PENERAPAN PRINSIP PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA YANG BERSIFAT KEPERDATAAN (Studi Putusan Nomor 157/Pid.B/2014/PN.TK)

(1)

Abstract

Principle of of Criminal Cases that is defaults ( study decisions number 157 / Pid.b / 2014 / PN.TK )

By

HINDIANA SAVA HUSADA

The practice of enforcement lawthere is a difference implication when one of the

parties not meet a feat that had been promised, first is these problems isdefaults,

while for the second stated that the issue fraudulent. As for problems in this research was how principle of proof in criminal cases that is a civil code ( study matter number 157 / Pid.b / 2014 / pn.tk ) And what is the basic consideration of the judge in dropping an imprisonment ( study matter number 157 / Pid.b / 2014 / pn.tk ) ? .

This research adopting juridical normative and juridical empirical. Data obtained by means interview use guidelines written to the respondents who have determined.The research was done in the jurisdiction of the district court class he tanjung coral.

The results of research and discussion it was concluded that the principle of verifiable criminal cases basically it has been stipulated in article 183 KUHAP

that determines that “ the judge was not allowed to drop criminal to a unless the

with at least two evidence legitimate he earned the belief that a criminal act in fact

the case and the defendant guilty do it”. The basic consideration of the judge in

criminal with the matter of number 157 / Pid.b / 2014 / pn.tk seen that as a broad outline conducted in such a way, consider the level of errors in that has been carried out, the influence of the commission of a crime that has been carried out , the threat to article charged, thing which relieves and that something burdensome , as well as the facts being revealed in the trial .


(2)

Abstrak

PENERAPAN PRINSIP PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA YANG BERSIFAT KEPERDATAAN

(Studi Putusan Nomor 157/Pid.B/2014/PN.TK) OLEH

HINDIANA SAVA HUSADA

Praktik penegakan hukum terdapat perbedaan implikasi apabila salah satu pihak tidak memenuhi prestasi yang telah diperjanjikan, pertama adalah permasalahan tersebut merupakan wanprestasi, sedangkan yang kedua menyatakan bahwa persoalan tersebut merupakan penipuan. Adapun permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah penerapan prinsip pembuktian dalam perkara pidana yang bersifat keperdataan (Studi Perkara Nomor 157/Pid.B/2014/PN.TK) ? dan apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana pejara (Studi Perkara Nomor 157/Pid.B/2014/PN.TK) ?.

Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Data diperoleh dengan cara wawancara menggunakan pedoman tertulis terhadap responden yang telah ditentukan. Penelitian dilakukan di wilayah hukum Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang.

Hasil penelitian dan pembahasan disimpulkan bahwa prinsip pembuktian perkara pidana pada dasarnya telah diatur dalam Pasal 183 KUHAP yang menentukan

bahwa “hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila

dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang

bersalah melakukannya”. Dasar pertimbangan hakim dalam penjatuhan pidana dalam perkara nomor 157/Pid.B/2014/PN.TK diketahui bahwa secara garis besar dilakukan dengan cara, mempertimbangkan tingkat kesalahan yang telah dilakukan, pengaruh tindak pidana yang telah dilakukan, ancaman terhadap pasal yang didakwakan, hal yang meringankan dan hal yang memberatkan, serta fakta-fakta yang terungkap dipersidangan.


(3)

PENERAPAN PRINSIP PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA YANG BERSIFAT KEPERDATAAN

(Studi Putusan Nomor 157/Pid.B/2014/PN.TK)

Oleh

HINDIANA SAVA HUSADA

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2015


(4)

(5)

(6)

MOTO

Bersikaplah kokoh seperti batu karang walaupun ia dihantam

ombak besar, jadilah seperti pohon oak yang berani menentang

angin dan bergayalah seperti air yang tenang saat permasalahan

menghampiri

(Hindiana Sava Husada)

Tanah boleh dipandang hina karena anda terpesona memandang

langit dan lautan

Namun jangan lupakan dimana anda berpijak untuk memandang

semua keindahan itu

(Hutomo Mandala Putra)

Masa lalu saya adalah milik saya, masa lalu kamu adalah kamu,

tapi masa depam adalah milik kita


(7)

PERSEMBAHAN

Atas Ridho Allah SWT dan dengan segala kerendahan hati kupersembahkan skripsiku ini kepada:

Ayahanda Makmun dan Ibunda Ermawati

Terimakasih atas segala kasih sayang, pengorbanan, doa dan dukungan dalam setiap langkah yang ku ambil.

Kepada Saudari-saudariku Ani, Dahlia, dan Rini Anggrainy Yang selalu memberikan dukungan dan semangat.

Almamater tercinta Universitas Lampung

Tempatku menimba ilmu dan mendapatkan pengalaman berharga yang menjadi sebagian jejak langkahku menuju kesuksesan.


(8)

RIWAYAT HIDUP

Nama lengkap penulis adalah Hindiana Sava Husada. Penulis dilahirkan di Banyumas pada tanggal 11 Mei 1993, dan merupakan anak kelima dari lima bersaudara, buah cinta dari pasangan Ayahanda Makmun dan Ibunda Ermawati.

Penulis mengawali pendidikan di Sekolah Dasar Negeri 3 Banyumas diselesaikan pada tahun 2005, Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 1 Sukoharjo diselesaikan pada tahun 2008, dan menyelesaikan pendidikan di Sekolah Menengah Atas di SMA 1 Sukoharjo pada tahun 2011. Penulis terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung melalui jalur Mandiri pada tahun 2011.

Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif di organisasi kemahasiswaan pada Fakultas Hukum Universitas Lampung yaitu Anggota Muda Badan Intelektual Mahasiswa Fakultas Hukum (BIM-FH) periode 2011/2012, Mahasiswa Pengkaji Masalah Hukum (MAHKAMAH), Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum (BEM-FH) sebagai Seketaris PSDOMM. Penulis juga aktif sebagai Seketaris Umum pada Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Hukum (DPM-FH) periode 2014/2015.


(9)

SANWACANA

Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan sekalian alam yang maha kuasa atas bumi, langit dan seluruh

isinya, serta hakim yang maha adil di yaumil akhir kelak. Sebab, hanya dengan

kehendak-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul

“Penerapan Prinsip Pembuktian Perkara Pidana Yang Bersifat Keperdataan (Studi Putusan Nomo 157/Pid.B/2014/PN.TK) sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Lampung.

Penulis menyadari masih terdapat kekurangan dalam penulisan skripsi ini, saran dan kritik yang membangun dari semua pihak sangat diharapkan untuk pengembangan dan kesempurnaan skripsi ini.

Penyelesaian penelitian ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan, dan saran dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Heryandi, S.H., M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung.

2. Ibu Diah Gustiniati S.H.,M.H selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung.


(10)

3. Bapak Eko Raharjo S.H.,M.H selaku Pembimbing I atas kesabaran dan kesediaan untuk meluangkan waktu disela-sela kesibukannya, mencurahkan segenap pemikirannya, memberikan bimbingan, motivasi, nasihat dalam mengarahkan penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.

4. Bapak Rinaldy Amrullah S.H.,M.H selaku Pembimbing II atas kesabarannya yang luar biasa dan bersedia untuk meluangkan waktunya, mencurahkan segenap pemikirannya, memberikan bimbingan, motivasi, nasihat dalam mengarahkan penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan.

5. Dr.Erna Dewi, S.H.,M.H., selaku Pembahas I yang telah memberikan kritik, saran, dan masukan yang membangun terhadap skripsi ini.

6. Bapak Gunawan Jatmiko S.H.,M.H., selaku Pembahas II yang telah memberikan kritik, saran, dan masukan yang membangun terhadap skripsi ini. 7. Bapak Yuswanto, S.H.,M.H., selaku Pembimbing Akademik, yang telah

membantu penulis menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Lampung.

8. Seluruh dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang penuh dedikasi dalam memberikan ilmu yang bermanfaat bagi penulis, serta segala bantuan yang diberikan kepada penulis selama menyelesaikan studi.

9. Teristimewa untuk Papaku tercinta dan tersayang Makmun dan mamaku Ermawati wanita yang sangat luar biasa, Kalian adalahorangtua terhebat dalam hidupku yang tiada henti memberikan cinta kasih, semangat dan sembah sujudnya terhadap Allah SWT untuk kebahagian dan keberhasilanku, yang tidak pernah lelah mendukung, berharap dan menunggu saat-saat indah ini. Terimakasih atas segalanya semoga kelak dapat membahagiakan,


(11)

membanggakan, dan selalu bisa membuat kalian tersenyum dalam kebahagiaan.

10. Saudari-saudariku Alm.Nurmayanti, acik Ani,Uni Dahlia dan ayuk Rini, terima kasih untuk perhatian, canda, dan semangatnya.

11. Kakak-kakak dan Ponakanku Nizar Efendi, Tri Hariyatno, Yayan Astrika Kurniawan, M.Revanda, Mishelia Hartalia, Oashinta Jelita Renata, Aksa Syahdad, Calista Alea Patra, Syakira Oktaviona.

12. Sahabat-sahabatku tersayang Devi, Anita, Ria Wulandari, Resty, Rhina, untuk kebersamaan, bantuan, canda tawa dan semangatnya, kalian sudah seperti keluarga bagiku. Terimakasih untuk persahabatan selama ini, semoga persahabatan kita untuk selamanya dan semoga kita semua sukses.

13. Orang-orang terbaik yang ada di hidupku Suzana , Gasela, Hayyuni, Cidut, Bella, Dhana, April, Uca, Upe, Inar, Yolanda, Ayu Licek, Rae, Raden Mas Mayanto, Hanny, Ayu Permata Sari, Ninis, Eci, Paul , Rohani Semoga kita bisa tetap saling membantu dan menyemangati satu sama lain. Semoga kita semua sukses.

14. Teman-teman seperjuangan HIMA PIDANA, yang tidak dapat disebutkan satu persatu semoga impian kita semua dapat terwujud

15. Keluarga Besar Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas (BEM-F), yang tidak dapat disebutkan satu persatu terima kasih untuk kebersamaan, pengalaman serta ilmu yang berharga. Semoga kita semua sukses.

