KEDUDUKAN ISTERI DALAM PERKAWINAN JUJUR PADA MASYARAKAT ADAT LAMPUNG PEPADUN DI DESA TIUH BALAK KECAMATAN BARADATU KABUPATEN WAY KANAN

(1)

KEDUDUKAN ISTRI DALAM PERKAWINAN JUJUR PADA MASYARAKAT ADAT LAMPUNG PEPADUN

DI DESA TIUH BALAK KECAMATAN BARADATU KABUPATEN WAY KANAN

Oleh

Lely Myutiara Susanti

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2014


(2)

ABSTRAK

KEDUDUKAN ISTERI DALAM PERKAWINAN JUJUR PADA MASYARAKAT ADAT LAMPUNG PEPADUN

DI DESA TIUH BALAK KECAMATAN BARADATU KABUPATEN WAY KANAN

Oleh

LELY MYUTIARA SUSANTI

Masyarakat adat Lampung Pepadun terdapat beberapa kelompok masyarakat adat yang salah satunya adalah di Desa Tiuh Balak Kecamatan Baradatu Kabupaten Way Kanan. Masyarakat di Desa Tiuh Balak menggunakan bentuk perkawinan jujur. Menurut hukum adat Lampung pepadun setelah isteri berada di dalam lingkungan kerabat suami, maka isteri di dalam segala perbuatan hukumnya harus berdasarkan persetujuan suami. Isteri tidak boleh bertindak sendiri, oleh karena isteri dianggap sebagai pendamping atau pembantu suami dalam mengatur kehidupan rumah tangga, baik dalam hubungan kekerabatan maupun dalam hubungan kemasyarakatan. Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah kedudukan isteri dalam perkawinan jujur pada masyarakat Lampung Pepadun di Desa Tiuh Balak Kecamatan Baradatu Kabupaten Way Kanan.

Jenis penelitian yang dilakukan adalah normatif empiris, dengan tipe penelitian bersifat deskriptif dan menggunakan pendekatan secara yuridis. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah data primer yang diperoleh dari studi lapangan dan wawancara terhadap masyarakat adat dan tokoh adat, data sekunder diperoleh dari studi kepustakaan. Analisis data dilakukan dengan cara analisis kualitatif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedudukan isteri dalam perkawinan jujur pada masyarakat Lampung Pepadun di Desa Tiuh Balak Kecamatan Baradatu Kabupaten Way Kanan adalah kedudukan istri dalam keluarga suami dan isteri seimbang dan suami sebagai kepala rumah tangga, dalam kekerabatan isteri masuk dalam kekerabatan suami dan isteri berkewajiban meneruskan keturunan dari kerabat suami, dalam harta kekayaan kedudukan suami dan isteri seimbang


(3)

dan ketika terjadi perceraian maka harta bawaan dan pemberian akan dibagi kedua belah pikah. Dari pergeseran kedudukan isteri di Desa Tiuh Balak tersebut di pengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor ekonomi, pendidikan, budaya dan lingkungan.


(4)

(5)

(6)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Wilayah Indonesia sangat luas, juga mempunyai puluhan bahkan ratusan adat budaya. Begitu juga dengan sistem kekerabatan yang dianut, berbeda sukunya maka berbeda pula sistem kekerabatannya. Masyarakat Lampung sebagai salah satu suku di Indonesia yang bertempat tinggal di ujung selatan Pulau Sumatera. Masyarakat Lampung dibedakan dalam dua golongan masyarakat adat yaitu golongan masyarakat Lampung Saibatin dan masyarakat Lampung Pepadun. Masyarakat yang beradat Saibatin memakai dialek (A api/apa) dan masyarakat Pepadun memakai dialek (O nyow/apa).

Masyarakat Lampung yang beradat Pepadun umumnya mendiami daerah-daerah pedalaman seperti Abung, Way Kanan, Sungkai, Tulang Bawang serta Pubian. Masyarakat Lampung yang beradat Saibatin, umumnya menempati daerah sepanjang Teluk Betung, Teluk Semangka, Krui, Belalau, Liwa, Pesisir Raja Basa, Melinting dan Kalianda.1

Pada susunan masyarakat hukum, bentuk perkawinan adat dapat dibedakan, yaitu bentuk perkawinan adat masyarakat patrilineal, matrilineal dan parental/bilateral.

1


(7)

Masyarakat yang menggunakan sistem kekerabatan patrilineal yaitu masyarakat yang kekerabatannya mengutamakaan keturunan garis laki-laki. Pada masyarakat patrilineal kaum pria mendapatkan penghargaan lebih tinggi dari kaum wanita. Masyarakat yang menganut sistem patrilineal umumnya melaksanakan bentuk perkawinan “jujur”, sedangkan di kalangan masyarakat adat yang mengikuti sistem kekerabatan matrilineal pada umumnya menganut bentuk perkawinan “semanda”, dan pada masyarakat adat parental menganut bentuk perkawinan “mentas”. Bentuk perkawinan jujur adalah perkawinan yang dilakukan dengan pembayaran “jujur” yaitu dalam bentuk barang atau uang kepada pihak isteri. Diterimanya barang atau uang jujur oleh pihak wanita maka berarti setelah perkawinan si wanita akan mengalihkan kedudukannya kepada keanggotaan kerabat suami untuk selama ia mengikatkan dirinya dalam perkawinan itu.2

Menurut hukum adat Lampung Pepadun setelah isteri berada di dalam lingkungan kerabat suami, maka isteri di dalam segala perbuatan hukumnya harus berdasarkan persetujuan suami. Isteri tidak boleh bertindak sendiri, oleh karena isteri dianggap sebagai pendamping atau pembantu suami dalam mengatur kehidupan rumah tangga, baik dalam hubungan kekerabatan maupun dalam hubungan kemasyarakatan. Namun dengan demikian tidak berarti hubungan hukum dan hubungan biologis antara si isteri dengan orang tua kerabat asalnya hilaang sama sekali.

2

Hilman Hadikusuma. 2003. Hukum Perkawinan Adat dengan Adat Istiadat Dan Upacara adatnya. Bandung: PT. Citra Aditya, hal. 72


(8)

Pada masyarakat Lampung Pepadun, anak-anak perempuan sejak kecil hingga dewasa sebelum menikah mengikuti kekerabatan ayahnya, namun setelah menikah akan menjadi anak orang lain dan menjadi warga adat orang lain. Namun demikian tidak berarti hubungan hukum dan hubungan biologis antara si wanita dengan orang tua kerabat asalnya hilang sama sekali, tetapi tugas dan peranannya sudah berlainan harus lebih mengutamakan kepentingan kerabat pihak suami dari pada kepentingan kerabat asalnya. Secara umum kedudukan istri pada masyarakat Lampung adalah di bawah pimpinan suami, isteri sebagai pendamping suami.

