KEDUDUKAN ISTERI DALAM BENTUK PERKAWINAN JUJUR PADA MASYARAKAT LAMPUNG PEPADUN KEBUWAYAN SUBING

(1)

Kedudukan Isteri Dalam Perkawinan Jujur Pada Masyarakat

Lampung Pepadun Kebuwayan Subing.

(Studi di Kampung Terbanggi Besar

Kabupaten Lampung Tengah)

(Skripsi)

Oleh

M. Angga Winanto

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS LAMPUNG


(2)

ABSTRAK

KEDUDUKAN ISTERI DALAM BENTUK PERKAWINAN JUJUR PADA MASYARAKAT LAMPUNG PEPADUN KEBUWAYAN SUBING

Oleh

M. Angga winanto

Masyarakat Indonesia mengenal beberapa bentuk perkawinan yaitu 1).Perkawinan jujur, 2). Perkawinan semanda 3). Perkawinan mentas. Bentuk–bentuk perkawinan ini dipengaruhi oleh sistem kekerabatan yang dianut oleh tiap daerah, kekerabatan inilah yang mempengaruhi kedudukan seorang isteri saat terjadinya perkawinan maupun setelah terjadinya perkawinan. Masyarakat dengan sistim kekerabatan patrilinial yang biasanya dengan menggunakan bentuk perkawinan jujur, masyarakat dengan sistem kekerabatan matrilinial biasanya dengan menggunakan bentuk perkawinan semanda sedangkan untuk sistim kekerabatan parental biasanya dengan menggunakan bentuk perkawinan mentas. Sedangkan untuk di daerah Lampung yang menganut sistem kekerabatan patrilinial altenerend menggunakan bentuk perkawinan jujur namun adakalanya menggunakan bentuk perkawinan semanda disesuaikan dengan situasi dan kondisi.

Pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana pelaksanaan perkawinan jujur? dan bagaimana kedudukan istri dalam bentuk perkawinan Jujur?. Yang mejadi objek dalam penelitian ini adalah masyarakat adat Lampung Pepadun Kebuwayan Subing yang telah melangsungkan perkawinan jujur yang berada di kampung Terbanggi Besar.

Jenis Penelitian yang dilakukan adalah normatif empiris dengan tipe penelitian bersifat deskriptif dan menggunakan pendekatan secara yuridis. Adapun metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah data primer yang diperoleh dari studi


(3)

lapangan dengan menyebarkan kuisioner dan wawancara terhadap masyarakat adat dan Tokoh Adat Lampung Kebuwayan Subing di kampung Terbanggi Besar. Data sekunder diperoleh dari studi kepustakaan. Data yang diperoleh merupakan data tataran kemudian dianalisis secara diskriptif kualitatif guna mendapatkan suatu kesimpulan yang memaparkan kenyataan-kenyataan yang diperoleh dari penelitian. Selanjutnya berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan perkawinan jujur pada masyarakat adat Lampung kebuwayan Subing ialah Dalam pelaksananaan perkawinan jujur terdapat beberapa tahapan yaitu tahap perkenalan (Nindai/Nyubuk) Jika dirasakan sudah cocok maka dilanjutkan dengan (Bekado) yaitu pihak keluarga pria mendatangi pihak keluarga untuk mengutarakan isi hati, setelah mencapai kesepakatan, maka keluarga pihak pria datang ke rumah kediaman wanita untuk melamar (Nunang) sekaligus merundingkan berapa biaya, mas kawin, uang jujur, adat perkawinan dan lain-lain, setelah itu dilakukan acara akad nikah dan selanjutnya dilakukan upacara perkawinan adat sampai pada acara pelepasan mempelai wanita kepada mempelai pria. Dan kedudukan isteri dalam perkawinan jujur di kampung Terbanggi Besar ialah dalam keluarga suami dan isteri seimbang dan suami sebagai kepala rumah tangga, dalam kekerabatan isteri masuk kedalam kekerabatan suami dan isteri berkewajiban meneruskan keturunan dari kekerabatan suami, dalam harta kekayaan kedudukan suami dan isteri seimbang dan ketika terjadi perceraian maka harta bawaan dan pemberian akan dibawa oleh masing-masing pihak sedangkan harta bersama akan dibagi kedua belah pihak. Dari pergeseran kedudukan isteri di kampung Terbanggi Besar tersebut di pengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor ekonomi, pendidikan, budaya dan lingkungan.

Kata Kunci : Kedudukan Isteri, Lampung Pepadun, Kebuwayan Subing

M. Angga Winanto


(4)

KEDUDUKAN ISTRI DALAM PERKAWINAN JUJUR PADA MASYARAKAT LAMPUNG KEBUWAYAN SUBING

(Studi di Kampung Terbanggi Besar

Kabupaten Lampung Tengah)

Oleh

M. Angga Winanto

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Perdata

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2013


(5)

Judul Skripsi : KEDUDUKAN ISTRI DALAM PERKAWINAN

JUJUR PADA MASYARAKAT LAMPUNG

PEPADUN KEBUWAYAN SUBING.

Nama Mahasiswa : M. Angga Winanto

No. Pokok Mahasiswa : 0852011133 Bagian : Hukum Perdata Fakultas : Hukum

MENYETUJUI

1. Komisi Pembimbing

Aprilianti, S.H., M.H.

Rosida, S.H

NIP 19650401 199003 2 002 NIP 19500109 197803 2 000

2. Ketua Bagian Hukum Perdata

Dr. Wahyu Sasongko, S.H., M.Hum.


(6)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua : Aprilianti, S.H., M.H. ...

Sekretaris/Anggota : Rosida, S.H.

...

Penguji Utama : Wati Rahmi Ria, S.H., M.H.

……...

...

2. Dekan Fakultas Hukum

Dr. Heryandi, S.H. M.H.

NIP 19621109 198703 1 003


(7)

RIWAYAT HIDUP

M. Angga Winanto dilahirkan di Jakarta, 6 Maret 1989, yang merupakan anak Pertama dari dua bersaudara pasangan Bapak

Siswoto dan Ibu Zuraida.

Penulis menyelesaikan pendidikan Taman Kanak-kanak Al-Azhar, Way Halim pada tahun 1995, Sekolah Dasar Negeri 1 Pelita, Tanjung Karang pada tahun 2001, penulis melanjutkan studinya di Sekolah Menengah Pertama Negeri 19 Bandar Lampung pada tahun 2004 dan Sekolah Menengah Atas Al-Azhar 3 Bandar Lampung pada tahun 2007. Dengan mengikuti Seleksi Penerimaan Mahasiswa akhirnya penulis diterima di Fakultas Hukum Universitas Lampung pada Tahun 2008.

Selama mengikuti perkuliahan penulis aktif mengikuti beberapa kegiatan. Selain itu, pada Tahun 2011 penulis mengikuti kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) tanggal 30 Juni sampai 9 Agustus 2011 yang dilaksanakan di Desa Argomulyo Kecamatan Banjit Kabupaten Way Kanan.


(8)

PERSEMBAHAN

Dengan mengucapkan puji syukur kepada Allah SWT, atas rahmat dan hidayahNYA, maka dengan ketulusan dan kerendahan hati serta setiap perjuangan dan jerih payahku,

aku persembahkan sebuah karya ini kepada :

Papah dan Mamah yang kuhormati, kusayangi, dan kucintai

Terima kasih untuk setiap pengorbanan kesabaran, kasih sayang yang tulus serta do’a demi keberhasilanku

Keluarga besar ku yang senantiasa menemaniku dengan keceriaan dan kasih sayang

Guru-guruku

Semoga ilmu yang telah kalian berikan dapat berguna bagiku dan menjadi ladang amal bagimu

Sahabat-sahabatku yang selalu hadir menemaniku dalam suka maupun duka


(9)

MOTTO

Allah tidak akan menghukum kamu karena sumpahmu yang tidak kamu sengaja, tetapi Dia menghukum kamu karena niat yang terkandung dalam hatimu.