16. Keluarga besar HMI Komisariat Hukum Unila yang tidak dapat disebutkan satu persatu, kalian keluarga yang luar biasa, terima kasih untuk kebersamaan,


(12)

pengalaman serta ilmu yang berharga yang tidak saya temukan dalam perkuliahan dan hanya saya temukan di HMI Komisariat Hukum Unila.

17. Keluarga Besar Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandar Lampung,, Bang

Fauzi, Bang Abi Hasan Mu’an, Bang Anggit, Bang Chandra, Bang Toni,

Mbak Putri, Bang Depri, Bang Alian, Bang Ajie, Bang Bangkit, Bang Heri, Bang Wendi, Bang Ilyas, Kak Inggo, Bung Bob. Terima kasih atas pengalaman, ilmu, dukungan, serta saran yang telah diberikan.

18. Teman-teman KKN di Desa Sri Rahayu.. Terima kasih untuk kebersamaannya selama 40 hari, semoga kita semua sukses.

19. Keluarga Besar MAHKAMAH, Yang tidak bisa di sebutkan satu-persatu penulis sangat bangga menjadi bagian dari kalian.

20. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini, terimakasih atas semua bantuan dan dukungannya.

Semoga Allah SWT memberikan balasan atas jasa dan budi baik yang telah diberikan kepada penulis. Akhir kata, Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, akan tetapi sedikit harapan semoga skripsi yang sederhana ini dapat bermanfaat bagi yang membacanya, khususnya bagi penulis dalam mengembangkan dan mengamalkan ilmu pengetahuan.

Bandar Lampung, Oktober 2015 Penulis,


(13)

(14)

DAFTAR ISI

I. PENDAHULUAN Halaman

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 5

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 6

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 7

E. Sistematika Penulisan ... 12

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tindak Pidana ... 14

B. Tinjauan Umum Wanprestasi ... 25

C. Penipuan Umum Tentang Pembuktian Dalam Peradilan ... 26

D. Penipuan dan Wanprestasi ... 30

E. Tinjauan Tentang Putusan Hakim ... 31

III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ... 36

B. Sumber dan Jenis Data ... 37

C. Penentuan Narasumber ... 38

D. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 39


(15)

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Putusan Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung

Karang Nomor 157/Pid.B/2014/PN.TK ... 41

B. Prinsip Pembuktian dalam Perkara Pidana yang Bersifat

Keperdataan ... 42

C. Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana dalam Perkara

Nomor 157/Pid.B/2014/PN.TK ... 51

V. PENUTUP

Simpulan ... 64


(16)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sistem peradilan pidana di Indonesia terdiri dari hukum pidana materil dan hukum pidana formil. Hukum pidana materil di Indonesia secara umum diatur di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Selanjutnya disebut KUHP), dan secara khusus banyak diatur di peraturan perundang-undangan yang mencantumkan ketentuan pidana. Begitu juga dengan hukum pidana formil di Indonesia, diatur secara umum di dalam Kitab undang-undang Hukum Acara Pidana (Selanjutnya disebut KUHAP), dan secara khusus ada yang diatur di Undang-undang yang mencantumkan ketentuan pidana serta memberikan pedoman dalam proses peradilan bagaimana seharusnya peradilan itu dilaksanakan oleh aparat hukum yang dimulai dari polisi, jaksa, dan hakim serta penasihat hukum maupun oleh petugas pemasyarakatan dan pencari keadilan yaitu terdakwa bahkan korban

maupun masyarakat.1

Berdasarkan pada kedua aturan hukum positif di atas, penegakan hukum pidana di Indonesia menganut 2 (dua) sistem yang diterapkan secara bersamaan, yakni

sistem penegakan hukum pidana secara diferensiasi fungsional dan Intregated

Criminal Justice System. Karena pada strukturnya, penegakan hukum pidana Indonesia dari hulu ke hilir ditangani lembaga yang berdiri sendiri secara terpisah

1 Kadri Husin, Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia, Lembaga Penelitian Universitas Lampung, Bandar


(17)

2

dan mempunyai tugas serta wewenangnya masing-masing. Misalnya penyelidikan dan penyidikan dilakukan oleh kepolisian, penuntutan dilakukan oleh kejaksaan, dan pemeriksaan persidangan beserta putusan menjadi tanggung jawab dari hakim yang berada di bawah naungan Mahkamah Agung. Hal tersebut yang menjadi sebab Indonesia dikatakan menganut sistem diferensiasi fungsional.

KUHAP sebagai induk hukum acara pidana Indonesia sendiri secara eksplisit menyatakan bahwa Indonesia menganut kedua asas tersebut, yakni bisa kita temukan dalam ketentuan penjelasan umum, angka 3 huruf c dan angka 3 huruf e. Walaupun terkesan mencampur adukkan, namun penerapan kedua asas ini secara bersamaan sebenarnya merupakan hal yang bisa ditoleransi, hal ini dikarenakan adanya perbedaan tugas dari tiap aparat penegak hukum. Sebenarnya dapat terlihat jelas bahwa meskipun KUHAP menerapkan kedua asas tersebut, namun pada praktiknya tetap lebih condong kepada asas praduga tak bersalah atau Presumption of Innocence. Hal ini juga disebabkan karena penegakan hukum pidana pada era KUHAP, lebih menitik beratkan pada perlindungan hak asasi warga negara, dari kesewenang-wenangan negara yang mana juga didukung oleh aturan dalam Penjelasan Umum KUHAP, yakni pada angka 3 huruf c.

Tujuan diadakannya suatu proses dimuka pengadilan adalah untuk memperoleh putusan hakim. Putusan hakim adalah suatu pernyataan yang oleh hakim sebagai pejabat yang diberi wewenang itu, diucapkan dipersidangan dan bertujuan mengakhiri atau menyelesaikan sesuatu yang diucapkan pada sidang pengadilan yang terbuka untuk umum untuk menyelesaikan dan mengakhiri perkara.


(18)

3

Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang No.157/Pid.B/2014/PN.TK menyatakan terdakwa Rusmini Binti Rubimin terbukti melanggar Pasal 378 KUHP yaitu tindak pidana penipuan. Rusmini dijatuhkan pidana penjara selama 1 (satu) tahun. Rusmini merupakan salah satu anggota Kepolisian Wanita di Bandar Lampung telah terbukti melakukan tindak pidana penipuan sebesar 100.000.000,- (Seratus Juta Rupiah) yang korban nya adalah Zainudin. Awal nya Rusmini datang kerumah Zainudin bersama temannya yaitu saksi Desi dan Centia untuk meminjam uang sebesar 100.000.000,- (Seratus Juta Rupiah). Zainudin dan terdakwa sudah saling kenal dan juga suami terdakwa masih satu kampung dan Rusmini meminjam uang kepada Zainudin sebesar Rp 100.000.000,-(Seratus Juta Rupiah) dengan alasan untuk modal usaha untuk membeli solar dan pupuk.

Rusmini meyakinkan korban, dengan cara membuat surat tanda terima yang isinya terdakwa berjanji akan mengembalikan uang milik korban pada tanggal 26 April 2013, Rusmini mengatakan kepada Zainudin bahwa keuntungan jual solar dan pupuk itu nanti akan Rusmini berikan kepada Zainudin sebesar 10 persen. Karena Zainudin merasa percaya, atas apa-apa yang dikatakan, lalu dirinya meminjamkan kepada terdakwa sebesar Rp 100.000.000,- (Seratus Juta Rupiah).

Keuntungan yang dijanjikan oleh Rusmini dan uang yang dipinjam oleh Rusmini kepada Zainudin ternyata tidak dikembalikan. Maka pada tanggal 9 Mei 2013 Zainudin menagih uang miliknya Rusmini, dan Rusmini mengatakan kepada Zainudin akan mengembalikan uang tersebut pada tanggal 17 Mei 2013. Karena untuk memastikan apakah benar terdakwa mempunyai usaha dibidang pupuk dan solar, maka Zainudin menemui terdakwa. Namun ketika ditemui ternyata


(19)

4

terdakwa tidak mempunyai usaha tersebut dan terdakwa mengalihkan pengakuan dengan mengatakan, jika dirinya memiliki usaha lain yang tidak bisa terdakwa perlihatkan kepada Zainudin. Karena terdakwa tidak juga mengembalikan uang milik korban, maka saksi Zainudin mengalami kerugian lebih kurang sebesar Rp 100 juta. Akibat perbuatan terdakwa, lalu Zainudin melaporkan perbuatan terdakwa kepada pihak yang berwajib untuk diproses lebih lanjut.

Praktik penegakan hukum terdapat perbedaan implikasi apabila salah satu pihak tidak memenuhi prestasi yang telah diperjanjikan, pertama adalah permasalahan tersebut merupakan wanprestasi, sedangkan yang kedua menyatakan bahwa persoalan tersebut merupakan penipuan, yang pertama mendasarkan pada suatu argumentasi bahwa tidak dipenuhinya prestasi dilandasi adanya perjanjian sehingga akibat hukumnya wanprestasi, dan pihak yang ingin memperjuangkan haknya yaitu dengan gugatan perdata. Sedangkan yang kedua, yang lebih penting untuk dicermati yaitu perihal sebelum para pihak menutup suatu perjanjian. Jika salah satu pihak mempunyai niat kepalsuan atau kebohongan sebelum perjanjian tersebut ditutup, maka tidak dipenuhinya suatu prestasi tetap dianggap sebagai

penipuan, walupun perjanjian tersebut masih berlangsung. 2

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik mengadakan penelitian dengan

bentuk skripsi yang berjudul “Penerapan Prinsip Pembuktian dalam Perkara

Pidana yang Bersifat Keperdataan (Perkara Nomor 157/Pid.B/2014/PN.TK)”

2 Yahman, Karakteristik Wanprestasi & Tindak Pidana Penipuan, Kencana Prenada Media Group, Surabaya,


(20)

5

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan dalam latar belakang diatas maka permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah :

a. Bagaimanakah Penerapan Prinsip Pembuktian dalam Perkara Pidana yang

Bersifat Keperdataan (Perkara Nomor 157/Pid.B/2014/PN.TK) ?

b. Apakah Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhan Pidana Penjara pada

Perkara Nomor 157/Pid.B/2014/PN.TK ?

