radang, dibedakan menjadi dua jenis yaitu infiltrasi superfisial disertai kerusakan epitel dan infiltrasi profunda disertai kerusakan stroma. Edem, kornea tampak membesar dan suram yang disebabkan oleh radang atau infeksi. Sikatrik, adanya jaringan parut putih, berbatas tegas, radang (-), fluoresin (-) (Vaughan & Asbury, 2009)

Limbal stem cell adalah sumber regenerasi epitel kornea. Pada keadaan defisiensi limbal stem cell, terjadi pembentukan jaringan konjungtiva pada permukaan kornea. Gejala dari defisiensi limbal adalah pertumbuhan konjungtiva ke kornea, vaskularisasi, inflamasi kronis, kerusakan membran


(28)

basement dan pertumbuhan jaringan fibrotik. Tanda ini juga ditemukan pada pterygium dan karena itu banyak penelitian menunjukkan bahwa pterygium merupakan manifestasi dari defisiensi atau disfungsi limbal stem cell. Kemungkinan akibat sinar ultraviolet terjadi kerusakan limbal stem cell di daerah interpalpebra (T H Tan Donald, 2005).

2.6. Mencit (Mus musculus L.)

Menurut Kusumawati (2004) mencit diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom : Animalia

Phyllum : Chordata

Classis : Mamamlia

Ordo : Rodentia

Familia : Muridae

Genus : Mus

Spesies : Mus musculus L.

Gambar 5. Mencit (Mus muculus L.)

Mencit (Mus musculus L) memiliki berat 10-40 gram, panjang 6-10 cm dengan hidung runcing, ekornya sama atau lebih panjang sedikit dari kepala dan badan


(29)

yaitu berukuran 7-11 cm. Pada ekor tidak ada rambut, memiliki telinga tagak, memiliki bulu berwarna putih keabu-abuan pada bagian perut, keabuan pada bagian punggung (Depkes, 2001).

Menurut Smith dan Mangkoewidjojo (1998), mencit rumah dapat bertahan hidup selama 1-2 tahun, dengan lama produksi ekonomis 9 bulan dan masa kehamilan 19-21 hari. Setelah mencit beranak 1 sampai 24 jam, mencit dapat melakukan perkawinan lagi. Pada umur 8 minggu adalah umur yang sesuai untuk dikawinkan antara jantan dan betina, dengan siklus birahi atau estrus selama 4-5 hari, dan lamanya 12-14 jam mencit melakukan perkawinan. Biasanya estrus mulai antara jam 4 sore sampai jam10 malam.

Mencit merupakan hewan yang paling banyak digunakan sebagai hewan model laboratorium dengan kisaran penggunaan antara 40-80%. Mencit banyak digunakan sebagai hewan laboratorium (khususnya digunakan dalam penelitian biologi), karena memiliki keunggulan-keunggulan seperti siklus hidup relatif pendek, jumlah anak perkelahiran banyak, variasi sifat-sifatnya tinggi, mudah ditangani, serta sifat produksi dan karakteristik reproduksinya mirip hewan lain, seperti sapi, kambing, domba, dan babi (Moriwaki et al.,2005).

Berbagai keunggulan mencit seperti cepat berkembangbiak, mudah dipelihara dalam jumlah banyak, variasi genetiknya tinggi, dan sifat anatomis dan fisiologisnya terkarakterisasi dengan baik. Mencit merupakan hewan mamalia yang mempunyai peranan penting bagi manusia untuk tujuan ilmiah karena memiliki daya adaptasi baik. Mencit yang banyak digunakan sebagai hewan model laboratorium dan peliharaan adalah tikus putih. Mencit memiliki


(30)

beberapa keunggulan antara lain penanganan dan pemeliharaan yang mudah karena tubuhnya kecil, sehat, bersih, kemampuan reproduksi tinggi dengan masa kebuntingan singkat, serta memiliki karakteristik produksi dan reproduksi yang mirip dengan mamalia lainnya (Malole and Pramono, 1989).


(31)

III. METODE PENELITIAN

3.1. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan metode Rancangan Acak Lengkap (RAL) dan dengan pendekatan Post Test Only Control Group Design. Menggunakan 25 ekor mencit jantan (Mus musculus L.) berumur 2 – 3 bulan yang dipilih secara random dan dibagi menjadi 5 kelompok.

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian 3.2.1. Tempat penelitian

Perlakuan hewan coba dalam penelitian ini di Pet House Laboratorium Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Lampung. Pembuatan preparat kornea akan dilaksanakan di Laboratorium Histologi dan Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Lampung.

