TINGKAT PENERAPAN TEKNOLOGI BUDIDAYA SAYURAN ORGANIK DI KELURAHAN KARANGREJO KECAMATAN METRO UTARA KOTA METRO

(1)

ABSTRAK

TINGKAT PENERAPAN TEKNOLOGI BUDIDAYA SAYURAN ORGANIK DI KELURAHAN KARANGREJO

KECAMATAN METRO UTARA KOTA METRO

Oleh:

Arum Purnawati1, Sumaryo Gitosaputro2, Begem Viantimala2 Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui : 1) tingkat penerapan teknologi budidaya sayuran organik di Kelurahan Karangrejo Kecamatan Metro Utara Kota Metro, dan 2) tingkat pendapatan petani sayuran organik di Kelurahan Karangrejo Kecamatan Metro Utara Kota Metro. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai Juni 2014 di Kelurahan Karangrejo Kecamatan Metro Utara, Kota Metro. Responden dipilih menggunakan metode sensus dengan jumlah 48 responden. Metode penelitian yang digunakan adalah studi kasus, untuk mendapatkan sampel penelitian dengan rumus Arikunto. Analisis data menggunakan analisis

deskriptif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: 1) Tingkat penerapan teknologi budidaya sayuran organik di Kelurahan Karangrejo berada dalam kategori sedang dengan tingkat penerapan sebesar 75 %. Tingkat penerapan teknologi yang sudah diterapkan dengan baik yaitu pada kegiatan penanaman, pengairan, dan pasca panen. Tingkat penerapan yang perlu ditingkatkan adalah benih/bibit dan panen. 2) Pendapatan petani sayuran organik di Kelurahan Karangrejo dalam kategori sedang dengan rata-rata pendapatan sebesar Rp. 1.482.865, 00 per bulan.


(2)

ABSTRACT

THE APPLICATION LEVEL OF ORGANIC VEGETABLES CULTIVATION TECHNOLOGY IN KARANGREJO VILLAGE OF

NORTH METRO SUB DISTRICT IN METRO CITY

By:

Arum Purnawati1, Sumaryo Gitosaputro2, Begem Viantimala2

This study is aimed at investigating: 1)the application level of organic vegetables

cultivation technology in Karangrejo Village North Metro sub district Metro City, and 2) the level income of vegetable farmers in Karangrejo Village North Metro sub district, Metro City. This research was conducted May until June 2014 in Karangrejo Village North Metro sub district, Metro City. Respondents were choosen by census method which was consist of 48 respondents. The research method used is a case study, and the Arikunto’s formula used to obtain samples. The data analysis was done descriptively. The results showed that 1)The application level of organic vegetables from cultivation technology in Karangrejo Village was at middle category with level applicability of 75 percents. The application level of technology have been applied well, there are activities on planting, watering, and post harvesting. The level of implementation needed to be improved are seedlings and harvesting. 2) The level of farmer’s income in Karangrejo Village were medium level category with average income as much as Rp 1,482,865. 00 each month.


(3)

(4)

(5)

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Metro pada tanggal 15 September 1989 sebagai anak ke empat dari empat bersaudara, pasangan Bapak Sumono, B.A. dan Ibu Siti Aminah, S.Pd.

Penulis menyelesaikan pendidikan Taman Kanak-Kanak (TK) di TK Budi Asih pada tahun 1995, pendidikan Sekolah Dasar (SD) di SD Negeri 5 Metro Selatan pada tahun 2001. Pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) di SMP Negeri 1 Metro diselesaikan pada tahun 2004. Pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) di SMA Negeri 2 Metro diselesaikan pada tahun 2007. Penulis terdaftar sebagai mahasiswa Jurusan Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Lampung pada tahun 2007 melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Pada tahun 2010 penulis melaksanakan Praktik Umum (PU) selama 40 hari di Kantor BP3K Kecamatan Metro Barat Kota Metro.


(7)

SANWACANA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi yang berjudul “ Tingkat Penerapan Teknologi dalam Budidaya Sayuran Organik di Kelurahan Karangrejo Kecamatan Metro Utara Kota Metro”. Banyak pihak yang telah memberikan dorongan, perhatian, bimbingan, dan pengarahan. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapakan terima kasih kepada:

1. Dr. Ir. Sumaryo Gs, M.Si., selaku Pembimbing pertama atas kesediaannya memberikan bimbingan dan arahan dalam proses penulisan skripsi.

2. Ir. Begem Viantimala, M. Si., selaku Pembimbing Kedua atas kesediaannya dalam memberikan masukan, bimbingan, dan motivasi kepada penulis. 3. Dr. Ir. Dewangga Nikmatullah, M. S., selaku Dosen Pembahas, atas

kesediaannya memberikan saran dan kritik yang berguna bagi penulis. 4. Dr. Ir. Zainal Abidin, M.E.S., selaku Dosen Pembimbing Akademik atas

bimbingan, saran, dan motivasi.

5. Dr. Ir. Fembriarti Erry Prasmatiwi, M. S., selaku Ketua Jurusan Agribisnis. 6. Prof. Dr. Ir. H. Wan Wan Abbas Zakaria, M.S., selaku Dekan Fakultas

Pertanian Universitas Lampung.


(8)

9. Orangtuaku yang tercinta (Bapak Sumono dan Ibu Siti Aminah) yang selalu mendoakan setiap langkah dan kasih sayang yang tidak ternilai bagi penulis. 10.Mbak Sri Indaryati, M. Si. terima kasih untuk saran dan bimbingannya. 11.Sahabat seperjuangan, Aras, Putri, Made, Dini, Tri, Danang, Randy. 12. Ayu dan Desi, terima kasih atas bantuan dan motivasinya.

13.Teman-teman Agribisnis 2007, 2008, dan 2009.

14.Semua pihak yang telah membantu demi selesainya skripsi ini, yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Akhir kata, semoga karya kecil ini dapat memberikan manfaat. Penulis

menyadari bahwa Skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu diperlukan saran dan kritik yang membangun.

Bandar Lampung, Desember 2014 Penulis,


(9)

DAFTAR ISI

Halaman DAFTAR TABEL...

DAFTAR GAMBAR...

iii iv I. II. III. IV. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang dan Masalah... B. Tujuan Penelitian... C. Kegunaan Penelitian... TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN A. Tinjauan Pustaka...

1. Sayuran... 2. Teknologi Budidaya Organik... 3. Pertanian Organik... 4. Teori Produksi... 5. Pendapatan Usahatani... 6. Hasil Penelitian Terdahulu... B. Kerangka Pemikiran... METODE PENELITIAN

A. Definisi Operasional, Pengukuran, dan Klasifikasi... 1. Tingkat Penerapan Teknologi Budidaya Sayuran Organik... 2. Produksi dan PendapatanSayuran Organik... B. Lokasi, Sampel, dan Waktu Penelitian... C. Metode Penelitian dan Pengumpulan Data... D. Metode Analisis Data... GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

A. Sejarah Berdirinya Kelurahan Karangrejo... B. Letak Geografis dan Luas Daerah Penelitian... C. Topografi, Iklim, dan Tanah... D. Keadaan Penduduk... 1. Jumlah Penduduk Berdasarkan Umur... 2. Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan...

1 9 9 10 10 11 16 24 24 26 27 32 33 44 45 46 46 47 48 48 49 49 50


(10)

V.

VI.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Keadaan Umum Responden... 1. Umur... 2. Pendidikan Responden... 3. Luas Lahan Usahatani... B. Deskripsi Tingkat Penerapan Teknologi Budidaya Sayuran

Organik di Kelurahan Karangrejo... 1. Pengolahan Lahan... 2. Bibit/benih... 3. Penanaman... 4. Pemeliharaan... 5. Pengairan... 6. Panen... 7. Pasca Panen... KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan... B. Saran... DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

55 55 56 57 59 59 63 65 67 71 72 74

81 81


(11)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18.

Luas wilayah Kota Metro menurut Kecamatan dan persentasenya... Luas lahan menurut penggunaan di Kecamatan Metro Utara... Luas panen dan produksi jenis sayuran di Kelurahan Karangrejo... Pengukuran dan definisi operasional pengolahan lahan... Pengukuran dan definisi operasional bibit/benih... Pengukuran dan definisi operasional penanaman... Pengukuran dan definisi operasional pemeliharaan... Pengukuran dan definisi operasional pengairan... Pengukuran dan definisi operasional panen... Pengukuran dan definisi operasional pasca panen... Pengukuran dan definisi operasional produksi dan pendapatan ... Jumlah populasi penelitian di Kelurahan Karangrejo... Penggunaan lahan di Kelurahan Karangrejo... Jumlah penduduk berdasarkan umur... Jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikan... Jumlah penduduk berdasarkan matapencaharian... Sarana pendidikan... Sarana kendaraan... 2 4 7 34 36 38 39 41 42 43 44 45 49 50 51 52 52 53


(12)

21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. Pendidikan responden... Luas lahan usahatani responden petani sayur... Sebaran skor tingkat penerapan teknologi pengolahan lahan... Sebaran skor penerapan teknologi bibit/benih... Sebaran skor tingkat penerapan teknologi penanaman... Sebaran skor tingkat penerapan teknologi pemeliharaan... Sebaran skor tingkat penerapan teknologi pengairan... Sebaran skor tingkat penerapan teknologi panen... Sebaran skor penerapan teknologi pasca panen... Tingkat penerapan teknologi sapta usahatani budidaya sayuran

organik... Sebaran skor produksi sayuran... Sebaran pendapatan………... Identitas responden... Sapta usahatani... Biaya variabel... Biaya tetap dan penyusutan alat... Produksi dan pendapatan...

56 57 60 63 65 67 71 73 74 76 77 80 84 85 86 88 89


(13)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Paradigma Tingkat Penerapan Teknologi Budidaya Sayuran Organik... 29

2. Peta jaringan jalan Kelurahan Karangrejo... 90

3. Pengolahan lahan... 91

4. Benih/bibit caisin... 91

5. Penanaman caisin... 92

6. Pemeliharaan... 92

7. Air untuk menyiram sayuran... 93

8. Sayuran yang dipanen... 93


(14)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang dan Masalah

Indonesia merupakan negara agraris dengan sektor pertanian sebagai sumber matapencaharian dari mayoritas penduduknya, sehingga sebagian besar penduduknya menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian.

Pembangunan pertanian sangat penting, oleh karena itu dalam proses

pembangunan harus dikembangkan jalinan dan komunikasi yang akrab antara pemerintah, penyuluh, dan masyarakat dalam kegiatan penelitian, pengujian, bimbingan dalam penerapan teknologi, dan lain-lain.

Teknologi pertanian merupakan cara-cara bertani, termasuk bagaimana petani menyebarkan benih, memelihara tanaman, dan lain-lain. Salah satu teknologi yang dapat memenuhi kebutuhan konsumen terhadap mutu dan keamanan pangan adalah pertanian organik. Melihat betapa pentingnya pertanian organik yang ramah lingkungan maka Departemen Pertanian RI juga

memiliki program untuk mempercepat terwujudnya pembangunan agribisnis berwawasan lingkungan (eco agribusiness) yaitu gerakan “Go Organic

2010”, tujuannya untuk meningkatkan ketahanan dan kesejahteraan

masyarakat dengan visi mewujudkan Indonesia sebagai salah satu produsen pangan organik terbesar di dunia pada tahun 2010.


(15)

Gerakan pertanian organik mulai berkembang di Indonesia sejalan dengan perkembangan pertanian organik dunia. Konsumen di negara maju menjadi pencetus awal dan inspirasi pertanian organik di Indonesia. Pertanian organik di Provinsi Lampung mulai digalakkan pada tahun 2009, bidang hortikultura Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Lampung mencanangkan program Go Organic dengan memberikan pelatihan pada petani yang disalurkan ke Dinas Pertanian Kabupaten/Kota, kemudian Dinas Pertanian Kabupaten/Kota tersebut menindaklanjuti pelatihan sekolah lapang (SL). Kepala Bidang Tanaman Pangan dan Hortikultura Kota Metro merealisasikan Go Organic dengan program SL pada berbagai jenis tanaman, antara lain yaitu: pare, padi, bayam, kangkung, dan cabai.