2. Ruang Lingkup

Untuk membahas permasalahan dalam skripsi ini agar tidak terlalu meluas dan salah penafsiran maka penulis membatasi ruang lingkup penelitian terhadap kajian hukum pidana dan hukum acara pidana, khususnya tentang Penerapan Prinsip Pembuktian dalam Perkara Pidana yang Bersifat Keperdataan (Perkara Nomor 157/Pid.B/2014/PN.TK). Adapun ruang lingkup kajian dalam penulisan ini adalah mengenai sistem pembuktian dalam perkara pidana dan mekanisme penjatuhan pidana yang dilakukan, penelitian ini dilakukan pada tahun 2015.


(21)

6

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk :

a. Mengetahui dan memahami secara jelas mengenai penerapan prinsip

pembuktian dalam perkara pidana yang bersifat keperdataan pada Perkara Nomor 157/Pid.B/2014/PN.TK.

b. Mengetahui dan memahami dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan

pidana pada Perkara Nomor 157/Pid.B/2014/PN.TK.

2. Kegunaan Penelitian

Bertitik tolak dari tujuan penelitian atau penulisan skripsi itu sendiri, penelitian ini mempunyai dua kegunaan yaitu dari sisi teoritis dan praktis, adapun kegunaan keduanya dalam penelitian ini adalah :

a. Kegunaan Teoritis

Hasil penulisan ini diharapkan dapat memperluas cakrawala serta dapat menjadi bahan referensi dan dapat memberikan masukan-masukan disamping undang-undang dan peraturan perundang-undang-undang-undangan terkait bagi penegak hukum, lembaga permasyarakatan, lembaga swadaya masyarakat, organisasi sosial kemasyarakatan

serta masyarakat umumnya atas hasil analisis Penerapan Prinsip Pembuktian

dalam Perkara Pidana yang Bersifat Keperdataan (Perkara Nomor


(22)

7

b. Kegunaan Praktis

Hasil penulisan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan teoritis dan rujukan bagi penegak hukum, masyarakat, dan pihak-pihak terkait dalam menangani permasalahan tindak pidana pencurian, selain itu sebagai informasi dan pengembangan teori dan tambahan kepustakaan bagi praktisi maupun akademisi.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual

1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan

identifikasi dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti.3

Penegakan hukum pidana merupakan tugas komponen-komponen aparat penegak hukum yang tergabung dalam sistem peradilan pidana dengan tujuan untuk melindungi dan menjaga ketertiban masyarakat.

Sistem peradilan pidana dapat dikaji melalui tiga pendekatan, yaitu :

a. Pendekatan normatif, memandang komponen-komponen aparatur

penegak hukum dalam sistem peradilan pidana merupakan institusi pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang beraku, sehingga komponen-komponen ini adalah bagian yang tidak terpisahkan dari sistem penegakan hukum.

b. Pendekatan administrasi, memandang komponen-komponen aparatur

penegak hukum sebagai suatu management yang memiliki mekanisme

kerja, baik hubungan yang bersifat horisontal maupun hubungan yang bersifat vertikal sesuai struktur organisasi yang berlaku dalam organisasi tersebut.

3


(23)

8

c. Pendekatan sosial, memandang memandang komponen-komponen

aparatur penegak hukum merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu sistem sosial, hal ini memberi pengertian bahwa seluruh masyarakat ikut bertanggungjawab atas keberhasilan atau tidak terlaksananya tugas dari komponen-komponen aparatur penegak hukum

tersebut.4

Sistem pembuktian perkara pidana diatur dalam Pasal 183 KUHAP yang

menentukan bahwa “hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada orang kecuali

apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwa

yang bersalah melakukannya”.

Alasan pembuat undang-undang merumuskan Pasal 183 KUHAP ditujukan untuk

mewujudkan suatu ketentuan yang seminimal mungkin dapat menjamin “tegaknya

kebenaran sejati” serta “tegaknya keadilan dan kepastian hukum”, dari penjelasan Pasal 183 KUHAP pembuat undang-undang telah menentukan pilihan bahwa sistem pembuktian yang paling tepat dalam kehidupan penegak hukum di Indonesia adalah sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif demi

tegaknya keadilan, kebenaran, dan kepastian hukum.5

Adapun jenis- jenis sistem pembuktian menurut KUHP adalah sebagai berikut :

a) Sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim semata (Conviction In

Time)

Sistem ini menganut ajaran bahwa bersalah tidaknya terhadap perbuatan yang didakwakan, sepenuhnya tergantung pada penilaian "keyakinan" hakim semata, jadi bersalah tidaknya terdakwa atau dipidana tidaknya terdakwa sepenuhnya tergantung pada keyakinan hakim. Keyakinan hakim tidak harus timbul atau didasarkan pada alat bukti yang ada, sekalipun alat

4

Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice, System Perspektif, Eksistensialisme, dan Abolisinisme), Alumni, Bandung, 1996, hlm 17.

5

M. Yahya Harahap, Pembahasan Pemarsalahan dan Penerapan KUHAP Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2001, hlm 259.


(24)

9

bukti sudah cukup kalau hakim tidak yakin, hakim tidak boleh menjatuhkan pidana, sebaliknya meskipun alat bukti tidak ada tapi kalau hakim sudah yakin, maka terdakwa dapat dinyatakan bersalah, akibatnya dalam

memutuskan perkara hakim menjadi subyektif sekali.6

b) Sistem pembuktian berdasar keyakinan hakim atas alasan yang logis

(Conviction In Raisone)

Sistem pembuktian Conviction In Ralsone masih juga mengutamakan

penilaian keyakinan hakim sebagai dasar satu-satunya alasan untuk menghukum terdakwa, akan tetapi keyakinan hakim disini harus disertai pertimbangan hakim yang nyata dan logis, diterima oleh akal pikiran yang sehat. Keyakinan hakim tidak perlu didukung alat bukti sah karena memang tidak diisyaratkan, meskipun alat-alat bukti telah ditetapkan oleh undang-undang tetapi hakim bisa menggunakan alat-alat bukti di luar ketentuan undang-undang, sistem pembuktian ini sering disebut dengan sistem

pembuktian bebas. 7

c) Teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif (Positive

Wettelijk Bewijs Theorie)

Sistem atau teori pembuktian ini juga sering disebut dengan teori

pembuktian formal (formele bewijstheorie), teori pembuktian ini dikatakan

secara positif karena didasarkan kepada alat-alat pembuktian yang berupa undang-undang atau peraturan tertulis yang artinya jika telah terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti tersebut oleh undang-undang, maka keyakinan hakim sudah tidak diperlukan lagi. Walau hakim tidak yakin dengan kesalahan terdakwa tetapi perbuatannya sudah memenuhi syarat dan ketentuan pembuktian menurut undang-undang maka sudah cukup untuk

menentukan kesalahan terdakwa.8

d) Teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif (Negatief

wettelijk)

Sistem pembuktian negatif ini merupakan gabungan dari sistem pembuktian menurut undang-undang dengan sistem pembuktian menurut keyakinan atau conviction in time yang kemudian menimbulkan rumusan salah tidaknya seorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang didasarkan kepada cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.

Untuk menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa menurut sistem pembuktian undang-undang secara negatif terdapat dua komponen yaitu :

a. Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat bukti

yang sah menurut undang-undang;

6

Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta, Ghana Indonesia, 1985, hlm 241

7

Munir Fuady, Teori Hukum Pembuktian: Pidana dan Perdata, Citra Aditya, Bandung, 2006 hlm 56

8


(25)

10

b. Dan keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas cara dan dengan

alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. Dengan demikian, sistem ini memadukan unsur “obyektif dan subyektif” dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Tidak ada yang paling dominan di antara kedua unsur tersebu. Jika salah satu diantara dua unsur itu tidak ada,

tidak cukup mendukung keterbuktian kesalahan terdakwa.9

Menurut Mackenzie, ada beberapa teori atau pendekatan yang dapat dipergunakan oleh hakim dalam mempertimbangkan penjatuhan putusan dalam suatu perkara,

yaitu sebagai berikut 10 :

a. Teori Keseimbangan

Yang dimaksud keseimbangan disini adalah keseimbangan antara syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang dan kepentingan pihak-pihak yang tersangkut atau berkaitan dengan perkara, yaitu antara lain seperti adanya keseimbangan yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat, kepentingan terdakwa, dan kepentingan korban, atau kepentingan pihak penggugat dan tergugat;

b. Teori Pendekatan Seni dan Intuisi

Dalam penjatuhan putusan, hakim akan menyesuaikan dengan keadaan dan hukum yang wajar bagi setiap pelaku tindak pidana, pendekatan seni dipergunakan oleh hakim dalam penjatuhan suatu putusan, lebih ditentukan oleh intuisi daripada pengetahuan hakim;

c. Teori Pendekatan Keilmuan

Pendekatan keilmuan ini merupakan semacam peringatan bahwa dalam memutus suatu perkara, hakim tidak boleh semata-mata atas dasar intuisi semata, tetapi harus dilengkapi dengan ilmu pengetahuan hukum dan juga wawasan keilmuan hakim dalam menghadapi suatu perkara yang harus diputusnya;

d. Teori Pendekatan Pengalaman

Pengalaman seorang hakim merupakan hal yang dapat membantunya dalam menghadapi perkara-perkara yang dihadapinya, karena dengan pengalaman tersebut, seorang hakim dapat mengetahui bagaimana

9

M. Yahya Harahap, Op.Cit. hlm 279

10

Ahmad Rifai,Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif,Jakarta,2010,hlm 105-112.


(26)

11

dampak dari putusan yang dijatuhkan dalam suatu perkara, yang berkaitan dengan pelaku, korban maupun masyarakat;

e. Teori Ratio Decidendi

Teori ini didasarkan pada landasan filsafat yang mendasar, yang mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok perkara yang relevan, kemudian mencari peraturan perundang-undangan yang relevan dengan pokok perkara yang disengketakan sebagai dasar hukum dalam penjatuhan putusan, serta pertimbangn hakim harus didasarkan pada motivasi yang jelas untuk menegakkan hukum dan memberikan keadilan bagi para pihak yang berperkara

f. Teori Kebijaksanaan

Teori ini mempunyai beberapa tujuan, yaitu sebagai upaya perlindungan terhadap masyarakat dari suatu kejahatan yang dilakukan oleh pelakunya, sebagai upaya represif agar penjatuhan pidana membuat jera, sebagai upaya preventif agar masyarakat tidak melakukan tindak pidana sebagaimana yang dilakukan oleh pelakunya, mempersiap mental masyarakat dalam menyikapi suatu kejahatan dan pelaku kejahatan tersebut.