3.2.2. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan selama 3-4 bulan 3.3. Populasi dan Sampel

Populasi penelitian ini adalah mencit jantan (Mus musculus L.) berumur 2-3 bulan yang diperoleh dari Laboratorium Patologi Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner (BPPV) Regional III Bandar Lampung. Jumlah sampel yang digunakan berdasarkan kriteria sampel WHO yaitu minimal 5 ekor. Pada


(32)

penelitian ini digunakan sampel sebanyak 25 ekor dengan masing-masing kelompok terdiri dari 5 mencit (Mus musculus L.). Adapun kelima kelompok mencit ini terdiri dari :

a. Kelompok 1 merupakan kelompok mencit yang tidak dipajankan oleh sinar lampu ultraviolet C. Kelompok ini digunakan sebagai kelompok kontrol.

b. Kelompok 2 merupakan kelompok mencit yang dipajankan sinar lampu ultraviolet dengan intensitas 30menit/hari selama 15 hari

c. Kelompok 3 merupakan kelompok mencit yang dipajankan sinar lampu ultraviolet dengan intensitas 1jam/hari selama 15 hari

d. Kelompok 4 merupakan kelompok mencit yang dipajankan sinar lampu ultraviolet dengan intensitas 2jam/hari selama 15 hari

e. Kelompok 5 merupakan kelompok mencit yang dipajankan sinar lampu ultraviolet dengan intensitas 4jam/hari selama 15hari

Adapun mencit yang digunakan pada penelitian ini memenuhi kriteria inklusi sebagai berikut :

 Sehat

 Memiliki berat badan antara 30 gram – 35 gram  Jenis kelamin jantan

 Berusia sekitar 2 – 3 bulan

Kriteria ekslusi pada penelitian ini diantaranya :


(33)

 Keluarnya eksudat yang tidak normal dari kornea, mulut, anus, genital setelah masa adaptasi

 Terdapat penurunan berat badan >10 % setelah masa adaptasi selama di laboratorium

Cara pengambilan sampel untuk penelitian eksperimental, dengan menggunakan rumus Federer :

Keterangan : t = Jumlah kelompok

n= Jumlah sampel per kelompok

Maka dalam lima perlakuan, jumlah ulangan untuk tiap perlakuan dapat dihitung :

(5 – 1) (n –1) ≥ 15 4 (n –1) ≥ 15 4n –4 ≥ 15 4n ≥ 1λ n ≥ 4,75 n = 5

Pada penelitian ini jumlah sampel untuk tiap kelompok ditentukan sebanyak 5 ekor mencit, dan jumlah kelompok mencit ada 5 sehingga penelitian ini membutuhkan 25 mencit dari populasi yang ada. Untuk mengantisipasi hilangnya unit eksperimen maka dilakukan koreksi dengan 1/(1-f) dimana f adalah proporsi unit eksperimen yang hilang atau mengundur diri atau drop out 10%.


(34)

3.4.Alat dan Bahan Penelitian 3.4.1. Alat

Alat yang akan digunakan dalam penelitian ini antara lain kandang kayu standar untuk mencit yang tutup logamnya telah diganti dengan bahan plastik untuk menghindari interferensi gelombang radiasi. Kandang berbentuk kotak persegi panjang berukuran 60 cm x 40 cm sebanyak 5 kandang. Lampu ultraviolet C 15 watt dan isolatornya, alat ukut intensitas sinar UV (luxmeter), gelas kimia, termometer, timbangan mencit, kotak mencit, papan fiksasi, makanan mencit, botol minuman mencit, alat bedah minor, kaca penutup (cover glass), stopwatch, dan mikroskop cahaya.

3.4.2. Bahan

Adapun bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu organ tubuh mencit jantan, alumunium foil, xylol, parafin, akuades, alkohol 80%, alkohol 95%, alkohol 96%, alkohol absolut, eosin, pewarna Harris, larutan PBS (Phospat Buffer Saline) dengan pH 6,8.

3.5. Identifikasi Variabel Penelitian dan Definisi Operasional

Pada penelitian ini terdapat 2 variabel yakni variabel dependen (variabel terikat) dan variabel independen (variabel bebas). Adapun variabel pada penelitian ini adalah:

1. Variabel bebas adalah intensitaspaparansinar UV-C


(35)