Berbicara mengenai kedudukan isteri dalam bentuk perkawinan jujur dengan perkembangan zaman yang menganut persamaan hak, keadilan, kesetaraan gender dan non diskriminasi merupakan dua sisi yg berbeda, yang mana dalam suatu perkawinan jujur kedudukan isteri tidak lebih dominan dari pada suami atau kedudukan suami lebih tinggi daripada kedudukan isteri dihubungkan dengan perkembangan zaman yang menghendaki adanya persamaan gender, keadilan dan kesetaraan. Sehingga bagaimaana kedudukan isteri dalam bentuk perkawinan jujur pada masyarakat Lampung dewasa ini.

Guna memperjelas hal di atas, maka penulis tertarik untuk menuliskan dalam skripsi yang berjudul “Kedudukan Istri Dalam Perkawinan Jujur Pada Masyarakat Adat Lampung Pepadun Di Desa Tiuh Balak Kecamatan Baradatu Kabupaten Way Kanan”


(9)

B. Rumusan Masalah dan Ruang lingkup 1. Permasalahan

Permasalahan dalam skripsi ini adalah:

Bagaimanakah Kedudukan Isteri Dalam Perkawinan Jujur Pada Masyarakat Adat Lampung Pepadun di Desa Tiuh Balak Kecamatan Baradatu Kabupaten Way Kanan?

Pokok bahasan pada penelitian ini adalah: a.Kedudukan isteri dalam keluarga. b.Kedudukan isteri dalam kekerabatan. c.Kedudukan isteri terhadap harta kekayaan.

2. Ruang Lingkup

Ruang lingkup dalam penelitian ini adalah hukum adat yang didalamnya membahas tentang hukum perkawinan adat, kekerabatan adat dan waris adat pada masyarakat Lampung Pepadun. Kedudukan isteri dalam skripsi ini menjadi kajian hukum adat yang menyangkut perkawinan jujur pada masyarakat adat Lampung Pepadun. Lingkup bidang ilmu dalam penelitian ini adalah hukum perkawinan adat.

C. Tujuan Penelitian dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan memahami kedudukan isteri dalam perkawinan


(10)

jujur pada masyarakat Lampung Pepadun di Desa Tiuh Balak Kecamatan Baradatu Kabupaten Way Kanan dengan pokok bahasan:

a. Kedudukan isteri dalam keluarga;

b. Kedudukan isteri dalam kekerabatan;

c. Kedudukan isteri terhadap harta kekayaan.

2. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan yang diharapkan dari hasil penelitian ini sebagai berikut: a. Kegunaan Teoritis

Penelitian ini dapat berguna sebagai sumbangan pemikiran dan perkembangan ilmu pengetahuan tentang hukum perkawinan adat, khususnya kedudukan isteri dalam bentuk perkawinan jujur pada masyarakat adat Lampung Pepadun.

b. Kegunaan Praktis

1. Sebagai upaya pengembangan wawasan keilmuan dan pengetahuan penelitian di bidang hukum khususnya hukum perdata;

2. Menambah bahan informasi bagi pihak-pihak yang membutuhkan referensi yang dapat digunakan untuk penelitian lanjutan yang berkaitan dengan permasalahan dalam pokok bahasan mengenai kedudukan isteri dalam perkawinan jujur menurut hukum adat Lampung Pepadun.

3. Sebagai pemenuhan salah satu syarat akademik bagi peneliti untuk menyelesaikan studi pada Fakultas Hukum Universitas Lampung.


(11)

II TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Masyarakat Hukum Adat

Masyarakat hukum adat disebut juga dengan istilah “masyarakat tradisional” atau

the indigenous people, dalam kehidupan sehari-hari lebih sering dan populer

disebut dengan istilah “masyarakat adat”.1 Masyarakat hukum adat adalah komunitas manusia yang patuh pada peraturan atau hukum yang mengatur tingkah laku manusia dalam hubungannya satu sama lain baik berupa keseluruhan dari kebiasaan dan kesusilaan yang benar-benar hidup karena diyakini dan dianut, jika dilanggar pelakunya mendapat sanksi dari penguasa adat.

Pengertian masyarakat hukum adat adalah masyarakat yang timbul secara spontan di wilayah tertentu, yang berdirinya tidak ditetapkan atau diperintahkan oleh penguasa yang lebih tinggi atau penguasa lainnya, dengan rasa solidaritas yang sangat besar diantara para anggota masyarakat sebagai orang luar dan menggunakan wilayahnya sebagai sumber kekayaannya hanya dapat dimanfaatkan sepenuhnya oleh anggotanya.2

1

Djamanat Samosir. 2013.Hukum Adat Indonesia.Medan: CV. Nuansa Aulia, hal.69

2


(12)

Masyarakat merupakan sistem sosial, yang menjadi wadah dari pola-pola interaksi sosial atau hubungan interpersonal maupun hubungan antar kelompok sosial. Maka suatu masyarakat merupakan suatu kehidupan bersama, yang warga-warganya hidup bersama untuk jangka waktu yang cukup lama, sehingga menghasilkan kebudayaan. Masyarakat hukum adat adalah sekumpulan orang yang tetap hidup dalam keteraturan dan didalamnya ada sistem kekuasaan dan secara mandiri, yang mempunyai kekayaan yang berwujud atau tidak berwujud.

Masyarakat hukum adat juga merupakan suatu kesatuan manusia yang saling berhubungan dengan pola berulang tetap, yaitu suatu masyarakat dengan pola-pola perilaku yang sama, dimana perilaku tersebut tumbuh dan diwujudkan oleh masyarakat, dari pola tersebut diwujudkan aturan-aturan untuk mengatur pergaulan hidup itu. Suatu pergaulan hidup dengan pola pergaulan yang sama, hanya akan terjadi apabila adanya suatu komunitas hubungan dengan pola berulang tetap.

Masyarakat hukum adat adalah komunitas manusia yang patuh pada peraturan atau hukum yang mengatur tingkah laku manusia dalam hubungannya satu sama lain baik berupa keseluruhan dari kebiasaan dan kesusilaan yang benar-benar hidup karena diyakini dan dianut, jika dilanggar pelakunya mendapatkan sanksi dari para penguasa adat.


(13)

Macam-macam masyarakat hukum adat yang terdapat di Negara Republik Indonesia terbagi menjadi 4 (empat), yaitu:

1. Masyarakat adat yang susunan kekerabatannya kebapakan (Patrilinial), yaitu masyarakat yang kekerabatannya mengutamakan keturunan garis laki-laki. 2. Masyarakat adat yang susunan kekerabatannya keibuan (Matrilinial), yaitu

masyarakat yang kekerabatannya mengutamakan keturunan menurut garis wanita.