2. Konseptual

Kerangka konseptual adalah merupakan kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti-arti

yang berkaitan dengan istilah yang akan diteliti atau di inginkan.11

Kerangka konseptual yang diketengahkan akan dibatasi pada konsepsi pemakaian istilah-istilah dalam penulisan ini yaitu Penerapan Prinsip Pembuktian dalam

Perkara Pidana yang Bersifat Keperdataan (Perkara Nomor

157/Pid.B/2014/PN.TK).Adapun pengertian dari istilah tersebut adalah :

a. Penerapan adalah pemakaian suatu cara atau metode atau suatu teori atau

sistem.12

11


(27)

12

b. Prinsip adalah suatu pernyataan fundamental atau kebenaran umum maupun

individual yang dijadikan oleh seseorang/kelompok sebagai sebuah pedoman

untuk berikir atau bertindak.13

c. Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman

tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang yang boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan. Persidangan pengadilan tidak boleh sesuka hati dan semena-mena membuktikan kesalahan

terdakwa.14

E. Sistematika Penulisan

Guna mempermudah pemahaman terhadap skripsi ini secara keseluruhan, maka disajikan penulisan sebagai berikut :

I. PENDAHULUAN

Merupakan bab pendahuluan yang berisi latar belakang penulisan skripsi, permasalahan dan ruang lingkup penulisan skripsi, tujuan dan kegunaan penulisan, kerangka teoritis dan konseptual serta sistematika penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Merupakan bab tinjauan pustaka sebagai pengantar dalam memahami pengertian-pengertian umum tentang pokok-pokok bahasan yang merupakan tinjauan yang

12

Kamus Besar Bahasa Indonesia.web.id diakses pada tanggal 14 April 2015

13

Wikipedia.org diakses pada tanggal 21 Oktober 2015

14


(28)

13

besifat teoritis yang nantinya akan dipergunakan sebagai bahan studi perbandingan antara teori dan praktek

III. METODE PENELITIAN

Merupakan bab yang memberikan penjelasan tentang langkah-langkah yang digunakan dalam pendekatan masalah serta uraian tentang sumber-sumber data, pengolahan data dan analisis data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Merupakan jawaban atas pembahasan dari pokok masalah yang akan dibahas yaitu Penerapan Prinsip Pembuktian dalam Perkara Pidana yang Bersifat Keperdataan (Perkara Nomor 157/Pid.B/2014/PN.TK).

V. PENUTUP

Bab ini merupakan hasil dari pokok permasalahan yang diteliti yaitu merupakan kesimpulan dan saran-saran dari penulis yang berhubungan dengan permasalahan yang ada.


(29)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tindak Pidana

1. Pengertian Tindak Pidana

Pembentuk undang-undang dalam berbagai perundang-undangan menggunakan perkataan “tindak pidana” sebagai terjemahan dari “strafbaar feit” tanpa memberikan sesuatu penjelasan mengenai apa yang sebenarnya dimaksud dengan perkataan “tindak pidana” tersebut. Secara harfiah perkataan “tindak pidana” dapat diterjemahkan sebagai “sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum”.Akan tetapi, diketahui bahwa yang dapat dihukum sebenarnya adalah

manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan, perbuatan, ataupun tindakan.1

Istilah “perbuatan pidana” adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan

hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi

barangsiapa yang melanggar larangan tersebut2.Menurut Wirjono Prodjodikoro

bahwa dalam perundang-undangan format indonesia, istilah “peristiwa pidana”

pernah digunakan secara resmi dalam UUDS 1950, yakni dalam Pasal 14 (1). Secara substantif pengertian dan istilah “peristiwa pidana” lebih menunjuk kepada

1

P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hlm 181

2


(30)

15

suatu kejadian yang dapat ditimbulkan oleh perbuatan manusia maupun oleh

gejala alam.3

Teguh Prasetyo merumuskan bahwa :“Tindak pidana adalah perbuatan yang oleh aturan hukum dilarang dan diancam dengan pidana. Pengertian perbuatan di sini selain perbuatan yang bersifat aktif (melakukan sesuatu yang sebenarnya dilarang oleh hukum) dan perbuatan yang bersifat pasif (tidak berbuat sesuatu yang

sebenarnya diharuskan oleh hukum)”.4

Menurut Pompe perkataan “tindak pidana” secara tegas teoritis dapat dirumuskan sebagai berikut :“Sesuatu pelanggaran norma atau gangguan terhadap tertib hukum yang dengan sengeja ataupun tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh seseorang pelaku yang penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum.”5

Jonkers merumuskan tindak pidana sebagai peristiwa pidana yang diartikannya sebagai berikut :

Suatu perbuatan yang melawan hukum yang berhubungan dengan kesengajaan atau kesalahan yang dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan.”Menurut E. Y. Kanter dan S. R. Sianturi bahwa tindak pidana mempunyai 5 (lima) unsur-unsur yaitu :

a. Subjek;

b. Kesalahan;

c. Bersifat melawan hukum dari suatu tindakan;

d. Suatu tindakan yang dilarang atau diharuskan oleh Undang Undang dan

terhadap pelanggarannya diancam dengan pidana;

e. Waktu, tempat, dan keadaan (unsur objektif lainya). 6

3Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2003, hlm 33 4Teguh Prasetyo, Hukum Pidana Edisi Revisi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, hlm 49

5P.A.F. Lamintang, Op.Cit, hlm 182

6 Kanter E.Y & S.R. Sianturi, Azas-Azas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya, Storia Grafika,


(31)

16

Tindak pidana juga dapat diartikan sebagai suatu dasar yang pokok dalam menjatuhi pidana pada orang yang telah melakukan perbuatan pidana atas dasar pertanggungjawaban seseorang atas perbuatan yang telah dilakukannya, akan tetapi, sebelum itu mengenai dilarang dan diancamnya suatu perbuatan mengenai

perbuatannya sendiri berdasarkan asas legalitas (Principle of Legality) yang

menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana

jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan (Nullum

Delictum Nulla Poena Sine Praevia Lege Poenali).

2. Jenis-Jenis Tindak Pidana

Membagi kelompok benda atau manusia dalam jenis-jenis tertentu atau mengklasifikasikan dapat sangat beraneka ragam sesuai dengan kehendak yang mengklasifikasikan, menurut dasar apa yang diinginkan, demikian pula halnya dengan jenis-jenis tindak pidana. KUHP telah mengklasifikasikan tindak pidana ke dalam 2 (dua) kelompok besar, yaitu dalam buku kedua dan ketiga

masing-masing menjadi kelompok kejahatan dan pelanggaran.7

a. Menurut sistem KUHP, dibedakan antara kejahatan yang dimuat dalam buku

II dan pelanggaran yang dimuat dalam buku III, alasan pembedaan antara kejahatan dan pelanggaran adalah jenis pelanggaran lebih ringan dibandingkan kejahatan. Hal ini dapat diketahui dari ancaman pidana pada pelanggaran tidak ada yang diancam dengan pidana penjara, tetapi berupa pidana kurungan dan denda, sedangkan kejahatan dengan ancaman pidana penjara.

7


(32)

17

b. Menurut cara merumuskannya, dibedakan antara tindak pidana formil dan

tindak pidana materil, tindak pidana formil adalah tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga memberikan arti bahwa larangan yang dirumuskan adalah melakukan suatu perbuatan tertentu. Perumusan tindak pidana formil tidak memerlukan dan/atau tidak memerlukan timbulnya suatu akibat tertentu dari perbuatan sebagai syarat penyelesaian tindak pidana, melainkan hanya pada perbuatannya. Tindak pidana materil adalah menimbulkan akibat yang dilarang. Oleh karena itu, siapa yang menimbulkan akibat yang dilarang itulah yang dipertanggung-jawabkan dan dipidana.

c. Berdasarkan bentuk kesalahan, dibedakan antara tindak pidana sengaja (dolus)

dan tindak pidana tidak dengan sengaja (culpa) tindak pidana sengaja adalah

tindak pidana yang dalam rumusannya dilakukan dengan kesengajaan atau mengandung unsur kesengajaan, sedangkan tindak pidana tidak sengaja adalah

tindak pidana yang dalam rumusannya mengandung culpa.

d. Berdasarkan macam perbuatannya, dapat dibedakan antara tindak pidana aktif

dan dapat juga disebut tindak pidana komisi dan tindak pidana pasif disebut juga tindak pidana omisi, tindak pidana aktif adalah tindak pidana yang perbuatannya berupa perbuatan aktif. Perbuatan aktif adalah perbuatan yang untuk mewujudkannya diisyaratkan adanya gerakan dari anggota tubuh orang yang berbuat. Bagian terbesar tindak pidana yang dirumuskan dalam KUHP adalah tindak pidana aktif. Tindak pidana pasif ada 2 (dua), yaitu tindak pidana pasif murni dan tindak pidana pasif yang tidak murni. Tindak pidana pasif murni adalah tindak pidana yang dirumuskan secara formil atau tindak


(33)

18

pidana yang pada dasarnya semata-mata unsur perbuatannya adalah berupa perbuatan pasif. Sementara itu, tindak pidana pasif yang tidak murni berupa tindak pidana yang pada dasarnya berupa tindak pidana positif, tetapi dapat dilakukan dengan cara tidak berbuat aktif atau tindak pidana yang mengandung suatu akibat terlarang, tetapi dilakukan dengan tidak berbuat atau mengabaikan sehingga akibat itu benar-benar timbul.

e. Berdasarkan saat dan jangka waktu terjadinya, dapat dibedakan antara tindak

pidana terjadi seketika dan tindak pidana terjadi dalam waktu lama atau berlangsung lama atau berlangsung terus menerus tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga untuk terwujudnya atau terjadinya

dalam waktu seketika atau waktu singkat saja, disebut juga dengan aflopende

delicten. Sebaliknya, ada tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga terjadinya tindak pidana itu berlangsung lama, yakni setelah perbuatan dilakukan, tindak pidana itu masih berlangsung terus menerus yang

disebut dengan voordurende delicten. Tindak pidana ini juga dapat disebut

sebagai tindak pidana yang menciptakan suatu keadaan yang terlarang.

f. Berdasarkan sumbernya, dapat dibedakan antara tindak pidana umum dan

tindak pidana khusus tindak pidana umum adalah semua tindak pidana yang dimuat dalam KUHP sebagai kodifikasi hukum pidana materil (Buku II dan Buku III). Sementara itu, tindak pidana khusus adalah semua tindak pidana yang terdapat di luar kodifikasi KUHP.