Tabel 2.Definisi Operasional

Variabel Definisi Alat ukur Hasil ukur Skala Sinar UV-C Sinar yang berasal dari lampu

yang mengandung radiasi ultraviolet-C

Stopwatch K (-) = tanpa paparan P1 = 30 menit P2 = 1 jam P3 = 2 jam P4 = 4 jam

Kategorik

Ketebalan kornea

Ketebalan lapisan epitel kornea yang dilihat dengan

menggunakan mikroskop dengan perbesaran 400X

Mikroskop Dalam m Numerik

3.6. Prosedur Penelitian

3.6.1. Persiapan Lampu Ultraviolet C dan Isolatornya

Daya lampu ultraviolet C 15 watt digunakan untuk memapari mencit dengan luas permukaan yang tetap. Sumber radiasi ditempatkan dengan variasi pemaparan yaitu : 0 jam, 30menit, 1 jam, 2 jam, 4 jam. Untuk mencegah interferensi dari sumber cahaya yang lain, maka digunakan isolator yang berbentuk persegi panjang berukuran 65cm x 45cm x 35cm dan terbuat dari kayu dengan tebal 3 cm


(36)

3.6.2. Hewan Percobaan Mencit (Mus musculus L.)

Mencit yang digunakan adalah mencit jantan (inbreed mice) sebanyak 25 ekor dengan berat rata-rata 30 gram -35 gram dengan usia 2bulan-3 bulan (dewasa normal) yang diperoleh dari pembiakan di Balai Penyidikan dan Pengujian Veteriner (BPPV) Regional III Bandar Lampung. Diberi makan peletkomersial mencit atau hewan pengerat (makanan asupan sekitar 15g/100gBB/hari; asupan air sekitar 15ml/100gBB/hari) dan ditempatkan dalam lingkungan terkendali (24 jam siklus gelap), suhu kamar dibiarkan secara alamiah berkiasar pada 27±3ºC dan kelembaban dibiarkan pada kisaran alamiah berkisar pada kelembaban udara 60-85%. Pakan (pelet komersial) dan minum (Air PAM) disuplai secara berlebih.

3.6.3. Perlakuan pada hewan percobaan

3.6.3.1. Mencit sebanyak 25 ekor, dikelompokkan dalam 5 kelompok 3.6.3.2. Selama 1 minggu tiap-tiap kelompok mencit diadaptasi sebelum

diberi perlakuan

3.6.3.3. Mengukur berat badan mencit sebelum perlakuan 3.6.3.4. Melakukan perlakuan pada masing-masing kelopok :

a. Kelompok kontrol : tidak dipajankan oleh sinar Lampu UV-C b. Kelompok perlakuan 1 : dipajankan terhadap sinar Lampu

UV-C dengan intensitas 30 menit per hari selama 14 hari

c. Kelompok perlakuan 2 : dipajankan terhadap sinarLampu UV-C dengan intensitas 1 jam per hari selama 14 hari

d. Kelompok perlakuan 3 : dipajankan terhadap sinar Lampu UV-C dengan intensitas 2 jam per hari selama 14 hari


(37)

e. Kelompok perlakuan 4 : dipajankan terhadap sinarLampu UV-C dengan intensitas 4 jam per hari selama 14 hari

3.6.3.5. Setelah14 hari, perlakuan dibehentikan.

3.6.3.6. Setelah diberhentikan, 5 mencit jantan dari tiap kelompok dianastesi dengan Katamine-xylazine 75-100 mg/kg + 5-10 mg/kg secara IP kemudian mencit dieuthanasia berdasarkan Instutional Animal Care and Use Committee (IACUC) menggunakan metode cervical dislocation dengan cara ibu jari dan jari telunjuk ditempatkan di kedua sisi leher di dasar tengkorak atau batang ditekan di dasar tengkorak. Dengan tangan lainnya, pada pangkal ekor atau kaki belakang dengan cepat ditarik sehingga menyebabkan pemisahan antara tulang leher dan tengkorak (AVMA, 2013).

3.6.3.7. Dilakukan laparotomi, kornea mencit diambil untuk pembuatan sediaan mikroskopis. Pembuatan sediaan mikroskopis dengan metode paraffin dan pewarnan Hematoksilin Eosin.

3.6.3.8.Sampel kornea difiksasi dengan formalin 10%. 3.6.3.9.Metode pembuatan preparat

a. Fixation

1. Spsimen berupa potongan organ telah dipotong secara represensitif kemudian segera difiksasi dengan formalin 10% selama 3 jam.


(38)

b. Trimming

1. Dicuci dengan air mengalir sebanyak 3−5 kali.

2. Potongan organ tersebut dimasukkan kedalam tissue casette.

c. Dehidrasi

1. Mengeringkan air dengan meletakkan tissue casette pada kertas tisu

2. Dehidrasi dengan :

 Alkohol 70% selama 0,5 jam  Alkohol 96% selama 0,5 jam  Alkohol 96% selama 0,5 jam  Alkohol 96% selama 0,5 jam  Alkohol absolut selama 1 jam  Alkohol absolut selama 1 jam  Alkohol absolut selama 1 jam  Alkohol xylol 1:1 selama 0,5 jam d. Clearing

Untuk membersihkan sisa alkohol, dilakukan clearing dengan xilol I dan II masing–masing selama 1 jam.

e. Impregnansi

Impregnansi dilakukan dengan menggunakan parafin selama 1 jam dalam oven suhu 65oC.