(Al-Baqarah: 225)

“ Jangan takut salah jika ingin tahu yang disebut benar, karena dengan salah kita menjadi berfikir untuk menjadi benar dan dengan berfikir kita menjadi bijaksana ”

(Mario Teguh)

Orang yang kelaparan adalah orang yang bodoh karena tidak memanfaatkan apa yang ada di kepalanya


(10)

PERNYATAAN SKRIPSI MAHASISWA

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : M. Angga Winanto

Nomor Pokok Mahasiswa : 0852011133 Program Studi : Hukum Perdata

Jurusan : Ilmu Hukum

Dengan ini menyatakan bahwa penelitian ini adalah hasil pekerjaan saya sendiri, dan sepanjang pengetahuan saya tidak berisi materi yang telah dipublikasikan atau ditulis oleh orang lain atau telah dipergunakan dan diterima sebagai persyaratan penyelesaian studi pada universitas atau institut lain.

Bandar Lampung, 6 Febuari 2013 Yang menyatakan

M. Angga Winanto NPM 0852011133


(11)

SANWACANA

Alhamdulillahirobbil’alamin. Segala puji syukur hanyalah milik Allah SWT, seluruh Alam yang telah memberikan rahmat, taufik dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyeleasaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Lampung dengan judul : KEDUDUKAN ISTRI DALAM PERKAWINAN JUJUR PADA MASYARAKAT LAMPUNG PEPADUN KEBUWAYAN SUBING .

Penulis menyadari selesainya skripsi ini tidak terlepas dari partisipasi, bimbingan serta bantuan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Maka kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada:

1. Papah Siswoto dan mamah Zuraida tercinta atas kasih sayang, pengorbanan serta doa tulus dari setiap sujudmu yang selalu mengiringi setiap langkahku dan menanti keberhasilanku.

2. Bapak Dr. Heryandi, S.H., M.H., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung.

3. Bapak Dr. Wahyu Sasongko, S.H., M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Lampung.


(12)

4. Ibu Aprilianti, S.H., M.H. selaku Pembimbing I yang telah memberikan saran dan meluangkan waktunya sehingga proses penyelesaian skripsi dapat berjalan dengan baik.

5. Ibu Rosida, S.H. selaku Pembimbing II yang telah banyak membimbing dan mengarahkan penulis selama penyelesaian skripsi ini.

6. Ibu Wati Rahmi Ria, S.H., M.Hum. dan Bapak Dita Febrianto, S.H., M.H. sebagai Pembahas Pertama dan Pembahas Kedua yang telah banyak memberikan kritikan, koreksi dan masukan dalam penyelesaian skripsi ini. 7. Bapak Depri Liber Sonata, S.H., M.H. selaku Pembimbing Akademik selama

penulis menjadi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung.

8. Bapak M. Rusdi Akib Selaku Tokoh Adat Kampung Terbanggi Besar. dan masyarakat kampung Terbanggi Besar kabupaten Lampung Tengah yang telah meluangkan waktunya untuk melakukan wawancara demi penelitian skripsi ini.

9. Para Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang tak bisa disebutkan satu persatu, atas bimbingan dan pengajarannya selama penulis menjadi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung.

10.Seluruh staf dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah membantu penulis dalam proses akademis dan kemahasiswaan atas bantuannya selama penyusunan skripsi.

11.Saudara-saudaraku: Rafiandi, Ahmad Ridwan Ariyan Zulmar, Fadhilah Amin, Rizki Julian amin, dan keponakan-keponakanku beserta seluruh keluarga


(13)

12.keluargaku yang telah membantu proses perkuliahan ini Om Aripin dan Mami Yuliyanti saya ucapkan terima kasih atas dukungannya.

13.Sahabat seperjuanganku angkatan 2008: Mandala, Ari, Fajrie, Joko, Emilsa, Nurdian, Arnold, Reza, Nizar, Tria, Sandy, Mirwan, Krisna, dan teman-teman yang tidak bisa disebutkan satu persatu terimakasih atas kebersamaan dan kekompakannya.

14.Sahabat-sahabatku: Mega Puteri, Candra aditya, Yudi Bolor, pay, Mojo, Dayat, Reno, Prayid, Hata, Bondan, Doska, Billy, Wawan, Made, Novan, dan teman-teman yang tidak bisa disebutkan satu persatu terimakasih atas kebersamaan dan kekompakannya.

15.Almamaterku tercinta yang sudah memberi banyak wawasan dan pengalaman berharga.

Semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi agama, masyarakat, bangsa dan negara, para mahasiswa, akademisi, serta pihak-pihak lain yang membutuhkan terutama bagi penulis. Saran dan kritik yang bersifat membangun sangat diharapkan. Akhir kata penulis ucapkan terima kasih. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan perlindungan dan kebaikan bagi kita semua. Amin.

Bandar Lampung, 5 Febuari 2013 Penulis


(14)

DAFTAR ISI

Halaman I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup ... 3

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 4

D. Sistematika Penulisan... 5

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Hukum Adat ... 7

B. Pengertian Masyarakat dan Masyarakat Hukum Adat ... 8

C. Macam-macam Masyarakat Hukum Adat ... 11

D. Masyarakat Hukum Adat Lampung ... 12

E. Pengertian Perkawinan dan Perkawinan Menurut Hukum Adat ... 15

F. Tujuan Perkawinan Adat ... 17

G. Azas-azas Perkawinan ... 18

H. Bentuk Perkawinan Pada Masyarakat Adat ... 19

I. Sistem Perkawinan ... 22


(15)

III.METODE PENELITAN

A. Lokasi Penelitian ... 26

B. Jenis Penelitian ... 26

C. Tipe Penelitian ... 27

D. Pendekatan Masalah ... 27

E. Pengumpulan Data ... 27

F. Populasi dan Sampel ... 29

G. Analisis Data ... 29

IV.HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil dan Pembahasan Penelitian ... 30

1. Pelaksanaan Perkawinan Jujur Pada Masyarakat Lampung Pepadun Kebuwayan Subing...30

2. Kedudukan Isteri Pada Perkawinan Jujur a. Kedudukan Isteri Dalam Keluarga ...38

b. Kedudukan Isteri Dalam Hubungan Kekerabatan...41

c. Kedudukan Isteri Dalam Harta Kekayaan...42

V. PENUTUP A. Kesimpulan ... 53


(16)

1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada hakekatnya tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, manusia tidak akan dapat berkembang dengan baik tanpa adanya suatu proses perkawinan, bahkan dalam pandangan masyarakat adat, bahwa perkawinan bertujuan untuk membangun, membina dan memelihara hubungan keluarga serta kekerabatan yang rukun dan damai. Masyarakat adat Lampung menempatkan perkawinan pada unsur yang terpenting dalam meneruskan hubungan kekerabatan.

Dalam keberlakuan hukum perkawinan, masyarakat Indonesia juga mengenal beberapa bentuk perkawinan yaitu bentuk perkawinan jujur, semanda dan mentas, Bentuk-bentuk perkawinan tersebut sangat dipengaruhi oleh susunan kekerabatan, misalkan pada masyarakat adat yang susunan kekerabatannya ke-bapak-kan (Patrilineal) menganut bentuk perkawinan jujur, bentuk perkawinan jujur sendiri ditandai dengan pemberian berupa barang maupun sejumlah uang jujur dari suami kepada pihak isteri sebagai tanda pengganti pelepasan mempelai wanita keluar dari kewargaan adat persekutuan hukum bapaknya untuk pindah dan masuk kedalam persekutuan hukum suaminya.


(17)

2

Dengan adanya perkawinan menyebabkan timbulnya suatu kedudukan antara orang tua dengan anak serta suami dan istri baik kedudukan dalam rumah tangga, kekerabatan, sampai pada kedudukan dalam hal harta kekayaan. Masyarakat Lampung dilihat dari sistem perkawinan bersendikan ke-bapak-an Beralih-alih (Patrilinial Alternerend) yaitu menggunakan bentuk perkawinan jujur namun adakalanya menggunakan bentuk perkawinan semanda disesuaikan dengan situasi dan kondisinya. Dengan demikian maka kedudukan dalam hal kekerabatan pada masyarakat Lampung berbeda-beda tergantung kepada bentuk perkawinannya, kedudukan suami akan lebih dominan dari isteri apabila di lakukan perkawinan jujur. Namun jika kita melihat di era modernisasi ini dimana dunia semakin maju peraturan mengenai persamaan hak asasi, keadilan, kesetaraan gender dan non diskriminasi dibuat dan diberlakukan, dapat diprediksikan dalam hal hak dan kedudukan terdapat pergeseran.