Wilayah Kota Metro berkembang di atas lahan pertanian, yang sebagian besar berupa sawah irigasi teknis dan produktif. Perkembangan ini makin

dipercepat oleh pembangunan prasarana jalan, sehingga lahan permukiman dan persawahan yang dibangun cenderung mengikuti jaringan jalan.

Kota Metro terdiri dari lima Kecamatan, sedangkan luas wilayah Kota Metro dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Luas wilayah Kota Metro menurut Kecamatan dan persentasenya

No Kecamatan Luas Wilayah

(Ha)

Persentase Terhadap Luas Metro

1 Metro Selatan 1.433 20,85%

2 Metro Barat 1.128 16,41%

3 Metro Timur 1.178 17,14%

4 Metro Pusat 1.171 17,04%

5 Metro Utara 1.964 28,57%

Jumlah 6.874 100,00%


(16)

Tabel 1 menunjukkan bahwa Kecamatan dengan luas wilayah terbesar yaitu Kecamatan Metro Utara yaitu sebesar 1.964 Ha, sedangkan kecamatan dengan luas terkecil yaitu Kecamatan Metro Barat. Total luas wilayah Kota Metro sebesar 6.874 Ha. Pertanian merupakan salah satu potensi wilayah yang terdapat di Kota Metro. Pertanian tanaman pangan dan peternakan menjadi penyumbang kegiatan ekonomi pertanian, selain perdagangan besar dan eceran.

Kemajuan dan pembangunan dalam berbagai bidang tidak dapat dilepaskan dari kemajuan teknologi. Teknologi yang senantiasa berubah merupakan salah satu syarat mutlak pembangunan pertanian. Apabila tidak ada

perubahan dalam teknologi maka pembangunan pertanian akan terhenti yang mengakibatkan menurunnya produksi pertanian. Pengembangan pertanian memiliki tantangan dalam ketersediaan sumberdaya lahan. Meningkatnya penggunaan alih fungsi lahan dari sektor pertanian ke non pertanian menyebabkan lahan pertanian di Indonesia semakin sempit. Untuk mencukupi kebutuhan pangan manusia dengan kondisi lahan yang sempit sangat sulit diwujudkan. Selain masalah lahan yang sempit ketersediaan air juga menjadi kendala, air merupakan sumberdaya utama dalam produksi tanaman pertanian.

Pola penggunaan lahan di Kota Metro secara garis besar dikelompokkan ke dalam 2 (dua) jenis penggunaan, yaitu lahan terbangun (build up area) dan tidak terbangun. Lahan terbangun terdiri kawasan permukiman, fasilitas


(17)

umum, fasilitas sosial dan fasilitas perdagangan dan jasa, sedangkan lahan tidak terbangun terdiri dari persawahan, perladangan, dan penggunaan lain- lain. Kecamatan Metro Utara merupakan Kecamatan terluas di Kota Metro yang penggunaan lahannya disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Luas lahan menurut penggunaan di Kecamatan Metro Utara

Kelurahan Peka- rangan Tegal/ Kebun Htn Rak- yat Rawa rawa Sawah (Ha) Kolam Lain lain Per-airan

Umum Jml

(Ha) (Ha) (Ha) (Ha) Irigasi

Tadah

Hujan Jml (Ha) (Ha) (Ha) (Ha)

Banjarsari 247 7 3 2 238 10 248 1,075 65,925 1 575

Purwosari 111 12 20 1 99 0 99 1,525 11,475 0 256

Purwoasri 136,43 15 30 1 139 6 145 1,325 19,245 14 362

Karangrejo 329 58 20 2 290 14 304 1,395 56,605 0 771

Jumlah 823,43 92 73 6 766 30 796 5,32 153,25 15 1.964

Sumber: Dinas Pertanian Kota Metro, 2012

Tabel 2 menunjukkan bahwa luas lahan Kecamatan Metro Utara adalah 1.964 Ha. Kelurahan Karangrejo mempunyai sawah irigasi yang paling luas yaitu 290 (Ha), dan juga menjadi sentra sayuran di Kecamatan Metro Utara Kota Metro. Disebut sebagai sentra karena jumlah produksi sayuran di Karangrejo merupakan yang paling banyak di Kecamatan tersebut, selain itu juga menjadi pusat studi.

Budidaya sayuran organik di Kelurahan Karangrejo, dilakukan secara organik. Sayuran organik sebagai salah satu produk yang dihasilkan dari pertanian bersifat ramah lingkungan dan lebih mendekatkan diri kepada konsep alam (back to nature), sehingga mampu memberikan jaminan kualitas yang relatif lebih baik dibandingkan dengan sayuran biasa. Mengkonsumsi makanan organik juga memiliki dampak yang luar biasa baik bagi kesehatan di masa mendatang. Menurut riset, sebagian besar yang mengkonsumsi


(18)

makanan non organik adalah dari kalangan generasi muda. Hasil studi terakhir membuktikan bahwa anak-anak terkena empat kali lebih banyak efek pestisida daripada orang dewasa. Pilihan makanan yang non-residu kimia dan pestisida saat ini akan membawa pengaruh penting pada kesehatan generasi muda sehingga akan meningkatkan kualitas Bangsa Indonesia. Tidak hanya sehat bagi konsumen, praktek pertanian organik juga dapat menciptakan lingkungan kerja yang aman dan sehat bagi para petani, karena petani dapat terhindar dari paparan bahan-bahan kimia sintetik dalam produksi pertanian (Kania. Z, 2011).

Saat ini masyarakat mulai sadar bahaya yang ditimbulkan oleh pemakaian bahan kimia sintetis dalam pertanian, dan semakin bijak dalam memilih bahan pangan yang aman bagi kesehatan dan ramah lingkungan.

Perkembangan akhir-akhir ini diketahui bahwa penggunaan bahan kimia pupuk dan pestisida yang berlebihan ternyata dapat menimbulkan banyak masalah. Masalah tersebut yaitu dalam usaha meningkatkan produksi, efisiensi harga produk, dan pendapatan petani serta daya dukung lingkungan yang menurun tajam. Penggunaan pestisida sebagai salah satu cara untuk mengendalikan hama, bisa merugikan panen mereka. Sering kali cara yang dilakukan tersebut justru membahayakan, seperti penggunaan pupuk kimia yang membuat kondisi tanah kurang subur, pestisida mengakibatkan pencemaran lingkungan dan hilangnya predator alami yang justru berperan dalam menciptakan keseimbangan ekosistem. Untuk mengatasi kerusakan tanah yang berkelanjutan perlu adanya sistem yang menjamin terciptanya lingkungan yang sehat dan ramah yang salah satunya melalui sistem organik.


(19)

Sayuran organik merupakan komoditas hortikultura yang banyak diminati untuk dikembangkan pada pertanian organik saat ini. Keistimewaan dari sayuran organik adalah mengandung antioksidan 10-50 persen di atas sayuran non organik. Sayuran organik sebagai salah satu produk yang dihasilkan dari pertanian bersifat ramah lingkungan dan lebih mendekatkan diri kepada konsep alam, sehingga mampu memberikan jaminan kualitas yang relatif lebih baik dibandingkan dengan sayuran biasa. Hal tersebut mendorong petani sebagai produsen untuk melakukan budidaya sayuran organik. Budidaya sayuran organik pada lahan sawah di Kelurahan Karangrejo

bertujuan untuk mendekatkan konsumsi sayuran organik serta budidaya yang ramah lingkungan. Selain itu dari segi ekonomis, sayuran organik harga jualnya lebih tinggi. Semakin banyaknya minat untuk mengkonsumsi sayuran yang sehat, maka berbagai teknologi budidaya sayuran

dikembangkan untuk mencapai produktivitas yang diinginkan yaitu melalui pertanian organik.

Pertanian organik dapat didefinisikan sebagai suatu sistem produksi pertanian yang menghindarkan atau mengesampingkan penggunaan senyawa sintetik baik untuk pupuk, zat tumbuh, maupun pestisida. Masyarakat sebagai konsumen mulai memperhatikan kesehatan, salah satu caranya yaitu dengan mengkonsumsi sayuran organik. Prospek ekonomis dari pertanian ini cukup baik seiring dengan berubahnya pola konsumsi manusia, karena manusia lebih memilih makanan yang sehat meskipun dengan harga yang lebih mahal. Oleh karena itu, pertanian organik memberikan dampak yang baik bagi


(20)

kesejahteraan petani, karena harga dan kualitasnya yang bermutu tinggi. Selain itu bertanam secara organik juga dipilih untuk menjaga kesuburan tanah, akibat penggunaan pupuk kimia yang berlebihan.

Ada beberapa kelebihan dan kekurangan dalam budidaya sayuran organik. Kelebihannya yaitu melindungi generasi mendatang dari kerusakan

lingkungan dan residu pestisida, jaminan kesehatan dari sayuran yang dikonsumsi. Kelemahannya yaitu biaya yang diperlukan dalam budidaya sayuran organik mahal, jika perlakuannya kurang tepat dapat menurunkan produksi.

Kelurahan Karangrejo dipilih sebagai lokasi untuk penelitian ini dikarenakan daerah tersebut merupakan sentra produksi sayuran organik yang ada di Kota Metro. Namun stoknya masih belum mencukupi kebutuhan masyarakat setempat, karena terbatasnya jumlah lahan maka hasil panen yang didapat juga kurang maksimal. Jumlah produksi sayur-sayuran di Kecamatan Metro Utara dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Luas panen dan produksi sayuran di Kota Metro

Kecamatan Luas Tanam

(Ha)

Luas Panen

Produktivitas (kw/ha)

Produksi (ton)

Metro Utara 2145,0 2145,0 752,5 2604,5

Metro Selatan 20,0 20,0 298,5 74,7

Metro Pusat 5,5 5,5 44,0 74,0

Metro Barat 3,7 3,7 188,0 8,8

Metro Timur 2,0 2,0 50,0 5,0


(21)

Tabel 3 menunjukkan jenis sayuran yang diproduksi di Kota Metro. Sebagai sentra sayuran di Kota Metro, Kecamatan Metro Utara memiliki produksi sayuran yang paling banyak, yaitu 2604,50 ton. Abu Bakar, M (29 Mei 2013) menyatakan bahwa upaya untuk meningkatkan SDM Petugas Penyuluh Lapangan (PPL), Balai Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (BP3K) memberikan pelatihan bulanan rutin setiap 2 minggu sekali mengenai program penanaman sayuran organik, hal ini dikarenakan sekitar 85%

penduduk Metro Utara berprofesi sebagai petani (Radar Metro, 2013).

Penggunaan pupuk organik yang dipadukan dengan penggunaan pupuk kimia dapat meningkatkan produktivitas tanaman dan pengurangan penggunaan pupuk kimia, baik pada lahan sawah maupun lahan kering, karena terjadinya interaksi positif pada penggunaan pupuk organik dan pupuk kimia secara terpadu. Penggunaan pupuk kimia secara bijaksana diharapkan memberikan dampak yang lebih baik di masa depan. Tidak hanya pada kondisi lahan dan hasil panen yang lebih baik, tetapi juga pada

kelestarian lingkungan (Musnamar, 2005).

Meningkatnya produksi pertanian merupakan akibat dari pemakaian teknik atau metode baru di dalam berusahatani. Teknologi yang digunakan dalam suatu usahatani, mampu menghasilkan produksi yang lebih tinggi.

Memperbaiki satu atau beberapa bagian teknologi sapta usahatani dapat meningkatkan produksi. Apabila tingkat penerapan budidaya sayuran organik bagus, maka hasil produksi akan maksimal dan akan meningkatkan


(22)

Berdasarkan uraian di atas dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana tingkat penerapan teknologi budidaya sayuran organik di

Kelurahan Karangrejo Kecamatan Metro Utara Kota Metro. 2. Bagaimana tingkat pendapatan petani sayuran organik di

Kelurahan Karangrejo Kecamatan Metro Utara Kota Metro.

B. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mengetahui tingkat penerapan teknologi budidaya sayuran organik di Kelurahan Karangrejo Kecamatan Metro Utara Kota Metro.

2. Mengetahui tingkat pendapatan petani sayuran organik di Kelurahan Karangrejo Kecamatan Metro Utara Kota Metro.

C. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai:

1. Informasi bagi petani dalam penerapan dan penggunaan pupuk organik 2. Bahan masukan bagi penyuluh pertanian dalam melaksanakan penyuluhan

kepada petani mengenai pertanian organik.