3. Masyarakat adat yang bersendi keibu-bapakan (Parental), yaitu masyarakat yang kekerabatannya tidak mengutamakan keturunan laki-laki ataupun wanita.

4. Masyarakat adat yang bersendi kebapakan beralih (Alternatif) maksudnya yaitu kekerabatan yang mengutamakan garis keturunan laki-laki namun adakalanya mengikuti garis keturunan wanita karena adanya faktor pengaruh lingkungan waktu dan tempat.

Masyarakat hukum adat di Indonesia dapat dibagi atas dua golongan menurut dasar susunannya, yaitu yang berdasarkan pertalian suatu keturunan (genealogi) dan berdasar lingkungan daerah (teritorial).3 Masyarakat hukum atau persekutuan hukum yang teritorial adalah masyarakat yang tetap dan teratur, yang anggota-anggota masyarakatnya terikat pada suatu daerah kediaman tertentu, baik dalam kaitan duniawi sebagai tempat kehidupan maupun dalam kaitan rohani sebagai tempat pemujaan terhadap roh-roh leluhur. Masyarakat atau persekutuan hukum

3


(14)

yang bersifat genealogis adalah suatu kesatuan masyarakat teratur, dimana para anggotanya terikat pada suatu keturunan yang sama dan leluhur, baik secara langsung karena hubungan darah (keturunan) atau secara tidak langsung karena pertalian keturunan atau pertalian adat.

Melalui sudut bentuknya, maka masyarakat hukum adat tersebut ada yang berdiri sendiri, menjadi bagian dari masyarakat hukum adat yang lebih tinggi atau mencakup beberapa masyarakat hukum adat yang lebih rendah, serta merupakan perserikatan dari beberapa masyarakat hukum adat yang sederajat.

C. Masyarakat Hukum Adat Lampung

Masyarakat hukum adat yang diambil berdasarkan data primer, adalah masyarakat hukum adat yang dijumpai di daerah Lampung. Orang-orang Lampung (“Lampung” berasal dari kata “lampung” yang berarti mengambang di air).4 Masyarakat Lampung mempunyai dasar genealogis yang tegas; faktor teritorial baru kemudian menampakkan diri sebagai faktor penting juga. Kesatuan genealogis yang terbesar bernama Buay (atau kebuayan) yang di daerah Pesisir dinamakan Suku-Asal.5

Menyatakan bahwa marga dan tiyuh menunjukkan pada wilayah, sedangkan buay, suku, canki dan nuwo secara tegas menunjukkan pada suatu kesatuan genealogis. Maka, menurut dasar dan bentuknya, masyarakat Lampung Pepadun merupakan masyarakat hukum adat yang genealogis-teritorial dan bertingkat. Pada akhirnya,

4

Ibid,hal.98 5


(15)

masyarakat hukum adat genealogis-teritorial yang bertingkat.

Kata Pepadun sendiri artinya adalah sebuah kursi singgasana yang terbuat dari kayu, yang digunakan ketika melakukan upacara adat pepadun, dengan kata lain pepadun adalah suatu benda berupa bangku yang terbuat dari kayu yang merupakan lambang dari tingkatan kedudukan dalam masyarakat mengenai suatu keluarga keturunan.6

Adapun kita sering mendengar istilah cakak pepadun dalam upacara-upacara adat pepadun, cakak pepadun itu sendiri diartikan sebagai suatu peristiwa pelantikan penyimbang menurut adat istiadat masyarakat Lampung Pepadun, dimana sesorang yang akan mendapatkan gelar adat duduk di Pepadun dengan mengadakan gawi adat yang wajib dilaksanakan bagi seseorang yang akan berhak memperoleh pangkat atau kedudukan sebagai penyimbang yang dilakukan oleh lembaga perwatin adat. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, masyarakat Pepadun secara kekerabatan terdiri dari empat klen besar yang masing-masing dapat dibagi lagi menjadi kelompok-kolompok kerabat yang disebut Buay.

D. Pengertian Perkawinan Menurut Hukum Adat

Tata cara dan upacara perkawinan adat Lampung pada umumnya berbentuk perkawinan jujur dengan menurut garis keturunan bapak (patrilineal), yaitu ditandai dengan adanya pemberian sejumlah uang kepada pihak perempuan untuk

6


(16)

menyiapkan sesan, yaitu berupa alat-alat keperluan rumah tangga. Sesan tersebut akan diserahkan kepada pihak keluarga mempelai laki-laki pada upacara perkawinan berlangsung yang sekaligus sebagai penyerahan (secara adat) mempelai wanita kepada keluarga/ klan mempelai laki-laki.7

Secara hukum adat, maka putus pula hubungan keluarga antara mempelai wanita dengan orangtuanya. Upacara perkawinan tersebut dalam pelaksanaannya dapat dengan cara adat Hibal Serbo, Bumbang Aji, Ittar Padang, Ittar Manom (cakak manuk) dan Sebambangan.

Menurut hukum adat pada umumnya di Indonesia perkawinan itu bukan saja berarti sebagai „perikatan perdata , tetapi juga merupakan „perikatan adat dan

sekaligus merupakan „perikatan kekerabatan dan ketetanggaan .8 Perkawinan menurut hukum adat tidak semata-mata berarti suatu ikatan antara seorang pria dan wanita sebagai suami isteri untuk maksud mendapatkan keturunan dan membangun serta membina kehidupan rumah tangga saja, tetapi juga suatu hubungan hukum yang menyangkut para anggota kerabat dari pihak isteri dan pihak suami. Di samping itu dengan terjadinya perkawinan berarti berlakunya ikatan kekerabatan untuk dapat saling membantu dan menjunjung yang rukun dan damai.

Perkawinan juga bisa merupakan urusan kerabat, keluarga, persekutuan, martabat dan bisa merupakan urusan pribadi. Bergantung pada tatanan susunan masyarakat

7

Sabaruddin SA. 2013. Lampung Pepadun dan Saibatin/Pesisir. Jakarta: Buletin Way Lima Manjau, hal.71-72

8


(17)

yang bersangkutan di dalamnya.