(39)

f. Embedding

1. Sisa paraffin yang ada pada pan dibersihkan dengan memanaskan beberapa saat di atas api dan diusap dengan kapas.

2. Paraffin cair disiapkan dengan memasukkan paraffin ke dalam cangkir logam dan dimasukkan dalam oven dengan suhu di atas 580C.

3. Paraffin cair dituangkan ke dalam pan.

4. Dipindahkan satu per satu dari tissue casette ke dasar pan dengan mengatur jarak yang satu dengan yang lainnya. 5. Pan dimasukkan ke dalam air.

6. Paraffin yang berisi potongan hepar dilepaskan dari pan dengan dimasukkan ke dalam suhu 4−60C beberapa saat. 7. Paraffin dipotong sesuai dengan letak jaringan yang ada

dengan menggunakan skalpel/pisau hangat.

8. Lalu diletakkan pada balok kayu, diratakan pinggirnya dan dibuat ujungnya sedikit meruncing.

g. Cutting

1. Pemotongan dilakukan pada ruangan dingin.

2. Sebelum memotong, blok didinginkan terlebih dahulu di lemari es.

3. Dilakukan pemotongan kasar, lalu dilanjutkan dengan pemotongan halus dengan ketebalan 4−5 mikron.


(40)

Pemotongan dilakukan menggunakan rotary microtome dengan disposable knife.

4. Dipilih lembaran potongan yang paling baik, diapungkan pada air dan dihilangkan kerutannya dengan cara menekan salah satu sisi lembaran jaringan tersebut dengan ujung jarum dan sisi yang lain ditarik menggunakan kuas runcing. 5. Lembaran jaringan dipindahkan ke dalam water bath pada

suhu 600C selama beberapa detik sampai mengembang sempurna.

6. Dengan gerakkan menyendok, lembaran jaringan tersebut diambil dengan slide bersih dan ditempatkan di tengah atau pada sepertiga atas atau bawah.

7. Slide yang berisi jaringan ditempatkan pada inkubator (Suhu 370C) selama 24 jam sampai jaringan melekat sempurna.

h. Straining (Pewarnaan) dengan Prosedur Pulasan Hematoksilin– Eosin:

Setelah jaringan melekat sempurna pada slide, dipilih slide yang terbaik selanjutnya secara berurutan memasukkan ke dalam zat kimia di bawah ini dengan waktu sebagai berikut. 1. Dilakukan deparafinisasi dalam:

 Larutan xylol I selama 5 menit  Larutan xylol II selama 5 menit  Ethanol absolut selama 1 jam


(41)

2. Hydrasi dalam:

 Alkohol 96% selama 2 menit  Alkohol 70% selama 2 menit  Air selama 10 menit

3. Pulasan inti dibuat dengan menggunakan:  Haris hematoksilin selama 15 menit  Air mengalir

 Eosin selama maksimal 1 menit 4. Lanjutkan dehidrasi dengan menggunakan

 Alkohol 70% selama 2 menit  Alkohol 96% selama 2 menit  Alkohol absolut 2 menit 5. Penjernihan:

Xylol I selama 2 menit Xylol II selama 2 menit

i. Mounting dengan entelan lalu tutup dengan deck glass

Setelah pewarnaan selesai, slide ditempatkan di atas kertas tisu pada tempat datar, ditetesi dengan bahan mounting yaitu entelan dan ditutup dengan deck glass, cegah jangan sampai terbentuk gelembung udara.

j. Membaca slide dengan mikroskop

Cara melakukan pengukuran ketebalan kornea yaitu dengan memfoto preparat yang dilengkapi suatu program yang langsung menghubungkan mikroskop dengan komputer.


(42)

3.7. Pengolahan dan Analisis Data 3.7.1 Pengolahan Data

Data yang telah diperoleh dari proses pengumpulan data akan diubah kedalam bentuk tabel - tabel, kemudian proses pengolahan data menggunakan program komputer yang terdiri beberapa langkah :

1. Koding, untuk mengkonversikan (menerjemahkan) data yang dikumpulkan selama penelitian kedalam simbol yang cocok untuk keperluan analisis. 2. Data entry, memasukkan data kedalam komputer.