3. Bagi peneliti lain, dapat dijadikan sebagai bahan referensi dalam penyusunan penelitian selanjutnya atau penelitian-penelitian sejenis.


(23)

II. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS

A. Tinjauan Pustaka

1. Sayuran

Salah satu komoditi hortikultura yang memiliki peluang untuk

dikembangkan dan menguntungkan adalah sayuran. Sayuran didefinisikan sebagai tanaman atau bagian tanaman yang dapat dimakan atau dilalap untuk makanan utama, pelengkap, dan memiliki banyak variasi. Sayuran memiliki kandungan gizi dan fisiologi yang berlainan, akibat perbedaan jenis, bagian yang dipanen, atau tingkat pertumbuhan saat dipanen. Keragaman sayuran tersebut memerlukan suatu penerapan teknologi penanganan panen dan pasca panen yang berlainan. Tujuannya supaya konsumen mendapatkan sayuran dengan mutu terbaik.

Tanaman sayuran dapat dibagi atas tiga jenis yang dipilah menurut bagian tanaman yang dipanen, yaitu: (1) sayuran daun yang dipanen bagian daunnya, seperti bayam, kangkung, katu, selada dan sawi, (2) sayuran biji dan polong, yang dipanen bagian polong dan bijinya seperti kapri, kacang hijau, kedelai, dan petadan (3) sayuran umbi dan buah yang dipanen bagian umbi dan buahnya misalnya wortel, kentang, ubi jalar, tomat dan cabai.


(24)

Caisin atau biasa dikenal sawi bakso, mempunyai ciri-ciri yaitu tangkai daunnya panjang, langsing, dan berwarna putih kehijauan. Daunnya lebar memanjang, tipis, dan berwarna hijau. Rasanya yang renyah dan segar dengan sedikit sekali rasa pahit membuat sawi ini banyak diminati (Haryanto, 2007).

2. Teknologi Budidaya Organik

Teknologi dalam bidang pertanian diartikan sebagai suatu cara atau metode baru yang digunakan untuk menghasilkan suatu produk pertanian yang dapat menurunkan biaya produksi dan meningkatkan hasil produksi. Mosher mengartikan teknologi pertanian sebagai cara bertani, teknologi baru yang digunakan untuk menaikkan produktivitas tanah, modal, atau tenaga kerja.

Mubyarto (1989), mengartikan teknologi pertanian sebagai cara-cara bertani. Penerapan teknologi pertanian mempunyai tujuan untuk menaikkan produktivitas baik produktivitas tanah, modal, atau tenaga kerja. Teknologi yang senantiasa berubah merupakan syarat mutlak di dalam pembangunan pertanian.

Teknologi di pedesaan dapat membantu warga desa untuk meningkatkan usahataninya, meningkatkan pengelolaan rumah tangganya, dan

meningkatkan kegiatannya untuk mendapatkan nafkah dalam

usahataninya. Tujuan utama dari penggunaan teknologi adalah untuk meningkatkan produktivitas (Sayogyo, 1985). Penggabungan beberapa


(25)

teknologi menghasilkan paket teknologi, yang dikenal dengan teknologi sapta usahatani yang meliputi:

1. Penggunaan benih unggul 2. Perbaikan cara bercocok tanam 3. Pengairan dan drainase

4. Pemupukan berimbang

5. Pengendalian organisme pengganggu tanaman 6. Panen dan pasca panen

7. Pemasaran

Pengolahan tanah menurut Hakim (1986), merupakan tindakan mekanik terhadap tanah yang bertujuan untuk menyiapkan tempat persemaian, memberantas gulma, memperbaiki kondisi tanah untuk penetrasi akar. Pengolahan tanah juga ditujukan secara khusus seperti pengendalian hama, menghilangkan sisa-sisa tanaman, pengendalian erosi.

Pengolahan tanah penting dilakukan untuk menanam sayuran. Tanah dicangkul supaya struktur tanah menjadi remah, tanah menjadi gembur sehingga lebih mudah untuk ditanami. Selain itu juga fungsi dari pencangkulan yaitu supaya tanah bersih dari batu atau gulma.

Penggemburan tanah dilakukan dengan mencangkul hingga kedalaman 30-40 cm. Tanah lalu dibiarkan beberapa hari agar hama dan penyakit mati karena terkena sinar matahari (Pracaya, 2010).


(26)

Pertumbuhan tanaman sayuran sangat dipengaruhi oleh keadaan fisik dan struktur lahan tanamnya. Untuk itu perlu dilakukan pengolahan tanah. Kegiatan pengolahan tanah yang umum dilakukan sebelum penanaman adalah penggemburan tanah dan pembuatan bedengan. Penggemburan tanah dapat menciptakan kondisi lahan yang dibutuhkan oleh tanaman agar mampu tumbuh dengan baik. Tahap penggemburan meliputi

pencangkulan untuk memperbaiki struktur tanah serta sirkulasi udaranya dan pemberian pupuk dasar ( Haryanto, 2007).

Kebanyakan jenis sayuran ditanam dari biji, biasanya pertama kali disebar di bedeng persemaian, kotak atau wadah tanah persemaian, dan kemudian dipindah tanam pada lahan. Untuk menanam langsung di bedengan, benih harus disemai dengan jarak tanam yang dianjurkan dan pada kedalaman yang sesuia. Jarak tanam benih yang tepat merupakan bagian dari budidaya yang baik karena dapat membantu dalam penyiangan. Jumlah benih yang disebar dalam satu lubang, akan tergantung dari daya hidup benih dan pada spesies yang ditanam. Untuk banyak spesies, dua benih per lubang sudah ideal (Williams, 1993).

Menurut Manuhutu (2005), biji yang akan disemai sebaiknya direndam terlebih dahulu dengan air hangat selama 1-2 jam, kemudian dibungkus dengan kain basah. Selain untuk mempercepat perkecambahan,

perendaman dengan air hangat juga bisa membantu menghilangkan sisa-sisa bakteri dan cendawan. Ketika direndam, biji yang mengambang sebaiknya diambil dan dibuang karena tidak bernas. Penyemaian bisa


(27)

dilakukan di kotak kayu atau ember yang sudah berisi media tanam siap pakai. Pada beberapa jenis sayuran, penyemaian bisa dilakukan secara langsung di lahan penanaman, yaitu di lahan bedengan.

Tanaman perlu dirawat agar tumbuh subur. Perawatan yang dapat dilakukan antara lain, apabila tanah kering segera disiram, bila tidak memakai mulsa bersihkan daun tanaman dari tanah setelah hujan lebat, lakukan penyiangan bila ada tanaman yang mati, penyiangan gulma yang ada di sekitar tanaman (Pracaya, 2010).

Pengendalian hama dan penyakit dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain:

a. Sisa tanaman yang sakit dikumpulkan dan dibakar.

b. Tanah sesudah dicangkul dibiarkan beberapa hari, supaya tanah cukup lama terkena sinar matahari.

c. Drainase yang baik supaya air tidak menggenangi. d. Rotasi tanaman.

Menurut (Rahardi, 1993), kerusakan tanaman sayuran banyak

penyebabnya, biasanya dari serangan hama dan penyakit. Yang disebut dengan hama antara lain: serangga, ulat, kutu, dan bekicot (siput). Biasanya hama tersebut menggigit atau memakan tanaman sayuran. Penyakit pada sayuran umumnya adalah:

a. Penyakit fisiologis: penyebabnya yaitu keadaan lingkungan antara lain suhu, kekurangan atau kelebihan unsur hara, drainase yang kurang baik.


(28)

b. Penyakit yang disebabkan oleh virus: penularan penyakit ini biasanya oleh serangga atau pengairan.

c. Penyakit yang disebabkan cendawan atau bakteri

Berbagai cara dapat dilakukan untuk memberantas hama dan penyakit, tetapi secara umum cara pemberantasan dapat dilakukan seperti berikut ini:

a. Cara fisik/mekanik : pemberantasan dengan cara mengatur faktor fisik seperti kelembapan udara, peredaran udara dalam tanah, dan

pemberantasan secara langsung yaitu mencari satu per satu penyebab kerusakannya dan kemudian dibunuh.

b. Cara biologi: menggunakan parasit atau predator.

c. Cara budidaya: pengaturan waktu tanam, yaitu dengan memilih musim tanam yang tepat.

d. Menggunakan bahan kimia: pemberantasan dengan menggunakan pestisida.

Pada sayuran daun, penyiraman sangat penting dilakukan, terutama pada awal penanaman. Penyiraman sayuran daun biasanya dilakukan 3 hari sekali pada musim kemarau atau tergantung kondisi lahan penanaman. Pada musim hujan, penyiraman hanya dilakukan bila lahan kering.

Penanaman pada musim hujan justru memerlukan saluran pembuangan air supaya lahan bedengan tidak selalu tergenang air.


(29)

Pemanenan berarti mengambil sebagian atau seluruh bagian dari tanaman. Artinya, terjadi proses pemisahan bagian tanaman atau tanaman dengan media tanamnya. Waktu pemanenan dapat dilakukan pada pagi, siang, atau sore hari, tergantung tujuan panen. Setelah dipanen, sayuran dikumpulkan di tempat yang sejuk, kemudian dicuci. Sambil dicuci, bersihkan daun yang rusak atau luka.

Hasil pertanian baik buah maupun sayuran yang telah dipanen masih mengalami proses kehidupan, respirasi, atau pernafasan. Berlangsungnya proses kehidupan pada hasil panen sangat bervariasi, tergantung jenis tanamannya. Ada berbagai bentuk kehilangan dalam pasca panen sayuran, yaitu penurunan nilai gizi, membusuk, penurunan secara fisik dan daya tarik. Selama penanganan, hal tersebut bisa terjadi. Oleh karena itu, perlu dilakukan penanganan pasca panen (Setyowati, 2007).

3. Pertanian Organik

Pertanian organik merupakan teknik budidaya yang mengandalkan bahan-bahan alami tanpa menggunakan bahan-bahan-bahan-bahan kimia sintesis. Tujuan utama pertanian organik adalah menyediakan produk-produk pertanian, terutama bahan pangan yang aman bagi kesehatan produsen dan

konsumennya serta tidak merusak lingkungan. Gaya hidup sehat demikian telah melembaga secara Internasional yang mensyaratkan jaminan bahwa produk pertanian harus beratribut aman dikonsumsi (food safety


(30)

ramah lingkungan (eco-llabelling attributes). Sistem pertanian organik adalah sistem produksi holistic dan terpadu, mengoptimalkan kesehatan dan produktivitas agro ekosistem secara alami, serta mampu menghasilkan pangan dan serat yang cukup, berkualitas, dan berkelanjutan.

Awal mula pertanian organik berawal dari krisis pangan yang melanda Eropa pada tahun 1845-1860, telah mendorong para pemimpin negara Eropa dan Amerika berkumpul untuk mengatasi kelaparan di dunia. Pada tahun 1943, sebanyak 44 negara berkumpul di Virginia, Amerika Serikat untuk membicarakan upaya untuk meningkatkan produksi pangan. Dari pertemuan tersebut disepakati untuk mendirikan Food and Agriculture Organization (FAO) di Quebec, Kanada pada tanggal 16 Oktober 1945. Jumlah penduduk yang semakin meningkat dan jumlah produksi pangan yang sedikit diduga menjadi penyebab kelaparan. Peningkatan produksi pangan dilakukan dengan meningkatkan produtivitas tanaman pangan serta perluasan areal, memberikan dukungan penelitian untuk menciptakan benih unggul. Benih-benih unggul tersebut diciptakan dengan harapan mampu menghasilkan produksi yang tinggi dan tahan terhadap segala macam faktor penghambat produksi seperti penyakit, baik yang diakibatkan mikroorganisme maupun perubahan kondisi alam.

Benih unggul menghasilkan panen yang berlimpah, akan tetapi tidak banyak pengaruhnya dalam membebaskan penduduk dunia dari kelaparan, karena tidak semua orang bisa mengakses produksi pangan tersebut, beberapa faktor penyebabnya antara lain yaitu: penduduk yang tidak


(31)

memiliki lahan yang memadai, daya beli yang rendah, kemampuan merespon teknologi yang diperkenalkan rendah, dan terhambatnya jalur distribusi pangan ke wilayah yang sering terjadi kelaparan.