Kedudukan isteri setelah terjadi perkawinan jujur pada masyarakat adat Lampung maka isteri akan mengalihkan kedudukannya dari kerabatnya dan masuk kedalam kekerabatan suaminya. Isteri tidak boleh bertindak sendiri oleh karena itu dia adalah pembantu suami dalam mengatur kehidupan rumah tangga, baik dalam hubungan kekerabatan maupun dalam hubungan kemasyarakatan, maka berarti setelah perkawinan si wanita akan mengalihkan kedudukannya kepada keanggotaan kerabat suami selama ia mengikatkan dirinya dalam perkawinan itu. Namun dengan demikian tidak berarti hubungan hukum dan hubungan biologis antara si isteri dengan orang tua kerabat asalnya hilang sama sekali.


(18)

3

Berbicara mengenai kedudukan isteri dalam bentuk perkawinan jujur dengan perkembangan zaman yang menuntut persamaan hak, keadilan, kesetaraan gender dan non diskriminasi merupakan dua sisi yang berbeda, yang mana dalam suatu perkawinan jujur kedudukan isteri tidak lebih dominan dari pada suami atau kedudukan suami lebih tinggi daripada kedudukan isteri di hubungkan dengan perkembangan zaman yang menghendaki adanya persamaan gender, keadilan dan kesetaraan. Sehingga bagaimana kedudukan isteri dalam bentuk perkawinan jujur pada masyarakat Lampung dewasa ini .

Berdasarkan hal ini, maka penulis ingin mengangkat tema ini dalam sebuah karya penelitian dengan judul “KEDUDUKAN ISTRI DALAM PERKAWINAN JUJUR PADA MASYARAKAT LAMPUNG PEPADUN KEBUWAYAN SUBING. (Studi di Kampung Terbanggi Besar Kabupaten. Lampung Tengah)”.

B. Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup

a. Rumusan Masalah

Berdasarkan Latar belakang yang diuraikan maka permasalahannya adalah bagaimana kedudukan isteri dalam perkawinan jujur dengan pokok bahasan:

1. Pelaksanaan perkawinan Jujur pada masyarakat Lampung pepadun kebuwayan Subing

2. Kedudukan istri dalam perkawinan jujur pada perkawinan adat Lampung pepadun Kebuwayan Subing saat ini


(19)

4

b. Ruang Lingkup

Dengan gambaran permasalahan yang dibahas diatas, maka ruang lingkup penulisan ini masuk dalam bidang ilmu hukum perdata mengenai Kedudukan isteri dalam perkawinan Jujur pada masyarakat Lampung Pepadun kebuwayan Subing dengan lokasi penelitian di kampung Terbanggi Besar kecamatan Terbanggi Besar kabupaten Lampung Tengah.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

a. Tujuan penelitian

1. Untuk mengetahui pelaksanaan perkawinan Jujur pada masyarakat adat Lampung pepadun Kebuwayan Subing.

2. Untuk mengetahui kedudukan isteri dalam perkawinan Jujur pada masyarakat adat Lampung Pepadun kebuwayan Subing seiring perkembangan.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangsih pemikiran dan menjadi wacana baru dalam kajian hukum perkawinan adat Lampung pepadun Kebuawayan Subing

b. Kegunaan Penelitian

1. Kegunaan Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi yang berarti bagi ilmu pengetahuan hukum, khususnya hukum perkawinan adat dan pula sebagai salah satu


(20)

5

bahan bacaan bagi masyarakat luas agar dapat mengetahui bgaimana bentuk perkawinan adat serta ikut melestarikan budaya masyarakat Lampung pepadun Kebuwayan Subing.

2. Kegunaan Praktis

1) Diharapkan dapat memberikan jawaban atas permasalahan yang diteliti

2) Untuk menambah wawasan bagi penulis serta menjadikan suatu kebanggaan tersendiri bagi penulis sebagai masyarakat Lampung beradat pepadun.

3) Sebagai bahan bacaan masyarakat luas yang mungkin nantinya akan berguna bagi generasi mendatang.

4) Sebagai salah satu syarat penulis dalam memperoleh gelar sarjana hukum universitas lampung.

D. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan Skripsi ini yang berjudul : “Kedudukan Istri Dalam Perkawinan Jujur Pada Masyarakat Lampung Pepadun Kebuwayan Subing” terdiri dari Bab dengan sistematika sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN, Pada Bab ini akan diuraikan tentang Latar belakang mengenai perkawinan dan kedudukan isteri, Permasalahan yang diangkat untuk diteliti, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, serta sistematika penulisan.


(21)

6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, Pada Bab ini diuraikan tentang teori-teori dan peraturan-peraturan sebagai dasar hukum yang melandasi pembahasan masalah yang dibahas.

BAB III METODE PENELITIAN, pada bab ini berisi tentang uraian secara jelas metode penelitian yang meliputi metode Pendekatan, spesifikasi penelitian, teknik penelitian, populasi, teknik penentuan sampel, teknik pengumpulan data serta analisa data.

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN, pada Bab ini berisi pembahasan mengenai bagaimana pelaksanaan perkawinan jujur dan bagaimana kedudukan isteri dalam perkawinan jujur serta pembahasan mengenai perkembangan kedudukan isteri dalam bentuk perkawinan jujur pada masyarakat adat Lampung pepadun Kebuwayan Subing saat ini.

BAB V PENUTUP, pada Bab ini berisi tentang kesimpulan dari hasil penelitian dan pembahasan terhadap permasalahan yang telah diuraikan serta saran dari penulis berkaitan dengan judul “Kedudukan Isteri Dalam Perkawinan Jujur Pada Masyarakat Lampung Pepadun Kebuwayan Subing”.


(22)

7

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Hukum Adat

Perkataan adat adalah istilah yang dikutip dari bahasa Arab, tetapi boleh dikatakan diterima dalam semua bahasa di Indonesia. Mulanya istilah itu berarti kebiasaan. Dengan nama sekarang dimaksudkan adalah semua kesusilaan dan kebiasaan rakyat Indonesia disemua lapangan hidup dan juga semua peraturan tentang tingkah laku macam apapun juga sesuai dengan tingkah laku orang Indonesia. Jadi di dalamnya termuat pula peraturan-peraturan hukum yang melingkupi dan mengatur hidup bersama rakyat Indonesia.

Beberapa tokoh hukum adat mengemukakan pendapatnya mengenai pengertian dari hukum adat antara lain :

1. Van Vollenhoven

“Hukum Adat adalah hukum adat yang tidak bersumber kepada peraturan -peraturan yang dibuat oleh Pemerintah Hindia Belanda dahulu atau alat-alat kekuasaan lainnya yang menjadi dan diadakan sendiri oleh kekuasaan Belanda dahulu.”

2. Hazairin

“Hukum adat adalah resapan (endapan) kesusilaan dalam masyarakat, yaitu bahwa kaidah-kaidah adat itu berupa kaidah-kaidah kesusilaan yang sebenarnya telah mendapat pengakuan umum dalam masyarakat.”


(23)

8

3. Soepomo

“Hukum adat adalah sebagai hukum adat yang tidak tertulis di dalam peraturan -peraturan legislative (unstatiry law) meliputi peraturan-peraturan hidup yang meskipun tidak ditetapkan oleh yang berkewajiban ditaati dan didukung oleh rakyat berdasarkan atas keyakinan bahwasan peraturan-peraturan tersebut mempunyai kekuatan hukum”.1

Dari pendapat para ahli bahwa hukum adat ialah hukum yang mengatur tingkah laku manusia dan hubungan satu sama lain berupa kebiasaan atau kesusilaan yang benar-benar hidup dimasyarakat hukum adat.