Perkawinan merupakan tujuan semua insan namun semuanya tidak terlepas dari masalah bahkan bisa berakibatkan pada perencanaan. Perkawinan selain berpegang teguh pada adat istiadat juga berpegang teguh pada syariat agama, misalnya agama Islam, karena masyarakat Lampung mayoritas beragama Islam maka syariat Islam telah meletakkan ukuran dan timbangan dalam memilih pasangan hidup tidak hanya didasari oleh kesenangan atau kepuasan sesaat, akan tetapi perkawinan harus dibangun di atas pondasi yang kokoh sehingga kehidupan bisa ditegaskan diatasnya.9 Sejalan yang dikatakan oleh Hadikusuma bahwa perkawinan bagi orang Lampung bukan semata-mata urusan pribadi, melainkan juga urusan keluarga, kerabat, dan masyarakat adat.10

Pada pengertian di atas maka dapat diambil intisari bahwa perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara pria dan wanita sebagai suami isteri dalam membentuk keluarga yang syah untuk saling memenuhi hak dan kewajiban dan untuk mendapatkan keturunan yang akan menjadi penerus silsilah orang tua atau kerabatnya, serta dapat dimengerti bahwa perkawinan menurut hukum adat adalah suatu peristiwa sakral (suci), yang sangat penting dan perkawinan ini melibatkan orang tua, saudara sekandung, saudara sekandung mempelai, keluarga lain.

9

Darwis. 2003.Arsitektur Tradisional. Bandung: Depdikbud, hal.20

10Hilman Hadikusuma. 2003.Hukum Perkawinan Adat dengan Adat Istiadat dan Upacara Adat. Bandung:


(18)

Perkawinan adalah unsur tali-temali yang meneruskan kehidupan manusia dalam masyarakat (generasi), dengan kata lain terjadi perkawinan berarti berlakunya ikatan kekerabatan untuk dapat saling membantu dan menunjang hubungan kekerabatan yang rukun dan damai serta adanya silsilah yang menggambarkan kedudukan seseorang sebagai anggota kerabat merupakan sejarah dari asal-usul keturunan seseorang yang baik dan teratur.11

Pada dasarnya perkawinan adat Lampung, mengandung nilai sakral. Dikatakan sakral karena terlaksanya perkawinan yang sah menurut agama, apabila mempelai belum diresmikan masuk menjadi warga adat (kugrug adat) Lampung, berarti mereka belum diakui sebagai warga kekerabatan adat. Perkawinan dalam hukum adat Lampung adalah suatu bentuk upacara perkawinan antara pria dan wanita yang dilakukan melalui acara“mosok-majew”(menyuap mempelai) dengan tindih sila. Upacara mosok-majew ini di pimpin oleh tetua adat wanita. Biasanya penyimbang (pemuka adat) dan dibantu oleh beberapa wanita sehingga juru bicara dan pembawa syair perkawinan.

E. Tujuan Perkawinan Adat

Tujuan perkawinan bagi masyarakat hukum adat yang bersifat kekerabatan adalah untuk mempertahankan dan meneruskan keturunan menurut garis keturunan bapak atau ibu maupun kedua-duanya, untuk kebahagiaan rumah tangga keluarga

11

Sabaruddin SA. 2013. Lampung Pepadun dan Saibatin/Pesisir. Jakarta: Buletin Way Lima Manjau, hal.71-72


(19)

mempertahankan kewarisan.

Oleh karena sistem keturunan dan kekerabatan suku di Indonesia berbeda. Maka tujuan perkawinan adat bagi masyarakat adat berbeda pula mengakibatkan hukum perkawinan dan upacara perkawinannya berbeda juga.

Pada masyarakat kekerabatan adat yang patrilineal perkawinan bertujuan mempertahankan garis keturunan bapak sehingga anak laki-laki (tertua) harus melaksanakan bentuk perkawinan ambil isteri (dengan perkawinan uang jujur), dimana setelah terjadinya perkawinan isteri ikut masuk kekerabatan bapaknya.

F. Asas-asas Perkawinan Adat yang Berlaku Pada Masyarakat Lampung

Perkawinan menurut hukum adat tidak semata-mata berati ikatan antara seorang pria dengan wanita sebagai suami-isteri untuk maksud mendapatkan keturunan dan membangun serta membina kehidupan keluarga rumah tangga, tetapi juga menyangkut hubungan hukum yang menyangkut para anggota kerabat dari pihak isteri dan suami.

Asas-asas perkawinan menurut adat yang berlaku pada masyarakat Lampung adalah:

1. Perkawinan bertujuan membentuk keluarga/ rumah tangga dan di lingkungan kekerabatannya yang rukun, damai, bahagia dan kekal (sakinah mawadah warohmah).


(20)

2. Perkawinan tidak syah dilaksanakan menurut hukum agama dan kepercayaan, tetapi juga harus dapat pengakuan dari anggota kerabat lainnya.

3. Perkawinan dapat dilakukan oleh seorang pria dengan seorang wanita yang mana kedudukannya masing-masing ditentukan hukum adat setempat.

4. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan orangtua dan anggota kerabat/ masyarakat adat.

5. Perkawinan dapat dilakukan oleh pria dan wanita yang belum cukup umur/ masih anak-anak (kawin gantung).

6. Perkawinan harus seizin orang tua, baik kawin gantung atau perkawinan yang sudah cukup umur.

7. Perceraian ada yang diperbolehkan dan ada yang tidak, karena perceraian pasangan suami-isteri dapat membawa renggangnya hubungan kedua kelompok kekerabatan mereka.

8. Keseimbangan kedudukan suami-isteri berdasarkan ketentuan adat yang sudah dibakukan.

Begitu pentingnya arti perkawinan menurut hukum adat, maka bagi masyarakat bentuk upacara resmi menurut adat. Besar atau kecilnya upacara tergantung pada kemampuan dan permufakatan keluarga atau kerabat serta dipengaruhi pula oleh kedudukan yang bersangkutan di dalam masyarakat adat.12

12

Sabaruddin SA. 2013. Lampung Pepadun dan Saibatin/Pesisir. Jakarta: Buletin Way Lima Manjau, hal.66-67


(21)

Bentuk perkawinan pada masyarakat adat di Indonesia berbeda-beda, hal ini dikarenakan banyaknya suku-suku di Indonesia yang melahirkan adat istiadat yang berbeda-beda. Misalkan, di kalangan masyarakat Lampung yang menganut sistem patrilineal pada umumnya yang dianut adalah bentuk perkawinan jujur dan pada masyarakat adat Minangkabau yang menganut sistem matrilineal mera pada umumnya yang dianut adalah bentuk perkawinan semanda dan ada pula bentuk perkawinan mentas, perkawinan ini sering dianut oleh masyarakat Jawa.