Pertanian tradisional yang tidak dapat lagi diandalkan untuk memenuhi kebutuhan pangan penduduk dunia yang semakin bertambah. Oleh karena itu, perlu adanya solusi dalam sektor pertanian, yaitu revolusi hijau. revolusi hijau bergantung pada tiga perubahan yaitu:

a. Lahan yang belum pernah ditanami diubah menjadi lahan yang siap diolah.

b. Memilih tanaman yang dapat dipanen dua kali dalam setahun sehingga petani tetap dapat berusahatani pada musim kemarau.

c. Memakai bibit dari berbagai varietas yang menghasilkan panen yang berlipat (Baines, 2009).

Menurut (Saragih, 2008) revolusi hijau yang muncul pada tahun 1970 menyebabkan petani hanya bisa mengandalkan bahan kimia (pupuk dan obat), akibatnya tanah semakin tandus dan tidak mampu lagi mensuplai kebutuhan tanaman. Tujuan utama revolusi hijau yaitu meningkatkan produktivitas tanaman, harapannya dengan meningkatnya produktivitas tanaman maka ketersediaan pangan meningkat, ketahanan pangan dan keamanan pangan manusia terjamin.


(32)

Revolusi hijau menyebabkan beberapa dampak, antara lain: petani terperangkap dalam teknologi yang tidak dapat diciptakannya sendiri, petani menjadi korban pasar, rusaknya hubungan antara konsumen dan petani, menimbulkan dampak negatif bagi kesehatan, serta memberikan efek buruk bagi kelestarian lingkungan, setelah itu maka muncul gerakan pertanian organik.

Sejarah lahirnya gerakan pertanian organik, menurut (John Paul dalam Saragih, 2008) pertama kali dipakai oleh seorang ahli bidang pertanian Barat, yang menyebutkan bahwa sistem pertanian organik merupakan hukum pengembalian (reduce), yang berarti suatu sistem yang berusaha untuk mengembalikan semua jenis bahan organik ke dalam tanah, baik dalam bentuk residu limbah pertanaman maupun ternak yang selanjutnya bertujuan memberi makanan pada tanaman. Filosofi yang melandasi pertanian organik adalah mengembangkan prinsip-prinsip memberi makanan pada tanah yang selanjutnya tanah menyediakan makanan untuk tanaman (feeding the soil that feeds the plants), bukan memberi makanan langsung pada tanaman.

Istilah pertanian organik dalam bahasa Indonesia merupakan terjemahan langsung dari istilah organic agriculture dan organic farming. Istilah pertanian organik mulai populer di Indonesia sekitar tahun 1980, kemudian lahir istilah pertanian alami, pertanian selaras alam, dan sebagainya. Mayoritas metode yang digunakan dalam bertani berasal dari pengetahuan petani lokal, maka pertanian organik disebut sebagai pertanian tradisional.


(33)

Kamus Wikipedia menyebutkan bahwa usahatani organik (organic farming) adalah bentuk usahatani yang menghindari atau menyingkirkan penggunaan pupuk dan pestisida sintetik, zat pengatur tumbuh tanaman. Pertanian organik adalah kegiatan pertanian yang mengupayakan

penggunaan asupan luar yang minimal dan menghindari penggunaan pestisida dan pupuk sintetik. Namun demikian praktik pertanian organik bukanlah merupakan praktik dapat menjamin bahwa produk bebas sama sekali dari residu, karena residu dapat diakibatkan oleh polusi lingkungan yang lebih luas (Saragih, 2008).

Pertanian organik di Indonesia menjadi tren karena tumbuhnya kesadaran konsumen mengenai manfaat mengkonsumsi produk yang aman dan sehat. Pertanian organik yang semakin berkembang belakangan ini menunjukkan adanya kesadaran petani dan berbagai pihak dalam sektor pertanian akan pentingnya kesehatan dan keberlanjutan lingkungan, dalam

pelaksanaannya sistem pertanian organik sangat memperhatikan kondisi lingkungan dengan mengembangkan metode budidaya dan pengolahan berwawasan lingkungan yang berkelanjutan. Sistem pertanian organik diterapkan berdasarkan atas interaksi tanah, tanaman, hewan, manusia, mikroorganisme, ekositem, dan lingkungan dengan memperhatikan keseimbangan dan keanekaragaman hayati. Sistem ini secara langsung diarahkan pada usaha meningkatkan proses daur ulang alami daripada usaha merusak ekosistem pertanian (agroekosistem).


(34)

Prinsip-prinsip pertanian organik menurut IFOAM (International Federation of Organic Agricultue Movement):

1. Prinsip Kesehatan

Pertanian organik harus melestarikan dan meningkatkan kesehatan tanah, tanaman, hewan, manusia, dan bumi sebagai satu kesatuan dan tak terpisahkan. Prinsip ini menunjukkan bahwa kesehatan tiap

individu dan komunitas tak dapat dipisahkan dari kesehatan ekosistem, tanah yang sehat akan menghasilkan tanaman sehat yang dapat

mendukung kesehatan hewan dan manusia. 2. Prinsip Ekologi

Pertanian organik harus didasarkan pada sistem dan siklus ekologi kehidupan. Bekerja, meniru, dan berusaha memelihara sistem dan siklus ekologi kehidupan.

3. Prinsip Keadilan

Pertanian organik harus membangun hubungan yang mampu menjamin keadilan terkait dengan lingkungan dan kesempatan hidup bersama. 4. Prinsip Perlindungan

Pertanian organik harus dikelola secara hati-hati dan bertanggungjawab untuk melindungi kesehatan dan kesejahteraan generasi sekarang dan mendatang, serta lingkungan hidup (Saragih, 2008).

Menurut Salikin (2003), sistem pertanian organik memiliki tujuh keunggulan dan keutamaan, yaitu:

1. Orisinil. Sistem pertanian organik mengandalkan keaslian dalam sistem budidaya tanaman untuk menghindari rekayasa genetika atau teknologi


(35)

yang tidak selaras dengan alam. Namun bukan berarti pertanian organik anti teknologi baru, selama masih memenuhi azas selaras, serasi, dan seimbang dengan alam.

2. Rasional. Sistem pertanian organik berbasis pada rasionalitas bahwa manusia sebagai bagian dari sistem jagad raya mempunyai tanggung jawab untuk menjaga dan melestarikan alam.

3. Global. Saat ini sistem pertanian organik menjadi isu global dan mendapat respon serius dari kalangan masyarakat pertanian, pertanian ramah lingkungan merupakan faktor penentu kesehatan manusia dan kesinambungan lingkungan.

4. Aman. Sistem pertanian organik menempatkan keamanan produk pertanian, baik bagi kesehatan manusia maupun untuk lingkungan. 5. Netral. Sistem pertanian organik tidak menciptakan ketergantungan atau

bersifat netral sehingga tidak memihak pada salah satu bagian ataupun pelaku dalam agroekosistem.

6. Internal. Sistem pertanian organik berupaya menggunakan sumberdaya internal secara intensif, dan menghindari perkenalan dari luar

ekosistem.

7. Kontinuitas. Sistem pertanian organik tidak berorientasi jangka pendek, tetapi lebih pada pertimbangan jangka panjang untuk menjamin

kelangsungan hidup untuk generasi sekarang dan generasi yang akan datang.


(36)

Prinsip pertanian organik yaitu, berteman akrab dengan lingkungan serta tidak mencemari dan merusak lingkungan hidup. Cara yang ditempuh agar tujuan tersebut tercapai antara lain sebagai berikut:

1. Memupuk dengan kompos, pupuk kandang, atau guano.

2. Memupuk dengan pupuk hijau, seperti orok-orok maupun batang, akar, dan daun kacang-kacangan, turi, serta gamal.

3. Memupuk dengan limbah yang berasal dari kandang ternak, pemotongan hewan, septic tank.

4. Mempertahankan dan melestarikan habitat tanaman dengan penanaman ganda, tumpang gilir, rotasi tanaman, pohon naungan.

Penggunaan bahan kimia digunakan untuk menyuburkan tanah dan memberantas hama dan penyakit. Dengan pertanian organik, kedua hal tersebut dapat diatasi. Pupuk kandang atau tanaman famili Leguminose mempunyai bintil akar yang dapat menyuburkan tanaman. Adapun pestisida yang digunakan untuk memberantas hama dan penyakit dapat diganti dengan pestisida organik. Beberapa tanaman yang dapat digunakan sebagai pestisida organik yaitu: nimba, tembakau, gadung, mengkudu, pepaya, johar, sirsak, srikaya, dan lain-lain. Pestisida organik ini mudah membuatnya, tidak mencemari udara, tidak berbahaya, tidak beracun untuk konsumen (Pracaya, 2007).


(37)

4. Teori Produksi

Produksi diperlukan bantuan kerjasama beberapa faktor produksi sekaligus yaitu: tanah, modal, tenaga kerja serta manajemen. Modal dalam

pengertian ekonomi adalah barang atau uang yang bersama-sama faktor produksi tanah dan tenaga kerja menghasilkan barang baru yaitu dalam hal ini hasil pertanian. Modal petani yang berupa barang di luar tanah adalah ternak beserta kandangnya, cangkul, bajak dan alat-alat pertanian lain, pupuk, pestisida, dan lain-lain (Mubyarto, 1987).

Lebih lanjut Mubyarto (1987), menjelaskan bahwa proses produksi yang dijalankan sebagai usaha yang komersial akan bertujuan untuk

memperoleh pendapatan yang maksimum. Faktor produksi luas lahan garapan usahatani merupakan sumberdaya petani dalam mengambil keputusan mengenai proses produksi pertanian.

5. Pendapatan Usahatani

Berhasil atau tidaknya petani dalam mengelola usahataninya tergantung pada pendapatan yang diperolehnya, karena petani selain sebagai

pengelola juga sebagai investor (penanam modal), maka pendapatan yang diperolehnya merupakan balas jasa yang diterima untuk faktor-faktor produksi yang telah dicurahkan dalam usahataninya (Hernanto, 1989). Biaya usahatani berdasarkan sifatnya dibagi menjadi dua, yaitu biaya tetap (fixed cost) dan biaya tidak tetap (variable cost). Biaya tetap adalah biaya yang relatif tetap jumlahnya, dan terus dikeluarkan walaupun produksi


(38)

yang diperoleh banyak atau sedikit. Jadi besarnya biaya tetap tidak tergantung kepada besar-kecilnya produksi yang diperoleh. Biaya tidak tetap adalah biaya yang besar-kecilnya dipengaruhi oleh produksi yang diperoleh. Selain itu biaya juga diklasifikasikan menjadi biaya tunai dan biaya diperhitungkan. Biaya tunai merupakan pengeluaran tunai usahatani yang dikeluarkan oleh petani. Biaya yang diperhitungkan adalah biaya yang dibebankan kepada usahatani untuk penggunaan tenaga kerja dalam keluarga, penyusutan alat-alat pertanian, dan biaya imbangan sewa lahan serta digunakan untuk menghitung berapa besarnya keuntungan kerja petani jika sewa lahan dan nilai tenaga kerja dalam keluarga

diperhitungkan.

Soekartawi (1993) membagi biaya produksi menjadi dua bagian yaitu biaya tetap dan biaya tidak tetap (variabel). Biaya tetap adalah biaya yang dikeluarkan dalam usahatani dan besarnya tidak dipengaruhi oleh besar kecilnya produksi yang dicapai. Biaya tidak tetap adalah besarnya biaya yang sangat dipengaruhi oleh produksi yang dicapai, misalnya biaya tenaga kerja, dan biaya sarana produksi.

Menurut Hernanto (1989), pendapatan adalah selisih antara penerimaan dengan biaya yang dikeluarkan, yang secara sistematis dapat dituliskan sebagai berikut:


(39)

Keterangan:

Pd : Pendapatan

PT : Penerimaan Total (Produksi x satuan harga) BTp : Biaya Tetap

BV : Biaya Variabel

Hurip (1980) mengatakan bahwa tujuan petani dalam berusahatani adalah untuk memperoleh pendapatan setinggi-tingginya. Pendapatan petani berasal dari penerimaan dikurangi dengan pengeluaran, sedangkan penerimaan berasal dari hasil produksi yang dijual ditambah dengan yang dikonsumsi petani sendiri dan kenaikan investasi usaha. Besarnya

pendapatan tidak selalu menyatakan efisiensi yang tinggi, sebab ada kalanya pendapatan besar diperoleh dengan investasi tinggi pula. Untuk mengetahui kelayakan pendapatan suatu usahatani perlu dilakukan analisis pendapatan.