Karena dianut dan dipertahankan oleh anggota masyarakatnya yang merupakan keseluruhan peraturan-peraturan yang mempunyai sanksi atas pelanggaran-pelanggaran yang ditetapkan dalam keputusan-keputusan para penguasa adat yang mempunyai kewibawaan dan berkuasa dalam memberi keputusan-keputusan dalam masyarakat.

B. Pengertian Masyarakat dan Masyarakat Hukum Adat

Masyarakat adalah sekumpulan manusia, setidaknya terdiri dari lebih satu orang, dan saling bergaul. Pergaulan manusia dengan sesamanya menimbulkan suatu ikatan rasa identitas bersama dalam suatu rentang waktu yang lama dan berkesinambungan.2 Sedangkan pengertian dari masyarakat hukum adat adalah sekumpulan manusia yang

1

Soepomo, Bab-bab Tentang Hukum Adat, Bandung University, 1989. hal. 23

2

Puspawidjaja, Rizani, Dinamika pembentukan kelompok sosial dalam masyarakat Indonesia, (Bandar Lampung: penerbit Unila,2008) hal. 15.


(24)

9

hidup dalam keteraturan yang didalamnya terdapat sistem kekuasaan dan sifatnya mandiri yang mempunyai kekayaan benda berwujud dan tidak berwujud.

Dengan demikian, seperti telah dikemukakan para ahli hukum adat terdahulu, masyarakat pada dasarnya merupakan bentuk kehidupan bersama yang warga-warganya hidup bersama untuk jangka waktu yang lama sehingga menghasilkan kebudayaan. Apabila masyarakat ditelaah secara bersama, masyarakat hukum adat dibagi atas dua golongan menurut dasar susunannya, hal ini dikemukakan pula oleh soepomo yang membagi masyarakat hukum adat menurut dasar dan susunanya yaitu (a) yang berdasar suatu garis keturunan (genealogis) dan (b) yang berdasar lingkungan daerah (territorial).3

Mengenai tata susunan tersebut uraiannya adalah sebagai berikut:

1) Masyarakat hukum adat geneologis yaitu persekutuan (masyarakat) hukum berdasarkan atas pertalian darah suatu keturunan.

2) Masyarakat hukum adat territorial yaitu masyarakat (persekutuan) hukum berdasarkan lingkungan daerah apabila keanggotaan seseorang dari persekutuan itu bergantung pada soal apakah ia bertempat tinggal di dalam lingkungan daerah persekutuan itu atau tidak. Persekutuan hukum yang berdasar lingkungan daerah (territorial) dapat di bagi kedalam tiga jenis, yaitu: Persekutuan Desa, persekutuan daerah, dan perserikatan dari beberapa kampung.

3


(25)

10

3) Masyarakat hukum adat geneologis-territorial yaitu persekutuan hukum yang berdasar atas keturunan serta bersifat territorial atau dengan kata lain, masyarakat hukum adat geneologis-territorial adalah bentuk penggabungan antara bentuk struktur masyarakat hukum adat geneologis dan struktur masyarakat hukum adat territorial.

Hal demikian berbeda pula dengan Hilman Hadikusuma mengenai macam-macam masyarakat hukum, namun tidak serta merta berbeda hanya saja ada beberapa tambahan, hal demikian tidak dapat disalahkan Karen kita tahu semakin lama ilmu akan terus berkembang sama hal nya dengan ilmu hukum. Hilman Hadikusuma mengemukakan beberapa macam masyarakat adat sebagai berikut;4

1) Masyarakat Hukum Terirtorial yaitu masyarakat yang tetap dan teratur, yang anggota-anggota masyarakatnya terikat pada suatu daerah kediaman tertentu baik dalam kaitan duniawi sebagai tempat kehidupan maupun dalam kaitan rohani sebagai tempat bentuk pemujaan terhadap roh-roh leluhur.

2) Masyarakat Hukum Geneologis yaitu suatu masyarakat kesatuan yang teratur dimana para anggotanya terikat pada suatu garis keturunan yang sama dari satu leluhur, baik secara langsung karena hubungan darah atau secara langsung karena hubungan perkawinan atau pertalian adat.

3) Masyarakat territorial Geneologis yaitu kesatuam masyarakat yang tetap dan teratur dimana para anggotanya bukan saja terikat pada kediaman pada suatu

4


(26)

11

daerah tertentu tetapi terkait juga pada hubungan keturunan dalam ikatan pertalian darah atau kekerabatan.

4) Masyarakat adat keagamaan yaitu masyarakat adat yang lahir karena suatu yang bersifat religius

5) Masyarakat adat di Perantauan yaitu kelompok-kelompok perantauan yang membentuk masyarakat adat desa sendiri.

6) Masyarakat adat lainnya yaitu bentuk hukum adat ini kita temukan di berbagai instansi pemerintah atau swasta atau di berbagai kehidupan sosial ekonomi lainnya.

C. Macam-Macam Masyarakat Hukum Adat

Macam-macam masyarakat hukum adat yang terdapat di Negara republik Indonesia terbagi beberapa macam, yang antara lain dapat digambarkan sebagai berikut:

1. Masyarakat adat yang susunan kerabatnya Patrilinial atau kekerabatan yang mengutamakan garis keturunan dari pihak laki-laki.

2. Masyarakat adat yang susunan kerabatnya Matrilinial atau kekerabatan yang mengutamakan garis keturunan dari pihak isteri.

3. Masyarakat adat yang susunan kerabatnya parental adalah sistem kekerabatan yang menarik sistem keturunan dari kedua belah pihak atau bersendi keibu bapakan

4. Masyarakat adat bersendi kebapakan beralih-alih (Altenerend) adalah sistem kekerabatan yang mengutamakan garis keturunan berada di pihak laki-laki namun


(27)

12

adakalanya garis keturunan mengikuti garis keturunan wanita karena terdapat pengaruh lingkungan dari wanita serta karena perkembangan zaman.

D. Masyarakat Hukum Adat Lampung

Secara garis besar suku bangsa Lampung dapat dibedakan menjadi dua kelompok masyarakat, yaitu masyarakat Lampung yang beradat pepadun dan masyarakat Lampung yang beradat saibatin atau peminggir. Kedua masyarakat adat Lampung ini mempunyai ciri khas dalam adat istiadatnya meskipun secara garis besar hampir sama. Penduduk Lampung terdiri dari beraneka ragam suku bangsa yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Keadaan ini di gambarkan dengan kata-kata : “Sai

Bhumi Ruwa Jurai” yang artinya daerah Lampung dihuni oleh oleh dua jenis keturunan yaitu penduduk suku bangsa asli Lampung dan penduduk suku bangsa pendatang.5

Berdasarkan adat istiadatnya penduduk suku Lampung terbagi dua yaitu masyarakat adat lampung pepadun dan masyarakat beradat Lampung saibatin atau peminggir. Diantaranya, adat pepadun diperkirakan bahwa adat pepadun didirikan pertama kali oleh masyarakat abung yang ada di sekitar abad ke-17 Masehi. Pada abad ke-18 Masehi adat pepadun berkembang pula di daerah Way kanan, Tulang bawang, dan Way seputih. Kemudian pada abad ke-19 Masehi adat pepadun berkembang disempurnakan dengan masyarakat kebuaian inti dan kebuaian-kebuaian tambahan (gabungan). Bentuk-bentuk penyempurnaan itu menghasilkan apa yang disebut

5

Integrasi nasional suatu Pendekatan budaya masyarakat di lampung, Kanwil Depdikbud propinsi Lampung tahun 1996. Hal. 17


(28)

13

dengan Abung Siwo Mego, Mego Pak Tulang Bawang, Pubian Telu Suku, dan buai lima way kanan.6

Bila dilihat dari penyebaran masyarakatnya, daerah adat dapat dibedakan bahwa daerah adat pepadun berada di antara kota Tanjung Karang sampai Giham (Blambangan umpu) Way kanan artinya daerah pepadun banyak berada di wilayah propinsi Lampung sedangkan untuk daerah adat Lampung Saibatin banyak berada di daerah pinggir lautan propinsi Lampung.