3. Verifikasi, memasukkan data pemeriksaan secara visual terhadap data yang telah dimasukkan kedalam komputer.

4. Output komputer, hasil yang telah dianalisis oleh komputer kemudian dicetak.

3.7.2. Analisis Statistika

Analisis statistika untuk mengolah data yang diperoleh akan menggunakan program komputerdimana akan dilakukan analisa bivariat. Analisa bivariat adalah analisis yang digunakan untuk mengetahui hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat dengan menggunakan uji statististik:

Hasil penelitian dianalisis apakah memiliki distribusi normal atau tidak secara statistik dengan uji normalitas Shapiro-Wilk karena jumlah sampel ≤ 50. Kemudian dilakukan uji Levene’s untuk mengetahui apakah dua atau lebih kelompok data memiliki varians yang sama atau tidak. Jika varians data berdistribusi normal dan homogen dilanjutkan dengan metode uji parametrik, digunakan uji One Way ANOVA. Bila tidak memenuhi syarat uji parametrik, digunakan uji non parametrik. Kruskal-Wallis. Hipotesis dianggap bermakna


(43)

bila p< 0,05. Jika pada uji ANOVA atau Kruskal-Wallis menghasilkan p< 0,05 maka dilanjutkan dengan melakukan analisis Post-hoc LSD melihat perbedaan antar kelompok perlakuan.


(44)

3.8. Diagram Alur Penelitian

Gambar 6. Diagram Alur Penelitian Pengaruh Paparan Sinar Lampu Ultraviolet-C terhadap Kornea Mencit Jantan (Mus musculus L.)

Pembuatan Proposal Penelitian

Tahap Persiapan

Aklimatisasi selama tujuh hari

Persiapan lampu Ultraviolet C dan

isolatornya

Pelaksanaan Penelitian

Pemberian pajanan sinar UV-C dengan intensitas 0, 30 menit, 1 jam, 2 jam, 4 jam

selama 14 hari

Pembedahan dan pembuatan preparat kornea

Pengamatan preparat kornea

Analisis data


(45)

3.9.Ethical Clearance

Penelitian ini telah diajukan ke Komisi Etik Penelitian Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Lampung, dengan menerapkan prinsip 3R dalam protokol penelitian, yaitu:

1. Replacement, adalah keperluan memanfaatkan hewan percobaan sudah diperhitungkan secara seksama, baik dari pengalaman terdahulu maupun literatur untuk menjawab pertanyaan penelitian dan tidak dapat digantikan oleh makhluk hidup lain seperti sel atau biakan jaringan. 2. Reduction, adalah pemanfaatan hewan dalam penelitian sesedikit

mungkin, tetapi tetap mendapatkan hasil yang optimal. Dalam penelitian ini sampel dihitung berdasarkan rumus Frederer yaitu (n-1) (t-1) ≥ 15, dengan n adalah jumlah hewan yang diperlukan dan t adalah jumlah kelompok perlakuan.

3. Refinement, adalah memperlakukan hewan percobaan secara manusiawi, dengan prinsip dasar membebaskan hewan coba dalam beberapa kondisi. a. Bebas dari rasa lapar dan haus, pada penelitian ini hewan coba

diberikan pakan standar dan minum secara ad libitum.

b. Bebas dari ketidak-nyamanan, pada penelitian hewan coba ditempatkan di animal house dengan suhu terjaga 20-25°C, kemudian hewan coba terbagi menjadi 3-4 ekor tiap kandang. Animal house


(46)

berada jauh dari gangguan bising dan aktivitas manusia serta kandang dijaga kebersihannya sehingga, mengurangi stress pada hewan coba. c. Bebas dari nyeri dan penyakit dengan menjalankan program

kesehatan, pencegahan, dan pemantauan, serta pengobatan terhadap hewan percobaan jika diperlukan, pada penelitian hewan coba diberikan perlakuan dengan menggunakan nasogastric tube dilakukan dengan mengurangi rasa nyeri sesedikit mungkin, dosis perlakuan diberikan berdasarkan pengalaman terdahulu maupun literatur yang telah ada.

Prosedur pengambilan sampel pada akhir penelitian telah dijelaskan dengan mempertimbangkan tindakan manusiawi dan anesthesia serta euthanasia dengan metode yang manusiawi oleh orang yang terlatih untuk meminimalisasi atau bahkan meniadakan penderitaan hewan coba sesuai dengan IACUC (Ridwan, 2013).