6. Hasil Penelitian Terdahulu

Menurut hasil penelitian Syafitri (2010), terdapat hubungan yang nyata antara pola kemitraan dengan tingkat penerapan teknologi usahatani jagung di Desa Bandar Agung Kecamatan Bandar Sribawono. Semakin baik kemitraannya maka semakin baik pula penerapan teknologi usahatani oleh petani. Terdapat hubungan yang nyata antara tingkat penerapan teknologi usahatani dengan produktivitas usahatani jagung.


(40)

Cahyaningsih (2010), faktor-faktor yang berhubungan dengan tingkat penerapan teknologi budidaya padi hibrida di Desa Tulung Agung

Kecamatan Gading Rejo Kabupaten Tanggamus yaitu tingkat pendidikan dan aktivitas mengikuti kegiatan penyuluhan, tingkat produksi padi hibrida berhubungan nyata dengan tingkat pendapatan padi hibrida.

Menurut Verlianita (2010), tingkat penerapan Sapta usahatani jagung di Desa Giri Mulyo Kecamatan Marga Sekampung kabupaten Lampung Timur sudah cukup baik dalam hal penggunaan benih unggul, pemupukan, pengairan, teknik bercocok tanam, pengendalian hama penyakit, panen dan pasca panen, serta pemasaran.

B. Kerangka Pemikiran

Pertanian organik merupakan teknik budidaya pertanian yang mengandalkan bahan-bahan alami tanpa menggunakan bahan-bahan kimia sintetis. Tujuan utama pertanian organik adalah menyediakan produk-produk pertanian, terutama bahan pangan yang aman bagi kesehatan produsen dan

konsumennya serta tidak merusak lingkungan. Gaya hidup sehat demikian telah melembaga secara Internasional yang mensyaratkan jaminan bahwa produk pertanian harus beratribut aman dikonsumsi (food safety attributes), kandungan nutrisi tinggi (nutritional attributes) dan ramah lingkungan (eco- labelling attributes).


(41)

Budidaya sayuran organik dengan menambahkan bahan organik disamping sebagai sumber hara bagi tanaman, juga sebagai sumber energi dan hara bagi mikroba. Pertanian organik dapat memberi perlindungan terhadap

lingkungan dan konservasi sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui, memperbaiki kualitas hasil pertanian, menjaga pasokan produk pertanian sehingga harganya relatif stabil, serta memiliki orientasi dari memenuhi kebutuhan hidup kearah permintaan pasar.

Tingkat penerapan budidaya sayuran organik mengacu pada teori Pracaya (2007 dan 2010), Williams (1993), Haryanto (1995), dan Rukmana (1994). Dengan demikian indikator tingkat penerapan teknologi budidaya sayuran organik dalam penelitian ini adalah pengolahan lahan, benih/bibit,

penanaman, pemeliharaan, pengairan, panen, dan pasca panen. Berikut ini uraian tentang indikator penerapan budidaya sayuran organik:

1. Pengolahan lahan, tanah dicangkul terlebih dahulu supaya struktur menjadi remah. Antar bedengan diberi jarak, disesuaikan dengan keadaan lahan. Bedengan yang sudah siap kemudian dicampur dengan pupuk kandang. Apabila memungkinkan bedengan yang telah siap disiram dengan air limbah ternak atau air septic tank untuk menambah unsur N, S, dan P.

2. Benih/bibit, benih yang baik penting bagi keberhasilan sistem produksi sayuran. Kualitas serta keragaman hasilnya sangat penting dalam pemasarannya kepada konsumen.


(42)

3. Penanaman, sebelum penanaman siapkan lubang yang dalamnya sesuai dengan akar atau besarnya tanaman. Ambil bibit di persemaian dengan hati-hati agar akarnya tidak terputus, lalu ditanam dalam lubang. Kemudian diberi tanah halus, disekitar semai bisa ditambahkan mulsa untuk mengurangi penguapan dan percikan saat hujan.

4. Pemeliharaan, tanaman perlu dirawat agar tumbuh subur. Pemeliharaan dapat berupa apabila tanah kering segera disiram; lalukan penyulaman bila terdapat tanaman yang mati; penyiangan gulma.

5. Pengairan, pada musim hujan air yang turun biasanya mampu untuk mencukupi kebutuhan air yang diperlukan sayuran, saat hujan deras air berlimpah sehingga harus disalurkan dari areal pertanaman melalui parit atau jarak antar bedengan. Penyiraman dapat dilakukan dengan

menggunakan gembor pada pagi dan sore hari umumnya sudah memadai, saat cuaca tak terlalu panas dapat dilakukan sekali sehari pada sore hari.

6. Panen, masa panen setiap sayuran berbeda-beda. Panen sebaiknya dilakukan pada saat tidak turun hujan dan berkabut. Bila dipanen ketika daun masih basah, dapat menyebabkan daun rapuh, mudah rusak, dan mudah terinfeksi.

7. Pasca panen, sayuran daun yang mudah busuk dan cepat rusak. Untuk mempertahankan kesegaran dan kualitas produksi, perlu penanganan pasca panen yang baik. Antara lain: setelah dipanen, sayuran segera


(43)

dibawa ditempat yang teduh; daun-daun yang tua dibuang; sayuran dicuci; dan dikemas atau diikat dengan tali bambu atau tali rafia.

Sayuran memiliki arti penting sebagai sumber vitamin, mineral, dan zat lain yang dapat menunjang kebutuhan gizi masyarakat. Namun sayuran

mempunyai sifat yang tidak menguntungkan yaitu mudah rusak dibandingkan dengan jenis serealia atau kacang-kacangan. Kegiatan pasca panen sangat penting, terutama untuk tanaman sayuran. Kegiatan tersebut perlu dilakukan secara benar dan hati-hati. Sebab sayuran yang telah rusak atau jelek akan mempunyai nilai ekonomis yang rendah. Hal tersebut tentu saja akan merugikan petani (Setyowati, 2007).

Penerapan teknologi budidaya dalam pengolahan lahan, tanah dicangkul terlebih dahulu supaya struktur tanah menjadi remah, tanaman tumbuh dengan baik sehingga dapat meningkatkan produksi sayuran. Pengolahan lahan merupakan tindakan mekanik terhadap tanah sebagai tempat

persemaian, memberantas gulma, mempebaiki kondisi tanah untuk penetrasi akar.

Hal yang dilakukan untuk melindungi bibit sayuran dari serangan hama penyakit dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain yaitu dengan pemberian mulsa dan pemberian bahan organik. Mulsa dapat mencegah penguapan, namun pemakaian pada musim hujan tidak disarankan karena akan menambah kelembapan lahan yang mengakibatkan jamur. Apabila perlakuan benih/bibit dalam produksi sayuran baik, maka produksi sayuran akan meningkat.


(44)

Penanaman merupakan proses yang utama dalam budidaya, mulai dari penyebaran biji langsung ke bedengan, maupun dari penyemaian kemudian dipindahkan ke lahan. Apabila proses penanaman dilakukan dengan benar, maka hasil produksi akan maksimal.

Penerapan teknologi budidaya sayuran organik apabila baik, maka produksi akan meningkat, sehingga pendapatan petani sebagai produsen juga akan meningkat. Tingkat penerapan teknologi budidaya sayuran organik dapat dilihat pada Gambar 1. berikut ini:

Gambar 1. Paradigma tingkat penerapan teknologi budidaya sayuran organik, produksi, dan pendapatan.

Tingkat Penerapan Teknologi Budidaya Organik

1. Pengolahan lahan 2. Benih/bibit 3. Penanaman 4. Pemeliharaan 5. Pengairan 6. Panen 7. Pasca panen

Produksi Sayuran Organik


(45)

III. METODE PENELITIAN

A. Definisi Operasional, Pengukuran, dan Klasifikasi

Definisi operasional merupakan pengertian dan petunjuk mengenai variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini untuk mendapatkan data yang akan dianalisis dan diuji sesuai dengan tujuan penelitian.

Petani pembudidaya sayuran organik adalah petani yang membudidayakan sayuran yang merupakan tanaman pokok maupun tanaman selingan. Tanaman sayuran organik adalah tanaman sayuran yang dihasilkan melalui budidaya secara organik, yaitu cara budidaya tanaman tanpa menggunakan pupuk kimia dan pestida kimia. Oleh karena tanpa pupuk dan pestisida kimia, tanaman sayuran yang dihasilkan melalui budidaya tanaman sayuran secara organik bebas pestisida.

Teknologi budidaya organik adalah teknik budidaya yang aman, lestari dan mensejahterakan petani dan konsumen.

Budidaya sayuran organik yang diaplikasikan oleh petani adalah dalam budidaya sayuran tersebut menggunakan pupuk organik yang berasal dari bahan-bahan organik.


(46)

Sapta Usahatani adalah kegiatan dalam bidang pertanian untuk meningkatkan hasil pertanian dan semua itu ditunjang dengan pemakaian alat-alat pertanian yang modern serta penerapan inovasi baru dibidang pertanian.

Pendapatan usahatani sayuran caisin mayoritas dibudidayakan di Kelurahan Karangrejo, merupakan jumlah hasil perkalian antara total produksi usahatani sayuran dengan harga jual dikurangi dengan biaya-biaya produksi yang dikeluarkan dalam satu kali musim tanam, diukur dengan satuan rupiah (Rp).

Tingkat Penerapan Teknologi Budidaya Sayuran Organik

Indikator yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah Pengolahan Lahan, Pemilihan Benih/bibit, Penanaman, Pemeliharaan, Pengairan, Panen, serta Pasca Panen. Agar tidak terjadi kesalahan data dalam pengukuran, maka indikator-indikator tersebut perlu didefinisikan secara operasional. Teknologi budidaya sayuran organik yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Pengolahan Lahan

Pengolahan lahan adalah proses penggemburan tanah, yang bertujuan untuk menciptakan keadaan tanah yang siap untuk ditanam. Indikator pengolahan lahan dilihat berdasarkan tindakan yang dilakukan dalam pengolahan lahan meliputi: penerapan pencangkulan dan pembuatan bedengan; penggemburan tanah dan membersihkan dari sisa akar atau rumput; waktu yang diperlukan untuk pengolahan lahan; pemberian jarak antar bedengan; kedalaman pencangkulan. Pengukuran dan definisi operasional tentang pengolahan lahan dapat dilihat pada Tabel 4.


(47)

Tabel 4. Pengukuran dan definisi operasional pengolahan lahan

1 2 3

No. Indikator Definisi Operasional

Indikator

pengukuran Skor

1. Pengolahan lahan Kegiatan penggemburan tanah, yang bertujuan untuk menciptakan keadaan tanah yang siap untuk ditanam

a. Penerapan pencangkulan dan pembuatan bedengan b. Penggemburan tanah, membersihkan dari sisa akar, dan rumput c. Waktu yang

diperlukan untuk pengolahan lahan

d. Pemberian jarak antar bedengan e. Kedalaman

pencangkulan

Sesuai anjuran= 3 Cukup sesuai = 2 Kurang sesuai = 1

Pengolahan lahan sebelum penanaman dapat diketahui menggunakan pertanyaan yang berjumlah 5 dan setiap pertanyaan menggunakan kisaran skor 1-3, dengan demikian akan diperoleh skor tertinggi 15 dan skor terendah 5. Pertanyaan tersebut berdasarkan pada:

1) Pengolahan Lahan sebelum penanaman

a) Pencangkulan dan pembuatan bedengan, skor = 3 b) Pencangkulan saja, skor = 2


(48)

2) Fungsi dari pencangkulan

a) Melakukan semua indikator kegiatan, meliputi: agar struktur tanah menjadi remah; agar tanah menjadi gembur; agar tanah bersih dari batui, sisa akar, dan rumput yang mengganggu, skor = 3

b) Melakukan 2-3 indikator kegiatan, skor = 2 c) Melakukan 1 indikator kegiatan, skor = 1 3) Waktu yang diperlukan untuk pengolahan lahan

a) 6- 7 hari, skor = 3 b) 3-5 hari, skor = 2 c) 1-2 hari, skor = 1

4) Persiapan lahan sebelum penanaman

a) Melakukan semua indikator kegiatan yaitu: dicangkul; pembuatan bedengan dan diberi jarak; tanah disiram terlebih dahulu;

pemberian pupuk kandang pada lahan, skor = 3 b) Melakukan 2-3 indikator kegiatan, skor = 2 c) Melakukan 1 indikator kegiatan, skor = 1

5) Pengetahuan mengenai ukuran petakan secara umum budidaya sayuran a) Melakukan semua indikator kegiatan, yaitu: tanah diolah dengan

cangkul sedalam 30 cm; ukuran bedengan 100-120 cm; dan tinggi bedengan 30-40 cm, skor = 3

b) Melakukan 2 indikator kegiatan, skor = 2 c) Melakukan 1 indikator kegiatan, skor = 1


(49)

2. Benih/bibit

Benih adalah perlakuan benih/bibit tanaman yang dianggap bagus dengan perlakuan perlindungan benih untuk ditanam, sehingga bisa menghasilan produksi yang baik pada saat panen. Secara rinci pengukuran dan definisi operasional benih dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Pengukuran dan definisi operasional benih

1 2 3

No. Indikator Definisi Operasional

Indikator

pengukuran Skor

1.