Bentuk perkawinan pada masyarakat adat berbeda satu sama lain, hal ini dikarenakan susunan masyarakat yang berbeda pula. Terdapat 4 (empat) bentuk perkawinan:

1. Perkawinan Jujur

Perkawinan jujur adalah perkawinan yang dilakukan dengan pembayaran jujur dari pihak pria kepada pihak wanita. Diterimanya uang jujur oleh pihak wanita, maka berarti setelah menikah si wanita akan mengalihkan kedudukannya ke dalam keanggotaan kekerabatan suami untuk selama ia mengikat dirinya dalam perkawinan itu atau selama hidupnya.13

Perkawinan jujur hanya dikenal dalam sistem kekerabatan patrilineal yaitu suatu sistem kekeluargaan yang menarik garis keturunan laki-laki. Pada kata lain sistem kekerabatan patrilineal mewujudkan adanya hubungan pertalian darah yang mengutamakan garis keturunan laki-laki, bahwa prinsip keturunan

13

Hilman Hadikusuma. 2003.Hukum Perkawinan Adat dengan Adat Istiadat dan Upacara Adat.


(22)

patrilineal adalah yang menghitung kekerabatan yang melalui orang laki-laki saja dan karena itu melibatkan setiap individu di dalam masyarakat. Semua kaum kerabat ayah masih di dalam batas hubungan kekerabatannya, sedangkan semua kerabat ibunya jatuh di luar batas itu.

Pemaparan di atas jelas bahwa kaum laki-lakilah yang memegang peranan, sehingga dalam jabatan-jabatan adat pun dikuasai oleh pihak laki-laki. Bila orang tuanya meninggal, maka secara otomatis ia yang akan menggantikan kedudukan orangtuanya. Hal tersebut masih berlaku hingga sekarang dan berlaku turun temurun. Hal ini kedudukan seorang suami lebih tinggi daripada kedudukan isteri, isteri sebagai pendamping dalam menegakkan rumah tangga, isteri mengikut kepada kekerabatan suami setelah menikah dan suami adalah kepala keluarga dalam rumah tangga.

2. Perkawinan Semenda

Perkawinan semenda adalah bentuk perkawinan tanpa pembayaran uang jujur dari pihak pria kepada pihak wanita. Setelah perkawinan suami masuk dalam kekerabatan si isteri dan bertanggungjawab dalam meneruskan keturunan di pihak isteri. Perkawinan semenda dalam arti sebenarnya adalah suatu perkawinan dimana suami setelah perkawinan menetap dan berkedudukan di pihak isteri dan melepaskan hak dan kedudukan di pihak kekerabatannya sendiri.14

14


(23)

kekerabatannya matrilineal, di daerah Rejang Lembong Bengkulu, yang susunan kekerabatannya Alternerend atau beralih-alih menurut perkawinan orang tua, di daerah Sumatera Selatan, Lampung Pesisir atau juga di tempat-tempat lain seperti perkawinan "ambil piara" di Ambon.

Pada perkawinan semenda kedudukan suami lebih rendah daripada kedudukan isteri. Suami sebagai pembantu isteri dalam menegakkan rumah tangga dan mempertahankan serta meneruskan keturunan isteri. Disini isteri yang memegang kendali dalam urusan rumah tangga, keluarga serta kerabat.

3. Perkawinan Mentas

Perkawinan mentas adalah bentuk perkawinan dimana kedudukan suami dan isteri dilepaskan dari tanggung jawab orangtua atau keluarga kedua belah pihak agar dapat berdiri sendiri membangun keluarga, rumah tangga yang bahagia dan kekal.15

Bentuk perkawinan ini terdapat dalam masyarakat adat ibu dan ayah. Pada perkawinan ini yang penting adalah persetujuan kedua orang tua atau wali dari pria dan wanita, serta persetujuan dari mereka berdua yang akan menikah. Pada rumah tangga, antara suami dan isteri mempunyai kedudukan yang seimbang baik dalam harta benda maupun pergaulan diantara keduanya. Suami sebagai kepala rumah tangga dan isteri sebagai ibu rumah tangga berhak untuk melakukan perbuatan hukum. Pada perkawinan mentas, orang

15


(24)

tua atau keluarga hanya bersifat membantu, karena kedua suami isteri tersebut sudah dianggap mampu untuk membina rumah tangga sendiri.16

4. Perkawinan Campuran

Perkawinan campuran adalah perkawinan yang terjadi antara pria dan wanita yang berbeda keanggotaan masyarakat hukum adatnya, dimana masyarakat Lampung perkawinan campuran berlaku hukum adat yang bersamaan dengan hukum adat Lampung, yaitu dimana mempelai wanita yang bukan adat Lampung sebelum perkawinan ia harus dimasukkan terlebih dahulu dalam keanggotaan marga si pria.

H. Sistem Perkawinan 1. Sistem Exogami

Di lingkungan masyarakat adat Batak di bagian utara yang sebagian besar menganut agama Kristen, masih tetap mempertahankan susunan kekerabatan yang sifatnyaasymmetrisch connubium, maka perkawinan yang dianut adalah sistem perkawinan exogami dimana seorang pria harus mencari calon isteri di luar marga (klen-patrilinial) dan larang kawin dengan wanita yang semarga.

2. Sistem Endogami

Sistem perkawinan endogami adalah seorang pria diharuskan mencari calon isteri dalam lingkungan kerabat (suku, klen, famili) sendiri dan dilarang mencari seorang isteri keluar dari lingkungan kerabat, yang di masa lampau

16


(25)

masyarakat kasta Bali.

3. Sistem Eleutherogami

Sistem perkawinan eleutherogami dimana seorang pria tidak lagi diharuskan atau dilarang untuk mencari calon isteri di luar ataupun di dalam lingkungan kerabat atau suku melainkan dalam batas-batas hubungan keturunan dekat (nasab) atau periparan (musyaharah) sebagaimana ditentukan oleh hukum Islam atau hukum perundang-undangan yang berlaku.17

I. Pengertian Kedudukan

Istilah kedudukan dalam bahasa sehari-hari biasanya diartikan sebagai posisi yang terpandang dan tertinggi. Kedudukan adalah status keadaan atau tingkatan orang.18 Dalam ilmu Antropologi, Sosiologi dan ilmu-ilmu sosial lainnya, istilah kedudukan mempunyai arti yang lebih netral, dapat tinggi atau rendah dan dapat pula terpandang atau tidak terpandang.