(34)

19

g. Dilihat dari segi subjeknya, dapat dibedakan antara tindak pidana communia

(tindak pidana yang dapat dilakukan oleh semua orang) dan tindak pidana propria (tindak pidana yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang berkualitas tertentu) pada umumnya tindak pidana itu dibentuk dan dirumuskan untuk berlaku pada semua orang. Akan tetapi, ada perbuatan yang tidak patut yang khusus hanya dapat dilakukan oleh orang yang berkualitas tertentu saja, misalnya: pegawai negeri (pada kejahatan jabatan) dan nakhoda (pada kejahatan pelayaran).

h. Berdasarkan perlu tidaknya pengaduan dalam hal penuntutan, maka dibedakan

antara tindak pidana biasa dan tindak pidana aduan tindak pidana biasa yang dimaksudkan ini adalah tindak pidana yang untuk dilakukannya penuntutan terhadap pembuatnya dan tidak diisyaratkan adanya pengaduan dari yang berhak. Sementara itu, tindak aduan adalah tindak pidana yang dapat dilakukan penuntutan pidana apabila terlebih dahulu adanya pengaduan oleh yang berhak mengajukan pengaduan.

i. Berdasarkan berat-ringannya pidana yang diancamkan, dapat dibedakan antara

tindak pidana bentuk pokok, tindak pidana diperberat dan tindak pidana yang diperingan, dilihat dari berat ringannya, ada tindak pidana tertentu yang dibentuk menjadi :

1) Dalam bentuk pokok disebut juga bentuk sederhana atau dapat juga

disebut dengan bentuk standar;

2) Dalam bentuk yang diperberat;


(35)

20

Pidana dalam bentuk pokok dirumuskan secara lengkap, artinya semua unsurnya dicantumkan dalam rumusan.Sementara itu, pada bentuk yang diperberat dan/atau diperingan tidak mengulang kembali unsur-unsur bentuk pokok, melainkan sekedar menyebut kualifikasi bentuk pokoknya atau pasal bentuk pokoknya, kemudian disebutkan atau ditambahkan unsur yang bersifat memberatkan atau meringankan secara tegas dalam rumusan.Adanya faktor pemberat atau faktor peringan menjadikan ancaman pidana terhadap bentuk tindak pidana yang diperberat atau yang diperingan itu menjadi lebih berat atau lebih ringan dari pada bentuk pokoknya.

3. Unsur-Unsur Tindak Pidana

Setiap tindak pidana yang terdapat dalam KUHP pada umumnya dapat dijabarkan kedalam unsur-unsur yang terdiri dari unsur subjektif dan unsur objektif.

Unsur-unsur subjektif dari suatu tindak pidana adalah :

a. Kesengajaan (dolus) atau ketidak sengajaan (culpa);

b. Maksud atau Voornemen pada suatu percobaan atau poging seperti yang

dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP;

c. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat dalam

kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan, dan lain-lain;

d. Merencanakan terlebih dahulu yang terdapat dalam kejahatan pembunuhan

menurut Pasal 340 KUHP;

e. Perasaan takut yang antara lain terdapat dalam rumusan tindak pidana

menurut Pasal 308 KUHP.

Unsur-unsur objektif dari suatu tindak pidana adalah sebagai berikut :

a. Sifat melawan hukum

b. Kualitas dari pelaku, misalnya keadaan sebagai seorang pegawai negeri;

c. Kausalitas, yakni hubungan antara suatu tindak pidana sebagai penyebab

dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat. 8

8


(36)

21

Unsur-unsur tindak pidana menurut beberapa teori. Batasan tindak pidana oleh teoritis, yakni: Moeljatno, R.Tresna, Vos yang merupakan penganut aliran monistis dan Jonkers, Schravendijk yang merupakan penganut aliran dualistis.

Menurut Moeljatno, unsur tindak pidana adalah :

a. Perbuatan itu harus merupakan perbuatan manusia;

b. Perbuatan itu harus dilarang dan diancam dengan hukuman oleh

undang-undang;

c. Perbuatan itu bertentangan dengan hukum;

d. Harus dilakukan oleh seseorang yang dapat dipertanggung-jawabkan;

e. Perbuatan itu harus dapat dipersalahkan kepada pembuat.

Hanya perbuatan manusia yang boleh dilarang oleh aturan hukum. Berdasarkan kata majemuk perbuatan pidana, maka pokok pengertian ada pada perbuatan itu, tapi tidak dipisahkan dengan orangnya.Ancaman (diancam) dengan pidana menggambarkan bahwa tidak harus perbuatan itu dalam kenyataannya benar-benar dipidana. Tindak pidana terdiri dari unsur-unsur, yakni:

a. Perbuatan atau rangkaian perbuatan (manusia);

b. Yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;

c. Diadakan tindakan penghukuman. 9

9


(37)

22

4. Unsur-Unsur Tindak Pidana Penipuan

KUHP Menjelaskan tentang Penipuan dalam BAB XXV Buku II, Pada bab tersebuttermuat berbagai bentuk penipuan yang dirumuskan dalam 20 pasal, masing-masing pasal mempunyai nama khusus. Keseluruhan pasal pada BAB XXV ini dikenal dengan sebutan bedrog atau perbuatan orang. Bentuk pokok dari bedrog atau perbuatan orang adalah Pasal 378 KUHP tentang penipuan.

Berdasarkan rumusan tersebut, maka tindak pidana penipuan memiliki unsur-unsur pokok, yaitu :

a. Dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara

melawan hukum. Dengan maksud harus diartikan sebagai tujuan terdekat dari pelaku, yakni pelaku hendak mendapatkan keuntungan. Keuntungan ini adalah tujuan utama pelaku dengan jalan melawan hukum, pelaku masih membutuhkan tindakan lain, maka maksud belum dapat terpenuhi. Maksud tersebut harus ditujukan untuk menguntungkan dan melawan hukumsehingga pelaku harus mengetahui bahwa keuntungan yang menjadi tujuannya harus bersifat melawan hukum.

b. Menggunakan salah satu atau lebih alat penggerak penipuan (nama palsu,


(38)

23

Sifat dari penipuan sebagai tindak pidana ditentukan oleh cara-cara pelaku menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang. Alat pembujuk atau penggerak yang dijadikan alat seseorang tergerak untuk menyerahkan barang adalah sebagai berikut :

1. Nama Palsu

Nama palsu, penggunaan nama yang bukan nama sendiri, tetapi nama orang lain, bahkan penggunaan nama yang tidak dimiliki oleh siapapun juga termasuk dalam penggunaan nama palsu. Dalam nama ini termasuk juga nama tambahan dengan syarat dengan yang tidak dikenal oleh orang lain;

2. Tipu Muslihat

Tipu muslihat, adalah perbuatan-perbuatan yang dilakukan sedemikian rupa hingga menimbulkan kepercayaan atau keyakinan atas kebenaran akan sesuatu kepada orang lain. Jadi tidak terdiri atas ucapan, tetapi atas perbuatan atau tindakan. Sebuah perbuatan saja sudah dapat dianggap sebagai tipu muslihat. Menunjukkan surat-surat palsu, memperlihatkan barang palsu adalah tipu muslihat. Penggunaan alat penggerak atau pembujuk ini dapat dipergunakan secara alternatif maupun secara komulatif.

3. Keadaan Palsu atau Sifat Palsu

Pemakaian keadaan atau sifat palsu adalah pernyataan dari seseorang, bahwa ia ada dalam suatu keadaan tertentu, keadaan dimana memberikan hak-hak


(39)

24

kepada orang yang ada dalam keadaan itu, misalnya seseorang swasta mengaku anggota Polisi atau petugas PLN, dll;

4. Rangkaian Kebohongan

Disyaratkan bahwa harus terdapat beberapa kata bohong yang diucapkan. Satu kata bohong saja dianggap tidak cukup sebagai alat penggerak ataupun alat pembujuk. Rangkaian kata-kata bohong yang diucapkan secara tersusun hingga merupakan suatu cerita yang dapat diterima sebagai sesuatu yang logis dan benar. Jadi kata-kata itu tersusun hingga kata yang satu membenarkan atau memperkuat kata yang lain;

5. Menggerakkan orang lain untuk menyerahkan sesuatu barang, atau memberi

utang, atau menghapus utang. 10

Perbuatan menggunakan orang lain untuk menyerahkan barang diisyaratkan adanya hubungan kausal antara alat penggerak dan penyerahan barang, Hal ini dipertegas oleh Hoge Raad dalam Arrest 25 Agustus 1923, bahwa Harus terdapat suatu hubungan sebab manusia antara upaya yang digunakan dengan penyerahan yang dimaksud dari itu. Penyerahan suatu barang yang terjadi sebagai akibat penggunaan alat-alat penggerak dipandang belum cukup terbukti tanpa menguraikan pengaruh yang ditimbulkan karena dipergunakannya alat-alat tersebut menciptakan suatu situasi yang tepat untuk menyesatkan seseorang yang normal sehingga orang tersebut terpedaya karenanya, alat-alat penggerak itu harus

10

Moch Anwar, Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Buku II), Citra Aditya Bakti, Bandung, 1994


(40)

25

menimbulkan dorongan dalam jiwa seseorang sehingga orang tersebut

menyerahkan sesuatu barang. 11

B. Tinjauan Umum Wanprestasi

Wanprestasi atau yang dikenal dengan ingkar janji, yaitu kewajiban debitur untuk memenuhi suatu prestasi, jika dalam melaksanakan kewajiban bukan terpengaruh

karena keadaaan , maka debitur dianggap telah ingkar janji.12

Menurut Subekti, wanprestasi (kelalaian atau kealpaan) seorang debitur dapat berupa empat jenis yaitu :

a. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;

b. Melakukan apa yang dijanjikan , tetapi tidak sebagaimana dijanjikan;

c. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat;

d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya. 13

Menurut M. Yahya Harahap, secara umum wanprestasi adalah pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya. Kalau begitu seorang debitur disebut dan berada dalam keadaan wanprestasi, apabila dia dalam melakukan pelaksanaan prestasi dalam perjanjian telah lalai, sehingga terlambat dari jadwal waktu yang ditentukan atau dalam melaksanakan

suatu prestasi tidak menurut sepatutnya atau selayaknya.14

11 Ibid 12

Yahman, Op.Cit, hlm.81

13 Subekti, Hukum Perjanjian, Bandung, PT Intermasa, 1979, 14


(41)

26

C. Tinjauan Umum Pembuktian dalam Peradilan

1. Pembuktian dalam Peradilan Pidana

Menurut M. Yahya Harahap, Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang dan boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang

didakwakan.15

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana tidak memberikan penjelasan mengenai pengertian pembuktian melainkan hanya memuat peran pembuktian dalam Pasal 183 yang menentukan bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya.