Kata pepadun sendiri artinya adalah sebuah kursi singgasana yang terbuat dari kayu, yang digunakan ketika melakukan upacara adat pepadun. Dengan kata lain, pepadun adalah suatu benda berupa bangku yang terbuat dari kayu yang merupakan lambang dari tingkatan kedudukan dalam masyarakat mengenai suatu keluarga keturunan.7 Adapun kita sering mendengar istilah cakak pepadun dalam upacara- upacara adat pepadun, cakak pepadun itu sendiri diartikan sebagai suatu peristiwa pelantikan penyimbang menurut adat istiadat masyarakat Lampung pepadun, dimana seseorang yang akan mendapatkan gelar adat duduk di pepadun dengan mengadakan gawi adat yang wajib dilaksanakan bagi seseorang yang akan berhak memperoleh pangkat atau kedudukan sebagai penyimbang yang dilakukan oleh lembaga perwatin adat.

6

Selayang pandang sejarah dan budaya kabupaten lampung tengah, Bapeda Lampung Tengah tahun

2006.

7

Kiay paksi, Sayuti Ibrahim, Buku Handak II lampung pubian, (Bandar Lampung: gunung Pesagi, 1995. Hal. 14


(29)

14

Seperti telah di jelaskan sebelumnya, masyarakat pepadun secara kekerabatan terdiri dari empat klen besar yang masing- masing dapat dibagi lagi menjadi kelompok- kelompok kerabat yang disebut Buay. Kelompok- kelompok masyarakat itu adalah :8 1. Abung Siwo Megou, Meliputi:

Buay Nunyai, lokasinya di daerah Kota Bumi. Buay Unyi, lokasinya di daerah Gunung sugih. Buay Nuban, lokasinya di daerah Sukadana.

Buay Subing, lokasinya di daerah Terbanggi Besar. Buay kunang, lokasinya di daerah Abung Barat. Buay Selagai, lokasinya di daerah Terbanggi Besar. Buay Selaga, lokasinya di daerah Abung Barat.

Buay Tuha, lokasinya di daerah di daerah Padang Ratu. Buay Nyerupa, lokasinya di daerah Gunung sugih. 2. Megou pak Tulang Bawang meliputi:

Buay balau, lokasinya di daerah Menggala

Buay Umpu, lokasinya di daerah Tulang Bawang Tengah. Buay Tegamoan, lokasinya di daerah Tulang bawang Tengah. Buay aji, lokasinya di daerah Tulang Bawang tengah.

3. Buay Lima (Way Kanan/ Sungkai), meliputi: Buay Barasakti, lokasinya di daerah Barasakti.

Buay Semenguk, lokasinya di daerah Blambangan umpu. Buay Baradatu, lokasinya di daerah Baradatu.

Buay Pemuko, lokasinya di daerah Pakuan ratu. Buay Bahugo, lokasinya di daerah Bahuga.

8

Integrasi nasional suatu Pendekatan budaya masyarakat di lampung, Kanwil Depdikbud propinsi


(30)

15

4. Pubian Telu Suku, meliputi:

Buay Manyarakat, lokasinya di daerahGedong tataan, Pagelaran, dan Kedaton.

Buay Tambapupus, lokasinya didaerah pagelaran dan gedong tataan. Buay bukujadi, lokasinya di daerah Natar.

Masyarakat Lampung beradat Saibatin disebut juga masyarakat Peminggir, karena pada umumnya mereka berdiam di daerah-daerah pantai atau pesisir. Masyarakat saibatin dalam melaksanakan adat musyawarah tanpa menggunakan kursi pepadun seperti hal nya masyarakat adat pepadun. Masyarakat yang merupakan Saibatin atau Peminggir adalah :

Pemingir Melinting/ Raja Basa, lokasinya di daerah Labuhan Maringgai dan Kalianda.

Peminggir Teluk, lokasinya didaerah Teluk Betung.

Peminggir Semangka lokasinya di daerah Cukuh Balak, Talang Padang, Kota Agung dan Wonosobo.

Peminggir Skala brak, lokasinya didaerah Liwa, Kenali, Pesisir Tengah, Pesisir Utara, dan Pesisir Selatan.

Ranau, Komering, dan Kayu Agung.

E. Pengertian Perkawinan dan Perkawinan Menurut Hukum Adat

Perkawinan adalah sebuah gerbang untuk membentuk keluarga bahagia. Hal ini di tegaskan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam pasal 1 disebutkan:“Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan


(31)

16

seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan untuk membentuk keluarga

(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha esa”.

Definisi perkawinan di atas sarat dengan muatan filosofis. Istilah kekal dalam definisi tersebut dalam definisi tersebut dapat dimaknai bahwa tujuan perkawinan adalah untuk selama-lamanya. Bahwa salah satu unsur perekat perkawinan adalah adanya keabadian/ kelanggengan (Idea of permanence), yaitu keinginan untuk hidup bersama dari pasangan sampai kematian menjemputnya.9

Pengertian Perkawinan Adat Menurut hukum adat pada umumnya di Indonesia perkawinan itu bukan saja berarti sebagai perikatan perdata tetapi juga merupakan perikatan adat sekaligus merupakan perikatan kekerabatan. Jadi terjadinya suatu ikatan perkawinan bukan semata-mata membawa akibat terhadap hubungan-hubungan keperdataan seperti : hak dan kewajiban suami istri, harta bersama, kedudukan anak, hak dan kewajiban orang tua tetapi juga menyangkut hubungan-hubungan adat istiadat, kewargaan, kekeluargaan atau kekerabatan dan ketetanggaan serta menyangkut upacara-upacara adat dan keagamaan.

Perkawinan menurut hukum adat pertama-tama adalah urusan keluarga; anak-anaknya melepaskan diri daripadanya segera atau seberapa waktu sesudah mereka kawin; jadi mereka melanjutkan hidup orang tuanya (atau salah seorang diantara orang tuanya).10

9

Farida,Anik, dkk. Perempuan dalam sistem perkawinan dan perceraian di berbagai komunitas dan adat, (Jakarta: Balai penelitian dan Pengembangan agama , 2007), hal. 3,4.

10


(32)

17

Perkawinan menurut tujuan dan kehormatan hukum adat dapat dilaksanakan dengan berbagai macam cara, menurut pandangan masyarakat adat suatu perkawinan yang dilakukan sendiri tanpa campur tangan dari orang tua, keluarga serta kerabat merupakan perkawinan yang bertentangan dengan hukum adat.

Perkawinan menurut masyarakat adat mempunyai nilai-nilai yang hidup yang menyangkut , masyarakat adat mengatur proses pelaksanaan perkawinan. Dengan memberikan masukan terhadap tata acara yang harus dipergunakan. Agar dapat terhindar dari penyimpangan. Sehingga untuk kedepannya tata cara tersebut dapat berjalan sesuai hukum adat, karena jika tata cara prosesi hukum adat tidak di damping dengan para pengatur/orang yang mengetahui tatacara perkawinan adat tidak dapat di pungkiri untuk kedepannya akan terjadi pergeseran adat yang ada.

F. Tujuan Perkawinan Adat

Tujuan perkawinan bagi masyarakat hukum adat yang bersifat kekerabatan adalah untuk mempertahankan dan meneruskan keturunan menurut garis keturunan bapak atau ibu maupun kedua-duanya, untuk kebahagian rumah tangga keluarga atau kerabat, untuk memperoleh nilai-nilai adat budaya dan kedamaian dan untuk mempertahankan kewarisan.

Oleh karena sistem keturunan dan kekerabatan suku di Indonesia berbeda. Maka tujuan perkawinan adat bagi masyarakat adat berbeda pula mengakibatkan hukum perkawinan dan upacara perkawinannya berbeda juga.


(33)

18

Pada masyarakat kekerabatan adat yang patrilineal perkawinan bertujuan mempertahankan garis keturunan bapak sehingga anak lelaki (tertua) harus melaksanakan bentuk perkawinan ambil istri (dengan perkawinan uang jujur), di mana setelah terjadinya perkawinan istri ikut masuk kekerabatan bapaknya.