(47)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1Kesimpulan

Terdapat pengaruh intensitas waktu paparan sinar UV-C terhadap ketebalan kornea mencit jantan (Mus musculus L.) untuk kelompok kontrol sebesar 52,22±11,38, P1 (UV-C 30 menit) sebesar 33,06±8,94, P2 (UV-C 1 jam) sebesar 32,04±9,33, P3 (UV-C 2 jam) sebesar 30,67±3,42, dan P4 (UV-C 4 jam) sebesar 25,69±7,12

5.2Saran

5.2.1. Sebaiknya dilakukan penelitian lebih lanjut dengan mengganti jenis lampu yang biasa digunakan sehari-hari terhadap kornea mencit

5.2.2. Sebaiknya dilakukan penelitian lebih lanjut dengan lama penelitian yang lebih panjang untuk mengetahui efek lebih lanjut paparan lampu ultraviolet-c jangka panjang terhadap kornea mencit

5.2.3. Berhati-hati dalam penggunaan lampu ultraviolet-c karena berpengaruh terhadap kornea


(48)

DAFTAR PUSTAKA

Alatas, Z dan Lusiyanti Y. 2001. Efek Kesehatan Radiasi Non Pengionan pada Manusia [SEMNAS]. Pusat Penelitian dan Pengembangan Keselamatan Radiasi dan Biomedika Nuklir-BATAN: Jakarta. hlm. 1-8

Alit S , I, B, 2009. Pengaruh Radiasi Gelombang Elektromagnetik Terhadap Kesehatan Manusia [Skripsi]. Bali: Universitas Udayana Kampus Bukit Jimbaran

Amelia, L. 2010. Pengaruh Paparan Sinar Ultraviolet C terhadap Gambaran Histologi Hepatosit pada Mencit (Musmusculus. L) [Skripsi]. Yogyakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Muhamadiyah Yogyakarta

American Lung Association. 2013. Guidelines for Euthanasia of Animals. pp. 30-48 Baumann L and Allemann IB. Depigmenting Agents.In baumann L, Saghari S,

Weisberg E. 2009. Cosmetic Dermatology, Principels and Practice, 2nd ed. New York: McGraw Hill Medical.pp. 279-91

De Gruijl, F,R, 2000. Health Effects from Solar UV Radiation. 72(3-4): 177-196. Departemen Kesehatan (Depkes). 2001. Pedoman Pengendalian Tikus di Rumah

Sakit. hlm. 73-80

Donald TH Tan. 2005. Overview of Visual Impairment, Blindness and Mayor Eye Diseases in Asia in Clinical Ophthalmology An Asia Perspective. Singapore:Sauders Elsevier. pp 1-6


(49)

photoaging and chonological aging. Archives of Dermatology, vol: 138

Glaser, Z,R. 2000. Organization and Management of A Non-Ionizing Safety program. In Miller, K,L (ed) Handbook of Management of Radiation Protection Program. 2nd ed. Boccaraton: CRC Press, pp: 43-52.

Gornick, Larry. 2005. Kartun Fisika. Jakarta: KPG. hlm: 149-56, 117-22

Hollwich, F., 2003.Oftalmologi Edisi Kedua. Jakarta: Binarupa Aksara. hlm. 115-23 Intan, O. 2013. Pengaruh Paparan Cahaya Lampu Merkuri Terhadap Gambaran

Histologi Glomerulus Ginjal Mencit (Musmusculus L.) [Skripsi]. Lampung: Fakultas Kedokteran Universitas Lampung

Khurana A.K, 2007. Community Ophthalmologi, Chapter 20, in Comprehensive Ophthalmologi, Fourth Edition. New Delhi, New Age Internasional Limited Publisher. pp 443-6

Kusumawati D. 2004. Bersahabat dengan hewan coba. Yogyakarta: Gajah mada university press. hlm 92.

Lynch D. 2004. Health Concerns With Electromagnetik and Electrotatic Field Exposure. Proceding of health & safety seminar. pp 1-5

Molole M. B. M dan C.S. Pramono. 1989. Penggunaan Hewan-hewan Percobaan Laboratorium. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Bioteknologi. Institut Pertanian Bogor: Bogor

Moriwaki C., Imanishi T., Hano T., Nishio I. 2005. Endothelial progenitor cell senescence is accelerated in both experimental hypertensive rats and patients with essential hypetension. J Hypertens.23: 1831-7


(50)

Notoatmojo S. 2010. Metodologi penelitian kesehatan. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Hlm.45-55

Perhimpunan Dokter Spesialis Mata Indonesia (PERDAMI),2006. Editor Tahjono. Dalam panduan manajermen klinik PERDAMI. Jakarta: Ondo. hlm. 56-8

Rainy, I. 2010. Pengaruh Paparan Sinar Ultraviolet-C Terhadap Gambaran

Histologi Kulit Pada Mencit (Mus musculus. L) [Skripsi]. Yogyakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Ridwan, E. 2013. Etika Pemanfaatan Hewan Percobaan dalam Penelitian Kesehatan.J Indon Med Assoc. 63 (3): 112-6