Kedudukan diartikan sebagai tempat atau posisi seseorang dalam suatu kelompok masyarakat, sehubungan dengan orang lain dalam kelompok tersebut dalam arti lingkungan pergaulannya, prestasinya, hak-hak kewajibannya. Sesungguhnya manusia pribadi dilahirkan ke muka bumi ini mempunyai nilai-nilai yang sama, seperti nilai hidup (nyawa), kemerdekaan, kesejahteraan, kehormatan dan kebendaan, tetapi kehidupan masyarakat adat

17

Djamanat Samosir. 2013.Hukum Adat Indinesia.Medan: CV. Nuansa Aulia, hal.288

18

Tim penyusun kamus besar bahasa Indonesia. 1990.Kamus Besar Bahasa Indonesia.Jakarta: Balai Pustaka, hal. 214


(26)

budaya serta pengaruh agama yang dianut manusia menyebabkan penilaian terhadap manusia menjadi tidak sama kedudukannya.19

Jadi, dapat dikatakan bahwa kedudukan adalah tempat seseorang di dalam suatu sistem sosial yang didalamnya terkandung nilai-nilai sosial dan tidak dapat dilepaskan dari masyarakat yang mengandung hak dan kewajiban

J. Kerangka Pikir

Perkawinan Jujur

Suami Istri

Barang / Uang Jujur

Kedudukan Isteri

Kedudukan dalam keluarga

Kedudukan dalam kekerabatan

Kedudukan terhadap harta

kekayaan

Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia. Di kalangan masyarakat Lampung Pepadun yang susunannya

19

Hilman Hadikusuma. 2007.pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia. Bandung: CV. Mandar Maju, hal. 201


(27)

yaitu dalam bentuk barang atau uang kepada pihak isteri.

Diterimanya barang atau uang jujur oleh pihak wanita setelah perkawinan maka si wanita akan mengalihkan kedudukannya dari keanggotaan kerabat suami untuk selama ia mengikatkan dirinya dalam perkawinan itu. Maka akan tercipta hak dan kewajiban antara suami dan isteri yang berbeda. Hak dan kewajiban yang berbeda itu pula akan menentukan kedudukan isteri yang berbeda dengan kedudukan suami, baik dalam keluarga, dalam masyarakat, bahkan dalam hal pembagian harta perkawinan karena permasalahan tersebut di atas maka perlu untuk dibahas:

1. Kedudukan isteri dalam keluarga pada masyarakat adat Lampung Pepadun.

2. Kedudukan isteri dalam kekerabatan pada masyarakat adat Lampung Pepadun.

3. Kedudukan isteri terhadap harta kekayaan pada masyarakat adat Lampung Pepadun.


(28)

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian normatif empiris. Penelitian hukum normatif yaitu penelitian hukum yang mengkaji hukum tertulis dari aspek teori, sejarah, filosofi, perbandingan, stuktur dan komposisi, lingkup dan materi, penjelasan umum dari pasal demi pasal, formalitas dan kekuatan mengikat suatu undang-undang tetapi tidak mengikat aspek terapan atau implementasinya.1 Penelitian empiris adalah penelitian hukum positif tidak tertulis mengenai perilaku anggota masyarakat dalam hubungan hidup bermasyarakat.2 Penelitian hukum normatif dengan cara mengkaji hukum tertulis yang bersifat mengikat dari segala aspek yang kaitannya dengan pokok bahasan yang diteliti. Penelitian hukum empiris dengan cara mengkaji kedudukan isteri dalam perkawinan jujur pada masyarakat Lampung Pepadun di Desa Tiuh Balak Kecamatan Baradatu Kabupaten Way Kanan.

B. Tipe Penelitian

Tipe penelitian adalah tipe penelitian deskriptif yaitu penelitian yang menggambarkan secara jelas, rinci dan sistematis mengenai obyek yang akan

Abdulkadir Muhamad.2004.Hukum dan Penelitian Hukum.Bandung:PT. Citra Aditya Bakti,

hal. 101

2


(29)

sistematis mengenai kedudukan istri perkawinan jujur pada masyarakat adat Lampung Pepadun.

C. Pendekatan Masalah

Dalam penelitian ini secara pendekatan yuridis yang artinya pendekatan dengan melihat peristiwa dan prilaku masyarakat khususnya yang terjadi pada kedudukan isteri dalam perkawinan jujur pada masyarakat Lampung Pepadun.

D. Data dan Sumber Data

Data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung melalui penelitian di lapangan yaitu dengan cara wawancara kepada informan bapak Mat Saleh dengan gelar Setamba Kura (Kepala Desa Tiuh Balak) dan pembagian kuesioner kepada responden yang diperoleh dari pasangan suami istri yang melakukan perkawinan jujur pada masyarakat Lampung Pepadun di Desa Tiuh Balak Kecamatan Baradatu Kabupaten Way Kanan.

2. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka dan sumber hukum adat. Data sekunder pada penelitian ini adalah tentang hukum perkawinan adat pada masyarakat hukum adat, artikel-artikel yang berhubungan dengan kedudukan isteri dalam perkawinan jujur pada

3


(30)

masyarakat hukum adat Lampung Pepadun di Desa Tiuh Balak Kecamatan Baradatu Kabupaten Way Kanan.

3. Data tersier adalah bahan yang memberikan informasi, penjelasan, terhadap bahan hukum primer dan skunder yaitu kamus, surat kabar atau jurnal, internet dan informasi lainnya yang mendukung penelitian.

E. Populasi dan Sampel

Populasi diartikan dalam penelitian ini adalah suatu masyarakat dalam suatu wilayah yang merupakan sebagai objek. Populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat Lampung Pepadun di Desa Tiuh Balak Kecamatan Baradatu Kabupaten Way Kanan yang telah melakukan perkawinan jujur sebanyak ± 400 Kepala keluarga dan sampel merupakan penarikan dari suatu populasi untuk dijadikan suatu objek guna keperluan penelitian. Pada poin ini yang menjadi sampel adalah masyarakat adat Lampung Pepadun yang melaksanakan bentuk perkawinan jujur, dalam penelitian ini berjumlah 5% dari jumlah kepala keluarga yang telah melakukan perkawinan jujur yang berdomisili di Desa Tiuh Balak Kecamatan Baradatu Kabupaten Way Kanan. Pada perkawinan jujur berkisar 20 pasang.

F. Metode Pengumpulan Data dan Metode Pengolahan Data

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah:

1. Studi pustaka dilakukan untuk mengumpulkan bahan data sekunder, dengan cara mempelajari peraturan hukum dan literatur yang berkaitan dengan


(31)

data yang sesuai dengan permasalahan dan pokok bahasan.

2. Studi lapangan dilakukan dengan cara terjun langsung ke lapangan dengan menggunakan teknik interview atau wawancara. Interview atau wawancara merupakan tanya jawab secara lisan dimana dua orang atau lebih berhadapan secara langsung. Dalam proses interviewatau wawancara ada dua pihak yang menempati kedudukan yang berbeda. Satu pihak berfungsi sebagai pencari informan atau interviewer sedangkan pihak lain berfungsi sebagai pemberi informan atau responden. Wawancara dilakukan secara langsung kepada kepala desa dan pasangan suami isteri yang melakukan perkawinan jujur pada masyarakat adat Lampung Pepadun di Desa Tiuh Balak Kecamatan Baradatu Kabupaten Way Kanan, kemudian diadakan hasil tanya jawab tersebut.