G. Asas-Asas Perkawinan Adat

Perkawinan menurut hukum adat tidak semata-mata berarti suatu ikatan antara seorang pria dengan wanita sebagai suami-isteri untuk maksud mendapatkan keturunan dan membangun serta membina kehidupan keluarga rumah tangga, tetapi juga menyangkut hubungan hukum yang menyangkut para anggota kerabat dari pihak isteri dan suami.

Asas-asas perkawinan menurut hukum adat adalah sebagai di bawah ini:11

a. Perkawinan bertujuan untuk membembentuk keluarga rumah tangga dan hubungan kekerabatan yang rukun, damai, bahagia dan kekal.

b. Perkawinan tidak saja harus sah dilaksanakan menurut hukum agama dan atau kepercayaan, tetapi juga harus mendapatkan pengakuan dari anggota para kerabat.

c. Perkawinan dapat dilakukan seorang pria dengan beberapa wanita sebagai isteri yang kedudukannya masing-masing ditentukan oleh hukum adat setempat.

11


(34)

19

d. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan orang tua dan anggota kerabat. Masyarakat adat dapat menolak kedudukan suami atau isteri yang tidak diakui masyarakat adat.

e. Perkawinan dapat dilakukan oleh pria dan wanita yang belum cukup umur atau masih anak-anak. Begitu pula walaupun sudah cukup umur harus mendapat persetujuan dari orang tua/ keluarga kerabat.

H. Bentuk Perkawinan Pada Masyarakat Adat

Bentuk perkawinan pada masyarakat adat di Indonesia berbeda-beda hal ini dikarenakan banyaknya suku-suku di Indonesia yang melahirkan adat-istiadat yang berbeda-beda. Misalkan, dikalangan masyarakat lampung yang menganut sistem patrilinial pada umumnya yang dianut adalah bentuk pekawinan jujur dan pada masyarakat adat minangkabau yang menganut sistem matrilinial mereka pada umumnya pada umunya yang dianut adalah bentuk perkawinan semanda dan ada pula bentuk perkawinan mentas, perkawinan ini sering dianut oleh masyarakat jawa. Dibawah ini adapun penjelasan tentang bentuk-bentuk perkawinan menurut Prof. Hilman Hadikusuma adalah sebagai berikut:12

a. Perkawinan Jujur

Yang dimaksud bentuk perkawinan jujur adalah perkawinan yang mana hal tersebut dilakukan dengan pembayaran uang jujur. Penyerahan uang dan barang-barang dari

12


(35)

20

pihak suami kepada pihak istri. Dengan diterimanya uang atau barang jujur oleh pihak wanita maka berarti setelah perkawinan, si wanita akan mengalihkan kedudukan dari kerabat orang tuanya kepada kerabat suami.

Dengan demikian maka mempelai wanita masuk ke dalam golongan suami sehingga anak-anak yang lahir pada nantinya dianggap sebagai penerus keturunan pihak suami. Suami bertanggung jawab penuh terhadap rumah tangga, sedangkan isteri hanya sebagai pendamping. Jadi kedudukan suami isteri tidak seimbang. Namun bukan berarti suami dapat berbuat sekehendak hatinya. Itulah yang disebut dengan kawin jujur.

Di kalangan masyarakat adat yang menganut sistem perkawinan jujur dan menarik keturunan dalam sistim kebapak-an, setiap wanita menganggap dirinya anak orang lain karena dianggap sudah menjadi warga adat dari pihak suami. Namun demikian tidak berarti hubungan hukum dan hubungan biologis antara si wanita dan orang tua kerabat asalnya hilang, namun si isteri harus lebih mengutamakan kepentingan kerabat pihak suami daripada kepentingan asalnya.

b. Perkawinan Semanda

Perkawinan semanda adalah bentuk perkawinan tanpa pembayaran uang jujur dari pihak laki-laki kepada pihak wanita. Setelah perkawinan si pria harus menetap dipihak di kekerabatan isteri masuk ke dalam kekerabatan isteri atau hanya sebagai pemberi benih keturunan atau bertanggung jawab meneruskan keturunan di pihak


(36)

21

isteri. Setelah perkawinan itu pun hak dan kedudukan suami berada di bawah pengaruh isteri dan kerabatnya. Perkawinan ini berlawanan dengan perkawinan jujur yang sebelumnya telah di jelaskan, jika di perkawinan jujur mempelai wanita harus melepaskan kedudukannya dari kerabatnya dan ikut kepada Mempelai pria sedangkan pada perkawinan semanda mempelai laki-laki yang melepaskan kedudukannya dalam kerabatnya sendiri lalu tanggung jawab untuk meneruskan kedudukan ada pihak mempelai wanita. Perkawinan ini sering kita dengar banyak terjadi pada masyarakat Minangkabau. Karena masyarakat Minangkabau menganut sisitem matrilinial.

c. Perkawinan Mentas

Perkawinan mentas adalah perkawinan dimana kedudukan suami istri dilepaskan dari tanggung jawab orang tua atau keluarga kedua belah pihak untuk dapat berdiri sendiri untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Orang tua dalam bentuk perkawinan mentas hanya bersifat membantu dengan memberikan harta kekayaan sebagai warisan sebelum orang tua meninggal dunia.

Dalam perkawinan mentas yang terpenting adalah ada persetujuan dari orang tua atau wali kedua mempelai yang melaksanakan perkawinan. Didalam perkawinan mentas tidak ada hubungannya dengan hubungan kekerabatan seperti perkawinan jujur dan semanda. Semua itu di serahkan kepada kedua belah pihak, apakah pihak suami yang ikut ke istri atau pihak istri yang ikut ke pihak suami.


(37)

22

I. Sistem Perkawinan 1. Sistem Endogamie

Di daerah sistem ini seseorang hanya boleh kawin dengan seseorang dari suatu suku keluarganya sendiri (satu clan), perkawinan semacam ini sudah jarang terjadi walaupun ada hanya pada suku Toraja saja, namun ini pun sudah mulai berubah lagi dan juga pada dassarnya perkawinan Endogamie ini tidak sesuai dengan tata susunan masyarakatnya yang menganut system kekeluargaan Parental. menurut saya sistim seperti ini mempunyai kelemahan, karena dengan adanya perkawinan yang mengharuskan berasal dari satu suku keluarga, maka dalam pergaulan yang meluas dan pengembangan keturunan sulit tercapai, bisa disebut perkawinan ini mencoba mengisolasi diri dari suku lain dan dunia luar.

2. Sistem Eksogami

Dalam sistem ini seseorang diharuskan kawin dengan seseorang diluar suku keluarganya (keluar clan), sistem ini misalnya terdapat didaerah Gayo, Alas, Tapanuli, Minangkabau dan Sumatera selatan. Dalam perkembangannya-pun sistem ini mengalami proses perlunakan dimana perkawinan itu dilakukan hanya pada lingkungan kekeluargaan yang sangat kecil saja.


(38)

23

3. Sistem Eleutherogami

Sistem ini tidak mengenal larangan-larangan atau keharusan-keharusan seperti halnya dalam sistem Endogami dan sistem eksogami. Larangan-larangan yang ada dalam sistem ini adalah larangan-larangan yang bertalian dengan ikatan kekeluargaan, yakni latrangan karena:

1) Nasab (Turunan Dekat) seperti kawin dengan Ibu, Nenek, anak kandung, Cucu juga Kawin dengan saudara kandung, saudara bapak dan saudara ibu. 2) Musyahrah (Periparan) seperti kawin dengan Ibu Tiri, Menantu, Mertua,Anak

Tiri.

Ternyata sistem ini meluas di Indonesia misalnya di Aceh, Bangka Belitung, Kalimantan, Minahasa, Sulawesi selatan, Ternate, Irian Jaya, Timor, Bali, Lombok dan seluruh Jawa dan Madura.13

Dan sistem eleotherogamie ini telah mempengaruhi aturan-aturan mengenai perkawinan khususnya Undang-undang nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan berlaku umum bagi masyarakat Indonesia.