Benih/bibit Tahap dalam Perlakuan benih/ bibit tanaman yang dianggap bagus dengan kriteria tertentu untuk ditanam, sehingga bisa menghasilan produksi yang baik pada saat panen. a.Perlakuan perlindungan bibit sayuran dari serangan hama, meliputi: Menggunakan mulsa, agen hayati dan musuh alami. b. Penggunaan media dalam penyemaian, meliputi: Bedengan tanah dan pupuk organik, bedengan tanah saja, dan hamparan.

Sesuai anjuran= 3 Cukup sesuai = 2 Kurang sesuai = 1


(50)

Benih/bibit dapat diketahui menggunakan pertanyaan yang berjumlah 2 dan setiap pertanyaan menggunakan kisaran skor 1-3, dengan demikian akan diperoleh skor tertinggi 6 dan skor terendah 2. Pertanyaan tersebut berdasarkan pada:

1) Perlindungan bibit sayuran dari serangan hama

a) Melakukan semua indikator kegiatan, yaitu dengan menggunakan mulsa; agen hayati; dan menggunakan musuh alami, skor = 3 b) Melakukan 2 indikator kegiatan, skor = 2

c) Melakukan 1 indikator kegiatan, skor = 1 2) Media yang digunakan dalam penyemaian

a) Melakukan semua indikator kegiatan, yaitu bedengan tanah dan pupuk organik; bedengan tanah saja; dan hamparan, skor = 3 b) Melakukan 2 indikator kegiatan, skor = 2

c) Melakukan 1 indikator kegiatan, skor = 1

3. Penanaman adalah usaha penempatan biji atau benih di dalam tanah, pada kedalaman tertentu atau menyebarkan biji di atas permukaan tanah. Secara rinci pengukuran dan definisi operasional penanaman dapat dilihat pada Tabel 6.


(51)

Tabel 6. Pengukuran dan definisi operasional penanaman

1 2 3

No. Indikator Definisi Operasional

Indikator

pengukuran Kategori

1.

Penanaman Usaha penempatan biji atau benih di dalam tanah, pada kedalaman tertentu atau menyebarkan biji di atas permukaan

Pemindahan bibit dari persemaian ke lahan,

meliputi: a.Bibit dari

persemaian dicabut dengan hati-hati b.Pemberian tanah halus atau pupuk kandang setelah ditanam c.Pemberian mulsa Sesuai anjuran=3 Cukup sesuai = 2 Kurang sesuai = 1

Proses penanaman diketahui menggunakan pertanyaan yang berjumlah 1 dan setiap pertanyaan menggunakan kisaran skor 1-3, dengan demikian akan diperoleh skor tertinggi 3 dan skor terendah 1. Pertanyaan tersebut berdasarkan pada:

Teknik penanaman sayuran dari persemaian

a) Bibit dari persemaian dicabut dengan hati-hati, skor = 3

b) Pemberian tanah halus atau pupuk kandang setelah ditanam, skor = 2 c) Pemberian mulsa, skor = 1

4. Pemeliharaan adalah usaha yang dilakukan untuk membantu pertumbuhan tanaman supaya berkembang dengan baik. Indikator pengukurannya yaitu pemupukan, penyiangan, dan pengendalian hama penyakit.


(52)

Tabel 7. Pengukuran dan definisi operasional pemeliharaan

1 2 3

No. Indikator Definisi Operasional

Indikator

pengukuran Kategori

1. Pemeliharaan Usaha yang dilakukan untuk membantu pertumbuhan tanaman supaya berkembang dengan baik

a. Jenis pupuk b. Cara pemupukan c. Frekuensi pemupukan d. Jenis pestisida e. Upaya pengendalian penyakit.

Sesuai anjuran= 3 Cukup sesuai = 2 Kurang sesuai = 1

Kegiatan pemeliharaan, dapat diketahui menggunakan pertanyaan yang berjumlah 5 dan setiap pertanyaan menggunakan kisaran skor 1-3, dengan demikian akan diperoleh skor tertinggi 15 dan skor terendah 5. Pertanyaan tersebut berdasarkan pada:

1) Jenis pupuk yang diberikan a) Pupuk organik, skor = 3 b) Tidak diberi pupuk, skor = 2 c) Pupuk non organik, skor = 1 2) Cara memupuk

a) Di dekat pangkal akar, skor = 3

b) Di sekitar melingkar/dibenamkan, skor = 2 c) Disemprot, skor = 1


(53)

3) Total pemupukan a) 1 - 2 kali, skor = 3 b) 3 - 4 kali, skor = 2 c) 5 - 6 kali, skor = 1 4) Jenis Pestisida

a) Pestisida organik, skor = 3 b) Tanpa pestisida, skor = 2 c) Pestisida non organik, skor = 1 5) Pengendalian hama penyakit

a) Melakukan 5 indikator kegiatan, yaitu: sisa tanaman yang sakit dikumpulkan dan dibakar; tanah sesudah dicangkul kemudian dibiarkan beberapa hari supaya terkena sinar matahari;

membersihkan gulma; drainase; dan rotasi tanaman, skor = 3 b) Melakukan 2-4 indikator kegiatan, skor = 2

c) Melakukan 1 indikator kegiatan, skor = 1

5. Pengairan adalah suatu usaha untuk mengatur dan memanfaatkan air yang tersedia dari sumber air dengan menggunakan sistem tata saluran untuk kepentingan pertanian. Secara rinci pengukuran dan definisi operasional pengairan dapat dilihat pada Tabel 8.


(54)

Tabel 8. Pengukuran dan definisi operasional pengairan.

1 2 3

No. Indikator

Definisi Operasional Indikator pengukuran Kategori

1. Pengairan

Suatu usaha untuk mengatur dan

memanfaatkan air yang tersedia dari sumber air dengan menggunakan sistem tata saluran untuk kepentingan pertanian. Frekuensi penyiraman, yaitu: a. 2 kali

penyiraman = skor 3 b. 1 kali

penyiraman = skor 2 c. Tidak

menyiram/ diluar a, b =skor 1

Sesuai = 3 Cukup sesuai = 2 Kurang sesuai = 1

Frekuensi penyiraman, dapat diketahui menggunakan pertanyaan yang berjumlah 1 dan setiap pertanyaan menggunakan kisaran skor 1-3, dengan demikian akan diperoleh skor tertinggi 3 dan skor terendah 1. Pertanyaan tersebut yaitu:

Frekuensi penyiraman dalam sehari a) 2 kali sehari, skor = 3

b) 1 kali sehari, skor = 2


(55)

6. Panen adalah kegiatan mengumpulkan hasil usahatani dari lahan budidaya. Rincian pengukuran dan definisi operasional panen dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Pengukuran dan definisi operasional panen

1 2 3

No. Indikator Definisi Operasional

Indikator

pengukuran Kategori

1. Panen

Panen adalah kegiatan mengumpulkan hasil usahatani dari lahan budidaya. Waktu dan cara panen, yaitu: Caisin:

a. berumur ± 15 hari setelah tanam, b. belum berbunga, c. cara memanen nya yaitu dengan mencabut seluruh tanaman beserta akarnya.

Sesuai anjuran= 3 Cukup sesuai = 2 Kurang sesuai = 1

Berdasarkan indikator pengukuran panen, dapat diketahui menggunakan pertanyaan yang berjumlah 1 dan setiap pertanyaan menggunakan kisaran skor 1-3, dengan demikian akan diperoleh skor tertinggi 3 dan skor terendah 1.


(56)

Pertanyaan untuk pengukuran indikator panen tersebut berdasarkan pada: Waktu dan cara panen sayuran

a) Melakukan semua indikator kegiatan, yaitu: tanaman yang telah berumur ± 15 hari setelah tanam; belum berbunga; cara memanennya yaitu dengan cara mencabut beserta akarnya, skor = 3

b) Melakukan 2 kegiatan indikator, skor = 2 c) Melakukan 1 kegiatan indikator, skor = 1

7. Pasca Panen adalah penanganan hasil tanaman pertanian segera setelah pemanenan, pengukuran dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10. Pengukuran dan definisi operasional pasca panen

1 2 3

No. Indikator Definisi Operasional

Indikator pengukuran

Kategori

1. Pasca panen Pasca Panen adalah penanganan hasil tanaman pertanian segera setelah pemanenan Perlakuan sayuran setelah dipanen meliputi: -Mengumpulkan sayuran di tempat yang sejuk

-Pemilihan, daun yang rusak dibuang -Mencuci

sayuran

Sesuai anjuran= 3 Cukup sesuai = 2 Kurang sesuai = 1

Kegiatan pasca panen untuk sayuran organik diketahui menggunakan pertanyaan yang berjumlah 1 dan setiap pertanyaan menggunakan kisaran skor 1-3, dengan demikian akan diperoleh skor tertinggi 3 dan skor terendah 1. Pertanyaan tersebut berdasarkan pada:


(57)

Perlakuan sayuran setelah dipanen

a) Melakukan semua indikator kegiatan yaitu: mengumpulkan sayuran di tempat yang sejuk; pemilihan daun yang rusak dibuang skor; mencuci sayuran = 3

b) Melakukan 2 indikator kegiatan, skor = 2 c) Melakukan 1 indikator kegiatan, skor = 1

Produksi dan Pendapatan Sayuran Organik

Produksi merupakan hasil usahatani dalam satu satuan luas pada periode tertentu. Dalam penelitian ini, pengukuran produksi sayuran dapat dilihat berdasarkan jumlah ikat sayuran. Pengukuran dan definisi operasional produksi dan pendapatan sayuran organik dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Pengukuran dan definisi operasional produksi dan pendapatan

sayuran

1 2 3

No. Indikator Definisi Operasional Indikator pengukuran Skor 1. 2. Produksi sayuran Pendapatan sayuran Hasil usahatani dalam satu satuan luas pada periode tertentu yang diukur berdasarkan satuan (kg). Hasil penerimaan dikurangi biaya pengeluaran Satuan berat (kg), komoditas yang ditanam yaitu caisin. Satuan rupiah (Rp).

Tinggi = 3 Sedang = 2 Rendah = 1

Tinggi = 3 Sedang = 2 Rendah = 1


(58)

B. Lokasi, Sampel, dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kelurahan Karangrejo Kecamatan Metro Utara Kota Metro. Pemilihan lokasi penelitian ini dipilih secara sengaja dengan pertimbangan bahwa Kecamatan Metro Utara merupakan sentra produksi sayuran di Kota Metro (Tabel 3). Waktu penelitian dilaksanakan Bulan Mei sampai Juni 2014.

Metode pangambilan sampel dilakukan dengan cara sensus, yaitu semua populasi dijadikan sampel dalam penelitian. Menurut Arikunto (2010), apabila subyek penelitian kurang dari 100 lebih baik diambil semua sehingga penelitiannya merupakan penelitian populasi. Populasi adalah seluruh

unit/individu pada suatu area penelitian yang akan dijadikan objek penelitian, yaitu petani sayur di Kelurahan Karangrejo. Jumlah populasi petani yang mengusahakan tanaman sayuran berjumlah 48 orang.