Setelah melakukan pengumpulan data, selanjutnya dilakukan pengolahan data sehingga data yang diperoleh dapat digunakan untuk menganalisis permasalahan yang diteliti.

Pengolahan data penulisan skripsi ini dilakukan dengan cara:

1. Pemeriksaan data (editing), yaitu melakukan pemeriksaan data yang terkumpul apakah sudah cukup lengkap, sudah cukup benar dan sesuai dengan permasalahan. Memperbaiki tulisan apabila terjadi kesalahan dalam penulisan, dan pemeriksaan relevan dan data yang sesuai agar diseleksi mana yang sesuai dan mana yang tidak sesuai atau relevan dengan data yang di inginkan.

2. Klasifikasi data, yaitu dilakukan dengan cara mengelompokkan data sesuai dengan bidang pokok bahasan agar memudahkan dalam menganalisis, sesuai


(32)

dengan aturan yang telah ditetapklan dalam permasalahan sehingga diperoleh data yang sebenar-benarnya untuk penulisan ini.

3. Sistematisasi data, yaitu dilakukan dengan cara menyusun dan menempatkan data pada tiap-tiap pokok bahasan dengan melihat jenisnya serta hubungannya yang sesuai dengan permasalaahan sehingga memudahkan dalam pembahasannya.

G. Analisis Data

Bahan hukum (data) hasil pengolahan tersebut dianalisis dengan menggunakan metode analisis secara kualitatif, yaitu menguraikan data secara bermutu dalam bentuk kalimat yang tersusun secara teratur, runtun, logis, tidak tumpang tindih dan efektif. Sehingga memudahkan interpretasi data dan pemahaman hasil analisis.4

Data dalam penelitian ini akan diuraikan ke dalam kalimat-kalimat yang tersusun secara sistematis, sehingga diperoleh gambaran yang jelas dan pada akhirnya dapat ditarik kesimpulan secara induktif sebagai jawaban singkat dari permasalahan yang diteliti.

4


(33)

(34)

V. KESIMPULAN

Berdasarkan uraian dari hasil dan pembahasan pada bab sebelumnya, maka ditarik kesimpulan:

1. Kedudukan isteri dalam keluarga, isteri merupakan ibu rumah tangga dan kepala rumah tangga dipegang oleh suami. Isteri diberi kewenangan sebagai pemegang kekuasaan untuk mengelola dan mengurus segala keperluan dan urusan di dalam rumah demikian juga keuangan keluarga (rumah tangga) dipegang dan dikelola oleh isteri. Kebutuhan hidup merupakan tanggung jawab bersama antara suami dan isteri, namun isteri tidak diwajibkan ikut bekerja seperti suami. Di dalam pengambilan keputusan-keputusan penting akan diambil melalui diskusi dan musyawarah keluarga, namun keputusan tetap diambil dan diputuskan oleh suami sebagai kepala rumah tangga dan isteri diberi hak untuk ikut berdiskusi dan memberi pendapat sebelum keputusan ditetapkan oleh suami.

2. Kedudukan isteri dalam kekerabatan (acara adat) mengikuti posisi dan kedudukan suami. Isteri mempunyai hak untuk ikut serta dan dilibatkan dalam setiap acara dan pesta adat, karena isteri mempunyai tugas yang sangat penting juga dalam setiap acara adat. Isteri juga dilibatkan dalam musyawarah dan diskusi pada acara adat, namun acara maupun musyawarah selalu


(35)

barisan suami dan diberi hak untuk mengajukan pendapat saja.

3. Kedudukan isteri terhadap harta kekayaan, isteri berhak untuk ikut menentukan pembagian warisan dalam keluarga. Apabila suami masih hidup, maka keputusan pewarisan ada di tangan suami namun harus melalui diskusi dengan isteri. Apabila suami meninggal maka hak pewarisan jatuh kepada isteri, namun apabila sebelumnya sudah ditentukan oleh suami maka isteri hanya meneruskan dan mengikuti keputusan yang sudah diambil oleh suami. Isteri hanya sebagai pewaris bukan sebagai ahli waris. Apabila suami meninggal sedangkan pernikahannya tidak menghasilkan keturunan, maka harta turunan akan dikembalikan kepada kerabat suami. Sedangkan harta yang diperoleh bersama setelah pernikahan akan diperoleh isteri dan diberi hak untuk membawanya apabila hendak meninggalkan keluarga suami. Apabila terjadi perceraian, maka harta bawaan akan kembali dibawa masing-masing, sedangkan harta yang diperoleh bersama setelah perkawinan akan dibagi berdasarkan kesepakatan bersama kedua belah pihak. Seiring perkembangan semakin mendekati keseimbangan dengan kedudukan suami, hal tersebut di pengaruhi beberapa faktor yaitu faktor ekonomi, faktor pendidikan, faktor kebudayaan dan faktor lingkungan.


(36)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku:

Darwis. 2003. Arsitektur Tradisional. Bandung: Depdikbud.

Hadikusuma, Hilman. 2003. Hukum Perkawinan Adat dengan Adat Istiadat dan Upacara Adat. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

__________________ 2007. Hukum Perkawinan Indonesia. Bandung: CV. Mandar Maju.

Imron, Ali. 2005. Pola Perkawinan Saibatin. Bandar Lampung: Universitas Lampung.

Muhamad, Abdulkadir. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

Paksi, Kiay. 1995. Buku Handak II Lampung Pubian. Bandar Lampung: Gunung Pesagi.

Puspawidjaja, Rizani. 2008. Dinamika Pembentukan Kelompok Sosial Dalam Masyarakat Indonesia. Bandar Lampung: Universitas Lampung.

SA, Sabaruddin. 2013. Lampung Pepadun dan Saibatin/Pesisir. Jakarta: Buletin Way Lima Manjau.

Samosir, Djamanat. 2013. Hukum Adat Indonesia. Medan: CV. Nuansa Aulia. Soekanto, Soerjono. 2010. Hukum Adat Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.

B.Sumber Lain

Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia. 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.


(1)

26 perkawinan yaitu dengan membaca, mengutip, mencatat dan mengidentifikasi data yang sesuai dengan permasalahan dan pokok bahasan.