13


(39)

24

J. Kerangka Pikir

Untuk memperjelas dari pembahasan penelitian ini, maka penulis membuat kerangka pikir sebagai berikut:

Pertama, antara pria dan wanita sepakat mengikatkan diri dalam sebuah perkawinan, dalam suatu perkawinan, kita mengenal tiga bentuk perkawinan yaitu perkawinan jujur, semanda dan mentas. Dan dalam hal ini bentuk perkawinan yang digunakan adalah bentuk perkawinan jujur. Karena menggunakan bentuk perkawinan jujur maka dalam pelaksanaan perkawinan jujur tersebut di tandai dengan adanya pemberian sejumlah uang/barang jujur dari pihak pria kepada pihak wanita. selain dengan adanya pembayaran uang jujur dalam pelaksanaan perkawinan terdapat tahap-tahap baik dari mulai tahap pelamaran sampai pada tahap si wanita di bawa (di boyong) ke tempat kediaman si suami.

Pelaksanaan Perkawinan

Kedudukan Istri

Wanita

Perkawinan Jujur Pria


(40)

25

Kemudian setelah si isteri di boyong ke tempat kediaman suami maka si isteri akan memperoleh suatu kedudukan di dalam kelurga barunya, baik kedudukannya dalam keluarga, kerabat maupun pribadi.


(41)

26

III. METODE PENELITIAN

Untuk mendapatkan data mengenai apa yang diperlukan dalam penelitian hukum perkawinan adat Lampung pepadun Kebuwayan Subing ini serta untuk mendapatkan data mengenai apa yang telah diuraikan pada Permasalahan dalam Bab I mengenai bagaimana pelaksanaan bentuk perkawinan jujur pada masyarakat adat Lampung Pepadun Kebuwayan Subing dan bagaimana kedudukan isteri setelah terjadinya perkawinan jujur pada masyarakat adat Lampung pepadun Kebuwayan Subing saat ini. Maka dipergunakan beberapa metode serta Langkah-langkah yang harus diambil agar dapat berguna didalam penyusunan Skripsi ini.

A. Lokasi Penelitian

Dalam penelitian ini, lokasi penelitian adalah pada masyarakat pepadun kebuwayan Subing yang berdomisili di kampung Terbanggi Besar kecamatan Terbanggi Besar Kabupaten Lampung Tengah, lokasi ini dengan pertimbangan bahwa masyarakat adat kebuwayan Subing berada di daerah ini.

B. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dipergunakan adalah normatif empiris, yaitu meneliti secara langsung yang terjadi dalam masyarakat terhadap kedudukan isteri dalam


(42)

27

perkawinan Jujur dan bagaimana pelaksanaan perkawinan jujur dari bentuk perkawinan tersebut serta mengkaji mengenai kedudukan isteri dalam perkawinan jujur saat ini pada masyarakat adat Lampung pepadun kebuwayan Subing di kampung Terbanggi Besar.

C. Tipe Penelitian

Tipe penelitian ini bersifat deskriptif, yaitu menggambarkan secara tepat, jelas, sistematis dan terperinci mengenai pelaksanaan perkawinan jujur dan kedudukan isteri dari perkawinan jujur serta perkembangan kedudukan isteri dalam perkawinan jujur tersebut menurut masyarakat adat lampung Pepadun Kebuwayan Subing.

D. Pendekatan Masalah

Dalam penelitian ini secara pendekatan yuridis yang artinya Pendekatan dengan melihat Peristiwa hukum dan perilaku masyarakat khususnya yang terjadi pada masyarakat Pepadun Kebuwayan Subing di kampung Terbanggi Besar.

E. Pengumpulan Data

Untuk mendapatkan data yang berguna dengan kata lain yang bermanfaat dalam penelitian ini, maka data yang diperlukan berupa:


(43)

28

a. Data Primer

Yaitu data yang diperoleh penulis secara langsung dari para informan yaitu pemuka/penyimbang dan para responden yaitu masyarakat Subing di Terbanggi Besar. Selanjutnya data primer dalam penelitian skripsi ini diperoleh dengan wawancara (Interview) terhadap informan dan responden sekaligus memberikan kuisioner, yaitu cara memperoleh informasi dengan bertanya langsung dari masyarakat, tokoh masyarakat, pemuka/penyimbang adat Lampung pepadun kebuwayan Subing dan orang-orang yang berwenang dan mengetahui tentang gambaran tentang adat Lampung pepadun maupun perkawinan adat Lampung pepadun kebuwayan subing.

Wawancara yang digunakan adalah wawancara bebas terpimpin yaitu teknik wawancara yang daftar pertanyaannya telah disiapkan terlebih dahulu oleh penulis, namun masih tetap dimungkinkan adanya variasi pertanyaan yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi pada saat wawancara.

b. Data Sekunder

Data sekunder merupakan data yang berfungsi mendukung keterangan atau menunjang kelengkapan data primer. Bahan-bahan hukum sekunder, yaitu: Bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan berfungsi menjelaskan bahan-bahan primer antara lain terdiri dari:

1. Buku-buku 2. Hasil penelitian.


(44)

29

F. Populasi dan Sampel

Populasi diartikan dalam penelitian ini adalah suatu masyarakat dalam suatu wilayah yang merupakan sebagai objek. Dalam penelitian ini yang menjadi populasi adalah masyarakat adat Lampung pepadun Kebuwayan Subing telah melakukan perkawinan jujur yang berdomisili di kampung Terbanggi besar kecamatan Terbanggi Besar yang berjumlah 350 Kepala keluarga. Dan sampel merupakan penarikan dari suatu populasi untuk di jadikan suatu objek guna keperluan penelitian. dalam hal ini yang menjadi sampel adalah masyarakat adat Lampung pepadun kebuwayan Subing yang melaksanakan bentuk perkawinan Jujur, dalam penelitian ini jumlah sampel yang dijadikan referensi dalam penelitian ini berjumlah 10% dari jumlah kepala keluarga yang telah melakukan perkawinan jujur yang berdomisili di kampung Terbanggi Besar kecamatan Terbanggi Besar kabupaten Lampung Tengah. Pada perkawinan Jujur berkisar 35 pasang.

G. Analisis Data

Data yang diperoleh pada dasarnya merupakan data tataran yang dianalisis secara diskriptif kualitatif, yaitu data yang terkumpul dituangkan dalam bentuk uraian logis dan sistematis yang menghubungkan data-data yang ada dan kemudian setelah data dipandang cukup kemudian diklasifikasikan menurut pokok bahasan sehingga dalam pendadaran hasil penelitian dapat mempermudah dalam pembahasannya. Berdasarkan analisis dan penafsiran yang telah di buat tersebut, dikemukakan beberapa kesimpulan yang selanjutnya berdasarkan kesimpulan tersebut diberikan saran-saran untuk kebijakan selanjutnya.


(45)

53

V. KESIMPULAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat disimpulkan:

1. Bentuk perkawinan pada masyarakat kampung Terbanggi Besar adalah bentuk perkawinan jujur yang di tandai dengan adanya pemberian sejumlah uang maupun barang jujur dari pihak pria kepada pihak wanita,

Dalam pelaksananaan perkawinan jujur terdapat beberapa tahapan yaitu tahap perkenalan (Nindai/Nyubuk) Jika dirasakan sudah cocok maka dilanjutkan dengan

(Bekado) yaitu pihak keluarga pria mendatangi pihak keluarga untuk mengutarakan isi hati, setelah mencapai kesepaktaan, maka keluarga pihak pria datang ke rumah kediaman wanita untuk melamar (Nunang) sekaligus merundingkan berapa biaya, mas kawin, uang jujur, adat perkawinan dan lain-lain, setelah itu dilakukan acara akad nikah dan selanjutnya dilakukan upacara perkawinan adat sampai pada acara pelepasan mempelai wanita kepada mempelai pria.


(46)

54

2. Kedudukan isteri dalam perkawinan jujur di kampung Terbanggi Besar saat ini seiring perkembangan semakin mendekati keseimbangan dengan kedudukan suami, hal tersebut di pengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor ekonomi, faktor pendidikan, faktor budayadan faktor lingkungan.


(47)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-Buku

Farida, Anik, dkk. 2007. Perempuan dalam sistem perkawinan dan perceraian di berbagai komunitas dan adat. Balai penelitian dan Pengembangan agama , Jakarta.