Tabel 12. Jumlah populasi penelitian di Kelurahan Karangrejo

No Nama Kelompok Populasi

(orang)

1. Pelita I 5

2. Pelita II 4

3. Gembira I 5

4. Gembira II 6

5. Subur I 7

6. Subur II 5

7. Makmur I 4

8. Makmur II 5

9. Sejahtera I 4

10. Sejahtera II 3


(59)

C. Metode Penelitian dan Pengumpulan Data

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah study kasus (case study), data yang dikumpulkan berupa:

1. Data Primer

Data primer yaitu data yang diperoleh dari wawancara langsung dengan responden dengan menggunakan daftar pertanyaan dalam bentuk kuesioner. Kuesioner tersebut berisi tentang pertanyaan-pertanyaan mengenai tingkat penerapan teknologi budidaya sayuran organik, produksi, dan pendapatan.

2. Data Sekunder

Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari literatur, dinas instansi atau lembaga yang ada hubungannya dengan penelitian ini.

D. Metode Analisis Data

Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif, yaitu menganalisis dan menyajikan data sehingga dapat lebih mudah untuk dipahami dan disimpulkan. Penyajian data dengan tabulasi. Penelitian deskriptif hanya menggambarkan dan meringkas berbagai kondisi, situasi atau berbagai variabel (Wirartha, 2006). Analisis deskriptif dilakukan dengan menggali dan memaparkan hasil penelitian atau tanggapan petani mengenai tingkat penerapan sapta usahatani sayuran organik di Kelurahan Karangrejo Kecamatan Metro Utara Kota Metro.


(60)

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

A. Sejarah Berdirinya Kelurahan Karangrejo

Karangrejo adalah salah satu Kelurahan di Kecamatan Metro Utara Kota Metro. Kelurahan Karangrejo pertama kali dibuka pada zaman pemerintahan Kolonial Belanda pada tahun 1938. Penduduk beserta para kolonial tersebut didatangkan oleh Belanda dari Jawa Timur secara bertahap untuk membuka wilayah Karangrejo. Transmigrasi penduduk yang pertama berasal dari Blitar didatangkan pada tahun 1938, yang kedua didatangkan dari Nganjuk dan Kediri, dan yang ketiga setelah kemerdekaan yaitu tahun 1952 didatangkan transmigran dari Jakarta yaitu rombongan BRN (Biro Rekontruksi Nasional), dan bermukim di bedeng nomor 23 B.

Penduduk yang menempati wilayah bedeng 23 diwajibkan bergotong-royong membuka hutan untuk membangun jaringan irigasi dengan alat sederhana. Selama membuka hutan tersebut, setiap kepala keluarga dibagi tanah perumahan berukuran 40x60 m2 dan tanah peladangan berukuran 60x80 m2 dengan cara membuka lahan sendiri. Perumahan atau bedeng tersebut terletak di tiga lokasi yaitu dengan sebutan bedeng nomor 23 A, bedeng nomor 23 B, dan bedeng 23 Polos. Selanjutnya dari setiap bedeng dipilih seseorang yang dianggap mampu untuk memimpin, yang disebut sebagai kepala bedeng. Kemudian pada tahun 1941, dari ketiga wilayah tersebut


(61)

dibentuk suatu pemerintahan desa yang dipimpin oleh Kepala Desa, setelah otonomi daerah pada tahun 1999 dan adanya pemekaran wilayah, maka berubah menjadi Kelurahan dan dipimpin oleh seorang Lurah.

B. Letak Geografis dan Luas Daerah Penelitian

Daerah penelitian terletak di Kelurahan Karangrejo Kecamatan Metro Utara Kota Metro dengan batas wilayah sebagai berikut:

a. Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Gantiwarno dan Desa Kalibening. b. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kelurahan Yosomulyo Kecamatan

Metro Pusat dan Desa Adirejo.

c. Sebelah Barat berbatasan dengan Kelurahan Hadimulyo Timur. d. Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Pekalongan, Kabupaten

Lampung Timur.

Jarak tempuh Kelurahan Karangrejo dengan Kecamatan Metro Utara sejauh ± 6 km sedangkan jarak Kelurahan Karangrejo dengan pusat pemerintahan Kota Metro sejauh ±5 km, dan jarak dengan Ibukota Propinsi Lampung sejauh ± 60 km.

C. Topografi, Iklim, dan Tanah

Secara umum topografi Kelurahan Karangrejo adalah datar sampai bergelombang, dengan ketinggian 48-50 m di atas permukaan laut. Kelurahan Karangrejo memiliki curah hujan rata-rata mencapai 2114

mm/tahun dengan rata-rata bulan basah 3-6 bulan dan bulan kering 3-6 bulan. Suhu udara antara 25oC-31oC dengan kelembaban rata-rata 60%. Jenis tanah


(62)

di Kelurahan Karangrejo umumnya podzolik merah kuning. Kelurahan Karangrejo sebagian besar digumakan untuk lahan pertanian. Adapun rincian penggunaan lahan dapat dilihat pada Tabel 13.

Tabel 13. Penggunaan lahan di Kelurahan Karangrejo

No Penggunaan Tanah Luas Lahan (Ha) Persentase

1 Sawah 318 41,35

2 Ladang 42 5,47

3 Bangunan umum 45 5,85

4 Kolam 2 0,26

5 Pemukiman umum 294 38,23

6 Lain-lain 68 8,84

Jumlah 769 100,00

Sumber: Monografi Kelurahan Karangrejo, 2013

Berdasarkan Tabel 13 dapat diketahui bahwa mayoritas tanah (41,35%) digunakan untuk lahan pertanian di sawah, karena sebagian besar penduduk di Kelurahan Karangrejo bekerja sebagai petani.

D. Keadaan Penduduk

1. Jumlah Penduduk Berdasarkan Umur

Penduduk Karangrejo berjumlah 5.859 jiwa dengan 1.779 KK yang terdiri dari 2.546 jiwa laki-laki dan 3.313 jiwa perempuan. Rincian jumlah penduduk Karangrejo berdasarkan umur dapat dilihat pada Tabel 14.


(63)

Tabel 14. Jumlah penduduk Karangrejo berdasarkan umur

No Umur Jumlah Penduduk Persentase

1 0-10 925 15,79

2 11-20 1.044 17,81

3 21-30 924 15,77

4 31-40 1.043 17,80

5 41-50 978 16,70

6 51-60 746 12,73

7 >61 199 3,40

Jumlah 5.859 100,00

Sumber : BP3K Karangrejo, 2012

Berdasarkan Tabel 14, diketahui bahwa penduduk Kelurahan Karangrejo dari umur 0 - > 61 tahun, jumlah penduduk yang paling dominan yaitu pada umur 11-20 tahun, dengan jumlah 1.044 jiwa (17,81%). Pada umur >61 tahun berjumlah paling sedikit yaitu 199 jiwa (3,40%).

2. Jumlah Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan

Penduduk Kelurahan Karangrejo memiliki tingkat pendidikan yang beragam dari taman kanak-kanak ( TK), tamatan Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA), Akademi hingga Perguruan Tinggi (PT). Adapun rincian tingkat pendidikan penduduk dapat dilihat pada Tabel 15.


(64)

Tabel 15. Jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikan

No Pendidikan Jumlah

Penduduk

Persentase

1 Belum/tidak tamat SD 3.304 56,40

2 SD 1.105 18,80

3 SLTP 735 12,50

4 SLTA 558 9,60

5 Akademi 75 1,30

6 Perguruan Tinggi 82 1,40

Jumlah 5.859 100,00

Sumber: BP3K Karangrejo, 2012

Berdasarkan Tabel 15 di atas, dapat diketahui jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikan sebanyak 5.859 jiwa. Berdasarkan tingkat pendidikan sebagian besar penduduk di Kelurahan Karangrejo, belum sekolah atau tidak tamat SD yaitu 3.304 orang atau (56,40%). Untuk itu petani perlu mendapatkan pendidikan non formal dari penyuluh. Karena semakin tinggi pendidikan maka petani akan semakin mudah dalam menyerap informasi, mengolah informasi, dan menerapkan informasi.

3. Jumlah Penduduk Berdasarkan Matapencaharian

Potensi alam di Kelurahan Karangrejo sebagian besar adalah sektor pertanian. Hal ini menyebabkan penduduk di Kelurahan Karangrejo rata-rata berprofesi sebagai petani. Adapun data jumlah penduduk berdasarkan matapencaharian dapat dilihat pada Tabel 16.


(65)

Tabel 16. Jumlah penduduk berdasarkan matapencaharian

No Jenis Mata Pencaharian Jumlah Penduduk Persentase

1 Petani 969 54,50

2 Pekebun 234 13,20

3 Peternak 125 7,00

4 Perikanan 15 0,80

5 Lain-lain 436 24,50

Jumlah 1.779 100,00

Sumber: BP3K Karangrejo, 2012

Berdasarkan Tabel 16 dapat diketahui bahwa sebagian besar penduduk di Kelurahan Karangrejo sebanyak 969 orang (54,50%) bekerja sebagai petani, dan keadaan ini sangat menunjang bagi kepentingan penelitian yang telah dilakukan oleh penulis. Penduduk dengan jumlah terkecil bekerja di bidang perikanan sebanyak 15 orang (0,80%).

E. Sarana dan Prasarana

Sarana dan prasarana sebagai penunjang kegiatan penduduk dalam

beraktivitas. Berikut ini akan diuraikan sarana dan prasarana yang terdapat di Kelurahan Karangrejo. Sarana yang pertama yaitu pendidikan. Adapun sarana pendidikan yang tersedia dapat dilihat pada Tabel 17.

Tabel 17. Sarana pendidikan

No Tingkat Pendidikan Sekolah Negeri Sekolah Swasta Jumlah

1 Kelompok bermain - 3

2 Taman Kanak-kanak 3 2

3 Sekolah Dasar 3 -

4 SMP 1

Jumlah 7 5


(66)

Berdasarkan Tabel 17 dapat dilihat sarana pendidikan di Kelurahan

Karangrejo sangat minim jumlahnya. Salah satu faktor penyebab rendahnya tingkat pendidikan di Kelurahan Karangrejo yaitu masih minimnya sarana pendidikan yang ada. Untuk itu perlu adanya penambahan sarana pendidikan di Kelurahan Karangrejo.

Sarana yang lainnya yaitu jumlah kendaraan, sebagai alat transportasi di Kelurahan Karangrejo. Berikut ini berbagai jenis kendaraan dapat dilihat pada Tabel 18.

Tabel 18. Sarana kendaraan

No Jenis Kendaraan Jumlah

1 Sepeda 454

2 Becak 4

3 Sepeda Motor 1.221

4 Mobil Pribadi 143

5 Truck 63

6 Lain-lain 32

Jumlah 1.917

Sumber: Monografi Kelurahan Karangrejo, 2013

Berdasarkan Tabel 18, dapat diketahui sarana kendaraan di Kelurahan Karangrejo. Pengendara sepeda motor yang paling dominan, dengan jumlah sebesar 1.221, yang paling sedikit yaitu becak hanya 4 saja. Sarana

transportasi yang paling banyak digunakan petani untuk menunjang usahatani yaitu sepeda motor. Selain sarana transportasi, sarana tempat ibadah dapat dilihat pada Tabel 19.


(67)

Tabel 19. Sarana tempat ibadah

No Tempat Ibadah Jumlah

1 Masjid 7

2 Mushola 15

3 Gereja 1

4 Vihara 1

Jumlah 24

Sumber: Monografi Kelurahan Karangrejo, 2013

Berdasarkan Tabel 19 dapat diketahui jumlah sarana ibadah yang ada di Kelurahan Karangrejo, yang paling banyak yaitu Mushola. Hal ini tentunya dapat mempermudah pelaksanaan ibadah mayoritas penduduk di Kelurahan Karangrejo yang beragama Islam.


(68)

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil dari penelitian maka dapat disimpulkan:

1. Tingkat penerapan teknologi budidaya sayuran organik di Kelurahan Karangrejo berada dalam kategori sedang dengan tingkat penerapan sebesar 75 %. Tingkat penerapan teknologi yang sudah diterapkan

dengan baik yaitu pada kegiatan penanaman, pengairan, dan pasca panen. Tingkat penerapan yang perlu ditingkatkan yaitu dalam benih/bibit dan panen.