Adapun jenis- jenis sistem pembuktian menurut KUHP adalah sebagai berikut :

1. Sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim semata (Conviction In

Time)

Sistem ini menganut ajaran bahwa bersalah tidaknya terhadap perbuatan yang didakwakan, sepenuhnya tergantung pada penilaian "keyakinan" hakim semata, jadi bersalah tidaknya terdakwa atau dipidana tidaknya terdakwa sepenuhnya tergantung pada keyakinan hakim. Keyakinan hakim

15


(42)

27

tidak harus timbul atau didasarkan pada alat bukti yang ada, sekalipun alat bukti sudah cukup kalau hakim tidak yakin, hakim tidak boleh menjatuhkan pidana, sebaliknya meskipun alat bukti tidak ada tapi kalau hakim sudah yakin, maka terdakwa dapat dinyatakan bersalah, akibatnya dalam

memutuskan perkara hakim menjadi subyektif sekali.16

2. Sistem pembuktian berdasar keyakinan hakim atas alasan yang logis

(Conviction In Raisone)

Sistem pembuktian Conviction In Ralsone masih juga mengutamakan

penilaian keyakinan hakim sebagai dasar satu-satunya alasan untuk menghukum terdakwa, akan tetapi keyakinan hakim disini harus disertai pertimbangan hakim yang nyata dan logis, diterima oleh akal pikiran yang sehat. Keyakinan hakim tidak perlu didukung alat bukti sah karena memang tidak diisyaratkan, meskipun alat-alat bukti telah ditetapkan oleh undang-undang tetapi hakim bisa menggunakan alat-alat bukti di luar ketentuan undang-undang, sistem pembuktian ini sering disebut dengan sistem

pembuktian bebas. 17

3. Teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif (Positive

Wettelijk Bewijs Theorie)

Sistem atau teori pembuktian ini juga sering disebut dengan teori

pembuktian formal (formele bewijstheorie), teori pembuktian ini dikatakan

secara positif karena didasarkan kepada alat-alat pembuktian yang berupa undang-undang atau peraturan tertulis yang artinya jika telah terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti tersebut oleh undang-undang, maka

16

Andi Hamzah, Op.Cit, hlm 241

17


(43)

28

keyakinan hakim sudah tidak diperlukan lagi. Walau hakim tidak yakin dengan kesalahan terdakwa tetapi perbuatannya sudah memenuhi syarat dan ketentuan pembuktian menurut undang-undang maka sudah cukup untuk

menentukan kesalahan terdakwa.18

4. Teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif (Negatief

wettelijk)

Sistem pembuktian negatif ini merupakan gabungan dari sistem pembuktian menurut undang-undang dengan sistem pembuktian menurut keyakinan atau conviction in time yang kemudian menimbulkan rumusan salah tidaknya seorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang didasarkan kepada cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.

Untuk menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa menurut sistem pembuktian undang-undang secara negatif terdapat dua komponen yaitu :

a. Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat bukti

yang sah menurut undang-undang;

b. Dan keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas cara dan dengan

alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. Dengan demikian, sistem ini memadukan unsur “obyektif dan subyektif” dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Tidak ada yang paling dominan di antara kedua unsur tersebu. Jika salah satu diantara dua unsur itu tidak ada,

tidak cukup mendukung keterbuktian kesalahan terdakwa.19

18

M. Yahya Harahap, Op.Cit. hlm 257

19


(44)

29

2. Pembuktian dalam Peradilan Perdata

Menurut Sudikno Mertokusumo, membuktikan mengandung beberapa pengertian, yaitu :

1. Membuktikan dalam arti logis, berarti memberi kepastian yang bersifat

mutlak, karena berlaku bagi setiap orang dan tidak memungkinan adanya bukti lawan.

2. Membuktikan dalam arti konvensional, berarti memberi kepastian tetapi

bukan kepastian mutlak melainkan kepastian yang relatif sifatnya yang mempunyai tingkatan-tingkatan sebagai berikut:

a. Kepastian yang hanya didasarkan pada perasaan, sehingga bersifat

intuitif dan disebut conviction intime.

b. Kepastian yang didasarkan pada pertimbangan akal, sehingga disebut

conviction raisonee.

c. Membuktikan dalam arti yuridis (dalam hukum acara perdata), tidak lain

berarti memberi dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara guna memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa yang

diajukan. 20

Asas pembuktian, dalam hukum acara perdata dijumpai dalam Pasal 1865 BW, Pasal 163 HIR, dan Pasal 283 Rbg, yang bunyi pasalnya semakna saja, yaitu barang siapa mempunyai sesuatu hak atau guna membantah hak orang lain, atau menunjuk pada suatu peristiwa, ia diwajibkan membuktikan adanya hak itu atau

adanya peristiwa tersebut.21

20

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 2002, hlm 127

21

Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Prenada Media Group, Jakarta, 2005, hlm 229


(45)

30

Pada saat menilai alat bukti, hakim dapat bertindak bebas atau terikat oleh Undang-Undang, dalam hal ini terdapat dua teori, yaitu :

a. Teori Pembuktian Bebas

Hakim bebas menilai alat-alat bukti yang diajukan oleh para pihak yang beperkara, baik alat-alat bukti yang sudah disebutkan oleh undang-undang, maupun alat-alat bukti yang tidak disebutkan oleh undang-undang.

b. Teori Pembuktian Terikat

Hakim terikat dengan alat pembuktian yang diajukan oleh para pihak yang beperkara. Putusan yang dijatuhkan, harus selaras dengan alat-alat bukti yang diajukan dalam persidangan. Lebih lanjut teori ini dibagi menjadi:

1) Teori Pembuktian Negatif

Hakim terikat dengan larangan undang-undang dalam melakukan penilaian terhadap suatu alat bukti tertentu.

2) Teori Pembuktian Positif

Hakim terikat dengan perintah undang-undang dalam melakukan penilaian terhadap suatu alat bukti tertentu.

3) Teori Pembuktian Gabungan

Hakim bebas dan terikat dalam menilai hasil pembuktian. Dalam menilai pembuktian, seorang hakim harus pula mengingat asas-asas yang penting

dalam hukum pembuktian perdata.22

D. Penipuan dan Wanprestasi

Terjadinya penipuan dalam hukum pidana merupakan suatu hubungan hukum yang senantiasa diawali atau didahului hubungan hukum kontraktual. Suatu hubungan hukum yang diawali dengan kontraktual tidak selalu merupakan perbuatan wanprestasi, akan tetapi dapat pula merupakan suatu perbuatan tindak pidana penipuan eks-Pasal 378 KUHP. Manakala suatu kontrak yang ditutup

22

Efa Laela Fakhriah, Bukti Elektronik dalam Sistem Pembuktian Perdata, PT. Alumni, Bandung, 2013, hlm 53


(46)

31

sebelumnya terdapat adanya tipu muslihat, keadaan palsu dan rangkaian kata bohong dari pelaku yang dapat menimbulkan kerugian pada orang lain atau

korban, hal ini merupakan penipuan.23

Pasal 1243 BW ternyata, bahwa pada umumnya wanpresatasi itu terjadi setelah debitur dinyatakan lalai. Atas dasar itu untuk debitur dinyatakan lalai kadang-kadang disuratkan somasi dan dalam hal-hal lain debitur wanprestasi karena

hukum. Upaya-upaya yang dilakukan yaitu dengan melakukan somasi.24

E. Tinjauan tentang Putusan Hakim

Setiap putusan pengadilan selain harus memuat pasal-pasal tertentu yang bersumber dari aturan hukum yang berkaitan dengan pokok perkara atau sumber hukum tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk menggali kaedah hukum yang hidup dan berkembang didalam masyarakat, putusan pengadilan merupakan tanggung jawab hakim dalam melaksanakan tugasnya untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara yang diajukan kepadanya sehingga pertanggungjawaban tersebut tidak hanya dijatuhkan kepada hukum, hakim itu sendiri, ataupun masyarakat luas, tetapi yang lebih penting harus dapat dipertanggungjawabkan kepada Tuhan yang Maha Esa sebagaimana tertuang dalam setiap putusan pengadilan yakni Demi Ketuhanan yang Maha Esa.

23

Hasil Kajian Beberapa Putusan Tentang Hubungan Kontraktual, dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Pada Varia Peradilan Data Base Yurisprudensi.


(47)

32

Putusan hakim merupakan puncak klimaks dari suatu perkara yang sedang diperiksa dan diadili oleh seorang hakim. Hakim memberikan keputusannya mengenai hal-hal sebagai berikut :

1. Keputusan mengenai peristiwanya, apakah terdakwa telah melakukan

perbuatan yang dituduhkan kepadanya.

2. Keputusan mengenai hukumnya, apakah perbuatan yang dilakukan terdakwa

itu merupakan suatu tindak pidana dan apakah terdakwa bersalah dan dapat dipidana.

3. Keputusan mengenai pidananya, apabila terdakwa memang dapat dipidana.25

Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Asas

Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa, “hakim dan hakim

konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa

keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Selanjutnya dalam Pasal 1 butir 11

KUHAP menyebutkan bahwa putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.

Setelah menerima dan memeriksa suatu perkara, selanjutnya hakim akan menjatuhkan keputusan yang dinamakan dengan putusan hakim, yang diucapkan dalam sidang pengadilan yang terbukan untuk umum yang bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara.