Fakultas Hukum, 2008, Format penulisan karya ilmiah, Unila. Bandar Lampung. Hadikusuma, Hilman. 2003. Hukum adat Indonesia. Mandar Maju. Bandung. _________________. 1995. Hukum Perkawinan Adat. Citra aditya bakti. Bandung. Kiay paksi, Sayuti ibrahim, 1995. Buku handak II lampung pubian. Gunung

Pesagi,Bandar Lampung.

Muhammad, Abdulkadir. 2004. Hukum dan penelitian hukum. Citra aditya bakti. Bandung.

Puspawidjaja, Rizani. 2008. Dinamika pembentukan Kelompok sosial dalam masyarakat Indonesia. Universitas Lampung. Bandar lampung.

Setiady, Tolib. 2008. Intisari Hukum Adat Indonesia. Alfabeta, Bandung. Sudarsono, 2005. Hukum perkawinan nasional. Rineka cipta, Jakarta. ________________. 2006. Sosiologi suatu pengantar. Rajawali. Jakarta. Soepomo. 1989, Bab-bab Tentang Hukum Adat, Bandung University, Taneko, soelaiman B. 1987, Hukum Adat. Eresco. Bandung.

Usman adji, Sution.1989. Kawin lari dan kawin antar agama. Liberty, Yogyakarta. Wiranata, I Gede A.B. 2002. Antropologi Budaya. citra aditya bakti, Bandung.


(48)

Selayang pandang sejarah dan budaya kabupaten lampung tengah, Bapeda Lampung Tengah tahun 2006.

Integrasi nasional suatu Pendekatan budaya masyarakat di lampung, Kanwil Depdikbud propinsi Lampung tahun 1996

B. Perundang-undangan

Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan C. Website

http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Lampung diakses tanggal 7 Maret 2012 pukul. 10.00 Wib


(1)

a. Data Primer

Yaitu data yang diperoleh penulis secara langsung dari para informan yaitu pemuka/penyimbang dan para responden yaitu masyarakat Subing di Terbanggi Besar. Selanjutnya data primer dalam penelitian skripsi ini diperoleh dengan wawancara (Interview) terhadap informan dan responden sekaligus memberikan kuisioner, yaitu cara memperoleh informasi dengan bertanya langsung dari masyarakat, tokoh masyarakat, pemuka/penyimbang adat Lampung pepadun kebuwayan Subing dan orang-orang yang berwenang dan mengetahui tentang gambaran tentang adat Lampung pepadun maupun perkawinan adat Lampung pepadun kebuwayan subing.

Wawancara yang digunakan adalah wawancara bebas terpimpin yaitu teknik wawancara yang daftar pertanyaannya telah disiapkan terlebih dahulu oleh penulis, namun masih tetap dimungkinkan adanya variasi pertanyaan yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi pada saat wawancara.

b. Data Sekunder

Data sekunder merupakan data yang berfungsi mendukung keterangan atau menunjang kelengkapan data primer. Bahan-bahan hukum sekunder, yaitu: Bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan berfungsi menjelaskan bahan-bahan primer antara lain terdiri dari:

1. Buku-buku 2. Hasil penelitian.


(2)

29

F. Populasi dan Sampel

Populasi diartikan dalam penelitian ini adalah suatu masyarakat dalam suatu wilayah yang merupakan sebagai objek. Dalam penelitian ini yang menjadi populasi adalah masyarakat adat Lampung pepadun Kebuwayan Subing telah melakukan perkawinan jujur yang berdomisili di kampung Terbanggi besar kecamatan Terbanggi Besar yang berjumlah 350 Kepala keluarga. Dan sampel merupakan penarikan dari suatu populasi untuk di jadikan suatu objek guna keperluan penelitian. dalam hal ini yang menjadi sampel adalah masyarakat adat Lampung pepadun kebuwayan Subing yang melaksanakan bentuk perkawinan Jujur, dalam penelitian ini jumlah sampel yang dijadikan referensi dalam penelitian ini berjumlah 10% dari jumlah kepala keluarga yang telah melakukan perkawinan jujur yang berdomisili di kampung Terbanggi Besar kecamatan Terbanggi Besar kabupaten Lampung Tengah. Pada perkawinan Jujur berkisar 35 pasang.

G. Analisis Data

Data yang diperoleh pada dasarnya merupakan data tataran yang dianalisis secara diskriptif kualitatif, yaitu data yang terkumpul dituangkan dalam bentuk uraian logis dan sistematis yang menghubungkan data-data yang ada dan kemudian setelah data dipandang cukup kemudian diklasifikasikan menurut pokok bahasan sehingga dalam pendadaran hasil penelitian dapat mempermudah dalam pembahasannya. Berdasarkan analisis dan penafsiran yang telah di buat tersebut, dikemukakan beberapa kesimpulan yang selanjutnya berdasarkan kesimpulan tersebut diberikan saran-saran untuk kebijakan selanjutnya.


(3)

V. KESIMPULAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat disimpulkan:

1. Bentuk perkawinan pada masyarakat kampung Terbanggi Besar adalah bentuk perkawinan jujur yang di tandai dengan adanya pemberian sejumlah uang maupun barang jujur dari pihak pria kepada pihak wanita,

Dalam pelaksananaan perkawinan jujur terdapat beberapa tahapan yaitu tahap perkenalan (Nindai/Nyubuk) Jika dirasakan sudah cocok maka dilanjutkan dengan (Bekado) yaitu pihak keluarga pria mendatangi pihak keluarga untuk mengutarakan isi hati, setelah mencapai kesepaktaan, maka keluarga pihak pria datang ke rumah kediaman wanita untuk melamar (Nunang) sekaligus merundingkan berapa biaya, mas kawin, uang jujur, adat perkawinan dan lain-lain, setelah itu dilakukan acara akad nikah dan selanjutnya dilakukan upacara perkawinan adat sampai pada acara pelepasan mempelai wanita kepada mempelai pria.


(4)

54

2. Kedudukan isteri dalam perkawinan jujur di kampung Terbanggi Besar saat ini seiring perkembangan semakin mendekati keseimbangan dengan kedudukan suami, hal tersebut di pengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor ekonomi, faktor pendidikan, faktor budayadan faktor lingkungan.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-Buku

Farida, Anik, dkk. 2007. Perempuan dalam sistem perkawinan dan perceraian di berbagai komunitas dan adat. Balai penelitian dan Pengembangan agama , Jakarta.

Fakultas Hukum, 2008, Format penulisan karya ilmiah, Unila. Bandar Lampung. Hadikusuma, Hilman. 2003. Hukum adat Indonesia. Mandar Maju. Bandung. _________________. 1995. Hukum Perkawinan Adat. Citra aditya bakti. Bandung. Kiay paksi, Sayuti ibrahim, 1995. Buku handak II lampung pubian. Gunung

Pesagi,Bandar Lampung.

Muhammad, Abdulkadir. 2004. Hukum dan penelitian hukum. Citra aditya bakti. Bandung.

Puspawidjaja, Rizani. 2008. Dinamika pembentukan Kelompok sosial dalam masyarakat Indonesia. Universitas Lampung. Bandar lampung.

Setiady, Tolib. 2008. Intisari Hukum Adat Indonesia. Alfabeta, Bandung. Sudarsono, 2005. Hukum perkawinan nasional. Rineka cipta, Jakarta. ________________. 2006. Sosiologi suatu pengantar. Rajawali. Jakarta. Soepomo. 1989, Bab-bab Tentang Hukum Adat, Bandung University, Taneko, soelaiman B. 1987, Hukum Adat. Eresco. Bandung.

Usman adji, Sution.1989. Kawin lari dan kawin antar agama. Liberty, Yogyakarta. Wiranata, I Gede A.B. 2002. Antropologi Budaya. citra aditya bakti, Bandung.


(6)

Selayang pandang sejarah dan budaya kabupaten lampung tengah, Bapeda Lampung Tengah tahun 2006.

Integrasi nasional suatu Pendekatan budaya masyarakat di lampung, Kanwil Depdikbud propinsi Lampung tahun 1996

B. Perundang-undangan

Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan

C. Website

http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Lampung diakses tanggal 7 Maret 2012 pukul. 10.00 Wib