2. Pendapatan petani sayuran organik di Kelurahan Karangrejo dalam kategori sedang dengan rata-rata pendapatan sebesar Rp 1.482.865, 00.

B. SARAN

Untuk mendapatkan hasil produksi sayuran yang optimal, maka perlu

ditingkatkan kegiatan penyuluhan mengenai budidaya sayuran organik secara rutin oleh penyuluh pertanian lapangan.


(69)

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian. Rineka Cipta.Yogyakarta. Baines, John. 2009. Pangan Bagi Kehidupan. Tiga Serangkai. Solo.

Cahyaningsih. 2010. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Tingkat Penerapan Teknologi Budidaya Padi Hibrida di Desa Tulung Agung Kecamatan Gading Rejo Kabupaten Tanggamus. Skripsi. Jurusan sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Unila.

Hakim, Nurhayati, dkk. 1986. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Haryanto, Eko,dkk. 1995. Sawi dan Selada. Penebar Swadaya. Jakarta. Hernanto, Fadholi. 1989. Ilmu Usahatani. Penebar Swadaya. Jakarta. Hurip. 1980. Perusahaan Pertanian. Penebar Swadaya. Jakarta.

Kania, Zetira. 2011. Pangan Organik Untuk Bangsa. http//www.unair.ac.id. Diakses tanggal 22 Mei 2012.

Kartasapoetra. 1991. Teknologi Penyuluhan Pertanian. Bumi Aksara. Jakarta. Manuhutu. 2005. Bertanam Sayuran Organik Bersama Melly Manuhutu.

Agromedia Pustaka. Jakarta.

Mardikanto, T. 1993. Penyuluhan Pembangunan Pertanian. Sebelas Maret University Press. Surakarta.

Marsono. 2005. Petunjuk Penggunaan Pupuk. Penebar swadaya. Jakarta. Mosher, A.T. 1968. Menggerakkan dan Membangun Pertanian. Yasaguna.

Jakarta.

Musnamar, E. I., 2005. Pupuk Organik Padat: Pembuatan dan Aplikasi. Penebar Swadaya. Jakarta.


(70)

Pracaya. 2007. Bertanam Sayuran Organik di Kebun, Pot, dan Polibag. Penebar Swadaya. Jakarta.

______. 2010. Bertanam Sayuran Organik. Penebar Swadaya. Jakarta.

Prihmantoro, Heru. 1996. Memupuk Tanaman Sayur. Penebar Swadaya. Jakarta. Radar Metro. 2013. www.radarmetro.co.id. Halaman 13. Diakses tanggal 15

Januari 2014.

Rahardi, dkk. 1993. Agribisnis Tanaman Sayur. Penebar Swadaya. Jakarta. Rinsema. 1986. Pupuk dan Cara Pemupukan. Bhratara Karya Aksara. Jakarta. Salikin, Karwan. A. Sistem Pertanian Berkelanjutan. Kanisius. Yogyakarta. Saragih. 2008. Pertanian Organik. Penebar Swadaya. Jakarta.

Setyowati, et al. 2007. Pascapanen Sayur. Penebar Swadaya. Jakarta. Siagian, 2004. Teori Motivasi dan Aplikasinya. Rineka Cipta. Jakarta. Soekartawi. 1995. Pembangunan Pertanian. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Sutanto, R. 2002. Penerapan Pertanian Organik. Kanisius. Yogyakarta.

Syafitri, Dora Heryani. 2010. Hubungan Kemitraan dengan Tingkat Penerapan Teknologi Sapata Usahatani Petani Jagung di Desa Bandar Agung

Kecamatan Sribawono Kabupaten Lampung Timur. Skripsi. Jurusan sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Unila.

Verlianita. 2010. Dinamika Kelompok Tani dan Hubungannya dengan Tingkat Penerapan Usahtani Jagung di Desa Giri Mulyo Kecamatan Marga Sekampung Kabupaten Lampung Timur. Skripsi. Jurusan sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Unila.

Williams, dkk. 1993. Produksi Sayuran di Daerah Tropika. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.

Wirartha, Made I. 2006. Metodologi Penelitian Sosial Ekonomi. ANDI. Yogyakarta.


(1)

52

Tabel 16. Jumlah penduduk berdasarkan matapencaharian

No Jenis Mata Pencaharian Jumlah Penduduk Persentase

1 Petani 969 54,50

2 Pekebun 234 13,20

3 Peternak 125 7,00

4 Perikanan 15 0,80

5 Lain-lain 436 24,50

Jumlah 1.779 100,00

Sumber: BP3K Karangrejo, 2012

Berdasarkan Tabel 16 dapat diketahui bahwa sebagian besar penduduk di Kelurahan Karangrejo sebanyak 969 orang (54,50%) bekerja sebagai petani, dan keadaan ini sangat menunjang bagi kepentingan penelitian yang telah dilakukan oleh penulis. Penduduk dengan jumlah terkecil bekerja di bidang perikanan sebanyak 15 orang (0,80%).

E. Sarana dan Prasarana

Sarana dan prasarana sebagai penunjang kegiatan penduduk dalam

beraktivitas. Berikut ini akan diuraikan sarana dan prasarana yang terdapat di Kelurahan Karangrejo. Sarana yang pertama yaitu pendidikan. Adapun sarana pendidikan yang tersedia dapat dilihat pada Tabel 17.

Tabel 17. Sarana pendidikan

No Tingkat Pendidikan Sekolah Negeri Sekolah Swasta Jumlah

1 Kelompok bermain - 3

2 Taman Kanak-kanak 3 2

3 Sekolah Dasar 3 -

4 SMP 1

Jumlah 7 5


(2)

53

Berdasarkan Tabel 17 dapat dilihat sarana pendidikan di Kelurahan

Karangrejo sangat minim jumlahnya. Salah satu faktor penyebab rendahnya tingkat pendidikan di Kelurahan Karangrejo yaitu masih minimnya sarana pendidikan yang ada. Untuk itu perlu adanya penambahan sarana pendidikan di Kelurahan Karangrejo.

Sarana yang lainnya yaitu jumlah kendaraan, sebagai alat transportasi di Kelurahan Karangrejo. Berikut ini berbagai jenis kendaraan dapat dilihat pada Tabel 18.

Tabel 18. Sarana kendaraan

No Jenis Kendaraan Jumlah

1 Sepeda 454

2 Becak 4

3 Sepeda Motor 1.221

4 Mobil Pribadi 143

5 Truck 63

6 Lain-lain 32

Jumlah 1.917

Sumber: Monografi Kelurahan Karangrejo, 2013

Berdasarkan Tabel 18, dapat diketahui sarana kendaraan di Kelurahan Karangrejo. Pengendara sepeda motor yang paling dominan, dengan jumlah sebesar 1.221, yang paling sedikit yaitu becak hanya 4 saja. Sarana

transportasi yang paling banyak digunakan petani untuk menunjang usahatani yaitu sepeda motor. Selain sarana transportasi, sarana tempat ibadah dapat dilihat pada Tabel 19.


(3)

54

Tabel 19. Sarana tempat ibadah

No Tempat Ibadah Jumlah

1 Masjid 7

2 Mushola 15

3 Gereja 1

4 Vihara 1

Jumlah 24

Sumber: Monografi Kelurahan Karangrejo, 2013

Berdasarkan Tabel 19 dapat diketahui jumlah sarana ibadah yang ada di Kelurahan Karangrejo, yang paling banyak yaitu Mushola. Hal ini tentunya dapat mempermudah pelaksanaan ibadah mayoritas penduduk di Kelurahan Karangrejo yang beragama Islam.


(4)

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil dari penelitian maka dapat disimpulkan:

1. Tingkat penerapan teknologi budidaya sayuran organik di Kelurahan Karangrejo berada dalam kategori sedang dengan tingkat penerapan sebesar 75 %. Tingkat penerapan teknologi yang sudah diterapkan

dengan baik yaitu pada kegiatan penanaman, pengairan, dan pasca panen. Tingkat penerapan yang perlu ditingkatkan yaitu dalam benih/bibit dan panen.

2. Pendapatan petani sayuran organik di Kelurahan Karangrejo dalam kategori sedang dengan rata-rata pendapatan sebesar Rp 1.482.865, 00.

B. SARAN

Untuk mendapatkan hasil produksi sayuran yang optimal, maka perlu

ditingkatkan kegiatan penyuluhan mengenai budidaya sayuran organik secara rutin oleh penyuluh pertanian lapangan.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian. Rineka Cipta.Yogyakarta. Baines, John. 2009. Pangan Bagi Kehidupan. Tiga Serangkai. Solo.

Cahyaningsih. 2010. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Tingkat Penerapan Teknologi Budidaya Padi Hibrida di Desa Tulung Agung Kecamatan Gading Rejo Kabupaten Tanggamus. Skripsi. Jurusan sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Unila.

Hakim, Nurhayati, dkk. 1986. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Haryanto, Eko,dkk. 1995. Sawi dan Selada. Penebar Swadaya. Jakarta. Hernanto, Fadholi. 1989. Ilmu Usahatani. Penebar Swadaya. Jakarta. Hurip. 1980. Perusahaan Pertanian. Penebar Swadaya. Jakarta.

Kania, Zetira. 2011. Pangan Organik Untuk Bangsa. http//www.unair.ac.id. Diakses tanggal 22 Mei 2012.

Kartasapoetra. 1991. Teknologi Penyuluhan Pertanian. Bumi Aksara. Jakarta. Manuhutu. 2005. Bertanam Sayuran Organik Bersama Melly Manuhutu.

Agromedia Pustaka. Jakarta.

Mardikanto, T. 1993. Penyuluhan Pembangunan Pertanian. Sebelas Maret University Press. Surakarta.

Marsono. 2005. Petunjuk Penggunaan Pupuk. Penebar swadaya. Jakarta. Mosher, A.T. 1968. Menggerakkan dan Membangun Pertanian. Yasaguna.

Jakarta.

Musnamar, E. I., 2005. Pupuk Organik Padat: Pembuatan dan Aplikasi. Penebar Swadaya. Jakarta.


(6)

83

Pracaya. 2007. Bertanam Sayuran Organik di Kebun, Pot, dan Polibag. Penebar Swadaya. Jakarta.

______. 2010. Bertanam Sayuran Organik. Penebar Swadaya. Jakarta.

Prihmantoro, Heru. 1996. Memupuk Tanaman Sayur. Penebar Swadaya. Jakarta. Radar Metro. 2013. www.radarmetro.co.id. Halaman 13. Diakses tanggal 15

Januari 2014.

Rahardi, dkk. 1993. Agribisnis Tanaman Sayur. Penebar Swadaya. Jakarta. Rinsema. 1986. Pupuk dan Cara Pemupukan. Bhratara Karya Aksara. Jakarta. Salikin, Karwan. A. Sistem Pertanian Berkelanjutan. Kanisius. Yogyakarta. Saragih. 2008. Pertanian Organik. Penebar Swadaya. Jakarta.

Setyowati, et al. 2007. Pascapanen Sayur. Penebar Swadaya. Jakarta. Siagian, 2004. Teori Motivasi dan Aplikasinya. Rineka Cipta. Jakarta. Soekartawi. 1995. Pembangunan Pertanian. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Sutanto, R. 2002. Penerapan Pertanian Organik. Kanisius. Yogyakarta.

Syafitri, Dora Heryani. 2010. Hubungan Kemitraan dengan Tingkat Penerapan Teknologi Sapata Usahatani Petani Jagung di Desa Bandar Agung

Kecamatan Sribawono Kabupaten Lampung Timur. Skripsi. Jurusan sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Unila.

Verlianita. 2010. Dinamika Kelompok Tani dan Hubungannya dengan Tingkat Penerapan Usahtani Jagung di Desa Giri Mulyo Kecamatan Marga Sekampung Kabupaten Lampung Timur. Skripsi. Jurusan sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Unila.

Williams, dkk. 1993. Produksi Sayuran di Daerah Tropika. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.

Wirartha, Made I. 2006. Metodologi Penelitian Sosial Ekonomi. ANDI. Yogyakarta.