2. Studi lapangan dilakukan dengan cara terjun langsung ke lapangan dengan menggunakan teknik interview atau wawancara. Interview atau wawancara merupakan tanya jawab secara lisan dimana dua orang atau lebih berhadapan secara langsung. Dalam proses interviewatau wawancara ada dua pihak yang menempati kedudukan yang berbeda. Satu pihak berfungsi sebagai pencari informan atau interviewer sedangkan pihak lain berfungsi sebagai pemberi informan atau responden. Wawancara dilakukan secara langsung kepada kepala desa dan pasangan suami isteri yang melakukan perkawinan jujur pada masyarakat adat Lampung Pepadun di Desa Tiuh Balak Kecamatan Baradatu Kabupaten Way Kanan, kemudian diadakan hasil tanya jawab tersebut.

Setelah melakukan pengumpulan data, selanjutnya dilakukan pengolahan data sehingga data yang diperoleh dapat digunakan untuk menganalisis permasalahan yang diteliti.

Pengolahan data penulisan skripsi ini dilakukan dengan cara:

1. Pemeriksaan data (editing), yaitu melakukan pemeriksaan data yang terkumpul apakah sudah cukup lengkap, sudah cukup benar dan sesuai dengan permasalahan. Memperbaiki tulisan apabila terjadi kesalahan dalam penulisan, dan pemeriksaan relevan dan data yang sesuai agar diseleksi mana yang sesuai dan mana yang tidak sesuai atau relevan dengan data yang di inginkan.

2. Klasifikasi data, yaitu dilakukan dengan cara mengelompokkan data sesuai dengan bidang pokok bahasan agar memudahkan dalam menganalisis, sesuai


(2)

27 dengan aturan yang telah ditetapklan dalam permasalahan sehingga diperoleh data yang sebenar-benarnya untuk penulisan ini.

3. Sistematisasi data, yaitu dilakukan dengan cara menyusun dan menempatkan data pada tiap-tiap pokok bahasan dengan melihat jenisnya serta hubungannya yang sesuai dengan permasalaahan sehingga memudahkan dalam pembahasannya.

G. Analisis Data

Bahan hukum (data) hasil pengolahan tersebut dianalisis dengan menggunakan metode analisis secara kualitatif, yaitu menguraikan data secara bermutu dalam bentuk kalimat yang tersusun secara teratur, runtun, logis, tidak tumpang tindih dan efektif. Sehingga memudahkan interpretasi data dan pemahaman hasil analisis.4

Data dalam penelitian ini akan diuraikan ke dalam kalimat-kalimat yang tersusun secara sistematis, sehingga diperoleh gambaran yang jelas dan pada akhirnya dapat ditarik kesimpulan secara induktif sebagai jawaban singkat dari permasalahan yang diteliti.

4


(3)

(4)

V. KESIMPULAN

Berdasarkan uraian dari hasil dan pembahasan pada bab sebelumnya, maka ditarik kesimpulan:

1. Kedudukan isteri dalam keluarga, isteri merupakan ibu rumah tangga dan kepala rumah tangga dipegang oleh suami. Isteri diberi kewenangan sebagai pemegang kekuasaan untuk mengelola dan mengurus segala keperluan dan urusan di dalam rumah demikian juga keuangan keluarga (rumah tangga) dipegang dan dikelola oleh isteri. Kebutuhan hidup merupakan tanggung jawab bersama antara suami dan isteri, namun isteri tidak diwajibkan ikut bekerja seperti suami. Di dalam pengambilan keputusan-keputusan penting akan diambil melalui diskusi dan musyawarah keluarga, namun keputusan tetap diambil dan diputuskan oleh suami sebagai kepala rumah tangga dan isteri diberi hak untuk ikut berdiskusi dan memberi pendapat sebelum keputusan ditetapkan oleh suami.

2. Kedudukan isteri dalam kekerabatan (acara adat) mengikuti posisi dan kedudukan suami. Isteri mempunyai hak untuk ikut serta dan dilibatkan dalam setiap acara dan pesta adat, karena isteri mempunyai tugas yang sangat penting juga dalam setiap acara adat. Isteri juga dilibatkan dalam musyawarah dan diskusi pada acara adat, namun acara maupun musyawarah selalu


(5)

5✄

dipimpin oleh kelompok suami. Isteri selalu ditempatkan di belakang barisan-barisan suami dan diberi hak untuk mengajukan pendapat saja.

3. Kedudukan isteri terhadap harta kekayaan, isteri berhak untuk ikut menentukan pembagian warisan dalam keluarga. Apabila suami masih hidup, maka keputusan pewarisan ada di tangan suami namun harus melalui diskusi dengan isteri. Apabila suami meninggal maka hak pewarisan jatuh kepada isteri, namun apabila sebelumnya sudah ditentukan oleh suami maka isteri hanya meneruskan dan mengikuti keputusan yang sudah diambil oleh suami. Isteri hanya sebagai pewaris bukan sebagai ahli waris. Apabila suami meninggal sedangkan pernikahannya tidak menghasilkan keturunan, maka harta turunan akan dikembalikan kepada kerabat suami. Sedangkan harta yang diperoleh bersama setelah pernikahan akan diperoleh isteri dan diberi hak untuk membawanya apabila hendak meninggalkan keluarga suami. Apabila terjadi perceraian, maka harta bawaan akan kembali dibawa masing-masing, sedangkan harta yang diperoleh bersama setelah perkawinan akan dibagi berdasarkan kesepakatan bersama kedua belah pihak. Seiring perkembangan semakin mendekati keseimbangan dengan kedudukan suami, hal tersebut di pengaruhi beberapa faktor yaitu faktor ekonomi, faktor pendidikan, faktor kebudayaan dan faktor lingkungan.


(6)

1

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku:

Darwis. 2003. Arsitektur Tradisional. Bandung: Depdikbud.

Hadikusuma, Hilman. 2003. Hukum Perkawinan Adat dengan Adat Istiadat dan Upacara Adat. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

__________________ 2007. Hukum Perkawinan Indonesia. Bandung: CV. Mandar Maju.

Imron, Ali. 2005. Pola Perkawinan Saibatin. Bandar Lampung: Universitas Lampung.

Muhamad, Abdulkadir. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

Paksi, Kiay. 1995. Buku Handak II Lampung Pubian. Bandar Lampung: Gunung Pesagi.

Puspawidjaja, Rizani. 2008. Dinamika Pembentukan Kelompok Sosial Dalam Masyarakat Indonesia. Bandar Lampung: Universitas Lampung.

SA, Sabaruddin. 2013. Lampung Pepadun dan Saibatin/Pesisir. Jakarta: Buletin Way Lima Manjau.

Samosir, Djamanat. 2013. Hukum Adat Indonesia. Medan: CV. Nuansa Aulia. Soekanto, Soerjono. 2010. Hukum Adat Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.

B.Sumber Lain

Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia. 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.