25


(48)

33

Proses penjatuhan putusan oleh hakim, dalam perkara pidana menurut Moelyatno dilakukan dalam beberapa tahapan yaitu :

a. Tahap menganalisis perbuatan pidana ;

b. Tahap menganalisis tanggung jawab pidana ;

c. Tahap penentuan pemidanaan.26

Isi putusan pengadilan diatur dalam Pasal 50 Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa:

(1) Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga

memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.

(2) Tiap putusan pengadilan harus ditandatangani oleh ketua serta hakim yang

memutus dan panitera yang ikut serta bersidang.

Sesudah putusan pemidanan diucapkan, hakim ketua sidang wajib memberitahu kepada terdakwa tentang apa yang menjadi haknya, yaitu :

1. Hak segera menerima atau segera menolak putusan (Pasal 196 ayat (3) huruf a

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).

2. Hak mempelajari putusan sebelum menyatakan menerima atau menolak

putusan, dalam tenggang waktu yang telah ditentukan yaitu tujuh hari sesudah putusan dijatuhkan atau setelah putusan diberitahukan kepada terdakwa yang tidak hadir (Pasal 196 ayat (3) huruf b jo. Pasal 233 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).

26


(49)

34

3. Hak minta penangguhan pelaksanaan putusan dalam tenggang waktu yang

ditentukan oleh undang-undang untuk dapat mangajukan grasi, dalam hal ia menerima putusan (Pasal 196 ayat (3) huruf c Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).

4. Hak minta banding dalam tenggang waktu tujuh hari setelah putusan

dijatuhkan atau setelah putusan diberitahukan kepada terdakwa yang tidak hadir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 196 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ,Pasal 196 ayat (3) jo. Pasal 233 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

5. Hak segera mencabut pernyataan sebagaimana dimaksud pada butir a

(menolak putusan) dalam waktu seperti ditentukan dalam Pasal 235 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang menyatakan bahwa selama perkara banding belum diputus oleh pengadilan tinggi, permintaan banding dapat dicabut sewaktu-waktu dan dalam hal sudah dicabut, permintaan banding dalam perkara itu tidak boleh diajukan lagi (Pasal 196 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).

Pasal 197 ayat (1) KUHAP menjelaskan tentang adanya formalitas yang harus dipenuhi dalam pembuatan surat putusan pemidanaan, yang jika tidak terpenuhi maka keputusan tersebut dapat mengakibatkan batal demi hukum.

Ketentuan tersebut adalah :

a. Kepala putusan berbunyi : “DEMI KEADILAN BERDASARKAN


(50)

35

b. Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin,

kebangsaan, tempat tinggal, agama, pekerjaan terdakwa ;

c. Dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan ;

d. Pertimbangan yang disususn secara ringkas mengenai fakta dan keadaan

beserta alat pembuktiana yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa ;

e. Tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan ;

f. Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan

disertai keadaan yang memberatkan dan meringankan ;

g. Hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali perkara

diperiksa oleh hakim tunggal ;

h. Pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam

rumusan delik disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan ;

i. Ketentuan kepada barang siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan

jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti ;

j. Keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan dimana

letaknya kepalsuan itu, jika terdapat surat otentik dianggap palsu ;

k. Perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan ;

l. Hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutus,


(51)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau

beberapa gejala hukum tertentu dengan cara menganalisanya.1

Pendekatan masalah yang digunakan penulis dalam penulisan ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif dilakukan dengan mempelajari, melihat, dan menelaah mengenai beberapa hal yang bersifat teoritis yang menyangkut asas-asas hukum yang berkenaan dengan permasalahan yaitu mengenai Penerapan Prinsip Pembuktian

dalam Perkara Pidana yang Bersifat Keperdataan (Perkara Nomor

157/Pid.B/2014/PN.TK).

Pendekatan yuridis empiris adalah pendekatan masalah dengan menelaah hukum dalam kenyataan baik berupa penilaian, pendapat, sikap yang dimaksudkan untuk memperoleh pemahaman tentang pokok bahasan yang jelas mengenai gejala dan objek yang sedang diteliti, digunakan metode wawancara dengan hakim, dan jaksa yang menangani perkara tindak pidana nomor 157/Pid.B/2014/PN.TK, yang berfungsi sebagai pembantu dalam menganalisis skripsi ini. Jenis dan sifat penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah penelitian yang bersifat analisis.

1


(52)

37

B. Sumber dan Jenis Data

Menurut Soerjono Soekanto, data adalah sekumpulan informasi yang dibutuhkan dalam pelaksanaan suatu penelitian yang berasal dari berbagai sumber,

berdasarkan sumbernya, data terdiri dari data lapangan dan data kepustakaan.2

Data yang dipergunakan dalam penelitian guna penulisan skripsi ini adalah :

1. Data Primer

Data primer adalah data utama yang diperoleh secara langsung dari lapangan penelitian dengan melakukan wawancara kepada responden, yaitu Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang, Advokat Pada Kantor Advokat dan Konsultan Hukum Eko Yuliyanto, serta Dosen Bagian Hukum Fakultas Hukum Universitas Lampung, untuk mendapatkan data yang dibutuhkan dalam penelitian.

2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari berbagai bahan hukum yang berhubungan dengan penelitian, data sekunder terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.

a. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat mengikat

yang terdiri dari :

2 Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif, Raja Grafindo Perkasa, Jakarta, 2004,


(53)

38

1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 jo Undang-Undang Nomor 73

Tahun 1958 tentang Perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana.

b. Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang bersifat

menjelaskan bahan hukum primer yang meliputi literatur-literatur, makalah-makalah, putusan pengadilan negeri tanjung karang perkara nomor 157/Pid.B/2014/PN.TK, dan lain-lain yang mempunyai relevansi dengan permasalahan yang sedang diteliti.

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk atau

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yaitu meliputi kamus ensiklopedia, literatur-literatur.

C. Penentuan Narasumber

Narasumber dalam penulisan ini sebanyak 3 (Tiga) orang yaitu :

1. Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang : 1 Orang

2. Advokat pada Kantor Advokat dan Konsultan Hukum

Eko Yuliyanto : 1 Orang

3. Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas

Lampung : 1 Orang

Jumlah : 3 Orang

D. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data


(54)

39

Dalam upaya mengumpulkan data yang diperlukan dalam penulisan ini, penulis menggunakan prosedur studi lapangan dan studi kepustakaan.

a. Studi kepustakaan

Studi kepustakaan dilakukan untuk memperoleh data sekunder. Studi kepustakaan dilakukan dengan cara membaca, mengutip hal-hal yang dianggap penting dan perlu dari beberapa peraturan perundang-undangan, literatur, dan bahan-bahan tertulis lainnya yang berkaitan dengan materi pembahasan.

b. Studi Lapangan

Studi lapangan dilakukan untuk memperoleh data primer. Studi lapangan

dilakukan dengan cara mengadakan wawancara (interview) dengan responden.

Wawancara dilakukan secara langsung dengan mengadakan tanya jawab secara terbuka dan mendalam untuk mendapatkan keterangan atau jawaban yang utuh sehingga data yang diperoleh sesuai dengan yang diharapan. Metode wawancara

yang digunakan adalah standartisasi interview dimana hal-hal yang akan

dipertanyakan telah disiapkan terlebih dahulu (wawancara terbuka). Studi lapangan dilakukan di wilayah hukum Pengadilan Negeri Tanjung Karang.


(55)

40

2. Metode Pengolahan Data

Data yang terkumpul melalui kegiatan pengumpulan data yang kemudian diproses melalui pengolahan dan peninjauan data dengan melakukan :

a. Evaluasi data, yaitu data yang diperoleh diperiksa untuk mengetahui apakan masih terdapat kekurangan-kekurangan dan kesalahan-kesalahan, serta apakah data tersebut sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas.

b. Klasifikasi data, yaitu pengelompokan data yang telah dievaluasi menurut bahasanya masing-masing setelah dianalisis agar sesuai dengan permasalahan.

c. Sistematisasi data, yaitu melakukan penyusunan dan penempatan data pada tiap pokok bahasan sistematis sehingga memudahkan pembahasan.

E. Analisis Data

Setelah dilakukan pengumpulan dan pengolahan data, kemudian dilakukan analisis data dengan menggunakan analisis kualitatif dilakukan dengan cara menguraikan data yang diperoleh dari hasil penelitian dalam bentuk kalimat-kalimat yang disusun secara sistematis, sehingga dapat diperoleh gambaran yang jelas tentang masalah yang akan diteliti, sehingga ditarik suatu kesimpulan dengan berpedoman pada cara berfikir induktif, yaitu suatu cara berfikir dalam mengambil kesimpulan secara umum yang didasarkan atas fakta-fakta yang bersifat khusus guna menjawab permasalahan yang telah dikemukakan.


(56)

V. PENUTUP

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan mengenai penerapan prinsip pembuktian perkara pidana yang bersifat keperdataan, maka dapat ditarik simpulan sebagai berikut :

1. Berdasarkan uraian masalah dalam perkara nomor 157/Pid.B/2014/PN.TK

diketahui telah terjadi suatu tindak pidana penipuan yang bermula dari adanya hubungan hukum perdata berupa hutang piutang antara terdakwa dengan korban, akan tetapi hubungan hukum perdata tersebut telah bergeser menjadi suatu perbuatan pidana yang disebabkan karena terdakwa telah melakukan suatu rangkaian kebohongan terhadap korban sebagaimana terbukti di persidangan, dengan demikian maka majelis hakim dalam melakukan pembuktian menganut asas dalam hukum acara pidana yakni mencari suatu kebenaran materiil dengan cara melakukan persesuaian antara pasal yang didakwakan kepada terdakwa dengan barang bukti, keterangan saksi, serta keterangan terdakwa sehingga menimbulkan suatu keyakinan bagi hakim bahwa terdakwa telah secara sah dan meyakinkan melakukan perbuatan pidana, serta berpedoman pada ketentuan Pasal 183 KUHAP yang


(57)

65

menentukan bahwa “hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan

bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.

2. Dasar pertimbangan hakim menjatuhan pidana dalam perkara nomor

157/Pid.B/2014/PN.TK secara garis besar dilakukan dengan cara, mempertimbangkan pasal-pasal yang didakwakan kepada terdakwa, tingkat kesalahan terdakwa, akibat dari tindak pidana yang dilakukan terdakwa, hal yang meringankan dan hal yang memberatkan, serta fakta-fakta yang terungkap dipersidangan. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka diketahui bahwa penjatuhan pidana yang dilakukan oleh hakim didasarkan pada teori ratio decidendi, yaitu teori yang didasarkan pada landasan filsafat dengan mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok perkara, kemudian mencari peraturan perundang-undangan yang relevan dengan pokok perkara sebagai dasar hukum dalam proses penjatuhan putusan.