Riordan-Eva, P., 2010. Anatomi & Embriologi Mata. Dalam Vaugan, Asbury. Oftalmologi Umum Edisi 17. Jakarta: EGC. hlm.125-50

Smith B.J. dan Mangkoewidjoyo S. 1998. Pemeliharaan, Pembiakan, dan Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Jakarta: UI Press. hlm 10-12 Soebaryo, RW dan Jacoeb, 2007. Fotobiologi, Dalam Adhi Djuanda, Mochtar

Hamzah, Siti Aisah. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin 5th ed. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. hlm. 177-181

Trevisanand Andrea. 2006. Unusual High Exposure to Ultraviolet-C Radiation. Department of Environmental Medicine and Public Health, University of Padova. hlm. 122-58

Vilbreg VA., R Kavet, and CN. Rafferty. 2007. Can Low Level 50/60 Hz Electric and Magnetic Field Cause Biological Effects. Radiation Reaserc, pp 2-21


(51)

World Health Organization(WHO). 2009. Health Effect from Radiation UV. Diakses tanggal 1 April 2009, darihttp://www.who.int/uv/health/en/

Yurnadi. 2000. Medan Listrik dan Pengaruh terhadap Kesehatan. Majalah Kedokteran Indonesia: 50: 393-9


(1)

37

berada jauh dari gangguan bising dan aktivitas manusia serta kandang dijaga kebersihannya sehingga, mengurangi stress pada hewan coba. c. Bebas dari nyeri dan penyakit dengan menjalankan program

kesehatan, pencegahan, dan pemantauan, serta pengobatan terhadap hewan percobaan jika diperlukan, pada penelitian hewan coba diberikan perlakuan dengan menggunakan nasogastric tube dilakukan dengan mengurangi rasa nyeri sesedikit mungkin, dosis perlakuan diberikan berdasarkan pengalaman terdahulu maupun literatur yang telah ada.

Prosedur pengambilan sampel pada akhir penelitian telah dijelaskan dengan mempertimbangkan tindakan manusiawi dan anesthesia serta euthanasia dengan metode yang manusiawi oleh orang yang terlatih untuk meminimalisasi atau bahkan meniadakan penderitaan hewan coba sesuai dengan IACUC (Ridwan, 2013).


(2)

51

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1Kesimpulan

Terdapat pengaruh intensitas waktu paparan sinar UV-C terhadap ketebalan kornea mencit jantan (Mus musculus L.) untuk kelompok kontrol sebesar 52,22±11,38, P1 (UV-C 30 menit) sebesar 33,06±8,94, P2 (UV-C 1 jam) sebesar 32,04±9,33, P3 (UV-C 2 jam) sebesar 30,67±3,42, dan P4 (UV-C 4 jam) sebesar 25,69±7,12

5.2Saran

5.2.1. Sebaiknya dilakukan penelitian lebih lanjut dengan mengganti jenis lampu yang biasa digunakan sehari-hari terhadap kornea mencit

5.2.2. Sebaiknya dilakukan penelitian lebih lanjut dengan lama penelitian yang lebih panjang untuk mengetahui efek lebih lanjut paparan lampu ultraviolet-c jangka panjang terhadap kornea mencit

5.2.3. Berhati-hati dalam penggunaan lampu ultraviolet-c karena berpengaruh terhadap kornea


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Alatas, Z dan Lusiyanti Y. 2001. Efek Kesehatan Radiasi Non Pengionan pada Manusia [SEMNAS]. Pusat Penelitian dan Pengembangan Keselamatan Radiasi dan Biomedika Nuklir-BATAN: Jakarta. hlm. 1-8

Alit S , I, B, 2009. Pengaruh Radiasi Gelombang Elektromagnetik Terhadap Kesehatan Manusia [Skripsi]. Bali: Universitas Udayana Kampus Bukit Jimbaran

Amelia, L. 2010. Pengaruh Paparan Sinar Ultraviolet C terhadap Gambaran Histologi Hepatosit pada Mencit (Musmusculus. L) [Skripsi]. Yogyakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Muhamadiyah Yogyakarta

American Lung Association. 2013. Guidelines for Euthanasia of Animals. pp. 30-48 Baumann L and Allemann IB. Depigmenting Agents.In baumann L, Saghari S,

Weisberg E. 2009. Cosmetic Dermatology, Principels and Practice, 2nd ed. New York: McGraw Hill Medical.pp. 279-91

De Gruijl, F,R, 2000. Health Effects from Solar UV Radiation. 72(3-4): 177-196. Departemen Kesehatan (Depkes). 2001. Pedoman Pengendalian Tikus di Rumah