(58)

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Mahrus. 2011. Dasar-Dasar Hukum Pidana. Jakarta Timur. Sinar Grafika.

Anwar, Moch. 1994.Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Buku II).Bandung. Citra

Aditya Bakti.

Atmasasmita, Romli. 1996. Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice, System

Perspektif, Eksistensialisme, dan Abolisinisme). Bandung. Alumni.

Chazawi, Adami. 2001.Pelajaran Hukum Pidana 1. Jakarta. PT Raja Grafindo.

E.Y, Kanter & S.R. Sianturi. 2002. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan

Penerpannya.Jakarta. Storia Grafika.

Fuady, Munir. 2006.Teori Hukum Pembuktian: Pidana dan Perdata.Bandung.Citra

Aditya.

Hamzah, Andi. 1985. Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta. Ghana

Indonesia.

Harahap, M. Yahya. 2001.Pembahasan Pemarsalahan dan Penerapan KUHAP Edisi

Kedua. Jakarta. Sinar Grafika.

--- 1986.Segi-segi Hukum Perjanjian.Bandung. Alumni.

Husin, Kadri. 2012. Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia. Bandar Lampung.

Lembaga Penelitian Universitas Lampung.

Ilyas, Amir. 2012. Asas-Asas Hukum Pidana. Makasar. Rangkang Education.

Laela, Efa Fakhriah. 2013. Bukti Elektronik dalam Sistem Pembuktian Perdata.

Bandung, PT. Alumni.

Manan, Abdul. 2005. Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan


(59)

Mertokusumo, Sudikno. 2002. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta. Liberty.

P.A.F, Lamintang. 1997. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia. Jakarta. Citra

Aditya Bakti.

Pajar, J Widodo. 2010. Litigasi dan Bantuan Hukum. Bandar Lampung. Universitas

Lampung.

Prasetyo, Teguh. 2011. Hukum Pidana Edisi Revisi. Jakarta. PT Raja Grafindo.

Prodjodikoro, Wirjono. 2003. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia. Bandung.

Refika Aditama.

Rifai, Ahmad. 2010. Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum

Progresif. Jakarta. Sinar Grafika.

Sudarto. 1997.Hukum dan Hukum Pidana. Bandung. Alumni.

Soekanto, Soerjono. 1986.Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta. UI Press.

--- dan Sri Mamuji. 2004.Penelitian Hukum Normatif. Jakarta. PT Raja

Grafindo Persada.

Soesilo, R. 1982. Hukum Acara Pidana (Prosedur Penyelesaian Perkara Pidana

menurut KUHAP bagi penegak Hukum).Bogor. Politeria.

Subekti. 1979.Hukum Perjanjian.Bandung.PT Intermasa..

Yahman. 2014. Karakteristik Wanprestasi & Tindak Pidana Penipuan. Surabaya.

Kencana Prenada Media Group.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 jo Undang-Undang No. 73 Tahun 1958 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Putusan Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang Nomor Perkara 157/Pid.B/2014/PN.TK

Hasil Kajian Beberapa Putusan Tentang Hubungan Kontraktual, dalamYurisprudensi

Mahkamah Agung RIPada Varia Peradilan Data Base Yurisprudensi. Kamus Besar Bahasa Indonesia.web.id diakses pada tanggal 14 April 2015


(1)

40

2. Metode Pengolahan Data

Data yang terkumpul melalui kegiatan pengumpulan data yang kemudian diproses melalui pengolahan dan peninjauan data dengan melakukan :

a. Evaluasi data, yaitu data yang diperoleh diperiksa untuk mengetahui apakan masih terdapat kekurangan-kekurangan dan kesalahan-kesalahan, serta apakah data tersebut sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas.

b. Klasifikasi data, yaitu pengelompokan data yang telah dievaluasi menurut bahasanya masing-masing setelah dianalisis agar sesuai dengan permasalahan.

c. Sistematisasi data, yaitu melakukan penyusunan dan penempatan data pada tiap pokok bahasan sistematis sehingga memudahkan pembahasan.

E. Analisis Data

Setelah dilakukan pengumpulan dan pengolahan data, kemudian dilakukan analisis data dengan menggunakan analisis kualitatif dilakukan dengan cara menguraikan data yang diperoleh dari hasil penelitian dalam bentuk kalimat-kalimat yang disusun secara sistematis, sehingga dapat diperoleh gambaran yang jelas tentang masalah yang akan diteliti, sehingga ditarik suatu kesimpulan dengan berpedoman pada cara berfikir induktif, yaitu suatu cara berfikir dalam mengambil kesimpulan secara umum yang didasarkan atas fakta-fakta yang bersifat khusus guna menjawab permasalahan yang telah dikemukakan.


(2)

V. PENUTUP

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan mengenai penerapan prinsip pembuktian perkara pidana yang bersifat keperdataan, maka dapat ditarik simpulan sebagai berikut :

1. Berdasarkan uraian masalah dalam perkara nomor 157/Pid.B/2014/PN.TK diketahui telah terjadi suatu tindak pidana penipuan yang bermula dari adanya hubungan hukum perdata berupa hutang piutang antara terdakwa dengan korban, akan tetapi hubungan hukum perdata tersebut telah bergeser menjadi suatu perbuatan pidana yang disebabkan karena terdakwa telah melakukan suatu rangkaian kebohongan terhadap korban sebagaimana terbukti di persidangan, dengan demikian maka majelis hakim dalam melakukan pembuktian menganut asas dalam hukum acara pidana yakni mencari suatu kebenaran materiil dengan cara melakukan persesuaian antara pasal yang didakwakan kepada terdakwa dengan barang bukti, keterangan saksi, serta keterangan terdakwa sehingga menimbulkan suatu keyakinan bagi hakim bahwa terdakwa telah secara sah dan meyakinkan melakukan perbuatan pidana, serta berpedoman pada ketentuan Pasal 183 KUHAP yang


(3)

65

menentukan bahwa “hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang

kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.

2. Dasar pertimbangan hakim menjatuhan pidana dalam perkara nomor 157/Pid.B/2014/PN.TK secara garis besar dilakukan dengan cara, mempertimbangkan pasal-pasal yang didakwakan kepada terdakwa, tingkat kesalahan terdakwa, akibat dari tindak pidana yang dilakukan terdakwa, hal yang meringankan dan hal yang memberatkan, serta fakta-fakta yang terungkap dipersidangan. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka diketahui bahwa penjatuhan pidana yang dilakukan oleh hakim didasarkan pada teori ratio decidendi, yaitu teori yang didasarkan pada landasan filsafat dengan mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok perkara, kemudian mencari peraturan perundang-undangan yang relevan dengan pokok perkara sebagai dasar hukum dalam proses penjatuhan putusan.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Mahrus. 2011. Dasar-Dasar Hukum Pidana. Jakarta Timur. Sinar Grafika. Anwar, Moch. 1994.Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Buku II).Bandung. Citra

Aditya Bakti.

Atmasasmita, Romli. 1996. Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice, System Perspektif, Eksistensialisme, dan Abolisinisme). Bandung. Alumni.

Chazawi, Adami. 2001.Pelajaran Hukum Pidana 1. Jakarta. PT Raja Grafindo. E.Y, Kanter & S.R. Sianturi. 2002. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan

Penerpannya.Jakarta. Storia Grafika.

Fuady, Munir. 2006.Teori Hukum Pembuktian: Pidana dan Perdata.Bandung.Citra Aditya.

Hamzah, Andi. 1985. Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta. Ghana Indonesia.

Harahap, M. Yahya. 2001.Pembahasan Pemarsalahan dan Penerapan KUHAP Edisi Kedua. Jakarta. Sinar Grafika.

--- 1986.Segi-segi Hukum Perjanjian.Bandung. Alumni.

Husin, Kadri. 2012. Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia. Bandar Lampung. Lembaga Penelitian Universitas Lampung.

Ilyas, Amir. 2012. Asas-Asas Hukum Pidana. Makasar. Rangkang Education.

Laela, Efa Fakhriah. 2013. Bukti Elektronik dalam Sistem Pembuktian Perdata. Bandung, PT. Alumni.

Manan, Abdul. 2005. Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama. Jakarta. Prenada Media Group,


(5)

Mertokusumo, Sudikno. 2002. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta. Liberty.

P.A.F, Lamintang. 1997. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia. Jakarta. Citra Aditya Bakti.

Pajar, J Widodo. 2010. Litigasi dan Bantuan Hukum. Bandar Lampung. Universitas Lampung.

Prasetyo, Teguh. 2011. Hukum Pidana Edisi Revisi. Jakarta. PT Raja Grafindo. Prodjodikoro, Wirjono. 2003. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia. Bandung.

Refika Aditama.

Rifai, Ahmad. 2010. Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif. Jakarta. Sinar Grafika.

Sudarto. 1997.Hukum dan Hukum Pidana. Bandung. Alumni.

Soekanto, Soerjono. 1986.Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta. UI Press.

--- dan Sri Mamuji. 2004.Penelitian Hukum Normatif. Jakarta. PT Raja Grafindo Persada.

Soesilo, R. 1982. Hukum Acara Pidana (Prosedur Penyelesaian Perkara Pidana

menurut KUHAP bagi penegak Hukum).Bogor. Politeria.

Subekti. 1979.Hukum Perjanjian.Bandung.PT Intermasa..

Yahman. 2014. Karakteristik Wanprestasi & Tindak Pidana Penipuan. Surabaya. Kencana Prenada Media Group.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 jo Undang-Undang No. 73 Tahun 1958 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Putusan Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang Nomor Perkara 157/Pid.B/2014/PN.TK

Hasil Kajian Beberapa Putusan Tentang Hubungan Kontraktual, dalamYurisprudensi

Mahkamah Agung RIPada Varia Peradilan Data Base Yurisprudensi.


(6)

PENERAPAN PRINSIP PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA YANG BERSIFAT KEPERDATAAN

(Studi Putusan Nomor 157/Pid.B/2014/PN.TK)

Oleh

HINDIANA SAVA HUSADA

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2015