Sakit. hlm. 73-80

Donald TH Tan. 2005. Overview of Visual Impairment, Blindness and Mayor Eye Diseases in Asia in Clinical Ophthalmology An Asia Perspective. Singapore:Sauders Elsevier. pp 1-6


(4)

Eroschenko, V.P., 2003. Atlas Histologi di Fiore Edisi 9. EGC: Jakarta. hlm. 253-61 Fisher, G.J., S., Varani, J., Beta-Csorgo, Z., Wan, Y., Datta, S., 2002. Mechanism of

photoaging and chonological aging. Archives of Dermatology, vol: 138

Glaser, Z,R. 2000. Organization and Management of A Non-Ionizing Safety program. In Miller, K,L (ed) Handbook of Management of Radiation Protection Program. 2nd ed. Boccaraton: CRC Press, pp: 43-52.

Gornick, Larry. 2005. Kartun Fisika. Jakarta: KPG. hlm: 149-56, 117-22

Hollwich, F., 2003.Oftalmologi Edisi Kedua. Jakarta: Binarupa Aksara. hlm. 115-23 Intan, O. 2013. Pengaruh Paparan Cahaya Lampu Merkuri Terhadap Gambaran

Histologi Glomerulus Ginjal Mencit (Musmusculus L.) [Skripsi]. Lampung: Fakultas Kedokteran Universitas Lampung

Khurana A.K, 2007. Community Ophthalmologi, Chapter 20, in Comprehensive Ophthalmologi, Fourth Edition. New Delhi, New Age Internasional Limited Publisher. pp 443-6

Kusumawati D. 2004. Bersahabat dengan hewan coba. Yogyakarta: Gajah mada university press. hlm 92.

Lynch D. 2004. Health Concerns With Electromagnetik and Electrotatic Field Exposure. Proceding of health & safety seminar. pp 1-5

Molole M. B. M dan C.S. Pramono. 1989. Penggunaan Hewan-hewan Percobaan Laboratorium. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Bioteknologi. Institut Pertanian Bogor: Bogor

Moriwaki C., Imanishi T., Hano T., Nishio I. 2005. Endothelial progenitor cell senescence is accelerated in both experimental hypertensive rats and patients with essential hypetension. J Hypertens.23: 1831-7


(5)

Ng Kwan Hoong. 2003. Radiation Effect and Protection in Diagnostic Radiology. Asian-OceanianTexbook of Radiology Eds. Singapore: Asia Media. pp: 1753-70 Notoatmojo S. 2010. Metodologi penelitian kesehatan. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Hlm.45-55

Perhimpunan Dokter Spesialis Mata Indonesia (PERDAMI),2006. Editor Tahjono. Dalam panduan manajermen klinik PERDAMI. Jakarta: Ondo. hlm. 56-8

Rainy, I. 2010. Pengaruh Paparan Sinar Ultraviolet-C Terhadap Gambaran

Histologi Kulit Pada Mencit (Mus musculus. L) [Skripsi]. Yogyakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Ridwan, E. 2013. Etika Pemanfaatan Hewan Percobaan dalam Penelitian Kesehatan.J Indon Med Assoc. 63 (3): 112-6

Riordan-Eva, P., 2010. Anatomi & Embriologi Mata. Dalam Vaugan, Asbury. Oftalmologi Umum Edisi 17. Jakarta: EGC. hlm.125-50

Smith B.J. dan Mangkoewidjoyo S. 1998. Pemeliharaan, Pembiakan, dan Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Jakarta: UI Press. hlm 10-12 Soebaryo, RW dan Jacoeb, 2007. Fotobiologi, Dalam Adhi Djuanda, Mochtar

Hamzah, Siti Aisah. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin 5th ed. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. hlm. 177-181

Trevisanand Andrea. 2006. Unusual High Exposure to Ultraviolet-C Radiation. Department of Environmental Medicine and Public Health, University of Padova. hlm. 122-58

Vilbreg VA., R Kavet, and CN. Rafferty. 2007. Can Low Level 50/60 Hz Electric and Magnetic Field Cause Biological Effects. Radiation Reaserc, pp 2-21


(6)

Webb, A.R. 2005. Changes in Stratospheric Ozone Concentrations and Solar Uv Levels. Radiation Protection Dosimetry.72 (3-4) : 207-16.

World Health Organization(WHO). 2009. Health Effect from Radiation UV. Diakses tanggal 1 April 2009, darihttp://www.who.int/uv/health/en/

Yurnadi. 2000. Medan Listrik dan Pengaruh terhadap Kesehatan. Majalah Kedokteran Indonesia: 50: 393-9